no fucking license
Bookmark

Rekan Kerja




"Aku lelah menunggu." Ucap Santi pelan. Lalu tanpa aku duga, Santi menyandarkan kepalanya di bahu ku, dan tanpa ragu Aku gemas! Kamu sama sekali tidak peka, Frans!" Ucapnya, lalu membungkukan badannya perlahan, hingga jarak wajah kami semakin menipis."
-- Blurb --

DISCLAIMER!

Cerita ini hanya sebuah karangan belaka. Dengan ini kami menganggap pembaca adalah benar sudah DEWASA dan mampu mempertanggung-jawabkan pilihan bacaannya sendiri. Semoga semesta menjadi saksi, bahwa kami sudah sangat serius berusaha untuk mengingatkan.

WARNING!

Anak kecil harap segera menyingkir!



Informasi Cerita :

Judul Cerita

Penulis

Total Chapter

Hak Akses

Hanya Untuk

:    Rekan Kantor

:    elngprtma

:    3 Chapter

:    Free

:    DEWASA!





FeatureImage

Bab 1 – Santi Rekan Kantorku

Santi, karyawati paling cantik yang kebetulan satu kantor denganku. Dalam darahnya mengalir darah Chinness dan tanah Jawa.

Wanita sempurna hasil perkawinan campuran. Ibunya Chinness dan Papanya Jawa. Wajah Santi begitu ayu, melebihi kecantikan wanita jawa pada umumnya, mungkin karena di dalam diri Santi ada sentuhan Chinness nya.

Terutama pada warna kulit, dengan mata agak sedikit sipit menghiasi wajah semi orientalnya itu, membuatnya menjadi wanita istimewa. Hampir semua karyawan di kantor menyukainya dan berharap bisa berkencan dengannya.

"Siapa yang tidak?" Pikirku dalam hati. Bibir tipis sensual dan bentuk hidung yang bangir, benar-benar sepadan dengan warna terang kulitnya, putih agak sedikit pucat. 

Tingginya diatas rata-rata perempuan lainnya. Dengan pinggul besar dan dada kencang, Santi menjadi primadona di kantor tempat kami bekerja.

Meja kami kebetulan berhadapan, aku tahu Santi selalu mencuri pandang kearahku. Tetapi aku selalu pura-pura tidak menyadarinya, lalu menyibukan diri dengan setumpuk dokumen yang menjadi rutinitas pekerjaanku setiap hari.

Bukan karena tidak tertarik, aku hanya merasa tidak percaya diri. Walaupun banyak wanita di kantor yang kerap kali mendekati dan menggodaku, tidak lantas membuat diri merasa paling sempurna. Bahkan, jika di depan Santi, kepercayaan diri ku seakan hilang.

Sampai suatu saat di lobby bawah ketika aku menunggu pintu lift terbuka, aku melihat di kejauhan Santi berjalan mendekati ke area lift, ruangan tempat aku berdiri sekarang. Seketika aku merasa kikuk dan serba salah, entah mengapa kehadiran Santi kali ini membuat dadaku bergetar hebat.

Terlebih di area tunggu lift ini tidak ada siapa-siapa, hanya ada kami berdua. Padahal setiap hari kami selalu bertemu dan bertatap muka. Bedanya, jika di ruangan kantor aku bisa mengalihkan pikiranku kepada dokumen-dokumen yang menumpuk di meja kerjaku.

Aku semakin gugup, terlebih saat Santi tersenyum sembari menghampiriku. 

"Hey! Sudah lama?" Tanya Santi, tanpa sadar sudah berada di sampingku. Wangi parfumya membuatku menahan napas untuk sesaat. Aku berusaha untuk tenang dan tidak menunjukan hal-hal yang memalukan.

Santi adalah rekan kerjaku, aku memang tertarik kepadanya sebagai lawan jenis, tetapi pikiran itu harus aku tepis sesegera mungkin. Tidak mungkin wanita secantik Santi akan mau berkencan denganku, lagi pula, tidak etis rasanya berkencan dengan rekan satu kantor.

"Eh, iya. Lumayan baru beberapa menit." Aku berusaha menjawabnya dengan notasi yang wajar. Aku tidak ingin terlihat gugup di depannya. Santi mengangguk pelan, lalu kembali tersenyum kearahku.

Aku memutar kepalaku kearahnya sembari membalas senyuman cantiknya itu sewajarnya. Hari ini Santi nampak sangat elegan sekali. Sosok wanita karir yang cantik tergambar dengan sempurna pada dirinya.

Tangannya nampak memeluk satu map arsip, sedangkan tangan satunya lagi menenteng sebuah tas kecil berwarna coklat. Jas blazer berwarna coklat yang ditariknya hingga menempel diatas siku dengan kemeja putih polos di dalamnya itu sangat serasi dengan rok diatas lutut berwarna serasi dengan blazer nya itu.

Tidak terasa, aku lantas menelan ludahku sendiri saat ku putar kepalaku kearahnya dan tanpa sengaja melihat belahan dadanya yang menyembul kencang terpampang nyata di sampingku.

"Ting!" Bunyi pintu lift terbuka. Kami lalu bergegas masuk kedalam lift dan menyentuh tombol dengan angka nomor 7 lalu aku segera bergeser ke sudut belakang.

