
Aku tidak tahu, hubungan ini akan membawaku ke arus putaran masalah seperti apa. Walaupun masih belum mengetahui namanya, tapi aku benar-benar menyukainya, candu di dalam tubuhnya berhasil memberi energi yang begitu besar! Dan aku akan memperjuangkanya.
Judul Cerita
Penulis
Total Chapter
Hak Akses
Free Chapter
: Toilet Pub
: elngprtma
: 21 Chapter
: Member Paket Eksklusif
: Available
DISCLAIMER!
Cerita ini hanya sebuah karangan belaka. Dengan ini kami menganggap pembaca adalah benar sudah DEWASA dan mampu mempertanggung-jawabkan pilihan bacaannya sendiri. Semoga semesta menjadi saksi, bahwa kami sudah sangat serius berusaha untuk mengingatkan.
Anak kecil harap segera menyingkir!
WARNING!

Toilet Pub
Cerita ini berawal dari bangunan toliet sebuah pub di tempat hiburan malam. Aku dan perempuan muda, -yang baru saja kukenal- sibuk saling memberi dan menerima sesuatu yang membuat dada kami berdebar lebih cepat dari biasanya.
Saking hebatnya hormon andrenalin yang terbakar dalam tubuh, aku sampai tidak lagi memperdulikan gemuruh alunan musik di luar.
Bahkan, otakku melupakan sesuatu, kami sedang berada di dalam toilet! Salah satu fasilitas umum yang di sediakan pihak manajemen pub.
Tidak menutup kemungkinan kami akan tertangkap, atau tiba-tiba saja ada orang lain yang masuk dan mendengar suara-suara aneh yang keluar dari dalam bilik toilet. Jika itu terjadi, semuanya pasti akan sangat kacau.
Kami seakan-akan membiarkan tubuh dan akal sehat diperbudak napsu. Entahlah, saat itu aku benar-benar terhanyut, larut dalam permainan bibir yang saling menari mengikat diri.
Sumpah demi apapun, perempuan itu benar-benar pintar, ia berhasil memompa andrenalin yang bergerak liar dalam tubuhku, memicu gairah panas yang tersembunyi lalu membakarnya saat itu juga.
Tanpa merasa sungkan sama sekali, kedua tanganku bebas bergerak menjelajahi setiap lekuk indah tubuhnya, menjangkau area-area paling sensitif tubuhnya hingga membuatnya mengerang sebelum akhirnya mendesis sembari melingkari tubuhku dengan kedua tangannya, meresapi semua sensasi yang diterimanya.
Tidak ingin dihalangi oleh apapun, jari-jariku mulai gesit memerankan perannya, melepaskan semua kaitan kancing kemeja yang dikenakan perempuan itu satu demi satu.
Beberapa detik kemudian, semuanya terpampang di depan kedua bola mataku. Aku tercekat, menelan ludahku berkali-kali sebelum akhirnya kedua tanganku segera merangkulnya.
Jantungku bergemuruh, mengagumi dua bukit indah ciptaan Tuhan dengan berbagai macam fungsi itu, benar-benar indah.
Kini, aku lebih leluasa memainkan secuil daging kecil berwarna merah muda kecoklatan diatas bukit kembar milik perempuan muda itu, menghisapnya dengan ujung lidahku sebelum kembali bergerilya ke atas bibirnya.
Bibir yang basah dan lembut terdengar mendesah pasrah, mendesis mengeluarkan suara-suara yang membangkitkan gairah.
Sepertinya perempuan itu sedang sangat bergairah. Mungkin ‘kah karena pengaruh minuman yang kami teguk di meja pub? Jangan tanya aku sekarang, karena aku sungguh tidak tahu.
Namun sepanjang dari yang aku ingat, sebelum menarik tubuhnya ke dalam toilet di belakang area pub, perempuan itu memang sudah terlihat 'high', ia menatap dan tersenyum ke arahku.
"Lakukan disini!" Pinta perempuan itu, mendesah pelan.
"Sekarang?" Tanyaku tercekat, lalu menelan air liurku sendiri.
Deru napas kami sudah terasa pendek dan sesak, tersenggal-senggal menahan arus libido yang semakin deras mengalir hingga memenuhi puncak ubun-ubun, menghilangkan akal dan pikiran sehat kami.
"I-iya!" sahut perempuan itu.
Kedua tangannya mulai sibuk membuka resleting celana jeansku yang sedari tadi menahan sesuatu yang sudah membengkak parah dan membuat celana jeansku tiba-tiba mengetat dan menyesakan. Sepertinya, salah satu organ vitalku ini ingin segera terbebas dari sangkar yang mengurungnya.
Tentu saja aku tidak mau kalah, tanganku bergerak dengan cepat menyingkapkan celana rok pendek yang dikenakan perempuan itu.
Celana paling dalamnya yang berbentuk segitu tiga itu terpampang dengan jelas di depanku. Mengundang kejantananku untuk segera datang bertamu ke dalam tubuhnya, menyatu dengan dirinya.
Semuanya sudah siap dilakukan. Pangkal paha perempuan itu terbuka dengan lebar, sedangkan satu kakinya terangkat, ditopang lengan kiriku sebagai penyangga yang kuat untuknya.
"Ahh!"
Ia mendesah pelan, matanya terpejam, kedua tangannya erat melingkari leherku kuat-kuat. Ia tampak menutup matanya untuk beberapa saat, lalu membukanya kembali.
"Tancapkan lagi, ma-masukan saja semuanya!" Desisnya pelan.
“Kamu benar-benar menginginkannya?!” tanyaku sembari menahan sesaknya napas di dalam dada.
Perempuan itu semakin liar, tubuhnya bergetar, lalu meliuk dengan indah tanpa menjawab pertanyaanku. Perempuan itu sepertinya tengah berusaha mengimbangi permainan.
Sembari kembali menempelkan bibirnya diatas bibirku, ia pun melilitkan lidahnya, mencampurkan saliva miliknya dengan air liurku.
Hasrat yang menggebu dalam dirinya benar-benar memuncak, pegangan kedua tangannya di belakang leherku pun terasa semakin kuat dan kencang.
Keringat kami mulai terasa menetes deras, mengiringi irama napas yang mulai tersenggal-senggal, hentakan demi hentakan pinggulku pun semakin lama semakin kencang menikamnya berulang-ulang.
