
Judul Cerita
Penulis
Total Chapter
Hak Akses
Genre
: Lowongan Cinta
: Evathink
: 20 Chapter
: Free/Gratis!
: Romance
DISCLAIMER!
Karya ini ditulis oleh penulis di luar fraksikata.com.Jika kamu menyukainya, traktir author secangkir kopi lewat tombol di akhir cerita. Bila penulis keberatan, silakan kunjungi halaman ini untuk penurunan atau penyematan no.rek/e-wallet..
Bab 1
"Maaf, Jose, aku telat," ucapku sambil mengatur napas yang memburu. Kutatap wajah Jose yang terlihat kecut dengan perasaan gelisah. Dia sama sekali tidak merespons permintaan maaf dariku.
Sebenarnya ini bukan salahku. Jose mengajak bertemu pukul setengah enam sore, saat aku baru saja pulang kerja. Dengan setengah napas, aku buru-buru mengendarai motor menembusi padatnya lalu lintas kota Batam saat jam pulang kantor. Untung saja, jalanan yang lebar dan luas membuatku tidak perlu terjebak macet berlama-lama.
Ah, Jose kurang gentle. Harusnya dia yang datang menjemputku di kantor, bukan aku yang mendatanginya ke kios ponselnya yang berada di lantai dasar di salah satu pusat perbelanjaan terkemuka kota ini.
Tapi aku hanya bisa diam dan menelan semua perasaan tidak suka akan sikap kurang gentle Jose yang seperti ini. Aku bahkan dengan rela hati berlari demi menemuinya tepat waktu. Dan lihat, apa yang kudapat? Aku hanya telat sepuluh menit, dan wajah Jose sudah berlipat menunjukkan ketidaksenangannya.
"Kenapa telat?" tanya Jose sambil melirik arloji di pergelangan tangan kanannya.
Aku menarik napas dalam-dalam. Jelas-jelas dia tahu, jam pulang kerja itu di mana-mana jalanan pasti ramai. "Macet," jawabku sambil melempar senyum terpaksa.
Terkadang aku berpikir, betapa bodoh diriku. Aku cantik dan menarik, mengapa aku mau berpacaran dengan pria egois seperti Jose yang selalu menuntutku menurut padanya?
"Ini siapa?" tanya Jose dingin.
Jose menyodorkan ponselnya padaku. Di layar ponselnya terlihat fotoku sedang merangkul lengan seorang pria di sebuah pusat perbelanjaan.
Aku mengerut kening. Dari mana Jose mendapatkan foto itu? "Itu Bradly, kakak sepupuku," jawabku dengan napas yang mulai normal. Aku tidak berbohong. Itu memang kakak sepupuku. Dia baru pulang dari UK, setelah lima tahun kuliah di sana.
Jose mendengus, menandakan dia tidak percaya dengan jawabanku. Jose memang belum pernah bertemu dan berkenalan dengan Bradly, karena aku dan Jose baru berpacaran selama dua tahun, sedangkan Bradly, bila pulang ke tanah air hanya beberapa hari saja.
"Kita putus," kata Jose dingin.
"Eh?" aku tidak percaya dengan pendengaranku. Kutatap wajah tampannya yang terlihat dingin dan kecut. "Jose..."
"Aku rasa kamu sudah mendengar jelas kalimatku barusan."
Aku termangu. Terpaku oleh kata-katanya. Apa ini tidak berlebihan? Hanya karena aku merangkul akrab lengan sepupuku, aku diputuskan begitu saja? Tapi pastinya gengsi sekali bila aku harus memohon-mohon memintanya jangan memutuskanku. Aku cantik, menarik, dan baru berumur dua puluh tiga tahun. Aku masih sangat muda dan pastinya untuk mencari pengganti Jose tidaklah sulit bagiku.
Selama ini kami sudah terlalu sering putus-sambung, mungkin karena kami sama-sama belum dewasa. Usia kami yang hanya terpaut dua tahun, membuat kami banyak bersikap kekanakan. Jose, di usianya yang ke dua puluh lima tahun, masih sangat jauh dari dewasa, dan itu sering menjadi kendala dalam hubungan kami. Mempertengkarkan hal sepele, putus, lalu besoknya sambung lagi.
"Mulai hari ini kita selesai!" lanjutnya lagi dengan suara ketus.
Aku terdiam sambil menggigit bibir. Baru kemarin dia melamar dan mengajakku menikah, tapi hari ini dia memutuskanku hanya karena salah paham dan cemburu buta.
Tiba-tiba perasaan kecewa menghantamku dengan dahsyatnya dan gengsiku menguak ke permukaan.
"Baik, kita selesai!" kataku tak kalah ketus.
Dengan wajah merah padam, aku meninggalkan kios ponsel Jose. Tidak sanggup lagi berlama-lama menjadi bahan tontonan karyawannya yang sejak awal diam-diam terus memerhatikan kami.
Aku melangkah terburu-buru keluar dari gedung mal. Mengambil motor, lalu pulang ke rumah dengan amarah dan rasa kecewa yang membuncah di dada.
Selama ini aku sudah berusaha menerima dia apa adanya dia, walau dia egois dan kekanak-kanakan, tapi aku berusaha memahaminya dan tetap menerimanya. Tapi jika dia dengan ringannya memutuskanku hanya karena tidak mempercayaiku seperti ini, rasanya keterlaluan sekali!
Aku langsung masuk ke kamar begitu tiba di rumah. Sekilas, sempat kudengar suara berisik alat masak di dapur, menandakan Mama sedang sibuk memasak.
Dengan perasaan berat, aku duduk di sisi ranjang dan mengeluarkan ponsel dari dalam tas, berharap Jose mengirim pesan padaku dan menyatakan dirinya menyesal, seperti yang sering terjadi selama ini.
Tapi aku kecewa. Tidak ada pesan dari Jose sama sekali.
Dengan perasaan gundah, aku membuka salah satu akun sosial media-ku, dan mengerut kening saat mendapat sebuah pesan dari nama pengirim yang tak kukenal.
Prince Charming.
Ufff... jujur aku hampir muntah membaca namanya. Orang ini terlalu percaya diri menyebut dirinya dengan nama itu.
Kubuka pesannya.
**Lowongan Cinta**
Dibutuhkan segera, wanita untuk menjadi istri seorang pengusaha muda.
Syarat dan kriteria:
- Cantik dan menarik
- Maksimal berusia 25 tahun
- Tidak terikat hubungan dengan pria mana pun
- Bisa menjadi istri sekaligus ibu yang baik
Fasilitas:
- Mobil mewah plus sopir
- Kartu kredit & Debit
- Gaji Rp. 50.000.000 per bulan
Aku mengerut kening bingung. Apa pengirim pesan ini orang gila? Bagaimana mungkin ada lowongan kerja yang aneh seperti ini? Tapi eh..? ini bukan lowongan kerja, tapi cinta.