Tas koper kulit berwarna hitam milikku, aku pegang di depan dengan kedua tanganku. Aku berayukur, didalam lift ini belum dipasang kamera CCTV, jika saja didalam lift sudah terpasang CCTV, mungkin sekali akan terlihat dengan jelas ke-kakuan-ku di depannya.

Pintu lift tertutup, aku tidak berani lagi memandang kearahnya. Sampai ia mendekatiku, lalu menatapku dengan tatapan yang tidak dapat aku artikan.

"Frans, kamu seperti takut melihatku, mengapa?" Santi bertanya dengan santai, kedua tangannya masih memegang tas kecil dan satu map arsip itu, tatapannya masih tertuju kepadaku.

"Eh, ti-tdak. Aku tidak takut. Maksudku, aku tidak apa-apa, Santi." Tiba-tiba suaraku terdengar gelagapan, menatap kedua bola matanya sesaat lalu kembali mengalihkan pandangan ke arah lain.

Satu tetes keringat terasa menetes di keningku, aku berusaha kuat mengendalikan diri. Dadaku selalu terasa bergemuruh jika berada di dekatnya.

Harum wangi tubuh, serta wajah cantik dengan kulit putih mulus dengan belahan di dadanya itu membuat otak ku tidak karuan.

"Ceekiiiiiikkk!" 

Belum sempat Santi kembali mengucapkan sesuatu kepadaku, tiba-tiba terdengar suara berderit. Laju lift seketika berhenti memanjat gedung. Lampu di dalam lift untuk sesaat mati hingga gelap gulita, lalu kemudian kembali terang menyala.

"Aaahh!" Santi memegang lenganku dengan erat sembari menyapu 

pandangannya ke seluruh dinding di dalam lift ini.

"Frans! Ada apa ini?" Teriaknya panik. "A-aku tidak tahu, biasanya lift ini tidak pernah macet." Ucapku, sembari membalas pelukan tangan Santi di siku lenganku.

Aku sama paniknya.

Aku lalu memutarkan pandangan kesegala penjuru. Kini aku menyesal telah mensyukuri bahwa di dalam lift ini belum terpasang CCTV.

Ah, andaikan saja ada CCTV, tentu kami bisa meminta tolong operator security di lobby bawah sana. Aku segera merogoh saku, mengambil ponsel dan berusaha menghubungi Fajar, security kantor.

Kebetulan Fajar selalu siap sedia membantuku jika aku membutuhkan uluran tangannya, untuk sekedar menggandakan dokumen ke mesin fotocopy di lantai bawah, Fajar tidak pernah merasa keberatan, karena itu aku mempunyai nomor ponselnya.

"Tut, tut, tut!" Terdengar nada panggil sibuk, ponsel Fajar tidak bisa di hubungi. "Ah sial! Ponselnya tidak bisa dihubungi!" Ucapku kesal. "Siapa?" Tanya Santi, raut wajahnya masih menampakan ke-panik-an

"Fajar, Security kantor."

"Ohh ..." -- Santi terdiam sesaat, "sebentar, aku coba hubungi Pak Haris ya." Ucap Santi, tangannya nampak sedikit gemetar membuka kontak di ponselnya itu, lalu mencari nama Pak Haris, kepala gudang.

"Tut, tut, tut!" Kembali terdengar suara nada sibuk. "Aargh! Sama, Pak Haris juga ponselnya tidak aktif! Gimana dong ini, sampai kapan kita terjebak disini, Frans?" Ucap Santi sembari menatapku.

Tatapan matanya masih terlihat cemas, lalu tangannya kembali menggenggam pergelangan tanganku dengan erat sembari berteriak dengan kencang.

"Wooyyyy!!! Bukaaaa!!!! Kamii terjebaaaak di dalaaam liiiiftttt!" Teriak Santi, berharap ada seseorang atau siapapun yang di luar mendengarnya.

Santi melepaskan pegangan tangannya lalu memukul kencang dinding lift itu.

"Ddaaaarrr! Dddaaaarrr! Daaarrrr!" Santi lalu memukul-mukul dinding lift itu dengan kuat.

"Siapapun yang di luar! Toloong!" Santi kembali berteriak. Lalu senyap, tidak terdengar satu balasan apapun. Sepi.

"Aaahhh sial." Ucapnya lemas. Lalu Santi nampak terduduk di lantai lift itu, ia biarkan map yang berisi arsip dan tas kecilnya tergeletak begitu saja di bawah lantai.

Santi masih terduduk sembari meluruskan kakinya yang putih mulus itu, lalu mengibaskan tangan ke arah leher dan dahinya yang nampak sedikit berkeringat.

Aku mengikutinya, duduk dibawah lantai lift, tepat di sampingnya. Kini, rasa kikuk karena ke-tidak percayaan diri di hadapan Santi, perlahan memudar.

Aku harus bisa menghadapi situasi seperti ini, setidaknya berusaha untuk tetap tenang sampai bantuan untuk kami datang.

"Tenang, kita coba tenang ya Santi. Orang kantor pasti akan segera menyadari, jika salah satu lift di kantor ini ada yang macet. Kita hanya perlu bersabar sebentar." Ucap ku, menepuk bahunya pelan, lalu menekuk kaki kananku agar dapat menopang tanganku yang perlahan menjambak rambut ku sendiri.