Perempuan muda itu mengerang, hingga bergema di ruangan bilik toilet pub ini. Aku segera membungkam mulutnya dengan tangan kiriku, aku tidak ingin suara-suara yang mencurigakan itu terdengar sampai keluar.
Beberapa detik kemudian, aku menghentikan aktifitasku, lalu dengan perlahan mencabut senjata pusaka milikku, lalu membalikkan tubuhnya sembari memberi isyarat kepada perempuan itu agar ia membelakangiku, dan membantu kedua tangannya untuk menggapai dinding toilet.
Belakang pinggul perempuan itu kini terangkat, tepat di depan kedua pangkal pahaku. Bentuk sempurna dari pinggul yang putih dan berisi itu tersaji indah di depan kedua mataku, siap menerima lagi serangan lanjutan dari si “adik kecil” yang sedang beruntung malam ini.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku kembali menyatukan diri, dengan keringat yang bercucuran kami memadukan hasrat dan gairah di dalam toilet pub hiburan malam ini.
Aku pejamkan mata, berharap ini semua tidak menemukan kata akhir.
Napas kami tersenggal-senggal. Irama hentakan pinggulku menghantamnya berkali-kali dengan teratur, sementara itu telapak tangan kananku mengusap keringat yang menetes deras di pelipis hingga hampir membasahi separuh wajahku.
Sungguh, aku hampir tidak bisa lagi menceritakannya dengan bahasa yang lebih sopan, bagaimana caranya menjabarkan kenikmatan ini secara halus.
Saat sebagian tubuhku tertancap seluruhnya sampai ke ujung lorong sempit miliknya itu, rasanya benar-benar sangat mengagumkan. Sensasi yang sangat luar biasa.
Kecepatan hentakan semakin bertambah kencang. Jantungku berdetak kencang seolah tengah menaiki roller coaster, tetapi ini jauh lebih mendebarkan. Hormon andrenalin yang dihasilkannya pun jauh lebih banyak dan bergemuruh kencang.
Semakin lama kecepatan gerakananku semakin bertambah, irama hentakan mode turbo segera aku aktifkan, sampai akhirnya aku sudah tidak bisa lagi menahan desakan sesuatu yang berasal dari bagian dalam tubuhku.
Mataku terpejam untuk beberapa saat, sementara kedua tanganku semakin kencang memeluk pinggang perempuan yang sedang membelakangiku itu.
"A-aku ma-mau keluar! Di dalam atau di luar?' Tanyaku tertahan setengah berbisik. Perempuan itu tidak menjawab pertanyaanku, ia hanya kembali mendesis pelan. Suara-suara desahannya sungguh membuat gairahku semakin bertambah dahsyat.
'"Uuuugghhh!"
"Aaaaaahh!"
Sesaat sebelum mencapai ujung puncak, aku segera melepaskan diri dari lorong kecil yang sempit miliknya itu lalu memeganginya dengan erat.
Saat itu juga cairan panas itu pun menyemburkan sesuatu yang kental dan hangat, membasahi punggungnya.
"Aaaaaaaahh!"
Tubuhku seketika melemas.
Perempuan itu kembali mendesis, matanya tampak terpejam, lalu mengatur kembali napasnya yang terengah-engah.
Tubuh putih yang sintal dan kencang itu segera aku peluk dengan sangat erat, lalu satu detik kemudian aku mendaratkan bibirku di belakang daun telinganya dan membisikan sesuatu, "Aku sangat menyukai permainan tadi, bolehkah aku lebih mengenalmu?" Bisikku pelan.
"Huuum, aku juga menyukainya ...." ucapnya, sembari mendesah manja. Tampak sebuah senyum melingkar indah di wajahnya.
Perempuan itu kemudian membalikan tubuhnya, dan kami kembali saling berhadapan tanpa jarak, ia menyambar bibirku dengan penuh gairah, bibir kami pun kembali saling bertaut untuk kesekian kalinya.
"Uuummmmph."
Tiba-tiba perempuan itu melepaskan ciumannya, lalu segera menyambar pakaiannya yang sedari tadi berserakan di lantai tanpa kami perdulikan. Tanpa di komando, kami bergegas merapikan diri, lalu berjalan pelan ke dalam pub, seolah tidak pernah terjadi satu hal apapun.
-- Next Chapter--
Siapa Lelaki Botak Itu?
Aneh memang. Tapi itu yang terjadi, dan kami berdua menikmatinya. Kejadian di dalam toiltet pub itu benar-benar terasa sangat membekas. Sepertinya tidak akan pernah dapat aku lupakan.
Bagaimana tidak? Aku sudah cukup lama tidak melakukannya. Dan malam ini, aku merasa sangat beruntung bertemu dengannya, meresapi segala sentuhan dan gejolak gairah yang hampir aku lupakan selama ini.
Satu hal yang aku sesali, setelah semuanya berakhir dengan menyisakan rasa puas yang begitu besar, aku justru belum mengetahui siapa namanya.
"Sial, aku lupa! Perempuan tadi, siapa namanya!?" jeritku dalam hati. Tiba-tiba saja aku tersadar, ternyata aku belum sempat mengetahui namanya. Telat, perempuan itu sudah berlalu entah kemana.
“Argh!”
Aku menjambak rambut di atas puncak kepalaku, menyesali kebodohanku sendiri. Detik itu juga pandangan kedua mataku mulai berputar ke segala arah. Menyapu setiap sudut ruangan pub yang tampak temaram.
Ruangan yang hanya di balut dengan sedikit cahaya itu, benar-benar membuat pandangan mata terasa samar.
Aku segera menyipitkan kedua mataku, berharap pandanganku menjadi lebih tajam. Aku harus menemukannya, rasanya aku tidak akan bisa dengan mudah melupakan sosok perempuan cantik itu.
Sensasi yang kami bangun bersama di ruangan sempit tidak lebih dari 2x2 meter itu akan selalu menempel dalam ingatan selamanya.
Gigitan serta hisapannya seolah menerbangkanku ke awan, membuatku lupa diri, melemparkan norma-norma kewarasan dan memperbesar kegilaan dari sisi kami yang berubah liar dalam seketika dan membuang segala fitur tentang kesopanan dalam diri. Sungguh, aku rasa, aku telah dibuatnya gila.
"Atau, aku hanya sedang mabuk?"
