
Judul Cerita
Penulis
Total Chapter
Hak Akses
Genre
: Ancika
: Pidi Baiq
: 21 Chapter
: Free/Gratis!
: Romance
DISCLAIMER!
Karya ini ditulis oleh penulis di luar fraksikata.com.Jika kamu menyukainya, traktir author secangkir kopi lewat tombol di akhir cerita. Bila penulis keberatan, silakan kunjungi halaman ini untuk penurunan atau penyematan no.rek/e-wallet..
Prologue
Kisah yang akan saya bagikan ini dimulai dari masa remaja saya, 24 tahun yang lalu. lni bukan cerita luar biasa, tapi merupakan kisah nyata tentang saya, yang saya alami secara langsung bersama seorang laki-laki bernama Dilan. ltu adalah waktu dan kenangan saat-saat manis pahit dari masa lalu kami berdua. Dan sebetulnya cerita ini juga tentang bagaimana saya menemukan diri saya sendiri.
Saya masih berusia 17 tahun ketika semuanya terjadi, masih seorang anak SMA biasa yang tidak pernah menjadi bagian dari kepengurusan OSIS. Sementara Dilan sudah kuliah di salah satu perguruan tinggi yang ada di Bandung. Dia memiliki sepeda motor CB, dan selalu mengenakan jaket US Army atau jaket jeans dengan bendera Amerika Serikat yang dipasang terbalik di bahunya, entah apa maksudnya, saya tidak mengerti, sama seperti saya tidak mengerti apa-apa tentang dia.
Seluruh penampilannya memancarkan diri sebagai seorang berandalan yang sudah bertahun-tahun tidak praktik, dan kabarnya dia adalah mantan panglima tempur geng motor. ltu fakta. Kelak saya tahu dia memiliki Iuka tusukan di tangan kirinya sebagai akibat perkelahian yang dia lakukan di masa SMA dan juga memiliki bekas Iuka tusukan pada bagian perutnya yang telah menyebabkan dia koma pada suatu hari di masa lalu.
Saya mulai bertemu dengannya di pertengahan tahun 1995, di mana awalnya saya berpikir, dia sama sekali bukan tipe laki-laki yang membuat saya tertarik. Maksud saya, dia tidak jelek-jelek amat, tapi gadis manis dalam diri saya tidak menyukai cara dia memperlakukan saya. Dia bertingkah aneh dan menyebalkan pada saat yang sama. Saya pikir dia hanya anak brengsek yang tidak berharga.
Pada awalnya seperti itu, tetapi ketika saya mulai bertemu lagi dengannya, melalui beberapa peristiwa yang terjadi secara kebetulan, segalanya berubah. Saya tahu apa yang terjadi, dan mulai menyadari beberapa hal baru tentang dia. Ternyata dia menyenangkan. Tidak pernah sarkastik, malah justru sebaliknya, dia bisa mengubah setiap kejadian, situasi, atau keadaan menjadi humor yang sehat, yang selalu bisa membuat saya tertawa di antara soal-soal Fisika. Pokoknya kalau sudah belajar bersamanya, Matematika pun terasa menjadi lebih ringan.
Begitulah sifat aslinya, juga di dalam bergaul bersama teman-temannya. Kejenakaan dan ucapan cerdasnya yang cepat benar-benar mengubah pikiran-pikiran saya, dan meruntuhkan beberapa prinsip saya dengan ketentuan baru bahwa caranya yang aneh itu ternyata menghibur. Sama sekali tidak menjadi pengganggu. Saya anggap ini sebagai pengakuan yang tidak pernah saya sadari sebelumnya.
Dan akhirnya hubungan kami pun berkembang. Secara bertahap, saya dan Dilan tumbuh menjadi lebih dekat, bahkan dia sudah dianggap menjadi seperti bagian dari anggota keluarga saya. Dia sering datang ke rumah dan membantu saya mengerjakan tugas sekolah di ruang tamu, bersama aroma hot lemon tea dan lampu gantung motif kelopak bunga. Dan Dilanlah orang pertama kali yang saya pikirkan ketika saya mendapatkan PR dari guru, atau mendapat nilai ulangan harian.
Semua hal dari dirinya, benar-benar membuat saya terpikat dan menumbuhkan beberapa perasaan yang cukup serius di dalam diri saya. Saya kemudian merasa mencintainya di luar kendali saya, karena sejujurnya saya ini bukan orang yang mudah jatuh cinta. Tapi mungkin memang begitulah rasa cinta, sangat misteri, di mana kata orang, Sains akan kewalahan menjelaskannya dan Matematika pun tak akan mampu memprediksinya.
Kira-kira seperti itulah ringkasannya. Sekarang, sebelum saya menceritakan semuanya, rasanya akan afdal kalau kamu mengenal lebih dulu siapa saya, akan lebih paham kalau kamu mengetahui latar belakang saya dan detail-detail duniawi lainnya. Saya pikir, itu harus keluar cukup awal. Bukan berarti penting, tetapi barangkali bisa membuat cerita menjadi kuat.
-- Next Chapter--
Bab 1
Jadi, baiklah, kalau begitu. lzinkan saya emperkenalkan diri. Nama saya Ancika Mehrunisa Rabu. Normal dan suka durian. Saya berjenis kelamin perempuan dan tidak ada yang istimewa dari saya. Tapi, tidak apa-apa. Lagi pula, saya merasa tidak harus menjadi seseorang yang istimewa. Atau, setidaknya itulah yang saya pikirkan.
Saya sering mengikuti kepribadian yang alami bagi saya, atau semacam mengikuti apa pun yang terlintas di dalam pikiran saya, seperti diam-diam pergi ke salon sendirian dan memotong rambut saya sangat pendek waktu SMP. ltu tidak seperti yang ibu saya inginkan. Dia selalu terobsesi melihat saya berambut panjang seperti yang dia miliki.
Sepertinya dia sedih, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Sejujurnya saya juga ikut sedih, karena ibu saya adalah sahabat saya. Seseorang yang sangat saya cintai. Dia sangat luar biasa. Saya sangat bangga kepadanya, tapi tetap saja saya lebih suka rambut pendek. Hal itu ada hubungannya dengan saya ingin menjadi praktis. Kalau saya harus buru-buru ke sekolah, misalnya, saya tidak perlu lagi harus menyisir rambut. Atau, kalau saya berantem, saya tidak perlu khawatir lawan saya akan menarik rambut saya. Ya, begitulah kira-kira. Buat saya, mengapa harus repot-repot memiliki rambut panjang, kalau itu hanya akan mengganggu.
Selain urusan rambut, sejak saya masih remaja, saya tidak pernah benar-benar mengaitkan diri saya dengan harus menjadi seorang perempuan sejati. Saya tidak pernah memakai riasan, saya juga tidak suka anting-anting lucu. Ide saya berdandan juga cuma memakai kaos, kemeja laki-laki, celana, dan jaket jeans. Atau hoodies, dengan topi dan sepatu kets. Pakaian seperti itu mungkin tidak cocok buat saya, tapi setidaknya bisa membuat saya menjadi diri saya sendiri.
Jujur, sebetulnya saya lebih menikmati beberapa bagian menjadi laki laki, seperti memanjat pohon, misalnya, atau bermain sepak bola bersama kawan-kawan sebaya waktu saya masih kecil. Saya juga lebih menyukai Dinosaurus daripada Putri Duyung. Saya lebih suka main layang-layang, dan ingin bisa bermain skateboard. Saya tidak suka bermain bekel. Saya tidak akan menangis jika itu sesuatu yang biasa saja. Dan saya lebih mudah berteman dengan sekelompok pria daripada perempuan, meskipun saya memiliki beberapa teman wanita yang sangat dekat dengan saya.
Saya tidak tahu mengapa. Tapi, saya tidak pernah menganggap saya tomboi. Saya masih melihat diri saya sebagai seorang perempuan. Saya masih melakukan banyak hal yang sifatnya feminin. Saya masih memasak, masih bersih-bersih, dan sesekali memakai gaun kalau harus menghadiri acara-acara formal.
Sejujurnya, saya senang menjadi wanita, tetapi di dalam pikiran saya, saya tidak suka wanita yang lemah dan tunduk. Saya lebih suka pada wanita yang tangguh, yang bisa membela dirinya, baik secara fisik maupun di dalam percakapan.
Saya suka pada wanita yang punya kepribadian kuat, termasuk menentang dominasi daripada harus memilih tunduk. Saya suka pada wanita yang bisa membela dirinya sendiri, yang tidak akan tinggal diam kalau menghadapi penyalahgunaan kekuasaan. Saya suka pada wanita yang selalu mencari lebih banyak informasi untuk memperbaiki hidupnya dan mempertajam pikirannya.
lni bukan berarti wanita harus bisa menaklukkan. lni bukan berarti harus menjadi wanita yang menjengkelkan, ini tentang hidup bersama yang dapat saling menghormati dan menghargai secara setara tanpa memandang jenis kelamin.
Sepanjang masa kecil saya, saya dapat merasakan bagaimana saya selalu berpikir ingin menjadi wanita seperti itu. Kemudian yang saya temukan tentang apa arti menjadi wanita kuat adalah, ketika saya menampar si Ugon waktu SD.
Saya melakukannya karena dia sudah berani menarik rambut saya dari belakang. Saya tidak terima, dan saya bukan wanita lemah yang akan diam saja kalau diperlakukan seenaknya. Saya akan melawan siapa pun yang berusaha mengganggu saya.
Si Ugon, laki-laki itu, menangis. Dia mengancam akan melapor kepada bapaknya yang tidak lain adalah tentara. Tapi saya tidak takut, dan menjawab, "Bawa semua keluargamu ke sini! Aku akan melawan seperti serigala."
Selain si Ugon, ada si Acil. lni zaman saya SMP. Dia sudah berani mengangkat rok saya dari belakang waktu saya sedang jalan di lorong kelas. Maksud saya, apa yang dia lakukan itu benar-benar kurang ajar. Saya tidak bisa mengatakan apakah waktu itu saya terkejut atau bagaimana, tetapi saya langsung memukulnya.
Acil melawan, akhirnya kami berkelahi di dekat pintu kelas sampai wali kelas datang membubarkan perkelahian. Saya dipanggil kepala sekolah, dan saya bilang kepadanya bahwa apa yang sudah dilakukan si Acil itu tidak sopan. Pelecehan. Dia pantas mendapatkan apa yang harus dia dapatkan.
"Emang apa yang Acil lakukan?" tanya kepala sekolah.
"Mengangkat rok saya dari belakang! Terus dia lari teriak-teriak, ngasih tau warna celana dalam saya !"
"Astagfirullahal'azhim!"
Saya tahu, saya bereaksi berlebihan, tapi saya tidak tahu apakah itu karena terlalu memikirkan ingin menjadi wanita tangguh atau karena terlalu memikirkan situasinya. Atau mungkin pada dasarnya, saya hanya benar-benar ingin memberinya pelajaran meskipun sebetulnya saya tidak pernah ingin mencari pertengkaran.
Saya tidak suka ide menyakiti orang lain. Saya suka perdamaian. Saya ingin baik-baik saja. Saya juga berusaha selalu bisa bersikap ramah kepada semua orang, selama orang itu tidak mengganggu saya. Saya bahkan dengan senang hati akan memberi uang saku kepada saudara saya yang membutuhkan.
Selain itu, saya juga berusaha menjadi murid yang baik. Saya rajin sekolah, tidak pernah bolos, dan punya motivasi yang tinggi untuk belajar, bahkan selalu belajar cukup keras hanya untuk meningkatkan nilai saya di sekolah. Saya juga mematuhi tata tertib sekolah, saya juga bayar SPP tepat waktu jika itu dianggap baik, saya juga menghormati guru, orangtua, dan teman-teman.
Saya juga suka membaca, jika ini bisa dianggap baik, dan menghabiskan sebagian besar waktu luang dengan membaca. Tetapi, bukan berarti saya tidak menikmati berbagai bentuk hiburan, semacam mendengarkan musik atau menonton televisi, dan saya bisa menghabiskan sebagian besar waktu dengan duduk di sofa menonton Tom and Jerry dan semacamnya, hanya saja, sekali lagi, saya lebih suka membaca. Kalau sudah membaca, rasanya seperti sedang melakukan kegiatan yang menyenangkan untuk saya lakukan. Saya kira, itu lebih baik karena saya menjadi tidak perlu berbicara dengan siapa pun.
Saya sudah menjadi pembaca yang cukup rajin sepanjang masa kecil saya. Saya tidak tahu mengapa. Saya kira itu karena saya suka ilmu pengetahuan. Orangtua saya mendukung saya dengan selalu membeli buku untuk saya, sehingga kamar saya menjadi penuh oleh buku.
Saya suka buku apa saja, termasuk buku fantasi, tetapi saya lebih suka membaca buku yang memiliki lebih banyak informasi, terutama tentang Sains, Biologi, Fisika, Matematika, Kimia, dan lain-lain, yang memiliki pengaruh terhadap masyarakat dan semacamnya.
Setidaknya itulah yang saya pikirkan tentang diri saya sendiri.
Tahun 1995, saya sekolah di salah satu SMA yang ada di daerah
Kiaracondong. Jaraknya cukup jauh dari rumah, kira-kira setengah jam perjalanan dengan menggunakan mobil angkutan kota (angkot).
SMA saya adalah SMA favorit, lokasinya kira-kira dua ratus meter dari Jalan Raya Kiaracondong. Sehingga oleh karena itu, setelah saya turun dari angkot, saya masih harus berjalan kaki untuk bisa mencapainya. Tapi kalau kebetulan sedang hujan, saya akan memilih naik becak sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa siswa lainnya.
Ada juga, sih, yang nekat memutuskan untuk berlari, itu dramatis, saya melihatnya seperti mereka sedang berusaha mengejar masa depannya meskipun harus menembus hujan dan badai. Dan yang kemudian mereka dapatkan adalah baju seragamnya menjadi basah kuyup. Kasihan sekali.
Saya tahu, sungguh keterlaluan bagi seorang anak harus terus berada di sekolah selama enam jam setiap hari. Tapi, saya menyerahkan diri saya sepenuhnya pada kebijaksanaan Kementerian Pendidikan Nasional dan siap akan fokus belajar untuk meraih ranking pertama di kelas, sebagaimana yang selama ini saya peroleh.
Lagi pula, sekolah itu, menurut saya, menyenangkan. Apalagi di sana, saya memiliki banyak teman. Saya sering mengobrol dengan mereka, baik saat makan di kantin maupun sedang berkumpul di tempat lain.
Saya punya lingkaran teman yang baik di sekolah, mungkin sekitar 5 atau 10 orang yang bergaul dengan saya, salah satunya adalah lndri Artatih, orang Sekelimus, yang sudah berteman dengan saya sejak SMP. Saya lebih menganggap lndri sebagai teman sebangku daripada sebagai saingan dalam meraih ranking pertama di kelas.
lndri selalu menjadi bagian dari pulang bersama saya naik angkot. Atau, berkeliaran ke tempat-tempat nongkrong, hanya untuk mengobrol tentang banyak hal yang kami sukai, sampai waktu dan uang habis.
ltulah lndri, si gadis manis dengan rambut panjang terurai. Persahabatan saya dengannya adalah persahabatan yang sangat berarti dan memuaskan. Kami sangat tak terpisahkan saat itu. Jadi, tentu saja, kami mengalami banyak hal bersama-sama.
Pernah, suatu hari, pada saat saya sedang menunggu angkot di pinggir jalan bersama lndri, saya didatangi oleh seorang laki-laki yang memakai seragam SMA. Dia mengajak saya berkenalan dan mengatakan hal-hal seperti, "Saya sering merhatiin kamu setiap hari."
"Boleh, gak, kenalan?" tanya dia kemudian. "Buat apa kenal saya?"
"Ya, biar saya tau kamu."
"Kan, hanya dua puluh lima rasul yang wajib diketahui," jawab saya, "belajar agama, gak?"
Dia tertawa, "Belajar, lah."
"Namamu siapa?" tanya saya lagi, diucapkan dengan penekanan sehingga membuat dia sedikit tercengang.
"Saya Bono ...," dia menjawab sambil menyingkapkan jaket jeans-nya untuk menunjukkan badge nama yang ada di bagian dada baju seragamnya.
"Oh ...."
Dia memandang saya, "Namamu Cika, ya?"
"Ya, udah, itu aja," jawab saya. Dan syukurlah, percakapan terputus karena saya dan lndri sudah harus segera naik angkot.
Di angkot, lndri cerita, katanya Bono itu anak nakal. Suka bolos, suka berantem. Malahan pernah ditangkap polisi gara-gara menyerang SMA lain. Saya kira, mungkin maksud lndri, Bono itu bukan tipe anak baik-baik. Tapi, katanya, Bono juga suka mabuk-mabukan dan terlibat di dalam obat obatan, dan banyak hal mengerikan lainnya yang telah dia lakukan.
Ketika lndri mengatakannya, seJuJurnya, saya tidak terlalu memikirkannya dengan serius. Saya juga tidak tertarik dengan semua urusan pribadi Bono. Tapi menurut saya, cukup bodoh bagi seorang remaja kalau harus masuk ke dalam situasi seperti itu, karena sudah sangat jelas akan menghancurkan hidupnya dan akan membuat masa depannya menjadi berantakan.
Kata lndri, pihak sekolah sudah memberi sanksi atas semua perilaku buruknya itu, tapi Bono tidak pernah berubah. Bono malah berhasil merekrut pengikutnya yang makin hari makin banyak dan cukup vokal. Mereka biasanya nongkrong di warung Mang Uja, yaitu sebuah warung makan yang lokasinya ada di antara jalan menuju ke sekolah dan jalan raya utama Kiaracondong.
"Herannya, banyak cewek yang suka, loh ...," kata lndri. "Masa?" tanya saya, hampir tidak percaya.
"lya."
Menurut lndri, salah satu alasannya mungkin karena Bono menarik secara fisik, tapi saya benar-benar tidak melihat daya tarik seperti yang dirasakan oleh mereka yang suka kepadanya, apalagi kemudian Bono mulai sering menggoda saya, atau sesuatu yang menunjukkan dia tertarik kepada saya. Kadang-kadang caranya itu terlalu berlebihan, sehingga membuat saya merasa terganggu.
Pernah suatu hari, kira-kira jam dua belas siang, waktu saya mau keluar dari gerbang sekolah bersama lndri, saya melihat ada Bono. Dia memakai jaket jeans dan duduk di atas motornya dengan mesin yang masih hidup, seperti sosok bandit produk Bollywood.
Saya tahu, saya tidak boleh buru-buru mengambil kesimpulan bahwa dia jahat. Saya juga mencoba untuk santai, tapi posisi motornya melintang, yang menurut saya menjengkelkan karena menghalangi jalan saya. ltu bukan hal baik untuk dia lakukan. ltu hanya membuat saya diliputi keinginan untuk melemparnya ke tempat sampah. Atau, sesuatu seperti itu.
Saya berhenti, "Punten, saya mau lewat," kata saya datar, dan merasa tidak perlu memandangnya. Saya hanya menatap bagian roda depan sepeda motornya.
Bono tetap diam, mengabaikan perintah saya. Perilaku semacam itu membuat saya frustrasi, kemudian, sambil mengunyah permen karet, segera saya memandangnya dan berkata, "Kalau enggak minggir, aku tendang!"
Saya tahu terdengar gila, tetapi itu solusi untuk mengatasinya. Dan saya benar-benar akan melakukannya kalau dia masih tidak mengikuti apa yang saya katakan.
Tapi untunglah, dia segera memundurkan sepeda motornya sambil bicara, "Mau dianter pulang, gak?"
"Nanti aja," jawab saya sambil terus berjalan bareng lndri, meskipun sebetulnya saya tidak ingin menanggapinya sama sekali.
"Kapan?" tanya Bono, ketika sepeda motornya sudah mulai jalan melambat di samping saya.
"Tahun dua ribu sembilan lima!" jawab saya tanpa memandangnya. ltu membuat dia tertawa meskipun saya tidak bermaksud melucu. "Ah, tahun segitu mah, kamunya juga udah nenek-nenek!" kata Bono.
"Kamunya juga udah kakek-kakek!" jawab saya langsung, masih tanpa memandangnya.
Bono tertawa lagi, lalu bilang, dengan nada mendesak, "Hayu, mau, gak?"
"Saya bilang nanti, "jawab saya, masih tanpa memandangnya.
"Jangan nolak rezeki!"
"Saya bukan nolak rezeki," jawab saya, "saya nolak Bono!"
Bono tertawa seolah-olah itu lucu baginya, tapi simpanse juga tertawa, sih, meskipun tidak melihat sesuatu yang lucu.
Mungkin pada akhirnya, dia merasa kesal dengan semua yang saya lakukan atau katakan. Percaya atau tidak, akhirnya Bono pergi, "Ya, udah !" katanya.
Ya, pergilah ! Terserah dia mau kesal atau tidak, saya tidak bertanggung jawab atas perasaannya.
Setelah Bono berlalu, lndri tertawa terbahak-bahak dan saya jadi ikut tertawa juga.
"Kamu berani, ih!" kata lndri. "Kenapa emang?"
"Dia, kan, geng motor!" "Gak takut!"
Saya benar-benar tidak takut dengan si Bono, meskipun dia anak geng motor. Di mata saya, anak geng motor itu cuma anak-anak berandalan yang menyedihkan dan bodoh. Pengganggu, tidak punya pikiran, sekaligus juga manusia yang malang.
Saya tentu bersalah sudah menghakimi orang. Maksud saya, mungkin tidak semua anak geng motor seperti Bono. Tapi, saya akan melakukan apa yang harus saya lakukan untuk melawannya selama saya benar.
Setelah saya dan lndri sampai di tepi Jalan Kiaracondong, saya mendengar ada orang memanggil nama saya dari warung Mang Uja.
"Cika!"
Saya menoleh sebentar ke arah suara itu dan bisa melihat ada banyak anak berseragam SMA sedang berkumpul di sana.
"Setuju!" kata orang itu melanjutkan, "Tahun dua ribu sembilan lima!
Ha ha ha."
Saya meresponsnya hanya dengan tersenyum, tanpa menoleh.
Malamnya, saya kaget, Bono menelepon saya dan benar-benar menyeramkan pada saat itu terjadi. Bono bilang dia ingin mengajari saya mengendarai sepeda motor, lalu mulai menggoda saya dengan berbagai macam hal yang dia katakan. Pada dasarnya apa-apa yang dia ucapkan terdengar seperti gila, mungkin karena sudah dipengaruhi oleh alkohol atau obat-obatan.
Sejak itu, semuanya berkembang dengan cepat. Bono menjadi sering mendatangi saya, seolah-olah saya ini adalah teman lamanya yang hilang. Tentu saja itu mengganggu, terutama kalau dia sudah ikut bergabung dengan saya pada saat sedang berkumpul bersama teman-teman di kantin. Biasanya, dia akan ikut duduk di sana dan memaksakan dirinya mengoceh panjang lebar tentang hal-hal yang membosankan (karena sering diulang). Salah satunya adalah mengatakan rencananya yang ingin memburu harta pejabat korup yang disimpan di Bank Swiss. Oh, iya, dia juga pernah bilang ingin menggali kuburan Fir'aun dan mengambil semua harta bendanya untuk modal pembangunan Indonesia.
Bagi siapa pun yang menilai rencananya itu, jangan katakan itu hanya cara dia untuk mencoba membuat lucu, melainkan dia memang harus dirukiah.
"Ternyata kamu dipanggil Amer, ya?" tanya Bono tertawa, pada kesempatan yang lain saat dia mendatangi saya di kantin.
lya, benar. Beberapa orang di sekolah, memang ada yang memanggil saya Amer, singkatan dari: Ancika Mehrunisa Rabu.
Mereka mengatakannya sebagai lelucon untuk mengacu pada Amer, yang dikenal oleh umum sebagai singkatan dari Anggur Merah, yaitu semacam minuman bermanfaat bagi kesehatan, yang sering disalahgunakan untuk mabuk-mabukan.
Sebetulnya tidak masalah buat saya, saya bisa bersikap biasa saja seiring dengan berkembangnya nama panggilan untuk saya itu.
"Saya memang haram!" kata saya. "Makanya jangan deket-deket saya!"
"Ha ha ha."
"Kecuali kalau sudah dinikah ...."
"Mau nikah sama Bono?" tanya Bono. Dia membuat tekanan pada nada suaranya untuk menjadi terdengar luar biasa.
"Langkahi dulu mayatku !" jawab saya.
"Kalau udah jadi mayat mah, gak bisa dinikah, dong," kata Bono ketawa, "Kacau, ah, kamu mah! Jawabannya suka gak masuk akal!"
Saya mengakui, sebetulnya ada beberapa hal yang lucu darinya dan juga sekaligus menyebalkan pada saat yang sama.
-- Next Chapter--
Bab 2
14 Februari 1995, Bono masuk ke kelas saya saat pelajaran sedang berlangsung. Semua orang serentak memandangnya. Dia datang dengan membawa kantong kresek di tangannya.
"Permisi, Pak," kata Bono membungkuk sopan kepada Pak Yusuf yang sedang duduk di kursinya.
"Ya?" tanya Pak Yusuf dengan wajah bertanya-tanya. "Ada titipan dari ketua OSIS buat Cika," jawab Bono. Saya langsung terkejut mendengarnya.
Setelah mendapat izin dari Pak Yusuf, Bono berjalan menuju bangku saya, yang ada di deretan keempat dari bangku paling depan. Saya hanya ingin tahu apa selanjutnya.
Dia berdiri di samping meja saya, kemudian mengeluarkan satu buket bunga mawar merah dari dalam kantong kresek yang dibawanya. Dia menyerahkan bunga itu sambil membungkuk dan bicara cukup pelan, "Selamat Hari Valentine!" katanya.
Saya merasa tidak nyaman dan seolah-olah dia melanggar batas ruang pribadi saya. Saya tidak suka apa yang dia lakukan. Dia seperti seseorang yang sedang menawarkan dagangannya dengan cara memaksa, itu saja.
"Kamu bisa menerimanya, kalau mau?" "Enggak!" jawab saya.
Di saat yang sama, saya mendengar beberapa orang saling berbisik dan mungkin juga bertanya-tanya tentang apa yang sedang dilakukan oleh Bono.
"Kenapa?"
"Gak suka bunga!" jawab saya.
"Sukanya apa?" tanya Bono, masih dengan suara pelan.
"Gak suka apa-apa!" jawab saya dengan suara lebih keras dari yang seharusnya. Saya sengaja, berharap dengan itu Pak Yusuf akan mendengar dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Akhirnya, saya melihat Pak Yusuf bangkit dari kursinya.
"Ada apa?" tanya Pak Yusuf, sambil mulai berjalan mendekat ke arah Bono.
"lni, Pak," jawab saya kepada Pak Yusuf, "dia ngasih hadiah Valentine!"
Situasi tampaknya berubah menjadi buruk. Bono terlihat gelisah seperti kehilangan akal sehatnya karena ketakutan.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Pak Yusuf menegur Bono.
Matanya memerah karena marah.
"Maaf, Pak," jawab Bono dalam semacam ketakutan yang gugup. "Gak tau waktu !"
"Ya, Pak," jawab Bono sopan, kemudian dia pergi, di bawah pelototan mata Pak Yusuf. Semua orang bergumam pelan. Saya bisa mendengar percakapan pribadi di antara mereka.
Saya benar-benar merasa ngeri dengan apa yang sudah Bono lakukan, tetapi sebagian besar waktu itu membuat saya tertawa. ltu adalah hal paling konyol yang pernah saya alami. Bono mungkin sangat sedih karena usahanya tidak berhasil.
"Kasihan, ih," kata lndri.
"Apa saya harus nerima cintanya?" "lya, sih."
"Nih, buat kamu!" kata saya dengan suara pelan, memberikan bunga Valentine yang sudah tergeletak di atas meja.
"Ya, udah," kata lndri, "buat saya aja."
Jam istirahat tiba, saya dan lndri duduk di meja yang biasa, jauh di
pojok kantin, menikmati batagor dan teh panas. Tidak terlalu banyak orang di sana saat itu.
"Sebetulnya Bono, tuh, cakep. Anak orang kaya, lagi. Sayangnya, dia nakal," kata lndri sambil berpikir.
"Kamu tahu banyak tentang Bono, ya?" "Denger dari orang aja."
Lalu, lndri bilang bahwa apa yang dilakukan oleh Bono tadi di kelas sangat menggemaskan. Beberapa orang tampaknya tidak akan berani melakukannya.
Oke, harus saya akui, saya sangat menghargai usahanya yang berani. "Kamu suka, gak, ke Bono?" tanya lndri tersenyum.
Saya menjawab dengan mengatakan bahwa saya benar-benar tidak pernah menemukan pria yang membuat saya begitu tertarik.
"Lagian, saya gak suka pacaran," kata saya menambahkan. "Kenapa?" tanya lndri.
"Saya gak suka jadi milik seseorang," kata saya. "Egois, dong?"
"Saya lebih suka kalau tubuh saya disumbangkan untuk penelitian Sains," jawab saya.
"Ha ha ha ...."
"Lebih berguna, kan?" "Ah, teuing(gak tau), ah!" "Pacaran, tuh, ribet!"
lndri tidak langsung merespons, karena sedang minum. "Ngerepotin," kata saya lagi.
"lya, sih."
"Si itu juga, siapa itu?" kata saya. "Ria, ya?" "Ria mana?"
"ltu ... yang tiap hari mesra, berdua terus ke mana-mana."
"Oh, si Ria?"
"Kamu lihat, kan, nempel terus?"
"lya."
"Tau-taunya, putus. Sampai si Ria-nya diopname," kata saya. "Cinta macam apa itu?"
"lya, gitu?"
"Gak tau, sih. Pokoknya, pacaran mah ribet. Banyak nuntut ini itu, belum tentu juga dinikahi."
Sejujurnya, saya benar-benar belum ingin punya pacar atau pasangan. Saya hanya ingin punya anjing atau monyet. Saya hanya ingin pergi bermain perahu kano bersama teman-teman. Paling tidak hanya diam di rumah, berkumpul bersama keluarga.
Saya tidak terlalu suka dengan ide pacaran. Saya lebih ingin fokus pada sekolah dan meraih cita-cita yang saya inginkan. Setidaknya, saya harus fokus belajar untuk siap menghadapi ujian EBTANAS, atau mengerjakan pekerjaan rumah yang banyak setiap hari. Sekolah, bagi saya, jauh lebih penting daripada pacaran.
Lagi pula, saya masih ingin bisa bepergian dan melakukan apa pun yang saya suka. Dan semua itu tidak akan bisa dicapai kalau saya harus mempertimbangkan orang lain, terlebih lagi kalau orang itu merepotkan dan cemburuan. Jadi itulah, bagi saya, kemerdekaan lebih menarik. Pokoknya saya tidak suka terikat. Saya tidak suka merasa menjadi bagian dari seseorang.
Saya masih ingin mendapatkan tempat dalam hidup di mana saya bisa menetapkan standar hidup saya sendiri. Tidak perlu lapor kepada pacar kalau mau tidur. Tidak perlu lapor kepada pacar kalau mau shalat (itu malah jadi riya). Tidak perlu lapor kepada pacar kalau mau bepergian, tidak perlu menyesuaikan perilaku saya agar sesuai dengan keinginan pacar. Tidak akan ada yang menilai saya, kecuali saya sendiri. Tidak akan ada yang kecewa, kecuali saya sendiri. ltu akan terasa bebas dan ringan jadinya.
"Kamu sendiri kenapa gak pacaran?" tanya saya kepada lndri. "Kalau saya, tuh, bimbang, euy."
"Bimbang apa?"
"Bimbang antara sayanya mau ke si Dudi, dengan si Dudi-nya yang enggak mau ke saya!"
"Ha ha ha!"
Dudi yang dimaksud oleh lndri adalah Ketua OSIS. lndri sering bilang kepada saya bahwa dia naksir Dudi, tapi lndri tidak bisa berbuat apa-apa. Karena kenyataannya, Dudi lebih memilih Nyanya, gadis berambut model shaggy bob sebahu dan pernah menjadi model sampul majalah remaja.
"Kalau kata saya mah, kamu dan si Dudi itu, mau sama mau!" kata saya kepada lndri.
"Ngarang!"
"lya, kamu mau ke si Dudi, si Dudi mau muntah! Ha ha ha!"
"Gelo, siah (Gila, kamu) !"
Tidak lama kemudian, datang Santika, Devi, dan Rika bergabung dengan kami. Mereka semua adalah kawan-kawan satu kelas dengan saya.
"Tadi si Bono ngapain, sih?" tanya Rika.
"Jual bunga!" jawab saya cepat. "Nyatain, ya?" tanya Devi. "Unik, ih!" kata Santika.
"Unik apa?" tanya saya.
"Unik aja," jawab Santika. "Ngasih kado di kelas, gitu, loh, pas belajar!
Mana ada yang gitu?!"
"ltu mah mengganggu !" kata saya.
"Makanya, tadi, tuh, si Bono harusnya ngasih ke kamu!" kata lndri ke Santika, "pasti sama kamu mah diterima !"
"Enggak, lah," jawab Santika. "Aku udah punya!" "Pacar?"
"Bunga," jawab Santika tertawa, "banyak di depan rumah!"
ltulah yang terjadi. Saya tidak mengerti mengapa Bono menyukai saya, padahal menurut saya, ada begitu banyak gadis menarik di luar sana. Apakah ada yang salah dengan matanya? Perlu banyak minum jus wortel, sepertinya.
-- Next Chapter--
Bab 3
Biar bagaimanapun, itulah saya, manusia biasa yang lahir dan dibesarkan di sebuah daerah pinggiran Kata Bandung pada zaman pemerintahan orde baru. Saya tumbuh di sana, dan memiliki hari-hari biasa saja. Beberapa hal yang bisa saya ingat di antaranya adalah belajar, sarapan, pergi ke sekolah, les, nonton televisi, makan malam, dan tidur. Saat itu belum ada internet, belum ada komputer, smartphone, atau media digital lainnya.
Saya benar-benar harus pergi ke perpustakaan untuk mencari jawaban atas berbagai pertanyaan. Saya membaca surat kabar untuk mencari berita. Saya membaca majalah untuk mendapat berbagai informasi. Saya harus pergi ke studio foto untuk mencetak foto agar bisa dilihat, kemudian menempelnya di dalam album foto.
Belum ada kamera digital yang memungkinkan saya melakukan selfie, sebagaimana yang bisa dilakukan sekarang. Saya tidak bisa menguntit seseorang secara diam-diam melalui media sosial. Saya menulis surat untuk menyampaikan apa yang ingin saya katakan kepada seseorang di tempat yang jauh. Saya harus benar-benar menelepon orang dengan menggunakan telepon rumah atau telepon umum.
Begitulah saya, hidup sebagai seorang remaja di masa itu. Hampir seperti tidak layak untuk dijalani. Selamat untuk kamu, sekarang keadaan sudah berubah. Bandung juga tak lagi seperti dulu. Bandung masa itu masih memiliki udara sejuk terbaik yang pernah ada. Lalu lintasnya juga masih sedikit, hanya saja memang banyak galian kabel di mana-mana.
Sawah-sawah belum berubah menjadi kompleks perumahan. Saya masih bisa melihat pemandangan gunung di kejauhan. Saya masih bisa melihat rumah-rumah tua di Dago dan juga di daerah Cipaganti yang belum berubah menjadi toko atau factory outlet. Ya, saya bisa menghargai perubahan yang telah terjadi meskipun saya tidak ingin ada yang berbeda.
Oulu, ma// juga masih sedikit, sepertinya cuma ada Palaguna, Bandung lndah Plaza, dan Parahyangan Plaza. Anak-anak sekolah dengan mentalitas santai, biasanya pada nongkrong di sana. Sebagian lagi memilih main dingdong dan itu masih lazim di era saya, kemudian mereka dirazia karena dilarang main dingdong memakai seragam sekolah.
Meskipun saat itu sudah banyak gedung bioskop, dan ada di mana-mana, saya jarang pergi ke bioskop dan lebih memilih untuk menyewa kaset video Beta di IBC, tepatnya di daerah Jalan Bahureksa.
Saya pikir itu lebih efisien, karena dengan menonton film di rumah, saya dapat menghentikan film di saat saya harus pergi dulu ke kamar mandi, atau apa pun yang saya inginkan, dan saya bisa memutar ulang kalau misalnya ada adegan yang menarik.
Saya masih ingat, dulu, pernah menyewa film The Legend of Condor Heroes dan ditonton bersama keluarga pada waktu tertentu. (Asal tahu saja, orangtua saya tidak terlalu khawatir tentang film apa yang saya tonton.)
ltu adalah saat saya merasa senang menghabiskan waktu dengan keluarga. Mungkin karena saya berasal dari keluarga yang cukup dekat, jadi kami biasanya menghabiskan hampir setiap akhir pekan bersama-sama.
Di setiap malam Minggu, saya sering tidak pernah tahu harus ke mana. Hanya tiduran di kamar daripada yang saya inginkan. Atau, mengerjakan hal-hal lain seperti membaca buku sambil mendengarkan lagu-lagu yang diudarakan oleh radio, meskipun saya tahu sebenarnya saya ingin menjelajahi dunia dan melakukan sesuatu yang lebih dari itu.
Di hari Minggu, kadang-kadang saya joging atau berkumpul bersama kawan-kawan di salah satu tempat nongkrong yang ada di Bandung. Dulu, memang belum ada banyak kafe, tapi untuk yang suka makan bakso, bisa datang ke Jalan Kejaksaan, atau di belakang Dian Theatre, yaitu di daerah Jalan Balong Gede. Untuk yang mau hot dog, bisa mampir ke Gelael di Jalan Ir. Haji Djuanda yang sekarang sudah tak ada. Sedangkan untuk yang suka seram seram, silakan datang ke Rumah Mummy atau ke Rumah Ambulans di Jalan Bahureksa. Mungkin ada di antara kamu yang ingin kenalan dengan waria, kamu bisa datang malam-malam ke daerah Taman Maluku.