Dengan rasa penasaran, aku membuka profil si pengirim pesan. Hanya ada sebuah foto aktor Hollywood yang sangat tampan.
Aku menghela napas kecewa karena sempat berharap bisa melihat foto pengirimnya. Kuletakkan ponsel di atas nakas, lalu berbaring dan memejamkan mata. Berusaha mengusir rasa sakit dan kecewa diputuskan oleh Jose.
---
"Vinsa, umurmu sudah dua puluh tiga tahun, kapan lagi mau menikah?"
Terdengar suara Mama menggema ke seluruh penjuru rumah. Aku menguap dan duduk di sofa di depan TV tanpa sempat mencuci muka lebih dulu. Di pagi minggu yang cerah ini, saat baru bangun tidur, aku sudah diserang dengan pertanyaan yang satu itu, pertanyaan yang dalam setengah tahun ini sudah hampir seribu kali kudengar. Ah, ini kedengaran berlebihan. Tidak sampai seribu kali. Tapi bagaimana bila setiap minggu pagi, aku terus-menerus dihadapkan dengan pertanyaan ini? Rasanya membosankan dan membuatku stres tingkat tinggi.
Umurku baru dua puluh tiga tahun, masih terlalu muda untuk menikah, tapi Mama selalu menganggap usiaku ini sudah terlalu tua, katanya dulu, di usia Mama yang seumuranku, aku dan adikku sudah lahir. Uff... itu kan dulu... Mama masih saja berpikiran kuno seperti itu, padahal zaman sudah modern.
Tadinya aku sudah cukup lega karena Jose melamarku, dan itu artinya impian Mama akan segera terwujud. Tapi mimpi tinggalah mimpi. Sekarang aku harus kembali pusing oleh desakan Mama. Haruskah kukatakan pada Mama, calon tunggalku telah menendangku?
"Vinsa!"
Lamunanku buyar saat merasakan tepukan Mama di pahaku.
"Jadi kapan mau menikah? Kalau pacarmu tidak serius, Mama ada banyak calon untukmu," kata Mama dengan mata berbinar.
Oh tidak! Jangan sampai itu terjadi! Aku tahu siapa calon-calon yang Mama maksud itu. Paling si Joke, anak Tante Yati yang kerjanya jualan ikan di pasar. Kata Mama walau tampangnya pas-pasan, tapi uangnya banyak. Ah, mana mungkin gadis muda secantik diriku mau sama Si Joke yang lebih mirip om-om daripada anak muda yang penuh gaya.
Atau bisa juga anak Om Arte yang sangat pintar menggombal dan selalu pamer kekayaan orang tuanya tanpa mau bekerja.
Atau Si A, Si B, C, D...
Ah bikin pusing. Tentu saja aku tidak mau.
"Vinsa sudah ada calon, Ma," tukasku cepat sebelum Mama mengambil keputusan sepihak.
Mata Mama langsung berbinar senang. "Ayo, ajak ke rumah, kenalkan pada Mama dan Papa. Sekalian cepat suruh dia melamar. Mama sudah tidak sabar melihatmu menikah."
Mendengar rentetan kalimat Mama yang panjang lebar dengan wajah berseri membuatku hampir menjerit frustrasi. Mengapa harus secepat ini? Aku tidak punya calon sama sekali. Aku dan Jose sudah putus. Dan tadi aku hanya berbohong agar Mama tidak menjodohkanku dengan pilihannya. Tapi kebohongan ini sepertinya akan menjadi bencana untukku.
Tidak lama kemudian Papa muncul sambil membawa satu kantong kresek di tangan yang kutahu pasti, kantongan itu pasti berisi kue-kue untuk sarapan.
Melihat sosok Papa, Mama langsung euforia menceritakan pada Papa bahwa aku sudah punya calon suami. Rasanya saat ini juga aku ingin pingsan agar tidak mendengar suara Mama yang terdengar menggebu-gebu. Akhirnya, karena tak kunjung pingsan, aku memilih bangkit dan kabur ke kamar mandi. Meninggalkan Mama dan Papa yang bercerita dengan heboh. Sebenarnya Papa tidak seheboh Mama. Papa selalu bersikap santai dan tenang, berbeda sekali dengan Mama yang menurutku selalu berlebihan.
Dua minggu telah berlalu dengan cepat. Tidak seperti biasanya, hingga hari ini, Jose sama sekali tidak mengajakku berbaikan. Akhirnya karena pusing mencari calon suami dalam waktu singkat seperti ini, aku memilih untuk menerima tawaran Si Prince Charming untuk mengisi lowongan menjadi istrinya. Seorang pria yang katanya sudah berusia tiga puluh satu tahun.
Mungkin aku terbilang terlalu nekad. Bagaimana mungkin aku memilih pria yang sama sekali tidak kukenal untuk menjadi calon suamiku dan dikenalkan pada kedua orangtuaku? Pasti waktu mengambil keputusan ini, akal sehatku benar-benar sudah tidak berfungsi.
Sebuah mobil yang berhenti tepat di depan rumah membuyarkan lamunanku. Aku mengangkat wajah dan menatap mobil sport mewah berwarna putih yang telah terparkir rapi di halaman. Dadaku tiba-tiba saja berdebar. Sejak tadi aku duduk di teras menunggunya. Setelah melakukan pembicaraan dan persetujuan dengan Si Prince Charming lewat telepon, aku memberinya alamat rumahku. Dan di sinilah dia sekarang. Aku yakin yang ada di dalam mobil itu dia. Karena selama ini aku tidak pernah punya teman yang memiliki mobil semewah itu.
Seketika wajahku terasa panas dan jantungku berdegup kencang tatkala seorang pria berperawakan tinggi besar dengan kulit sedikit gelap keluar dari mobil itu. Hidungnya mancung mencuat dengan sepasang alis tebal yang sangat rapi yang membuat wajahnya makin terlihat sempurna. Sedangkan kedua matanya masih bersembunyi di balik kacamata hitamnya.
Aku yang sedari tadi duduk di teras sontak berdiri dengan kaki gemetar. Jadi dia Prince Charming itu? Tampan dan sangat mempesona. Seketika rasa gugup menyelimutiku. Aku bingung harus bersikap seperti apa? Tetap diam atau menyapanya dengan senyum manis?
Aku menggigit bibir dan menggerutu dalam hati saat menyadari satu hal yang sangat vital, aku tidak tahu namanya. Bukan tidak bertanya, tapi dia yang tidak mau menjawabnya.
Dia melangkah mendekatiku membuat jantungku hampir melompat keluar... dan aku hampir pingsan di tempat saat ia berdiri tepat di depan mataku dan melepas kacamatanya...
Dia, Hans Stefanus Vlenzo. CEO perusahaan tempatku bekerja. Pria yang selama ini sangat dikenal sebagai pria workaholic...