Hatiku bertanya bimbang.
"Bodoh! Kenapa sampai tidak ingat? Sekedar menanyakan nama serta nomor telepon genggamnya saja, aku sampai lupa! Sial! Dasar bodoh!" Aku kembali mengutuki diri, mencaci maki kebodohanku sendiri.
Setiap sudut bangunan pub pun segera aku jelajahi. Gelapnya ruangan pub membuat sorot mata terasa kabur, dan sepertinya pengaruh minuman masih menempel dalam jaringan otakku. Ditambah cahaya pub yang remang-remang, ke-awas-an kedua mataku semakin terasa lemah.
"Mas! Maaf, lihat perempuan cantik yang memakai rok berwarna merah? Rambut sebahu lurus, berkulit putih, dan ... uumm dadanya montok?" Tanpa aku sadari, aku sudah menahan lengan seorang lelaki yang kebetulan melintas di depanku.
"Apa? Wah, gak liat mas! Banyak wanita yang seperti itu disini! Maaf, Mas saya harus mengantarkan pesanan, hampir saja gelasnya jatuh!" Ketusnya.
"Aduh maaf, mas." ucapku merasa tidak enak. Karena ulahku, satu pitcher bir dengan beberapa gelas ditangannya tampak bergoyang, hampir terjatuh.
Kembali kuputar kepalaku, menyapu setiap sudut bangunan di dalam area pub ini.
"Sial! Cepet banget ilangnya, kemana perempuan itu pergi!?" Tanyaku dalam hati.
Aku kembali bergerak, berjalan pelan diantara meja-meja tamu. Kedua mataku menyapu setiap jengkal ruangan di pub malam itu demi mencari sosok perempuan misterius yang telah memabukanku dengan candunya yang luar biasa itu.
Ya, misterius, karena aku belum sempat mengetahui nama dan nomor kontaknya. Dan hal itu benar-benar membuatku penasaran, jika aku tidak berhasil mengetahui nama dan no ponsel yang nanti dapat dihubungi, aku pikir aku tidak akan pernah bisa tidur dengan nyenyak.
"Bro! Cari siapa sih, lu?" Teriakan seseorang yang tengah duduk mengelilingi meja pub bersama teman-temannya, sama sekali tidak aku gubris. Mata mereka tampak melotot, merasa terganggu dengan langkah kakiku yang tidak beraturan.
Aku hanya melambaikan tangan sesaat ke arah mereka sembari menganggukan kepala dan melemparkan senyum persahabatan, lalu kembali mengalihkan mata, mencari perempuan itu.
Gelapnya ruangan pub, benar-benar telah membuat pandangan mataku semakin kabur, aku sama sekali tidak dapat melihat apapun dengan jelas di ruangan itu.
Beberapa menit kemudian, rasa penasaran tiba-tiba menyeret langkahku ke sebuah lorong di belakang bangunan pub. Entahlah, langkah kakiku seakan ada yang membimbingku agar bergerak ke arah sana.
Benar saja, baru beberapa langkah, tiba-tiba, dengan samar aku dapat mendengar suara jeritan seorang perempuan di ujung lorong yang terlihat agak sedikit terang oleh cahaya sinar bulan di luar sana.
"Lepas! Lepaskan aku!" Teriakan samar dan bergema tertangkap oleh kedua daun telingaku. Dari nada suaranya, aku dapat dengan mudah menebak. Suara teriakan itu berasal dari sebuah percakapan antara seorang lelaki dan perempuan yang sepertinya sedang ter-intimidasi.
"Ikut gua sekarang juga!" Suara bentakan seorang lelaki perlahan-lahan mulai terdengar jelas.
Aku pun segera mempercepat langkah kedua kakiku. Dengan tergesa-gesa aku bergegas menuju ke ujung lorong di depanku.
Sampai akhirnya, beberapa menit kemudian aku bisa melihat pantulan cahaya bulan dari luar, cukup membuat mataku pun akhirnya kembali dapat melihat dengan jelas.
"Ah itu dia! Akhirnya ketemu juga! Jangan sampai lolos, aku harus tahu siapa namanya." tegasku dalam hati, Aku pun segera mempercepat langkah, agar dapat secepatnya menghampiri mereka.
"Hey! Tunggu sebentar!" teriakku, mendekati mereka sembari melambaikan tangan, berusaha menahan lelaki itu.
Lelaki itu benar-benar berlaku kasar dengan menyeret paksa perempuan muda yang aku cari.
Perempuan cantik yang belum aku ketahui namanya, yang beberapa menit lalu bersamaku di dalam toilet pub.
Aku benar-benar sangat penasaran, di mana tinggalnya dan berapa nomor ponselnya? Aku harus bisa mendapatkannya kembali. Ia adalah satu-satunya wanita yang telah membantuku mendapatkan kembali andrenalin dan gejolak hasratku terhadap lawan jenis.
Entah sudah berapa lama aku tidak pernah memikirkan tentang hal itu. Semenjak ditinggal nikah oleh pacarku dulu, aku hanya memfokuskan diri pada pekerjaan, tidak ada hal lain. Termasuk soal urusan wanita.
Namun, di dalam toilet pub itu, tiba-tiba semuanya seakan-akan kembali terpicu. Gairahku kembali memuncak, debar-debar libido di dalam diri kembali bergejolak dengan sangat hebat. Ah! Aku pikir aku sudah menyukai perempuan itu!
"Siapa lu hah!? Mau cari mati lu!??"
Lelaki botak itu berteriak kencang. Nadanya benar-benar terdengar dibuat galak.
Dengan postur tubuhnya yang mirip bodyguard, badan besar, memakai jaket kulit, dengan kepala botak tanpa di hiasi sehelai rambut pun, ia memang tampak beringas.
Mukanya yang garang benar-benar tampak berusaha memamerkan keberingasan, mungkin sengaja untuk menakut-nakutiku. Terutama perempuan yang belum aku ketahui namanya itu, ia benar-benar tampak ketakutan, kedua lengannya yang ia kibaskan berusaha untuk meloloskan diri dari cengkraman lelaki botak itu.
Melihatnya, aku segera berjalan menghampiri mereka dan berkata, "Bukan siapa-siapa, gua cuma mau tanya nama perempuan itu aja!" Ucapku santai sembari melemparkan sebuah senyuman ke arah perempuan itu.
