no fucking license
Bookmark

Terpaksa Menikah



“Benahi pakaianmu! Jangan membuat orang lain curiga! Kalau kau menganggap dirimu hina, baguslah! Namun, bukankah itu sudah kewajiban istri melayani suami? Sekarang lepaskan aku dari hidupmu!” ujar Dipta.
-- Blurb --
Informasi Cerita :

Judul Cerita

Penulis

Total Chapter

Hak Akses

Genre

:    Terpaksa Menikah

:    Siti Fatonah

:    24 Chapter

:    Free/Gratis!

:    Romance


DISCLAIMER!

Karya ini ditulis oleh penulis di luar fraksikata.com.Jika kamu menyukainya, traktir secangkir kopi lewat tombol di akhir cerita. Bila penulis keberatan, silakan hubungi kami untuk penurunan atau penyematan no.rek/e-wallet..



FeatureImage

Bab 1

Seorang laki-laki tampan merasa tidak tenang di atas kursi yang diduduki. Tangannya memijit batang hidung, tanda sedang berpikir keras. Namun, tidak

berapa lama, senyum sinis tersungging di wajahnya. "Aku tidak peduli soal karirku, mau kau menghancurkannya atau apa pun. Walau kau mau menghancurkan keluargaku, sahabat, dan wanita yang kucintai, silakan! Aku yakin, mereka akan lebih mempercayaiku dibandingkan wanita seperti kau!" ucap lelaki tampan itu dengan tegas.

Di seberang tempat laki-laki itu duduk, terdapat wanita cantik sedang menampilkan senyum manisnya. "Baiklah kalau seperti itu. Aku akan mengeluarkan kartu As, supaya kau mau menikah denganku!" ucap wanita cantik itu dengan senyum menawan. Laki-laki yang ada di hadapannya menatap wanita itu dengan tatapan tajam.

Wanita itu tampak tidak terpengaruh oleh tatapan tajam laki-laki itu. Dikeluarkan sebuah foto, lalu disodorkan pada laki-laki yang ada di hadapannya.

Laki-laki itu menerimanya. Matanya seketika terbelalak dan menatap wanita itu dengan sinis. "Apa ini?" pekiknya. Emosi sudah menguasai dirinya kali ini. Namun, wanita itu tetap tenang, senyum manis tidak pemah hilang dari wajah cantiknya.

"Itu foto kita berdua waktu menghabiskan malam bersama, Sayang."

"Sejak kapan aku menghabiskan malam bersamamu?" Laki-laki itu sudah berteriak, tanda benar-benar emosi. Namun, wanita itu hanya terkikik geli, lalu berdiri dengan anggun.

"Redam emosimu itu, Sayang! Mulailah berpikir! Aku tunggu jawabanmu besok," ucap wanita itu.

Wanita itu menghampiri laki-laki tersebut dan mencium pipinya. Laki-laki itu hanya diam, tidak ingin emosi menguasai diri, lalu bertindak gegabah. Bisa-bisa, wanita itu memanfaatkan situasi.

"Aku tidak ingin menikah denganmu, Wanita Sialan!" ucap laki-laki itu dingin.

"Jangan gegabah! Pikirkanlah kalau sampai foto itu kusebar ke media kepercayaan orang-orang terdekatmu! Karirmu akan hancur seketika."

pergi. Setelah mengucapkan kata-kata itu, wanita itu beranjak.


"Wanita Sialan! Kau memaksaku menikahimu? Wanita macam apa kau?!" teriak laki-laki itu lagi.

Wanita itu menghentikan langkah dan menatap laki-laki yang sedang emosi itu dengan senyum manisnya. "Menikahlah denganku, walaupun terpaksa! Wanita sialan ini yang kelak akan menjadi istrimu. Aku tunggu jawabanmu. Aku pergi dulu, Calon Suamiku," ucap wanita itu dengan suara lembut, lalu melanjutkan langkahnya, meninggalkan ruangan restoran VIP tersebut.


***


cara musik pagi itu dipenuru penonton. Acara outbox begitu meriah oleb suara gemuruh penonton, kala artis yang mereka nantikan naik ke atas panggung untuk mempromosikan film yang dibintanginya.

"Diptaaa!" teriak para penonton histeris saat artis yang dipanggil Dipta itu memberikan senyum.

Orang lain biasa menyebutnya Dipta. Nama aslinya Pradipta Bagaskara, seorang artis yang sedang populer saat ini. Wajah rupawan. Alis tebal menghiasi mata indahnya, ditambah hidung mancung, dan bibir seksi yang semakin menambah ketampanan wajah. Senyum ramah yang selalu diperlihatkan di setiap kesempatan pun membuat kaum hawa berteriak histeris, mengelu-elukan namanya.

"Wuah, rame banget hari ini, yah? Ayo, Dipta, sapa para penonton!" ucap pembawa acara musik tersebut, Andhika Pratama.

"Pagi semua!" sapa Dipta.

"Pagiii!" teriak para penonton dengan kompak.

Acara pun dilanjutkan dengan obrolan-obrolan ringan seputar film yang dibintangi Dipta. Setelah mempromosikan film, Dipta pun turun dari panggung dan langsung disambut oleh asisten pribadi yang langsung memberikan air mineral kepadanya. Dipta menerima dengan senyum geli.

"Kenapa kamu selalu memberikanku air mineral, Nadia? Bahkan, tadi aku tidak terlalu banyak bicara," protesnya. Namun, dengan suara sarat akan kasih sayang.

"Mau tadi banyak bicara atau tidak, kamu harus tetap banyak minum. Itu baik untuk kesehatanmu," jawab perempuan yang bemama Nadia itu.

"Oke, baiklah, Calon Ibu Dokter! Aku akan meminumnya. Namun, ngomong-ngomong, bukannya kamu ada kuliah hari ini?"

"Ya. Hehehe  "

"Ya sudah, ngapain masih di sini? Cepat berangkat kuliah sana! Aku menjadikanmu asisten pribadi, bukan untuk bekerja. Namun, untuk menemaniku, supaya fans tidak curiga," ucap Dipta dengan suara pelan, yang hanya bisa didengar oleh Nadia.

"Baiklah, Bapak Superstar! Kalau begitu, aku berangkat kuliah dulu. Antarkan aku sampai ke mobil, ya?"

Dipta tersenyum gemas dan mencolek hidung mancung kekasihnya itu.

"Bay, gue antar calon ibu dokter ini ke mobilnya dulu, ya?" izin Dipta pada Bayu, manajernya.

"Ya. Tapi, jangan lama-lama! Habis ini masih ada segmen lu," jawab Bayu.

Dipta hanya mengangguk, lalu melangkah beriringan menuju mobil Nadia yang terparkir tidakjauh dari lokasi.

Nadia pun masuk mobil, diikuti dengan Dipta. Sesudah pintu mobil tertutup, mereka berpelukan.

"Belajar yang benar, jangan memikirkan aku terns!" ujar Dipta sambil mencium kepala gadisnya itu.

"Aku janji akan belajar yang benar. Namun, kalau soal tidak memikirkanmu, aku nggak janji." Nadia tersenyum kuda dan mendapatkan belaian sayang di kepala.

"Oke. Soal yang satu itu, aku tidak keberatan," ucap Dipta, yang langsung mendapatkan ciuman dari kekasihnya.

"Kalau begitu, Bapak Superstar, aku berangkat dulu.

Keluar sana dari mobilku!"

"Jadi, ngusir, nih?" goda Dipta.

"Kalau nggak diusir, nanti Kak Bayu nyusul lagi ke sini, karena artisnya lama nggak nongol-nongol."

Dipta pun keluar dari mobil setelah mencium kening kekasih yang mewarnai hari-harinya. Nadia Prameswari nama gadis itu. Mahasiswa fakultas kedokteran dan juga teman masa kecilnya.


***


Di belahan bumi lain, tampak seorang gadis cantik sedang tersenyum meperhatikan layar laptop yang sedang menampilkan acara musik Indonesia. Di mana artis yang sedang digandrungi banyak wanita itu sedang melakukan tantangan dubsmash di panggung Outbox. Teriakan penonton makin riuh. Dipta begitu memesona dan menghipnotis kaum hawa di mana pun berada. "Kau akan jadi milikku. Tunggu aku, My Prince!" gumam gadis cantik itu sambil tersenyum manis.