"Iya, tenang saja. Aku suka situasi ini. Cukup memompa andrenalin, bukan?" Santi tersenyum menatapku. Aku membalas senyuman nya itu dengan agak sedikit kecut, mata kami saling beradu pandang, tetapi aku masih tidak mengerti maksud perkataannya, aku hanya menganggukan kepala pelan ke arahnya.

Lalu sunyi, kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Sering kali, aku tidak bisa menahan diri untuk melirik diam-diam kearah belahan dada Santi hingga pahanya yang putih tersingkap itu.

Entah, Santi mengetahui hal itu atau tidak. Aku lelaki dewasa normal yang tidak mempunyai keberanian untuk merayu, tetapi berani mencuri pandang sesuatu yang tidak seharusnya aku lihat.

Sepuluh menit berlalu, waktu terus bergerak. Hingga sudah lima belas menit berlalu dengan percuma, masih belum juga nampak tanda-tanda penyelamatan untuk kami.

Santi tiba-tiba membuka jas blazer nya itu, lalu melemparkannya ke sudut ruangan lift. Kemeja putih polos yang agak tipis itu nampak ketat membalut tubuhnya yang sintal. Hingga bentuk tubuhnya terlihat dengan jelas oleh kedua mataku. Santi lalu terlihat membuka satu kancing atas kemejanya itu, hingga belahan dadanya yang padat berisi itu semakin terlihat seakan ingin berhamburan keluar dengan kencang.

Aku kembali menelan ludahku sendiri. "Gerah." Ucapnya santai, sembari menggeser pinggulnya ke arah ku, hingga posisi kami sekarang begitu dekat.

"Aku lelah menunggu." Ucap Santi pelan. Lalu tanpa aku duga, Santi menyandarkan kepalanya di bahu ku, dan tanpa ragu melingkarkan tangannya ke pergelangan siku tanganku.

Jantungku seketika bergetar hebat. Sebelah dada Santi yang menyembul kencang itu terasa mengenai pergelangan tanganku. Sesuatu yang kenyal dan hangat terasa olehku. Hinggaa jantung di dada ku seketika berdetak lebih kencang dari biasanya.

"Sa-santi." Ucap ku pelan, memutarkan kepalaku lalu menoleh ke arahnya. Tiba-tiba mataku membulat menatap ke arahnya, saat menyadari ia sudah beranjak duduk ke atas pahaku. Celana rok yang ia kenakan tersingkap ke atas, hingga celana dalamnya yang berwarna hitam itu terlihat jelas di depan mataku.

"Apa aku kurang cantik bagimu, Frans?" Tiba-tiba Santi melontarkan pertanyaan yang sangat tidak terduga olehku.

"Mana mungkin, Santi adalah wanita yang paling cantik yang pernah aku kenal." Suara batin ku berucap dalam hati sembari kembali menelan ludahku sendiri.

"Semua lelaki berharap dapat kencan dengan mu, Santi." Ucap ku pelan, mataku membelalak, masih belum mampu percaya, Ia yang selalu mengusik gairah ke-lelakian ku, kini sedang duduk di atas pahaku.

"Lantas kamu sendiri?" Tanya Santi. Kini tangannya mulai meraba tubuhku dengan kedua telapak tangannya lembut itu. Aku tercekat, tidak bisa berkata-kata, lidah ku kelu, menahan gairah yang memuncak didalam dada.


Bab 2 – Di Dalam Lift

"Aku gemas! Kamu sama sekali tidak peka, Frans!" Ucapnya, lalu membungkukan badannya perlahan, hingga jarak wajah kami semakin menipis.

Satu detik kemudian, bibirnya terasa begitu lembut dan kenyal menyentuh bibirku. Dengan penuh napsu, Santi mulai melumat bibirku, menggigit pelan bibir atasku sembari menghisap salivaku dalam-dalam.

Aku membalas serangannya, menggigit kecil bibirnya yang selalu nampak sensual itu, lidah kami pun seketika saling melingkar dan meliuk-liuk di dalam rongga mulut, saling menghisap saliva masing-masing.

"Mimpi apa aku semalam?" Pekikku dalam hati, keringatku kembali terasa menetes di dahi. Selama ini aku memang selalu tidak mempunyai keberanian dan rasa percaya diri yang kuat jika berada di hadapan nya.

Tetapi aku seorang lelaki dewasa yang normal. Mendapat serangan seperti ini, naluri lelakiku secara alamiah bergejolak dengan hebat. Aku mulai berani memainkan lidahku, menyusuri leher putih dan jenjangnya itu kesana kemari. Aku tidak mau menggigitnya hingga meninggalkan tanda merah di leher nya. Aku tidak pernah suka berbuat seperti itu. Norak dan memalukan.

Kedua tanganku lalu melingkar di belakang pinggul nya, beberapa saat kemudian beralih menjelajahi dadanya yang menyembul kencang itu. Bukit kembar yang putih mulus dan kencang itu sekarang sudah berada di dalam genggamannku, tanganku lincah meremasnya perlahan. Lalu, satu per satu aku buka kancing kemeja nya itu, hingga bukit kembar di dada Santi kini terlihat dengan sangat jelas di depan mata ku.