Perempuan itu tampak terkesiap, ia sama sekali tidak menduga aku akan muncul begitu saja di hadapannya. Kedua matanya menatapku kaget, lalu kembali berusaha melepaskan tangan kasar lelaki botak itu dengan sekuat tenaganya, sementara itu kedua kakinya berusaha menendang ke sana dan kemari.
-- Next Chapter--
Membawanya Pergi
"Dia cowok gua! Lepasin! Argh!"
Tiba-tiba perempuan itu berteriak, lalu mengibaskan tangannya sekuat tenaga sampai ia benar-benar terlepas dari cengkraman lelaki itu dan kemudian berlari kearahku.
Kedua tanganku bergerak cepat meraih tangannya yang menjulur ke arahku dan segera memeluk pinggangnya, berusaha untuk melindunginya.
"Apa? Hahahaha!" Lelaki itu tertawa terbahak, gigi atasnya yang ompong terlihat dengan jelas olehku. Aku tidak bisa menahan senyum, geli melihatnya. Dari sangar berubah menjadi aneh dan lucu. Aku mau tertawa terbahak-bahak tapi takut dosa. Lucu aja, sih. Botak, ompong, galak tapi tampak bodor. Astaga.
"Cowok lu? Cowok lu itu bahkan gak tau nama lu siapa? Gmana bisa jadi cowok lu? Hahaha!" Lelaki botak itu kembali tertawa dan berkata kasar. Beberapa detik kemudian matanya terlihat melotot ke arahku.
"Heh! Lu tau siapa perempuan ini hah?!" Bentaknya keras. Matanya mendelik tajam, seakan ingin melumatku hingga habis tak bersisa.
Aku sontak menoleh kearah perempuan itu. Masih kental dalam ingatanku, bagaimana hangat, basah dan menggigitnya lorong sempit di dalam area kewanitaannya itu. "Ah toliet pub telah berhasil menorehkan kenangan yang sangat berbahaya malam ini" bisik batinku dalam hati, tanpa sadar satu lengkungan senyum tipis terlukis di wajahku saat mengingatnya.
"Makanya gua mau tanya! Jadi tolong, lu jangan ganggu dia, oke?!" Aku mencoba melenturkan gestur tubuhku, memintanya secara baik-baik. Aku tidak ingin membuat keributan.
"Dengar, ya! Dia itu punya bos gua, dan sekarang juga gua harus membawanya kembali pulang ke tempat dia seharusnya berada!" Teriak Si Botak, masih dengan intonasi yang tinggi.
Si botak itu benar-benar tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi, ia tampak terburu-buru menghampiri kami dengan langkah kakinya yang lebar, berusaha merebut perempuan itu dariku.
"Sini lu jalang! ikut gua sekarang juga!" Lelaki botak itu kembali berteriak kasar.
"Nggak! Aku gak mau kembali lagi kesana!" Perempuan itu berusaha berontak, mencoba melawannya, mengibaskan kedua tangannya dan mengarahkan beberapa kali tendangan yang tidak berarti kearah lelaki botak itu.
Aku tidak bisa tinggal diam, lengan lelaki botak itu segera aku tepiskan dari perempuan yang belum aku ketahui namaya itu. Lalu dengan santai, aku berkata pelan, "Sabar om! Orang gak mau jangan dipaksa!" ucapku, mencoba untuk tetap bersikap baik.
"Berisik! Diem lu! Ikut campur urusan gua, gua abisin juga lu!" teriak lelaki botak itu. Lalu satu detik kemudian, satu pukulan melayang ke arah wajahku.
Percuma aku sabuk hitam karate jika tidak mampu menghindari pukulan semacam itu. Hanya dengan menggeserkan tubuh dan kepalaku ke samping sedikit, maka tinju itu hanya mampu melayang menerpa angin.
Dengan cepat, aku ambil kepalan tangan lelaki botak itu, dan menariknya dengan kecepatan dan tenaga penuh, hingga tubuh lelaki botak itu pun melesat maju ke arahku dengan kencang. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, lutut kaki kananku segera terbang menghantam ulu hatinya dengan keras.
"Jedaaak!"
"Bruk!"
Lelaki botak itu seketika roboh terjatuh ke tanah. Gigi bawahnya bertambah ompong satu, dan sebelahnya lagi patah setelah mencium batu keras dibawah jalanan yang penuh kerikil bercampur dengan tanah merah.
"Arrgh! Aduuh!" Lelaki botak itu terdengar berteriak kesakitan.
Sesaat kemudian, ia berusaha mengumpulkan tenaga agar bisa bangkit dan berdiri sesegera mungkin. Mukanya meringis menahan sakit di area ulu hatinya. Sembari memegang perut dengan tangan kanannya, tangan kirinya tampak menempel di tanah menahan berat tubuhnya.
Aku tidak ingin membuang kesempatan, dengan cepat aku membawa lari perempuan itu menjauh. Entah apa yang aku lakukan, aku hanya merasa perlu menyelamatkan perempuan itu dari situasi yang tidak menyenangkan.
"Hey! Mau kemana lu? Argghh sial!" Teriak lelaki botak itu. Dengan susah payah, ia berusaha berdiri. Tubuhnya tampak sempoyongan, lalu tiba-tiba kembali terduduk dengan lemas. Tendangan lutut kaki kananku rupanya masih sakti dan berbahaya. Untung saja ia masih kuat, tidak langsung terkapar pingsan menerima tendangan keras yang mengenai ulu hatinya.
Aku harus secepatnya pergi dari sini, lalu buru-buru membawa perempuan itu pergi dari pub malam. Kami bergegas menuju ke parkiran mobil, lalu menyuruhnya masuk dan segera melesat pergi.
Entah apa yang akan menimpaku nanti, aku tidak perduli. Aku hanya tidak bisa melihat perempuan diperlakukan kasar seperti itu, terlebih kepada perempuan yang telah memberikan nikmatnya candu yang sudah berhasil memicu libidoku.
Beberapa menit kemudian, aku sampai di sebuah taman kota yang sepertinya tidak terurus dengan semestinya. Setelah beberapakali memutarkan pandanganku ke segala penjuru dan memastikan tidak ada yang mengikuti kami, aku parkirkan mobilku di tempat yang sepi dan gelap, aku harus mengetahui apa yang telah terjadi.