Senyuman manis gadis itu terhenti kala melihat teleponnya berbunyi. Panggilan masuk dari sang kakek. Dengan malas, ia pun mengangkatnya.

"Pulang ke Indonesia, Deeva! Sudah cukup kamu tinggal di sana," ucap kakeknya.

"Aku akan pulang, tetapi kakek harus bisa menjamin kebahagiaanku," jawab Deeva.

"Kebahagiaan apa pun yang diinginkan cucu Kakek, akan Kakek kabulkan."

"Aku bagian dari keluarga kalian, kan? Kalau begitu, aku ingin, bukan hanya diakui, tetapi diberikan kasih sayang, layaknya keluarga."

"Kakek menyayangimu. Apa itu tidak cukup? Kamu tahu alasannya kenapa mereka seperti itu? Berhenti meminta hal yang mustahil!"

Deeva tertawa terbahak. Namun, matanya memancarkan kesedihan yang mendalam. "Aku tahu, aku hanya seorang manusia yang tidak diinginkan siapa pun. Bahkan, ibu kandungku membuangku, kan, Kek?" tanya gadis itu lirih.

"Pulanglah dan jangan berpikiran macam-macam! Kakek tunggu di Indonesia."

Tut. Tut. Tut. Sambungan telepon itu pun terputus. Membuat Deeva menghela napas berat. Ia harus kembali ke tanah air, tanah kelahirannya. Tanah ia dibesarkan dan dilukai oleh sebuah kenyataan, yang membuatnya menjadi seorang wanita antagonis.

Kedalaman hati seseorang siapa yang tahu. Di kehidupan ini, yang bertampang jahat belum tentu jahat. Yang bertampang baik, belum tentu baik. Itu hanya sebuah identitas untuk mengenali antar manusia satu dan yang lainnya.

Deeva mengetik sebuah pesan di ponselnya. Setelah jemarinya lincah menari di layar ponsel, ia terdiam. Ia seperti berpikir,  tetapi  tidak  berapa  lama,  ia  pun menyentuh send, sehingga pesan itu terkirim.

To :grandpa

Aku ingin Pradipta Bagaskara menjadi milikku, apa pun caranya.

Karena, itu kebahagiaanku. la sumber kebahagiaanku.


Tidak berapa lama, balasan pesan pun diterima. Deeva membaca dan menyunggingkan senyum manis.

From : grandpa

Dia akan menjadi milikmu kalau memang dialah yang membuatmu bahagia. Pulanglah!

Deeva bangun dari ranjang, lalu memasukkan baju-bajunya ke dalam koper. Setelah semua selesai, ia pun bersiap-siap. Kini, tubuh jenjang Deeva terbalut dress putih yang panjangnya di bawah lutut dan berlengan pendek. Rambut hitam panjang dibiarkan terurai, menjuntai sampai ke pinggang. Kaki jenjangnya pun dihiasi heels hitam yang kontras dengan kulit seputih susu. Mata tajamnya ia bingkai dengan kacamata hitam. Membuat gadis bemama Adeeva Afsheen Hardinata itu begitu menawan.

Kakinya melangkah meninggalkan apartemen yang sudah lima tahun ini ia tinggali. "Selamat tinggal, Paris! Doak.an, supaya aku mendapatkan kebahagiaan yang tidak pemah didapatkan

selama ini!" gumam Deeva dan langsung masuk ke dalam mobil yang akan membawanya ke bandara.

Gadis itu menarik koper dengan langkah begitu anggun. Diinginkan. Hanya itu yang aku inginkan di dunia ini. Bila itu mustahil, biarkan aku mendapatkannya! Bagaimanapun caranya, aku datang, Calon Suamiku, gumamnya dalam hati.

 


-- Next Chapter--


Bab 2

Suasana Bandara Soetta pagi itu tampak sibuk oleh hilir mudik orang. Deeva salah satunya. Kakinya melangkah dengan mantap ke luar bandara. Deeva menghirup udara pagi Jakarta yang jauh dari kata segar. Namun, setidaknya, di sinilah ia pertama kali bernapas dan menatap dunia. Deeva pun keluar dari kawasan bandara dengan menggunakan taksi. Tidak ada jemputan atau orang yang menunggu kedatangannya. Namun, ia terlihat sudah terbiasa dengan hal itu.

Taksi yang ditumpangi Deeva berhenti di depan sebuah rumah mewah, yang membuat sopir taksi pun takjub. Setelah membayar, Deeva melangkah masuk ke halaman rumah yang sangat luas tersebut.

Halaman itu dibagi dua. Bagian halaman pertama dihias berbagai bunga, rumput hijau, dan pepohonan rindang. Halaman kedua terdapat kolam besar, membuat rumah itu tampak indah.

Deeva kini berdiri di depan pintu rumah. Lalu, menekan bel yang menempel di samping pintu. Tidak berapa lama, perempuan yang sudah berusia senja membukakan pintu.

"Deeva? Masyaa Allah, ini kamu, Nak?" pekik perempuan itu senang.

"Ya, Mbok, ini aku," jawab Deeva dengan suara serak. Ia kangen sekali dengan perempuan yang merawatnya sedari bayi dan sudah dianggap sebagai ibu sendiri.

"Alhamdulillaah, akhimya, kamu pulang juga," ucap perempuan berusia senja itu, mengucap syukur dan langsung memeluk Deeva erat. "Ayo, masuk! Kebetulan mereka sedang sarapan," ajak si Mbok.

Namun, Deeva masih diam di tempatnya.

Hadapilah! Waiau bagaimanapun, mereka keluargamu!

tegas Deeva dalam hati.

Deeva menghela napas, lalu mengikuti si Mbok masuk. Deeva melihat mereka, keluarganya. Ada ayahnya yang bernama Harry Hardinata, ibu yang bernama Liliana Hardinata, dan kakak laki-laki bernama Adarma Hardinata, yang kini menatapnya tanpa tatapan senang atau sapaan hangat. Mereka hanya menatap sekilas dan melanjutkan sarapan.

"Semua masih sama, temyata. Namun, izinkan aku menyapa kalian! Selamat pagi, Pa, Ma, Kak! Deeva pulang," ucap Deeva lantang, membuat dentingan piring itu berhenti.

"Ma, Papa berangkat kerja dulu," ucap seorang laki-laki yang dalam akta kelahiran sebagai ayah Deeva. Kini, laki-laki itu beranjak meninggalkan ruang makan dan melewati anaknya yang meghilang selama lima tahun. Tanpa pelukan hangat atau pun omelan khawatir.

"Pa, apa kau masih ingat darahmu ini mengalir di tubuhku? Apa kau tidak merindukanku sama sekali?" Pertanyaan Deeva hanya dijawab oleh hembusan angin yang menyuplai oksigen di ruangan itu. Suara kekehan terdengar nyaring di ruang makan keluarga Hardinata.

"Kemajuan yang luar biasa, Adik Kecil. Sekarang kau pandai sekali berbicara," ujar Darma, kakak laki-laki Deeva. Kini lelaki itu berdiri, menjulang di hadapan Deeva sambil menatapnya sinis.

"Kenapa? Kau merasa takut akan kemampuanku ini,

Kak?"

"Hahaha... takut? Kau harus tahu, aku tahu banyak sekali

kenyataan pahit soal hidupmu, yang akan membuatmu tidak bisa tersenyum lagi."

"Katakanlah kenyataan pahit itu, Kak! Semuanya! Dan lihat, apa aku masih bisa tersenyum ataukah tidak!"

"Sombong sekali kau! Satu kenyataan, kau tidak diinginkan oleh ayahmu sendiri, membuat masa remajamu kacau. Ditambah kenyataan, kau bukan anak ibuku. Kau kabur dan baru kembali. Apa kau siap mendengar kenyataan yang lain dan tetap mempertahankan senyum itu di bibirmu?" ucap Darma, melecehkan.