Santi menarik kepalaku ke dada nya. Aku mulai semakin kreatif, menarik bra yang menopang kedua bukit kembar itu hingg ke bawah, sampai daging kecil di ujung bukit kenyal itu menyeruak keluar. Santi semakin menekan kepala ku hingga bibir ku menempel erat di puncak bukit itu.

Segera ku jelajahi daging kecil di ujung bukit kembar itu dengan lidahku. Menghisap dan menjilatinya dengan pelan tapi pasti. Tubuh Santi nampak menggelinjang menahan gairahnya yang membuncah di dada, kedua tangannya mulai menjambak rambutku hingga berantakan.

"Sssssshhhhhh aaahhh Frans! Aku sudah lama menginginkan mu!" Ucap Santi mulai melantur, kedua bola matanya terpejam, menikmati sensasi yang mendebarkan ini. Lalu tanganku bergerak ke arah pungungnya, membuka kancing tali yang menyangga kedua bukit kembar nya itu hingga terlepas dan terjatuh di lantai lift.

Bukit kembar yang bulat, putih dan padat itu kini terlihat dengan jelas tanpa tertutup apapun di depan mataku. Jantung berdebar kencang. Sementara Batang kelelakianku seketika berdiri keras. Lalu, Santi bangkit dan berdiri, menarik tangan, dan membantu ku berdiri. Dengan liar, Santi mendorongku hingga tubuh kami rapat berdiri di pojokan lift yang sedang macet ini.

Kami kembali saling merapatkan bibir tanpa sekat menjelajahi rongga mulut. Lidahku semakin gencar menari-nari di dalam bibirnya yang tipis dan selalu tampil sensual itu. Terasa enak, kenyal, basah dan memabukan.

Santi kembali meliuk-liukan tubuhnya sembari melemparkan kemeja putihnya itu ke lantai lift. Tubuh bagian atasnya kini sudah terlihat polos tanpa ada yang menutupinya sedikitpun. Kulit blasteran Chinness dan Jawa itu sangat bersih, putih dan mulus.

Jantung ku seakan mau meledak seketika melihatnya. Lalu, tanganku mulai menyentuh daerah organ vitalnya itu, mengusap pangkal pahanya dengan lembut.

Aku bisa merasakan gairah libidonya semakin kencang. Resleting celana rok Santi perlahan aku turunkan, sementara kancing nya itu sudah terlepas sedari tadi.

Kini, celana rok yang di kenakan Santi sudah mulai longgar, tanpa harus menariknya ke bawah, celana rok itu meluncur dengan sendirinya ke lantai lift.

Ciuman kami semakin lama semakin liar, entah sudah berapa menit lidah kami saling mengaitkan diri satu sama lain, menghisap saliva kami masing-masing hingga bibirku terasa mengering.

Santi tidak mau kalah, ia dengan cepat membuka jas dan kancing kemeja ku, melemparnya ke lantai sembari menyusuri leher ku, lalu mendarat di daging kecil di puncak dada ku. Ia menjilatinya dengan napsu, sesekali Santi menghisap nya dengan kuat.

"Ssssshhhh aaahh San-santiii!" Aku mengerang, memeluk belakang kepalanya erat, sensasi ini terasa sangat hebat. Santi ternyata sangat pintar, menambah gairah seksual ku semakin panas menyerang ubun-ubun ku.

Setelah beberapa saat menciumi dada ku, Santi kemudian bergerak semakin ke bawah. Aku melihat tubuhnya yang sudah setengah telanjang itu, berjongkok tepat di depan alat reproduksi-ku.

Aku kembali menelan ludah. "Aaahh, sepertinya akan terjadi di sini. Aku dan santi akan melakukannya." Pikirku dalam hati.

Tangan Santi bergerak cepat, membuka resleting celana ku, dan menariknya hingga meluncur ke bawah lantai. Dengan satu kali tarikan tangannya, celana dalam ku kini sudah tidak lagi berada di posisinya.

Nampak batang kelelakian ku sudah berdiri tegak dan keras. Santi benar-benar akan mengasainya sekarang. Kedua tangannya yang tidak begitu besar itu mulai menggenggam batang kelelakian ku dengan cukup erat, lalu bergerak dari atas kebawah, lalu ke atas lagi, begitu terus secara berulang.

Aku memejamkan kedua mataku. Meresapi sensasi dahsyat yang ku rasakan saat ini. Kedua tangan ku kembali memeluk puncak kepalanya. Tiba-tiba, aku merasakan ada sesuatu yang basah dan kenyal mengulum batang besar milkk ku itu, hingga batang di pangkal pahaku itu amblas setengahnya ke dalam mulut Santi yang mungil dan selalu terlihat sensual itu.

"Ssssaan-saantii!" Aku mendesis, menahan rangsangan maha dahsyat yang menyerang ku lagi. Santi lalu mulai memainkan gerakan mulutnya, nampak kepalanya bergerak maju dan mundur secara teratur, sementara kedua tangannya masih menggengam erat dasar batang kelelakianku dengan kedua kencang.