Untuk kamu yang suka dugem dan ke diskotek, dulu ada Fame Station di Lippo Tower daerah Simpang Lima, Studio East di Jalan Cihampelas, atau ke Lipstick Disco Skate.
Di dalam banyak hal, saya menghargai orang yang datang ke sana, tetapi sayangnya itu bukan dunia saya. Lagi pula, saya tidak suka keluar malam.
Pada bulan Juni 1995, saya ikut bimbingan belajar (bimbel) di daerah Jalan Dipatiukur, jaraknya kira-kira setengah jam perjalanan dengan menggunakan mobil angkot dari sekolah. Jadwal belajarnya ditentukan setiap hari Rabu dan Sabtu, yang dimulai dari pukul 15.00 sampai 17.00 WIB.
Di sana, saya mulai mengenal Bagas, lpul, dan lksan. Mereka sering terlihat bertiga. Datang ke tempat bimbel, bertiga. Pulangnya juga bertiga, biasanya menggunakan mobil Charade milik Bagas. Saya baru tahu kemudian, ternyata kebertigaan mereka didasarkan oleh karena mereka sekolah di tempat yang sama, yaitu di salah satu SMA negeri yang ada di daerah Buahbatu.
Beberapa bulan kemudian, saya menjadi akrab dengan mereka dan melakukan hal-hal normal sebagaimana umumnya anak SMA. Kami berada di kelas yang sama dan sering belajar bersama.
Sesekali, kami juga pergi ke acara try out bersama dan nongkrong di kantin bimbel, membicarakan apa saja.
Bagas tampan, sebetulnya tidak terlalu, sih, mungkin hanya sedikit. Dia adalah anak seorang pengusaha terkemuka yang memiliki perusahaan besar dan beberapa rumah kontrakan untuk mahasiswa di daerah Buahbatu. lbunya seorang penyanyi lagu-lagu bahasa Sunda yang cukup terkenal di Jawa Barat.
lksan memiliki mata sayu, tapi mampu melakukan penelitian lingkungan untuk memastikan bahwa dia aman. Maksud saya, itu di luar kemampuannya mengoceh. Ayahnya salah satu karyawan yang bekerja di perusahaan ayahnya Bagas. Saat itu, kalau tidak salah, lksan tinggal di daerah Karapitan.
Sedangkan lpul, cenderung diam, seperti selalu mempersiapkan dirinya untuk mendapat ilham setiap hari. lbunya seorang guru yang mengajar di salah satu SMP yang ada di Kata Bandung.
Jadi, ceritanya, mereka itu adalah manusia yang tergila-gila pada salah satu artis tertentu yang cukup populer di tahun 90-an. Mereka benar-benar akan datang untuk menemui idolanya yang akan diwawancarai oleh salah satu radio yang ada di Kata Bandung. ltu akan menjadi sangat keren bagi mereka karena bisa bertemu dengan idola.
ltu nyata bahwa mereka akan berteriak senang karena berhasil mendapatkan tanda tangan idolanya. Saya belum pernah memiliki teman seperti mereka sebelumnya, kadang-kadang saya berpikir bahwa kami mungkin lucu bisa bersama, karena saya sendiri bukan tipe orang yang menggemari siapa pun secara fanatik.
"Kamu, tuh, asli Bandung, ya?" tanya lksan kepada saya sore itu di tempat bimbel. Saya melihat butir-butir keringat kecil di bawah lubang hidungnya. Dia menyekanya dengan saputangan, yang dia selipkan kembali di saku bajunya.
"lya," jawab saya, "Papa asli Bandung. Mama juga, tapi kalau Mama ada darah Sumedang-nya."
"lean pikir, kamu orang mana ...."
lksan menyebut dirinya lean. Dan, kamu harus tahu, terlepas dirinya sebagai seorang laki-laki, lksan memiliki perilaku yang sama seperti perempuan. Perilakunya kemayu seperti yang saya lihat.
"Tau, gak," kata lksan lagi, "pertama lihat kamu, takut lean mah." "Kenapa?" tanya saya.
"Judes!" jawab lksan langsung, tidak bisa mengontrol mulutnya. "Ya, saya emang gitu. Saya, tuh, ya, tidur juga judes, mandi juga
judes!"
Bagas, lksan, dan lpul tertawa, dan saya benar-benar menyuruh mereka untuk tenang. Saya memang biasanya berjalan dengan ekspresi wajah aeuh tak aeuh dan beberapa orang bisa mengartikannya sebagai saya sedang marah, tapi sebetulnya tidak begitu.
"Pas udah kenal mah, jadi manis," kata lksan sambil tersenyum, kemudian melirik ke arah Bagas, "lya, gak, Gas?"
"Makanya jangan asal nilai," jawab Bagas pelan, seolah-olah dia tidak mengatakan apa-apa.
Sorenya, setelah bubaran kelas, euaea mulai memburuk. Langit memang selalu gelap selama beberapa hari itu. Orang-orang bersikap biasa saja, seolah-olah semuanya normal. Tapi, Bagas merasa seolah-olah tidak.
"Kamu pulang naik angkot?" tanya Bagas. Dia tampak khawatir, emosi yang sangat tidak pada tempatnya untuk situasi seperti itu, menurut saya.
"lya kayaknya," jawab saya. "Kenapa?" "Mau hujan. Gelap gini."
"Gak apa-apa."
Saya pasti mengatakannya begitu, karena saya sudah eukup sering pulang naik angkot dengan awan yang gelap atau hujan yang besar.
"Dianter aja."
"Gak usah," jawab saya tanpa ragu sedikit pun. "Daerah Ciwastra, kan?"
"lya."
Bagas terus mencoba untuk mengantar saya pulang. Saat akhirnya saya setuju, saya pulang bersama Bagas, tetapi tidak berdua, melainkan ditemani oleh lpul dan lksan yang duduk di bangku belakang.
Di mobil, untuk mengisi keheningan, kami saling bicara, membahas tentang segala macam hal yang tidak berguna, entah itu tentang kegiatan sekolah, atau membahas berita dan hobi. Saat itu Bagas bercerita tentang dirinya yang punya minat besar pada musik.
Katanya, dia punya grup band yang sudah berkembang cukup baik. Setiap Sabtu malam dan kadang-kadang di hari Minggu, band Bagas suka tampil di berbagai acara, termasuk di kafe atau acara pernikahan.
"TKW, dong?" tanya saya. "TKW, tuh, apa?" tanya Bagas. "Tenaga Kerja Wedding."
"Ha ha ha. lya."
"Ngatur waktunya gimana?" tanya saya. "Kan, kamu harus sekolah?"
"Ada manajer." "Bagas main apa?" "Bagas megang gitar."
"Kali-kali Cika nonton, deh, kalau band Bagas manggung," kata lksan. "Bagus, loh!"
"lnsya Allah."
Dalam waktu kurang dari satu jam, akhirnya kami sampai di rumah saya, di sebuah Kompleks Perumahan Margahayu Raya.
Lokasinya kira-kira lima ratus meter dari Jalan Raya Ciwastra.
Setelah selesai mandi, saya merasa benar-benar segar. Saya pergi ke dapur dengan mengenakan kemeja kotak-kotak longgar dan membuat secangkir teh untuk saya sendiri.
"Besok Abah ulang tahun, Teh," kata Mama, saat bertemu dengannya di dapur.
"Oh, iya, ya! Astagfirullahal'azhim, lupa." "Tadi pagi, Mama udah ke Abah."
"Besok pulang sekolah, Teteh ke rumah Abah, ah," kata saya.
"lya."
Abah yang dimaksud oleh Mama adalah kakek saya, atau ayah dari Mama saya. Abah tinggal bersama Emak di daerah Batununggal, Bandung. Saya jarang main ke rumah Abah, hanya sesekali, pada waktu-waktu yang tidak teratur.
Abah dan Emak punya tiga orang anak dan Mama merupakan anak sulungnya. Anak keduanya adalah Mang Dhani. Dia sudah berkeluarga, memiliki satu anak dan tinggal di daerah Cijerah. Sedangkan orang yang saya panggil Mang Anwar adalah anak bungsu dari Abah. Saat itu, Mang Anwar masih kuliah di salah satu perguruan tinggi yang ada di daerah Tamansari.
Mang Anwar sudah tinggal di rumah saya dari semenjak masih SMP. Kamarnya berada di lantai atas, berdampingan dengan kamar Beni, adik saya satu-satunya, yang saat itu masih kelas tiga SMP.
Saya kembali ke kamar bersama secangkir teh panas, memutar lagu Losing My Religion dari R.E.M., menggunakan tape recorder yang ada di meja belajar. Kualitas situasi yang menyenangkan melekat pada diri saya saat saya membaca buku di tempat tidur yang nyaman. Sayangnya, Bagas menelepon. Dia mengajak saya main ke Cikapundung bersama lksan dan lpul juga.
Tentu saja, itu ajakan menarik, karena saya suka buku. Apalagi, kalau membeli bukunya di Pasar Buku Cikapundung. Di sana begitu banyak lapak yang menjual buku-buku bekas. Sebagian besar adalah buku-buku imper dan berkualitas. Majalah bekas juga ada, kaset bekas juga ada, majalah dewasa juga ada, kartu remi bergambar wanita bugil juga ada, termasuk novel esek-esek.
Memang tidak selalu merupakan hal baik, tetapi sebagian besar mengagumkan. Anak-anak muda mesum akan berterima kasih atas jasanya. Tapi khusus barang-barang seperti itu, tidak dijual secara sembarangan, karena kalau ketahuan bisa ditangkap oleh polisi.
Jarak dari rumah saya ke Cikapundung kira-kira satu jam perjalanan dengan menggunakan angkot di masa itu. Lokasinya tidak jauh dari Alun-Alun Kota Bandung.
"Mau ikut, gak?" ajak Bagas. "Kenapa tadi gak bilang di mobil?" "Baru kepikiran pas udah pulang." "Kapan emang?"
"Besok, sepulang sekolah, yuk!"
"Besok?" Saya tidak yakin bisa ikut, "Saya mau ke rumah kakek saya, euy."
"Ke Cikapundung-nya, setelah dari rumah kakekmu aja."
"Ketemuan di Cikapundung?" tanya saya.
"Bagas jemput, deh, ke sekolah, "jawab Bagas, "Gimana?"
"Gimana kalau ketemuan di Trina?"
"Trina?"
Trina yang saya maksud adalah satu-satunya Toserba yang ada di Buahbatu saat itu. Lokasinya tidak jauh dari kampus ASTI atau yang sekarang dikenal sebagai ISBI.
"Saya mau beli kado dulu buat kakek," kata saya.
"Oke. Jam berapa dijemput?" "Jam ... satu kayaknya." "Sip."
Keesokan harinya, setelah selesai belanja di Trina, kami pergi ke rumah Abah. Rumahnya kecil, tetapi halamannya seluas dua lapangan voli dan itu adalah sesuatu yang saya sukai. lni bukan hanya tentang banyaknya tanaman dan bunga, tapi saya, dulu, merasa senang bisa duduk sendirian di sana, menjadi seperti gadis paling melamun, yang tidak terpengaruh oleh waktu dan menyaksikan dunia berlalu begitu saja bersama aroma bunga yang melayang di halaman. Atau, kumpul bersama keluarga besar Abah, menikmati barbeque dan sate pada setiap hari raya ldul Adha.
Halaman depannya mencakup dua area tempat duduk: satu area ada di sebelah kiri halaman, yaitu tepat di bawah pohon kersen; satu area lagi berada di sebelah kanan yang dipenuhi dengan tanaman rendah. Ada bangku kayu lain yang sengaja ditempatkan di beberapa sudut pekarangan, agar kalau keluarga besar Abah datang, semua orang bisa kebagian tempat duduk.
Mobil Bagas berhenti di pinggir jalan, di antara empat motor yang sudah parkir di sana, entah punya siapa. Saya masuk ke halaman rumah Abah dengan membiarkan pintu pagar terbuka untuk Bagas, lpul, dan lksan masuk. Begitu kami memasuki halaman rumah Abah, saya melihat ada tiga orang yang sedang duduk di kursi rotan, di bawah naungan pohon kersen.
Mereka hanya duduk di sana sambil mengobrol dan tertawa, tampak terlihat gembira. Saya sama sekali tidak mengenalnya dan rasanya saya belum pernah bertemu dengan mereka. Kalau saya harus menebak, sepertinya mereka seumuran dengan Mang Anwar.
Beberapa saat kemudian, saya melihat Mang Anwar. Dia baru saja keluar dari rumah Abah dan berjalan ke arah saya.
"Abah mana?" tanya saya, setelah berdiri berhadapan dengan Mang Anwar.
"Ada," jawab Mang Anwar, "lagi tiduran."
Saya memperkenalkan Bagas, lksan, dan lpul kepada Mang Anwar. Karena merasa tidak akan berlama-lama di rumah Abah, saya meminta Bagas, lksan, dan lpul, untuk duduk menunggu di bangku kayu yang ada di area sebelah kanan halaman, kira-kira tujuh meter jaraknya dari tempat berkumpulnya orang-orang yang sedang duduk di bawah pohon kersen itu.
"Tunggu, ya," kata saya kepada Bagas, lksan, dan lpul sambil mulai berjalan bersama Mang Anwar menyusuri jalan setapak menuju rumah Abah.
"ltu siapa?" tanya saya berbisik.
Saya merasa tidak bisa menahan diri untuk bertanya tentang orang-orang yang duduk di bawah pohon kersen.
"Temen Mang Anwar."
"Ngapain?" tanya saya pelan sambil membuang permen karet yang sedari tadi saya kunyah, ke tempat sampah di dekat tiang rumah Abah.
"Main aja," jawab Mang Anwar. "Nongkrong biasa." "Oh."
Setelah membuka sepatu, saya dan Mang Anwar masuk ke rumah Abah, yang dibangun dari bata merah. Ada warna biru yang tidak rapi di bagian bawah temboknya, sedangkan hampir semua kusennya diberi warna cokelat.
Rumah itu sunyi dan selalu begitu sejak anak-anak Abah memiliki keluarga sendiri. Tirai hijau tampak menggantung di atas pintu dan juga di jendela ruang tamu. Kamar depan yang berdampingan dengan ruang tamu adalah kamar yang dulu dipakai oleh Mama sebelum menikah.
Dengan sangat tenang, saya berjalan melewati ruang tamu untuk memastikan segala sesuatunya tetap rapi dan teratur seperti biasanya. Saya melangkah maju ke bagian ruang tengah yang mengarah ke kamar Abah, kamar bekas Mang Dhani, dapur, dan kamar mandi.
Saya menyapa Emak yang sedang sibuk memasak di antara rak dinding dapur dan lantai berwarna abu-abu. Luasnya cukup untuk memasak dan juga untuk makan. Saya mencium aroma bawang putih yang menyengat dari sana.
Ketika saya masuk ke kamar Abah, dengan garden pintu kamar yang diikat ke belakang, saya melihat Abah sedang rebahan di kasur. Melihat saya datang, Abah bangkit, "Teh," katanya, begitu santai, lalu meraih kemeja yang tergantung di atas sebuah bufet kecil yang berisi beberapa barang pribadinya.
Saya bisa melihat kerutan di bawah matanya, juga garis-garis di dahinya. Saya masih bisa mengingat saat ketika garis-garis kerutan itu belum ada. Seiring bertambahnya usia, rambutnya juga tidak lagi banyak seperti dulu, tapi senyumnya tetap sama, tetap cerah dan masih terlihat cukup gagah meskipun hanya memakai kaos dalam dan celana training.
Abah duduk di kursi kayu, sambil mengenakan kemeja, lalu membuka tutup mug yang ada di atas meja. Dia minum seperti untuk sedikit membuat dirinya tenang. Agak kurang sehat, katanya. Dan reumatik di bahu kanannya sering kambuh.
Saya segera duduk di kursi yang ada di sebelahnya, setelah saya mencium tangannya. Sementara Mang Anwar duduk di tepi tempat tidur Abah.
"Teteh sendiri ke sini?" "Sama temen-temen, Bah."
"Sama Dilan?" tanya Abah menatap Mang Anwar. "Bukan, Bah," jawab Mang Anwar. "Beda lagi." "Dilan?" tanya saya heran kepada Mang Anwar.
"ltu, temen Mang Anwar yang tadi di sana," Mang Anwar menjelaskan.
"Oh."
Saya melihat, hari itu, sepertinya Abah senang mendapat hadiah sweter warna putih dan juga doa dari saya, meskipun baginya ulang tahun bukanlah hal yang terlalu dia hiraukan. Abah menyeka matanya yang basah dengan punggung tangannya. Kemudian, Abah mencium kening saya.
Emak muncul, bergabung dengan kami, dan bisa mendengar Abah bicara, "Abah doain, Teteh panjang umur. Sehat terus. Banyak rezekinya. Juga sukses mencapai cita-cita," suaranya dalam dan begitu serius.
Setelah makan satu biskuit dan membuat banyak percakapan, saya pamit pulang, sementara Mang Anwar bergegas pergi ke toilet.
-- Next Chapter--
Bab 4
Saya keluar dari rumah Abah, dan duduk membungkuk untuk memakai sepatu di teras, sambil mengarahkan pandangan ke sekitar halaman, dan melihat sekilas kawan-kawan saya yang sedang menunggu.
Saya melihat Bagas, lpul, dan lksan masih tetap duduk di tempat yang tadi, tampak sedang bercakap-cakap dengan orang-orang yang duduk di bawah pohon kersen. Apa yang mereka bicarakan? Mereka terlalu jauh sehingga saya tidak bisa mendengar kata-kata mereka dengan jelas.
Setelah selesai memakai sepatu, saya memakan permen karet, dan siap untuk berangkat ke Cikapundung. Saya melihat Bagas, lpul, dan lksan serentak berdiri dari duduknya ketika melihat saya berjalan untuk mendekat.
"Yuk!" ajak saya antusias kepada Bagas, lksan, dan lpul sesaat setelah saya bergabung dengan mereka, di mana sebelumnya saya sempat beradu pandang dengan orang-orang yang ada di bawah pohon kersen dan tersenyum untuk mereka. Saya berpikir, betapa anehnya, saya hanya merasa harus ramah. ltu saja. Mereka juga tersenyum.
Baru saja kami akan melangkah pergi, tiba-tiba terdengar suara dari salah satu orang yang sedang duduk di bawah pohon kersen, "Kak, sebentar!"
Kami berhenti, lalu menoleh ke arah mereka.
"Kita belum kenalan, nih ... ," kata orang yang mengenakan jaket US Army, masih tetap duduk di kursinya, di antara kedua temannya yang senyum-senyum sendiri. Saya, Bagas, lpul, dan lksan saling berbagi ekspresi bingung.
"Kamu namanya siapa?" tanya orang itu kemudian.
"Siapa, Kang?" tanya lpul yang berdiri di samping saya, dan seharusnya dia tidak perlu segugup itu.
"lya, kamu," kata orang itu.
"lpul, Kang," jawab lpul langsung.
"Kalau kamu, yang pake rompi, siapa namanya?" tanya orang itu lagi.
"lksan, Kang," jawab lksan dalam semacam ketakutan yang gugup.
"Kamu?" tanya orang itu lagi memandang ke arah Bagas. "Bagas, Kang," jawab Bagas.
Ada apa dengan orang ini?
Oke. Saya mengerti, kadang-kadang normal kalau ada orang yang ingin mengetahui nama seseorang. ltu biasa terjadi, dalam wawancara kerja, misalnya. Tapi, tujuan dia untuk apa?
Saya mulai berpikir dia juga pasti akan menanyakan nama saya. "Bagas berani, gak, melawan Advent Bangun?" tanya orang itu. Jadi, ya, cukup jelas dia tidak ingin tahu nama saya.
"Enggak, Kang," jawab Bagas tanpa nada.
Advent Bangun yang dimaksud adalah aktor film laga berbadan sterek, yang sangat populer di tahun 80-an. Dan, saya merasa bahwa ini bukanlah sesuatu yang penting yang harus dibicarakan. Naluri saya langsung tahu bahwa dia hanya ingin menjadikan kami sebagai sasaran lelucon. Saya kesal karenanya.
"Ah, payah, nih!" katanya, seperti benar-benar mengeluh. Salah satu temannya tertawa. Orang itu memandang kami dan tersenyum tidak masuk akal dengan cara yang menjengkelkan yang dimaksudkan untuk membuat kami terlihat seperti orang bodoh.
Saya mendengus, menatap orang itu sambil sesekali meletuskan gelembung permen karet di mulut. Dia tampak sedikit tidak nyaman, lalu menyimpan kedua tangannya di bagian belakang kepalanya dan saya tidak suka ketika dia tersenyum lagi. Saya tidak ingin melihatnya. Saya ingin cepat-cepat pergi meninggalkan situasi yang tidak sehat itu.
"Yuk!" kata saya kemudian, mengajak Sagas, lksan, dan lpul untuk pergi.
"Bentar, Kak!" teriak orang itu lagi, sebelum kami benar-benar pergi.
Saya agak mengabaikan pada awalnya, dan memutuskan terus berjalan, tetapi orang itu terus memanggil, dan saya merasa terganggu. Lagi pula, saya tidak suka dipanggil: kakak. ltu terdengar kurang ajar. Saya merasa diolok-olok dan menjadi kesal, lalu berbalik dan berjalan agak mendekat ke arahnya.
Sementara lpul, lksan, dan Bagas tetap diam di tempatnya.
"Ada apa?" tanya saya geram sambil berkacak pinggang, kira-kira berjarak satu meter darinya.
Dia hanya mengangkat bahu, lalu tersenyum kecil dan bertanya, "Kalau Kakak namanya siapa?"
"Gak punya nama!!!" jawab saya langsung.
"Masa?" katanya, dengan pose yang dipaksakan. "Bagaimana manggilnya?"
Saya benar-benar tidak mau menjawabnya, saya hanya menatapnya tajam dan ingin memukul orang itu.
"Aku senang bisa melihatmu," katanya kemudian.
Dia pasti berpikir saya suka berdialog dengannya. Tentu tidak. Gak kelas! Satu-satunya yang ingin saya lakukan adalah melabraknya, tapi saya masih bisa menahan diri. Saya benar-benar memiliki keberanian untuk melakukannya. Tapi, saya tidak mau memperburuk keadaan, terutama mengetahui dia adalah kawan Mang Anwar.
Jadi, itu sudah cukup. Saya tidak mau berlama-lama dengan orang yang tidak jelas macam dia. Saya berbalik dan pergi.
Tapi, orang itu terus saja memanggil, "Kakak! Kakak!" dengan nada seperti yang saya dengar dalam film-film China.
Saya benar-benar sudah tidak mau menanggapinya. ltu sudah berakhir. Saya tidak ingin menghabiskan energi untuk hal yang tidak penting. Saya bahkan tidak tahu namanya. Dan juga tidak mau tahu!
Di dalam mobil, saya mendapat beberapa informasi singkat dari Bagas, lpul, dan lksan bahwa orang yang memakai jaket US Army itu adalah alumni dari sekolah mereka. Namanya Dilan.
Kemudian, saya juga mendengar cerita tentang bagaimana Dilan dulu menjadi anak nakal di masa sekolahnya, dan katanya Dilan dikenal sebagai panglima tempur di geng motornya.
Sore harinya, saya pulang dari Cikapundung diantar oleh Bagas, lksan, dan lpul. Saya senang hari itu, karena mendapat dua buah novel bagus yang saya beli menggunakan uang saku saya sendiri.
Setelah saya turun, mereka langsung pulang. Saya pun masuk ke rumah, dan melihat ada Bi Opi bersama anaknya yang biasa dipanggil Teh Risa, di mana saat itu, mereka sedang duduk di kursi meja makan bersama Mama.
Bi Opi yang saya maksud adalah adik Papa. Dia merupakan anak bungsu di keluarganya. Saat itu, Bi Opi masih berusia kira-kira 40 tahun.
Saya masih ingat selama masa kecil saya, di mana Bi Opi hampir setiap hari ada di rumah saya. Dia bukan yang terbaik, tapi dia sudah mengasuh saya dengan tangan terbuka dan mengajari saya cara menggambar angsa dimulai dari angka dua.
Bi Opi terkejut ketika melihat saya tiba. Saya meletakkan tas di atas meja persegi yang ada di dekat sofa ruang keluarga dan kemudian bergabung dengan mereka.
"Udah lama, Bi?" tanya saya, sambil mencium tangannya dan kemudian bersalaman dengan Teh Risa.
"Baru saja ... ," jawab Bi Opi. "Kok, pulang sore?"
"Tadi dari sekolah ke Cikapundung dulu ... ," jawab saya sambil mulai duduk di bangku meja makan, tepat di samping Mama.
Setelah itu, kami berada dalam suasana hati yang riang, berbicara dan sesekali tertawa.
Bi Opi mengatakan tujuan dari kedatangannya. Dia mengundang kami untuk hadir ke acara tunangan Teh Risa yang akan diselenggarakan pada hari Minggu. Hanya kumpul keluarga, katanya, dan kemudian dia mengungkapkan semua pikirannya tentang rencananya itu.
"Risa, tuh, sekarang umur berapa, ya?" tanya Mama, setelah dia kembali dari dapur, membawa segelas air minum untuk saya.
"Dua satu."
"Nikah sama siapa?" tanya saya, sambil mulai minum.
"Ada, lah," jawab Teh Risa, seperti menahan untuk tidak tersenyum.
"Bukannya kamu, tuh, dulu pacaran sama Dahlan, ya?" tanya Mama.
"Udah putus," jawab Teh Risa tersenyum. "Pengennya, sih, sama dia, ha ha ha ...."
"Ah, tapi, ya, gitu ... ," kata Bi Opi menyela, seperti memiliki keinginan untuk bilang bahwa Bi Opi tidak menyetujui hubungan Teh Risa dengan Dahlan.
Sejujurnya, saya sendiri tidak pernah benar-benar tahu bahwa ada sesuatu yang terjadi di antara Teh Risa dengan Dahlan.
"Udah, ah, gak usah dibahas," kata Teh Risa, memotong kalimat ibunya. ltu seperti memberi isyarat bahwa kisah asmaranya dengan Dahlan tidak perlu diketahui orang lain. "Semuanya sudah terjadi, sudah berakhir."
"Ya, mudah-mudahan dengan yang ini bisa langgeng," jawab Mama.
Teh Risa memaksakan diri tersenyum. "Aamiin."
"Kalau mantanmu adalah orang yang tepat, pasti dia masih bersamamu sekarang."
"Nah, iya bener!" kata Bi Opi. Ekspresi wajahnya berubah, menyadari arti yang lebih dalam dari kata-kata Mama itu.
Satu jam setelah Bi Opi pulang, Papa datang, membawa martabak besar. Saya menikmatinya dengan duduk di meja makan bersama Beni, Papa, dan Mama sambil membicarakan hal-hal kecil yang terjadi. Saat itu Mang Anwar belum pulang.
"Bi Yati! Sini!"
Mama memanggil Bi Yati untuk sama-sama menikmati oleh-oleh dari Papa. ltulah Bi Yati, kamu harus tahu, dia adalah asisten rumah tangga kami dari sejak saya masih SD. Dia orangnya baik. Hampir selalu siap membuatkan sesuatu untuk dimakan atau diminum, dan mengerjakan hal-hal lainnya lagi yang menyangkut urusan dapur. Ketika saya selesai dengan semua itu, saya pergi ke kamar untuk berganti pakaian. Dua puluh menit kemudian, saya mendengar Mang Anwar pulang. Saya bangkit dan ingin bicara dengan Mang Anwar, untuk mengklarifikasi peristiwa yang terjadi dengan kawannya di rumah Abah. Saya tidak ingin apa-apa, selain mengatakan yang sebenarnya.
Di kamar Mang Anwar, saya mengatakan kepadanya bahwa apa yang sudah Dilan lakukan sudah membuat saya jengkel. Saya juga memberi pemahaman kepada Mang Anwar bahwa apa pun yang saya lakukan kepada Dilan, saya akui saya "berlebihan", tapi tidak sepenuhnya bermaksud kasar.
Mang Anwar tertawa, setelah saya memberinya gambaran tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Katanya anak geng motor, ya?" tanya saya. "Mantan."
"Kok, bisa berteman sama mereka?" "Teman SMP."
"Ngapain ke rumah Abah?" tanya saya.
Mang Anwar menjawab bahwa katanya, selama ini Dilan sudah beberapa kali main ke rumah Abah. Kemudian, Abah dan Dilan jadi saling mengenal, jadi seperti teman, membicarakan banyak hal, termasuk sambil bermain catur.
Katanya, akhir-akhir ini, Dilan banyak diskusi dengan Abah, membahas tentang semua yang ingin Dilan dengar dari Abah, terutama membahas budaya Kesundaan. ltu cocok, mengingat Abah adalah pensiunan guru Bahasa Sunda.
"Kok, geng motor suka kebudayaan?" tanya saya.
Saya tidak bermaksud menyinggung siapa pun dengan komentar itu. Saya hanya ingin menjelaskan kebingungan saya tentang Dilan sebagai geng motor yang tertarik kebudayaan. ltu janggal, karena saya selalu berpikir geng motor adalah tipe orang mengganggu, menjengkelkan, kasar, tidak sensitif, dan vulgar. Maaf, jika ini blak blakan.
Mang Anwar hanya tertawa, seolah-olah apa yang baru saya katakan itu sangat lucu. Katanya, Dilan itu adalah campuran dari semua hal. ltulah inti dari apa yang Mang Anwar ingin katakan tentang Dilan.
"Ya, dia nakal, tapi pinter," katanya. "Pinter apa?" tanya saya.
"Dilan kuliah di ITB."
"Di ITB?" tanya saya, hampir tercengang dan tidak percaya, karena sejauh yang saya tahu, 1TB punya ujian masuk yang sangat ketat dalam menyaring siswa yang mereka inginkan. Sehingga, cerita Mang Anwar tentang Dilan yang kuliah di ITB itu benar-benar tidak masuk akal bagi saya.
"Kok, bisa?" tanya saya lagi.
"ITB, kan, buat siapa aja," katanya.
Maksud saya, untuk bisa diterima di 1TB, tentunya Dilan harus benar-benar belajar, setidaknya belajar secara efektif dengan sering membaca buku pelajaran, menghafal rumus, dan mendengarkan lebih banyak di kelas.
Tapi nyatanya, kata Mang Anwar, Dilan lebih banyak menghabiskan waktu di jalanan. Saya menjadi bingung.
"Enak, ya, jadi Kang Dilan," kata saya. "Kenapa emang?"
"Ugal-ugalan di jalan, tapinya ... diterima di ITB. Enak banget. Teteh teruuus aja di kamar. Belajar, belajar, sambil belum tentu juga bisa diterima di ITB."
Sejujurnya saya iri. Mang Anwar tertawa, dan hanya mengatakan, "Makanya belajar sama Dilan."
"Kang Dilan nyuap, enggak, masuk ITB-nya?"
"Masa 1TB bisa disuap?" "lya, sih."
Jelas bagi saya, mengacu pada apa yang dikatakan oleh Mang Anwar tentang Dilan, Dilan tidak bisa disamakan dengan si Bono. Dilan orang berbeda. Prioritasnya juga berbeda.
Kata Mang Anwar, meskipun anak geng motor, dan bahkan berkelahi, Dilan bukan anak liar. Dilan memiliki minat akademis yang cukup tinggi dan selalu meraih ranking pertama, baik saat di SD, SMP, maupun SMA. Dilan juga kutu buku, menekuni musik dan suka sastra, tanpa meninggalkan sisi pergaulan di dalam hidupnya.
Mang Anwar mengatakannya seperti menunjukkan bahwa dia berada di lingkaran yang sama dengan Dilan. Saya kira Dilan mengagumkan jika bukan karena fakta bahwa Mang Anwar hanya sedang membela kawannya.
"Kang Dilan tiap hari ke Abah?" tanya saya kemudian. "Enggak, lah. Kadang-kadang aja."
Kata Mang Anwar, sesekali, Dilan juga suka datang membawa tembakau buat Abah atau membawa makanan cepat saji.
"Masa?"
"Kemaren, Dilan ngasih jaket untuk ulang tahun Abah," katanya. "Oh."
ltulah isi obrolan saya dengan Mang Anwar tentang Dilan. Saya tidak mempertimbangkan kemungkinan bahwa Dilan akan menjadi orang yang mengagumkan di mata saya.
Setelah selesai berbicara dengan Mang Anwar, saya kembali ke kamar, bersama hujan yang mulai turun. Hanya hujan lembut, yaitu hujan yang halus dan sunyi.
Setelah bersih-bersih, saya naik ke tempat tidur dan tersenyum mengingat beberapa cerita Mang Anwar tentang Dilan saat dia masih SMP.
Katanya, waktu Dilan di SMP, dia pernah menyembunyikan papan tulis, dibantu oleh teman-teman sekelasnya, sehingga proses belajar mengajar sedikit terhambat. Dilan juga, katanya, pernah ditegur oleh wali kelas, karena dia datang ke sekolah memakai kemeja seragam
SMA milik kakaknya, padahal Dilan sendiri masih SMP. ltu dipermasalahkan oleh guru karena warna OSIS-nya berbeda.
"Di buku catatan pelajaran sejarahnya, ada tulisan 'Yang Lalu Biarlah Berlalu'," kata Mang Anwar.
"Maksudnya?"
"Guru sejarah juga nanya begitu ke Dilan." "Dijawab apa sama dia?"
"Yang harus kita pikirin tuh, masa depan, Pak, katanya. Jangan ngomongin masa lalu terus."
Saya ketawa, "Kok? Sejarah itu, kan, bagus. Buat jadi pelajaran ke depan. Kita bisa menghargai bangsa ini karena membaca sejarah pahlawan."
"Gak tau. Terus, Dilan disuruh keluar, gak boleh ikutan belajar sejarah. Ha ha ha," kata Mang Anwar lagi. "Terus Dilan bilang, 'aku dikeluarin dari kelas, ini baru sejarah."'
Saya langsung tertawa saat itu, bukan karena lucu, melainkan karena aneh. Sepertinya hidup Dilan itu hanya untuk bersenang senang, tertawa, lalu menjadi seperti orang gila.
"Tapi, Kang Dilan tidak menari seperti orang gila di ruang kelas, kan?" tanya saya kepada Mang Anwar saat itu.
"ltu mah berlebihan."
"Terus ... , bangun-bangun sudah ada di selokan?" "Dilan gak kayak gitu, lah!"
Hmmm. Kemudian, saya melamun selama beberapa menit sebelum akhirnya tertidur.
-- Next Chapter--
Bab 5
Di malam Sabtu, Bagas menelepon. Dia seperti tergesa-gesa ingin menyampaikan inti dari kalimat yang akan dia katakan. Katanya, dia baru selesai membuat sebuah lagu yang akan segera dia rekam menggunakan mini tape recorder.
Bagas juga bilang bahwa lagu yang dia buat itu terinspirasi dari mimpi dan semua harapannya. Dia sengaja membuatnya untuk mengatakan apa yang tidak bisa dia katakan.
Saya benar-benar tidak mengerti dan saya tidak tahu harus berpikir apa, tetapi Bagas terdengar puas seperti seolah-olah dia akhirnya membuat sebuah kemajuan.
"Kalau sudah direkam, nanti Bagas kasih ke Cika, ya," katanya.
"Lagu apa, sih?"
"Ya, lagu aja."
"Oh."
"Besok bimbel?"
"Eng ... gak kayaknya."
"Kenapa?"
"Ada kegiatan di sekolah, euy."
"Malam Minggu Bagas main, ah, ke rumah Cika."
"Hah?"
"Nganterin kaset rekaman."
"O .... Nanti aja Rabu di tempat bimbel."
"Tapi ... besok, tuh ... kebetulan Bagas ada kegiatan di daerah Ciwastra.
Tadinya mau sekalian mampir aja. Nganterin kaset rekaman lagu Bagas."
"Oh, gitu," jawab saya. "Ya, udah." ''jam tujuhan Bagas ke rumah, ya." "Pagi?"
"Malam."
"Oke."
Ketika akhirnya Bagas benar-benar datang ke rumah, dan berbau
seperti parfum, dia datang bersama lpul, membawa kaset berisi rekaman lagu karangannya itu.
Kami duduk di ruang tamu, dan saya seperti seseorang yang mau tidak mau harus berada di sana. Tidak lama kemudian, Bi Yati datang memberi Bagas dan lpul makanan ringan dan dua gelas berisi air teh. Mama juga datang dan memandang keduanya dengan pandangan bertanya, "lni pada dari mana?" tanya Mama. Nadanya ceria. Mama memang selalu begitu.
"Teman bimbel Teteh," saya menjawab.
"lya, Tante," kata Bagas, berusaha sangat keras untuk santai. "O, gitu ...."
"Belum tidur, Tante?" Tanya Bagas.
"lni, masih bangun ... ," jawab Mama sedikit ketawa. "He he he ... iya, Tante."
"Ya, udah, ya. Silakan," jawab Mama, "Tante mau urus-urus rumah dulu."
"lya, Tante."
Kemudian, kami kembali melanjutkan sesi obrolan. Bagas berbicara sedikit berputar-putar, agak serius, tetapi setidaknya, saya mengerti bahwa dia sedang memberitahu banyak hal tentang musik.