Aku menelan ludah yang terasa sepahit empedu. Rasanya aku ingin kabur dan bersembunyi saat ini juga, tidak sanggup untuk bertatap muka dengannya. Aku tak ingin menikah dengannya. Bagaimana mungkin aku menjadikan pria dingin ini sebagai calon suamiku? Aku berani mengatakan dia dingin karena selama ini dia hampir tidak pernah bertegur sapa dengan bawahannya.
"Malam, Vinsa," sapanya lembut dan pelan.
Dan aku benar-benar hampir pingsan. Aku bahkan sudah tidak bisa bernapas. Dia begitu dekat. Wangi parfumnya begitu menggoda... aku... tolong....
"Sudah siap untuk menjadi istriku?"
Kali ini jantungku benar-benar keluar dari tempatnya. Napasku terasa berhenti. Suaranya... selama ini aku hampir tidak pernah mendengar suaranya karena pekerjaanku yang hanya sebagai staf administrasi, sangat jarang berhubungan langsung dengan bos besar.
Dan belum sempat aku mengeluarkan suara dari bibirku yang gemetar, Mama keluar dan langsung tersenyum lebar menyambut calon menantunya...
Aku menatap Hans dengan gelisah. Ia baru saja berpamitan pada kedua orangtuaku, dan sekarang sedang berdiri di depanku di teras rumah.
Lidahku sungguh terasa kelu untuk memulai obrolan dengannya. Masih teringat jelas, bagaimana dia dengan percaya diri melamarku pada kedua orangtuaku dan disambut dengan sangat baik oleh Mama, yang pastinya tahu bahwa calon menantunya ini orang kaya dari mobil mewah yang dikendarainya. Sedangkan Papa memilih bersikap biasa-biasa saja.
"Pak... saya rasa..."
Hans mengangkat sebelah alisnya dan menatapku tanpa berkedip membuatku serba salah.
Aku ingin membatalkan semua ini. Tadinya aku menerima tawarannya karena berpikir kami akan melakukan pendekatan lebih dulu. Tapi siapa sangka, Hans langsung melamar pada orangtuaku. Dan Mama, tanpa berpikir panjang, menyetujui begitu saja permintaan Hans agar kami menikah dua minggu lagi. Sungguh ini sangat gila dan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi istri dari pria yang selama ini kukenal sebagai atasanku?
Sungguh aku tak habis pikir, apa yang membuat Hans melakukannya? Dia sama sekali belum mengenal kepribadianku, tapi sudah dengan sangat yakin ingin menjadikanku istrinya. Lagi pula, bukankah pria tampan dan kaya seperti dirinya sangat mudah untuk mendapatkan wanita yang ingin menjadi istrinya? Kenapa justru memilih aku?
Mungkin benar prasangka awalku saat membaca pesan itu, bahwa pengirimnya tidak waras. Pria waras tidak akan melakukan hal seperti ini, bukan?
"Saya... saya rasa..."
"Aku pulang dulu, Vin, pernikahan kita akan dilangsungkan dua minggu lagi, siapkan dirimu," tukas Hans lembut tapi tegas.
Aku terpaku. Aku ingin membatalkankan rencana pernikahan ini, tapi bagaimana mengatakan padanya?
Mungkin kali ini aku harus menyesal dengan sikap terburu-buruku. Hanya karena desakan Mama, aku buru-buru mencari calon suami, bahkan berani menerima tawaran pria yang kuterima lewat pesan tak jelas di akun sosial media-ku yang ternyata pengirimnya atasanku sendiri.
Seketika wajahku memanas saat merasaan sapuan hangat di sudut bibirku. Lamunanku buyar.
Hans tersenyum tipis setelah mencium sudut bibirku. Tanpa bersuara ia berbalik dan berjalan menuju mobilnya. Dan aku, dengan jantung yang berdegup dua kali lebih cepat, terdiam dan terpaku. Hanya bisa menatapnya sambil meraba sudut bibirku yang dicium olehnya tadi.
Aku menjejakkan kaki mungilku yang beralas sepatu hak tinggi ke lantai gedung perusahaan Hans Stefanus Vlenzo, calon suamiku.
Dengan semangat yang sudah menurun hingga tingkat terendah, aku berjalan menuju meja kerjaku. Sudah enam bulan aku berkerja di perusahaan yang bergerak di bidang distribusi segala jenis sembako ini.
Aku menghenyakkan bokongku pada kursi empuk kantor, menyimpan tasku ke dalam laci yang ada di bawah meja, lalu memijit kecil kepalaku yang terasa berat dan berdenyut-denyut.
Tadi malam bisa dibilang aku hanya tidur beberapa jam saja. Stres memikirkan pernikahan yang akan berlangsung dua minggu lagi. Mungkin bila aku menikah dengan pria yang telah berpacaran denganku selama bertahun-tahun, aku akan senang sekali.
Tapi kenyaataannya, dua minggu lagi aku akan menjadi istri dari pria yang selama ini kukenal sebagai atasanku. Yang selama ini bahkan hampir tidak pernah berbicara denganku. Aku selalu berusaha menghindar bila melihatnya sedang lewat di koridor menuju ruangannya. Bukan karena aku takut, tapi sejak awal melihatnya enam bulan lalu, dadaku selalu bergemuruh. Adrenalinku berpacu bila mencium wangi parfumnya yang sangat menggoda itu.
Lamunanku buyar saat mendengar suara rekan-rekanku memberi sapaan selamat pagi. Satu sosok tampan dan gagah berjalan di koridor menuju ruangannya. Saat melewatiku, dia menoleh tapi tidak tersenyum. Wajahnya datar dan cenderung dingin.
Tiba-tiba saja wangi parfumnya menyeruak masuk ke rongga hidungku, memacu jantungku berdetak dua kali lebih cepat.
Aku tersenyum kecut. Ternyata, hingga hari ini, efek wangi parfumnya sama sekali tidak berubah padaku. Jantungku masih saja setia berolahraga saat menghidunya.
Pria yang baru saja berlalu itu begitu tampan dan memesona. Dia Hans Stefanus Vlenzo, calon suamiku. Ya. Calon suamiku. Dua minggu lagi aku akan di-stempel sebagai Vinsa Vlenzo.
Mungkin mulai sekarang aku harus menyiapkan jantungku untuk terus menerima kejutan. Setelah kejutan lamaran Hans yang tanpa meminta pendapatku lebih dulu, tadi pagi aku dikejutkan dengan sebuah mobil mewah yang terparkir rapi di halaman rumah lengkap dengan sopirnya.
Ternyata Hans mengirim sopir untuk menjemput dan mengantarku ke kantor. Rasanya aneh sekali. Apa Hans tidak berpikir tindakannya akan mengundang pemikiran negatif dari rekan kerjaku?
Aku hanya seorang staf administrasi, bukan anak orang kaya. Aku jelas tidak mampu membeli mobil mewah dan menggaji sopir.