Cukup lama Santi melakukan itu, keringat yang menetes di dahi ku semakin banyak. Aku rasa, aku sudah tidak kuat lagi. Perlahan aku menarik kepalanya, sampai bibirnya terlepas dari tancapan batang besar milik ku ini.

Dengan kedua tangan ku, aku menarik bahunya agar kembali berdiri. "Kini saatnya bagian tugasku." Ucap ku dalam hati. Aku membantu Santi berdiri, hingga kami kembali berhadapan dengan tanpa jarak.

Tatapan sorot matanya nampak di penuhi dengan napsu birahi. Aku mendekatkan kepalaku ke arahnya, leher jenjang miliknya itu aku jilati seluruhnya, sementara kedua tanganku meremas pinggul besar yang kencang itu.

Perlahan, aku menarik celana dalamnya ke bawah, hingga terlepas seluruhnya. Akhirnya kami berdua telah sama-sama polos, tanpa dibalut sehelai benang pun.

Karena napsu yang begitu sangat memuncak, kami sama sekali tidak memperdulikan jika tiba-tiba pintu lift ini akan terbuka. Aku segera menyusuri tubuh yang padat dan berisi itu dengan lidahku.

Mulai dari leher hingga kemudian meluncur turun ke dada nya. Menghisap daging kecil yang berwarna kemerah-merahan itu sembari menjilatinya dengan perlahan. Santi mendesis, kembali menggelinjang sembari memeluk tubuh ku erat.

"Fraaannns! Uuugghhhh .. enak .. sssshhh." Desisnya pelan, matanya terlihat menutup alalu membuka kembali dengan perlahan. Setelah cukup puas memainkan kedua bukit kembarnya, aku mulai menurunkan badanku, sembari menahan kaki nya ke atas, aku mulai menjilati lubang sensitif milik Santi, bulu-bulu halus itu terasa sangat lembut dan wangi di hidungku.

Lidahku mulai menyerobot masuk ke lubang kecil itu dengan perlahan, sembari menghisap organ vital Santi yang terbelah indah itu. Debaran jantungku menderu dengan sangat kencang. Seuntai daging kecil diatas bibir lubang yang terbelah itu, aku gigit perlahan lalu kembali menghisapnya berkali-kali, hingga daging kecil itu masuk dan keluar di dalam mulutku secara teratur.

Kedua tangan Santi terasa seolah merobek rambutku, menjambak ku dengan liar, menahan gairahnya yang semakin memuncak. Celah sempit organ vitalnya itu kini terasa lebih basah. Sembari menghisapnya, jari tengahku mulai menyerobot dan memaksa masuk dengan perlahan hingga tembus satu per empat nya.

"Uuuuuuughhhh Fraaaannss!" Santi menjerit kecil, kedua bola matanya naik keatas dan lalu nampak terpejam untuk sesaat, Santi benar-benar sedang menikmati sensasi hebat yang sedang aku berikan untuknya.

Jari ku mulai memainkan peran nya, pelan tapi pasti menyodok lubang sempit itu dengan ritme yang teratur, sementara lidah dan bibirku masih menghisap pelan daging kecil diatas lubang terbelah nya itu dengan penghayatan penuh.

Tubuh Santi mulai terasa bergetar, meliuk-liuk dengan sangat indah. "Ini waktu nya." Pikir ku. Aku segera mengeluarkan jari tengah ku dari himpitan lubang kecilnya yang sudah terasa sangat basah itu.

Aku kembali berdiri dan memeluknya dengan erat, bibirku lagi dan lagi dikulumnya dengan sangat luar biasa. Santi benar-benar terlihat sudah sangat bernapsu.

Pinggul Santi yang bulat dan berisi itu aku remas berkali-kali, lalu mengangkat satu pahanya itu dengan tangan kiri ku. Kini, lubang sempit miliknya sudah terbuka lebar, siap menerima 

tamu berupa batang besar milik ku ini.

Sembari mengangkat pahanya, aku mulai mengarahkan batang kelelakian ku ini tepat ke arah lubang sempit yang berbulu indah itu. Perlahan, batang besar berwarna kemerah-merahan milik ku ini mulai menyelusup masuk ke dalam celah yang sudah terasa sangat basah itu.

"Aaaaaahh Fraaaaannss pelaaaaan, sakiitt! Aaassshhhhhhh." Santi memeluk leherku dengan sangat kuat sembari menggigit pundak ku.

"Tahan, sebentar ya Santi, sebentar." Ucapku berbisik di daun telinganya. Lalu, setelah batang besar milik ku itu masuk satu per empat-nya, aku menghentak kan pinggul ku, hingga amblas sudah seluruh nya menembus ke dalam rahim nya itu.

"Uuuuughhhhhh Aaaaaaahhhh Fraaaaaannnss!" Santi melenguh kencang sembari erat memeluk leherku. Bibirnya seketika menyerobot bibirku lagi. Santi bernapsu sekali melumatnya, hingga bibir bawah ku tertarik oleh nya, Santi mengulum bibirku dengan penuh napsu.

Pinggul ku kini mulai menghentak dengan teratur, sementara kedua tangan ku menggenggam erat dua bulatan besar di pinggul Santi. Bokong yang besar itu benar-benar kencang, tetapi terasa lembut berada di genggamanku.