Kira-kira pukul sepuluh, setelah Bagas dan lpul pulang, yang saya lakukan adalah masuk ke kamar saya. ltu adalah ruangan yang sangat pribadi buat saya. ltu adalah kamar gadis remaja, kamar yang tenang, tempat yang sangat saya sayangi, karena saya merasa bebas di sana sendirian. Di dalamnya terdapat tempat tidur dari bahan kayu ringan, meja belajar lengkap dengan rak buku, satu sofa untuk membaca, dan kamar mandi. Letaknya berada di bagian depan sayap kiri rumah, sejajar dengan ruang tamu yang dipisah oleh ruang tengah.
Kamar saya punya jendela yang menghadap ke arah jalan. Ukuran jendelanya cukup besar, selain cocok untuk melarikan diri, bisa juga untuk melamun sambil memandang ke seluruh lingkungan, atau setidaknya, ke area ruang terbuka hijau di halaman depan rumah dan memantau halaman rumah orang di sisi lain jalan. Sedangkan kamar Papa dan Mama, letaknya sebaris dengan kamar saya, berderet ke arah belakang rumah dengan pintu yang menghadap ke ruang tengah.
Semua hal dipertimbangkan, termasuk ruang tengah atau ruang keluarga, yang suasananya lebih kasual. Ruang tengah adalah tempat yang nyaman untuk kumpul keluarga sambil duduk di sofa, menikmati acara televisi bersama camilan.
Sementara ruang tamu lebih formal dan tenang, untuk tempat duduk bersama tamu atau teman. Di sana terdapat lampu gantung dengan penerangan yang cukup memadai.
Di bagian sayap kanan ruang tengah, terdapat sisa ruang yang difungsikan menjadi ruang makan, lengkap dengan meja bundar dan empat kursi kayu. Sehingga, secara keseluruhan, antara ruang tengah dan ruang makan, memiliki kombinasi berbentuk huruf L.
Di sisi belakang ruang tengah, terdapat pintu masuk untuk akses menuju dapur di bagian paling belakang rumah. Ukurannya cukup luas. Di kedua sisinya terdapat gudang penyimpanan, kamar mandi, dan kamar tidur yang layak untuk Bi Yati. Di dapur itu juga terdapat tangga menuju lantai atas, tempat dua kamar tidur Mang Anwar dan Beni, termasuk dak yang berfungsi sebagai tempat menjemur pakaian.
Malam itu, saya duduk di kursi meja belajar, mendengarkan lagu karangan Bagas sambil menikmati secangkir teh yang saya terima dari Mama. Menurut saya, lagu dan liriknya lumayan bagus, ditambah oleh suara harmonika yang indah. Luar biasa untuk standar anak SMA. Jadi, itu adalah pujian yang lumayan tinggi dari saya.
MIMPI INDAHKU
Dirimu adalah dari mimpiku
Tidak nyata, tapi bahagia dengan seluruh napasku Aku tak ingin bangun dari tidur
Agar selalu bersamamu Melihat senyum manismu Reff:
Mimpi indah, mimpi indah Kapankah menjadi kenyataan
Mimpi indah, mimpi indah]adilah,jadilah kenyataan
Kira-kira pukul setengah sebelas malam, saya menyadari ada suara bising sepeda motor yang berhenti di depan rumah saya. Saya mengintipnya dari balik tirai jendela, dan melihat ada empat orang yang turun dari sepeda motornya masing-masing. Salah satu dari mereka adalah Dilan. Ada Mang Anwar juga dan dua orang lagi yang tidak saya kenal.
Reaksi langsung saya saat itu adalah seperti, "Oh, ada Dilan." Wajahnya sebagian tertangkap dalam cahaya lampu taman.
Kehadiran yang misterius, kesunyiannya, dan cerita tentang dirinya yang dikatakan oleh Mang Anwar, memiliki efek menarik yang membuat saya penasaran. Sepertinya dia sangat berbeda.
Sebelum saya kembali duduk di kursi meja belajar, saya sempat melihat mereka duduk di bangku kayu yang ada di bawah pohon Tabebuya, kira-kira berjarak lima meter dari kamar saya. Dan saya bisa mendengar suara mereka mengobrol yang diselingi tawa.
Sambil duduk mengerjakan PR, saya mencoba memusatkan perhatian saya kepada mereka untuk mencari tahu apa yang sebenarnya mereka bicarakan, tapi saya tidak benar-benar bisa mendengar seluruh kalimatnya dengan jelas.
Tidak lama berselang, saya juga mendengar suara Beni.
Sepertinya, dia mulai ikut bergabung dengan mereka, entah bagaimana awalnya. Bahkan, tawa adik saya terdengar semakin keras dari menit ke menit, seperti hiburan yang sedang dia nikmati. Beni memang orang yang mudah bergaul dengan semua orang. Dia bisa cepat menyesuaikan diri bergabung dengan siapa saja.
Saya bangkit dari duduk, tetapi tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya hanya melihat diri saya di cermin, lalu membuka pintu kamar, dan berjalan ke dapur untuk mengambil air minum, melewati ruang keluarga yang tampak sepi.
Di dapur, dengan perlahan, saya menuangkan secangkir air bening ke dalam gelas. Tapi sebelum saya meminumnya, tiba-tiba Beni datang. Saya langsung berbalik, sedikit terkejut. Saat itu, Beni tampak riang daripada biasanya dan juga kelihatan lebih semangat.
"Pelan-pelan ... ," kata saya kepada Beni, lalu meneguk air di gelas.
"lya, Teh," jawab Beni. "lni, mau bikin kepi." "Kasih roti, atau apa gitu ...."
"lya, Teh. Bikin kepi dulu." "Rotinya di meja makan." "lya, Teh, nanti."
"Ya, udah, biar Teteh aja yang bikin ... ," kata saya, sambil berjalan mengambil roti di meja makan dan membawanya ke dapur, kemudian mulai mengolesinya dengan selai dan cokelat, lalu dipanggang dan seterusnya, hampir sama dengan resep roti yang dibikin oleh Bi Yati.
"Hayu, ikut ngobrol, Teh," ajak Beni sambil menuangkan air panas dari panci ke gelas berisi kepi dengan hati-hati.
"Dah malem," jawab saya.
Jadi, saya kembali ke kamar bersama secangkir air bening dan menutup pintu sepelan mungkin, lalu menguncinya.
Selanjutnya, yang saya lakukan hanya duduk di kursi meja belajar, menyelesaikan PR dan membenamkan diri dalam novel Lima Sekawan. Saya masih bisa mendengar percakapan mereka, yang diselingi oleh suara tawa. Mereka berbicara satu sama lain, seolah olah mereka selalu bersama setiap hari.
Saya melihat jam alarm di meja kecil, sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Saya segera menutup novel, bangkit dari duduk dan melemparkan diri ke tempat tidur, menarik selimut dan menutup wajah dengan bantal. Saya masih bisa mendengar suara mereka, seperti gema di kejauhan sampai kemudian saya tertidur.
Hari Minggunya, tepat pukul delapan pagi, saya terbangun dan turun dari tempat tidur. Pada saat membuka tirai jendela, saya melihat ke langit, warnanya abu-abu. Saya mendengar suara burung di pepohonan. Kemudian, saya pergi ke dapur untuk minum segelas susu murni.
Sebenarnya, hari itu saya ingin pergi ke luar dan berjalan-jalan untuk mencari udara segar, tetapi saya berkata kepada diri sendiri bahwa saya tidak dapat melakukan itu sampai saya harus menyelesaikan semua tugas sekolah yang belum saya lakukan.
Di dapur, ada Bi Yati. Dia sibuk mencuci piring dan memanaskan makanan di wajan. Saya melakukan percakapan yang bisa saya lakukan dengan Bi Yati sambil menuangkan susu murni ke dalam gelas. Saat itu, saya belum melihat Beni, dan saya juga belum melihat Mang Anwar. Mungkin masih pada tidur.
Saya hanya melihat Papa sedang duduk di kursi rotan sambil menikmati sinar matahari. Mama juga di sana. Dia sedang merawat tanaman hiasnya. Bunga-bunganya bagus, disorot oleh sinar matahari dengan sangat indahnya.
"Baru bangun?" tanya Mama.
"lya."
"Enggak shalat Shubuh?"
"Shalat," jawab saya, mulai duduk di kursi rotan yang ada di hadapan Papa.
"Nanti malam ke rumah Bi Opi," kata Papa. "Papa ikut?"
"lkut," jawab Papa.
Kemudian, ada lebih banyak yang saya katakan di sana bersama Papa dan Mama.
Malam harinya, setelah selesai shalat Maghrib, saya, Papa, dan Mama berangkat menuju rumah Bi Opi. Lokasinya di daerah Jalan Sunda.
Ketika kami sampai di sana, kami mendapati acaranya sama sekali tidak sederhana. Sebagian besar yang hadir adalah kerabat dari pihak Papa.
Saya merasa cukup bisa menempatkan diri saya untuk berbaur dan melakukan pembicaraan dengan mereka. Di sana juga ada Mang Kiki, adik Papa yang sibuk berkeliling memotret semua orang. Tentu saja, tidak semua yang hadir bisa saya kenali, terutama karena di antara mereka adalah keluarga dan kerabat dari pihak tunangannya Teh Risa. Mama di dapur dan Papa berbicara dengan saudara-saudaranya.
Karena merasa lelah harus berbasa-basi dan juga harus tersenyum kepada semua orang, saya akhirnya memutuskan untuk pergi ke luar ruangan sambil membawa satu gelas air mineral, lalu duduk di kursi terop yang ada di halaman depan rumah Bi Opi, dan melihat ada Mang Dhani, adik Mama, yang sedang mengobrol dengan dua orang wanita tua.
Bi Opi yang saat itu sedang menyambut dua orang tamu, mengajak saya masuk, saya menolak tawarannya dengan cepat.
"Di sini aja, Bi," jawab saya, "Nanti pas acara dimulai, Teteh masuk."
"Ya, udah," kata Bi Opi. "Udah makan, belum?" "Udah, Bi."
"Bi Opi ke dalam dulu, ya." "lya, Bi."
Bi Opi pergi, tapi kemudian datang lagi bersama seseorang yang mengenakan celana katun longgar dan kemeja gelap.
"Teh, ini katanya, ingin kenal sama Teteh."
Saya merasa seperti, apa yang harus saya lakukan?
Kemudian, Bi Opi memperkenalkan dia sebagai Yadit, keponakan suami Bi Opi. Katanya, Yadit adalah seorang insinyur yang sudah bekerja di salah satu perusahaan milik pemerintah. Dia cukup mengenal banyak orang penting di Jakarta, dari mulai menteri, pejabat, sampai polisi.
Yadit berdeham, menelan, dan tiba-tiba kata-kata keluar dari mulutnya. "Ah, biasa aja."
"Masih bujang, Teh," Kata Bi Opi dengan sedikit tertawa. "Kerja terus dia itu, sampai lupa cari pasangan."
"Belum ada yang cocok, Bi," jawab Yadit, sambil mulai duduk di kursi terop yang ada di samping saya.
"Nih, kalau sama Teteh cocok. Ha ha ha!" kata Bi Opi. Yadit ketawa. Saya tidak.
"Silakan ngobrol," kata Bi Opi lagi, lalu pergi meninggalkan saya dan Yadit.
Segera setelah itu, Yadit bertanya, "Namanya siapa?" "Amer."
Dia sedikit terkejut, "Amer?" "lya."
"Kata Bi Opi, katanya Cika?" "ltu juga boleh, Kang."
Saya tidak bermaksud meremehkan dengan jawaban-jawaban singkat, atau apa pun yang saya katakan, tapi saya tidak bisa menemukan alasan untuk berbicara panjang-panjang dengannya. Saya hanya bingung bagaimana menanggapi seseorang yang baru saya kenal. lni sepertinya sering terjadi pada saya. Mungkin ada orang yang bisa langsung bersikap terbuka untuk bisa mengenalnya dan bersenang-senang. Tapi, itu bukan gaya saya.
"Kelas berapa Cika, sekarang?" tanya Yadit kemudian. "Tiga," jawab saya sambil menyedot air mineral. "Malam Minggunya ngapain aja?"
"Di rumah aja," jawab saya. "Nanton TV, tidur, ya ... gitu aja."
Yadit ketawa, "Kalau ke Bandung lagi nanti, Kang Yadit mau mampir, ah, ke rumah."
"Ke rumah siapa?" "Rumah Cika." "Oh, iya."
"Pengennya, sih, pindah lagi ke Bandung. Tapi, mau gimana lagi, dapat tugasnya di Jakarta. Kepaksa, deh, Akang beli rumah di Jakarta. Kadang suka pulang, kok, tiap Minggu ke Bandung, kalau kerjaan lagi gak numpuk."
"Oh."
"Tapi kalau lagi numpuk, waduh ... Akang sampai harus tidur di kantor. Ya, gitulah. Alhamdulilah, Kang Yadit ini, kan, kepake. Jadi aja ... kantor sangat ngandelin Akang."
Dia bersin dan menambahkan, "Ya, itu. Sebetulnya kalau perusahaan udah bergantung ke satu orang, ini sudah gak sehat."
Saya memilih diam karena benar-benar tidak tahu harus ngomong apa, kemudian Yadit bicara lagi, "Sebenarnya Akang sudah pernah ngusulin ke direksi untuk ngasih semacam pelatihan, gitu, lah. Biar setiap orang, tuh, bisa diandelin. Soalnya kalau enggak, kan, jadinya Akang lagi, Akang lagi yang harus nyelesein semuanya."
"Kepake banget, ya?" tanya saya meskipun sebetulnya saya tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Soalnya, dia seperti sedang bermonolog.
"Ya, gimana, ya?"
"Mungkin emang gitu, Kang."
"lnsya Allah, nanti kalau ketemu lagi, Akang ajarin Cika, deh, gimana bisa jadi orang yang diandelin oleh kantor. Wah, kalau udah diandelin, tuh, enak. Gak akan berani, tuh, direksi negur-negur. Malahan, sebaliknya, perusahaan bisa ketakutan ditinggal pergi sama Akang. Soalnya ...."
Sebelum Yadit menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saya melihat seorang gadis dengan rambut panjang yang dikepang, mengenakan gaun warna putih, berjalan masuk ke halaman rumah Bi Opi. Saya merasa yakin dia adalah Anita, teman dekat saya waktu SMP. Saat itu dia datang berdua dengan seorang wanita paruh baya, mungkin ibunya.
Saya langsung terkejut, karena hampir tidak percaya bisa bertemu dengannya di sana. Segera, saya berdiri.
"Kang, saya ke sana dulu, ya?" kata saya kepada Yadit. "Oh, silakan."
"Ada temen."
Saya berjalan menemui Anita yang kemudian terkejut melihat saya, "Cika!" katanya berseru, sambil berjalan mendekat, lalu dengan cepat memeluk saya, "Kok, ada di sini?" tanya Nita.
"lni rumah tante saya." "Hah?"
Setelah Anita memperkenalkan ibunya, dia cerita bahwa tunangannya Teh Risa adalah saudaranya Anita.
"Jadi kita saudaraan, dong?" kata saya. "lya!"
ltu menakjubkan, ternyata kami memiliki lingkaran yang sama, tetapi masing-masing tidak pernah benar-benar saling bertemu.
"Acaranya belum dimulai, kan?" tanya Nita. "Belum ... ," jawab saya.
"Jam berapa dimulai?"
"Kurang tau," jawab saya, sama-sama bingung, "kita masuk aja dulu, yuk!" kata saya mengajak.
"Yuk!"
Segera setelah itu, saya, Anita, dan ibunya Anita berjalan masuk ke ruangan tempat di mana acara tunangan akan segera dilangsungkan. Di sana, saya melihat Papa dan Mama sedang duduk di antara mereka yang sudah berkumpul.
-- Next Chapter--
Bab 6
Besoknya di sekolah, pada jam istirahat, lndri cerita tentang dia naksir seseorang yang bukan Dudi. "Siapa?"
"Ada aja."
"Pangeran Charles?" "Bukan!"
Kemudian, lndri bilang bahwa orang itu baru putus dengan pacarnya karena menemukan bukti adanya pria lain dalam hidup pacarnya.
Saya bertanya, "Bagaimana kamu tahu?"
"Dia nelepon semalam," jawab lndri. "Dia cerita banyak." "Ngapain nelepon kamu?"
"Gak tau." "Pelarian ituuu."
"Pelarian?" tanya lndri.
"Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang dangdut!" "Ha ha ha!"
Siangnya, pada saat kami pulang sekolah, kami menyaksikan ada keributan di warung Mang Uja, dan kami tidak dapat melihat dari dekat untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Saya sendiri tidak melihat apa pun, selain kerumunan yang dibubarkan oleh polisi. Beberapa orang mengatakan bahwa ada pertengkaran di antara orang yang sering kumpul di warung Mang Uja, entah dengan siapa.
Sementara yang lain mengatakan bahwa warung Mang Uja hari itu diserang oleh SMA lain.
Kami kemudian membahasnya di angkot, terutama tentang apa yang sudah dilakukan oleh anak-anak yang suka nongkrong di warung Mang Uja itu. Katanya begini dan begitu, tapi saat itu saya merasa tidak ingin terlalu banyak ikut komentar.
Saya merasa tidak ingin menghakimi sebagaimana yang kawan kawan saya lakukan, karena saya berpikir siapa tahu, kelak, beberapa dari mereka akan menjadi orang sukses. Seperti akan muncul seseorang yang keren, yang mungkin datang dari mereka. Siapa tahu.
Hari yang melelahkan. Sorenya, setelah selesai shalat Ashar, saya masih tidak tahu apa yang ingin saya lakukan. ltu semacam perasaan tidak punya motivasi melakukan apa pun, termasuk mengerjakan tugas sekolah yang banyak.
Saya pikir saya sedang mengeluh meskipun saya memahami pentingnya pekerjaan rumah, dan biasanya pekerjaan itu sendiri tidak terlalu membuat saya frustrasi, terlebih saya orang yang suka belajar. Hanya saja, kadang-kadang saya merasa seperti ingin demo ke sekolah dan bilang bahwa saya merasa sudah memberi begitu banyak waktu untuk sekolah, dan kemudian masih saja harus
mengerjakan banyak pekerjaan rumah.
Saya benar-benar tidak dapat membayangkan melakukan semua itu sebagai seorang remaja, yang juga ingin melakukan hal-hal lain selain belajar.
Beberapa hal kemudian mulai memenuhi kepala saya. Cerita Mang Anwar tentang Dilan masuk ke dalam pikiran saya, terutama tentang Dilan yang masih bisa menggunakan waktunya untuk hal lain, termasuk ugal-ugalan di jalan, tetapi kemudian mendapat nilai bagus di sekolah dan bisa diterima di 1TB.
Saya tidak yakin, saya bisa menjadi seperti Dilan. Saya malah kebalikannya. Saya benar-benar harus belajar keras dan mengerjakan pekerjaan rumah yang banyak untuk mendapatkan nilai setinggi mungkin.
Jangan-jangan, selama ini saya hanya melakukan sesuatu yang tidak produktif dengan waktu belajar saya, karena saya yakin Dilan juga sebenarnya belajar, tetapi efisien, semacam lebih melakukan belajar cerdas dan bukan belajar keras. Konon, Charles Darwin juga dikenal begitu, dia memiliki jadwal yang santai. Saya selalu mengagumi tipe orang seperti itu dan selalu ingin tahu apa alasan di balik pencapaiannya.
Dan kemudian, saya benar-benar ingin tahu bagaimana cara Dilan belajar sehingga saya mungkin bisa mencontohnya, tapi kemudian terasa sangat membingungkan karena saya tidak tahu bagaimana cara untuk mengatakannya. Sehingga saya memilih melupakannya dan pergi ke dapur untuk membuat rujak tomat merah kesukaan saya. Caranya gampang, tinggal ambil dua tomat merah di dalam kulkas dan memotongnya menjadi irisan kecil, lalu masukkan ke dalam mangkuk dan beri sedikit gula, kemudian menumbuknya dengan sendok.
Jadi, malam itu saya mengerjakan tugas sambil menikmati rujak tomat di antara gemericik suara hujan dan lagu "Wish You Were Here" oleh Pink Floyd, dan tidak lama berselang, saya mendengar suara Mama berteriak dari balik pintu kamar.
"Teh, telepon!"
Saya berdiri dan itu telepon dari Yadit yang bicara sangat banyak, terutama hanya tentang dirinya dan apa yang terjadi di dalam hidupnya, sehingga sampai saya mengira tujuan utama dari dia menelepon saya adalah hanya untuk membuat saya ngantuk.
"Kang, maaf. Udahan dulu neleponnya. Soalnya saya harus ngerjain PR," kata saya sopan, sambil melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Saya tahu, itu terdengar tidak sopan, terlebih dikatakan pada saat Yadit sedang begitu bersemangat membicarakan tentang: "generasi muda harus ikut bergerak memajukan bangsa! Teruslah berkarya dan buktikan kepada seluruh dunia bahwa Indonesia mampu."
"Kalau Akang di sana, pasti Akang bantu Cika ngerjain PR," katanya lagi
kemudian.
"Makasih, Kang."
"Culik, dong, Akang ke Bandung," katanya dengan nada suara tertawa.
"Oh, iya, Kang."
"Eh? Beneran?" tanya Yadit antusias. "Oh? Apa tadi, Kang?"
ltu terjadi gara-gara saya kurang menyimak omongannya. Saya menjadi tidak mampu memikirkan atau memahami apa pun untuk dikatakan.
"Culik ... culik Akang ke Bandung."
"Diculik siapa, Kang?" "Ah! Gak nyimak, ya?" "lya, Kang!"
"Kapan Akang boleh ke rumah?"
"Gak tau, Kang."
"Ada yang cemburu, ya?"
"Kang, beneran, saya harus ngerjain PR dulu. Punteeen pisan."
"Oh. It's okay. No matter."
"lya."
"Nanti Akang nelepon lagi, boleh, ya?"
"lya, Kang," jawab saya, seperti: iya aja, deh. Biar cepet.
"Assalamu'alaikum."
'"Alaikumsalam."
Setelah selesai bicara dengan Yadit di telepon, Mama ingin tahu apa yang saya bicarakan dengan Yadit.
"Ya, gitu aja," jawab saya.
Kemudian, Mama bilang bahwa Mama dan Papa mau keluar sebentar.
"Ke mana?" "Ke Buahbatu."
"lya," jawab saya sambil masuk ke kamar, lalu menyingkap tirai untuk melihat situasi di luar dan hujan baru saja reda.
Malam itu, sebagaimana yang saya katakan kepada Yadit, saya memang punya banyak tugas sekolah yang membutuhkan lebih sedikit usaha daripada sebelumnya. Pekerjaannya tidak sulit-sulit amat, hanya saja saya tidak punya waktu yang banyak, sedangkan semuanya harus dikumpulkan besok hari.
Saya hanya berpikir bahwa mungkin Mang Anwar bisa membantu, jadi ketika saya keluar kamar dan bertemu dengan Mang Anwar, saya langsung mengatakan minta bantuannya.
"Tugas apa, sih?" tanya Mang Anwar kemudian. "Meresensi novel."
"Dikerjain sama Dilan, mau?" "Dilan?"
"lya. Ada, tuh, di luar."
"Oh," jawab saya sedikit terkejut. Saya benar-benar tidak menyadari bahwa saat itu ada Dilan datang ke rumah.
"Nanti Mamang bilang ke Dilan, ya," kata Mang Anwar. "Ah, gak enak."
"Gak apa-apa." "Gak enak, tapi ... "
"Malah enak dikerjain orang. Kok, gak enak, sih?" "Ya, udah. Tapi, Mang Anwar yang bilang."
"lya."
ltulah yang terjadi. Lalu saya kembali ke kamar, sedangkan Mang Anwar pergi ke luar, mungkin untuk mengajak Dilan masuk. Saya benar-benar ingin semuanya berjalan dengan baik, bahkan saya sampai berdoa.
"Mana tugasnya?" tanya Mang Anwar, nongol dari balik pintu kamar, membuat saya sedikit terkejut.
"Bentar."
Beberapa saat kemudian, saya pun keluar membawa novel Perempuan dan Kebangsaan karya ldrus, yang akan diresensi oleh Dilan. Saya menyerahkan novel itu kepada Mang Anwar yang sudah duduk di sofa single, di sebelah sofa yang diduduki Dilan.
Saat itu, saya bisa melihat Dilan terlihat santai duduk di sofa double. Saya tidak bisa membayangkan diri saya akan lebih dekat dengannya atau bahkan menyapanya.
Dilan tersenyum, saya balas tersenyum, tentu saja, sambil menatap matanya sebentar. Saya kira saya sudah memberikan sikap yang ramah kepadanya.
"PR, pekerjaan rumah maksudnya?" tanya Dilan dengan nada bingung.
Saya menoleh kepadanya, "lya, Kang."
"Kalau zaman saya dulu, disingkatnya Perum." "Perumahan itu mah," jawab Mang Anwar tertawa.
Mungkin, lelucon kecilnya itu sudah tidak lagi "berbahaya" seperti dulu di rumah Abah. Dan sejujurnya, menyangkut apa yang terjadi di rumah Abah, saya sudah tidak lagi memikirkan hal buruk tentang dia. Tapi kemudian, saya bertanya-tanya apakah dia juga bisa mulai berpikir hal yang sama kepada saya?
"Teteh ke kamar dulu, ya. Mau ngerjain PR lain," kata saya kepada Mang Anwar (sebetulnya ke Dilan juga). Saya berbicara begitu cepat sambil bersiap untuk kembali ke kamar.
"Bareng di sini aja," kata Mang Anwar.
Saya langsung bingung pada awalnya, tetapi kemudian menjawab, "Di kamar aja."
"Mending di sini," jawab Mang Anwar. "Sekalian belajar sama Dilan."
Saat itu, saya merasa Mang Anwar seperti sedang menawarkan kesempatan untuk mengetahui bagaimana cara Dilan belajar. Saya kemudian berpikir untuk tidak ingin melewatkan sesuatu yang berharga itu.
"Oh ... ya, udah," kata saya akhirnya.
Jadi, saya kembali ke kamar untuk membawa beberapa buku pelajaran yang harus saya kerjakan, kemudian kembali ke ruang tamu dan duduk di sofa single di seberang Dilan. Lebih dari itu, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, selain mulai mengerjakan PR.
Terus terang, ini seperti sesuatu yang tidak terduga sedang terjadi. Saya benar-benar sedang bertemu kembali dengan orang yang pernah menyebalkan di rumah Abah, tapi malam itu dia adalah dirinya yang lain, yaitu orang yang mau membantu saya mengerjakan tugas sekolah.
"Mesin tiknya ada?" tanya Dilan.
Saat itu, kami menggunakan mesin tik untuk menulis. "Ada," jawab saya.
Kemudian, Mang Anwar mengambil beberapa kertas HVS dan mesin tik yang akan Dilan gunakan untuk menulis resensi novel. Mang Anwar meletakkannya di atas meja ruang tamu sambil berkata, "Mamang tinggal dulu, ya?" kata Mang Anwar.
Saya menoleh, "Ke mana?" tanya saya, khawatir bahwa situasi akan menjadi canggung jika saya harus ditinggal berdua dengan Dilan, apalagi saya belum begitu dekat dengannya dan dia adalah orang yang pernah bermasalah dengan saya.
"Kalian belajar aja dulu," jawab Mang Anwar.
Maka, setelah Mang Anwar pergi, tiba-tiba hanya ada saya dan Dilan, berdua di ruang tamu. Saya gelisah dan benar-benar tidak tahu apa yang harus saya lakukan, selain mulai membuka buku pelajaran untuk mengerjakan PR sambil menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
-- Next Chapter--
Bab 7
Selagi saya menyelesaikan PR itu, sesekali, saya akan menatap ke depan, berpura-pura melihat ke tempat lain, lalu melihat Dilan dengan sudut mata saya.
Dia duduk dengan tubuhnya membungkuk, serius membaca novel. Betul-betul sangat serius, terlihat dingin, bahkan tidak bicara sama sekali, seolah-olah sedang menggambarkan dirinya sebagai orang yang pendiam.
Jadi, selama setengah jam berlalu, tidak ada yang mengatakan sepatah kata pun. Saya menghabiskan waktu mengerjakan PR dan Dilan menghabiskan waktu dengan membaca novel. Dengan demikian, ruang tamu berkembang dengan cepat menjadi sunyi, yang membuat saya merasa tidak nyaman dan sepertinya saya
benar-benar tidak nyaman. Apakah dia juga merasakan hal sama? Atau cuma saya?
Malam itu sikapnya benar-benar-benar tertutup dan sangat pendiam, fokus pada apa yang sedang dibacanya. Saya jadi tidak bisa bersantai.
Saya tidak merasa Dilan jenaka, lucu, pandai bicara, atau cukup menarik untuk disukai seperti yang pernah Mang Anwar ceritakan. Dia mungkin lelah dan tidak memiliki sesuatu yang penting yang perlu dikatakan, jadi dia memilih tutup mulut. Atau, ya, seperti itulah caranya belajar, serius. Saya tidak tahu, dia tidak pernah bicara, toh? Mungkin saja dia kesal karena disuruh mengerjakan tugas sekolah saya.
Keheningan sedikit mereda setelah Dilan menyelipkan kertas HVS di belakang silinder mesin tik, lalu mulai menulis resensi novel menggunakan jari-jarinya dengan menekan huruf demi huruf di papan mesin tik yang mengeluarkan suara sedikit bising.
Saya merasa situasi mulai sedikit memberi saya kesempatan untuk bicara, "Saya mau ambil minum dulu, ya, Kang."
Setidaknya, saya memang harus memberinya air minum, tapi Dilan meresponsnya dengan, "Ssst!" menyuruh saya tutup mulut seperti dia merasa terganggu.
Apa maksudnya?
Saya agak menatapnya kaget, lalu diam dan menjadi seperti "ya, sudah", kemudian mulai mengerjakan PR lagi sambil bertanya-tanya mengapa dia harus merasa terganggu, padahal saya hanya menawari dia air minum?
Beberapa saat setelah itu, saya mendengar suara mobil masuk garasi, itu adalah Mama dan Papa yang baru pulang. Saya berjalan, membuka pintu, dan ketika Mama masuk bersama Papa, Mama langsung terkejut melihat ada Dilan.
"Kok, ada Dilan?" Mama berseru.
Saya langsung bingung, bagaimana Mama bisa mengenal Dilan? "Pa," kata Mama, menoleh ke arah Papa di sampingnya, "siapa ini?"
"Siapa?" Papa balik bertanya dengan wajah bertanya-tanya.
Kemudian, Mama menjelaskan kapada Papa bahwa Dilan adalah anak dari teman Mama. lbunya adalah pensiunan kepala sekolah. Mama dan ibunya Dilan memiliki hubungan yang baik dan sering mengadakan beberapa kegiatan bersama di masa mereka masih aktif. Mama pensiun dini di salah satu instansi pendidikan yang ada di Kata Bandung.
"Oh, iya!" jawab Papa segera setelah dia menyadari. "Bunda gimana kabarnya?" tanya Mama.
"Alhamdulillah," jawab Dilan, disusul oleh Papa yang izin masuk ke kamar, karena ingin pipis, katanya.
"Apa kegiatan Bunda sekarang?" tanya Mama sambil duduk di sofa yang ada di dekat pintu rumah.
"Makin lincah," jawab Dilan, disambut ketawa oleh Mama.
Pada saat yang sama, saya kembali duduk di sofa yang tadi dan mulai mengerjakan PR yang hampir selesai sambil sesekali memandang Mama dan Dilan yang sedang berdialog.
"Bentar, ini gimana ceritanya?" tanya Mama kemudian, entah kepada siapa. "Kok, kalian bisa saling kenal?"
"Sahabat pena," jawab Dilan. Mama sedikit tercengang, "Masa?"
"Bantuin ngerjain tugas," kata saya, entah mengapa saya merasa perlu menjelaskan meskipun tidak menjawab pertanyaan. Mungkin untuk mengoreksi jawaban Dilan yang ngawur.
"lni tugasnya belum selesai?" tanya Mama, mungkin bertanya kepada saya, atau mungkin kepada Dilan.
"Belum," jawab saya.
"Oh ... ya, sudah," kata Mama sambil berdiri dari duduknya, "Kenapa Dilan belum disuguhin minum?" tanya Mama kemudian. Pasti pertanyaan untuk saya, yang langsung dijawab oleh Dilan, "Belum."
Saat itu juga, kami melakukan kontak mata dengan Dilan sebentar.
Setelah itu, Mama bilang terima kasih untuk Dilan karena sudah mau membantu mengerjakan tugas sekolah saya, lalu Mama pergi meninggalkan saya dan Dilan di ruang tamu.
Tidak lama kemudian, Mama kembali ke ruang tamu, membawa dua gelas teh panas untuk saya dan Dilan, yang diletakkan di atas meja.
"Mang Anwar ke mana?" tanya Mama ke saya.
"Ketiduran kayaknya," jawab saya sambil terus mengerjakan PR. "Ya, sudah. Selamat belajar!" kata Mama, bersiap untuk pergi.
Sebelum Mama benar-benar pergi, Dilan berseru, "Si Mama," katanya, "ini anaknya gimana?"
"Gimana apa?" tanya Mama, mengernyitkan dahi. "Masa dibiarin?"
Mama kemudian tersenyum lebar, lalu katanya, "Nitip ke Dilan." "Siap jaga!"
Beberapa menit setelah Mama masuk kamar, Dilan mulai membaca novel lagi, dan menjadi diam lagi, dan begitulah seterusnya.
lni aneh. Padahal, tadi saya melihat Dilan begitu terbuka dengan Mama dan banyak bicara, atau apa pun, tetapi ketika dengan saya, dia praktis tidak bicara apa-apa, menjadi sangat kabur, diam, dan tertutup lagi. Seolah-olah dia merasa suasana hatinya terpicu menjadi buruk di saat bersama saya.
Saya langsung tau, bahkan saya berani bertaruh, dia hanya ingin membuat drama dengan memprioritaskan pada keinginannya untuk mempermainkan saya. Tetapi jika dia benar-benar ingin membuat saya kesal, saya tidak peduli dan begitulah seharusnya. Bodo amat, tidak ada gunanya meladeni permainannya.
Permainan semakin buruk dan bahkan lebih membuat saya frustrasi sampai saya bisa mendengar suara seseorang berjalan di depan rumah. Dia mengetuk. Pintu dibuka dan itu adalah Beni, tangannya membawa sebuah buku.
Beni masuk dan menyapa Dilan, "Kang!"
"Hei, Ben?" tanya Dilan. Ketegangan sedikit mereda.
"Dari mana?" tanya saya.
"Rumah temen," jawab Beni sambil kemudian berlalu.
Setelah itu, Dilan kembali membaca buku, dengan serius, seperti sebelumnya. Sangat pendiam dan tertutup kembali. Keheningan muncul lagi.
Saya tidak dapat melihat hal-hal menjadi lebih baik dengan situasi yang saya yakin sengaja dia ciptakan. Sepertinya tidak ada cara yang baik untuk saya lakukan selain kembali ke kamar dan menunggunya di sana. Saya tidak ingin ikut permainannya.
"Kang, saya udah selesai," kata saya, meskipun ragu-ragu. Saya terpaksa berbohong. Tidak apa-apa, demi memiliki alasan untuk pergi ke kamar dan menyelesaikan PR di sana.
Dia menjawabnya dengan menatap lurus ke arah saya sambil menyilangkan jari telunjuk di bibirnya, "Ssst!"
ltu jelas memicu detak jantung yang berdebar karena kesal. Jujur, apa-apaan ini! ltu seperti situasi komedi yang aneh yang berlangsung di depan mata saya sendiri. Ya, itu menjengkelkan dan sepertinya tidak sopan.
Saya harus membangun dominasi kalau ingin selamat dari situasi menyebalkan itu. Kemudian, saya menghabiskan lima menit berikutnya untuk memikirkan apa yang akan saya katakan, lalu, dengan napas dalam-dalam, saya bicara yang saya tujukan kepadanya tanpa memandangnya, "Saya ngerjain di kamar aja," sambil beranjak pergi, membawa beberapa buku pelajaran, meninggalkan ruang tamu dengan sikap "tidak peduli". Persetan! lni rumah saya. Saya bebas mau di mana pun semau saya. Persetan juga dengan perasaannya. Saya tidak tahan duduk di sana.
Di kamar, saya akhirnya bisa santai, duduk di kursi meja belajar untuk menyelesaikan beberapa PR yang tinggal sedikit. Denyut nadi saya perlahan mulai stabil. Tiba-tiba, saya mendengar suara mesin tik dari ruang tamu, dan saya tahu Dilan sudah mulai menulis lagi.
Pada saat yang tidak terduga, saya mendengar seseorang mengetuk pintu kamar dengan lembut. Saya terkejut, "Siapa?" tanya saya saat suara itu terus berulang.
"Mamang!"
Saya berdiri membuka pintu, "Apa?" tanya saya dari balik pintu yang setengah terbuka.
"Ketiduran," jawab Mang Anwar.
"Teteh ngerjain di kamar aja," kata saya datar. "Mamang nemenin Dilan, ya?"
Saya menjawabnya dengan mengangkat bahu, lalu menutup pintu, tepat setelah Mang Anwar berjalan pergi ke ruang tamu.
Kira-kira pukul sebelas malam, Mang Anwar memberitahu saya bahwa PR membuat resensi novel sudah selesai.
"Simpen aja di sana," jawab saya, dari balik pintu yang setengah terbuka.
"Ya, udah."
Setelah Dilan pulang, Mang Anwar bertanya tentang bagaimana belajar dengan Dilan.
Tidak, saya tidak ingin membahasnya. Semuanya sudah terjadi, sudah berakhir. Lupakan. Saya tidak membutuhkan siapa pun. Saya bisa belajar sendiri dengan cara saya sendiri!