Aku menolak untuk ikut dengan Pak Ucup, sopir yang dikirim Hans. Tapi Pak Ucup berkeras aku harus ikut dengannya atau ia akan dimarahi Hans. Karena tidak mau menyulitkan pria paruh baya itu, akhirnya aku menurut.
Tapi mungkin seharusnya aku tidak perlu berlebihan memikirkan tanggapan rekan kerjaku, bukankah dua minggu lagi, semua akan tahu tentang pernikahan kami? Dan pastinya semua akan terkejut karena selama ini di kantor, kami bahkan tidak pernah bertegur sapa.
Aku melirik punggung Hans yang sudah hilang ke dalam ruang kantornya yang mewah. Aku tahu, dari dinding ruangannya yang terbuat dari kaca tak tembus pandang dari luar, dia bisa bebas melihatku dari dalam sana. Aku segera membuang muka untuk menatap laptop dan bersiap untuk bekerja. Tidak mau dipergoki olehnya kalau sedang memerhatikan dirinya.
-- Next Chapter--
Bab 3
"Nanti malam kujemput pukul tujuh, kita makan malam dengan orangtuaku."
Aku menggigit bibir sambil menahan napas. Jadi dia menyuruhku ke ruangannya hanya untuk mengatakan itu? Arogan sekali! Kenapa tidak mengirim pesan ke ponselku? Sikapnya padaku cenderung seperti atasan pada karyawannya, bukan seperti pria pada kekasih yang akan dinikahinya.
Kekasih... ah, aku terlalu banyak berharap. Tentu saja aku bukan kekasihnya, bukankah kami tidak pernah berpacaran?
Lagi pula, apa yang kuharapkan darinya? Dia datang padaku sambil membawa satu buket bunga mawar dan mengajakku makan malam bersama orangtuanya? Hayalan yang terlalu tinggi tentunya.
Aku menghela napas dengan wajah bertekuk. Kuanggukkan kepala dengan malas, lalu memutar tubuh untuk berlalu darinya.
"Vinsa... "
Langkah kakiku terhenti mendengar suara panggilannya. Seketika tanpa kuinginkan, dadaku berdebar, jantungku berdegub kencang. Aku mematung. tidak berbalik untuk menatapnya.
Dalam sedetik, sosok itu sudah berdiri di dekatku. Aku bergeming dengan jantung yang terus berdetak semakin kencang. Wajahku terasa memanas. Aku tahu, pasti sekarang wajahku sudah merah merona.
"Aku ingin mempercepat pernikahan kita menjadi Sabtu ini."
Sebuah kalimat yang cukup singkat tapi cukup menyetrum kesadaranku. Aku mengangkat wajah dan mataku beradu dengan mata elang miliknya. Mata gelap yang sangat tajam. Aku tidak bisa melihat apa pun di mata itu, tapi cukup membuat darahku berhenti mengalir dalam beberapa detik saat merasakan tatapannya.
"Tapi-tapi kenapa?" tanyaku terkejut. Sangat terkejut. Sabtu ini? ltu berarti beberapa hari saja lagi. Aku tidak siap. Benar-benar tidak siap. Bolehkah aku kabur saja? Ke luar negeri mungkin? Ah... telalu mahal. Mungkin ke Bali saja sekalian cud mata, pasti banyak bule cakep di Pantai Kuta.
"Karena dua minggu lagi ada jadwal penting yang tidak bisa kutunda atau majukan. Jadi aku memilih memajukan jadwal pernikahan kita saja."
Kakiku seketika lemas dan menjadi selembut agar agar. Aku butuh kursi untuk duduk. Tapi sungguh gengsi bila sampai aku melakukan itu di depan pria tampan yang sebentar lagi akan menjadi suamiku ini.
"Ka-kalau begitu.. pernikahan kita dimundurkan hingga tiga atau empat minggu ke depan saja, Pak." kataku terbata.
Terlihat kilat tidak senang di mata hitam itu. Seketika aku bergidik. Aku sudah berani melawannya.
"Aku tidak bisa," jawabnya dingin. "Ayo iku aku. Kita makan siang sekalian fitting gaun pengantin dan pilih cincin kawin," ajaknya sambil menggamit tanganku. "Dan jangan panggil aku dengan embel-embel Bapak lagi. sebentar lagi aku akan menjadi suamimu."
Aku terhenyak. lngin bersuara, tapi aku tahu, percuma berargumen di hadapan Hans. Dia selalu dominan dalam segala hal. Harusnya aku bersuara dan mundur dari rencana gila ini, tapi entah kenapa. suaraku tertelan dan akhirnya aku hanya menurut padanya.
Akhirnya pernikahan itu terjadi.
Fitting gaun pengantin, memiilih cincin kawin, berkenalan dengan orangtua Hans. Dan entah bagaimana,
beberapa hari berlalu dengan sangat cepat dan sekarang aku sudah menjadi mempelainya. Menjadi pengantin wanita yang anggun dalam balutan gaun yang sangat mewah, berdiri di samping Hans di ballroom sebuah hotel bintang lima, menerima tamu dan tersenyum semanis mungkin. Aku tidak tahu bagaimana Hans menyiapkan pesta semewah itu dalam waktu beberapa hari. Yang pasti, aku tidak pernah mengkhayalkan penikahan semewah ini, bahkan satu kali pun.
Setelah acara pesta yang melelahkan, di sinilah aku sekarang. Duduk kaku di depan meja rias di kamar pengantin kami yang berada di rumah pribadi Hans yang terletak di kompleks perumahan mewah.
lni seperti mimpi. Bagaimana mungkin aku kini telah menjadi istri atasanku? Reaksi rekan kerja dan teman teman yang terkejut cukup membuatku makin stres. Tapi apa daya, beberapa hari lalu, aku sempat mengemukakan niat untuk membatalkan pernikahan ini, tapi justru mendapat tatapan dingin Hans yang seketika membuatku mengkerut dan diam membisu. lalu mau tidak mau menurut pada keinginannya.
Aku menghela napas pelan. Kutatap wajahku yang terlihat sangat cantik pada pantulan cermin. Dengan sisa sisa tenaga yang ada, aku meraih kapas muka dan makeup remover untuk mulai menghapus makeup di wajahku.
Dari pantulan cermin, aku bisa melihat Hans sedang duduk di sisi ranjang sambil melepas jas dan dasinya. Seketika dadaku berdebar.
Apakah malam ini aku akan menjadi miliknya seutuhnya? Sanggupkah aku menolaknya bila dia menginginkan haknya sebagai suami?
***
Seminggu berlalu dengan sangat cepat. Aku sudah berubah jabatan dari seorang staff administrasi pembelian menjadi sekretaris Hans. Sedangkan sekretarisnya yang sebelumnya telah dipindahkan ke kantor cabang.