"Nona, sebenarnya ada apa ini?" tanyaku. Intonasi suara sengaja aku buat pelan.
"A-aku ti-tidak mau kem-kembali ke-sana!" Tiba-tiba ia berteriak histeris, suaranya seakan tersedak seakan menahan isak tangis yang sudah menumpuk di dalam dadanya.
"Mengapa? Ada apa? Siapa lelaki tadi?" Aku kembali bertanya.
"Orang suruhan Papi!" Kini nada suaranya sedikit berubah, pelan dan terdengar sangat khawatir. Aku bisa lihat, rasa takut itu sangat jelas terukir di raut wajahnya.
"Papi?" Aku merubah posisi duduk, menekukan satu kaki ke atas jok mobil agar tubuhku bisa menghadap ke arahnya.
Perempuan itu masih terdiam, menundukan kepalanya dan masih belum menjawab pertanyaanku. Kedua telapak tangannya tampak menutupi hampir seluruh wajahnya, berusaha menahan isak tangis pilu, agar tidak meledak saat itu juga.
Aku sengaja membiarkannya, memberinya sedikit waktu untuk menenangkan dirinya sendiri. Jika ia menjerit histeris dengan kencang, dan terdengar sampai ke seluruh area taman, aku khawatir ada yang lewat dan mencurigai kami. Jika itu terjadi, aku rasa kami akan menghadapi satu lagi masalah besar.
"Iya, papi!" Ucap perempuan itu tertahan.
"Papi? Suami?!"
"Bukan."
Aku sedikit lega mendengarnya. "Jika perempuan ini sudah bersuami, urusannya bisa bertambah runyam," pikirku.
Pengaruh minuman di kepalaku sedikit demi sedikit mulai memudar semenjak bertemu dengan lelaki botak tanpa gigi itu. Mungkin, begitu pula dengan perempuan di sampingku.
"Papi sering berlaku kasar kepadaku. Ia selalu memaksakan semua kehendaknya. Aku takut." Ucapnya. Suaranya terdengar bergetar.
Dari sorot matanya, aku melihat kejujuran yang tertata rapi, hingga aku dapat menangkap semua kesedihan, kekhawatiran dan kegetiran hatinya itu. Lalu beberapa saat kemudian, tatapan matanya menatap ke arahku dengan sorot mata yang memelas penuh pengharapan, seolah meminta pertolongan dariku.
"Serius? berlaku kasar?"
"Iya." Ia mengangguk lemah.
"Terus, kamu ... sudah berapa lama tinggal di sana?" tanyaku, semakin penasaran.
"Baru beberapa hari. Setelah aku di tinggal mati oleh suamiku di kampung," Jawabnya pelan. Kepalanya menunduk, mengatur semua emosi yang bergejolak di dalam hatinya. Tampaknya ia benar-benar merasa sangat ketakutan. "Oh! Kamu pernah menikah?"
"Iya, aku baru saja menikah 2 bulan, suamiku meninggal tertabrak mobil di jalan raya."
"Astaga, ya ampun ... aku turut berduka, ya ...." ucapku setengah berbisik, lalu mengambil napas panjang sebelum mengembuskannya secara perlahan.
-- Next Chapter--
Mobil Bergoyang
"Terima kasih." Sahutnya pelan terdengar lirih.
Untuk beberapa saat, kami terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai akhirnya muncul satu buah pernyataan yang memalukan dari dalam benakku.
"Uummm, ngomong-ngomong ... hmm, a-aku mau minta maaf, karena telah ber-ber-laku ku-kurang ajar pa-padamu di toilet itu ..." suaraku terputus-putus, wajahku mungkin sekarang sudah tampak memerah karena menahan malu.
Perlahan aku angkat kepalaku, dan memberanikan diri menatap wajahnya, memastikan ia tidak tersinggung karena ucapanku tadi, lalu kembali berkata dengan terburu-buru terdengar seakan aku ingin membela diri, "tetapi, jika kamu saat itu menolak, mungkin kita tidak akan melakukannya ..." ucapku pelan.
Satu detik berlalu tidak ada reaksi, aku lalu menarik napasku dalam-dalam, kembali mengajukan satu pertanyaan dengan agak sedikit tergagap, "Uummm ... wak-wak-waktu i-itu, me-mengapa ka-kamu mau “melakukannya” denganku di da-dalam toilet pub itu?" Begitu polosnya pertanyaan bodoh itu. Benar-benar pertanyaan yang sangat tidak penting. Tanpa pengaruh minuman keras itu aku seperti manusia dungu tanpa mempunyai rasa malu.
"Karena, kalian berdua sedang mabuk, bodoh! Lupa diri, lupa ingatan! Sembrono!" Suara bentakan keras terdengar bergema dalam hatiku, menghardik diriku sendiri.
Lima detik kemudian, perempuan itu memandangiku dengan bola matanya yang indah merekah, kedua pipinya tiba-tiba memerah lalu menunduk menekukan lehernya yang jenjang sembari memainkan kedua ujung jari-jari tangannya.
Mungkin ia malu, merasa dirinya telah berlaku layaknya perempuan-perempuan nakal murahan. Mau saja diajak ke toilet umum di sebuah pub dan bercinta di sana dengan lelaki yang baru saja ia kenal. Atau mungkin karena saat itu, ia sedang dalam pengaruh minuman hingga mabuk dan tanpa sadar mengikuti naluri alamiahnya untuk menyalurkan hasrat dan gairahnya? Entahlah.
"Itu, hmm ... mung-mungkin, sa-saat itu aku mabuk, stress dan begitu banyak tekanan di kepalaku. Lalu aku bertemu lelaki yang berani mendekatiku.” Perempuan itu erdiam sejenak, menatapku dengan pandangan yang sulit dijelaskan, dan menyambung kembali perkataannya dengan penekanan yang sedikit berbeda, “Mengapa kamu bertanya seperti itu? Kamu menikmatinya, 'kan? Menikmati tubuhku?" Ucapnya sembari melemparkan pertanyaan yang seolah menyerangku dengan tuduhan-tuduhan yang masuk akal.