Setelah menutup pintu dan menguncinya, saya bersih-bersih di kamar mandi dan langsung tertidur karena saya merasa sangat ngantuk. Saya benar-benar berharap besok bisa bangun pagi, karena biasanya saya sudah tidur sekitar pukul sembilan malam, tapi malam itu saya baru tidur cukup larut.
Benar saja, besoknya saya bangun kesiangan, padahal alarm sudah berbunyi. Sudah pasti hari itu, saya akan terlambat sampai sekolah kalau tidak terburu-buru. Jadi, akhirnya saya meminta Mang Anwar untuk mengantar saya ke sekolah menggunakan sepeda motornya.
Sebenarnya, bisa saja saya diantar oleh Papa. Tapi, Papa hanya bisa mengantar saya paling jauh setengah jalan dan saya harus naik angkot untuk melanjutkan perjalanan karena Papa juga tidak ingin kesiangan sampai kantor.
Mang Anwar sudah menunggu di depan rumah. Saya baru saja selesai mengenakan seragam. Dengan bergerak cepat, saya keluar dari kamar dan bergegas mengambil selembar kertas berisi resensi novel yang tergeletak di samping mesin tik. Kemudian, saya langsung memasukkannya ke dalam tas dengan terburu-buru.
Di perjalanan, saya mengingatkan Mang Anwar untuk sedikit ngebut. ltulah yang saya inginkan, tetapi tetap saja di lampu merah kami harus berhenti.
Sebelum lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, Mang Anwar bertanya lagi tentang pengalaman belajar bersama Dilan semalam.
"Diem terus dia!"
"Gak ngobrol apa-apa?" tanya Mang Anwar.
"Gak!"
Lalu, setengah jam kemudian, kami sampai di sekolah dan jadwal pelajaran pertama hari itu adalah Bahasa dan Sastra Indonesia.
Saya baru masuk ke kelas setelah pelajaran berlangsung selama kira-kira sepuluh menit atau lebih.
Sebelum duduk di bangku, saya menghadap Pak lban, guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Saya meminta maaf kepadanya dan menjelaskan alasan kenapa saya terlambat.
"lya," katanya.
Kemudian, saya merogoh tas ransel dan mengambil tugas resensi novel, lalu menyimpannya di atas meja guru, di antara tumpukan tugas resensi novel kawan-kawan saya yang sudah lebih dulu dikumpulkan.
"Kenapa kesiangan?" tanya lndri, melirik ke arah saya, setelah saya duduk di bangku.
"Tidur malam ...."
Di saat yang sama, Pak lban mulai berdiri dan menyuruh siswa secara acak membacakan tugas resensi novelnya, sampai kemudian tibalah giliran saya.
Saya maju ke depan kelas dan mulai membacakan tugas resensi novel saya (yang dibikin oleh Dilan).
Resensi Novel Perempuan dan Kebangsaan, Karya Idrus
Nirwan adalah tokoh utama dalam novel Perempuan dan Kebangsaan karya Idrus. Nirwan berseberangan pandangan dengan kawannya menyangkut masalah kebangsaan, akhirnya cerita pun menjadi seru. Tapi, Ancika lebih seru ....
Saya terkejut membaca kalimat terakhir itu, dan secara sadar menahan diri untuk berhenti membaca, karena saya merasa seperti ada yang tidak beres.
Kemudian, saya memutuskan untuk lebih dulu membaca kalimat dan paragraf di dalam hati sebelum benar-benar mengucapkannya, tapi Pak lban bertanya, "Kenapa?"
Saya menoleh sebentar ke arah Pak lban, "Ada kesalahan, Pak!" "Terusin aja ... ," kata Pak lban sambil melepas kacamatanya, dan
dibiarkan menggantung di lehernya.
Ah, sialan!
Mau tak mau, akhirnya saya lanjutkan membaca, meskipun sudah sangat frustrasi saat itu.
Ancika lebih dikenal sebagai orang yang marah di rumah Abah, di mana saat itu Ancika tampil bersama ketiga temannya.
Ancika serius dan pergi ke psikiater sesuai dengan keinginannya. Ancika berkata,"Saya bertemu dengan Dilan, seperti pedagang sepeda motor."
Segera setelah itu, Ancika bingung bagaimana harus menghadapi situasi yang mengganggu ketika Dilan hanya duduk dan diam.
Kemudian, pada saat Ancika mulai merasa kesal atau bingung atau kecewa, Ancika berdiri dan pergi untuk mengambil air zamzam.
Pada dasarnya tidak ada kebencian manusia di sini, tapi justru sebaliknya. Maka setelah Dilan dan Ancika mulai mengenal satu sama lain, keduanya duduk bersama di ruang tamu, berdiskusi tentang kemungkinan munculnya Dajjal di Planet Uranus, yang membuat urusan resensi novel Idrus ini menjadi kacau, karena hanya sedikit waktu tersisa untuk serius mengerjakan tugas ini.
Semua orang di kelas tertawa, dan itu sebetulnya sudah dimulai jauh sebelum saya selesai membaca. Ketika itu terjadi, saya merasa wajah saya menjadi merah padam. Pikiran saya cenderung mengembara, bahkan pada saat sedang membaca.
ltu benar-benar bukan hanya ketawa biasa; seluruh kelas seperti melolong, termasuk Pak lban yang memandang saya dengan wajah merah karena ikut tertawa.
Tapi sejujurnya, saya tidak merasa terlalu malu karena pada dasarnya, saya semacam orang yang suka mengatakan hal-hal konyol atau hal-hal aneh untuk mendapatkan reaksi semacam tawa dari kawan-kawan sekelas.
Saya hanya benar-benar kesal atas apa yang sudah Dilan lakukan, bahkan memikirkannya hampir membuat darah saya mendidih! Saat itu, saya hanya berpikir ingin segera berjalan ke arahnya dan mencekik lehernya, yang katanya terpelajar itu.
Atau, membuangnya dari atas jembatan. "Siapa yang bikin?" tanya Pak lban.
Di tengah tawa semua orang, saya menjawab dengan mencoba bercanda, "lni yang ngerjain teman saya, Pak! Dia orang gila!"
Semua orang tertawa.
"Ya, sudah," jawab Pak lban. "Silakan kembali."
Saya kembali ke tempat duduk sambil berkata kepada lndri bahwa saya dikerjain oleh Dilan.
lndri tertawa, "Siapa dia?"
"Orang gila!" jawab saya kesal. Saya benar-benar emosi, meskipun sudah berusaha menjadi wanita yang tenang dan kuat.
lndri mulai ketawa lagi, bersamaan dengan saya mendengar Pak lban memanggil saya, "Ancika!"
"lya, Pak?"
"Bahasanya lumayan," kata Pak lban memuji, "Cara bertuturnya juga enak, tapi ... ,"
"Tapi apa, Pak?" tanya saya, sedikit teriak. "Ngaco!!!"
Semua siswa di kelas langsung tertawa mendengarnya. Saya juga tertawa.
Kemudian, Pak lban memberi saya kesempatan untuk mengerjakan resensi novel lagi, "Tapi, harus kamu kerjakan sendiri."
"lya, Pak!!!"
"Jangan sama orang gila," kata Pak lban, ketawa sedikit. "Setuju, Pak!" jawab saya.
Di kantin, lndri, Santika, dan Rika kembali mentertawakan kejadian tadi. Saya meresponsnya sebagai jenis olok-olok yang cenderung saya nikmati, tetapi ketika saya sampai di rumah, saya masuk dan teriak cukup keras, "Mana Mang Anwar!?" sambil duduk di sofa single untuk membuka sepatu.
Dan teriakan itu sebenarnya telah mengganggu Bi Yati. Dia muncul dari dapur, tergopoh-gopoh, "Ada apa, Teh?" tanya Bi Yati kebingungan, bersamaan dengan munculnya Mama. "Kenapa?" tanya Mama. Saya juga bisa melihat kebingungan di wajah Mama karena semuanya memang sangat tiba-tiba dan suara teriakan saya mungkin terdengar menakutkan.
Saya tidak dapat mengatasinya, saya meledak "Dilan!!!" jawab saya dengan nada tinggi, hanya untuk menunjukkan rasa jengkel. ltu adalah sesuatu yang biasa, ketika orang sudah kehilangan kendali emosinya, ya, kadang-kadang begitu.
"Dilan?" tanya Mama, terdengar semakin bingung dan mulai bertanya, "Kenapa Dilan?"
Setelah itu, Mama duduk dan saya mulai memberitahu Mama tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mama terkejut, dan kami terlibat dalam percakapan tentang betapa tidak pantasnya Dilan melakukan itu.
Mama kemudian hanya berkata, "Ya, sudah. Gak usah terlalu marah. Nanti Mama bilang ke Dilan."
Saya diam saja mendengarnya dan saya masih sedikit gemetar karena kesal.
Bi Yati kembali ke dapur setelah menyimpan sepatu saya di tempatnya.
"Kenapa tidak Teteh eek dulu?" kata Mama.
Sebelum saya menjawab, saya mendengar suara motor Mang Anwar. Dia datang, entah dari mana. Saya cemberut menyambutnya, yang langsung membuat dia merasa aneh dan dia ingin tahu ada apa.
Saya tidak ingin menjawabnya. Kemudian, Mama menjelaskan seluruh latar belakang situasi saya. Entah apa yang kemudian Mang Anwar pikirkan, dia meresponsnya dengan tertawa.
Hal itu benar-benar membuat saya tambah kesal, "Kenapa ketawa?" tanya saya. "Bilang ke dia, suruh minta maaf!"
"lya. Nanti dibilangin," jawab Mang Anwar. "Ya, udah," kata saya pelan.
Di kamar, saya masih merasa kecewa. Saya pikir, pada awalnya Dilan yang katanya mahasiswa 1TB dan selalu mendapat ranking pertama di sekolah, akan bisa membantu saya belajar melalui semua cara dan strategi belajar yang benar, tetapi kenyataannya, itu benar benar jauh berbeda.
Saya hanya merasa, apa yang saya harapkan kemudian menjadi berantakan oleh hal gila yang sudah Dilan lakukan. Saya tidak mengerti apa yang Dilan lakukan, tapi saya pikir dia itu brengsek. Rektor 1TB harus tahu!!!
Saya sangat kesal mengingat semua among kosong tentang Dilan yang dikatakan oleh Mang Anwar. Katanya, dia adalah tipikal anak nakal yang pintar dan menunjukkan bukti-bukti bahwa dia berbakat dalam semua keterampilan yang dapat dia pelajari. Katanya, Dilan selalu memiliki hal-hal yang luar biasa sehingga Mang Anwar menganjurkan saya untuk belajar dengannya. Ternyata, semuanya adalah among kosong! Saya merasa terjebak oleh iklan.
Besoknya, waktu saya akan menyimpan piring kotor di dapur, saya bertemu dengan Mang Anwar.
"Udah disampein," katanya. "Apa?"
"Dilan."
"Mamang bilang apa?"
"Mamang bilang ... Teteh nyuruh Dilan minta maaf." "Terus?"
"Katanya, nanti mau minta maaf." "Kenapa harus nanti?"
"Gak tau."
Waktu berlalu, tiga hari kemudian, di tempat bimbel ada acara try
out internal, sehingga kegiatan belajar ditiadakan dan kami sudah bisa pulang lebih cepat daripada biasanya.
Karena merasa masih ada sisa waktu sebelum pulang, Bagas mengajak saya bergabung dengan kawan-kawannya yang akan latihan main musik di daerah Buahbatu.
"Sekalian nganter kamu pulang," katanya. "lkut, yuk?" "lksan, lpul ikut?"
"Enggak," jawab Bagas, "katanya mereka mau ada perlu." "Saya naik angkot aja kayaknya."
Lagi pula sebetulnya, saya merasa tidak nyaman pulang diantar mobil Bagas, apalagi kalau tanpa lpul dan lksan. Bagas pun bersikeras mengantar saya pulang meskipun saya terus mengatakan kepadanya bahwa saya ingin naik angkot.
"Ya, udah," jawab Bagas. "Telepon Bagas kalau udah sampai." "Telepon apa?"
"Ya, telepon ke studio musik." "Kenapa harus telepon?"
"Ya, mastiin kamu selamat sampai rumah." "lnsya Allah selamat."
"Pulang sekarang?"
"Bagas duluan aja. Aku ada perlu sama Wida," jawab saya. Wida adalah teman sekelas di bimbel.
Bagas pulang duluan. Beberapa menit kemudian, saya juga pulang, berjalan menyusuri trotoar jalan dengan mulut mengunyah permen karet, melewati toko-toko, rumah makan, dan tempat jasa fotokopi, di sepanjang Jalan Dipatiukur yang sedang ramai.
Lima menit kemudian, saya sudah sampai tujuan, berhenti di trotoar jalan, tepatnya di depan konter jasa pengetikan, di samping karung goni besar yang bertumpuk-tumpuk. ltu adalah tempat biasa saya menunggu angkot. Ada dua jenis angkot yang berbeda, yang bisa saya tumpangi untuk sampai ke daerah Gasibu.
Menit demi menit berlalu, waktu sudah menunjukkan pukul lima lebih sedikit. ltu sudah senja, saya berharap bisa segera mendapat angkot. Tiba-tiba dari arah samping kanan, saya mendengar suara motor mendekat, saya mengenalinya, dan itu adalah Dilan. Dia mengenakan jaket US Army yang pernah saya lihat pada saat bertemu dengannya di rumah Abah.
Saya melihatnya bersama detak jantung yang semakin meningkat, tetapi kemudian saya segera berpaling ke arah lain, seolah-olah tidak menyadari kehadiran Dilan.
Saya tidak yakin bagaimana menghadapi Dilan saat itu. Saya merasa seperti tidak ingin bicara lagi dengan Dilan, mengingat serangkaian peristiwa menyebalkan yang sudah saya alami dengannya. Saya rasa dia menyadari apa yang saya pikirkan.
Dilan berhenti di depan saya, dan sesaat kemudian terdengar suaranya. Dia bilang mau membantu saya menghentikan angkot. Saya hanya diam, seolah-olah harga diri saya tidak mengizinkan saya melakukan apa pun. Saya hanya bilang seperti, "Terserah!" Kedengarannya agak sombong, tapi saya tidak bermaksud begitu.
Dilan turun dari motornya, lalu berdiri di tepi jalan kira-kira satu meter jaraknya dari tempat saya berdiri. Saya tidak bisa memikirkan apa pun secara khusus. Saya hanya berpikir Dilan sedang melakukan sesuatu yang aneh atau melakukan sesuatu yang ingin mencari perhatian. Kenyataannya, dia tampak seperti sedang berjuang untuk saya.
Sejujurnya, saya tidak terlalu ingat bagaimana penampilannya saat itu, tapi saya masih ingat, saya sempat berpikir bahwa dia terlihat cukup normal dan tidak sedang mabuk.
Beberapa menit kemudian, saya melihat Dilan berhasil menghentikan sebuah angkot, tetapi kemudian saya melihat dia menggaruk bagian belakang telinganya, dan entah mengapa, lalu dia menyuruh angkot yang sudah berhenti itu untuk jalan lagi, padahal saya sudah siap-siap untuk naik.
"Jangan yang itu," katanya berbalik, menoleh ke arah saya, "angkotnya jelek."
Saya tidak tahu bagaimana meresponsnya. Setelah itu dia berbalik kembali, menghadap ke arah jalan, bersamaan dengan munculnya seorang pengendara motor menggunakan kemeja flanel kotak-kotak berbalut rompi denim. Dia berhenti di depan Dilan dan menyapanya, "Keur naon, Lan? (Lagi ngapain, Lan?)"
"Ke deui, ke deui (Nanti, nanti)," jawab Dilan, seperti merasa
terganggu, dan dengan tangannya, dia menyuruh orang itu lekas pergi. "Keur sibuk,yeuh (Lagi sibuk, nih)!"
Saya tebak, pengendara motor itu adalah temannya yang kebetulan sedang melintas di Jalan Dipatiukur.
"Nya, geus (Ya, sudah)," jawab temannya sambil pergi.
"Namanya Dalton," kata Dilan menoleh ke arah saya, seakan akan sedang menyampaikan informasi yang penting untuk saya ketahui.
Setelah itu, Dilan kembali menghadap ke arah jalan, lalu dalam lima menit berikutnya, ada sebuah angkot datang dan akhirnya berhenti setelah Dilan melambaikan tangannya.
"Man99a (Silakan), Teh!" kata Dilan, mempersilakan saya naik angkot.
Tanpa mengatakan apa-apa, saya langsung naik ke angkot dan duduk di bagian tengah bangku, di antara para penumpang lainnya. Saat itu sudah ada lima orang penumpang di dalam angkot. Seorang bapak tua dan seorang ibu muda duduk di bagian belakang dalam keheningan.
Setelah angkot meluncur pergi, saya mencoba yang terbaik untuk tidak memikirkan Dilan lagi dan hanya menatap ke luar jendela melihat pemandangan di luar. Kemudian, saya merasa seperti ada sesuatu yang memaksa saya untuk melirik ke arah belakang, dan saat itulah, saya melihat Dilan dengan sepeda motornya mengikuti mobil angkot yang saya tumpangi.
Saya mencoba tidak berpikir yang aneh-aneh, mungkin saja saat itu dia mau pergi ke suatu tempat dan kebetulan satu arah. Tapi seiring waktu, saya perhatikan Dilan tidak pernah mengubah arahnya. Dia terus saja mengikuti mobil angkot yang saya tumpangi.
Setiap kali mobil angkot berhenti untuk menaikturunkan penumpang, dia juga ikut berhenti. Dia tampaknya memang berniat mengikuti, dengan cara membuntuti mobil angkot dari belakang. Saya tidak ingin dia tahu bahwa saya tahu saya sedang diikuti.
Setelah sepuluh menit berlalu, mobil angkot yang saya tumpangi berhenti di daerah Gasibu. Dilan juga ikut berhenti tepat di belakang mobil angkot, tangannya terlihat melambai menghentikan angkot 09, warna cokelat, yang kebetulan sedang melintas. ltu adalah angkot yang akan saya tumpangi untuk perjalanan berikutnya menuju rumah.
Saya turun dan bayar ongkos, kemudian berjalan untuk naik mobil angkot 09 yang sudah berhenti beberapa meter di depan angkot 01. Saya mendapat tempat duduk tepat di belakang kursi sopir, karena kebetulan penumpangnya cukup penuh.
Beberapa saat setelah angkot 09 meluncur pergi, saya melihat Dilan melaju dengan sepeda motornya mengikuti mobil angkot yang saya tumpangi. ltu terus berlanjut sampai mobil angkot 09 memasuki Jalan Kiaracondong.
Di sepanjang perjalanan, sejujurnya saya tidak bisa berhenti melihat ke belakang. Saya tidak pernah berpikir akan terjadi seperti itu. Saya pikir itu aneh, dan saya sempat curiga, jangan-jangan Dilan memang mau terus mengikuti saya sampai ke rumah. Tetapi, yang kemudian saya lihat, Dilan mengambil belokan ke arah yang berbeda. Dia masuk ke jalan kecil di daerah Kebon Kangkung.
Tapi, ketika mobil angkot berhenti di perempatan Jalan Soekarno Hatta karena lampu merah, saya melihat Dilan muncul dari jalan kecil yang biasa saya lalui untuk menuju ke sekolah. Rupanya, apa yang sudah dia lakukan itu, hanya untuk mengecoh saya dengan mengambil jalan memutar.
Setelah lampu hijau menyala, mobil angkot mulai berjalan kembali, memasuki Jalan Ciwastra dengan Dilan yang masih terus mengikuti di belakangnya. ltu terus berlanjut sampai mobil angkot 09 berhenti di depan Kompleks Margahayu Raya.
Setelah saya turun dan bayar ongkos, mobil angkot langsung pergi. Saya berbalik untuk segera naik becak, bersamaan dengan Dilan yang mulai menjalankan sepeda motornya, mendekat ke arah saya. Dan coba tebak, apa yang dia lakukan setelah berada di depan saya? Dia mengeluarkan koran Pikiran Rakyat, yang dia rogoh dari balik jaketnya.
"Di halaman sekian ada pengumuman untuk kamu," katanya sambil menyodorkan koran yang sedang dia pegang dan menatap lurus ke arah saya.
Saya meraihnya dan tidak tahu harus berbuat apa selain itu. "Bacalah," kata Dilan kemudian.
Setelah itu, Dilan pergi dan saya naik becak sambil mulai membuka koran untuk menemukan halaman yang dikatakan oleh Dilan. Ternyata itu adalah halaman berisi kolom iklan baris, di mana saya melihat ada bagian iklan yang dilingkari oleh spidol warna merah. Saya membacanya cukup perlahan untuk mengikuti kata demi kata.
-- Next Chapter--
Bab 8
"Saya Dilan, mengumumkan permintaan maaf sebesar-besarnya karena sudah membuat resensi novel yang tidak sesuai dengan harapan Ancika."
Saya menggelengkan kepala dan senyum-senyum sendiri. Entah
apa yang harus saya katakan, tetapi itulah yang terjadi. Dilan memiliki banyak cara, dan dia melakukannya dengan aneh. Hanya itu yang bisa saya katakan tentang apa yang dilakukan oleh Dilan hari itu.
Mama tertawa terbahak-bahak mendengar cerita saya tentang apa yang telah terjadi. Saat itu, saya sudah duduk di kursi dekat jendela di seberang Mama.
"Dilan mah kolosal," kata Mama dengan suara sisa ketawa.
Saya ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada yang terlintas di dalam pikiran.
"Nah, sekarang," kata Mama lagi, sambil meletakkan koran di atas meja, "Dilan, kan, sudah minta maaf, Teteh juga harus maafin Dilan."
Saya menghela napas, sambil mengaduk-aduk irisan tomat dengan sendok di dalam gelas, "Dia udah bikin malu Teteh di depan kawan-kawan sekelas."
Mama mengangkat alisnya dan menatap saya dengan heran, "Dilan lebih malu lagi, dia sudah mengaku salah di depan seluruh rakyat Jawa Barat."
"Maksudnya?"
Mama mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatap saya. "ltu, kan, ngumumin minta maaf. Dia udah ngaku salah, dibaca sama seluruh rakyat Jawa Barat," katanya tersenyum lebar, "malu, loh."
"Siapa suruh?"
Besok harinya, di sekolah, saya bertemu dengan lndri dan saya
mulai bercerita tentang Dilan yang sudah membuat permintaan maaf di koran. lndri terkejut, seolah-olah itu adalah peristiwa yang tidak nyata baginya.
"Masa, sih?"
"lya, ha ha ha." "Segitunya?" "lya!"
lndri mulai tertawa, "Mana, lihat korannya?" "Besok dibawa, ya."
"Kayak apa, sih, orangnya?" tanya lndri. "Cakep, gak?" "Enggak."
lndri tertawa lagi sambil menepuk dadanya dan batuk, "Kamu masih marah ke dia?" tanya lndri.
"Kemaren juga gak marah-marah amat, sih, sebenernya."
Jujur saja, sebetulnya masalah saya dengan Dilan sudah bukan sesuatu yang saya pikirkan lagi. Semua drama dan rasa kesal saya sudah hilang. Saya merasa sudah selesai. Lagi pula, saya tahu Dilan bukan orang jahat yang kejam meskipun kelakuannya menyebalkan.
Dia sebenarnya hanya orang aneh seperti yang dikatakan oleh Mang Anwar.
Berhari-hari kemudian, Dilan tidak pernah datang lagi ke rumah. Maksud saya, saya tahu dia tidak memiliki kewajiban untuk datang, tapi mungkin memang begitu, biasa dialami hampir semua orang kalau sudah melakukan kesalahan, dia akan merasa malu untuk bisa datang lagi. Sepertinya dia akan menarik diri untuk selamanya.
Ya, sudah. Saya juga tidak perlu terlalu banyak berpikir atau mempertanyakannya, meskipun kadang-kadang saya merasa seperti itu.
Suatu sore, di hari Minggu, saat Papa sedang menerima tamu untuk urusan bisnis, Mama mendapati Mang Anwar di kamarnya, sedang merasa sangat lemas. Matanya terlihat mendung, mungkin karena menahan demam yang dia rasakan.
Kami sangat khawatir. Jadi, saya dan Mama segera membawa Mang Anwar ke Puskesmas yang ada di daerah Buahbatu. Dokter mendiagnosis dan hasilnya menunjukkan bahwa Mang Anwar menderita gejala tifus dan demam.
"Bagaimana kalau Mang Anwar mati, Dok?" tanya saya, seolah olah wajar untuk menanyakan hal seperti itu.
"Hush!!!" kata Mama.
"lnsya Allah sembuh," kata dokter tersenyum, sambil memberi resep obat-obatan antibiotik yang harus dikonsumsi tiga kali setiap hari. Selebihnya Mang Anwar harus istirahat, katanya, dan banyak makan makanan yang sehat.
Setelah itu, kami pulang dan berbicara tentang banyak hal yang tidak penting selama di perjalanan. Syukurlah, Mang Anwar sudah bisa ngomong lagi. Dia bilang, katanya Dilan titip salam.
Saya tidak meresponsnya, saya hanya mengatakan bahwa saya tidak bisa berteman dengannya selama dia melakukan hal-hal yang menyebalkan. Buat saya, kalau dia berbuat baik, saya juga akan berbuat baik kepadanya.
Mang Anwar mengakui bahwa Dilan memang suka melakukan hal-hal aneh. Mang Anwar juga bingung, kenapa ada orang seperti dia. Saya tertawa mendengarnya.
Katanya, sulit ditebak kapan Dilan serius dan kapan Dilan bercanda. Dia itu orang yang suka berpikir secara berbeda dari yang lain. Mungkin karena Dilan memiliki jiwa yang bebas, atau apa pun itu.
"Apa sakit jiwa?" tanya saya.
"ltu hanya sifat manusia," kata Mama dengan suara mengantuk. "Orang, tuh, kalau usil atau mengganggu, kadang-kadang mungkin buat main-main ... daripada bosen."
"Untuk senang-senang," sambung Mang Anwar.
"Senang-senang apa?" tanya saya langsung menimpali, karena merasa apa yang Dilan lakukan sebagian besar ujungnya menjengkelkan daripada senang-senang.
"Teteh belum mengenalnya," jawab Mang Anwar. "Dilan, tuh, orangnya baik."
"Teteh udah kenal, kan?" tanya saya. "Susah ngejelasinnya," jawab Mang Anwar.
Oke. Lagi pula, kalau benar Dilan orang baik seperti yang Mang Anwar katakan, harusnya dia tidak akan melakukan cara-cara yang menyebalkan.
"Seru aja, lah, pokoknya," kata Mang Anwar.
Seru apa? Asal tahu saja, ya, saya lebih suka hidup normal daripada melakukan yang sok seru. Saya tidak terlalu suka dengan gaya hidup rock 'n roll. Oke, saya tidak mengatakan apa yang dilakukan oleh Dilan itu buruk, tapi saya mungkin akan merasa bodoh kalau saya harus ikut berkontribusi dengan gaya hidup seperti itu.
Saya lebih suka Kang lrfan, dia alumni 1TB dan seorang pria yang cukup normal. Dia tidak melakukan atau memikirkan apa pun, selain belajar dan aktif di masjid kampus. Sebagian besar hidupnya selalu terkait dengan menjadi religius yang taat pada standar agamanya. ltu tidak bisa dikatakan hidup Kang lrfan membosankan, saya pikir itu mungkin puncak kehidupannya.
"lrfan mana?" tanya Mama. "Mentor Teteh dulu."
Saya mengenalnya ketika saya ikut kegiatan Karisma (Keluarga Remaja Islam Salman) 1TB. Saat itu, saya masih SMP di awal tahun sembilan puluhan. Kang lrfan sangat baik, perhatian, dan pintar. Tidak tahu berapa banyak kawan saya yang diam-diam mengaguminya.
Mama diam, Mang Anwar juga diam, mungkin mereka sudah tertidur. Dan saya benar-benar harus mengemudi, fokus melihat ke depan bersama renungan-renungan acak tentang banyak cerita yang telah berkembang di dalam hidup saya dalam beberapa bulan terakhir ini. Semuanya terjadi tanpa pernah saya bayangkan sama sekali.
Misalnya, baru-baru ini, lndri sedang gembira karena katanya dia mendengar desas-desus tentang hubungan Dudi dan Nyanya yang sedang tidak baik-baik saja.
Saya bisa mengerti mengapa lndri selalu memantau hubungan mereka. Tentu saja, dia sangat bersemangat untuk menunggu bubarnya hubungan Dudi dengan Nyanya.
Tapi menurut saya, itu akan melelahkan bagi lndri. Jadi, saya pikir, saya sudah benar dengan apa yang saya katakan kepadanya waktu berdua dengan lndri di kelas, "Oh, Dudi, kutunggu dudamu!" lndri tertawa. "Aamiin!" katanya.
Berikutnya tentang Yadit. Saya masih belum begitu mengenalnya dengan baik, meskipun dia hampir selalu menelepon saya. Kadang kadang, dia melakukannya satu atau dua kali dalam sehari. ltu sangat mengerikan dan saya mulai bertanya-tanya apakah itu normal atau tidak.
Kalau boleh jujur, saya merasa terganggu, sehingga itulah sebabnya, mengapa tidak semua panggilan teleponnya saya terima.
Sekali waktu, dia benar-benar ingin bertemu dengan saya, dan meminta saya untuk mengantarnya keliling Bandung. Katanya, dia merasa sudah tidak mengenal Kata Bandung lagi setelah sekian lama tinggal di Jakarta.
Saat itu, saya menolaknya dengan sopan dan menganjurkan kepadanya untuk lebih baik mengajak karyawan Disbudpar Bandung, karena itu jelas hal yang benar untuk dia lakukan jika ingin lebih mengetahui Bandung, termasuk kebudayaannya.
Satu lagi: Bono. Beberapa hari yang lalu, di kantin, Bono memberi saya manik-manik wewangian yang baunya membuat saya pusing. Kemudian, dia mengatakan hal yang mengerikan: "Kamu sepertinya perlu obat perangsang, Cik," katanya, "biar punya gairah ke laki-laki." Allahu Akbar! Saya langsung marah dan membuang minyak wangi yang sedari tadi sudah dia letakkan di atas meja. Bono kemudian bilang, saya sudah bereaksi berlebihan dan kurang bisa
menghargai pemberiannya.
Ah! Saat itu, pikiran saya terus melayang ke mana-mana sampai tahu-tahu sudah tiba lagi di rumah. Saya membangunkan Mang Anwar yang meringkuk di bangku belakang dengan lubang hidungnya melebar seperti kuda yang meringkik.
Malam harinya, saya menonton TV sambil menikmati puding beras bersama Papa dan Mama. Kami semua terdiam sampai terdengar dering telepon. Dan, ketika saya menjawab, saya mendengar suara Bagas. Dia mengatakan bahwa Rabu nanti, dia akan ikut kegiatan ekstrakurikuler yang diadakan di luar sekolah. Acaranya berupa kunjungan ke sebuah perusahaan. Kebetulan tempatnya tidak jauh dari Kiaracondong, dan Bagas berencana akan menjemput saya ke sekolah untuk berangkat bersama ke tempat bimbel.
Saya bilang tidak bisa, karena hari Rabu kebetulan ada program belajar tambahan di sekolah-dulu lazim disebut Pemantapan sebagai kegiatan berguna yang tidak ingin saya lewatkan meskipun akan menjadi sangat melelahkan.
"Gak akan bimbel?"
"Kalau keburu," jawab saya, "tapi biasanya, waktunya suka molar." Hari Rabu, setelah bel pulang sekolah, di lapangan basket terjadi keributan. Bono berkelahi dengan Gilang. Suaranya terdengar mengamuk di antara orang-orang yang berusaha memisahkan mereka. Sementara itu, saya sedang duduk di kelas, tidak mau ambil pusing, karena ingin mengoreksi buku catatan untuk program kelas tambahan.
Kata lndri, Bono dan Gilang dipanggil ke ruang BP. Apa masalahnya? ltu memang sesuatu yang harus dilakukan oleh guru.
"Kamu ikut tambahan?" tanya saya.
lndri bilang, dia tidak bisa ikut karena harus menjaga ibunya yang sakit, sekaligus menjaga toke yang ada di depan rumahnya. Toke itu menjadi satu-satunya sumber keuangan bagi biaya hidup keluarganya. Ayahnya sudah meninggal sejak lndri masih berusia tiga belas tahun. Saat itu, dua adiknya masih SD. Sebetulnya, lndri termasuk dalam keluarga kaya raya yang kemudian memburuk oleh karena keadaan.
lndri pulang, saya ikut kegiatan tambahan yang baru selesai pada pukul setengah tiga, sehingga sudah bisa dipastikan, saya akan terlambat sampai di tempat bimbel. Tapi untung ada ldham, teman sekelas saya, yang bersedia mengantar saya dengan menggunakan sepeda motornya. Saat itu, langit berwarna abu-abu tua dan kusam menggantung di atas Kata Bandung, memberi tanda hujan akan turun.
Sesampainya di sana, ternyata kelas belum dimulai. Saya masih bisa melihat Bagas sedang berdiri di samping mobilnya yang diparkirkan di halaman depan tempat bimbel. Saat itu dia sedang bersama lpul dan tiga siswa lainnya, mungkin sedang membahas velg mobilnya yang baru atau bisa apa saja. Saya tidak ingin tahu.
Motor ldham berhenti di pinggir jalan, kira-kira dua meter dari tempat Bagas sedang berkumpul bersama kawan-kawannya.
"Pulangnya dijemput, jangan?" tanya ldham, setelah saya turun. "Gak usah, Dham."
"Kalau perlu dijemput, nanti ldham bawa tank baja." "Ha ha ha. Gak usah, Dham. Makasih, ya, Dham."
Setelah ldham pergi, saya bergabung dengan Bagas dan kawan kawan.
"Hei," kata saya kepada mereka, "udah lama?"
"20 menitan," jawab lpul.
Saat itu, saya melihat Bagas hanya diam, seperti menjadi orang yang sama sekali berbeda daripada biasanya. Secara estetika, saya merasa itu hambar. Setidaknya, dia bisa tersenyum atau menyapa saya tanpa harus berpura-pura tidak melihat saya.
Apa yang terjadi? ltu aneh, tapi saya merasa tidak penting memikirkannya, jadi saya langsung pamit dan masuk ke tempat bimbel sambil meneguk air mineral dari botol.
Ternyata, saat di kelas pun sama, Bagas tidak mengatakan apa apa, bahkan dia hanya berjalan melewati saya dan berpura-pura sibuk. Saya benar-benar bingung mengapa itu terjadi. Tapi saya tidak mau terlalu memikirkannya, lagi pula saya tidak pernah peduli dengan orang yang mengabaikan saya atau yang tidak menyukai saya.
Ketika kelas selesai, hujan turun. Sebagian besar siswa berkerumun di ruang lobi bimbel untuk menunggu sampai hujan berhenti. Sebagian lagi menunggu di ruangan berbeda, termasuk di dalam kelas.
Bagi yang punya mobil akan cukup beruntung, karena bisa tetap pergi meskipun hujan. Sedangkan untuk yang menggunakan sepeda motor atau jalan kaki, bisa basah kuyup di perjalanan.
Saya duduk di sofa bersama yang lain dan melihat seperti apa cuacanya melalui kaca jendela. Angin membawa air hujan, menyerbu di antara celah-celah pintu yang tertutup. Saya juga mendengar suara monoton hujan di atap dan gemuruh guntur yang rendah di kejauhan.
Dari tempat duduk, saya melihat Bagas, lksan, dan lpul keluar dari kelas, berjalan melewati ruang lobi, tetapi mereka seperti tidak ingin berbicara dengan saya, dan kemudian pulang tanpa mengatakan apa-apa. Saya tidak peduli apa yang mereka lakukan. Oh, ya! Sangat bodoh untuk memikirkan mereka.
Sudah pukul setengah enam lebih. Hujan masih belum reda, jadi saya masih harus menunggu di ruang lobi bersama Aldi, Vivi, dan lainnya sambil melakukan percakapan. Sementara Pak Tatang dan Pak Kohar, pengajar, sedang bermain catur di sudut ruangan lain. Saya melihat Kang Yoyo office boy sedang berbicara dengan Teh Uwi, Sekretaris Bimbel, sambil duduk di kursi front office.
Saat terdengar suara azan dari kejauhan, saya dan beberapa yang lainnya segera pergi ke mushola untuk melaksanakan shalat Maghrib dalam cahaya malam yang memudar.
Setelah selesai shalat Maghrib, saat saya sedang memakai sepatu, Bimo bertanya bagaimana saya pulang dan saya bilang saya akan naik angkot. Kemudian dengan nada khawatir, Bimo menawarkan diri untuk mengantar saya pulang menggunakan motornya.
"Kamu emang pulang ke arah mana?" tanya saya. "Setiabudi, sih," jawab Bimo, "gak apa-apa, Bimo anterin."
Saya tahu dia punya niat baik, dan dia teman satu kelas di bimbel, meskipun saya tidak terlalu akrab dengannya.
"Ya, udah," kata saya.
Jadi ketika hujan mulai reda, saya sudah siap untuk pulang diantar Bimo. ltu akan menjadi perjalanan panjang sekitar 15 kilometer dari tempat bimbel menuju rumah saya di daerah Ciwastra, yang pada masa itu bisa ditempuh sekitar 30 menit dengan menggunakan sepeda motor.
Tapi, sebelum saya akan berjalan untuk keluar dari ruang lobi, ada telepon ke tempat bimbel yang diangkat oleh Kang Yoyo office boy, dan itu katanya dari Mama untuk saya.
Melalui saluran telepon, Mama bilang dia memikirkan bagaimana saya pulang karena dia benar-benar sangat khawatir.