"Plaaak!" Sesekali aku menepuk bokongnya itu dengan perlahan. Santi menjerit kecil, tubuhnya kembali bergetar, dengan napas yang tersenggal, suara parau mendesis itu menambah birahiku semakin memuncak.

Hentakan demi hentakan aku pacu dengan sangat bergairah. Santi kembali menggelinjang, menciumi leherku dengan penuh napsu, meliuk-liukan tubuhnya yang indah itu.

Setelah beberapa lama, aku meminta Santi untuk membelakangiku. Aku putar tubuh Santi yang padat dan berisi itu hingga bokong nya mengarah tepat berada di depan pangkal paha ku.

Kedua tangan Santi memegang dinding lift, sembari meyilangkan kedua kakinya. Bokong indah milik santi membuatku kembali menelan ludah. Bentuknya yang bulat dengan kulit putih mulus dan bersih itu membuatku tidak sabar untuk segera bertamu ke liang sempit itu lagi.

Sembari memegang erat pinggangnya, aku arah kan batang besar milik ku ke arah lubang sempit yang basah itu.

"Jleb! Blesek!"

"Aaaaaaahhhh Fraaaaannsss! Enaaakk!" Santi menjerit pelan.

Aku mulai mengatur irama hentakanku. Pinggulku bergerak maju dan mundur dengan cepat. Semakin lama semakin cepat, hingga aku merasa ada dorongan hebat di dalam tubuhku.

Kedua tanganku nampak semakin erat menggenggam pinggangnya. "Aaaaaaahhh Santii! A-aku ma-mau keluaaar!" Aku mengerang, saat cairan di dalam tubuh ku membasahi lubang sempit miliknya itu. Menerobos masuk ke dalam rahimnya.

"Aaaaaaasssssshhhhhhhh!" Tubuh ku seketika melemas.

Kedua tanganku melingkar di bawah dadanya, sedangkan tubuhku ambruk dan jatuh diatas punggung yang putih mulus itu.

Santi nampak lemas membelakangiku, dengan napas yang masih terasa memburu, aku mulai melepaskan batang kelelakianku itu dengan perlahan.

Lalu seketika terlihat cairan kental menetes perlahan dari rongga celah sempit yang berwarna merah muda kecoklat-coklatan itu.

Aku bergegas melepaskan pelukanku, hendak meraih pakaianku yang nampak berserakan di bawah lantai lift itu.

Selagi aku akan mengenakan pakaianku kembali, Santi tiba-tiba membalikan tubuhnya dan memelukku dengan sangat erat. Bibirnya kemudian terasa menempel tanpa sekat dengan bibirku. Menarik lidahku dan mengulumnya.

Santi kembali memainkan lidahnya, menari di sela-sela bibirku dengan penuh gairah. Aku membalasnya, menggigit bibir bawahnya dengan pelan sembari melayangkan kedua telapak tanganku di atas pinggulnya, meremas bokong bulatnya itu dengan lembut.



Bab 3 – Saling Memagut

Sesaat kemudian Santi melepaskan ciumannya dan berkata,

"kamu menyukainya Frans?"

Kedua mata Santi menatapku, gairahnya terasa masih membara. Tangan Santi lalu membelai lembut dadaku dan menurukan kepalanya, mengecup dadaku dan memainkan ujung lidahnya itu.

"Uuughhh, Santi! Geli." Ucapku pelan. Kututup kedua mataku, menikmati sensasi yang tidak dapat lagi ku utarakan, betapa nikmatnya sensasi rasa yang ia beri untuk ku.

Sembari menatapku dengan tatapan genitnya, tangan Santi lalu meremas kedua bola dibawah batang kelelakianku dengan pelan, bibirnya nampak melungkung indah sempurna.

"Katakan, kamu menyukainya, Frans," bisiknya ke arah telingaku. Lalu lidahnya kembali mejelajahi area belakang telingaku, menjalar ke setiap lekuk wajahku.

"Aku menyukainya, Santi. Sangat menyukainya. Kamu begitu menggoda, ini adalah impian semua lelaki di kantor ini, kamu tahu itu?" Ucapku pelan, lalu kukecup sekali lagi bibirnya yang tipis dengan bentuk yang sangat sensual itu.

Santi membalasnya, kembali mengulum bibirku dengan sangat bernapsu. Untuk beberapa saat kami saling mengulum dan mengecup bibir hingga pelan terdengar suara decak beradunya bibir dan lidah kami yang saling mengikat satu sama lain.

Perlahan, aku melepaskan pelukannya, lalu berkata pelan. "Santi, kita berada didalam lift, apa kamu lupa? Bagaimana jika nanti tiba-tiba pintu lift ini terbuka?"

Santi terlihat mengulum senyum tipis di wajahnya, lalu kemudian bibirnya terlihat merekah indah, sembari melepaskan pelukannya, ia mulai mencari dan mengambil pakaiannya yang masih tergelak di bawah lantai lift itu.

Kami mengenakan kembali pakaian sembari saling menatap penuh arti.