Mendengar ucapan itu, Deeva tetap bisa mempertahankan tatapan tajamnya. Tatapan yang tidak terlepas dari wajah Darma. "Aku akan mempertahankan senyuman ini. Jadi, ceritakanlah semuanya! Aku sudah siap mendengarnya."

"Oke. Aku akan memberitahumu satu persatu. Yang akan kuberitahu pertama kali yaitu, kau masih tidak diinginkan di keluarga ini. Jadi, jangan berharap apa pun!"

"Kakek menginginkanku," timpal Deeva.

"Kakek? Hahaha   Kau harus ingat pepatah, orang yang

sangat dekat denganmu adalah orang yang akan paling melukaimu. Lihat apa pepatah itu berlaku terhadapmu!"

Setelah mengucapkan kata-kata itu, Darma meninggalkan ruangan makan. Kini, hanya ada Deeva, Mbok, dan nyonya besar yang masih menyantap sarapannya, tanpa terganggu dengan obrolan anaknya dan Deeva.

"Kau tidak berubah, Ma. Selalu menjadi pendengar yang baik," ucap Deeva sarkartis.

Deeva pun kembali melangkahkan kakinya menuju kamar tidur dengan diantar si Mbok.

"Nak, beristirahatlah! Mbok tinggal dulu."

Deeva hanya mengangguk. Rasanya, stok kata-katanya sudah habis, hanya untuk sekadar mengucapkan ya. Tubuh jenjangnya direbahkan di atas ranjang. Matanya ditutup rapat-rapat.

"Pradipta Bagaskara, apakah kau akan memberikan perlindungan dan perbaikan untuk hatiku yang sudah koyak? Untuk memaksamu melakukan apa yang kuinginkan nanti, maafkanlah!" gumarnnya lirih, lalu mengambil selembar foto dirinya yang wajahnya terbalut banyak perban sedang memakai baju rumah sakit, ditemani Dipta yang masih memakai seragam SMA.

"Aku harap, kau masih berhati hangat, seperti dahulu, Dipta," gumarnnya lagi. Tidak berapa lama pun, ia terlelap, akibat kelelahan hati dan fisik.

Pintu kamar Deeva terbuka, memperlihatkan laki-laki yang tetap segar di usia yang tidak lagi muda. Ia Adianto Hardinata, orang terkaya kedua se-Indonesia, yang tak lain, kakek Deeva.

Ia melangkah mendekat ke ranjang cucunya yang sedang tertidur pulas.

"Apa pun akan Kakek lakukan untuk membuatmu bahagia. Kesalahan itu Kakek yang mengawalinya. Bila dengan membuatmu bahagia bisa menebus semuanya, akan Kakek lakukan. Kakek menyayangimu, Deeva," ucap Adianto dengan suara lirih, lalu mencium kening cucunya itu dengan sepenuh rasa sayang.


***


Di sebuah kamar tidur yang lain, Dipta masih terlelap dalam tidur. Jadwal keartisan membuatnya masih terjaga sampai dini hari. Tidur pun menjadi tidak teratur. Ia tertidur dengan nyenyak, begitu pun Deeva.

Setelah mereka terbangun, akan banyak hal yang akan dilewati. Melukai dan dilukai selalu jadi hal yang pasti ada di setiap jalan yang dilalui. Entah itu terpaksa, disengaja, maupun tanpa disadari!

Goresan Iuka selalu mengintai orang-orang yang berkecimpung di dunia ini, karena goresan itu mengantarkan pada keikhlasan dan rasa syukur. Bahwa kita sebagai manusia masih memiliki perasaan untuk merasakan. Karena, di mana ada kesusahan, di situlah ada kemudahan. Di mana ada kelukaan, di situlah ada kebahagiaan.


***


Suara heels beradu nyaring dengan lantai manner di sebuah kantor stasiun TV. Pegawai yang sebagian sudah  meninggalkan  kantor  membuat  suasana

sedikit sepi. Namun, masih terlihat pegawai yang barn datang bergantian shift dengan rekan-rekannya.

Sepatu heels yang membawa pemiliknya itu kini berhenti di dalam lift, membuat pegawai stasiun TV yang ada di dalamnya juga memperhatikan si pemakai heels itu. Pegawai stasiun TV yang kebanyakan kepo dan kritis ketika melihat orang barn mulai bertanya, "Mbak pegawai barn?" tanya salah seorang pegawai laki-laki.

Perempuan yang dipanggil mbak itu menatap pegawai tersebut hingga membuatnya salah tingkah. Si pemilik heels itu ternyata sangat memesona.

"Bukan, saya bukan pegawai barn. Saya ke sini mau bertemu Pak Danna," jawab si pemilik heels yang memesona itu.

"Apa Mbak kekasih Pak Danna?" tanya pegawai itu lagi. "Bukan, saya adiknya," jawab perempuan itu. Membuat pegawai laki-laki itu bungkam.

"Maafkan atas kelancangan saya, Mbak! Saya benar-benar tidak tahu kalau Mbak ini temyata adiknya Pak Darma."

"Tidak masalah! Saya sudah terbiasa tidak dikenali. Namun, kalau ingin mengenal siapa saya, lihatlah silsilah keluarga Hardinata! Kebetulan saya ada di sana, di mesin pencarian."

"Ya, nanti akan saya lihat. Sekali lagi, maafkan saya, Mbak!"

"Dimaafkan."

Pegawai laki-laki itu pun keluar lift, karena sudah sampai di lantai tujuannya.

Pegawai laki-laki itu langsung bergegas duduk di meja kerjanya. Menghidupkan komputer, lalu mengetik nama silsilah keluarga Hardinata di mesin pencarian Google dan langsung menampilkan artikel-artikel tentang keluarga terkaya kedua se-lndonesia itu.

Pegawai itu meng-klik sebuah foto keluarga Hardinata, lalu terbukalah sebuah artikel tentang silsilah keluarga Hardinata. "Adeeva Afsheen Hardinata. Kenapa tadi wajahnya terlihat seperti kakak tiri Cinderella? Di foto keluarga ini, kecantikannya bagai Cinderella yang lugu dan polos. Kehidupan di luar negeri, benar-benar mengubahnya. Sayang sekali!" gumam pegawai laki-laki itu, mengomentari perubahan diri Deeva saat ini.

Kembali lagi ke tempat di mana Deeva berada kini, gadis itu sedang berdiri di depan meja sekretaris kakaknya.

"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanya sekretaris itu, ramah.

"Siapa namamu?" Deeva malah balik bertanya.

Sekretaris itu tampak tidak kesal karena pertanyaannya

diabaikan. Ia malah tersenyum dengan manisnya. "Nama saya Anindiya Gahm Purnama," jawab sekretaris itu.

"Nama yang bagus! Berapa umurmu?" "20 tahun, Mbak."

"Sangat muda sekali untuk menjadi sekretaris CEO HNTV Group! Berarti, kau masih kuliah?"

"Ya, Mbak."

"Pak Darma sangat baik mempekerjakan pegawai yang masih mengenyam pendidikan, di posisi setinggi ini!"

"Ya, Bapak CEO memang baik sekali!"

"Baguslah. Setidaknya, ia masih punya hati! Saya Adeeva Afsheen Hardinata, usia 23 tahun," ucap Deeva. Namun, sekretaris itu malah terpaku di tempat, seolah habis mengetahui kenyataan yang mengejutkan. "Halo, Anindya! Kau mendengar ucapan saya?"

"Ah, ya, Mbak! Senang berkenalan dengan Mbak!"


"Pak Darma ada di dalam?" tanya Deeva.

"Ada, Mbak. Sebentar, saya akan memberitahu Pak Darma atas kedatangan Mbak." Nindy akan mengangkat teleponnya, tetapi dihentikan oleh Deeva.

"Tidak usah! Tidak usah memberitahu soal kedatangan saya! Kalau begitu, saya masuk dulu."

Sekretaris itu mengangguk. Deeva pun masuk ke ruangan Darma tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Sepeninggal Deeva, sekretaris itu jatuh terduduk di kursinya. Tatapan matanya menerawang. "Akhirnya, aku bertemu dengannya, Bu." gumam gadis yang bemama Anindya itu.