"lni sudah reda, kok," jawab saya berusaha membuat Mama tenang.
'']angan naik angkot," kata Mama, "nanti aja dijemput."
Saya bisa mengerti apa yang Mama katakan karena pada masa itu, Bandung tidak seramai sekarang, dan lalu lintas relatif masih sepi. Mama tidak ingin saya mengambil risiko yang tidak perlu dengan naik angkot di malam hari dalam cuaca yang buruk.
"Dijemput siapa?" tanya saya, karena saya tahu Mang Anwar sedang sakit.
"Tadi, tuh, kebetulan Dilan nelepon ... nanyain Anwar, terus Mama bilang
ke Dilan ... Teteh masih di bimbel. Terus, kata Dilan, nanti dia mau jemput Teteh dari kampusnya. Kan, deket, tuh, ke tempat bimbel."
Jarak dari kampus 1TB ke tempat bimbel memang tidak terlalu jauh, kira-kira 500 meter. Bahkan, cukup dekat untuk bisa ditempuh dengan cara berjalan kaki.
Awalnya saya terkejut, kemudian bertanya-tanya apa yang akan Dilan lakukan dengan semua itu. Apakah yakin semuanya akan berjalan normal-normal saja? Yang bisa saya pikirkan adalah ragu ragu. Jantung saya sedikit berdetak seolah-olah saya dalam bahaya.
"Teteh pulang dianter Bimo," kata saya. "Bimo, siapa?'' tanya Mama terdengar cemas. "Temen bimbel."
"Mama gak kenal ...."
"Ya, iya atuh, Mama."
Pada saat saya masih berbicara dengan Mama, saya melihat ada sebuah motor masuk ke halaman depan bimbel, pengemudinya turun dan berdiri di teras bimbel. Saya harus berpikir sebentar sebelum mengenalinya, dan ternyata dia adalah Dilan.
"Tuh, datang ... ," kata saya kepada Mama dan saya tidak tahu harus berbuat apa.
"Dilan?"
"lya."
"Pulang sama Dilan aja, ya?''
"Mama yang minta, ya?" tanya saya.
"En99ak," jawab Mama, "Dilan sendiriyang nawarin."
"Ya, udah."
Saya akhirnya memutuskan akan pulang dengan Dilan, terutama karena tidak ingin membuat Mama khawatir, meskipun saya akan mengalami rasa canggung terkait beberapa peristiwa buruk yang pernah saya alami dengan Dilan, terlepas dari saya sudah memaafkannya.
"Daripada sama orang lain. Dilan, kan, udah kita kenal. Mang Anwar juga kenal ...." Kata Mama meyakinkan saya dan mungkin meyakinkan dirinya sendiri juga pada saat yang bersamaan.
"Ya, udah." "Sama Dilan aja." "lya! Udah!"
Mama memang cerewet.
Saya menutup telepon, menghela napas panjang. Saya bilang kepada Bimo yang saat itu masih duduk di sofa lobi bahwa saya sudah dijemput, jadi Bimo tidak perlu repot-repot mengantar saya. Bimo bilang tidak apa-apa dan kemudian pamit pergi.
Baru setelah itu, saya berjalan ke depan untuk bertemu dengan Dilan yang saat itu sudah berdiri di teras bimbel. Kami melakukan kontak mata dan Dilan tersenyum, matanya terlihat santai.
"Aku utusan mamamu," kata Dilan. Lengannya disilangkan, melipat ke dalam dirinya.
Saya menarik tudung hoodie dan mengangguk karena merasa lebih mudah untuk tidak mengatakan apa-apa kepadanya. Beberapa peristiwa menyebalkan bersamanya, tiba-tiba saja saya pikirkan. Apakah dia benar-benar bisa menjadi orang normal? Masih harus dilihat.
Akhirnya, saya pulang bersama orang itu, menyusuri jalan raya yang dibasahi oleh hujan. Saya bisa merasakan cuacanya sangat dingin, terutama di bagian wajah dan jari-jari.
Saat itu, suasana jalanan sangat sepi, membuat Bandung terasa seperti sedang menunjukkan kemuliaan kunonya. Hanya ada beberapa orang yang bisa saya lihat di sepanjang perjalanan. Lalu lintas di jalan-jalan juga memang masih sangat sedikit. Kadang kadang hanya ada beberapa kendaraan yang lewat, memecah kesunyian yang beku.
Di sepanjang perjalanan, saya melihat ada beberapa lubang jalan yang menjadi genangan air. Sebagian besar selokan dan parit tidak mengalirkan air dengan baik, sehingga limpasannya masuk ke halaman rumah orang. Di arah selatan, sesekali terlihat kilat dan saya juga mendengar derak guntur bercampur dengan suara knalpot sepeda motor Dilan yang berbunyi seperti suara helikopter di kejauhan.
Dilan baru bicara setelah kami melewati persimpangan jalan terusan Buahbatu, "Kita berteduh dulu," katanya. ltu dia katakan ketika tiba-tiba hujan turun lagi sangat deras. Air hujan sampai menusuk wajah saya dan anginnya juga cukup kencang.
Kami mampir di salah satu warung makan di pinggir jalan yang sedang sepi. Pemiliknya seorang ibu tua, yang sedang memotong kubis di salah satu meja yang ada di sudut ruangan.
Saya duduk di seberang Dilan, sambil meremas-remas tangan sendiri karena merasa kedinginan. Tapi, sejujurnya saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, selain sesekali melihat ke arah langit untuk melihat seperti apa cuacanya.
Sementara itu, dari atap warung, terdengar suara gemericik air hujan, bercampur dengan angin yang meniup dedaunan dari pohon yang ada di pinggir jalan.
Kemudian, saya mendengar Dilan bicara, "Maaf harus seperti ini," kata Dilan dengan ragu-ragu di dalam suaranya.
Saya pikir dia sedang membuat upaya tulus untuk memecah kecanggungan dengan tetap mengontrol dirinya dan memancarkan rasa aman. Dilan menjadi versi yang baik.
"lya, gak apa-apa, Kang," jawab saya dengan melirik sebentar ke arahnya.
Saya tidak ingin bersikap kasar dengan tidak menjawabnya, jadi saya mulai seperti semuanya baik-baik saja. Saya tahu, Dilan bisa membaca itu dari mata saya. Lagi pula, dipikir-pikir, saya tidak ingin Dilan merasa saya abaikan, karena saya mengerti seperti apa rasanya diabaikan.
Dilan memesan dua gelas teh hangat dan satu gelas kepi, sementara saya melihat jam dinding warung yang menunjukkan sudah pukul tujuh lebih.
Pesanan datang, pemilik warung menyimpan dua teh panas dan segelas kepi di atas meja, lalu kami mulai minum. Beberapa saat setelah itu, Dilan bertanya apakah saya sudah memaafkan dia? Dilan mengatakannya sambil menangkupkan kedua telapak tangannya seperti menggenggam gelas.
Saya menjawab, "Maafin apa?" "ltu, sudah nulis resensi gak bener."
Saya tersenyum, "Udah, Kang," jawab saya. "Gak apa-apa."
Memang tidak apa-apa. Saya setuju dengan pendapat Mama bahwa, tidak bisa terus-menerus mengasihani diri saya sendiri sepanjang waktu. Mengasihani diri sendiri tidak menjadi apa yang kamu inginkan. Kamu harus berhenti merasa menjadi korban karena itu adalah sikap kekanak-kanakan. Jika saya jujur, bukan cuma sikap kekanak-kanakan, melainkan juga tidak percaya diri.
"Sebetulnya, waktu nulis resensi itu, aku, tuh, lebih suka membicarakan kamu daripada ngomongin orang lain. Siapa itu? Nirwan, ya, tokohnya?"
"Kenapa?"
"Gibah. Gak boleh."
Saya mereguk teh panas untuk menahan senyuman. Saya tidak tahu kenapa, tapi itu lucu.
"Kalau ngomongin kamu, kan, ada orangnya. Gak bisa dibilang gibah."
"Kan, itu tugas sekolah?"
"Ya, itu. Dari sejak SD sampai sekarang, aku sebetulnya masih bingung, kenapa pekerjaan rumah harus dibawa ke sekolah?" katanya dengan ketenangannya.
Terdengar lucu bahwa dia memperhatikan hal-hal kecil seperti itu, kemudian saya menahan senyum sekuat tenaga. Sedikit demi sedikit, saya pulih dari kecanggungan.
"Kalau novel ldrus, kan, Perempuan dan Kebangsaan. Nah, kalau kamu sama aku sekarang, judulnya Perempuan dan Berandalan."
"Tapi berandalan juga, Akang kuliah di ITB."
"lya, B-nya itu singkatan dari Berandalan," jawab Dilan, kemudian tertawa yang tidak bisa dia tahan. Ketawanya menular, jadi saya langsung mereguk air teh, berharap itu bisa menahan saya dari tertawa, tetapi yang kemudian terjadi saya malah tersedak.
Dilan langsung bergerak seperti bingung, merasa serbasalah antara ingin memberi pertolongan dengan khawatir akan menyentuh saya. Di saat yang sama, saya bergegas mengambil beberapa lembar tisu dari dalam tas, lalu mulai menyeka mulut dan beberapa bagian lain yang terkena oleh air.
"Gak apa-apa?" tanya Dilan sedikit panik.
"Gak apa-apa," jawab saya setelah mengambil udara dan sedikit mulai lega.
Hal berikutnya yang saya tahu adalah syukurlah semuanya bisa ditangani dengan mudah. lbu pemilik warung datang membawa tisu, dan kami berterima kasih untuk itu.
Setelah hujan reda, Dilan membayar minuman, lalu kami meneruskan perjalanan. Saya tidak tahu apa yang saya rasakan, tapi itu adalah untuk pertama kalinya saya mengalami hubungan terbaik dan paling sehat dengan Dilan. Ternyata, dia sangat lucu dan seru persis yang Mang Anwar katakan. Saya menjadi yakin bahwa pada dasarnya ada kepribadian yang baik di dalam dirinya.
Sepeda motor melaju, menembus kesunyian yang membentang di sepanjang Jalan Ciwastra. Anginnya terasa lembap setelah hujan. Saya bisa mendengar dengkuran suara kodok dari beberapa petak sawah yang saat itu masih ada.
"Kamu suka kodok, gak?" tanya Dilan di daerah Jalan Logam. "Enggak."
"Sama."
Dalam lima belas menit, akhirnya kami sampai. Saya turun dari motor dan melihat Mama keluar dari rumah. Dia mengenakan rok panjang berlipit lebar dengan blus putih yang dibalut oleh jaket.
"Dilan, masuk dulu," kata Mama tanpa intonasi dalam suaranya. Saya berjalan masuk, membiarkan pintu pagar terbuka untuk
Dilan. Percakapan sederhana yang tak terduga terjadi, antara saya, Mama, dan Dilan di depan rumah. Bukan percakapan mendalam, hanya hal-hal ringan dan segala sesuatu di antaranya. Saya izin masuk untuk mengganti pakaian.
Dalam hitungan lima belas menit, saya sudah berganti pakaian.
Saya pergi ke dapur, membuat segelas kopi untuk Dilan. "Biar sama Bi Yati, Teh," kata Bi Yati.
"Gak apa-apa, Bi."
Ketika saya membawa kopi untuk Dilan, saya melihat Mama dan Dilan sudah duduk di ruang tamu. Dilan duduk di sofa single dekat pintu rumah, sedangkan Mama duduk di sofa double. Mereka sedang mengatakan sesuatu yang ada hubungannya dengan Mang Anwar.
Dilan ingin menengok Mang Anwar yang sedang ada di kamarnya, tetapi urung, dia khawatir akan mengganggu, karena Mang Anwar memang harus beristirahat.
Setelah meletakkan kopi di atas meja, saya duduk di sofa single lain, dan mendengar Dilan bicara tentang ketidakpercayaannya kalau Mang Anwar bisa sakit.
"Ya, bisa aja, namanya juga manusia," jawab Mama tersenyum.
Kakinya disilangkan di bawah rok lebarnya.
"Cika emang mau kuliah ke mana?" tanya Dilan kemudian.
Saya menjawab bahwa saya ingin masuk UNPAD dan tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Rasanya sulit buat saya.
"Oh."
"Punya orang dalam, gak?" tanya Mama ketawa. "Kita cari, Ma," jawab Dilan.
Saya tiba-tiba merasa ingin tersenyum. Mama ketawa.
"Kita cari ke UNPAD, kalau Cika mau," kata Dilan melanjutkan. "Tanya Cika coba," jawab Mama menoleh ke arah saya.
"Cika pasti mau," kata Dilan dengan percaya diri berlebihan. "Mau apa ke UNPAD?" tanya saya bingung.
"Nyari orang dalam, ya, Ma?" Kata Dilan, menoleh ke Mama.
Mama ketawa, tapi kemudian Dilan bilang, "Kalau UNPAD adalah pokok masalahnya, kita harus analisis dulu UNPAD-nya, baru setelah itu kita temukan solusinya. Gitu, kan?" Tanya Dilan memandang saya. "Ya, betul," kata Mama ketawa, seperti mengerti apa yang dijelaskan oleh Dilan.
"Betul apa?" tanya saya.
"Pokoknya betul aja, biar cepet," jawab Mama. Saya dan Dilan ketawa.
"UNPAD bukan masalah besar. UNPAD, tuh, baik, tapi kitanya terlalu menghabiskan begitu banyak waktu untuk khawatir. Jangan terlalu serius," kata Dilan. "Kalau panik, nanti kita malah menggunakan usus kita daripada otak kita."
Tapi, Dilan kemudian mengatakan bahwa itu hanya bercanda, "Menjadi percaya diri, berarti percaya bahwa kamu layak diterima di UNPAD."
Kata-katanya bagus.
"Nanti aku jemput ke tempat bimbelmu," kata Dilan.
ltu adalah pernyataan yang saya tidak tahu bagaimana menanggapinya.
"Ya, udah, sekalian refreshing. Jangan belajar terus," kata Mama memandang saya.
"Jam berapa?" tanya saya.
Saya harap, saya tidak terdengar betapa mudahnya saya menerima ajakannya atau apa pun ketika saya mengatakannya. Saya tidak ingin terlalu banyak berpikir. Dan merasa lelah kalau harus terus introspektif.
"Jam lima!" jawab Dilan tegas.
"Emang jam lima UNPAD masih buka, ya?" tanya Mama. "Oh, iya," kata Dilan.
"Jam empat aja," kata saya kemudian.
Setelah Dilan pulang, Mama kemudian berkata, "Mama seneng Teteh akur lagi sama Dilan."
Saya hanya mengangkat bahu, seolah-olah jawaban saya adalah respons alami dan pergi masuk ke kamar tanpa mengatakan apa apa.
Di kamar mandi, saya mencoba melarutkan semuanya dengan mandi air hangat. Setelah itu, shalat lsya, lalu bersantai dengan celana pendek kargo dan kemeja yang tidak pernah saya pakai. Hanya tiduran sambil membaca buku di kamar dengan harapan bisa membuat tubuh saya lebih banyak beristirahat.
Kemudian, saya mendapati diri saya merasa heran, bagaimana saya bisa membuat keputusan bersedia ikut Dilan survei tempat ke UNPAD, ya? Aneh rasanya, padahal saya belum begitu dekat dengannya. Saya sempat mencoba berubah pikiran, tapi sepertinya sudah terlambat. Ya, sudah. Tidak semua hal harus masuk akal.
lksan menelepon, dan saya terkejut mendengar apa yang lksan katakan bahwa Bagas cemburu.
"Cemburu kenapa?" tanya saya.
lksan kemudian menjelaskan situasi pribadi Bagas dan kemudian saya mendapatkan beberapa masukan darinya tentang sikap Bagas tadi di tempat bimbel.
"lya, kamu, kan, dianterin sama siapa tuh ke tempat bimbel?" kata lksan.
"Oh, ldham?"
"Ya, gak tau."
ltu benar-benar membuat saya bertanya-tanya, kenapa malah repot?
"Kenapa Bagas harus cemburu?" "Ya, kali ...."
"Ah, udah, ah!"
Saya benar-benar sangat menghargai persahabatan saya dengan Bagas, tetapi saya hanya merasa heran mengapa Bagas harus cemburu? Rasanya tidak normal untuk dia merasa seperti itu. Dan harusnya dia tahu bahwa itu adalah hal bodoh.
-- Next Chapter--
Bab 9
Besoknya, di sekolah, saya cerita kepada lndri tentang peristiwa saya dijemput oleh Dilan. Satu hal kecil yang membuat lndri merasa ikut gembira, bahwa akhirnya saya bisa akur lagi dengan Dilan. Saya mengatakan semua itu terjadi karena saya murah hati. lndri tertawa. Saya bahkan bangga pada diri sendiri bahwa saya bisa begitu fleksibel sehingga saya bisa beradaptasi dengan baik bersama orang aneh.
"Orang gila!" kata lndri tersenyum.
"Hari Sabtu, saya mau ikut dia lihat-lihat kampus UNPAD!" "Anjrit!!!"
"Survei tempat."
Mendengar jawaban saya, lndri langsung membelalakkan mata, "Survei tempaaattt!"
"Gak tau, lah. Gak ngerti. Anggap aja main. Lagian, saya juga gak punya perasaan apa-apa ke dia. Dia bukan tipe saya."
"Survei hati, kali, ah!" "Enggak."
"Mengapa dia peduli kamu masuk UNPAD?"
ltu membuat saya terdiam selama beberapa detik, "Ah, sudahlah," jawab saya kemudian, "saya gak mau mikir aneh-aneh."
lni saya serius. Saya tidak punya pikiran apa-apa sehubungan mau jalan-jalan dengan Dilan ke kampus UNPAD. Saya benar-benar hanya melakukan apa yang perlu saya lakukan untuk barangkali bisa mendapatkan hal baik dan manfaat sehingga saya bisa diterima di UNPAD.
Lagi pula, antara saya dengan Dilan ada kesenjangan usia. Meskipun itu bukan menjadi halangan untuk menjalin hubungan, tapi saya yakin saya tidak memiliki perasaan apa pun padanya. Saya hanya bisa melihat dirinya sebagai kawan paman saya.
Di sisi lain, saya yakin Dilan juga tidak punya agenda tersembunyi atau memiliki kepentingan pribadi. Saya percaya dia tidak akan mengambil langkah apa pun, selain hanya menemani saya melihat lihat UNPAD. Tampaknya Dilan juga tidak sedang mencari pacar atau pasangan.
Tapi kata lndri, cinta sejati itu atau suatu hubungan yang utuh bisa terjadi tanpa harus didahului oleh perasaan naksir. Kemudian, lndri berharap saya sukses dan diberkati oleh Tuhan.
Di hari Sabtunya, saya sedang berbicara dengan Sukma di tempat bimbel, tiba-tiba saya mendengar suara Bagas, memanggil nama saya, "Cika!"
Saya menoleh dan melihat lksan, lpul, dan Bagas baru datang. "Cik, Bagas boleh ngobrol sebentar?" tanya Bagas dengan
gerakan gelisah. Sementara lksan dan lpul terus berjalan, mungkin masuk ke kelas atau pergi ke kantin.
"Ada apa, Gas?" tanya saya.
"Ada yang harus dibicarakan," katanya lembut.
Saya pun langsung pamit kepada Sukma, dan pergi mengikuti Bagas yang berjalan ke kantin.
Di sana, saya mendapati lksan dan lpul sedang duduk di depan kantin yang baru direnovasi. Di sampingnya terdapat gudang, toilet, dan mushola.
Bagas mengajak saya duduk di bangku kayu, yang ada di bawah pohon belimbing wuluh, kira-kira lima meter jaraknya dari kantin. Di saat itulah, Bagas bilang kepada saya bahwa kemarin dia sedang dalam suasana hati yang buruk dan merasa tidak enak sudah mengabaikan saya.
"Emang ada masalah apa?" tanya saya.
Jujur saja, apa yang Bagas katakan terdengar abstrak buat saya.
Bagas menjawab bahwa katanya, belakangan ini dia sedang punya jadwal sibuk rekaman dan sampai harus tidur larut malam.
"Terus?"
"Ya, jadinya ... Bagas sibuk banget. Bagas jadi gak bisa konsen. Ya, gitu, deh, pokoknya jadi banyak yang kurang tepat di beberapa lagu."
Dia benar-benar sangat membingungkan. Saya merasa seperti butuh penerjemah. Jadi, saya hanya bisa terkekeh.
"Kamu mau maafin, kan?" tanya Bagas. "Maafin apa?" tanya saya ketawa.
"Ya ... kemaren, kan, Bagas udah nyuekin kamu."
Saya tertawa karena menurut saya itu terasa menggelikan.
"Gak apa-apa, kok," kata saya dengan sisa ketawa. Dan memang gak apa-apa.
"Makasih udah mau maafin."
Begitulah yang terjadi, kemudian Bagas memberi saya sebatang cokelat yang dia ambil dari dalam tasnya.
"Apa ini?" tanya saya. "Buat Cika."
Meskipun saya pikir saya bukan salah satu dari gadis-gadis yang peduli dengan hadiah, saya harus benar-benar menyukai hadiah itu, "Makasih, Gas."
"Pulang bimbel, makan di luar, yuk!" katanya dengan ekspresi harapan di wajahnya.
Saya bilang tidak bisa karena sudah ada janji mau pergi bersama seseorang. Ekspresinya berubah dalam sekejap.
"Siapa?" tanya Bagas. "Ya, ada, lah. Manusia."
Lalu, saya melihat ekspresi sedih di wajahnya dan mulutnya muram.
"Lain kali aja, ya," kata saya, kemudian mengajaknya untuk masuk ke kelas.
Dalam sesaat, kami pun sudah berada di dalam kelas. Pengajar berada di depan membahas materi yang harus kami ketahui sebelum mengerjakan soal-soal latihan. Segala sesuatu tentang itu berjalan seperti biasanya, sampai tiba-tiba resepsionis bimbel memberitahu saya bahwa ada telepon untuk saya.
Saya segera berjalan keluar kelas untuk menerima telepon. Entah dari siapa. "Halo?"
"Saya Dilan."
"Oh, iya."
''jam empat aku sudah ada di sana."
"lya!"
Kira-kira pukul empat sore, di saat jam belajar belum selesai, saya
izin kepada pengajar untuk pulang lebih awal.
Bagas menatap saya dengan kaget. Dia duduk di bangku yang ada di sudut kanan, tepat di depan meja pengajar, berdampingan dengan bangku saya.
"Ke mana?" tanya Bagas, sepertinya dia bingung.
Saya ingin merahasiakannya, jadi saya hanya mengatakan, "Kan, tadi udah bilang, ada perlu," sambil bergegas memanggul ransel. "Duluan, ya!"-
Saya tahu, Bagas pasti tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
Kemudian, saya pergi ke luar dan menemui Dilan yang sudah duduk di kursi lobi tempat bimbel. Dia mengenakan jaket jeans pudar, kaos hitam, dan celana kargo. Sebetulnya saya bertanya-tanya. Apa, sih, yang Dilan pelajari dari saya selama ini? Sepertinya dia sudah tahu kelemahan saya, bahkan hari itu, saya mau saja diajak pergi.
Selama beberapa menit berikutnya, saya dan Dilan sudah berada
di kampus UNPAD. Lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat bimbel saya. Sangat dekat dan bisa ditempuh sepuluh menit dengan hanya berjalan kaki.
"Kamu sekarang sudah masuk UNPAD," kata Dilan setelah menyimpan sepeda motornya di tempat parkir.
Saya tahu dia sedang bercanda, "Alhamdulilah," jawab saya tersenyum.
"Kamu pasti tau, lah, pentingnya survei tempat," kata Dilan. "Gak tau."
"Nah! Sekarang kamu harus tau survei tempat itu penting." "Pentingnya?"
"Kalau kamu survei tempat dulu, enak. Nanti kalau kamu diterima di UNPAD, gak akan gelagapan lagi. Kamu jadi sudah tau di mana harus parkir motor, di mana gedung serbagunanya, di mana ruangan kelasnya, dan di mana toiletnya. Jadi, gak akan nyasar ke ITB. ltu pentingnya survei tempat."
"Akang tau, kan, aku sudah SMA?" "Kenapa, gitu?"
"Kok, kayak nganggap anak SD?"
Dilan tertawa, "Nah, kalau mau lebih mantap lagi, kamu harusnya kencing dulu di sana," kata Dilan, menoleh sebentar, lalu memandang saya.
Mata saya mengikuti arah jarinya yang menunjuk toilet umum di samping salah satu gedung.
"Maksudnya?" "Kencingin aja." "Biar apa?"
"Kamu ini jangan-jangan anak SD."
"Apa?" tanya saya sedikit kesal karena dianggap anak SD. "Kencingin. Bikin batas wilayah, buat ngasih tau ini tuh tempat
kamu. Peringatan buat saingan kamu, peserta UMPTN yang lain, jangan masuk wilayahmu."
"Aku bukan hyena."
Dilan tertawa, "Curiganya begitu."
"Kang Dilan, dulu sebelum masuk 1TB, survei tempat dulu?" "Enggak, lah!"
Saya terdiam sejenak, "Kenapa nyuruh Cika survei tempat?"
Dilan tertawa, "Bayangin. Gak survei tempat aja diterima, apalagi survei."
Saya ketawa, "lya, sih."
"Sebetulnya, dulu, aku masuk 1TB gak melalui UMPTN. Aku dulu seleksi foto. Cuma dicek foto."
"Kriterianya apa?" tanya saya tersenyum. "Cuma ... seksi dan beriman," jawab Dilan. "Kok, bisa lolos?" Dilan tertawa.
"Sekarang aku bocorin, ya?"
Saya diam, karena tidak ada pikiran untuk saya katakan. "Kamu tau, gak, 1TB tuh, apa?" kata Dilan, serius. "Apa?" tanya saya pelan, sambil meliriknya sebentar. "Jangan bilang ke yang lain!"
Saya menggelengkan kepala, dengan mulut mengucap, "Enggak." "ITB tuh, singkatan!" jawab Dilan serius, nyaris berbisik, seperti
orang yang sedang bergosip.
Saya tidak mengatakan apa-apa karena kesal oleh jawabannya yang, saya rasa, tidak menyampaikan dengan tepat apa yang ingin saya dengar.
Dia tertawa. Saya rasa dia menyadari apa yang saya pikirkan. "Kalau UNPAD beda," kata Dilan lagi kemudian.
Saya diam, tapi penasaran ingin tahu, kalau 1TB itu singkatan, lalu UNPAD apa? Saya tidak sabar untuk tahu apa lagi yang akan dia katakan.
"UNPAD apa?"
"Kalau ITB singkatan, kalau UNPAD itu akronim."
Untuk yang ini saya langsung ketawa, tidak tahu kenapa. Lucu aja. Mungkin oleh jawabannya, atau oleh cara dia mengucapkannya.
Dia tertawa kecil, "ltu bedanya 1TB sama UNPAD. Orang-orang harus tau!"
"Nanti disampaikan." Dilan tertawa. "Kang?"
"Ya?"
"ltu 'Orang Dalam' yang Mama maksud, jangan-jangan?" tanya saya sambil menunjuk seorang laki-laki, kira-kira berumur tiga puluh tahun, sedang duduk di tangga salah satu gedung yang bagian dinding depannya dipenuhi oleh poster.
Dilan langsung tertawa sangat hangat, "Orang luar kayaknya.
Soalnya dia di luar. Orang dalam mah di dalam. Lagi rapat."
ltulah beberapa cuplikan dialog antara saya dengan Dilan dari banyak waktu yang telah berlalu selama mengelilingi kampus UNPAD. Dan saya benar-benar melihat perbedaan yang baik di dalam perilaku saya. Saya bisa lebih terbuka dengannya.
Di tangan orang berbeda, buat saya itu mungkin akan menjadi momen yang canggung. Tapi, Dilan mampu menanganinya seperti seorang profesional, membuat saya semakin mudah untuk bisa memahami apa yang dikatakan oleh Mang Anwar bahwa Dilan memang menyenangkan.
Kami pulang melewati Jalan Dago yang dulu masih sepi. Masih tenang dan damai, bersama siluet pucuk-pucuk pepohonan di langit jingga.
Sebenarnya, Dilan juga sempat membawa saya ke Jalan Riau, dan di sana membeli beberapa buah-buahan untuk Mang Anwar.
"Anwar pasti suka pisang, ya?" "Kurang tau, tuh."
"Saya, dulu, waktu kost di kebun binatang, dikasihnya pisang terus," jawab Dilan, sambil memilih apel. Dia mengatakannya sangat serius, seolah-olah itu benar. Saya yang sedang berdiri di sisinya hanya senyum-senyum sendiri mendengarnya. ltu semua menyenangkan sampai saya mendengar suara azan Maghrib.
Setelah mengantar saya pulang, Dilan pergi, melambaikan tangannya melawan kegelapan malam. Diam-diam, saya berterima kasih kepada Dilan untuk hari yang sangat menyenangkan. Saya seperti bisa merasakan hubungan baik dengan pikirannya. Dan itulah akhirnya.
"Gimana surveinya?" tanya Mama setelah saya masuk ke rumah. Saat itu Mama sedang membereskan beberapa barang di ruang tengah.
"Bagus," jawab saya.
"Syukurlah," jawab Mama sambil menyelesaikan apa pun yang dia lakukan. "Penting survei tempat itu."
Tiba-tiba, saya tertawa seperti tidak bisa menahannya. "Kenapa?" tanya Mama langsung memandang saya.
Saya duduk di sofa ruang tengah, sambil mengatakan kepada Mama bahwa yang namanya survei tempat itu, kan, biasanya, setahu saya, melakukan pengecekan lokasi untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan. ltu bisa mencakup banyak hal, bergantung pada tujuannya. Nah, tadi, apa yang Dilan lakukan, bukan mencari brosur atau sesuatu seperti itu. Dia malah banyak menceritakan hubungan UNPAD dengan Kerajaan Padjadjaran, logo UNPAD, Romeo dan Juliet, hingga Helen of Troy.
Saat kami berjalan melewati taman UNPAD, pembahasan berpindah dari satu topik ke topik lainnya dengan sangat cepat, dan saya bingung tahu-tahu Dilan mengatakan bahwa Jalan Dipatiukur itu adalah Kata Atlantis yang hilang dengan menunjukkan bukti adanya Kies Atlantis DVD Rental di sana.
Mama tertawa. Saya tidak bisa menahan tawa juga, tawanya menular.
"Yang penting, kalian bisa lebih mengenal satu sama lain," kata Mama sambil kembali pada apa yang sedang dia kerjakan.
Saya masuk ke kamar, lalu menghela napas, bersandar di kursi meja belajar. Gerimis ringan mulai turun, saya bisa melihatnya dari jendela kamar bersama pikiran yang meninggalkan senyum di wajah saya. Kita mungkin berpikir apa yang Dilan katakan sebagai hal gila, karena kita tidak terbiasa dengan imajinasi seperti itu.
Di sekolah, saya menceritakan yang sama kepada lndri dan lndri tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Mang Anwar, meresponsnya hanya dengan senyuman yang lebar. Begitulah sifat Dilan kalau bicara dengan kawan-kawan dan orang-orang yang dia kenal, katanya.
Tetapi, tidak apa-apa, sih, saya masih bisa mendapat informasi yang saya sukai bahwa Dilan ternyata orang yang seru, bodor, dan murah hati. Menurut saya begitu. Saya hampir tidak percaya bahwa dia pernah menjadi panglima tempur geng motor.
Selama satu minggu setelah itu, saya tidak pernah bertemu lagi dengan Dilan. Tidak ada hal yang bersangkut paut dengan Dilan. Dilan juga tidak pernah menelepon. Kemudian, saya lebih memilih untuk tidak memikirkannya. Tapi, hari itu Mang Anwar memberitahu saya tentang karya Dilan yang dimuat di salah satu koran nasional. Saya melihatnya sambil tersenyum kecil, seperti merasa ikut bangga. Satu-satunya kata yang keluar dari mulut saya adalah "wow".
"Salam buat Dilan," kata saya kepada Mang Anwar. "Suruh telepon, ya?"
"Telepon mau apa?"
"Komunikasi aja, atuh!" Katanya tersenyum.
Saya berpikir sejenak, sambil menghirup aroma hot lemon tea dari gelas yang sedang saya pegang, "Mmmm ... terserah, deh," kata saya kemudian, tanpa memandangnya.
Kemudian, seperti fenomena aneh di film-film, besoknya Dilan menelepon. Tak ada basa-basi. Kadang-kadang, sesuatu yang tidak penting dikatakan. Dilan bilang, katanya dia mau mengajari saya bisa menembus tembok.
"Kang Dilan bisa?" Tanya saya ragu.
"En99ak."
"Kenapa ngajarin?"
"Biar cuma kamu yang bisa."
Saya kemudian mencoba menahan tawa dan menggaruk belakang telinga. Tampaknya abstrak bagi saya. Mungkin karena saya terlalu serius atau bagaimana. Saya benar-benar tidak bisa memberikan komentar untuk itu.
"Mau?" Tanya Dilan serius.
"Enggak, ah."
Dilan tertawa keras. Kemudian, dia mengatakan hal-hal lain yang makin membuat saya tertawa. Jumlah imajinasi dan humornya itu terus-menerus membuat saya takjub. Bahkan, salah satu di antaranya mampu membuat saya tertawa terbahak-bahak.
Tak perlu dikatakan ada beberapa kualitas ucapan yang keluar darinya, lalu entah bagaimana, dia menawarkan diri mau membantu saya mengerjakan tugas sekolah, karena ingin menebus dosa yang sudah dia lakukan waktu membuat resensi novel.
"Tugas ada, tapi sedikit, sih."
"Ya, udah, kita belajar bersama," jawab Dilan.
Tapi, masalahnya adalah, dulu memang saya masih merasa ingin tahu bagaimana cara dan gaya Dilan belajar, sehingga meskipun tetap ugal-ugalan di jalan, dia masih bisa meraih prestasi. ltu sempat membuat saya penasaran.
Pikiran itu sekarang rasanya sudah hilang, dan saya juga benar benar sudah melupakannya. Saya tidak yakin bisa belajar dengan banyak bercanda jika Dilan memang orang yang seperti itu. ltu akan membuang-buang waktu oleh hal-hal yang tidak jelas. Dan bukankah itu terjadi pada waktu survei tempat ke UNPAD?
Pada dasarnya, Dilan punya kebebasan untuk mengekspresikan diri sesuai karakternya, tapi bagaimana saya bisa belajar dengan situasi seperti itu? Sementara cara saya belajar, betul-betul perlu mengasingkan diri ke sudut terdalam dari bagian kamar saya agar bisa mencapai konsentrasi.
Tidak akan ada gunanya belajar dengan seseorang yang menggunakan cara berbeda dengan saya, meskipun menghabiskan lebih banyak waktu. Maksud saya, setiap orang belajar dengan caranya sendiri-sendiri. Masing-masing memiliki "gaya belajar" bawaan sendiri yang berbeda. Apa yang cocok dilakukan oleh Dilan dalam belajar, bisa saja tidak ada artinya sama sekali buat saya.
Saya bukan tidak suka Dilan yang sering membuat orang ketawa, atau melakukan hal-hal konyol, tapi apakah belajar dengan orang seperti Dilan akan bisa membantu? Sedangkan saya benar-benar membutuhkan konsentrasi pada saat sedang belajar.
Setidaknya, begitulah menurut saya. Tapi, apa salahnya kalau dicoba? Sekali saja, mungkin bisa. Setidaknya, saya harus menghargai tawarannya.
Jadi, ketika saya akhirnya mengatakan iya, Dilan datang ke rumah besok harinya. Dilan duduk di sofa double seater, dan saya duduk di sofa single seater di dekatnya. ltu sekitar pukul tujuh malam.
Kemudian, apa yang saya dapatkan adalah belajar dengan Dilan terasa lebih menyenangkan, dan penuh dengan kegembiraan. Lelucon-lelucon lucu dan aneh yang Dilan lontarkan atau lakukan selama itu, sama sekali tidak terasa mengganggu proses belajar. Justru malah membuat saya merasa lebih baik, membantu menahan stres juga dan belajar menjadi tidak membosankan. Saya seperti bisa merasakan energi yang biasanya tidak saya rasakan.
Kemudian saya mendapatkan diri saya berpikir, saya merasa mendapat banyak pengetahuan baru tentang Dilan malam itu, yang tidak saya ketahui sebelumnya. lni adalah salah satu perasaan terbaik yang saya miliki di dalam hubungannya dengan orang yang pernah saya remehkan pada awalnya.
"Ngetawain apa, sih?" tanya Mama karena mendengar saya tertawa untuk cerita Dilan tentang Ratu lnggris yang jualan cendol di Bandung dan diberi nama cendol Elizabeth. Mama datang membawa pisang dan kacang rebus yang dia letakkan di atas meja.
"lni, Kang Dilan," jawab saya, dengan suara masih ada sisa ketawa.
'']angan nyebut Akang, atuh, ah. Karagok (Jangan manggil Akang, lah,
gak enak)," kata Mama.
Mama tidak setuju saya memanggil Dilan dengan panggilan Akang. Setidaknya, itulah yang dikatakan oleh Mama kepada saya.
Tapi, sungguh saya pikir panggilan Akang terasa lebih normal dan terhormat dibandingkan menyebut namanya langsung.
Mama memberi alasan bahwa dengan memanggil Akang kepada Dilan, terdengar sangat formal, apalagi kalau digunakan di dalam interaksi sehari-hari. Kesannya tidak akrab. Akan terasa canggung walaupun niatnya untuk membuat Dilan merasa dihormati. Hal seperti itu hanya akan menciptakan jarak. Juga bisa membuat Dilan kesannya seperti sudah tua.