"Kamu, tau Frans? Aku lelah menunggu kamu menyambutku. Kode-kode yang selalu ku kirimkan untukmu tidak pernah kau balas. Seakan aku tidak menarik bagimu. Tidak, kah aku menarik bagimu Frans?" Ucap Santi, kembali merapatkan tubuhnya ke arahku. Tangannya melingkar di pinggangku sembari meletakan kepalanya di bahuku ini.

Segera kurengkuh tubuhnya, mengecup keningnya dengan lembut. Kami sudah tidak memperdulikan keadaan lift, hanya ingin menikmati kebersamaan kami yang teramat dahsyat ini dengan sempurna.

"Aku tidak punya keberanian untuk merayumu, Santi. Sebenarnya aku sangat menginginkanmu, sama seperti lelaki lain di kantor ini, tapi aku tidak mempunyai kepercayaan diri terhadapmu, aku takut kamu menolakku." Akhirnya pengakuan yang memalukan itu meluncur di bibirku.

"Bodoh! Apa kamu tidak merasakan perhatianku padamu selama ini?" Tanya Santi, matanya kini terlihat mendelik gemas.

Aku hanya tersenyum kecut sembari mengatur deru napasku yang masih terasa memburu.

"Selain bodoh, aku juga pengecut. Aku terlalu malu untuk mengajakmu berkencan. Padahal, dadaku selalu terasa bergemuruh hebat jika berada di depanmu." Ucapku pelan, berusaha menyembunyikan raut wajahku yang kini mungkin sudah memerah menahan malu.

"Bodoh!" Seru Santi, lalu kedua tangannya itu menarik kepalaku, dan kembali melumat bibirku dengan penuh kelembutan. Bibir yang kenyal dan basah itu kini sudah menguasaiku.

Tiba-tiba, dari arah luar kami mendengar suara orang-orang yang memanggil dan menggedor-gedor pintu lift itu. Kami segera saling melepaskan bibir, kemudian saling menatap dengan pandangan mata yang berbinar-binar.

"Braaak!

"Braak!"

"Halloo! Ada orang di dalam? Bu santi!? Pak Frans?!! Kalian di dalam?"

Teriakan beberapa orang terdengar dengan cukup kencang diikuti suara pintu luar lift yang dipukul dari luar.

"Iyaaa! Heeeyy siapapun di luar! Tolong kami! Kami terjebak di dalam lift!" Aku dan Santi sontak berteriak dengan sangat kencang sembari menggedor pintu lift dari dalam.

"Munduur! Kami coba buka paksa dari sini, ya!" Terdengar suara Fajar, Security kantor.

Kami bergegas bergerak mundur, merapatkan tubuh di dinding lift. Tangan kami nampak saling menggenggam, berusaha mengatasi situasi yang agak menegangkan ini.

Ketegangan ini berbeda dengan ketegangan yang kami alami sebelumnya. Ketegangan yang lalu adalah pengalaman yang sangat indah dan tidak akan pernah kami lupakan sampai kapanpun.

"Kreeeeeek!

Perlahan, nampak pintu lift terbuka, Fajar dan beberapa rekan security lainnya nampak membuka paksa pintu lift itu dengan menggunakan linggis dan beberapa perkakas lain di tangan mereka.

Akhirnya, setelah beberapa saat kemudian, pintu lift dapat terbuka lebar. Aku dan Santi dengan segera keluar dari lift itu, pakaian kami nampak agak sedikit basah dan lusuh. Sisa keringat yang bercucuran saat permainan panas itu nampak masih berbekas.

"Kenapa lama sekali?" Tanyaku kepada Fajar. Tentu saja berpura-pura. Dalam hatiku sebenarnya sangat berterima kasih kepada mereka, karena telah berlama-lama menyelamatkan kami yang terjebak di dalam lift ini berdua.

Sampai akhirnya kami mempunyai kesempatan bercinta di dalam lift yang macet ini. Pengalaman yang sangat berharga bagiku.

Satu momen langka telah aku nikmati bersama wanita idamanku sejak lama. Tidak akan pernah pupus dalam ingatan, gairah yang membuncah saat di dalam lift itu memberiku sensasi kenikmatan yang tidak akan menemui bandingannya.

"Ma-maf pak, kami baru mengetahuinya 15 menit lalu." Sahut Fajar sembari menepuk dahinya yang rata itu.

"Ya, sudah tidak apa-apa jar, terima kasih, ya!" Sahutku. Menepuk bahunya sembari melengkungkan sebuah senyuman ramah untuknya.

"Pak Frans dan Bu Santi, tidak apa-apa kan?" Tanya Fajar, nampak mengkhawatirkan melihat kami berdua nampak lusuh dan berkeringat.

Fajar dan anggota security lainnya tidak mengetahui, bahwa di dalam lift itu kami telah bergumul hebat penuh gairah.

"Alhamdullilah, tidak apa-apa Jar, hanya kaget dan sedikit trauma. Takut juga, ya terkurung didalam hampir satu jam lebih itu." Ucapku sembari melirik sebentar ke arah ruangan dalam lift.

Tiba-tiba, aku melihat di lantai lift itu nampak sebercak darah dan cairan lengket lainnya yang masih terlihat basah, aku sama sekali tidak menduga, sisa-sisa penyatuan diri dalam pergumulan hebat aku dan Santi beberapa saat lalu menyisakan jejak di lantai lift yang macet itu.