***


Di ruangan itu, kedua kakak adik seayah itu saling menatap tajam. "Apa yang kaulakukan di sini?" tanya Darma, sinis.

"Aku butuh bantuanmu, Kak."

"Butuh bantuanku? Berani sekali kau!" 

"Bantulah aku untuk mendapatkan apa yang kuinginkan!" Darma tertawa, mendengar ucapan adik seayahnya itu. "Bodoh! Kaupikir, aku akan membantumu? Bukankah aku sudah bilang, kau jangan berharap apa pun!"

"Kalau begitu, jangan salahkan aku kalau foto ini ada di tangan tunanganmu itu!" ucap Deeva sambil melemparkan sebuah foto. Foto yang memperlihatkan Darma sedang diam-diam mencium bibir sekretarisnya yang ketiduran di meja kerja. Darma menatap tajam Deeva. "Kau mengancamku, Adik Kecil?"  

"Kalau itu disebut sebagai ancaman, berarti aku memang mengancammu." 

Rahang Darma mengeras. Tampak ia sedang berusaha meredam emosinya.

"Tunangan cantik untuk memperbanyak kekayaan serta gadis polos sekretaris kesayangan. Kalau begitu, siapa yang ada di hatimu, Kak?"

"Diam kau, Adik Sialan!" geram Darma.

"Pasti Anindya yang ada di hatimu. Kalau kau memang mempunyai hati."

"Aku bilang, diam! Diam!" teriaknya, marah.

Deeva hanya terkekeh kecil. Ia tidak lari ketakutan, seperti dulu. Kali ini, ia tetap berdiri tegak, menatap kakaknya yang sedang marah. Tanpa tatapan takut, melainkan tatapan mengintirnidasi.

Deeva menyimpan selembar foto lagi di meja kakaknya. Ia tidak memedulikan bahwa kakaknya itu sedang marah. "Laki-laki di dalam foto itu, buatlah ia menjadi rnilikku! Ada acara penyambutan di kantor manajemen artis Kakek untukku. Datanglah ke acara itu! Jadilah kakak yang baik, sehingga laki- laki itu mau menajadi milikku tanpa perlawanan! Apa pun caranya, aku mengandalkanmu, Kak. Kalau begitu, aku permisi."

Deeva hendak berlalu dari ruangan kakaknya. Ketika ia memegang kenop pintu, ucapan kakaknya membuat ia terdiam.

"Miris sekali! Gadis kecil yang sedang tidak berdaya di rumah sakit, hanya ditemani oleh orang lain, bukan oleh ayah, ibu, kakak, bahkan kakek yang katanya menginginkannya."

Deeva tersenyum miris, tetapi ia berbalik, dan menatap kakaknya dengan senyuman menawan. "Tidak masalah sebenarnya Kakek menginginkanku ataukah tidak! Yang pasti, ia ada di pihakku sekarang," ucap Deeva sinis.

Gadis itu meninggalkan ruangan kakaknya dengan senyum terkembang di bibir.

"Sudah selesai urusannya, Mbak?" tanya Anindya. "Sudah, saya permisi!"

Sekretaris itu hanya mengangguk.

Beberapa menit kemudian, Deeva telah duduk di dalam mobilnya.

"Mau ke mana kita sekarang, Non?" tanya si sopir. "Ke salon."


***


Di lokasi syuting, tampak Dipta sedang membereskan barang-barangnya. "Syuting hari ini akhimya kelar juga. Jadwal gue selanjutnya apa, Bay?"

"Jadwal selanjutnya, menghadari acara penyambutan cucu bos kita."

"Cucu pak Adianto? Mungkinkah dia?" gumam Dipta. Perkataan Dipta terhenti, lalu ia terdiam. Seperti pikirannya ditarik ke masa itu. Masa di mana ia dipertemukan satu ruang dan waktu dengan gadis itu. Lamunannya buyar ketika Bayu menepuk bahunya.

"Sudah, jangan kebanyakan ngelamun! Ayo kita siap-siap!" 

"Oh, oke! Gue akan ngajak Nadia kalau begitu," ucap Dipta, lalu menghela napas.


-- Next Chapter--


Bab 3

Suasana kantor manajemen artis yang bernama Hardinata Nusantara Media itu tampak ramai. Banyak orang berdatangan ke sana, baik itu artis yang berada dalam naungan manajemen, maupun rekan bisnis Adianto Hardinata.

Adianto sengaja mengadakan penyambutan itu di manajemen yang ia kelola. Ia ingin memperkenalkan Adeeva sebagai pengganti dirinya, sekaligus penyambutan cucu yang menghilang selama lima tahun.

Hardinata Group adalah perusahaan besar yang membawahi stasiun televisi yang bernama HNTV, singkatan dari Hardinata Televisi, yang dipimpin oleh Adarma Hardinata, juga perusahaan umum seperti hotel, pusat perbelanjaan, dan resort yang dipimpin oleh Harry Hardinata. Hardinata Group perusahaan yang mencakup banyak hal. 

Ruangan yang digunakan untuk acara penyambutan itu tampak sudah dipenuhi para tamu undangan. Pintu ruangan itu terbuka. Masuklah sang tuan rumah, Adianto Hardinata dan Adeeva Afsheen Hardinata.

Adianto masih tampak gagah, walau usianya sudah senja. Sedangkan Adeeva begitu memesona dalam balutan long dress hitam yang mempunyai belahan sampai paha. Ketika ia berjalan, belahan long dress itu memperlihatkan kaki jenjang, yang mengenakan heels silver, dan tampak sempurna. Rambutnya dikepang satu dan disampirkan di bahu kanan, sehingga mempermanis penampilan.

Semua orang menatap takjub pada Deeva. Deeva sendiri hanya memberikan senyum manis.

Tampak Dipta di antara kerumunan para tamu undangan dan menatap Deeva dari tempatnya berdiri.

"Jangan bilang, kamu juga terpesona sama dia!" celoteh Nadia, kekasih yang berada di sampingnya.

Dipta tersenyum, lalu merangkul bahu gadisnya itu. "Tentu tidak, Sayang. Aku hanya melihat, ia begitu banyak berubah."

"Memangnya kamu mengenal Deeva, sampai tahu dia begitu banyak berubah?"

Dipta berdehem, lalu menampilkan senyumnya lagi. Beberapa saat setelah terdiam, ia bergumam, "Tidak. Hanya saja Pak Adianto sering menceritakan cucunya kepada kami, para artis. Beliau selalu memajang foto Deeva di ruang kerjanya. Di fotonya, ia tampak lugu dan polos."

Nadia mengangguk-angguk saja. "Kalau dulu ia begitu lugu, berarti ia yang sekarang memang banyak berubah. Namun, tetap cantik. Ya, kan?"

"Tentu. Ia cantik. Namun, di mataku, kamu yang paling cantik," gombal Dipta, membuat Nadia tersipu.


***


Acara penyambutan pun dimulai. Adianto memperkenalkan cucunya, sekaligus kelak yang akan menggantikannya. "Cucuku masih berusia 23 tahun. Sekarang, ia harus melanjutkan studi yang sempat tertunda. Kelak, mohon dukungan kalian ketika ia sudah siap memegang perusahaan ini!" ucap Adianto.

Semua orang di sana bertepuk tangan dengan semangat.

Acara pun berlanjut dengan lebih santai. Saling sapa satu sama lain dan menyantap makanan yang dihidangkan.

Deeva selalu menampilkan senyum manis ketika rekan kerja kakeknya menyapa.

"Dipta, kenapa kau diam di situ? Ke s1m, saya perkenalkan pada cucu saya!" ucap Adianto sambil menghampiri Dipta dan Nadia yang sedang menyantap hidangan. 

"Ah, Kek! Nanti saya yang akan menghampiri Kakek. Kenapa Kakek yang menghampiri saya?" ucap Dipta tidak enak. Membuat Adianto menepuk bahu pemuda itu.

Semua artis asuhannya memanggil Adianto dengan sebutan kakek, supaya terkesan lebih akrab dan kekeluargaan. Itu permintaan dari Adianto sendiri.

"Kamu terlalu lama berada di situ. Bergabunglah bersama saya!" jawab Adianto. "Dipta, ini cucu saya. Deeva."