"Dilan ... ," kata saya memaksakan diri mengatakan namanya dan tertawa.
Saya mengucapkannya dengan nada seperti seorang guru yang menyebut nama siswa karena tidak memperhatikan. Sebetulnya terasa kurang nyaman, sedikit cemas takut terdengar kurang hormat mengingat kami berada di masyarakat yang punya budaya menjunjung strata berdasarkan usia, tapi kelak saya menjadi terbiasa menyebut namanya langsung dari semenjak saat itu, dan memang terasa lebih akrab.
"lya, Kakak!" jawab Dilan.
Saya tersipu. Mama tertawa, seperti teringat kembali pada masa di mana saya pernah mengeluh kepada Mama tentang Dilan yang menyebalkan karena memanggil saya "Kakak" di rumah Abah.
"Kenapa dulu manggil kakak, sih?" tanya saya.
"Bahasa Sundanya kakak, kan, teteh," kata Dilan. "Cika, kan, dipanggil teteh."
"lya benar," kata Mama tanpa basa-basi, lalu pergi. Hei, itu tidak pernah terlintas di benak saya.
Malam itu kami menyelesaikan pekerjaan rumah saya lebih awal, karena memang hanya sedikit. Beberapa saat kemudian, bel pintu rumah berbunyi. Saya berjalan dan ketika saya membukanya, saya melihat Bi Opi.
Bi Opi masuk. Dia berkenalan dengan Dilan dan melakukannya sebaik mungkin untuk bisa bersikap ramah, meskipun matanya seperti sedang bertanya-tanya tentang apa yang sedang kami berdua lakukan di ruang tamu.
"Ada Mama?" tanya Bi Opi.
"Ada."
Pada saat Bi Opi pulang, senyum lembut muncul di wajahnya, dia menyampaikan salam dari Yadit untuk saya. Saya benar-benar tidak tahu harus menjawab apa, selain, '"Alaikumsalam."
Di hari berikutnya, Bagas mengajak saya, lksan, dan lpul untuk nongkrong di kafe yang lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat bimbel. ltu adalah hari Sabtu sore yang biasa buat saya. Harinya sedang hangat dengan langit biru yang tak berawan. Kami baru saja pulang lebih awal dari tempat bimbel karena hanya ada kegiatan try out internal sampai pukul setengah lima.
Di sana Bagas, lksan, dan lpul seperti tidak percaya dengan apa yang saya katakan bahwa saya belajar bersama Dilan di rumah. Wajah mereka menunjukkan ekspresi terkejut dan khawatir, atau sesuatu seperti itu, tapi mereka tidak dalam posisi untuk melarang saya apa pun. Sepertinya mereka tidak dapat memahami, dan saya bisa melihat dari wajah Bagas seperti ada sesuatu yang tidak menyenangkan meliputi dirinya.
Kemudian mereka mengatakan agar saya hati-hati, dan mulai membual tentang Dilan satu sama lain. Hampir selalu terdiri dari cerita tentang keburukan Dilan, tentu saja, dengan menggunakan opini orang lain atau opininya sendiri.
Mereka hanya menilai tanpa fakta sebenarnya, tanpa pemahaman apa pun tentang semua itu. Sehingga mereka seperti terus bersikeras bahwa seluruh manusia adalah korbannya, dan Dilan adalah penjahatnya dengan hal-hal yang sangat kejam yang telah Dilan lakukan. Pada intinya, mereka seperti sedang berpikir untuk menyingkirkan Dilan dari dunia saya.
Saya sendiri berusaha tampil seolah-olah saya percaya pada apa yang mereka katakan, meskipun sebenarnya tidak, karena yang saya lihat dari Dilan hari ini sangat jauh berbeda dengan yang mereka katakan. Kenyataannya, sekarang Dilan selalu berhasil membuat saya tertawa atau hanya tersenyum. Dia tetap bisa mengontrol dirinya selama berbicara dengan saya, dan memancarkan rasa aman, sehingga percakapan terasa menjadi tenang.
Saya tidak perlu mengukur tingkat kesempurnaan seseorang, tapi Dilan selalu lebih pintar dari saya. Saya suka kecerdasan dan humornya. Saya suka cara berpikirnya. Dia berpengetahuan dan mengusulkan cara-cara yang tidak saya pikirkan sebelumnya, sehingga membuat saya tidak sabar untuk tahu apa lagi yang akan dia katakan. Energinya juga menghibur dan akrab.
Dia memang pernah begitu menyebalkan, tapi kepribadiannya yang besar mampu melampaui diri saya sendiri untuk bisa memaafkannya. ltulah yang dia lakukan sehingga bisa mendapatkan kembali kepercayaan saya. Tidak ada cara untuk menjelaskan secara tepat bagaimana semuanya bisa terjadi begitu saja. Anehnya, saya menganggap perilakunya yang berbeda dan uniklah yang menjadi faktor penentu dalam menyelamatkan hubungan saya dengan Dilan. Saya seperti terpesona oleh orang yang sangat berbeda dari orang lain yang pernah saya lihat. Saya kira saya tidak sendirian di dalam ketertarikan saya pada orang seperti itu.
Jadi, pada akhirnya, semua yang mereka katakan tentang Dilan di kafe saat itu, bagi saya, menjadi seperti roti basi. Saya kemudian hanya mengatakan bahwa saya mungkin tidak suka anak nakal, tapi saya tidak tahan dengan tipe orang baik yang berusaha keras untuk sok bersikap baik sehingga malah terlihat lemah di mata saya. Tidak semua orang akan menyukai orang seperti Dilan, saya tahu, dan itu tidak masalah.
Saya juga meyakinkan mereka bahwa tidak ada yang terjadi di antara saya dengan Dilan. Dan jangan lupa, keberduaan saya dengan Dilan terjadi saat kami belajar dan mengerjakan tugas sekolah. Saya hanya ingin berteman dengannya dan tidak memikirkan hal lain di luar itu atau kalau harus lebih dari itu, Dilan akan menjadi seseorang seperti saudara laki-laki saya.
Ketika matahari terbenam, hari sudah hampir jam enam, saya pulang dijemput Mang Anwar, menjadi cara yang bagus untuk mengakhiri percakapan. Saya merasa mereka terlalu apriori untuk diajak bicara. Lagi pula sebenarnya, saya hanya ingin pulang.
Di sisi lain, alam semesta terus menempatkan saya dan Dilan berdua dalam situasi di mana kami akhirnya sering bertemu di ruang tamu, baik untuk belajar, mengerjakan tugas sekolah, maupun hanya melakukan percakapan santai. Kadang-kadang saya berpikir, maksud saya serius, memang menyenangkan seperti itu untuk sementara waktu. Saya mulai berbicara lebih banyak dan Dilan adalah pendengar yang baik. Kami selalu memiliki percakapan yang menyenangkan. Saya berani bilang, Dilan telah mengisi masa remaja saya untuk kebutuhan ceria dengan segala sesuatu yang dapat dirasakan oleh hati muda saya. Saya tidak tahu apa yang saya harapkan akan terjadi, tetapi mungkin yang terbaik adalah yang terjadi biarlah terjadi. Saya mencoba menceritakan semua itu kepada lndri dan dia mengira saya suka kepada Dilan. Sebetulnya, saya tidak menyalahkan lndri, karena saya juga menyadari kedengarannya seperti itu. Kalau boleh jujur, saya hanya kagum kepadanya, seperti orang yang saya inginkan, seandainya saya tidak memandang Dilan sebagai panutan atau yang bisa saya anggap sebagai kakak. Waiau begitu, saya selalu merasa bahwa kami lebih berteman dari apa pun. Laki-laki dan perempuan tentu saja bisa berteman.
ltulah yang terjadi. Kami menjadi suka menghabiskan waktu bersama di ruang tamu, dan tidak pernah terasa canggung lagi. Kami berbagi kabar baik, kabar tidak baik, dan kadang-kadang mengungkap sedikit rahasia. Kami bergosip. Kami begadang sampai agak larut malam di malam Minggu. Tidak bisa dimengerti bahwa Dilan punya banyak waktu untuk itu.
Saya masih ingat ketika Dilan tertidur di sofa karena kelelahan dan butuh istirahat, kemudian saya membuat beberapa coretan di wajahnya dengan pulpen, tanpa sedikit pun menyadari bahwa sebetulnya dia sedang menahan dirinya untuk tetap berpura-pura tidur hanya demi membuat saya senang.
Saya juga masih ingat, bagaimana malam itu kami bermain catur, di mana Dilan bermain selalu buruk. Senyuman indah kemudian muncul di wajahnya karena saya tahu dia hanya berpura-pura kalah untuk membuat saya senang. Wajah mantan panglima tempur itu menjadi coreng-moreng oleh bedak sebagai hukuman bagi yang kalah di dalam permainan, sampai Papa, Mama, Mang Anwar melontarkan tawa.
Saya tidak akan melupakan bagaimana siang itu sepulang dari sekolah, saya lari ke pintu rumah dan dengan senyum bangga mengangkat satu plastik besar berisi kerupuk kiriman dari Dilan. Mama terheran-heran pada satu sisi seperti itu, dan kami menikmatinya bersama-sama yang dipadu dengan mentimun di malam hari, seperti sedang mengulang pengalaman di masa kecil.
Ada secarik kertas di kantong plastik kerupuk itu, yang kami baca lagi bersama-sama: "Kerupuk sudah siap. Sampai mentimun datang ke dalam hidup kita untuk memberi kelezatan dan harapan yang kita butuhkan dalam hidup."
Kadang-kadang saya dan Dilan bertengkar sedikit dan untuk mengatasi hal seperti itu, Dilan membuat jadwal marah, seolah-olah hal seperti itu saja perlu ada waktunya. Masing-masing harus bisa menahan marah jika hari itu bukan jadwalnya untuk marah. Saya dengan bodohnya setuju. Saya masih ingat, jadwal marah Dilan adalah setiap hari Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu. Sedangkan jadwal marah saya di luar hari-hari itu.
Suatu hari, saya sedang kesal dan ingin marah kepadanya. Saya hanya bisa duduk diam menahan diri pada apa yang saya rasakan karena itu adalah hari Sabtu. Tapi akhirnya penjadwalan itu hanya berlaku sampai dua minggu, karena meskipun saya dapat mematuhinya, saya merasa terkekang oleh itu. Dilan tertawa.
ltulah beberapa potongan kecil sebagai peristiwa yang saya alami bersama Dilan. Tidak mungkin saya menggambarkan setiap situasi itu. Pokoknya, dia menjadi salah satu orang favorit dalam hidup saya. Beberapa karyanya yang sering dimuat di surat kabar, dan ketenarannya di dunia anak geng motor memberi hak saya untuk menyatakan bahwa saya adalah temannya.
Suatu ketika, pada saat saya sedang belajar bersama Dilan di ruang tamu, Yadit menelepon. Saya langsung berdoa di dalam hati mudah-mudahan tidak akan berlangsung lama.
"Lagi apa, Cika?" "Lagi sibuk." "Sibuk apa?"
"Ngerjain tugas, Kang."
"Sendiri?"
"Sama Dilan."
"Dilan?" tanya Yadit, "Siapa, tuh?" "Temennya Mang Anwar." "Cowok?''
"lya, Kang."
"Bisa dipercaya, gak?" "Kenapa emang?" "Ya, khawatir aja."
Saya sudah tidak ingat lagi apa yang Yadit katakan, kemudian untuk tidak bersikap kasar, saya mencoba menutup percakapan dengan mengatakan bahwa saya memiliki hal-hal yang harus dilakukan segera.
Besoknya, di sekolah sedang gerimis, saya dan lndri duduk berdua di kantin dalam cuaca yang dingin. Ketika lndri bertanya tentang Dilan, saya menjawabnya dengan mengatakan bahwa Dilan baik-baik saja. Dia sibuk kuliah dan mengerjakan beberapa pekerjaan di tempat dia bekerja sebagai freelancer. Saya tertawa ketika mendengar lndri bilang bahwa dia ingin punya seseorang yang dengannya, dia bisa berbagi perasaan asmara.
Dia juga, katanya, kadang-kadang suka mengkhayal ingin bisa jalan-jalan dengan seseorang yang dia cintai di sepanjang Jalan Braga sambil berpegangan tangan.
"Kenapa Jalan Braga?"
"Ya, jalan mana aja atuh, lah!" jawab lndri.
Saya tertawa dan pada intinya merasa prihatin mendengar keinginannya itu karena terdengar seperti hal yang tidak perlu dipikirkan.
"Terus, yang suka nelepon kamu itu, gimana?" tanya saya. "Ke laut," jawab lndri.
"Piknik?" "Mabuuurr!"
"Ya, itulah aslinya."
"Gimana temen bimbelmu itu?" tanya lndri kemudian. "Bagas?"
"lya."
"Ya, gitu aja," jawab saya. "Masih bareng dia?" "Bareng gimana?"
"Pulang bareng, dijemput ... " "Enggak."
"Kenapa?"
Saya mengatakan bahwa saya lebih suka naik angkot atau dijemput Mang Anwar. Dilan pernah sekali menjemput saya di tempat bimbel dan malamnya lksan menelepon, saya hanya mencoba untuk mengabaikan sebagian besar dari apa yang dia katakan tentang Dilan menjemput saya.
Saya bingung mengapa lksan membahas hal yang begitu tidak penting dan saya menganggapnya sebagai upaya lain untuk mengontrol saya. Saya merasa terganggu. Saya bilang, saya tidak eksklusif sehingga saya bisa dijemput oleh siapa pun yang saya mau. Saya juga mengajarinya tentang tidak ada siapa pun yang berhak memberitahu saya apa yang harus saya lakukan dan dengan siapa saya harus berkawan.
Di saat itu juga, lksan mengajak saya belajar bersama di rumah saya. Katanya itu adalah ide Bagas. Dia akan membayar pengajar untuk melakukan yang terbaik di mana kami dapat mempelajari semuanya. Saya pikir itu sangat aneh. Saya menolak dengan bilang tidak bisa karena saya sibuk memberi makan tupai.
"Emang kamu punya tupai?" tanya lndri. "Enggak."
"Ha ha ha."
Ketika saya bertemu lagi dengan Bagas, lksan, dan lpul di tempat bimbel, saya perhatikan bahwa mereka memiliki tampilan yang berbeda di wajahnya. Ya, itu bagian terpenting yang tidak ingin saya pikirkan. Saya tidak pernah benar-benar tahu apa yang ada di dalam kepala mereka dan sebenarnya saya tidak terlalu peduli juga.
"Ha ha ha. lksan dan lpul temannya Bagas itu, ya?" tanya lndri. "lya."
lksan dan lpul di dalam hidup Bagas seperti tidak dapat dijelaskan.
"Bagas mau ke kamu, tuh," kata lndri.
ltulah yang lndri pikirkan dan rasakan. Saya sendiri tidak berpikir begitu. Kenyataannya, Bagas juga tidak pernah mengatakan hal itu kepada saya. Bahkan saya tidak selalu menganggap Bagas memiliki motif tersembunyi dari semua yang dia lakukan kepada saya. Saya tidak menganggapnya sebagai isyarat cinta ketika Bagas memberi saya beberapa pernak-pernik dan hal-hal lainnya yang lucu. Saya menghargainya sebagai isyarat kebaikan, itu saja, meskipun saya bilang kepada Bagas bahwa saya tidak ingin dia membelikan saya apa pun.
"Kamu suka Bagas, gak?"
"Saya enggak mikir yang gitu-gitu," kata saya.
Kemudian, lndri bilang kalau memang saya tidak suka, saya harus terus terang dan jujur kepada Bagas bahwa saya tidak tertarik kepadanya. Tapi, saya merasa tidak harus seperti itu. Cara seperti itu akan terdengar menyebalkan dan melukai. Saya merasa lebih baik, ya, sudah, biarkan saja. Saya hanya mencoba untuk bersikap baik kepada semua umat manusia.
Di tengah-tengah obrolan, tiba-tiba datang Dudi, sang Ketua OSIS, sambil membawa sepiring batagor.
"Cika, lndri ... ," katanya, sambil mulai duduk di samping saya.
lndri segera menoleh ke arahnya, "Hei, Dud," kata lndri, seperti merasa tidak berdaya. Saya bisa mengapresiasi perasaan di dalam diri lndri, pasti sedang tidak seperti yang pernah dia rasakan sebelumnya. Saya tersenyum diam-diam. Maksud saya ini gila, entah bagaimana perasaan lndri didatangi oleh Romeo Dudi.
"Bu Nani ulang tahun," kata Dudi. "Ngasih apa, ya?"
lbu Nani adalah wali kelas kami, yang kebetulan saudaranya Dudi.
"Eh? Kapan?" lndri antusias bertanya kepada Dudi bersamaan dengan datangnya Bono.
"Heh!" kata si Bono kepada Dudi.
Kami bertiga terkejut. Saat itu, Bono sudah berdiri di samping meja sambil membawa segelas kepi.
"Ngapain duduk deket Cika?" tanya Bono kepada Dudi, bermuka masam. "Jangan ganggu!"
"Siapa yang ganggu?" jawab Dudi, tidak paham mengapa Bono seperti itu.
Bono memang selalu mengontrol semua laki-laki di sekolah untuk jangan dekat-dekat dengan saya. Dia akan marah kalau ada yang tidak mematuhi perintahnya. Maka, itulah yang dia lakukan kepada Dudi.
Kemudian Bono duduk di samping lndri, berperilaku seperti gunung api yang dapat meletus secara eksplosif, kapan saja.
Dia memberi tatapan mengerikan kepada Dudi, "Maneh geus boga si
Nyanya, masih hayang ka si Cika (Kamu udah punya si Nyanya, masih mau ke si Cika)," katanya. "Kasep sia,teh (Kamu ngerasa ganteng)?"
Dia mengatakannya seperti mencoba memancing Dudi untuk bereaksi. Tapi, Dudi menunduk sambil menyuap makanannya.
Tapi, kiranya hal itu membuat Bono kesal, "Si Cika na ge moal daekeun ka maneh (Si Cika-nya juga gak mau ke kamu)," kata Bono lagi.
Saya merasa kesal mendengarnya. Dia tidak punya hak untuk mengatakannya. Dia juga tidak bisa membatasi orang untuk dekat dengan saya. Saya tidak bisa membiarkan semuanya, kemudian secara emosional saya bereaksi, "Saya mau ke Dudi!" kata saya kemudian. "Besok, saya mau nonton sama Dudi. Terus kenapa?"
Saya ingin memberitahu dia bahwa saya bebas dengan siapa saya ingin. Bono hanya mengatakan "Ya, ya, ya," tanpa ekspresi. Dia mereguk kopinya dan terus mengoceh, mengatakan hal-hal jahat tentang Dudi tanpa peduli dengan perasaan Dudi.
Saya merasa terpanggil untuk menghentikannya. Dudi mungkin takut Bono, tapi saya tidak! Lagi pula, kalau Bono didiamkan, itu bisa membuat dia merasa besar dan kuat. Satu-satunya cara untuk mengatasinya adalah dengan melawannya.
Saya berdiri, "Saya ingin kamu pergi dari sini," kata saya kepada Bono.
Bono mendongak, wajahnya terkejut, memandang saya. "lni kantin bersama," jawabnya santai.
"Saya bilang, saya mau kamu pergi ... ," kata saya lagi kepada Bono sambil melotot.
lndri mengulurkan tangan dan menyuruh saya sabar.
"Kalau saya pergi, Dudi juga harus pergi ... ," jawab Bono melirik ke arah saya.
"Ya, udah, kalau gitu saya pergi," jawab Dudi mulai berdiri untuk pergi.
Bono malah marah, dia menyiramkan air kopinya ke arah Dudi. ltu adalah penyerangan. Bono juga kemudian menendang meja sambil meneriakkan kata-kata yang tidak senonoh.
Sangat mengerikan ketika itu terjadi. Semua orang di kantin menoleh ke arah kami, mulai berbisik-bisik, membuat komentar tentang bagaimana itu bisa terjadi. Bono bergegas pergi, sebelum saya bermaksud menghajarnya.
lnsiden itu kemudian menyebar ke seantero sekolah. Saya tidak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan tentang itu. Kenyataannya, sebagian besar siswa di sekolah mendukung saya, bahkan saya juga mendapat banyak dukungan dari guru-guru tertentu.
Sebenarnya saya benci perkelahian, tapi semuanya sudah terjadi. Masuk akal untuk mulai bertanya-tanya apa yang mungkin akan Bono lakukan kepada saya setelah itu. Pasti ada konsekuensi yang harus saya hadapi. Saya hanya mengandalkan diri saya sendiri untuk menjaga diri.
Sementara itu, di kelas, kawan-kawan meminta saya untuk menjelaskan lebih detail tentang apa yang terjadi. Saya sudah tidak ingin membicarakannya lagi. Akan terlalu lama untuk dijelaskan, intinya saya hanya ingin segera pulang.
Sesampainya di rumah, saya terkejut mendapat berita dari Bi Yati bahwa Mama dirawat di Rumah Sakit Al-Islam, di daerah Soekarno Hatta. Katanya, Mama muntah-muntah, pusing, dan mengalami demam tinggi hingga 40 derajat Celsius. Hal itu benar-benar membuat saya khawatir.
Dengan menggunakan angkot, saya segera pergi ke rumah sakit. Di sana sudah ada Mang Anwar dan Beni. Saya melihat Mama sedang terbaring dengan ekspresi ketidakberdayaan di wajahnya. Mama tampak kelelahan. Saya sangat sedih dan hampir menangis. Dokter datang dan memberitahu saya bahwa Mama menderita demam berdarah. Tidak lama setelah itu, Papa tiba. Dia bilang, saya tidak perlu khawatir dan lebih baik pulang. Saya pulang bersama Mang Anwar.
Sesampainya di rumah, Dilan memberitahu saya melalui telepon umum bahwa dia ada di rumah sakit dan baru saja selesai besuk. Saya kemudian memberitahu Dilan bahwa saya sudah ada di rumah, dan akan langsung mandi untuk siap-siap belajar karena besok ada ulangan harian dan beberapa PR yang harus dikerjakan.
Dilan datang ke rumah bersama Beni sekitar pukul empat sore, ketika saya sedang mengeringkan rambut setelah beres keramas. Dia kemudian duduk bersama saya di ruang tamu menemani saya mengerjakan beberapa tugas sekolah, dan mengulas ulang beberapa mata pelajaran untuk siap menghadapi ulangan besok.
Sekitar pukul lima, bel pintu berbunyi. Saya berdiri membukanya dan itu adalah Bi Opi. Saya benar-benar terkejut karena dia datang bersama Yadit.
Bi Opi masuk terburu-buru, katanya kebelet ingin kencing dan langsung lari ke kamar mandi yang ada di dapur. ltu dia lakukan setelah menyuruh Yadit duduk.
"Lagi apa?" tanya Yadit yang sudah duduk. "Belajar, Kang."
"Belajar apa?"
"Besok ulangan," jawab saya sambil kembali mencatat hal-hal yang ingin saya pelajari.
"Emangnya ulangan apa?" tanya Yadit lagi. "Bahasa Indonesia."
"Sastra?"
"lya."
"Kalau ini Dilan, ya?" tanya Yadit. "Saya Amer, Kang," jawab Dilan sopan. "Bukannya Dilan?" tanya Yadit lagi. "Amer, Kang."
"Kang Amer kuliah di mana?" tanya Yadit lagi.
"Pesantren, Kang," jawab Dilan cepat sambil menoleh ke arah Yadit, kemudian dia segera kembali kepada kegiatan yang sedang dia lakukan. Saya tersenyum tanpa sadar.
"Pesantren di mana?" tanya Yadit. "Di ... "
"Genter? Langitan Tuban? Tebuireng Jombang? AI-Khoirot Malang?"
"AI-Asikin saya mah, Kang." "Di mana itu?"
"Di ... Dago, Kang." "Emang ada, ya?" "Baru berdiri sebulan."
"Belajar apa di pesantren?"
"Banyak, Kang, seputar keagamaan aja."
"Fiqih? Ushul Fiqih? Nahwu Sharaf? Tauhid? Balaghah?" "Baru belajar lqra, Kang."
Tidak lama kemudian, Bi Opi sudah kembali dari toilet. Dia mengatakan bahwa mereka berencana mengajak saya untuk menjenguk Mama.
"Teteh baru dari sana, Bi," jawab saya.
"Udah, ikut aja," kata Bi Opi. "Pulangnya kita makan." "Besok Teteh ulangan."
"Gimana?" tanya Bi Opi kepada Yadit. "Ya, gak tau," jawab Yadit.
"Atau sebentar, lah. Yuk!" kata Bi Opi, dengan nada sedikit memaksa, "Sekalian nyobain mobil Kang Yadit. Baru."
"Beneran gak bisa, Bi," jawab saya.
"Kang Yadit ke sini tuh, sengaja, loh. Mau ngajak Teteh nengok Mama," kata Bi Opi.
"lya, gak bisa, Bi."
"Ya, sudah, kalau gitu," jawab Bi Opi. Terdengar kecewa.
Setelah Yadit dan Bi Opi pergi, saya kira tidak perlu membahasnya lagi. Saya hanya merasa seperti sedang menghirup udara segar dan tertawa bersama Dilan.
Sekitar pukul setengah tujuh, setelah selesai shalat Maghrib, saya mendengar suara telepon berdering dan itu dari Bono. Dia marah marah dan menuduh saya sudah menyebarkan peristiwa yang terjadi di kantin. Cara bicaranya seperti orang mabuk.
"Siapa yang nyebarin?" tanya saya.
Kemudian, dengan tiba-tiba dia menjadi sangat marah. Napasnya terdengar tidak teratur, "Ah! Sia teu ngahargaan aing (Ah! Kamu gak ngehargain saya)!" katanya.
"Ya, udah. Cika minta maaf, Cika ngaku salah."
"Pokona, isukan ditun99uan ku aing di warung Uja! Awas mun teu datang (Pokoknya, besok saya tunggu di warung Uja! Awas kale gak datang)."
"Mau apa?"
"Bereskeun, anjingf'
"Eh? Jangan kasar, dong!" kata saya, balas membentak.
"Ah, sia anjingf'
"Ya, udah, besok kita ketemu!" kata saya menutup pembicaraan dengan sedikit membanting telepon.
Saya berjalan kembali ke ruang tamu. Dilan melihat dengan serius dan bertanya ada apa. Tentu saja, dia bisa mendengar semuanya.
"Gak apa-apa," jawab saya mendesah dengan nada yang dalam.
Sementara jantung saya berdetak sampai ke ujung hidung. "Kok, dia marah-marah?" tanya Dilan.
Saya menjawabnya dengan mengangkat bahu sambil mulai duduk di sofa.
"lni, minum dulu," kata Dilan.
Saya meraih cangkir yang Dilan sodorkan, kemudian meminumnya.
"Kenapa?" Dilan bertanya dengan nada terdengar sangat ingin tahu tentang apa yang terjadi.
Pada awalnya saya bingung. Saya merasa belum siap untuk mengatakannya, tetapi kemudian saya merasa tidak enak pada Dilan, karena tidak bersikap terbuka seperti seharusnya. Akhirnya, dengan terpaksa, saya menceritakan semuanya. Saya sama sekali tidak bermaksud untuk mengadu.
"Gak apa-apa, kok. Udah beres," kata saya kemudian. "Siapa namanya tadi?" tanya Dilan.
"Bono."
"Emang, dia bilang apa tadi?" "Siapa?" tanya saya.
"Bono."
"Oh, itu. Dia minta ketemu. Gak tau mau ngapain. Males, ah." "Jam berapa bertemu?"
"Katanya sepulang sekolah. Gak tau. Mau nyelesein masalah, katanya. Gimana nanti, deh. Ya, udahlah. Gak usah dipikirin. Males."
-- Next Chapter--
Bab 10
Besoknya, hari Selasa, sepulang dari sekolah, saya berkumpul dengan lndri, Fuad, dan ldham di kelas. Kami mencoba dengan tenang mendiskusikan berbagai hal, sebelum benar-benar akan menemui si Bono di warung Mang Uja.
Setengah jam kemudian, kami datang ke warung Mang Uja. Ruangannya cukup besar, bisa menampung sekitar dua puluh orang, dengan meja kayu berlapis plastik di kedua sisinya.
Tapi, di sana hanya ada Apit dan Dedi. Keduanya adalah kawan kawan Bono dan satu sekolah juga dengan kami. Sedangkan orang yang dipanggil Mang Uja, saat itu sedang duduk terpaku di sudut ruangan. Wajahnya muram.
Apit dan Dedi menceritakan peristiwa yang terjadi di Warung Mang Uja sebelum kami datang. Katanya, mereka didatangi oleh sekitar sepuluh orang, yang datang menghambur masuk ke warung Mang Uja. Semuanya memakai syal atau apa pun untuk menutupi sebagian wajahnya. Mereka bergerak cukup cepat.
Salah seorang dari mereka bilang bahwa mereka dari Organisasi Hitam yang telah ditunjuk komandan untuk memburu anjing gila. Kemudian, Dedi dan Apit disuruh keluar dari warung. Mang Uja dibawa masuk oleh seseorang ke ruangan di bagian belakang warung, yang selama ini biasa dijadikan tempat tidur Mang Uja.
Setelah itu, Dedi dan Apit tidak tahu apa yang terjadi, karena mereka hanya menunggu di luar. Tapi, sekitar sepuluh menit kemudian, Dedi dan Apit melihat Bono hanya mengenakan celana dalam keluar dari warung. Diikuti oleh mereka yang menyuruh Bono untuk pulang naik sepeda motor dalam keadaan seperti itu. Kemudian mereka pergi, setelah bilang, "Terima kasih kerja samanya!" kepada Dedi dan Apit.
Saya, lndri, Fuad, dan ldham hanya tercengang mendengar cerita Dedi dan Apit.
"Masalah apa, sih?" tanya saya kepada Dedi dan Apit. "Gak tau," jawab Apit. "Tanya aja ke Bono."
Besoknya, saya dipanggil kepala sekolah. Di sana sudah ada Apit, Dedi, dan dua orang polisi yang menggunakan jaket kulit cokelat tua.
Apit dan Dedi dipanggil sebagai saksi yang harus menjelaskan kepada polisi tentang apa yang terjadi di warung Mang Uja. Sedangkan saya dipanggil karena Bono meyakini bahwa ada kaitan antara kejadian di warung Mang Uja dengan peristiwa di kantin. Palisi menjelaskan kepada saya bahwa saya dapat memenuhi syarat untuk ditangkap.
Kemudian, polisi meminta saya menjawab beberapa pertanyaan untuk tujuan penyelidikan. Saya menjawab semuanya dengan jujur, meskipun saya tidak yakin mereka akan percaya.
ltu adalah pengalaman yang mengerikan. Saya tidak berpikir masalah saya dengan Bono akan berkembang jauh sampai melibatkan polisi. Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan. Saya merasa lelah dan memutuskan untuk mengunjungi Mama di rumah sakit dan tidak jadi pergi ke tempat bimbel.
Malamnya, sepulang dari menengok Mama, saya sedang berbaring di tempat tidur. Dilan datang. Saya berjalan keluar dari kamar dengan membawa beberapa buku catatan pelajaran dan menemui Dilan di ruang tamu.
Saya biasanya orang yang cukup ceria setiap duduk berdua dengan Dilan, tetapi tidak di malam itu. Dilan bertanya kenapa, saya menceritakan semuanya, tentang apa yang dialami oleh Bono di warung Mang Uja.
Saya bilang, Bono mengada-ada, dengan mengatakan kepada polisi bahwa saya dalang di balik apa yang dialami oleh Bono. Saya tidak habis mengerti bagaimana Bono bisa menuduh saya seperti itu. Saya sudah mencoba membantahnya, tapi polisi terus berbicara tentang hukuman penjara yang akan saya hadapi. Saya seperti merasa harus menanggung sebuah kejahatan yang tidak saya lakukan. Saya benar-benar sedih dan frustrasi, dan saya tidak tahu
lagi apa yang harus saya lakukan.
Terkadang, hanya itu yang bisa saya pikirkan. Semuanya benar benar sangat mengganggu, menambah beban pikiran, pada saat saya juga harus tenang karena akan menghadapi beberapa ulangan selama seminggu ini.
Tidak ada hal menyenangkan yang saya katakan kepada Dilan. Saya bilang bahwa saya benar-benar ingin polisi bisa segera menangkap pelaku sebenarnya, sehingga saya bisa bebas dari semua tuduhan.
Dilan begitu diam, saya tidak tahu apa yang ada di kepalanya. Dia biasanya banyak bicara. Saya tidak tahu kenapa, sampai akhirnya dia bicara dan mengaku bahwa dialah pelakunya.
Dialah komandan yang dimaksud oleh orang-orang yang mendatangi Bono di warung Mang Uja itu. Dan katanya, dia hanya bermaksud ingin "mendidik" Bono.
Seketika itu juga saya terkejut. Mata saya seperti hampir keluar dari kepala. Ternyata, Dilanlah penyebab semuanya. Saya benci dia melakukan itu. Saya tidak tahu apakah dia benar-benar bodoh atau apa.
Dilan meminta maaf dan memberitahu saya bahwa dia menyadari kesalahannya. Saya bangkit, berjalan meninggalkan Dilan di ruang tamu dan masuk ke kamar, mengunci pintu.
Maafkan saya soal ini, tapi apa yang dilakukan oleh Dilan benar benar sikap reaktif berlebihan yang tidak memikirkan akibatnya. ltu adalah arogansi dengan hasil yang paling buruk!
Jangan salah paham, saya pikir tidak apa-apa menjadi jagoan, tetapi harus ada batasan, dan saya tidak ingin bersama seseorang yang melanggar hukum, kemudian berakhir di penjara.
Saya mengatakan kepada lndri bahwa saya mengerti, tindakannya telah menunjukkan bahwa keselamatan saya penting baginya. Dia ingin melindungi saya, seperti yang Dilan katakan. Tapi, saya tidak bisa menerima caranya.
Apa yang Dilan lakukan kepada Bono, sudah jelas sangat salah. Dilan sudah melakukan tindakan berlebihan yang memperburuk keadaan. Dilan telah membuat masalah yang jauh lebih besar daripada yang sebenarnya.
Saya tidak peduli seberapa berani Dilan atau seberapa jagoan dirinya. Bagi saya, seharusnya keberanian itu tidak datang dari kemampuannya untuk mengalahkan orang lain.
Saya benar-benar merasa ngeri memikirkan konsekuensinya, karena Bono sudah melapor kepada polisi. Dilan tidak bisa lolos begitu saja. Dilan pasti akan diseret ke penyelidikan kriminal dan mungkin akan masuk penjara, dengan tuduhan melakukan tindakan persekusi atau semacamnya.
Saya tidak bisa membayangkan betapa mengerikannya hal itu. Saya juga mungkin akan ditangkap, dengan tuduhan melakukan persekongkolan dengan Dilan, karena saya kira cukup kuat untuk saya dianggap terlibat.
Saya tidak tahu harus berbuat apa lagi. Saya tidak begitu yakin apa yang harus saya lakukan. Saya benar-benar putus asa dan itu sangat membuat saya stres.
Besoknya, saya bertemu dengan Mang Anwar dan saya bilang bahwa Dilan terlalu tidak dewasa bagi saya. Tapi pada kenyataannya, Mang Anwar menilai sayalah yang belum dewasa.
"Dilan akan serbasalah. Dilan gak mungkin ngebiarin Teteh diapa apain orang."
"lya, ngerti. Tapi bodoh!"
Hari Jumat, saya mendengar Dilan menyerahkan diri kepada polisi. Mang Anwar mencoba membuat saya tenang dengan bilang Dilan sudah biasa berurusan dengan polisi. Bersantailah dan percaya bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan baik, katanya. Tapi, tetap saja saya cemas.
"Jangan bilang ke Mama!" cegah saya. "lya."
"Ke Papa juga!"
Sepulang dari sekolah, saya memutuskan untuk pergi ke kantor polisi diantar oleh lndri dan Santika, tetapi kami tidak bertemu dengan Dilan di sana. Saya tidak tahu mengapa atau apa yang terjadi.
Saya mengamati ruangan dan bertemu dengan Pak Wawan yang mengenakan t-shirt hitam. Dia adalah salah satu polisi yang sedang piket saat itu. Perilakunya sangat simpatik, bersikap sopan dan melayani, sebagai sesuatu yang dianggap wajib oleh polisi.
"lni dengan siapanya Dilan, ya?" tanya Pak Wawan, mulai duduk di kursinya, setelah mempersilakan kami duduk di kursi yang berhadapan langsung dengannya.
"Adiknya," jawab saya kemudian dengan agak ragu-ragu. lndri dan Santika saling memandang dengan heran.
Saya tidak suka berbohong, tapi sebagai perempuan yang saat itu datang mengenakan seragam SMA, saya bingung menjawabnya. Saya tidak bisa memikirkan apa pun untuk langsung menjawabnya. Saya hanya mencoba untuk terlihat masuk akal dengan jawaban itu, dan yang lebih penting adalah tidak merugikan Pak Wawan.
"Oh. lni Disa?" tanya Pak Wawan, setelah mengernyitkan dahinya.
Dan saya bingung karena saya tidak tahu siapa Disa. "Bukan, Pak."
Senyum Pak Wawan mulai berubah menjadi tawa langsung. "Disa siapa, Pak?" tanya saya.
"Adiknya Dilan." "Oh."
"Ya, sudah," gumamnya. "Mau minum dulu?" katanya tersenyum lebar.
"Gak usah, Pak. Makasih."
Kemudian, Pak Wawan bilang bahwa apa yang dilakukan oleh Dilan merupakan pelanggaran hukum. Sangat mungkin untuk Dilan, atau siapa pun, yang melakukan tindakan persekusi akan dipidana dengan ganjaran penjara.