Semua rekan kerja terkejut dengan pernikahan kami-karena kami tidak terlihat seperti orang yang berpacaran sebelumnya. Tapi rentetan pertanyaan dari rekan-rekan kerja hanya kutanggapi dengan senyum tipis tanpa mau bercerita lebih banyak. Tentu saja alasan pernikahan ini menjadi rahasia kami berdua.
Seminggu menjadi istri Hans membuatku lebih mengenal kepribadiannya. Hans ternyata tidak sedingin dan se-workaholic yang kupikir selama ini. Sekarang ia justru sangat jarang lembur seperti dulu saat kami belum menikah.
Hingga hari ini, pernikahan kami bisa dibilang lancar. Sarapan bersama, mengobrol dan berbagi cerita. Dan tentu saja, bagian Hans meminta haknya sebagai suami tidak terlewatkan. Aku mengerti bahwa dia pria normal, dan sebagai istrinya, tidak lucu bila aku menolaknya, walau pada kenyataannya sampai saat ini tidak ada kata cinta yang terucap dari bibir kami.
Mungkin aku berharap terlalu banyak pada Hans bila mengharapkannya mencintaiku. Bagaimana mungkin aku bisa berbicara tentang cinta sedangkan usia pernikahan kami baru satu minggu? Kuakui, aku telah tertarik padanya sejak lama, mungkin sejak pertama kali aku bekerja di kantor ini dan melihatnya. Waiau saat itu aku sudah berpacaran dengan Jose, aku tidak bisa mengenyahkan debar di dadaku setiap kali melihatnya. Sekarang, saat telah menjadi istrinya, rasa itu tumbuh semakin subur.
Aku melirik ponselku yang berkedip-kedip menandakan ada panggilan masuk.
Jose memanggil...
Aku menghela napas bosan. Jose belum tahu bahwa aku sudah menikah karena aku tidak mengudangnya ke pesta pernikahanku. Dia juga tidak terlalu akrab dengan orangtuaku, itulah mengapa hingga saat ini dia tidak tahu prihal pernikahanku. Selama kami berpacaran, Jose hampir tidak pernah ke rumah untuk mengobrol akrab dengan orangtuaku.
Sudah semingguan ini Jose terus mengajakku kembali. Tapi kembali seperti apa lagi? Beberapa waktu lalu aku sangat mengharapkan ajakan berbaikan darinya, tapi sia sia. Sekarang semuanya sudah tidak ada artinya lagi. Aku sudah menikah dan tidak mungkin diam-diam selingkuh di belakang suamiku.
"Ada apa?"
Aku tersentak dan mengangkat wajah saat mendengar suara Hans. Secepat kilat aku menggeleng pelan sambil mengambil ponselku yang terus berkedip tanpa suara di atas meja, karena selama ini aku memang mengatur profit ponsel tanpa suara agar tidak berisik.
Hans mengerut kening sambil menatap tanganku yang sedang memegang ponsel.
"Siapa menelepon?" tanyanya ingin tahu.
Aku menggeleng kaku. "Teman," jawabku singkat sambil berharap agar Hans tidak terus bertanya.
Tapi harapanku sia-sia. Hans mengulurkan tangannya untuk melihat ponselku.
Aku menggeleng pelan dengan wajah pucat. Aku tidak mau Hans salah paham, apalagi di ponselku Jose masih terus mengirim pesan padaku dengan memanggilku "Sayang".
Seketika kulihat wajah Hans berubah dingin saat aku masih berkeras tidak mau memberi ponselku padanya.
"Berikan padaku," perintahnya dingin.
Dengan perut melilit menahan cemas, aku mengulurkan ponselku pada Hans. Dan seketika kilat amarah terpancar dari mata hitam itu. Napasnya terlihat memburu.
"Jose?" gumamnya tidak suka.
"Teman," jawabku malas. Sungguh aku tidak suka bila Hans mulai dominan seperti ini. Aku menunduk, tidak kuat untuk menatap wajahnya yang sudah berubah sangat dingin. Untung saja setelah menjadi sekretarisnya, aku punya ruang pribadi sendiri, yaitu sebuah ruangan yang bersebelahan dengan ruangannya. Jika masih bersama yang lain, pastinya malu sekali bila dilihat oleh mereka kami bersitegang seperti ini.
"Dia memanggilmu 'Sayang'," kata Hans dingin dengan nada tak suka. la terlihat sibuk mengutak-atik ponselku. Bisa dipastikan dia sedang membaca pesan pesan di ponselku.
"Hans... "
"Aku akan membelikanmu ponsel baru," kata Hans sambil memasukkan ponselku ke dalam saku celananya.
Aku mendesah kesal. "Tapi Hans... "
Hans menatapku dengan mata dinginnya. Aku menghela napas pendek. Sulit bernapas melihat sikap Hans yang tiba-tiba saja menjadi posesif seperti ini.
"Aku tidak suka istriku bermain di belakangku. lni kali terakhir aku melihatmu berhubungan dengan pria lain."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Hans meninggalkanku. la kembali ke ruangannya tanpa peduli bahwa aku tidak terima dia membawa pergi ponselku.
Aku menghela napas kesal. lni keterlaluan. Menjadi istrinya bukan berarti harus dikekang seperti ini. Tapi entah kenapa, aku hanya bisa protes di dalam hati tanpa bisa bersuara.
Apa Hans segitu berwibawa hingga aku tak berkutik?
Atau diam-diam dia sudah berhasil menaklukkanku?
"lni ponsel barumu."
Aku mendongak saat mendengar suara yang sudah seminggu ini begitu akrab di telingaku. Hans berdiri di depan meja kerjaku dengan sebuah ponsel layar sentuh mengilap nan mahal.
Aku mengeluh dalam hati. "Aku butuh ponsel lamaku. semua kontak ada di situ," kataku sambil menahan nada kesal dalam suaraku. Baru beberapa jam berlalu, Hans sudah kembali dengan ponsel baru yang pastinya jauh lebih mahal dari ponselku yang sebelumnya. "Semua kontak sudah ada di dalam situ. Sudah kupindahkan," kata Hans ringan.
Aku menatapnya tak percaya. Dengan setengah hati aku mengambil ponsel yang diberi Hans dan segera memeriksa kontaknya. Ah ya benar, semua kontak sudah Hans pindahkan ke ponsel baru ini. Tapi semua kontak bernama wanita, yang pria sudah raib, bahkan sepupuku Bradly pun tidak ada. Aku menggerutu dalam hati.
"Kenapa kontaknya cuma segini?" tanyaku mulai tidak bisa menekan nada kesal dalam suaraku.
"Kan aku sudah bilang tidak suka istriku macam macam," kata Hans ringan sambil mengangkat bahu.
Aku mendengus kesal. Macam-macam seperti apa? Aku tidak pernah macam-macam, Hans saja yang berlebihan.
"Ayo kita pulang," ajak Hans sambil membalikkan badan ingin berlalu.
"Belum jam lima," tukasku cepat saat melihat jam di laptopku yang baru menunjukkan pukul empat sore.