"Hallo, saya Dipta!" sapa Dipta, mengulurkan tangan.

Deeva pun menyambutnya dengan lembut.

"Tanganmu masih hangat, seperti dulu. Senang bertemu denganmu lagi, Kak Dip!"

"Kalian sudah saling mengenal rupanya? Ya sudah, saya tinggal dulu!"

Adianto pun meninggalkan Deeva dan Dipta, juga Nadia yang ada di antara mereka.

Dipta hanya tersenyum canggung. Setelah jabatan tangan itu terlepas, dirangkulnya pinggang Nadia. "Kenalkan, ini Nadia, kekasihku!" ucap Dipta.

Deeva tersenyum manis dan menyambut uluran tangan Nadia. "Senang bertemu denganmu, Nadia! Untung, tidak ada wartawan di sini! Kalau ada, mungkin publik akan geger."

"Aku tidak akan membiarkan media mencium hubungan kami. Jadi, publik tidak akan geger," jawab Dipta.

"Oh, oke! Kalian tampak seras1. Kalau begitu, saya pennisi."

Namun, sebelum Deeva menjauh dari sepasang kekasih tersebut, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Tampak Darma dengan banyak wartawan.

"Oh, Adikku, selamat datang kembali! Maaf, Kakak terlambat!" ucapnya, lalu memeluk Deeva. Wartawan pun tampak antusias, meliput pertemuan adik kakak itu.

"Kalian tampak sangat dekat," ucap seorang wartawan. "Tentu saja. Kami dekat, karena kami keluarga. Ya, kan,

Sayang?"

"Tentu saja. Sebagai keluarga, memang seharusnya saling menyayangi, bukan?" jawab Deeva. Membuat Darma tersenyum palsu.

"Hei, Pradipta, artis yang sedang naik daun, senang bisa bertemu denganmu secara langsung! Para pegawai wanita selalu membicarakanmu  di  kantor,"  ucap  Darma,  ramah. Dipta hanya tersenyum sopan, menanggapinya. "Sebentar, aku seperti mengingat sesuatu. Aku selalu membawa foto ini ke mana-mana. Poto yang kutemukan di kamar adikku."

"Bolehkah kami tahu fotonya?" tanya para wartawan. "Tentu kalau adikku mengizinkan."

"Foto apa memang, Kak? Bukan fotoku yang memalukan, kan?" tanya Deeva, dengan suara dibuat manja.

"Tentu bukan, dong, Sayang!"


"Kalau bukan, yah, perlihatkan saja! Toh, aku ini sudah cantik sedari lahir!"

Foto itu pun diperlihatkan dan para wartawan pun menyorotnya.

"Bukankah yang memakai seragam SMA itu Pradipta?" tanya wartawan. Membuat suasana di ruangan mendadak hening.

"Kak, foto apa yang Kakak perlihatkan?" teriak Deeva, seolah kesal. Deeva mengambil foto itu dan menyimpannya di tas tangan.

"Saudara Dipta, apa Anda mengenal Nona Deeva sebelumnya?" tanya seorang wartawan lain, bertanya pada Dipta.

"Ya, saya mengenalnya dulu."

"Jangan-jangan kalian memiliki hubungan khusus?" tanya wartawan lagi. Menduga-duga seperti apa kedekatan mereka.

Ketika Dipta akan berbicara, semua wartawan kembali menyorot Deeva, karena ia mengambil alih jawabannya.

"Tentu kami memiliki hubungan khusus kalau kalian memang ingin tahu," ucapnya, membuat ruangan itu dipenuhi bisik-bisik orang.

Deeva melangkah, mendekat ke arah Dipta, lalu menatap tajam Nadia. "Bisakah kau tidak berdiri di sini? Ini tempatku, di sampmg kekasihku," ucap Deeva, membuat Nadia bergeser terpaksa.

Setelah Nadia bergeser, Deeva merangkul tangan Dipta dengan sepenuh rasa sayang.

Dipta masih terdiam. Ia terlalu kaget untuk membaca situasi apa itu. Apa maksudnya itu.

"Saudara Dipta, jadi kalian benar-benar memiliki hubungan?" tanya wartawan kepada Dipta yang masih terdiam, tidak berbicara sama sekali.

"Sepertinya, ia marah karena aku membeberkan rahasia hubungan karni. Namun, aku akan memberitahukan satu rahasia lagi. Kami akan menikah dalam waktu dekat."

Kini, suasana menjadi hening. Dipta kini menatap tajam Deeva yang berada di sampingnya. "Apa maksudmu?" tanyanya, menuntut.

"Kita akan menikah, Sayang," jawab Deeva.

Dipta akan kembali protes, tetapi mulutnya langsung ditutup oleh ciuman Deeva yang lembut. Membuat wartawan berseru heboh.

Darma hanya tertawa sinis. "Sudah cukup berita hari ini!

Biarkan adikku menuntaskan rasa rindunya!" ucap Darma.

Para wartawan di ruangan itu pun bubar dengan berita yang akan menghebohkan publik keesokan harinya.

Deeva melepaskan ciumannya.

"Dipta, kenapa kau tidak bilang kalau kau berhubungan dengan cucuku? Apa kau takut, saya tidak merestuimu? Tenang saja, saya merestui kalian berdua!" ujar Adianto.

"Terima kasih, Kek," ucap Deeva, lalu memeluk kakeknya.

"Ikut denganku!" ajak Dipta, menarik tangan Deeva menjauh dari ruangan itu. Namun, langkah Dipta terhenti kala melihat Nadia yang berdiri dengan tatapan kosong.

"Jangan berpikir macam-macam! Percayalah padaku, tak ada apa-apa! Nanti akan kujelaskan semuanya!" ucap Dipta sambil menghampiri Nadia, lalu memeluknya. "Tolong, percayalah padaku! Itulah yang kuminta padamu saat ini."

Nadia hanya mengangguk. Setelah itu, Dipta kembali menyeret Deeva, meninggalkan ruangan itu.

"Apa maksud semua ini?!" teriak Dipta marah.

"Aku hanya memberitahukan apa yang sudah menjadi milikku."

"Milikmu? Siapa yang bilang, aku ini milikmu?!" teriak

Dipta.

"Aku yang bilang dan wartawan tahu semua itu." "Hentikan berita bodoh itu sebelum ditayangkan di

televisi besok!"

"Tidak akan."

"Kaul" Dipta mencengkeram bahu Deeva keras, tetapi Deeva tidak kesakitan sama sekali. "Wanita Jalang! Sebanyak itu temyata kau berubah. Kaupikir, aku mau berada di sisi gadis sepertimu? Menjijikkan!" ucap Dipta dingin. Matanya menatap tajam Deeva.

"Kau hams mau berada di sisiku, karena kau yang kuinginkan. Kalau tidak, aku akan menghancurkan orang-orang yang kaucintai. Bahkan, karirmu."

"Kau gila!" teriak Dipta.

"Ya, aku gila. Gila karenamu." "Berengsek!" pekik Dipta.

"Dip, Nadia, Dip! Dia pingsan!" teriak Bayu, manajer Dipta, yang menghampiri mereka.

Dipta melepaskan cengkeramannya dari bahu Deeva.

Ketika ia akan berlari, Deeva menahannya.

"Mau ke mana kau? Biarkan saja! Biarkan wanita tidak berguna itu!" teriak Deeva.

"Wanita tidak berguna itu adalah wanita yang kucintai." Dipta melepaskan tangan Deeva dengan keras, sehingga tubuh Deeva terjatuh ke lantai. Dipta tidak peduli. Ia tetap melanjutkan langkahnya.

Deeva menatap dua bodyguard yang menghampirinya. "Bawa laki-laki itu kepadaku sekarangjuga!" perintah Deeva.

Bodyguard itu menyusul langkah lebar Dipta, yang akan menghampiri kekasihnya.

Grip salah satu bodyguard mencekal bahu Dipta dari belakang.

Sebelum Dipta berteriak, satu bodyguard lagi menempelkan sapu tangan yang sudah ditetesi obat bius. Dipta pun tak sadarkan diri.