"lya, Pak," jawab saya gelisah.
Tapi, hari itu saya mendengar langsung dari Pak Wawan bahwa Dilan dibebaskan, oleh karena adanya itikad perdamaian dari si pelapor dengan mencabut pengaduannya.
Palisi sudah melakukan gelar perkara untuk menghentikan kasus itu. Gelar perkara disetujui oleh para penyidik, kemudian polisi mengeluarkan surat perintah penghentian penyelidikan yang diberikan kepada pelapor dan terlapor. ltu adalah pernyataan hukum yang sangat mendasar yang baru saya ketahui.
Begitulah yang terjadi. Saya menghela napas lega. Pada saat semuanya selesai, mungkin jam tiga sore, kami pulang.
Semoga Dilan bisa mengambil pelajaran dari apa yang sudah terjadi. ltu harus menjadi akhir dari petualangannya sebagai anak berandalan. Apa yang sudah dilakukannya bukan cerminan sejati dari karakter Dilan yang pada dasarnya adalah orang baik dan murah hati.
Saya paham dia masih muda, tapi Dilan harus tahu dia sudah kuliah. Seharusnya hal-hal menjadi berbeda dengan saat dia masih SMA. Tapi, sepertinya Dilan masih memiliki mentalitas anak geng motor di dalam beberapa hal. Dia masih terjebak di masa lalunya.
Sesampainya di rumah, saya mendapati Mama sudah ada di kamarnya. Dia terlihat masih lesu. Saya menghampiri ke tempat tidurnya, kemudian mencium keningnya.
-- Next Chapter--
Bab 11
Akhirnya, seluruh situasi menjadi baik kembali setelah urusan
dengan polisi selesai. Saya merasa lega. Kecemasan itu sudah hilang. Tetapi sejak itu, Dilan tidak pernah datang lagi ke rumah.
Saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hal pertama yang saya pikirkan adalah saya khawatir Dilan tidak bisa menerimanya dengan baik karena sudah saya marahi.
Saya benar-benar tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Sejujurnya, saya ingin meminta maaf. Saya sangat menyesal bahwa saya berada di dalam situasi di mana saya mengalami tingkat kemarahan yang tidak dapat saya tahan. Sebetulnya saya tidak ingin menjadi seperti itu, tetapi begitulah adanya.
Saya membiarkan beberapa hari berlalu dan Dilan benar-benar tidak pernah muncul lagi. Terasa ada yang hilang. ltu seperti saya merasa sudah terbiasa duduk berdua dengannya di ruang tamu, dan otak saya menolak melepaskannya.
Kehilangan seseorang adalah hal normal. ltu adalah hal yang paling umum di dalam suatu hubungan apa pun. Saya merasa sangat sedih.
Meskipun begitu, saya tidak mau menjadi gadis gila yang membutuhkannya. Saya merasa masih bisa melanjutkan hidup tanpa Dilan meskipun saya tidak bisa berbohong bahwa Dilan akan terus ada di dalam ingatan saya, terutama tentang pengalaman yang saya alami dengannya selama ini.
Saya sama sekali tidak membantah bahwa saya menyebalkan, tapi saya berharap Dilan mau memaafkan saya, kata saya kepada lndri.
"Udah menghubungi Dilan?" tanya lndri.
Saya bilang, mungkin Dilan sudah membenci saya karena peristiwa itu. Dan saya menjadi merasa tidak nyaman untuk menghubunginya.
Saya tahu komunikasi adalah kunci di dalam hubungan apa pun, tetapi rasanya sangat canggung dan menakutkan kalau memikirkan saya harus menelepon Dilan pada saat kami ada masalah.
"Kalau pamanmu itu?" tanya lndri. "Maksudnya?"
"Kamu, kan, bisa curhat ke pamanmu, nanti pamanmu yang nyampein ke Dilan."
Saya benar-benar belum ingin berbicara dengan Mang Anwar, atau siapa pun selain lndri. Saya merasa sangat tidak nyaman tentang semuanya.
"Lagi pula, paman sayanya lagi KKN," kata saya. "Ah, susah, deh!" kata lndri.
Hari-hari berlalu, malam itu, Papa pulang membawa ayam goreng
Wendy's. Saya menikmatinya di meja makan bersama Beni, Mama, Papa, dan Bi Yati sambil bercakap-cakap, termasuk membahas Mang Anwar yang saat itu baru dua hari mulai KKN di daerah Ciwidey.
Sepertinya saya ingat, itu dimulai pada pukul tujuh, dan Mama bertanya tentang Dilan kepada saya, "Dilan, kok, gak pernah ke rumah lagi?"
"Sibuk kayaknya," jawab saya.
"lbunya Yadit katanya mau ke rumah," kata Mama beberapa menit kemudian, entah kepada siapa.
"Kapan?" tanya Papa dengan mulut mengunyah ayam goreng. "Kata Opi, tadi sore nelepon. Katanya, sih, malam ini ...."
Pada waktu bersamaan, saya mendengar telepon berdering, dan itu dari lndri. Saya bisa mendengar napasnya yang berat. Dia memang sedang sakit dan itulah sebabnya dia tidak bisa pergi ke sekolah.
"Tadi Dudi nelepon," katanya. Dia mengatakan itu dengan bangga.
Saya tersenyum dan bilang bahwa sakitnya itu adalah trik yang sengaja dia buat! Dia menggeram, lalu katanya, itulah sakit anugerah.
"Ha ha ha."
"Rindu kamu," kata lndri. "Kapan sekolah?" tanya saya. "Masih belum pulih, nih." "Sampai ditengok Dudi?"
lndri ketawa, "Denger-denger, katanya Nyanya cemburu ke kamu."
"Hah?"
"Kayaknya ... ini mah dugaan saya aja, ya. Mungkin, ... kayaknya, ... ada kabar nyampe ke dia, kalau kamu tuh, berantem sama Bono, karena Bono cemburu lihat kamu deket sama Dudi. Nah, jadinya, malah Nyanya sekarang yang curiga ke kamu, ada apa kamu deket sama Dudi. Apalagi kamu, kan, bilang ke Bono, mau nonton berdua sama Dudi. Nyebar, deh."
"Waduh!"
"Udah deh, biarin," kata lndri, "Biar aja dia cemburu ke kamu, yang penting Dudi-nya sama aku! Buat kamuflasef'
"Ha ha ha!"
Setelah itu, saya hanya berbaring di tempat tidur sambil membaca novel Lima Sekawan. Tiba-tiba, saya mendengar ada ketukan di pintu. Saya bergegas membuka pintu dan melihat Bi Opi sudah berdiri.
"Ada keluarganya Yadit," katanya berbisik. "Oh?"
"Temui dulu, Teh ...."
Setelah Bi Opi kembali ke ruang tamu, saya hanya menghela napas. Saya merasa seperti saya terlalu malas untuk menemui mereka, tapi pada saat yang sama, saya merasa perlu menunjukkan sikap ramah sebagai bentuk kesopanan untuk memenuhi hak mereka sebagai tamu.
Ketika saya datang, semua orang di ruang tamu menatap ke arah saya. Saya melihat Yadit duduk di sofa yang panjang, di samping seorang wanita tua agak gemuk, berkacamata besar. ltu adalah ibunya Yadit, yang pernah saya lihat di acara tunangan Teh Risa.
lbunya Yadit mengenakan pakaian kebaya dengan corak cerah dan motif bunga. Rambutnya ditarik lurus ke belakang dan diakhiri dengan sanggul yang besar dan kuat. Saya juga bisa melihat dengan jelas betapa berat alisnya, tetapi saya mengerti bahwa mungkin itulah seleranya.
Saya melihat Mama duduk dengan gaun longgar di sofa single
seater di sebelah kanan Yadit, yang menghadap ke arah pintu rumah. Sementara Bi Opi, duduk di sofa single seater dekat pintu, menghadap ke arah Mama.
"lni Ancika, Bun," kata Yadit dengan antusias seraya memandang ibunya.
"Oh, ini ... ," kata ibunya Yadit. Dia menatap dengan rasa ingin tahu yang tidak bisa disembunyikan.
Saya membungkuk sedikit untuk bersalaman dengan ibunya Yadit yang tetap duduk di kursinya.
"Emang belum ketemu di tunangan Risa?" tanya Bi Opi. "Belum," jawab ibunya Yadit. "lni Ancika, tuh?"
"lya, Bu," jawab saya, lalu duduk di sofa yang menghadap ke arah ibunya Yadit.
"Jangan manggil ibu, ah," kata ibunya Yadit.
"Orang-orang semua manggilnya Bunda," kata Bi Opi kepada saya, melanjutkan kata-kata ibunya Yadit.
"Oh ...."
"Bunda aja, ya, biar gak kagok," kata ibunya Yadit lagi, seraya berpaling ke orang-orang.
"Ya, Bunda, dong," kata Bi Opi dengan penuh emosi. "Mudah mudahan bisa jadi mertua, ha ha ha."
"Malam Minggu gak ke mana-mana?" tanya Yadit kepada saya. "Di rumah aja," jawab saya.
Setelah itu, banyak topik yang dibahas oleh mereka, termasuk hal-hal yang tidak seharusnya mereka katakan kepada orang lain, seolah-olah mereka tidak bisa menahan diri untuk tidak mengatakannya.
Katanya, mereka pernah makan lobster bersama Gubernur Jawa Barat di Pangandaran. Katanya, mereka sangat dekat dengan para pejabat dan beberapa artis ibu kota. Katanya, mereka pernah diundang ke acara panen besar kedelai di daerah Subang, yang dihadiri oleh Presiden Soeharto.
"lya, saya lihat di TV," Bi Opi bersuara.
"Bulan Oktober, ya?" tanya ibunya Yadit sambil menoleh ke arah Yadit.
"Oktober," jawab Yadit.
Ketika saya mendengar nama Pak Harto, saya mendapat gagasan bahwa akan sangat baik jika saya berpura-pura tidak tahu siapa itu Pak Harto. Saya rasa, saya hanya ingin orang-orang mulai menilai bahwa betapa bodohnya saya ini.
"Pak Harto, siapa?" tanya saya, entah kepada siapa. lbunya Yadit tampak terkejut!
"Ya Rabbi. Pak Harto gak kenal?" tanya lbunya Yadit, seperti tidak percaya bahwa saya benar-benar tidak tahu Pak Harto.
"Presiden Indonesia. Masa gak kenal?"
"Oooh. Soeharto. Kenai kalau itu mah," jawab saya.
Saya tidak merasa sedang melawak, tapi semua orang tertawa.
Saya hanya tahu saya benar-benar ingin mengacau saja.
"Kalau Indonesia mampu memenuhi sendiri kebutuhan kedelainya
... " kata Yadit, setelah suara tawa mereda. "Jelasin, Kak," kata ibunya Yadit kepada Yadit.
"lya, ini mau," jawab Yadit, sambil mulai mencondongkan dirinya ke depan dan menatap saya sebentar.
"Kalau Indonesia mampu memenuhi sendiri kebutuhan kedelainya
... petani bisa kebagian pendapatan lebih. Di samping itu ... pemerintah bisa menghemat devisa ... bahkan juga mendukung agroindustri ... dengan mengandalkan pada produksi dalam negeri. Asal tau aja, kedelai itu komoditas pangan yang paling strategis."
Saya melihat Yadit seperti telah memberikan kesan bahwa dia memiliki pengetahuan yang luas tentang kedelai.
Papa datang tidak lama kemudian, dan bergabung dengan kami untuk menjadi mitra percakapan yang baik dan sesuai.
"Di sini, Pa," kata saya sambil berdiri, mempersilakan Papa untuk duduk di sofa tempat saya duduk.
"Teteh di sini," kata Bi Opi sambil sedikit bangkit dari kursinya, menawari saya kursi dengan campuran keramahan dan kesopanan.
"Teteh mau ke kamar dulu," jawab saya, kemudian berlalu setelah izin kepada mereka.
Sesampainya di kamar, tidak ada yang lain selain keheningan. Saya menekan tombol radio sampai menemukan lagu Nothing Else Matters yang dibawakan oleh Metallica.
Saya seperti kelelahan dan tidak memiliki energi untuk melakukan apa pun, dan kemudian tertidur. Ketika saya terbangun, Yadit dan ibunya sudah pulang. Kata Mama, mereka mau pamit, tapi tidak ingin mengganggu saya.
Kemudian, Mama menyampaikan maksud dari kedatangan ibunya Yadit. Katanya, Yadit mau melamar saya. Mama berusaha membuat mereka mengerti bahwa saya masih sekolah. Tapi kata mereka, itu tidak penting, mereka bisa menunggu sampai studi saya selesai. Sangat mengerikan, tapi kami berdua tertawa. ltu gila. Saya tidak mau.
Saya benar-benar bingung, hal apa yang ada pada diri saya sehingga bisa memikat atau menggerakkan Yadit tiba-tiba secara tidak terduga jatuh cinta dengan saya lalu ingin menikah, saya tidak tahu.
Melalui telepon, meskipun sedang sakit, lndri tertawa mendengar cerita saya tentang Yadit dan menganjurkan saya untuk ikut kursus Siti Nurbaya.
"Apa itu?"
"Kali aja ada pelatihan untuk wanita-wanita yang dijodohkan," jawab lndri tertawa lagi, saya juga ikut tertawa.
"Besok masih gak sekolah, ya?"
"Enggak kayaknya, masih sakit," jawab lndri.
Besoknya, di hari Jumat, setelah selesai melaksanakan SKJ atau
Senam Kesegaran Jasmani, Bono menemui saya di depan kelas. Pikiran pertama saya adalah tentang hal buruk yang akan dia lakukan, tapi yang kemudian terjadi, sungguh di luar dugaan. Bono meminta maaf!
Saya tidak percaya Bono benar-benar melakukannya. Dia mengatakan merasa sangat menyesal bahwa selama ini dia selalu mengganggu saya dengan banyak hal yang dia lakukan.
Terus terang, itu adalah pertama kalinya saya melihat Bono bicara cukup sopan. Suaranya halus seperti datang dari dalam lubuk hatinya. Saya melihat hal yang berbeda darinya hari itu, seperti bukan Bono.
Kemudian, dia juga mengatakan hal-hal seperti bahwa Dilan adalah senior Bono di geng motornya. Dilan adalah panutan baginya. "Aslinya, Bono baru tau kalau kamu pacar Dilan," katanya dengan wajah serius. "Bono jadi gak enak suka mengganggu Cika."
Saya mencoba menahan tawa kemudian menyangkalnya, karena kenyataannya tidak seperti yang dia pikirkan. "Saya gak pacaran sama Dilan."
Tapi, Bono tidak percaya, "Udah, ah, jangan bohong." "Ya, udah, kalau gak percaya mah!"
Siangnya, setelah bubar sekolah, saya sedang berdiri bersama yang lain di pinggir jalan untuk pulang naik angkot. Tapi pada jam pulang sekolah seperti itu, angkot selalu penuh sesak. Saya bahkan melihat ada beberapa pelajar yang nekat bergelantungan di pintu angkot seperti Tarzan. Kondisi tersebut adalah hal biasa di masa saya.
Setiap ada angkot kosong berhenti, orang-orang saling berebut untuk masuk, berusaha saling mendahului. ltu selalu terjadi. Ada banyak siswa yang harus sering menghadapi kenyataan seperti itu.
Saya sendiri merasa enggan untuk melakukan hal sama seperti yang mereka lakukan. Saya lebih memilih untuk mengalah sampai jumlah calon penumpang berkurang, meskipun harus telat pulang ke rumah.
Sesaat kemudian, saya didatangi oleh dua pria berseragam sekolah yang keluar dari warung Mang Uja. Mereka mengatakan kepada saya bahwa mereka akan membantu saya untuk mendapatkan angkot.
"Gak usah," jawab saya sopan. Sebetulnya, saya hanya tidak tahu harus apa.
Beberapa menit kemudian, sekonyong-konyong, ada mobil angkot kosong yang memutar balik arah dan berhenti satu meter jauhnya dari saya. Saya melihat orang-orang mulai berlarian ke arah angkot, semuanya saling bergegas.
Kedua orang yang bersama saya tadi, langsung lari dan berdiri di depan pintu angkot, "Teh, hayu, Teh!" kata salah satu dari mereka, berteriak sambil menghalangi beberapa calon penumpang lain yang mencoba memaksa untuk masuk.
Berkat kedua orang itu, akhirnya saya bisa mendapat angkot. Saya duduk sambil membiarkan diri saya merasakan sesuatu yang tidak pernah saya alami sebelumnya. ltu nyata. Saya berterima kasih kepada mereka, meskipun sebetulnya saya tidak terlalu buru-buru untuk pulang.
Sebelum angkot akan melaju, salah satu dari kedua orang itu melongok di ambang pintu angkot, dan mengatakan kepada saya, "Salam ke Dilan!" dengan suara agak keras. Saya tersenyum dan mengangguk untuknya.
Di perjalanan, saya berpikir tentang apa yang terjadi. Saya merasa seolah-olah semua hal telah berubah. Bono berubah di dalam memandang saya, kawan-kawannya juga berubah. Dan saya tahu sulit untuk benar-benar percaya jika orang bisa berubah, tapi seperti itulah faktanya. Tidak pernah terpikirkan oleh saya, Dilan memiliki pengaruh yang begitu besar sehingga dia bisa mengubah situasi menjadi kebalikannya. Tapi, sekarang Dilan sudah berada di dunia yang jauh, jauuuh sekali, tidak dapat dijangkau, dan misterius di sana. Sejujurnya saya merasa dilupakan.
Di kamar mandi, saya berdiri di depan cermin wastafel, saya melihat air mata menyengat di mata saya. Saya memaksakan diri tersenyum, tapi tidak mengubah kemuraman di wajah saya. Lalu membungkuk, mencuci muka. Sementara di luar, angin menggoyang pepohonan di antara suara hujan.
Di tempat bimbel, lksan bertanya tentang Dilan, saya hanya menjawabnya dengan mengatakan bahwa Dilan sibuk, saya sudah tidak pernah lagi belajar bersamanya. Saya tidak ingat persis apa lagi yang dia katakan. Percakapan yang terdiri dari pertanyaan memang biasanya membosankan.
Hari itu, saya mengalami hari yang melelahkan. Malamnya, Yadit menelepon. Dia mengatakan ingin meneruskan studinya ke Amerika tapi bingung, katanya, karena tidak bisa meninggalkan perusahaan. Dia meminta pendapat saya, dan saya hanya menjawab bahwa saya tidak mengerti apa-apa karena masih SMA.
Yadit juga mengundang saya ke acara hari ulang tahunnya yang akan dia rayakan seminggu yang akan datang, di salah satu anjungan yang ada di Taman Mini Indonesia lndah. Tentu saja, saya menjawab tidak bisa. Bukan karena jauh, tapi karena tidak mau.
Yadit kecewa, tetapi kemudian mulai membahas tentang ajakan dia untuk bertunangan dengan saya.
"Kang, saya gak mau membahasnya," jawab saya, bahkan sebelum dia menyelesaikan kalimatnya.
"Oke."
Saya merasa bahwa tidak enak berbicara dengannya dan yang paling membuat saya bosan adalah dia terus-menerus berbicara tentang perusahaan dan mobil barunya seolah-olah dia merasa saya benar-benar ingin mengetahuinya. Kenapa dia sebenarnya dan apa yang membuatnya menjadi seperti itu? Ternyata benar, kekayaan tidak membuat manusia menjadi berbudi luhur.
lndri juga menelepon. Dia berbeda. Dia langsung membuat suasana hati saya berubah menjadi ceria. Katanya, dia masih sakit dan belum bisa pergi ke sekolah. Semoga cepat sembuh. Kemudian, saya menceritakan tentang momen luar biasa yang saya alami tadi siang. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana mengucapkannya, rasanya seperti saya termakan oleh perasaan. Tapi setelah saya bisa mengatakannya, lndri tahu apa yang saya maksud!
Setelah menutup gagang telepon, saya bangun dari sofa, meregangkan tubuh sedikit sambil menguap dan berjalan ke kamar, menggosok gigi, dan memakai pakaian yang lebih nyaman untuk tidur.
Besoknya, pagi-pagi sekali, Santika memberi kabar bahwa Nyanya ingin bertemu dengan saya di depan salah satu warung kecil yang tidak jauh dari warung Mang Uja. Awalnya saya terkejut, tapi kemudian saya menjawab, "Oke." Barangkali memang ada hal penting yang harus dibahas dengan saya.
Jadi, setelah bubaran sekolah, saya sudah ada di sana, bertemu dengan Nyanya dan dua kawan sekelasnya, Rinji dan Dehna. Mereka mengenakan seragam yang sama, tapi sangat sulit untuk mengatakan bagaimana mereka berbeda di sekolah. Mereka seperti bintang film masuk desa dan merasa seolah-olah kamera selalu diarahkan kepada mereka setiap waktu. Mungkin saya bisa mengatakan mereka sebagai remaja menyebalkan yang gelisah. Tapi, sejujurnya saya tidak membenci mereka atau apa pun.
Saya berharap akan baik-baik saja dengan mereka, tapi jika tidak, malah akan lebih mudah untuk saya menggertak seseorang ketika mereka bersikap tidak manusiawi. Saya tidak gentar oleh gaya rambut mereka yang paling gila, atau oleh lengan seragam mereka yang dilinting.
"Ada apa, Nya?" Saya bertanya sambil mengunyah permen karet dan mulai duduk di depannya. Saya bersikap merasa seolah-olah kami sudah saling mengenal dengan baik. "Kita bikin singkat aja," katanya galak.
"Ya, singkat aja," jawab saya. "Lagian, saya sudah pengen pulang."
"Kamu ganggu pacarku, ya?!" Nyanya membentak.
Saya terkejut, kemudian mencoba membuat Nyanya kembali normal dengan mengatakan bahwa saya tidak seperti yang dia katakan. Tapi sepertinya, Nyanya tidak suka jawaban itu, lalu segera memaki saya, "Anjing!" dengan cara berteriak sampai memuncratkan air liur dari mulutnya. Gerakan dan wajahnya tidak menyenangkan untuk dilihat. Saya hanya tercengang dan menyadari satu-dua orang yang ada di sekitar warung mulai mengalihkan pandangan mereka ke arah kami.
Rinji dan Dehna langsung berdiri, mulai bertingkah aneh di samping saya. Saya tidak yakin apakah saya harus mengatasinya langsung atau membiarkannya, tunggu apa yang akan terjadi jika kedua cecunguk itu mencoba menyentuh saya, saya akan segera menghajarnya, seperti yang selalu saya lakukan kepada siapa pun yang berani mengusik saya.
Saya masih tetap mencoba meredakan situasi, "Eh? Kenapa Nyanya marah?" jawab saya dengan sikap hati-hati, karena tidak ingin membuatnya menjadi kesal, "Mari bicara baik-baik, Nya."
Saya pikir, Nyanya termasuk orang yang memiliki tipe kepribadian yang sangat stres, dan saya santai. Dia melotot, terlihat gemetar, seperti akan meledak, "lya, kamu anjing! Denger, gak?" Nyanya memaki saya lagi, sambil mulai berdiri seperti akan menyerang saya. Saya langsung yakin hal buruk akan segera terjadi. Tapi sebelum semuanya menjadi kacau, sekonyong-konyong datang Dudi dengan beberapa orang yang bersamanya. Jadi, saat itulah, Dudi dan rombongan mencoba mengatasi situasi dengan memisahkan Nyanya cs dari saya.
Sebagian dari mereka menyuruh Rinji dan Dehna untuk mundur. Sementara Dudi, mengendalikan Nyanya dengan cara menghalanginya. Keadaan berubah menjadi sangat memalukan untuk ditonton sekaligus mengganggu pemilik warung.
"Kamu pikir kamu lebih baik dari saya?" kata Nyanya menjulurkan kepalanya dari balik badan Dudi. Napasnya terengah-engah. ltu sebenarnya cukup lucu untuk dilihat. Seperti anak kecil.
"Udah! Udah!" kata Dudi menyuruh Nyanya diam.
"Anjing!" Nyanya memaki saya lagi. Hampir semua yang dilakukan oleh foto model lokal itu adalah memaki, membuat saya terbawa suasana, "Lebih baik jadi anjing daripada jadi kamu!" kata saya kemudian.
Nyanya menjadi tambah marah, seperti menjadi agak gila atau apa pun.
"Eh, anjing siah!" kata Nyanya.
"Udah, udah, Cik," jawab Fuad mencoba membawa saya untuk menjauh dari Nyanya.
Tidak lama dari itu, datang Bono. Dia berlari bersama kawan kawannya dari warung Mang Uja. Saya mengatakan kepada Bono bahwa saya tidak ingin membahasnya, kemudian saya berjalan pulang.
Besoknya, kepala sekolah dan wali kelas mencari tahu apa yang menyebabkan perkelahian. Saya menjelaskannya dengan jujur tanpa maksud ingin membela diri. Kemudian, sekolah menghukum secara berbeda berdasarkan siapa yang menjadi biang kerok di dalam situasi tersebut. Hal berikutnya yang saya tahu Nyanya, Rinji, dan Dehna diskors selama 5 hari. Saya tidak dihukum. Saya cukup yakin, itu adil.
Malamnya, saya mendapat telepon dari lndri dan dia bertanya tentang peristiwa yang saya alami dengan Nyanya.
"Tau dari siapa?" tanya saya.
"Dudi."
Saya kemudian mengatakan bahwa apa yang terjadi, persis yang diduga oleh lndri. Nyanya marah oleh informasi yang dia dengar dari Bono (ketika peristiwa di kantin) bahwa saya mengajak Dudi nonton film.
"ltu, kan, gak bener," kata saya.
"Yang benar adalah?" tanya lndri.
"Yang benar adalah?" Saya balik bertanya karena ingin tahu jawabannya.
"Dudi nelepon akuf'
"Ha ha ha!"
Seminggu kemudian di tempat bimbel, saya bertemu dengan Bagas. Dia mengajak saya pergi ke acara Pasar Seni 1TB. Katanya, itu adalah acara yang ditunggu banyak orang, diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Acara tersebut berlangsung hanya sehari di Kampus 1TB dan di sepanjang Jalan Ganesa.
"Kapan?"
"Besok," jawab Bagas. "Oh. Ya. Oke."
Di rumah, saat saya sedang makan semangka, saya mendapat telepon dari Bono, yang mengatakan bahwa Nyanya ingin minta maaf.
"Oh, gitu."
"Maafin Bono, Cik. Bono ngaku. Yang bilang ke Nyanya ... kalau kamu mau nonton sama Dudi, tuh, Bono. Itu, Cik, waktu kita ribut di kantin. Ah, gak nyangka Bono, bakal jadi gini."
"Gak apa-apa, No."
"Bono jadi merasa bersalah. Bono siap tanggung jawab.Jadi, kemaren, tuh, Bono akhirnya nemuin Nyanya."
"Ngapain?"
"Bono bilang kalau Cika pacarnya Dilan."
"Terus?"
"Nyanya nanya siapa Dilan. Bono jelasin kalau Dilan, tuh, mantan panglima tempur. Senior Bono. Pasti Nyanya akan diapa-apain. Nyanya nangis, deh."
"Kok, nangis?" "Takut, katanya." "Ya, udah."
"Maaf ya, Cik?"
"lya," kata saya, "Kalau ketemu Dilan, salam."
"Ngaco kamu mahf' jawab Bono, "Kan, dia seringnya sama kamu."
"Aku serius!"
"Lieur, ah, kamu (Ngaco, ah, kamu) mah!" jawab Bono. "Dasar pacar Dilan!"
"Aku bilangin ke Dilan."
"Eh,jangan atuhf'
Besoknya, 26 November 1995, saya pergi ke Pasar Seni 1TB bersama Bagas, lpul, lksan, dan Ade. Sebetulnya, saya sudah mengajak lndri untuk ikut, tapi dia tidak bisa karena harus menjaga toke.
Sesampainya di lokasi Pasar Seni, saya melihat banyak orang dengan kegembiraan pada waktunya. Kami berjalan di antara banyak stan yang menjual karya seni dan dijual dengan harga yang cukup murah. Ada banyak hal aneh dan khas yang bisa dinikmati. Di sana juga, ditampilkan beberapa seni pertunjukan yang mengangkat kembali kesenian tradisional.
Panitia pasar seni, saat itu menghadirkan karya pelukis A. Sadali, Mochtar Apin, G. Sidharta, AD Pirous, Rita Widagdo, Umi Dachlan, Rianto S., dan para maestro seni rupa lainnya, di antara karya-karya mahasiswa dan alumni Seni Rupa 1TB.
Di antara lautan manusia itu, saya meyakini pasti ada Dilan, karena dia adalah mahasiswa 1TB, tapi saya tidak melihatnya, meskipun mata saya sudah menjelajahi hampir semua sudut kerumunan.
Jujur saja, saat itu, saya berharap bisa bertemu dengan Dilan. Saya seperti memikirkan skenario acak di mana saya pada akhirnya akan bertemu dengan Dilan. Dan berpikir mungkin dia sedang bersembunyi dengan baik, kemudian dia akan muncul di belakang saya untuk memberi kejutan. Nyatanya tidak seperti itu, sampai kami pulang.
Malam harinya, saya tidur cukup nyenyak tanpa alasan yang jelas, hanya saja sepulang dari acara Pasar Seni, saya merasa kelelahan. Saya bangun di pagi hari dan merasakan seluruh tubuh saya berkeringat dan kedinginan disertai wajah yang mulai terasa panas. Saya juga merasa demam ringan, batuk yang mengganggu dan sakit kepala yang berdenyut. Saya memutuskan untuk tidak pergi ke sekolah.
Seharian itu, saya hanya makan sesuatu yang kecil seperti biskuit atau roti panggang dan minum air hangat. Mama merasa khawatir.
"Gak apa-apa," kata saya mendesah. Mama kemudian membuat sup untuk saya.
"Sampai kapan Mang Anwar KKN?" tanya saya kepada Mama. "Sebulan, atau berapa, dia bilang ...."
"Oh ...."
Dua hari kemudian, ternyata saya masih hidup dan mulai merasa lebih baik, tetapi saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan.
Nyanya menelepon, dia benar-benar minta maaf. Saya bilang, tidak usah dipikirkan. Apa yang terjadi, sudahlah biar. Semuanya benar-benar di luar keinginan.
Pada kesempatan itu, Nyanya juga bilang bahwa dia sudah balikan lagi dengan Dudi.
Saya terkejut, "Oh, gitu?"
Sejujurnya, saya tidak tahu harus berkata apa tentang itu. Dengan kata lain, apa yang Nyanya katakan itu tidak penting. Saya pikir saya cenderung tidak setuju Nyanya balikan dengan Dudi, Karena saya adalah pendukung garis keras lndri Artatih!
Malam itu, Mama dan Papa belum pulang dari Sumedang. Beni sepertinya sudah ada di kamarnya. Saya di kamar dan menyadari betapa sendiriannya saya, duduk di kursi meja belajar bersama derai hujan deras di jendela. Bukan hujan biasa, tapi benar-benar mengguyur.
Saya menyandarkan diri di kursi meja belajar, dan memikirkan apa pun, termasuk menyadari bahwa hubungan saya dengan Dilan benar-benar sudah selesai. Dan yang pasti, bagian lain dari diri saya merasa sangat sedih. Begitulah rasanya.
Saya membiarkan ingatan saya pada detail yang sangat kecil yang pernah saya alami bersama Dilan melalui apa pun yang terjadi.
ltu seperti saya sedang mengembara ke sudut-sudut pikiran saya. Dan, Kamu akan mengolok-olok saya sekarang.
Saya pikir itu aneh tetapi saya tidak tahu apa yang sedang terjadi. Satu hal yang pasti adalah, menurut saya sia-sia saja, melupakan hal-hal tertentu yang begitu berarti bagi saya. Saya tidak pernah berpikir saya akan mengalami sesuatu yang seperti itu.
Setelah duduk diam selama lima menit, saya membuka laci meja belajar, dan mengaduk banyak hal yang ada di dalam tumpukan kertas. Saya mendapat surat yang dulu pernah Dilan kirim untuk saya pada saat masih sering bersama.
Bissmillahirrahmanirrahim
Jangan dulu melangkah terlalujauh. Insya Allah, Cika akan diangkatjadi gubernur koloni yang menjaga kontak langsung dengan pemerintah Belanda di Den Haag, sepertiyang ditentukan oleh Perjanjian Versailles. Merekayang tidak setuju akan berhadapan dengan saya langsung.
Bandung, 1995
Dilan, HambaAllah
Tulisannya seperti puisi, tapi terasa lebih dalam. Seperti kata-kata pribadi dengan segala sesuatu yang menyenangkan yang terjadi di masa-masa itu.
Kemudian, saya mengambil sebuah buku kotretan yang terlihat di dalam laci. Di beberapa bagian halamannya ada banyak puisi Dilan yang membahas tentang kebersamaan dia dengan saya. Sebagian besar berbicara tentang saya. Saya bisa mengatakan puisi-puisinya itu adalah pernyataan diam-diam bahwa semuanya adalah pemikiran pribadinya.
Ruang Tamu
Ruang tamu adalah milikmu, tapi seperti milikku. Tidak ada peluang yang disediakan oleh pemerintah untuk mengatur di bidang perasaan, kecuali laporan cuaca. Dan aku akan duduk menunggu sedemikian rupa sehingga pada pukul delapan, aku mulai merasa tidak bisa tinggal sendirian di sana. Harus ada kamu. Suaramu sudah sangat familiar bagiku. Ketika aku senang, itu juga bagian dari dirimu.
Ancika
Dia terdaftar di kantor catatan sipil sebagai Ancika Mehrunisa Rabu. Orang-orang harus tahu yang satu ini, hadiah dari surga. Modern dan indah yang memberitahu aku lebih banyak hal daripada pelangi. Dan begitulah, cara aku menceritakannya kembali, di mana dia meletakkan segelas kopi untukku dengan menunjukkan sifat aslinya kepadaku, yaitu ketika segala macam hal menjadi menyenangkan. Menurutku sangat senang bertemu dengannya lagi setelah malam itu.
Cika
Cika! Apa? Cikaa! Apaa? Cikaaa? Apaaa? Cika! Apa? Cikaaaaaaa!
Apaaaaaaa? Cika, Cika! Apa? Apa? Cika ada? Ada apa?
Sungguh menakjubkan, betapa banyak kenangan yang dapat disimpan oleh lembaran-lembaran kertas itu. Saya hampir akan membuang semuanya, tapi belum saya lakukan.
Lamunan saya dibuyarkan oleh dering telepon. Sesaat saya menengok ke arah pintu dan berjalan untuk menerimanya. Dan itu telepon dari seorang perempuan yang mengatakan bahwa dirinya adalah pacar Dilan!
Oh!
Melalui saluran telepon, dia mengatakan bahwa dia sangat mencintai Dilan dan menilai saya sebagai ancaman bagi hubungan mereka. Oleh semua itu, dia meminta saya untuk jangan lagi selalu berdua dengan Dilan!
Saya kemudian menjelaskan kepadanya bahwa saya tidak ada hubungan apa-apa dengan Dilan, selain hanya sebagai teman.
Lagi pula tidak ada gunanya membahas itu, karena Dilan juga sudah tidak pernah datang lagi ke rumah.
"Hati-hati, Teh.Janganjadi korban berikutnya," katanya.
"Maksudnya?"
"Cowok tuh, Teh, biasanya sudah mau sebelum ceweknya mau."
"Saya gak ada hubungan apa-apa, Mbak."
"Pokoknya capek, Teh, jadi pacar Dilan. Udah berapa cewek dia pacarin, ujung-ujungnya dia tinggal. Saya gak mau Tetehjadi korban berikutnya."
"Terserah, Mbak, mau ngomong apa ... ,"
"Ya, udah, Teh. Saya cuma mau nyampein unek-unek saya aja, Teh. Tapi pesan saya, Teh,jangan sampai bilang ke Dilan, saya udah nelepon Teteh, ya. Soalnya kalau dia tau, saya pasti disiksa."
Saya seharusnya mengatakan sesuatu, tapi saya memilih diam.
"Dilan tuh, kasar, Teh. Ya, ke Teteh mungkin baik, karena ada maunya,"
katanya lagi. "Tapi, awal-awal aja dia baiknya." Saya masih diam.
"Teh?"
"Ya?"
"Ya, udah. Makasih. Mudah-mudahan Teteh bisa maklum kalau saya terpaksa jadi nelepon Teteh. Maaf, sudah men99an99u waktunya. Assalamu'alaikum."
Saya tutup telepon dan masuk kembali ke kamar. Saya benar benar terkejut dan menjadi merasa sangat tidak nyaman dengan hal itu. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan selain mematikan lampu dan naik ke tempat tidur. Terdengar derai hujan dan guntur di kejauhan.
Besoknya, saat saya bertemu dengan lndri di sekolah, saya mengatakan semua peristiwa yang saya alami.
"Oh, Dilan udah punya pacar?" tanya lndri, alisnya yang halus berkerut.
"ltu yang nelepon."
"Yang penting, kan, kamu enggak seperti yang dia tuduhkan."
Saya mengangguk. Angin di lingkungan sekolah sepoi-sepoi masuk lewat jendela kelas, membelai rambut saya.
"Gak usah dipikirin," jawab lndri. "Mending fokus ke Bagas sekarang mah," kata lndri.
"Kok, Bagas?" "Maunya Dilan?"
"Maunya sama Richard Dean Anderson."
Richard Dean Anderson adalah aktor Amerika Serikat, yang dikenal sebagai pemeran utama dalam serial televisi MacGyver.
"Nanti pacarnya si Richard marah ke kamu."