"Aku bos, dan kamu istriku. Ayo cepatan," katanya tidak sabar dan meninggalkanku begitu saja.
Terpaksa secepat kilat aku mematikan laptop dan berjalan tergesa menyusulnya.
"Kenapa sih buru-buru," keluhku kesal saat kami tiba di area parkir. Mungkin ini kali pertama aku berani berbicara dengan nada sedikit tinggi pada Hans.
Hans membuka pintu mobil tanpa mengacuhkanku. Aku masuk ke dalam mobil, dan tidak lama kemudian dia menyusul.
"Aku sudah tidak sabar," kata Hans sambil mengendarai mobil keluar dari perkarangan parkir.
"Tidak sabar apa?" tanyaku masih kesal. "Bercinta denganmu."
Seketika wajahku memanas mendapat jawaban seperti itu. Ternyata atasanku yang dulu terlihat sangat berkarisma ini punya otak mesum. Aku membuang muka menatap ke luar jendela. lngin marah tapi tak bisa.
"Ngomong-ngomong. aku ada hadiah spesial untukmu."
Aku menoleh. Hans memberiku satu kantongan kresek berwarna gelap.
Aku mengerut kening. "lni apa?" tanyaku heran. Kekesalanku padanya sedikit berkurang. Ternyata Hans cukup perhatian dengan memberiku hadiah.
"Buka saja sendiri."
Aku mengangkat alis heran. Perlahan aku membuka kantong plastik itu dan mengeluarkan isinya. Seketika wajahku kembali memanas dan pastinya warna kulit wajahku sudah memerah seperti kepiting rebus.
Di tanganku ada beberapa lingerie seksi lengkap dengan pakaian dalam seksi. Aku ingin berteriak malu, Hans keterlaluan sekali.
Segera kumasukkan kembali semua benda seksi itu ke dalam kantongannya. Aku membuang muka menahan malu. Benar-benar tidak sanggup untuk menatap Hans.
"Untuk percintaan kita nanti malam," kata Hans menggodaku.
Oh. tidak! Kenapa pria tampan yang selama ini diam diam ku kagumi ternyata berotak mesum?
Aku berusaha menahan debar-debar di dada saat bayangan kebersamaan kami berputar di benakku. Aku menggerutu dalam hati. Apakah penyakit mesum ini menular? Mengapa aku juga menginginkannya?
-- Next Chapter--
Bab 3
Aku menatap Viona, sepupu Hans, dengan kurang suka karena dia bersikap manja sepanjang makan malam.
Viona baru saja tiba tadi siang, saat aku dan Hans sedang sibuk dengan pekerjaan di kantor. Sepupu Hans yang satu ini datang dari Pulau Dewata, sengaja untuk berlibur di kota ini.
Begitu selesai makan malam, aku segera masuk ke kamar kami yang terletak di lantai dua. terhadap Sikapku pada Viona terlihat jelas sangat tidak ramah. Aku sangat tidak suka melihatnya terlalu menempel dan Namun, pada Hans. Tapi itu tampak yang ditempeli terlihat biasa-biasa saja.
Tentu saja ini bukan rasa cemburu, melainkan sebuah rasa tidak nyaman. Istri mana pun tidak akan jika bila suaminya lain, wanita lain bukan?
28
Aku berdiri di balkon dan menatap malam yang langit malam tanpa yang Awan mendung begitu tebal menyelimuti langit. Sepertinya malam ini akan turun hujan lebat.
Hampir tiga puluh menit aku berdiri di balkon kamar, dan Hans sama sekali belum menyusulku. Kilat terlihat menyambar-nyambar, sementara titik-titik gerimis mulai membasahi bumi.
Aku mendesah pelan dan kembali masuk ke kamar. Tak lama kemudian, terdengar suara petir yang keras, kuat yang membuatku terkejut. Aku mengelus dada dan berusaha menenangkan diri.
Karena tidak nyaman sendirian di kamar saat suara petir bergemuruh begitu keras, aku segera keluar dari kamar dan turun ke lantai bawah.
Begitu tiba di ruang keluarga, mataku membesar saat melihat Hans dipeluk oleh Viona di ruang tamu. Hans juga terlihat merangkul yang mengatakan bahwa Terdengar kata-kata Viona kalau ia sangat takut dengan petir. Aku urung melangkahkan kaki ke ruang tamu. Seketika dadaku bergemuruh menahan amarah. Berani-beraninya Hans memeluk wanita lain saat aku ada di sini.
Aku tahu Viona adalah sepupunya, tapi tetap saja ada batasan antara pria dan wanita.
Sebelum Hans sempat melihatku, aku berbalik dan berjalan lesu menaiki anak tangga ke lantai dua menuju kamar kami. Air mataku mengancam untuk keluar.
Sebenarnya, aku yang cemburu buta dan berburuk sangka pada Hans, atau justru Hans yang sudah keterlaluan?
Istrinya, alih-alih datang menenangkanku terus-menerus menyambar dengan kuat terus di luar sana, ia justru merangkul dan menenangkan sepupunya.
Seketika, rasa sedih memenuhi hatiku. Setetes air mata jatuh dari sudut mataku. Ini semua salahku. Aku yang terlalu terburu-buru membuat keputusan. Hanya karena putus dari Jose dan orangtuaku, orangtuaku. aku memilih menikah dengan Hans begitu saja. Kami sama sekali tidak saling mengenal pribadi satu sama lain. Hingga saat ini, hubungan kami yang terlihat menonjol adalah hubungan di atas ranjang. Ternyata aku hanya menjadi objek pelampias nafsu Hans.
Aku sedang mematikan laptop yang kugunakan untuk bekerja saat Hans memasuki ruanganku. Aku tahu Hans pasti ingin mengajakku pulang karena sudah pukul empat sore. Sejak menikah, jam kerja Hans berubah. Dulu, dia betah berlama-lama di kantor hingga kupikir dia workaholic. Namun setelah menikah, dia lebih suka cepat pulang dan menghabiskan waktu di rumah bersamaku.
kamu pulang duluan saja, aku ada janji dengan teman," kataku sambil meraih ponsel baru yang memasukkannya Hans dan memasukkanya ke dalam tas.
Hans mengerutkan kening. "Teman yang mana?" tanya Hans dengan rasa ingin tahu.
Aku mendesah kesal. "Temanku, pastinya kamu tidak kenal," kataku dengan kurang senang karena Hans terlalu banyak bertanya.
Sebenarnya, hari ini aku janjian bertemu dengan Gisele dan Stefanie Hans karena untuk menghindari Hans, aku Sepanjang padanya. Dan sepanjang berhasil menahan ekspresi sukses di raut jengkel dia wajahku agar ia tidak tahu bahwa aku sedang marah.
"Karena aku tidak kenal, aku harus ikut denganmu untuk berkenalan dengan temanmu itu," kata Hans tegas.