"Bawa ia ke kamar hotel!" ucap salah satu bodyguard dan membawa tubuh Dipta dari ruangan itu tanpa membiarkan bertemu dengan kekasihnya.


***


Dipta terbangun dari tidurnya. Ia langsung memijit kening. "Pusing sekali!" gumamnya. la mendudukkan diri di atas ranjang dengan kaki menjuntai ke lantai. Matanya tampak melihat ke seluruh ruangan di mana ia terbangun pagi itu. "Di mana aku?" gumamnya lagi.

Kesadaran kini menghampiri sepenuhnya. Matanya pun langsung terbelalak lebar. Tubuh tinggi tegapnya langsung berdiri menjulang. "Apa yang terjadi padaku? Amghhh, shittt! Apa ini ulah wanita jalang itu? Sial!" teriaknya, frustasi.

Dipta melihat tubuhnya yang bertelanjang dada. Pasti ada sesuatu yang tidak heres terjadi padanya. Ia segera memakai bajunya, lalu keluar dari kamar hotel itu. "Aku akan membereskan wanita jalang itu. Namun, sebelum itu, aku akan menemui Nadia dulu. Bagaimana kabarnya saat ini?" ucapnya kepada diri sendiri.

Diambil ponsel dalam saku celana. Sebelum ia men-dial nomor telepon kekasihnya, ada satu panggilan masuk. Dipta urung menelepon Nadia. Nomor yang tidak dikenali. Dengan cepat, ia mengangkatnya.

"Pagi, Sayang!" sapa seorang wanita di ujung telepon sana. "Apa yang kaulakukan padaku?!" teriak Dipta.

Kini, ia sedang berada di dalam lift, jadi leluasa berteriak sesuka hati.

"Kamu sudah lihat infotainment pagi ini, Sayang?" tanya Deeva, tanpa menghiraukan teriakan Dipta.

Dipta mengacak rambutnya kasar. Ulah wanita itu benar-benar membuatnya pusing. "Apa yang kauinginkan dariku?" teriak Dipta lagi.

"Temui aku sekarang di restoran samping hotel yang kita tinggali semalam!" jawabnya.


***


Dipta segera melangkah ke arah restoran samping hotel bintang lima itu. Ia tidak peduli penampilannya seperti apa pagi itu. Ia benar-benar ingin menghabisi wanita jalang itu.

Setelah tiba di restoran, pelayan membawanya ke ruangan VIP. Di sanalah wanita itu berada. Duduk dengan manis, di sebuah kursi.

Dengan langkah lebar, Dipta menghampiri wanita itu dan menarik kerah bajunya dengan keras. Tubuh wanita itu terangkat ke atas. Dipta sudah dipenuhi amarah kali itu. Ia tidak peduli bahwa sosok di hadapannya adalah seorang wanita.

"Wow, wow, sabar, Honey! Bukankah kita sudah menghabiskan waktu semalaman? Apa itu belum cukup?" tanya Deeva, dengan suara menggoda.

"Jelaskan apa yang kaulakukan padaku!" teriak Dipta lagi. Mempertanyakan hal yang sama untuk sekian kalinya.

"Duduklah dulu! Nanti akan kujelaskan. Kau mau sarapan apa? Biar kupesankan," tanya Deeva manis.

"Tidak usah! Cepatlah berbicara, Wanita Jalang! Jangan berbasa-basi!"

"Baiklah! Pradipta Bagaskara, menikahlah denganku!" Dipta tertawa terbahak-bahak, mendengar ucapan Deeva.

"Kaupikir, aku sudi menikah denganmu?"

"Kau harus bersedia. Kalau tidak, aku akan menghancurkan karirmu dan orang-orang di sekelilingmu."

"Aku tidak peduli kau mau menghancurkan karirku, menyakiti keluargaku, sahabat, bahkan wanita yang kucintai, aku tidak peduli. Aku yakin, mereka lebih mempercayaiku dibanding wanita sepertimu."

"Baiklah! Aku akan mengeluarkan senjata terakhirku, supaya kau mau menikah denganku." Deeva mengeluarkan foto dari tas dan memperlihatkannya kepada Dipta-yang ada di hadapannya. "Kalau kau tetap tidak mau menikah denganku, aku akan memberikan foto ini ke media. Setelah itu, bukan hanya karirmu yang akan hancur, tetapi juga kepercayaan orang-orang di sekeliling terhadapmu."

Dipta melihat foto-foto itu dengan kesal. "Bagaimana bisa seperti ini? Kau menjebakku!"

"Apa pun itu, semalam kita telah menghabiskan malam bersama, Sayang."

"Sejak kapan aku tidur denganmu, Gadis Sialan!"

Deeva terkekeh, lalu menghampiri Dipta dan mengecup

pipinya.

Dipta hanya diam. Masalah itu benar-benar menguras

pikirannya.

"Daripada kau marah-marah, pikirkanlah ini! Temuilah aku secepatnya dan putuskan!" ucap Deeva, lalu meninggalkan Dipta.

"Wanita Sialan!" teriak Dipta. Ia meremas rambutnya kuat, tetapi tangan Deeva melepaskan cengkeraman itu dari rambutnya Dipta.

Deeva menggenggam tangan itu, lalu menciumnya lembut. Ditatap mata Dipta yang berkobar amarah. "Wanita sialan ini nantinya akan menjadi istrimu. Aku permisi pulang dulu. Pikirkanlah!" ucap Deeva dan mencium kembali pipi lelaki itu. Langkah Deeva yang baru sampai pintu ruangan itu terhenti.

"Kau mernaksaku menikah denganmu? Kau gila!" pekik Dipta tajam.

"Menikahlah denganku, walaupun terpaksa, Kak Dip!" ucap Deeva tanpa menoleh, lalu keluar dari ruangan itu.

"Lu di mana, Dip?" tanya Bayu manajemya, melalui ponsel.

"Jemput gue di hotel, Bay!"

Beberapa menit kemudian, Bayu menghampiri Dipta yang rnasih mematung di tempatnya, di ruangan restoran VIP itu. Bayu juga melihat foto-foto yang berserakan di atas meja, yang temyata, foto Dipta sedang tidur, memeluk Deeva.

Di foto itu, mereka tampak telanjang. Namun, Dipta yakin, malam itu tidak terjadi apa pun. Karena, ketika bangun, celananya rnasih rapi, bahkan ranjang yang ia tiduri pun masih rapi.

"Apa ini, Dip? Masalah apa lagi ini? Berita lu yang kemarin saja masih membuat heboh semua kalangan."

"Gue tidak ingin menjelaskan apa pun sekarang. Tolong bawa gue menemui Nadia!" ucap Dipta, yang dijawab anggukan oleh Bayu.


***


Dipta melangkahkan kaki menuju rumah Nadia. Ia mengenakan topi dan kacamata untuk menyamarkan siapa dirinya. Dipta mengetuk pintu rumah. lbunya Nadia yang membukakan.

"Dipta," gumam ibu Nadia.

Tanpa Dipta sangka, sosok ibunya sendiri pun muncul dari dalam rumah, menatapnya tajam. "Apa yang terjadi, Dipta? Jelaskan sama Thu!" tanya ibunya.

"Bu, nanti Dipta jelaskan. Dipta hanya ingin bertemu Nadia saat ini."

Kedua orang paruh baya itu pun mengizinkan. Tanpa bertanya macam-macam lagi.

Keluarga Nadia dan Dipta hidup bertetangga. Mereka tinggal di daerah Depok yang masih kental akan kebersamaan bertetangga, tidak seperti kota Jakarta. Di situ, Dipta dan Nadia dibesarkan bersama, sampai akhirnya memutuskan menjalin ikatan kasih. Kedua orang tuanya tahu akan hal itu, bahkan mendukung.

Dipta masuk ke kamar Nadia dan mendapati gadisnya duduk di atas ranjang, menatap dengan mata sembab.

Dipta menghela napas, lalu duduk di samping gadisnya itu. Digenggamnya tangan Nadia. "Maafkan aku, Nad!" ucap Dipta lirih.

Nadia hanya diam. Menunggu kekasihnya itu menjelaskan semuanya. Semua apa yang terjadi.