"Eh, uumm ... itu, a-aku ... a-aku juga sama-sama mabuk saat itu.” Aku masih berusaha membela diri, lalu kembali berkata pelan setelah mengembuskan napasku beberapa saat, “Oke, aku memang tergoda melihat kecantikan dan senyumanmu yang indah di pub itu. Saat menerima sentuhan lembut tanganmu, entah mengapa tubuhku seketika itu juga langsung terasa sangat bergairah. Entahlah, ma-maafkan aku ..." ucapku akhirnya membuat pengakuan yang aku harap dapat diterima olehnya.
Hampir tiga detik aku sempat terdiam sejenak, dan kembali berkata pelan setelah menggaruk rambut diujung kepalaku dengan malu-malu, "Emmmm, ta-tapi iya, aku menikmatinya." Ucapku, terdengar agak terbata-bata. Seketika pipiku tampak menghangat, tanpa sadar kembali menggaruk puncak kepalaku sembari tersenyum ke arahnya.
"Tidak apa, a-aku lebih memilihmu di banding Papi! Aku harap, kamu tidak memandangku sebagai wanita murahan yang dengan gampangnya menerima sentuhan lelaki asing. Apa yang sudah terjadi di dalam toilet pub itu, karena kita berdua memang sedang mabuk dan lupa diri." Ucapnya, kembali menundukan kepala.
"Iya, maafkan aku, ya .... ta-tapi aku benar-benar menikmatinya ... dan saat itu aku rasa aku tidak begitu mabuk juga ...." kataku, melengkungkan sebuah senyum genit di wajahku ke arahnya, lalu membenarkan letak dudukku agar aku bisa dengan leluasa melihat perempuan itu dengan jelas.
"Oh ya, ngomong-ngomong, yang kamu panggil Papi itu siapa?" Tanyaku masih penasaran. Otak di kepalaku masih belum sepenuhnya dapat mencerna seluruh kejadian yang telah menimpaku malam ini.
"Papi itu ....” ia terdiam sejenak, lalu kembali bercerita pelan, “Beberapa hari setelah kematian suamiku, Papi datang ke kampungku dan mengenalkan diri sebagai seorang pengusaha besar di kota ini. Lalu ia membujukku untuk ikut dengannya dan menjanjika pekerjaan yang layak di sini. Nyatanya, berhari-hari aku disekap di rumah itu, ia memaksaku untuk menjadi istri simpanannya yang sah. Ia mau menikahiku secara siri. Aku tidak mau. Berkalil-kali aku mencoba untuk kabur, baru malam ini aku berhasil pergi dari rumah itu ....”
Perempuan itu kembali terisak, kini suara tangisannya terdengar lebih kencang, sedetik kemudian ujung jarinya tampak berusaha untuk mengusap kedua matanya sembari menahan tangis yang masih tertahan dalam dada.
Perempuan itu terdiam. Lalu, setelah mengambil napasnya alam-dalam, ia kembali melanjutkan ceritanya setelah berhasil mengontrol napasnya yang terdengar menyesakan itu.
"Tadi, di pub itu. Sebenarnya aku mau menemui seorang teman. Kami sudah berjanji untuk bertemu di sana, tetapi aku tidak dapat menemuinya. Lalu, sambil menunggunya, aku memesan minuman. Itu karena aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan." Ucapnya, masih dengan disertai isak tangis yang tertahan. Kebingunan, kekhawatiran dan ketakutan tampak jelas tergambar di dalam raut wajahnya yang ayu dan cantik alami.
"Aaaaaaarghh!!"
Tanpa aku duga, tiba-tiba perempuan itu menjerit dengan sangat kencang, beberapa tumpuk sesal, putus asa dan rasa takut yang menyesakan dadanya seketika meledak.
Perempuan itu menjambak rambutnya dengan kedua tangan mungilnya itu, hingga kini rambut perempuan itu terlihat semakin bertambah berantakan.
Aku buru-buru menutup mulutnya dengan telapak tanganku. Aku benar-benar khawatir, bagaimana jika orang-orang yang melintas di jalan ini curiga? Akibatnya bisa fatal. Bisa-bisa kami di hakimi oleh massa, atau bahkan di ciduk oleh satpol PP, kemudian viral. Mau di taruh di mana muka kami berdua jika hal itu terjadi?
"Ssstt!! Jangan teriak, nanti ada satpol PP lewat, kacau kita nanti!" Ucapku, berbisik pelan kepadanya.
"Papi dan anak buahnya sudah menculikku, menyekapku dan bahkan Papi sempat berusaha memperkosaku! Tolong aku! Aku tidak mau kembali kesana. Tolong! Aku percaya kepadamu." Perempuan di sampingku tiba-tiba merengek sembari menggenggam tanganku dengan erat lalu menciumi punggung tanganku berkali-kali. Setelah isakannya sedikit mereda, perempuan itu kembali berkata dengan sungguh-sungguh.
"Aku tahu, kita baru bertemu. Tetapi aku rasa, karakter dan sikap kamu berbeda dengan lelaki yang selama ini pernah aku temui dan aku kenal. Tolong, selamatkan aku." Pintanya, kedua mata yang indah itu menatapku.
Tiba-tiba ia kembali menciumi punggung tanganku berkali-kali. Kemudian tanpa aku duga sama sekali, ia tampak merangkak pelan ke arahku dan mulai duduk di atas kedua pahaku.
Dengan cepat ia menempelkan bibirnya, menyambar bibirku saat itu juga. Kami pun kembali saling mengaitkan lidah, kembali melupakan tempat kami sedang berada, atau maksudku, lebih tepatnya kami tidak memperdulikan kami sedang berada di mana.
Perempuan itu mencumbui hampir seluruh permukaan wajahku, dadaku seketika terasa bergemuruh, rasanya lebih dahsyat. Gairah semacam itu kembali menggelora. Aku benar-benar tidak kuasa untuk menolaknya, apalagi menyingkirkan tangannya yang mulai bergerilnya mengusap area-area paling sensitif di tubuhku.
Sekarang, ia sudah berada di pangkuanku. Duduk di atas kedua paha sembari menyingkapkan roknya, lalu dengan sangat tergesa-gesa, perempuan itu tampak melemparkan celana paling dalam miliknya yang berwarna hitam entah ke mana. Aku tidak perduli ia lemparkan ke mana, kedua mata dan andrenalinku seketika terpecik aliran libido yang tiba-tiba bergejolak. Terlebih menyadari bagian bawah tubuh perempuan itu sudah polos tidak tertutupi apa-apa lagi.