"Hans..." aku menarik napas kesal. "Masa aku harus jalan...
teman dikawal sama suami?" keluhku kesal.
"Apa salahnya?" Hans ngotot. "Aku tidak keberatan." "Aku yang keberatan," kataku dengan semakin kesal.
Terdengar Hans menarik napas panjang. "Kamu istriku, Vin, kamu tanggung jawabku. Aku tidak tahu siapa temanmu. Jika terjadi apa-apa padamu, bagaimana aku akan mempertanggungjawabkannya kepada orangtuamu?" tukas Hans dengan kesal.
Aku bangun dari dudukku dan meraih tas. Aku malas terus beradu mulut dengan Hans. Sungguh aku tidak menyangka Hans bisa Sungguh, ini. Tidak mungkin akan terjadi apa-apa padaku, secara Gisele dan Stefanie adalah teman karena tidak mungkin juga mereka menganiayaiku. baikku; mereka pasti akan
Tanpa menoleh kepada Hans, aku melangkah ke pintu keluar, kesal karena Hans selalu mendominasi aku.
Aku, Stefanie, dan Gisele sibuk memilih pakaian di sebuah butik yang terletak di pusat perbelanjaan. Kami baru saja selesai makan malam bersama. Kulirik Hans yang berdiri tidak jauh kami; raut Raut wajahnya terlihat bosan. "Sudah pukul delapan malam, Vin, sudahi. sudahi
kita pulang," kata Hans dengan nada bosan. "Kamu pulang saja dulu, Hans. Nanti aku pulang sama...
kataku dengan acuh tak acuh.
Seketika napas Hans memburu. Terlihat jelas bahwa dia tidak senang dengan jawabanku.
"Aku tak suka dibantah. Ayo, pulang," ajak Hans lagi dengan wajah dingin.
Aku cemberut. Aku tahu di balik topeng dingin itu, amarahnya sedang membara. Lihat saja dadanya memburu, mulai memburu tanda amarah mulai membakarnya.
"Ada apa?" tanya Gisele heran.
Hans memberi tatapan peringatan padaku, membuatku mau tidak mau akhirnya mengalah, atau Hans akan membuatku malu dengan memaksaku pulang di depan Gisele dan Stefanie.
"Aku harus pulang dulu, Gis. Hans ada janji dengan temannya," bohongku sambil tersenyum paksa pada Gisele. senyum, Hans mengulum senyum menandakan ia puas dengan jawabanku.
"Oh iya, maaf ya, Vin, sudah mengganggu acara kalian.
Kata Gisele sambil membalas senyumku dengan senyum manis, sedangkan Stefanie masih sibuk memilih baju.
"Enggak apa-apa. Aku pulang dulu ya, Gis." Aku cipika-cipiki dengan Gisele.
"Fanie, aku pulang dulu, ya." Aku mendekati Stefanie yang sedang sibuk memilih baju.
"Hati-hati di jalan, ya, Vin," ujar Stefanie sambil cipika-cipiki denganku. Setelah itu, aku berbalik dan mendekati Hans.
Sekilas, kulihat Hans menarik napas lega. Ia segera menarik tanganku keluar dari butik.
"Sudah kenal teman-temanku, kan? Lain lagi, jangan ikut lagi." ketusku sambil keluar dari gedung ma( menuju mobil.
ada apa? Kenapa kamu terus marah-marah? tanya Hans dengan nada kurang senang saat sudah berada di dalam mobil yang melaju di jalan raya.
"Tidak ada apa-apa."
Hans di sampingku menghela napas panjang. Aku tahu dia tidak jawabanku, tapi jawabanku. Tapi aku padanya karena padanya. Kesa( dengan terhadap yang berlebihan pada Viona.
Setelah selesai berdandan, aku langsung turun ke ruang makan. Terlihat Hans dan Viona sedang duduk di dekat meja makan untuk sarapan. Di depan Hans ada kopi kepi hitam, sedangkan Viona memilih susu.
"Pagi..."
Aku tidak menoleh meskipun kutahu Hans sedang menyapaku dengan ucapan selamat pagi.
Aku menarik kursi dan duduk di salah satu kursi kosong yang ada di depan Hans.
"Kak Hans, Vio ikut Kakak ke kantor, ya," kata Viona tiba-tiba dengan suara manja.
Aku mengangkat wajah dan menatap Hans. Hans hanya tersenyum dan mengangguk, menyanggupi permintaan Viona. Aku mendesis jengkel. Untuk apa cewek manja ini ikut ke kantor? Bukannya menyenangkan, malah merepotkan saja.
Dan apa yang kukatakan terbukti. Sepanjang hari, Viona menempel pada Hans dan membuat Hans tidak bisa berkonsentrasi bekerja. Aku hanya bisa menahan amarah yang mulai memuncak.
Okay, I have to admit that I am jealous. Any wife would feel jealous seeing her husband constantly close to another woman, right? Especially since Hans seems to be spoiling Viona, who is clearly very spoiled. Just look at now—after coming home from work, I have to accompany them to the mall because Viona wants to buy a few things.
Pakaian ini sangat menyebalkan.
Giliran menemaniku berbelanja saja, Namun, bosan. Tapi saat bersama sepupunya, dia begitu bersemangat maneken, melupakanku yang menjadi maneken menyaksikan sangat akrabnya mereka. yang dipilih Hans begitu antusias menyambut kemeja yang Viona pilihkan untuknya.
Saat aku sudah bosan melihat tingkah mereka, sebuah suara memanggil namaku, membuatku menoleh.
"Jose?" gumamku kaget. Aku tidak percaya bertemu dengannya di sini. Ah, bodohnya aku. Jose kan ini, jadi kios ponsel di mal ini, pastinya dia ada di sini sepanjang waktu.
"Kok bengong sendirian?" tanya Jose lagi. Aku terdiam, bingung harus menjawab apa.
"Aku ingin bicara," ajak Jose sambil meraih tanganku.
Aku melirik Hans yang masih terlihat sibuk dengan Viona. Ah, aku yakin Hans tidak akan menyadari jika aku menghilang. Akhirnya, aku mengangguk setuju menyambut ajakan Jose.
Pegangan tangan Jose membuatku merasa tidak nyaman. Perlahan, kutarik tanganku, tetapi Jose sama sekali tidak mau melepaskannya, yang membuatku gelisah. Tentu saja, aku tidak ingin ada hubungan apa pun lagi di antara kami.
"Jose, kita tidak mungkin bisa kembali lagi," kataku dengan dada sesak. Aku dan Jose sedang duduk berdua kafe sebuah kafe, yang terletak di lantai atas mal ini.
Jujur, aku merasa takut jika Hans memergokiku. tadi, Sejak tadi berkedip-kedip, menampilkan nama berkedip-kedip memperlihatkan sebagai nama pemanggilnya.
"Tapi kenapa?" tanya Jose menatapku dengan sambil menatapku bingung.