"Aku tidak menyangka akan seperti ini. Sungguh, ini di luar dugaanku! Aku minta maaf kalau keputusanku akan menyakitimu." Dipta meremas tangan gadisnya itu erat. "Aku memutuskan akan menikahinya," ucap Dipta lagi.

Nadia melepaskan tangannya yang digenggam Dipta. "Kau mengenal wanita itu?" tanya Nadia. Kini gadis itu berdiri, membelakangi Dipta.

"Ya, aku mengenalnya dulu. Waktu kelas 2 SMA ketika Ayah dirawat di rumah sakit, ia juga dirawat pada saat itu. Di sanalah kami bertemu dan saling mengenal. Namun, hanya satu bulan. Tidak terjadi apa pun di antara kami."

"Waktu itu aku hanya seorang sahabat bagimu," gumam Nadia.

"Nadia, aku tidak memiliki perasaan apa pun padanya.

Sekarang aku menikahinya pun, karena terpaksa. Karena, keadaan yang mungkin bisa membuatmu pergi dari sisiku."

"Kau akan menikah, Dipta! Bagaimana kau berpikir, aku masih tetap akan berada di sisimu?" teriak Nadia.

Dipta memeluk gadisnya itu dari belakang. "Aku akan mempertahankanmu di sisiku. Percayalah padaku, hanya itu yang kubutuhkan! Ini caraku menyelesaikan semua masalah yang terjadi. Setelah masalah ini terselesaikan dan wanita itu tidak bisa berbuat apa-apa terhadap orang-orang di sekelilingku, aku akan kembali padamu."

"Kembali padaku? Siapa yang bisa menjamin hati yang bisa berpaling?" ucap Nadia.

Dipta membalikkan tubuh gadisnya itu. Mengusap pipi gadisnya yang basah, karena air mata. "Percayalah, hatiku tetap akan menjadi rnilikmu! Percayalah padaku, Nadia! Hanya itu yang kubutuhkan. Tetaplah berada di sisiku!"

Nadia hanya mengangguk lirih. Dipta pun tersenyum, lalu mencium bibir gadisnya itu lembut.

Air mata Nadia pun kembali mengalir.



***


Di tempat berbeda, seorang wanita sedang berenang dengan lincah. Tubuh indahnya bergerak ke sana kemari di atas air. Setelah merasakan badannya cukup lelah, ia menenggelamkan tubuh. Cukup lama, sampai kepala gadis itu kembali menyembul ke permukaan.

Ia naik ke atas kolam renang, mengambil handuk, lalu membalutkannya di pinggang.

"Ini Mbok buatkan susujahe. Dirninum, ya?"

Deeva tersenyum, mengambilnya. Lalu, meneguknya hingga tandas. "Terima kasih, Mbok. Kalau orang lain, setelah berenang itu rninumnya jus. Ini Deeva malah diberi susu jahe. Mbok ini ada-ada saja!"

Si Mbok hanya tersenyum, lalu mengusap kepala Deeva. "Itu supaya tubuhmu tetap hangat. Tadi berapa lama kamu menenggelamkan diri di sana?"

Deeva hanya tersenyum, lalu mengangsurkan tangan si Mbok dari kepalanya untuk menjauh. "Deeva masuk dulu, yah, Mbok! Mau mandi, lalu tidur," ucap Deeva, lalu meninggalkan si Mbok.

Sepeninggal Deeva, si Mbok melihat kolam renang dengan tatapan sedih. "Kenapa harus menangis di dalam air? Apa bahu Mbok tidak kaupercayai lagi?" gumam si Mbok dengan sedih.

Sementara, Deeva sendiri telah masuk ke dalam kamarnya dan terdiam di sana. Air mata kembali menetes di pipi. Dengan secepat kilat, ia menghapusnya. "Deeva, kamu kuat. Jangan biarkan siapa pun melihat penderitaanmu! Bahkan, si Mbok. Deeva, kamu kuat," ucap Deeva kepada dirinya sendiri.

Ia menutup mata. Menghela napas dalam, seperti menghilangkan segala sesak yang menghimpit hatinya. Namun, tak berapa lama kemudian, ia kembali membuka mata, lalu tersenyum manis. 


-- Next Chapter--


Bab 4

Setelah menenangkan Nadia dan meyakinkannya untuk tetap percaya, Dipta pun meminta izin pada orang tuanya untuk menikahi Deeva. Orang tua Dipta dan adik perempuannya tidak bisa menyangkal apa pun, kalau memang sudah menjadi keputusan anak sulung di keluarganya itu.

"Aku putuskan menikah denganmu. Lebih tepatnya, terpaksa menikah," ucap Dipta di seberang telepon.

"Terima kasih, kau telah memilihku," jawab Deeva. "Memilihmu?  Yang benar saja!" sindir Dipta, tidak terima.

"Apa pun itu, kau akan menjadi suamiku." "Terserah!"

"Besok kita akan mengadakan konferensi pers sekitar jam dua sore di kantor manajemen Kakek. Aku tunggu kau besok di sana."

Tidak ada jawaban apa pun dari Dipta, tetapi sambungan telepon masih tersambung. "Apa yang mengubahmu jadi seperti ini? Ini bukan kau yang dulu," gumam Dipta beberapa saat kemudian. Deeva tersenyum masam di ujung telepon sana.

"Kau masih mengingat sosok Deeva yang dulu temyata?

Kau mencintaiku, kan, waktu itu?" "Tidak. Jangan bermimpi!"

"Sayang sekali! Namun, setidaknya, kau yang mengajariku bagaimana cara berbagi es krim dengan benar kala itu."

Dipta terhenyak. Sebuah ingatan masa lalu menyergapnya.

Dua orang remaja sedang duduk-duduk di taman rumah sakit. Tampak seorang gadis sedang asyik memakan es krim. Sedangkan remaja Zaki-Zaki di sampingnya hanya melihat saja. Sesekali, ia tersenyum geli, melihat tingkah gadis remaja yang kakinya digips itu. KepaZanya juga tampak diperban.

"Apakah es krim itu begitu enak sampai kamu tidak mengacuhkanku?"

Gadis itu hanya nyengir, tidak memedulikan sindiran teman Zaki-Zakinya itu.

"Kau tidak mau berbagi es krim itu denganku, Deeva?"


"Tentu aku akan membaginya denganmu, Kak Dip. Nah, aaa ... buka mulutmu!" ucap Deeva yang masih remaja.

"Aku akan mengajarimu cara berbagi es krim dengan benar."


"Bagaimana caranya? " tanya Deeva. "Seperti ini."

Cup. Dipta mencium bibir Deeva, lalu menjilat es krim yang tersisa di bibir gadis itu. "Manis, " ucap Dipta.

Deeva berkedip-kedip, polos. "Oh, seperti itu caranya.

Kalau begitu, baiklah!"

Tanpa Dipta duga, Deeva memakan es krimnya, lalu membagi lewat bibir. Dipta remaja diserang rasa terkejut yang amat sangat.

"Bagaimana? Manis, kan? Nanti aku akan membagi es krim dengan cara seperti ini kepada suster dan dokter. "

"Yakkk! Jangan lakukan itu!" teriak Dipta, histeris. Kenapa gadis di sampingnya itu begitu polos? Ia tidak tahu sama sekali bahwa tadi Dipta menciumnya, mencium bibimya, yang biasanya membuat para gadis tersipu. Namun, Deeva malah mengira itu cara berbagi es krim yang baik.

"Kenapa jangan lakukan, Kak Dip? Bukankah kata Kakak itu cara berbagi es krim yang baik?"

Dipta tampak mengacak rambutnya, frustasi. "Tadi aku menciummu. Apa kamu tidak menyadarinya? Tadi itu hanya alibi, biar aku bisa menciummu. itu ciuman pertamaku, kamu harus tahu."

"Aku tahu. Itu juga ciuman pertamaku, " ucap Deeva, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Jadi, kamu tahu, tadi itu sebuah ciuman?"

Deeva hanya mengangguk, membuat Dipta terpaku di

tempat.