Satu detik kemudian, perempuan itu bergerak ke arah celan jeansku, membuka resleting, dan mengeluarkan bagian dari tubuhku yang sudah membengkak hingga mengeras sedari tadi.
"Lakukan lagi disini!" Bisiknya pelan.
Aku tercekat, membelalakan kedua bola mataku tanpa mampu menolaknya sedetikpun. Aku hanya bisa meresapi sesuatu yang hangat dan basah menghimpit tongkat pusaka di antara kedua pangkal pahaku. Hingga lorong kecil milik perempuan itu dipenuhi oleh tongkat kelelakianku sepenuhnya.
Mobil mulai terasa bergoyang, pinggulnya beranjak naik dan kembali turun secara teratur dan berkala dengan cepat.
-- Next Chapter--
Celana Dalam Hitam
Aku tidak bisa hanya berdiam diri saja menerima semua serangannya, aku harus mengimbanginya. Kami benar-benar tidak memperdulikan lagi jika kami sekarang tengah tengah berada di sebuah taman yang sepi dan gelap.
Kedua tanganku lantas mengangkat pinggangnya, meminta perempuan itu untuk menaikan sedikit tubuhnya agar aku bisa dengan leluasa menyerang area sensitif kewanitaan milik perempuan itu.
Dengan cepat dan ritme teratur, aku hentakan pinggulku ke atas dan ke bawah berkali-kali. Semakin lama, gerakanku semakin kencang dan bertambah kencang. Mobil yang kami tempati terasa bergoyang dengan sangat hebat mengikuti irama hentakanku selama beberapa menit ke depan.
"Aaaaaahh!"
Akhirnya, organ vital bagian tubuhku yang bandel ini pun muntah. Perempuan itu lalu memeluk leherku dan menciumi bibirku dengan sangat lembut. Rambut dan keningnya tampak basah oleh keringat dan sisa-sisa tetesan air mata.
"Mungkin, kamu menganggapku murahan, tapi ketahuilah .... selain dengan almarhum suamiku, aku berani melakukan ini hanya denganmu, malam ini. Aku rasa, aku mulai menyukaimu ...." Bisik perempuan itu pelan, hampir tidak terdengar.
Napas kami masih terdengar menderu kencang, terasa sedikit sesak dalam dada. Rasanya, napasku kini hanya tinggal tersisa setengahnya saja. Sungguh, badanku lemas, hormon andrenalin dalam tubuh seakan sudah terkuras habis. Tubuhku kini benar-benar bermandikan keringat.
Aku lalu buru-buru merapikan kembali celana jeansku, memasang sabuk dan mengencangkannya. Kedua tanganku dengan perlahan bergerak menuju puncak kepala, merapikan rambut dengan ujung jari-jari tangan sembari mengusap keringat yang masih terasa membasahi kening. Sisa-sisa pertempuranku dengannya.
Ah, perempuan itu memang hebat.
Di sampingku, ia tampak sibuk mencari sesuatu. Menjulurkan kepalanya ke bawah jok. Mungkin pikirnya, barang yang ia cari terjatuh ke bawah kolong jok kursi mobil, entahlah.
"Astaga!" Aku mendesis dalam hati.
Perempuan itu tiba-tiba berjongkok di depanku. Kedua lututnya berdiri diatas jok, lalu mengarahkan kepalanya ke bawah. Entah disadari atau tidak, pinggulnya tepat berada di depan mataku.
Dengan posisi seperti itu, rok pendek berwarna merah yang dipakainya sudah pasti tersingkap hingga ke atas pinggul, tanpa celana dalam yang menutupinya.
Terbayang? Pemandangan apa yang tersaji indah di depan mataku saat itu?
Mataku seketika membulat tanpa kedip. Aku sudah pernah melihatnya dengan jelas di dalam toilet pub, tetapi pemandangan seperti ini memang tidak pernah cukup hanya dengan sekali pandang saja, rasanya aku ingin memandanginya setiap saat.
Pinggulnya benar-benar padat, sayang sekali jika aku abaikan. Putih, mulus, padat dan sangat kencang. Itu adalah dua bulatan yang paling sempurna yang pernah aku lihat.
"Ya ampun!" Aku menjerit dalam hati, “Itu! hey! Celah sempit yang indah itu mengintip di antara pangkal paha bagian belakang tubuhnya. Astaga!" Aku sibuk berceloteh dalam hati. Walau sudah dua kali menikmatinya, perempuan itu sungguh-sungguh sudah menjadi candu yang tidak akan pernah terasa membosankan bagiku. Perempuan yang berada di sampingku ini benar-benar selalu berhasil membakar api gairah dalam tubuhku.
Pemandangan indah itu masih belum berakhir.
Jika kalian paham, bulu-bulu halus di antara lorong kecil, lembab, basah dan hangat itu terlihat bergelantungan diantara ujung pangkal pahanya yang saling menempel. Bentuk sempurna dari segumpal daging tipis terbelah yang membentuk 2 buah garis itu kembali metampakan diri. warnanya merah muda kecoklat-coklatan. Tampak segar dan sangat menggoda. Jantungku seketika kembali berdetak kencang. Seolah ada aliran listrik yang tiba-tiba menyetrum ubun-ubun di puncak kepalaku.
Aku menarik napasku dalam-dalam dan berat, celana jeans yang baru saja aku kenakan, kembali terasa sesak dan mengetat. Ada sesuatu yang menggeliat dan membengkak dari salah satu bagian tubuhku yang paling sensitif. Tegang dan mengeras.
"Sudah, hey! Malam ini kau sudah melakukannya dua kali! Bahkan, sampai saat ini kau masih belum mengetahui siapa namanya!" Sentakku dalam hati, menghardik diriku sendiri. Terutama kepada “Si Joni, adik kecilku yang tidak tahu diri ini”.
"Ah iya!" Aku berseru, masih dalam hati.
"Hmmm, ma-maaf nona, aku harus memanggilmu siapa? Ma-maaf baru menanyakan namamu sekarang." Tanyaku pelan, tidak terasa sebuah senyum geli terukir di wajahku.
Kok bisa, ya! Baru kenal, --bahkan kita tidak saling mengetahui nama-- tetapi sudah melakukan penyatuan diri sampai dua kali dalam satu malam. Aku menggelengkan kepalaku tak habis pikir.