"Ahh!" Aku tercekat, wajahku seketika menegang.

Perlahan, aku mencoba mengendalikan diri, dan berpura-pura 

menekan lengan kiriku, seolah ada yang terluka di lenganku ini, dengan mengernyitkan dahi, aku berpura-pura kesakitan.

"Kenapa, pak?" Tanya Fajar, melirik ke arah lenganku.

"Gak apa-apa, mungkin tadi sewaktu lift macet, tangan sempat menahan ke dinding dan tergores sedikit, tapi tidak apa-apa." Sahutku sembari melemparkan senyum kepada mereka agar tidak merasa curiga.

Fajar kemudian terlihat mengangguk, lalu ponselnya berbunyi, Fajar nampak mengangkat panggilan teleponnya itu.

"Siap, pak. Macetnya di lantai 5, pak!" Ucap Fajar, lalu menganggukan kepalanya dan menutup sambungan telepon itu.

"Teknisi lift sedang menuju kemari pak," ucap Fajar memberitahukannya kepadaku dan Santi.

Santi nampak menganggukan kepalanya, lalu memberi isyarat kepadaku untuk segera meninggalkan tempat itu.

Aku mengangguk dan lalu pamit kepada Fajar, mengucapkan terima kasih sekali lagi sembari menyalami mereka.

Aku dan Santi lalu memutarkan tubuh, dan berjalan pelan menuju ke kantin kantor. Santi nampak lemas, walaupun kami sudah berbuat banyak, tetapi untuk menggandeng dan membantu Santi berjalan di depan umum, rasanya aku masih merasa canggung.

"Lemas?" Tanyaku, menatap ke arahnya dengan pandangan mata yang menyiratkan kekhawatiranku kepadanya. Agak sedikit ragu, aku beranikan diri untuk memegang bahunya, membantunya berjalan pelan-pelan.

Santi menoleh ke arahku sembari tersenyum, lalu mengangguk pelan sembari berkata.

"Iya, lemas. Kamu hebat sekali Frans." Sahut Santi, nampak senyum indah terpancar di wajahnya.

Lelah sehabis bercinta itu memang dapat menyisakan cahaya terang pada sorot mata. Nampak binar kepuasan tergambar jelas di kedua bola matanya yang afak sipit itu.

"Kamu juga, hebat. Aku sama sekali tidak menyangka, kita akan melakukannya di dalam lift ..." ucap Frans, menoleh ke arah Santi sejenak lalu bertanya pelan.

"Ka-kamu masih perawan?" Tanya Frans sedikit agak terbata.

Santi membalas tatapan Frans itu, lalu kembali melengkungkan senyumannya itu hingga membentuk setengah lingkaran yang nyaris sempurna, dan mengangguk pasti.

"Kamu, kaget aku masih perawan?" Tanya Santi lalu semakin mendekatkan tubuhnya kepadaku.

Sembari berjalan pelan, kini aku beranikan diri memeluk 

bahunya itu, menggandeng tangannya perlahan, menuju kantin kantor yang kebetulan memang berada di lantai 5 gedung ini.

"Kaget, dan bahagia tentunya, hehe." Ucapku tersenyum bahagia.

"Jangan tinggalkan aku, Frans." Katanya lirih. Menundukan kepalanya pelan, lalu menatap langkah kakinya sendiri.

"Tidak pernah terlintas dalam pikiranku untuk meninggalkanmu setelah ini, Santi. Sekarang, aku selamanya milikmu, dan kamu adalah milikku, selalu." Ucapku meyakininya.

Segera ku kecup kening mulusnya itu dengan lembut.

Setelah kejadian itu, kami semakin lengket. Di setiap kesempatan, kami selalu mencari waktu untuk dapat melakukannya lagi.

Kami lebih sering melakukannya di luar, kadang di apartementku, kadang di tempat tinggalnya.

Suatu hari di jam istirahat kantor, libido kami yang meledak-ledak membuatku lupa diri, Santi tiba-tiba menarikku ke area belakang gudang. Menguncinya dari dalam dan mulai melucuti celana panjangku lalu menghisap batang kelelakianku ini dengan liar.

Kami kembali melakukannya di kantor, kali ini gudang tempat menyimpan beberapa property kantor menjadi saksi ledakan gairah yang membara, menyulut birahi kami berdua hingga mencapai puncak kenikmatan.

"Aaaahh, Santiii a-aaaku mau keluaaar!" Teriakan tertahan keluar dari mulutku, lalu aku memeluk tubuhnya erat, sembari berbisik pelan.

"Aku mencintaimu, Santi." Bisikku sembari memandang wajah Santi yang nampak sudah dibasahi keringat itu, menambah sensualitas di wajah cantiknya itu.

Santi tersenyum sembari mengatur deru napasnya yang masih terasa memburu, lalu memeluk ku erat.

Itu sebagian pengalaman bercinta kami selama ini. Lalu beberapa minggu kemudian, kami akhirnya memutuskan untuk menikah, hingga kini, kami sudah di karuniai 2 orang anak yang lucu, cantik dan menggemaskan seperti ibunya.


---------   T A M A T    ---------



Post a Comment

Post a Comment