Deeva mengedarkan pandangan ke area taman rumah

sakit. Pandangannya terhenti pada anak gadis seusianya yang sedang duduk di kursi roda, ditemani orang tuanya. Mereka tampak tertawa bahagia bersama.

Tatapan Deeva remaja berubah sendu. Dipta pun melihat ha[ itu, lalu menarik wajah gadis itu, agar menatap wajahnya.

"Kenapa, Kak Dip?"

"Tatap mataku!"perintah Dipta.

Deeva pun menurut. Ia menatap laki-laki yang ada di sampingnya itu.

Dipta mulai tidak nyaman ditatap seperti itu oleh Deeva. Aliran darahnya menjadi naik ke ubun-ubun. Membuat wajahnya memerah.

"Kak Dip, wajahmu memerah. Kenapa? Apa Kakak sakit?" tanya Deeva dengan polos.

"Ohl Hmmm ... itu ... hmmm ... ahhh, aku kedinginan!

Yah, aku kedinginan! "jawab Dipta, tergagap.

Kak?"

"Ya sudah, kita kembali masuk saja ke rumah sakit! Yuk,


Dipta hanya mengangguk, mengiyakan waktu itu. Kenapa gadis di sampingnya itu begitu polos? Tidak tahukah ia bahwasanya tadi Dipta merona, karena ditatap seperti itu olehnya?

"Kak, masih di situ?" tanya Deeva, menghentikan lamunan Dipta. "Kalau tidak mau bicara, aku akan memberitahu Kakak satu hal. Terima kasih waktu itu Kakak telah memberikanku rasa hangat. Rasa hangat yang membuatku ingin mempertahankan Kakak di sampingku."

Dipta langsung menutup sambungan telepon itu. Sudah cukup pikirannya melantur ke mana-mana.


***


Keesokan harinya, tepat jam dua sore, acara konferensi pers itu dimulai. Banyak pertanyaan yang dilontarkan media pada pasangan itu.

"Aku akan menjawab semua pertanyaan kalian. Kami akan menikah lusa. Kami mengundang kalian ke acara pernikahan kami. Aku tidak hamil bila kalian ingin mempertanyakan hal itu," beber Deeva, membuat wartawan yang akan menanyakan hal itu bungkam.

"Saudara Dipta, bagaimana dengan karir Anda ke depan dan fans Anda?" tanya seorang wartawan kepada Dipta.

"Aku hanya memohon dukungan mereka," jawab Dipta,

singkat. Setelah mengucapkan hal itu, dua sejoli itu pun keluar dari ruangan konferensi dan beristirahat di ruangan kakek Deeva, Adianto.

"Sterilkan halaman kantor! Suruh wartawan itu berhenti menunggu! Sudah cukup berita yang mereka dapatkan," ucap Adianto di telepon.

"Kalau begitu, kami pulang dulu, Kek," pamit Deeva. "Hati-hati,  Sayang!  Dan  kau,  Dipta, jangan mengkhawatirkan apa pun! Karirmu akan baik-baik saja. Saya menjarnin itu," ucap Adianto.

Dipta hanya tersenyum sopan, lalu pergi dengan Deeva dari ruangan itu.

Kini Deeva dan Dipta ada di dalam mobil. Dipta yang menyetir.

"Bawa aku untuk menemui keluargamu!" "Untuk apa kau menemui keluargaku?"

"Aku hanya ingin menjadi menantu yang baik."

"Tidak perlu! Kaupikir, kau ini wanita baik? Ingat, aku menikahimu, karena terpaksa! Karena kau menjebakku!" jawab Dipta, dingin.

"Setidaknya, orang tuamu tidak menerimaku sebagai menantu dengan terpaksa. Bukankah seorang anak harus membawa calon istri ke rumahnya dulu sebelum menikah? Bukankah kau ini orang baik? Kenapa hal seperti itu saja kau tidak tahu?" sindir Deeva.

"Oke. Kita ke rumahku."

"Namun, bawa aku ke apartemenmu dulu! Aku mau berganti pakaian dan berdandan lebik baik sebagai seorang calon istri."

Dipta tidak berkata apa pun lagi. Ia hanya melajukan mobil menuju apartemen.


***


Sesampainya di apartemen, Deeva langsung masuk ke kamar Dipta tanpa disuruh. Menggunakan kamar mandi, lalu menghapus riasan yang membuatnya tampak seperti kakak tiri Cinderella.

Make up yang menempel di wajahnya terhapus sempurna. Kini hanya wajah lembut dengan polesan bedak tipis yang terlihat. Bibirnya dipoles juga oleh lip gloss merah muda. Rambut hitamnya dibiarkan terurai. Pakaian glamour yang dipakainya tadi diganti dengan dress sederhana.

Dipta yang duduk sambil memejarnkan mata di kursi, terganggu akibat belaian sebuah tangan di pipinya.

Mata Dipta terbuka dan terlihatlah sosok Deeva. Persis seperti waktu dulu. Wajah cantik polosnya kini tersenyum lembut ke arahnya.

"Kak, wajahmu pucat sekali! Sana mandi dulu! Aku akan memasakkan sesuatu untukmu. Apa ada bahan makanan di sini?"

"Tentu. Kekasihku tidak pernah membiarkanku makan sembarangan," jawab Dipta ketus, lalu meninggalkan Deeva begitu saja.

"Baguslah! Aku harus berterima kasih kepada Nadia, telah menjagamu dengan baik sebelum aku datang."

"Kau yang memaksa datang dan hadir di tengah-tengah kami," ucap Dipta, lalu membanting pintu kamarnya.

Setelah memakan waktu lumayan lama, Dipta pun keluar dari kamar. Hidungnya disambut oleh aroma masakan yang begitu harum.

Penasaran, Dipta melangkahkan kaki menuju dapur. Di sana, terlihat Deeva sedang sibuk memasak. Rambut panjangnya diikat dengan asal.

"Selesai juga!" ucap Deeva senang.

Dipta hanya mematung di tempatnya. Ia tidak menyangka, wanita seperti Deeva bisa memasak.

"Kak Dip sudah selesai mandinya? Yuk, kita makan dulu!" ajak Deeva.

"Tidak usah! Bukankah kau mau menemui orang tuaku?

Ayo, kita pergi! Jangan menyia-nyiakan waktu!"

"Kita makan dulu. Ayo, Kak, biar Deeva suapin!"

Kini Deeva menghampiri Dipta. Menyendok makanan buatannya, lalu menyodorkan ke mulut Dipta. "Aaa ... Kak, buka mulutnya!"

"Aku tidak lapar," jawab Dipta, dingin.

Namun, Deeva tidak mengindahkan penolakan Dipta. Ia tetap bersikeras menyodorkan makanan buatannya.

Prang!

Dipta membanting piring, juga sendok yang ada di tangan Deeva. "Aku bilang tidak usah, ya, tidak usah, Wanita Sialan!" teriaknya.

Deeva hanya tersenyum, menanggapinya.

"Aku tunggu di mobil. Jangan banyak berlagak seperti orang baik! Aku muak melihatnya!" ucap Dipta sebelum meninggalkan Deeva.

Mata yang biasanya tajam bak elang, kini redup. Tanpa dibantu make up yang memperlihatkan dirinya kuat, Deeva tampak rapuh di tempatnya.

"Tidak ada yang menginginkanmu di dunia ini, Gadis Malang. Aku membantumu mendapatkan kebahagiaan itu. Namun, kau harus tahu satu hal. Kebahagiaanmu itu kini mencintai wanita lain. Rasakan bagaimana hidup dengan suami yang mencintai wanita lain! Kau akan mati perlahan-lahan. Karma sudah berlaku terhadap kau, Anak Wanita Jalang! Kau akan merasakan bagaimana pahitnya di posisi ibuku waktu itu.

Hahaha .... Menyenangkan sekali!" Ucapan kakaknya, Danna, temgiang-ngiang di benaknya.

"lbu, apa yang kaulakukan dahulu, sehingga membuat hidupku menjadi seperti ini?" gumam Deeva lirih, di keheningan apartemen milik Dipta, sumber kebahagiaannya atau sumber yang akan membuat Deeva terluka semakin dalam. 

Post a Comment

Post a Comment

Adult Story