Ah, tentu saja Jose bingung. Selama ini, setiap kali kami putus, aku selalu saja diajak kembali. Selain itu, lagi dia tahu bahwa tahu aku sudah menikah. Aku tidak mengundangnya ke pesta dengan dan Hans waktu itu.
Aku menghela napas panjang.
"Aku mencintaimu, Vin. Maafkan aku tentang hari itu. Aku cemburu buta dan Jose dengan emosional," Ia kata Jose lembut. la meraih tanganku dan meremasnya pelan.
Aku berusaha menarik tanganku, tapi Jose menahannya.
"Aku tidak bisa, Jose," kataku dengan lesu.
Aku tidak bisa, bukan hanya karena sekarang aku telah menikah dengan pria lain, tetapi juga karena sadar bahwa perasaanku baru tidak sadar, yang kukira. pada Jose tidaklah sedalam mana. dikuasai oleh waktu singkat, sadar bahwa telah dikuasai Hans, Aku sadar, aku aku merasa Hans dan karena itulah aku cemburu saat melihatnya sangat mesra dengan Viona.
"Vinsa..." "Vinsa!"
Aku tersentak dan segera menarik tanganku dari genggaman Jose. Aku sadar itu bukan suara Jose.
Itu suara...
Aku berpaling dan mendapati Hans sedang menatap kami dengan wajah merah padam. Di belakangnya,
menatapku penuh tanya.
Jose menatap Hans dengan bingung, sedangkan aku hanya bisa diam terpaku dengan bibir gemetar.
"Jadi begini tingkahmu, ya? Kamu bahkan berani bermesraan dengan pria lain saat bersamaku? jalan Hans dengan bersamaku??" dan Hans marah dengan napas memburu.
Aku terpaku. Seluruh wajah dan tubuhku terasa dingin melihat kemarahan Hans. Dengan sigap, Hans menarik tanganku karena aku berdiri oleh paksaannya.
"Hei, Bung, jangan kasar pada pacarku," kata Jose dengan kesal, terlihat tidak senang dengan perlakuan Hans padaku.
Hans menatap Jose dengan mata yang berkilat-kilat marah. istriku! Ini adalah terakhir kali aku melihatmu menemuinya, atau aku tidak akan tinggal diam!" kata Hans.
Cold.
Jose menatapku dengan bingung.
Sebelum Jose sempat bersuara, Hans sudah menarikku pergi. Jose mengejar kami dan meraih tanganku.
Sedetik kemudian, yang kulihat adalah pemandangan mengerikan yang membuatku menjerit.
Sebuah pukulan mendarat di hidung Jose. Seketika suasana menjadi heboh.
Sekuriti datang untuk meredakan keributan. Aku menatap semua yang terjadi tanpa berkutik. Jose dan Hans terlihat berbicara dengan sekuriti. Viona dan
37
Temannya terlihat panik. Aku hanya bisa menggigit bibir dan berharap masalah ini berlarut-larut. panjang.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, suasana hening menyelimuti kami. Aku hanya bisa diam dan membisu, sedangkan Hans di sampingku tampak sangat dingin. Untunglah Viona memilih menginap di rumah temannya malam ini, jadi aku tidak perlu merasa malu padanya.
Begitu tiba di rumah, aku langsung menaiki anak tangga dan masuk ke kamar kami yang terletak di lantai dua.
diam-diam kamu masih berhubungan dengan mantan pacarmu?"
Baru saja aku menancapkan bokongku di kursi meja rias, suara Hans sudah terdengar membahana. Amarah tersirat jelas dalam suaranya.
Aku mengerutkan kening. Dari mana Hans tahu bahwa Jose adalah mantan pacarku?
"Berapa kali aku harus mengingatkanmu untuk berhenti berhubungan dengan pria lain?" Hans dengan tanya Hans marah. Entah sejak kapan ia sudah berdiri di dekatku.
"Aku tidak berhubungan dengannya, Hans. Tadi kebetulan bertemu," jelasku, jelasku amarah amarahku yang juga mulai tersulut. Salah siapa? Dia sibuk dengan Viona hingga tidak sadar aku pergi darinya.
"Kalau begitu, kenapa tidak pamit padaku?" Hans dengan tanya Hans marah.
Aku menghela napas kesal. "Kamu terlalu asyik dengan sampai hingga melihat aku Iihat lagi aku di mana," kataku jengkel.
Setelah mengucapkan kalimat itu, aku berdiri dan meninggalkan meja rias. Aku berjalan menuju ranjang dan membiarkan Hans mengikutiku.
"Aku tidak terlalu asyik dengannya, kami sedang memilih baju," jelas Hans dengan nada yang lebih lembut. "Sudahlah," kataku sambil mengibas tangan. Aku naik.
Ke atas ranjang, berbaring tanpa menghapus makeup terlebih dahulu.
"Kita belum selesai, Vin," kata Hans sambil duduk di sisi ranjang dan menatapku dalam-dalam.
Aku menghela napas dengan bosan. Dengan berat hati, aku duduk dan bersandar di kepala ranjang, lalu membalas tatapannya.
apa lagi yang ingin kamu bicarakan?" tanyaku dengan nada datar.
Hans menghela napas dan membalas tatapanku dengan sangat intens.
"Aku tidak suka jika kamu diam-diam masih berhubungan dengan mantanmu atau pria lain, katanya dengan rahang mengencang.
Aku kembali menghela napas mendengar kalimat Hans. Berapa kali lagi aku harus menjelaskan pada Hans?
Apakah aku tidak berhubungan dengan Pertemuan Dan pertemuan benar-benar adalah murni kebetulan.
"Aku tidak berhubungan dengan siapa pun, Hans.
kali aku harus mengatakan itu padamu?"
Hans di depanku terdiam. Ia meremas rambutnya dengan frustrasi.
Setelah satu menit yang hening dan terasa lama, akhirnya Hans berdiri.
terakhir kali aku melihatmu bersama pria lain.
lagi kamu berani macam-macam, aku akan mengurungmu di rumah dengan segudang pengawal agar kamu tidak bisa berulah," katanya tegas. Setelah itu, ia berlalu menuju kamar mandi.
Aku terpaku menatap sosoknya yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Darahku berdesir. terlihat Mengapa Hans terkesan sangat posesif?
-- Next Chapter--
Bab 4
Suasana Bandara Soetta pagi itu tampak sibuk oleh hilir mudik orang. Deeva salah satunya. Kakinya melangkah dengan mantap ke luar bandara. Deeva menghirup udara pagi Jakarta yang jauh dari kata segar. Namun, setidaknya, di sinilah ia pertama kali bernapas dan menatap dunia. Deeva pun keluar dari kawasan bandara dengan menggunakan taksi. Tidak ada jemputan atau orang yang menunggu kedatangannya. Namun, ia terlihat sudah terbiasa dengan hal itu.