"Celana dalamku mana!?" Teriaknya, menghiraukan pertanyaanku lalu memilih untuk mengibaskan tangannya ke sana ke mari ke bawah kolong jok mobil. Belakang pinggulnya yang padat dan indah itu kembali menghiasi pandangan. Sepertinya hal itu menjadi pemandangan paling paporit bagiku, malam ini.
Bayangkan, bokong putih, mulus dan padat!
"Astaga!" Aku kembali berteriak dalam hati, menahan diri. Menelan air liurku sendiri lalu menarik napas dalam-dalam, menenangkan gejolak hasrat yang seakan tidak mengenal kata sudah.
"Tolong cariin celana dalamku, aku lupa tadi lempar kemana!" Ia berteriak histeris, masih mengabaikan pertanyaanku mengenai namanya.
"I-iya ... ta-tadi kamu lempar kemana?" Tanyaku, melepaskan pemandangan indah di depanku, lalu mulai membantu mencari celana dalam miliknya yang entah ia lempar ke arah mana.
"Aku lupa!" Perempuan itu kembali berteriak.
Celana dalam miliknya yang berwarna hitam itu memang serupa dengan warna cahaya dalam mobilku malam ini, sama-sama gelap. Jadi lumayan agak menyulitkan misi pencarian celana dalam.
"Masa aku harus menyalakan lampu?" Tanyaku dalam hati. Aku masih khawatir ada orang yang curiga, melihat mobil terparkir dengan sangat lama di taman kota ini.
"Sekarang-sekarang ini, ‘kan lagi musim satpol PP razia keliling." Pikirku dalam hati. Aneh, bukankah telat mengkhawatirkannya sekarang? Setelah penyatuan diri kami yang liar itu selesai? Saat kau melakukannya, otakmu kemana? Sial! Aku sampai mengabaikan hal se-serius itu. Padahal, mobilku bergoyang dengan sangat kencang saat kami menyatukan diri barusan. Siapa yang tidak akan curiga bila melihat mobil bergoyang di taman kota selarut malam ini?
Gila, perempuan ini membuatku melupakan dan bahkan mengabaikan segala hal. Bahkan keselamatanku. Aku seakan sudah tidak memperdulikan lagi tentang keselamatan diriku sendiri.
"Kita harus buru-buru pergi, bahaya lama-lama parkir disini," pikirku.
"Kamu melemparkannya kemana?" Tanyaku.
"Entah, aku lupa!" Teriaknya sekali lagi. Lalu ia mengalihkan pandangannya ke jok belakang mobil. Aku bersyukur, setidaknya pinggulnya sekarang tidak lagi berada tepat di depan mataku. Aku takut tidak kuat menahan diri.
"Ah itu!! Hahha!" Tiba-tiba ia berteriak kegirangan. Celana dalam berwarna hitamnya telah ditemukan. Syukurlah. Kini kita bisa segera pergi.
Ia tampak menahan tubuhnya dengan mencengkram bahuku, masih berdiri dengan kedua lututnya, ia berusaha meraih celana dalam itu dengan tangan kanannya.
"Berhasil!" Aku berteriak dalam hati kegirangan, lalu ia pun segera memakainya.
Drama celana dalam berwarna hitam itu akhirnya selesai, tetapi pertanyaanku masih belum mendapatkan jawaban.
"Maaf nona, aku harus memanggilmu --- "
"Tiiiidd!!! Tiidd!! Tiiid!"
Belum selesai pertanyaanku terucap, suara klakson di belakang membuat kami berdua kaget minta ampun. Badanku terhentak, begitupun perempuan di sampingku, seketika kami serempak memutarkan kepala, melihat kearah belakang.
Pertanyaanku mengenai siapa namanya lenyap seketika. Untuk kesekian kalinya, aku kembali gagal mengetahui namanya.
Tanganku segera meraih kunci kontak, siap menyalakan mesin mobil, dan kabur secepatnya bila diperlukan. Firasatku mengatakan, sepertinya sesuatu yang tidak beres akan segera terjadi.
"Wooyy!!! Turun!" Suara yang aku kenali terdengar kencang menyambar kedua daun telingaku.
Kepala botak dengan gigi atasnya yang ompong itu muncul keluar dari kaca jendela mobil yang sudah berada di samping mobilku. Mereka lalu tampak bergegas keluar dan berusaha menghadang mobil kami.
Sebelum itu terjadi, secepat kilat aku buru-buru menyalakan mesin, dan lalu tancap gas.
Kejar-kejaran-pun terjadi. Kami seakan sedang balapan liar, saling susul menyusul disertai teriakan kasar dari si botak tadi.
"Berhentii! Wooy! Berhenti!!" Teriakan Si Botak itu terus saja terdengar, samar. Terkalahkan suara mesin yang menderu.
Mana mau aku berhenti, menyerahkan diri? Tidak mungkin. Walaupun aku sanggup menghadapi mereka semua bertarung secara jantan. Tapi aku tidak mau mempertaruhkan nasib perempuan di sebelahku.
"Brak!" Mobilku ditabrak dari belakang.
Aku segera mempercepat laju mobil, menginjak pedal gas dalam-dalam.
Perempuan di sampingku terdengar berteriak dengan histeris. "Jangan sampai aku tertangkap! Aku lebih baik mati daripada harus kembali ke rumah itu!" Teriakan perempuan itu terdengar berulang kali di telingaku.
--------- Batas Preview ---------
Maaf, cerita terkunci!
KHUSUS MEMBER
PAKET EKSKLUSIF
Sepertinya kamu belum memiliki akun. registrasi akun dulu, yuk!
Dapatkan Hak Akses untuk membuka semua judul cerita yang terkunci.
Registrasi Akun
*Hanya kamu yang bisa melihat ini
-
Hak Akses Paket : -
Masa Aktif : -
Kamu sudah masuk, hanya saja belum memiliki Hak Akses Eksklusif untuk membuka seluruh judul cerita yang terkunci. Silahkan berlangganan Paket Eksklusif terlebih dahulu.
Langganan PaketKlik tombol ini :
Langganan Paket
Maaf, paket eksklusif hanya dapat diakses oleh member yang berlangganan PAKET EKSKLUAIF. Paket premium kamu saat ini adalah Silakan berlangganan paket premium untuk mengakses cerita ini. Terima kasih.
Post a Comment