"lya, sih," jawab saya. "Gak mau siapa-siapa, deh!" "Saya juga!" kata lndri, "Dudi plinplan!"
"Ya, sudah," jawab saya, "Lagian, Dudi gak cocok buat kamu." "Tapi kalau dipikir-pikir, ya, Bagas tuh baik sama kamu. Tetap
menjaga komunikasi, itu yang penting. ltu bukti, kalau dia tuh, orangnya perhatian."
Saya memandangnya dan dia tersenyum. Setelah itu, lndri hanya mengangkat bahu dan mengajak saya ke kantin untuk menikmati roti dan susu cokelat. Saya menghela napas.
Di kantin kami bergabung dengan Santika, Rika, Devi, Dedi, Apit, dan Bono. Terkadang cukup untuk mengetahui bahwa saya tidak sendirian. Bersama mereka, rasanya seperti akan terus melekat dan tak ada seorang pun yang akan bisa memisahkan.
Bono bicara tentang uang pejabat korup yang disimpan di Bank Swiss, mengalihkan pikiran saya dari kemasygulan hari itu.
Saya merasa dada saya menjadi sedikit lebih rileks. "lni bukan untuk diskusi!" kata Devi menggerutu.
"Aslinya! Uang hasil korupsi sepuluh triliun!" kata Bono, "Kamu pasti mau kalau udah dapet!"
"Gimana cara ngeklaim uangnya, No?" tanya saya.
Saya mencoba pura-pura percaya bahwa beberapa klaimnya memiliki validitas, meskipun tingkat energi yang dia katakan kepada kami membuat saya ingin tertawa.
"Ya, kita sewa ahlinya, dong!" jawab Bono. "Pasti ada, lah! Kita ambil satu miliar aja dulu."
"Ah, gak ngerti, ah. Lieur si Bono mah," kata Santika.
"Gak akan ngerti kamu mah. lni mah urusan politik!" kata Apit membela Bono.
"Bukan politik, anjir!" Bono menyanggah Apit sambil memukul ujung topinya.
Sekarang, kami sudah tidak punya masalah lagi dengan Bono, dengan Dedi, atau Apit, dan lainnya. Sama sekali! Semua dalam harmoni. Saya hanya merasa itu terlihat menyenangkan.
-- Next Chapter--
Bab 12
Sore itu, di pertengahan Desember 1995, pengajar bimbel tidak
masuk, kami pulang lebih awal. Bagas mengajak saya, lksan, dan lpul makan di restoran Jepang, di daerah Jalan Merdeka. Saya tidak butuh waktu untuk berpikir sehingga akhirnya pergi dengan mereka. Saya pikir sudah waktunya untuk membalas budi kebaikan mereka.
Di sana semuanya dimasak di atas wajan dan rebusan-rebusan ala Jepang di atas meja. Dengan sumpitnya, Bagas menarik beberapa potong kecil daging yang ada di dalam wajan panas, lalu meletakkannya di atas piring yang ada di depan saya. Saya tidak tahu bagaimana perasaan saya tentang itu. Saya tersenyum, entah mengapa, mungkin saya sudah kehilangan akal.
Saat itu, saya duduk di sisi lain meja, di satu-satunya kursi yang berhadapan dengan Bagas. Mata Bagas berkilau dengan kebanggaan dan kepercayaan diri. Saya mendapati diri Bagas menatap saya, yang dengan cepat kemudian membuang muka, ketika saya menoleh ke arahnya.
Percakapan di restoran Jepang, secara alami, kemudian mengalir ke arah di mana Bagas mengajak kami nonton film di Regent. ltu adalah sebuah gedung bioskop yang lokasinya di Jalan Sumatera. Saya setuju dan merasa tidak keberatan. Kadang-kadang begitulah, saya merasa seperti saya sedang memulai dari awal lagi bersama mereka.
Saya pernah nonton bioskop sebelumnya, tetapi saya selalu pergi bersama keluarga. Saya tidak percaya hari itu berbeda, saya nonton bioskop dan duduk di samping Bagas. Seumur hidup saya, saya tidak pernah menjadi seorang gadis yang nonton bersama laki-laki. Tapi hari itu terjadi, sampai saya menyadari bahwa kami saling berbagi mangkuk popcorn.
Tapi, saya tetap saya, bagaimanapun tidak boleh ada laki-laki yang berani menyentuh saya. Jadi, saya terus memperhatikan setiap gerakannya, barangkali saja dia mengubah percakapan menjadi apa yang sebenarnya dia inginkan. Syukurlah, dia tidak melakukannya sampai kami akhirnya keluar dari gedung bioskop.
Langkah saya sedikit lebih ringan pada saat saya bersama Bagas, lpul, dan lksan mulai masuk mobil untuk pergi ke rumah Bagas. Rumahnya besar berwarna hijau lumut. Lantainya sedang direnovasi dan bagus secara keseluruhan. Bagian interior rumahnya dipenuhi oleh furnitur yang keren dan tertata cukup rapi dengan langit-langit yang bersih. Di sudut ruangan, saya melihat sebuah tangga berkelok yang melengkung ke atas.
lbunya Bagas, yang dipanggil Umi, menyipitkan mata pada saat pertama kali melihat saya. Dia mengenakan gaun ringan warna biru toska. Postur tubuhnya berisi seperti yang saya lihat sendiri. Wajahnya terlihat tenang dan cantik. Dia adalah wanita berusia sekitar 40 tahun saat itu, dan memiliki reputasi sebagai seorang seniwati.
Saya melihat ada percikan keceriaan yang menyala di matanya dan juga penuh ekspresi. Sikapnya terbuka, sehingga ketika dia ikut bergabung dengan kami di ruang tamu, Umi membuat suasana menjadi cair, menghilangkan kecanggungan.
Pandangan saya sekilas ke arah jam emas yang menempel di dinding rumah, dekat meja ukir dari bahan jati jepara. Umi duduk di sofa dengan bersandar pada lengan kirinya, dengan satu tangannya lagi mengapit bantal yang ada di pangkuannya. Mungkin ini waktu terbaik untuk mengenal ibunya Bagas.
lksan duduk di sebuah sofa panjang berwarna merah tua dengan lpul di sisi kirinya, dan saya di sisi kanannya. Bagas meluruskan bahunya dan menyisir rambutnya menggunakan jari-jari sambil duduk di sofa single seater.
Sesaat kemudian, muncul seorang ibu tua melangkah melewati ambang pintu, membawa beberapa minuman untuk kami.
Hal berikutnya yang saya tahu adalah Umi berbicara tentang album rekaman yang katanya sedang digarap bersama rekan rekannya sesama seniwati. Beberapa nama yang disebut oleh Umi, di antaranya begitu familier terdengar di telinga. Di situlah, dia mengundang saya ke studio musik untuk memperkenalkan saya kepada mereka.
Umi meraih album foto berukuran besar berisi foto-foto kegiatannya di berbagai event kesenian. Saya melihat keseriusannya saat dia bercerita tentang seni bahwa seni itu salah satu ekspresi paling luhur dari kepekaan manusia, yang harus diungkapkan sebagai anugerah yang agung dan mulia, baik dilihat sebagai hiburan maupun sebagai bentuk keindahan. Setiap orang itu mempunyai kewajiban mengembangkan bakat terbaiknya. Seperti itulah yang dikatakan oleh Umi.
Kami hanya bisa mengangguk-angguk di dalam kekaguman tanpa suara. Apa yang dia katakan bisa saya pahami sebagai motivasi, tetapi sekaligus juga menyedihkan karena saya sadar saya sama sekali tidak memiliki bakat seni.
"Gimana, sih, rasanya jadi orang terkenal, Umi? Pengen, deh," tanya lksan, hidungnya sedikit memerah kalau dilihat dari dekat.
"Ya, senang atuh. Banyak-banyak bersyukur ke Gusti Yang Mahasuci," jawab Umi sambil menyibakkan sebagian rambutnya yang jatuh menutupi dahinya.
"lya, Umi."
"Bagas itu punya bakat yang hebat sebetulnya. Umi selalu mendukungnya sejauh yang Umi bisa. Harus kalian tau, AI-Fatih itu, sudah menguasai Konstantinopel pada usia 17 tahun, loh."
"AI-Fatih, kan, anak Sultan, Umi, sedangkan kami siapa?" kata Bagas. Senyumnya sedikit bengkok.
"Gak sepadan ngebandinginnya, ya?" tanya Umi. "Sepadan, sih, tapi aneh ... ha ha ha," jawab lksan.
"lya, ya? Umur tujuh belas tahun, Umi sendiri ngapain, ya?" tanya Umi kepada dirinya sendiri.
"Pacaran!" jawab lksan disambut tawa oleh Umi.
lksan tertawa dengan mulutnya terbuka lebar-lebar. Saya hanya tersenyum.
"Ngomong-ngomong, Cika udah punya pacar belum?" tanya Umi tiba-tiba, sambil senyum dan memiringkan kepalanya sedikit.
lksan berdeham. Saya tidak menduga Umi akan membicarakan seal itu. Topik itu bukan alasan saya datang ke rumah Bagas.
"Belum mau pacaran, Umi," jawab saya dalam senyum yang bergetar.
"Ada yang mau, sih, Umi ... ," kata lksan sambil melirik ke arah Bagas. Senyumnya melebar. Saya pikir saya bisa melihat pipi Bagas memerah, atau mungkin saya salah. lpul tersenyum bodoh di wajahnya.
"Usia Umi berapa tahun sekarang?" tanya saya kepada Umi untuk mengubah topik pembicaraan karena tidak ada gunanya membuat keributan dengan mempersoalkan pacaran.
"Umi?" tanya Umi. Saya mengangguk. "Empat lima tahun," jawab Umi. "Udah tua." "Masih cantik, Umi," kata lksan memotong.
"Ngomong terus, nih, sampe lapar ... ," kata Umi tiba-tiba bangkit dari duduknya. "Kita makan dulu, yaaa ...."
"Sudah makan, Umi," jawab saya langsung.
"Hayu, ah. Sedikit aja ... ," jawab Umi sambil meraih tangan saya dengan desakan yang lembut.
Kemudian, dengan dibantu oleh asisten rumah tangga, Umi menyiapkan makanan untuk kami. ltulah yang terjadi selanjutnya. Umi benar-benar menjadi seseorang yang sedang melakukan hal terbaik untuk tamu anaknya.
Apa yang harus saya lakukan?
Akhirnya, dengan gugup dan canggung, saya membantu Umi di dapur untuk menyiapan makanan. Umi memotong sosis dan memanaskan beberapa mi dan telur goreng sambil menyenandungkan lagu pop Sunda. Suaranya merdu, begitu istimewa. Terkadang, hal itu membuat saya merasa bangga bisa satu dapur dengan seorang artis besar Jawa Barat.
Empat hari kemudian, sepulang dari tempat bimbel, Bagas, lksan, dan lpul mengajak saya ke salah satu tempat nongkrong yang ada di daerah Setiabudi. Mereka memperkenalkan saya pada makanan yang disebut surabi (sebetulnya, sebagai warga Jawa Barat, saya sudah tahu surabi sejak kecil). Saya nongkrong di sana mendengarkan lelucon mereka, atau juga keluhan tentang salah satu siswa perempuan di sekolah mereka, yang selalu menggoda Bagas.
Sejauh itu, sudah beberapa kali Bagas mengantar saya pulang, kadang-kadang tanpa lksan dan lpul. Dia pernah membeli seikat bunga untuk saya. Tapi di rumah, saya memasukkannya ke dalam vas untuk diletakkan di meja ruang tamu. Saya ingin mengatakan bahwa itu adalah hal yang baik, menghargai pemberian orang lain.
Saya pikir itulah akhirnya. Saya benar-benar tidak tahu harus berbuat apa seolah-olah saya adalah orang yang bodoh. Sementara Bagas selalu menemukan banyak cara untuk tetap menjaga berkomunikasi dengan saya. Sebagian besar waktu yang dia lakukan adalah menelepon, seperti tanpa perlu melihat waktu. Memang terdengar berlebihan, tapi rindu, katanya. Dan mengatakan banyak hal yang sangat manis. Saya tidak ingat persis kata-katanya.
"Ya, udah," kata Bagas sebelum mengakhiri percakapan di telepon,
"Selamat bobo, Cika. Semoga mimpi indah." "Aamiin," jawab saya. "Salam buat Umi." "Iya. Selamat malam, Cika."
"Malam, Bagas."
Pada malam berikutnya, udara cukup dingin, pintu kamar mandi
masih setengah tertutup setelah saya selesai menggosok gigi. Sementara Beni mungkin sudah tidur, setelah tadi saya menegurnya untuk jangan terlalu sering nongkrong di warung pengkolan. Kebiasaannya itu membuat dia lupa harus belajar.
Saya naik ke tempat tidur dan merasa sedikit lelah, seperti perlu istirahat. Dan tiba-tiba, terdengar suara ketukan lembut berulang kali di pintu kamar saya. Bi Yati memberitahu ada telepon untuk saya. Saya sempat melirik ke arah jam weker, waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Saya sempat berpikir, itu pasti telepon dari Bagas.
Ternyata bukan dari Bagas, melainkan dari pacar Dilan. Saya tahu, saya harus menangani situasi ini dengan cara yang paling dewasa, tapi saya pikir dia hanya ingin mengganggu saya, sehingga membuat saya jadi hilang kesabaran.
"Mbak! Ngapain telepon-telepon ke saya terus?" tanya saya. Menurut saya, semua itu perlu dikatakan. "Saya ... cuma mastiin aja,
Teh."
"Dilan sudah gak pernah ke sini! lngat itu."
"Beneran ini, Teh?"
"Ke pacar sendiri aja sudah gak percaya, apalagi ke orang lain!"
"Kenapa Teteh marah?"
"Anda sangat mengganggu!" jawab saya sambil langsung menutup telepon.
Saya marah karena dia tidak pernah berhenti menelepon. Dia seperti selalu ingin mencari lebih banyak bukti. Dia seperti orang yang berpikir bahwa apa yang terjadi di dunia ini, sama seperti yang dia pikirkan di dalam otaknya! Dia seperti orang yang terlalu lama tinggal di planet buatannya sendiri, dengan memberi saya peran sebagai penjahatnya dan dia merasa menjadi korbannya.
Bukan salah saya kalau dia merasa tidak aman di dalam hubungannya dengan Dilan. ltu adalah urusan dia dengan Dilan! Bukan dengan saya!!! Saya benar-benar merasa harus bertemu dengannya untuk membuangnya ke dalam septic tank. Cukup mirip untuk bisa merasa puas. Mungkin itu adalah langkah yang akan membuat Dilan marah. Saya juga marah karena terganggu dan saya tidak takut! Kita lihat saja nanti.
Saya duduk, napas berikutnya yang saya ambil terasa berat, tapi secara perlahan kemudian mulai bisa tenang dan berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. Ketika saya meletakkan cangkir di atas meja, saya mendapat telepon dari Bagas yang mengajak saya pergi ke Ciwidey untuk merayakan acara penyambutan tahun baru.
"Ciwidey?"
"Ayah saya ada vila di Ciwidey," jawab Bagas. "Nginep?"
"Kalau mau nginep, bisa."
"Enggak, ah."
"Ya, bisa pulangjam satuan."
"Siapa aja?"
"Sama keluarga Bagas," jawab Bagas. "Ajak lpul dan lksan."
"Nanti Bagas ajak ...."
"Tahun Baru tuh, kapan, sih?" tanya saya. "Kalau gak salah, malam .... Senin, ya?" "Sekarang ... Kamis, ya?"
"Iya."
"Jumat, Sabtu, Minggu, Senin, ... empat hari lagi, dong?"
"Iya," jawab Bagas. "Yuk, ke Ciwidey?"
"Cika izin dulu ke Mama, ya."
Sebetulnya, saya tidak yakin apakah saya bisa ikut atau tidak, saya bahkan sama sekali tidak tertarik merayakan Tahun Baru. Tapi, saya pikir itu bisa saja terjadi untuk sesekali merasa perlu berlibur.
Lagi pula, saya selalu senang menjelajahi tempat-tempat baru, dan sejujurnya saya suka Ciwidey. Bisa sangat menyenangkan menikmati alam pegunungannya yang indah. Di mana kebun teh terlihat seperti permadani hijau yang digelar. Dan itu sudah cukup, saya tidak banyak membayangkan apa pun selain itu.
Besoknya, saya ingin tahu bagaimana lndri bereaksi tentang rencana saya yang akan ikut dengan Bagas merayakan acara penyambutan Tahun Baru di daerah Ciwidey. Dan ketika saya mengatakannya, lndri langsung meresponsnya dengan,
"Anjrit!!!"
"Kok, anjrit?" tanya saya.
"Kalau anjing, tuh, kakinya empat." "Kalau anjrit kakinya berapa?" "Emprit."
"Ha ha ha."
Malamnya, Papa sedang berbicara dengan seseorang di ruang
tamu, tapi saya hampir tidak bisa menangkap percakapan mereka karena saya sedang berada di dapur, mengaduk minuman susu cokelat.
Beni meletakkan piring di atas wastafel dan bersiap-siap untuk kembali lagi ke kamarnya setelah dengan malu-malu minta kado untuk hari ulang tahunnya yang tidak dirayakan (kami tidak pernah merayakan ulang tahun). Kelak, dua hari setelah itu, saya memberinya hadiah berupa buku Kiat Sukses Membangkitkan Motivasi Belajar, tapi sepertinya dia tidak menyukainya. Saya tahu.
Saat Bi Yati kembali dari ruang tamu membawa nampan kosong, saya menyadari Mang Anwar datang dari tempat KKN. Saya berjalan ke ruang tengah dan melihat Mang Anwar tersenyum setelah menyimpan tas ranselnya di sofa. Banyak sekali yang dia bawa. Saya hanya berdiri tanpa emosi dengan tangan menggenggam cangkir berisi susu cokelat panas, sampai melihat Mang Anwar mulai duduk.
"Capek, Teh, ah!" katanya. Dia membelai dahinya dengan satu tangan.
Tanpa menjawab, saya duduk dengan cara mengangkat kedua lutut dan menenggelamkan diri saya sedikit masuk ke dalam kursi. Sementara mata saya menatap gelas susu cokelat yang sedang saya genggam dengan kedua tangan saya, seolaholah saya sedang mengamatinya. Sesekali, saya meminumnya pelan-pelan karena masih terlalu panas.
"Kenapa?" tanya Mang Anwar terdengar waspada.
"Enggak," jawab saya tanpa memandangnya, meskipun sebetulnya ada banyak yang perlu saya katakan kepada Mang Anwar, seperti, "Mamang, apakah Mamang tahu apa yang terjadi selama ini? Apakah Mamang tahu bahwa Mamang tidak ada ketika semua itu terjadi?"
Saya ingin mengatakannya, tapi saya tidak begitu yakin. Saya hanya menyadari bahwa saya merasa lebih baik menyimpannya. Atau, saya kira saya akan mengatakannya nanti, hanya belum tahu kapan.
"Mama mana?" tanya Mang Anwar, saat dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke dapur.
"Lagi ke rumah Bu Hindun."
Beberapa saat kemudian, Mang Anwar kembali lagi membawa segelas air minum dan duduk lagi di kursi.
"Oh, iya, tadi Mamang ketemu Dilan di Metro."
Saya tidak meresponsnya, saya merasa lebih asyik menghirup udara aroma susu cokelat. Sikap saya seperti, "Tidak, saya tidak ingin tahu apa-apa. Semuanya sudah terjadi, sudah berakhir. Tidak ada lagi Dilan. Lupakan." Kemudian, saya mendengar suara langkah kaki dan ketika saya mendongak, saya melihat Mama.
"Selesai?" tanya Mama. "Alhamdulilah," jawab Mang Anwar.
Saat itulah, telepon rumah berdering. Kata Mama, itu dari Yadit. Saya berjalan, dan pada saat saya mulai menjawabnya, dia mengajukan pertanyaan seperti, "Apakah kamu baik-baik saja? Akang khawatir kamu sakit." Saya menjawabnya hanya dengan, "Baik-baik saja," sambil menghela napas yang tidak saya sadari.
Yadit bilang, dia baru membeli beberapa buku siap lulus EBTANAS dan UMPTN untuk mulai lagi menekuni pelajaran SMA. Dengan itu, katanya, dia berharap bisa membimbing saya belajar. Dia memutuskan akan datang setiap malam Minggu, sehingga ada dua hari bisa membimbing saya, sebelum malam Seninnya, dia kembali lagi ke Jakarta. Saya pikir dia sedikit gila dan menyeramkan. Rasanya akan sulit merasa aman di dekatnya setelah mengetahui hal itu.
"Biar sama Akang aja. Gak usah oleh orang lain. Bukan apa-apa, takut men99an99u. Kita, kan, gak tau. Siapa tau dia punya urusan lain atau pacaran, mungkin."
"Sayanya juga mau berhenti sekolah, kok."
"Eh?" Yadit terkejut.
"Gak suka pinter. Gak suka orang pinter."
Beberapa menit kemudian, saya menutup telepon dengan mengatakan saya sedang memasak. Dan pada saat saya kembali ke ruang tengah, Mang Anwar sudah tidak ada di sana.
Saya menemui Mang Anwar di kamarnya, dan duduk menyandarkan punggung di kursi meja kerja Mang Anwar yang ada di dekat ambang jendela. Saya mengatakan hal wajar untuk dikatakan kepadanya tentang ada seorang perempuan yang menelepon saya, dan dia adalah pacarnya Dilan. Maksud saya, saya tidak peduli itu pacar Dilan atau bukan, saya hanya benci merasa dituduh sebagai pemangsa pacar orang. ltulah tepatnya mengapa saya ingin membahasnya.
"Siapa?" tanya Mang Anwar menoleh kepada saya di tengah tengah dia sedang berlutut, mengeluarkan beberapa pakaian dan barang dari dalam tas ranselnya. "Ya, pacar Dilan, lah!"
"Pacar Dilan?" tanya Mang Anwar tanpa memandang saya. "Dia bilangnya begitu ...."
"Teteh tanya, gak, siapa namanya?" tanya Mang Anwar, berdiri menghadap ke arah saya sambil memegang kamera foto.
"Dia bilang, sih, gak penting nama, katanya ...."
"Setahu Mamang, Dilan gak punya pacar," Mang Anwar mengoreksi sambil membuka pintu lemari dan menyimpan kamera foto di dalamnya.
"Teteh mah enggak masalahin Dilan punya pacar atau enggak." "lya, ngerti," kata Mang Anwar mulai duduk di sisi ujung tempat
tidurnya, "tapi setahu Mamang, Dilan gak punya pacar, deh."
Dia bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan sampai akhirnya saya percaya.
"Masa Mamang bohong ke Teteh?" Kata Mang Anwar serius, sambil meraih gelas minum yang tadi tersimpan di kusen jendela kamar.
"Terus, siapa perempuan itu?" tanya saya dengan ketidakpastian, karena tidak yakin apa tujuan perempuan itu mengaku-ngaku pacar Dilan.
Setelah meletakkan gelas di kusen jendela, Mang Anwar bilang bahwa sebelum pulang ke rumah tadi, dia baru bertemu dengan Dilan di Metro. Dilan sempat cerita bahwa dia sudah beberapa kali ditelepon oleh seseorang yang tidak dia kenal.
"Siapa?" tanya saya mengernyitkan dahi.
"Dilan juga gak tau siapa. Malahan orang itu telepon ke si Bunda juga." Mata saya menyipit dalam konsentrasi, "Hah?"
"lya."
"Ngomong apa dia ke Dilan?"
"Kata Dilan, sih, orang itu ngaku sebagai orangtua tunangannya Cika," jawab Mang Anwar, "tadi, tuh, mau bilang ini ke Teteh."
"lya. ltu kapan Dilan ditelepon?"
"Katanya dua hari setelah Dilan dibebaskan polisi." "Oh!"
"Terus ... orang itu bilang ke Dilan jangan ganggu Cika ...." Saya langsung tercengang, "What?"
"lya, gitu."
Saya bertanya-tanya mengapa demikian? Kemudian, saya mengambil waktu sejenak untuk memproses apa yang Mang Anwar katakan dan menganalisisnya, "Sebentar ...." kata saya, mencoba membuat Mang Anwar diam.
Dalam beberapa detik kemudian, saya buru-buru mengatakan, "Ada yang aneh, deh. Kok, Teteh sama Dilan, sama-sama dapat telepon, ya?"
"Oh, iya. Dilan juga bilang, dia kayak kenal suara yang neleponnya," kata Mang Anwar.
"Siapa?"
"Kata Dilan, sih, kayak suara Bi Opi."
Saya tercengang, "Bi Opi?"
"Dilan pernah ketemu Bi Opi, gak?" "Pernah, sih," saya mengonfirmasi. "Kalau gitu, berarti bener ...." "Masa, sih, Bi Opi?"
Saya bingung, tapi pikiran saya mulai bergerak secepat macan yang lari. lnformasi yang saya dapatkan dari Mang Anwar langsung bergema dengan cara yang tidak pernah saya duga.
Saya mulai membuat alur waktu secara lebih rinci yang saya harap bisa memperjelas semuanya.
Saya mulai mengingat kembali tentang Yadit yang ingin menikah dengan saya. Saya tidak pernah benar-benar mengenal orang itu, tapi setau saya, Yadit dan keluarganya sangat dekat dengan Bi Opi. Saya juga mendengar bahwa selama ini keluarga Bi Opi selalu membutuhkan dukungan ekonomi dari keluarganya Yadit. Bahkan rumah yang sekarang ditempati oleh Bi Opi adalah rumah milik keluarganya Yadit. Maksud saya, kalau Bi Opi merasa berhutang budi pada keluarga Yadit, tentu saja Bi Opi akan melakukan banyak hal termasuk berusaha mendukung Yadit yang ingin menikah dengan saya.
Saya ingat, Bi Opi juga sering berbicara tentang Yadit hampir pada setiap ada kesempatan bertemu dengan saya. ltu fakta, beberapa di antaranya adalah Bi Opi pernah masuk ke kamar saya, dan bicara, "Kata Yadit, kalian suka teleponan, ya?"
"Dia bilang ke Bi Opi?" tanya saya kepada Bi Opi.
"lya."
"Kang Yadit, tuh, pintar, Teh. Cocok kalau sama Teteh. Teteh juga, kan, pinter."
"Jodohin sama temen Teteh aja, Bi. Dia pintar!" kata saya berseru sambil memandang Bi Opi. "Dia pengen langsung nikah. Gak setuju pacaran."
"Yeee ... ," kata Bi Opi.
"Dia juga butuh banyak uang, ibunya banyak utang," kata saya.
"Kang Yadit, kan, maunya sama Teteh. Gimana, sih ...." Bi Opi menggerutu.
Selain itu, saya juga merasa Bi Opi seperti cemburu kalau melihat saya sedang berdua dengan Dilan di ruang tamu. Bahkan, dia pernah secara terbuka mengungkapkan rasa kurang senangnya kepada Dilan.
"Bagaimana hubungan Teteh sama Dilan?" tanya Bi Opi pada saat dia masuk lagi ke kamar saya.
"Baik-baik aja," jawab saya. "Pacaran?"
"Enggak."
"Deket banget, ya?" "Dilan baik. Teteh suka."
"Apa yang Teteh suka dari Dilan?" "Telapak kakinya."
"Serius, atuh!" "Serius."
"Dilan, tuh, anak geng motor, ya?" tanya Bi Opi kemudian.
Saya tidak mengerti mengapa Bi Opi bisa mendengar banyak hal tentang Dilan?
"Dilan hamba Allah," jawab saya. "Hati-hati, Teh."
"Bibi yang harusnya hati-hati kalau bicara." "Kuliah di mana Dilan?"
"ITB!"
"ITB swastanya, ya?"
"Bi, kalau gak ngerti apa-apa, plis, jangan ngomong apa-apa."
Dengan semua hal yang sudah Bi Opi lakukan, Mang Anwar kemudian membuat opini sendiri dan mengatakan bahwa Yadit adalah dalangnya. Mang Anwar meyakini bahwa Yadit sengaja memanfaatkan Bi Opi sebagai perpanjangan tangan darinya.
Tapi, saya tidak mau sembarangan dengan menuduh Yadit sudah menyuruh Bi Opi melakukan sabotase terhadap hubungan saya dengan Dilan, meskipun hal itu cukup mungkin. Sepertinya saya tidak cukup hanya mengacu pada apa yang terjadi. Saya masih harus melalui semua kemungkinan untuk menemukan siapa pelaku sebenarnya.
ltu bukan hal mudah untuk diselesaikan. Bisa saja bukan Bi Opi. Bisa saja orang lain yang sama-sama tidak dapat menerima kedekatan saya dengan Dilan. Saya merasa, saya juga harus mencurigai Bagas atau Nyanya, meskipun itu hampir tidak mungkin.
Jadi, besoknya, sepulang dari sekolah, saya telepon Bi Opi untuk mencari informasi dalam rangka penyelidikan. Kebetulan, saya pernah membaca buku yang membahas tentang teknik interogasi. Jadi, saya tahu ada banyak metode untuk mendekati masalah.
Saat mulai melakukan percakapan dengan Bi Opi di saluran telepon, saya membuat beberapa pertanyaan tendensius, yang menempatkan Bi Opi seolah-olah saya sudah tahu bahwa dia melakukannya, "Kenapa Bi Opi menyuruh seseorang untuk menelepon saya dengan mengaku sebagai pacar Dilan?", "Kenapa Bi Opi menelepon Dilan dan ibunya dengan mengatakan bahwa saya sudah bertunangan?" Kemudian, saya tinggal menunggu reaksinya.
Apa yang terjadi? Bi Opi seperti menyadari situasinya, meskipun dia terus menyangkal dan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Suara bicaranya terdengar gagap terus-menerus, seperti sulit untuk mengatakan apa yang ingin dia katakan. Saya langsung berpikir itu agak aneh. ltu membuat saya jadi curiga.
Saya mulai berkeringat. Kemudian untuk tidak menyia-nyiakan waktu, saya mencoba mencari cara yang lebih tegas agar Bi Opi bisa mengatakan yang sejujurnya.
"Ya, udah. Mungkin bukan Bi Opi pelakunya. Tapi inget kata-kata Teteh, kalau ternyata bener Bi Opi dalangnya, Teteh tidak mau kenal lagi dengan Bi Opi seumur hidup. Bi Opi juga jangan pernah datang ke rumah Teteh lagi."
ltu terdengar seperti ultimatum. Kemudian, saya langsung tahu bahwa dia benar-benar ketakutan. Bi Opi seperti mulai panik, seolah olah saya baru saja menodongkan pistol kepadanya.
"Teh ...," katanya pelan, setelah diam beberapa saat.
"Apa?!"
"Nanti Bi Opijelasin di rumah Teteh besok,ya.."
"Teteh ingin sekarang."
"Kalau sekarang, Bi Opi ada acara, Teh."
"Teteh maunya Bi Opi ke rumah sekarang!"
Kemudian, dengan cepat saya menutup telepon. Sekarang menjadi lebih jelas bagi saya daripada sebelumnya.
Sekitar pukul lima sore, Bi Opi datang ke rumah saya, diantar oleh Mang Sadili, suaminya. Dan kemudian, saya mendengar Bi Opi mengakui semua perbuatannya di depan saya dan Mama. Bi Opi mengatakannya dengan berurai air mata yang dia keringkan dengan saputangannya. Saya tidak pernah melihat Bi Opi menangis seperti itu dalam hidupnya.
Sama sekali, saya tidak pernah berpikir atau membayangkan bahwa Bi Opi benar-benar melakukannya. Karena saya tahu, Bi Opi adalah kerabat sedarah saya, dan dia sangat dekat dengan saya secara emosional selama masa kecil saya. Bahkan, dia tahu makanan apa yang membuat saya alergi, tapi sepertinya dia manusia yang berbeda sekarang.
Bi Opi meminta maaf. Dia mengatakan apa yang dia lakukan sudah membuatnya merasa buruk. Lalu, dia mulai mengeluh tentang semua kerumitan posisinya, katanya dia merasa terpaksa harus memenuhi keinginan Yadit.
Saya merasa sangat kecewa, dan biasanya saya sangat pemaaf, tapi saat itu saya tidak tahu apakah itu bisa dimaafkan atau tidak. Saya merasa benar-benar terluka sudah dikhianati oleh Bibi sendiri. Kemudian saya mencoba, seperti memaksa diri saya untuk marah, karena buat saya, orang jahat tidak akan berubah jika cuma diberi maaf.
ltulah yang terjadi. Saya tidak ingin berlama-lama dengannya, dan pergi meninggalkan Bi Opi, Mang Sadili, dan Mama. Saya masuk ke kamar dengan cara membanting pintu dan tidak ingin keluar sampai yakin Bi Opi dan Mang Sadili sudah pulang. Saya tahu apa yang saya lakukan itu berlebihan, tapi saya tidak peduli.
Saya benar-benar kesal oleh semuanya. Saya belum bisa memaafkannya dan tidak tahu apakah saya bisa memaafkannya atau tidak, meskipun saya berpikir saya yakin Bi Opi benar-benar menyesal dan tidak akan pernah ingin mengganggu hidup saya lagi setelah itu.
Rupanya saya tertidur, dan baru bangun ketika mendengar suara ketukan di pintu kamar. Saya berdiri, membuka pintu, kemudian mendapati Mang Anwar sedang berdiri di depan pintu kamar saya. Dia menyampaikan berita bahwa Dilan mau datang ke rumah.
Saya merasa seperti sedikit agak linglung sebetulnya, jadi saya butuh waktu sepersekian detik untuk menyadari apa yang dikatakan oleh Mang Anwar.
"Kapan?" tanya saya dengan mata menyipit untuk detak jantung yang saya rasakan.
"Besok malam ... ," katanya. "Besok malam?"
"lya. Katanya jam sembilan."
Saya mengangguk, kemudian setelah Mang Anwar pergi, saya menutup pintu dan berjalan ke kamar mandi. Membasuh muka di wastafel dan menatap cermin dengan penuh perhatian. Saya pikir saya bisa melihat bagian ujung hidung saya sedikit memerah, dan rambut sudah mulai agak panjang.
Saya menghela napas, sambil keluar dari kamar mandi dan menjatuhkan diri di tempat tidur, bersama iringan lagu Creep dari Radio Head. Dan saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan.
Mama membuka pintu kamar dan masuk dengan sedikit agak ragu-ragu. Mama akhirnya duduk di sofa yang ada di dekat tempat tidur saya. Dia tidak percaya dengan apa yang sudah dilakukan oleh Bi Opi, dan katanya dia tidak bisa berbuat apa-apa. Kami pun saling berbagi pendapat. Sejak itu, Mama tahu kenapa Dilan tidak pernah datang lagi ke rumah selama ini. Kemudian, Mama bilang untuk jangan sampai Papa tahu. Kita harus tetap menjaga hubungan baik dengan keluarga Bi Opi, tidak peduli apa yang terjadi, katanya.
"Dilan mau ke rumah ...."
"Kapan?" tanya Mama. "Besok, jam sembilan."
Beberapa saat kemudian, saya mendengar telepon berdering, dan itu dari Bagas yang meminta kepastian apakah saya jadi ikut pergi ke Ciwidey atau tidak. Saya langsung memberitahu Bagas bahwa ternyata Mama tidak memberi saya izin pergi ke Ciwidey. Dan memang begitu. Saya juga bilang kepadanya kalau memang Bagas benar-benar ingin merayakan Tahun Baru, Bagas bisa datang ke rumah saya. Kalau tidak mau, ya, sudah.
Sekitar pukul delapan malam, saya sudah duduk di ruang keluarga, menonton film James Bond dari video Beta bersama Beni dan Mama, sambil menikmati pisang goreng buatan Bi Yati. Mama menguap dan menyandarkan kepalanya di bahu Beni. Pada dasarnya, Mama memang lebih suka nonton Telenovela.
Sesaat kemudian, tiba-tiba saya melihat Papa keluar dari dapur. Dia berjalan ke ruang tengah berpura-pura mabuk. Katanya, dia mabuk kebanyakan makan jengkol. Semua orang tertawa, juga Mama. Saya pikir itu adalah malam terbaik di dalam hidup saya.
Besoknya, Bagas, lksan, dan lpul datang ke rumah. Mereka duduk bersama saya di halaman depan rumah. Saya duduk terbungkus hoodie hitam, kaos lengan pendek, dan celana jeans, di samping Bagas yang sedang memainkan lagu-lagu sentimental melalui gitar yang dia bawa sendiri.
Papa sudah pergi tidur, katanya ngantuk. Papa memang selalu lelah akhir-akhir ini. Lagi pula pada dasarnya, Papa tidak merasa tertarik dengan merayakan Tahun Baru. Sebetulnya, saya juga begitu, Mama dan Beni juga. Tapi untuk sesekali, tidak apa.
Malam itu situasi cukup berisik oleh suara terompet di manamana. Saya mencium potongan daging sate yang sedang dibakar oleh Beni bersama dua orang temannya, sementara Mama tampak sibuk membantu Bi Yati di dapur, menyiapkan bumbu untuk sate.
Tidak lama kemudian, Mama muncul sambil memegang mangkuk kecil, memberitahu saya ada telepon dari Yadit, yaitu dari orang yang paling tidak akan saya terima untuk bicara sepatah kata pun atau bertemu lagi sekejap mata pun di dalam hidup saya.
Saya menggelengkan kepala menandakan tidak mau menerima telepon darinya.
"Katanya, mau menjelaskan. Terima aja dulu."
"Mau menjelaskan apa?" tanya saya acuh tak acuh.
Saya tidak butuh penjelasan lagi, jika dia ingin menjelaskan bahwa dia adalah pecundang.
Mama menghela napas, "Ya, sudah." Lalu kembali masuk ke rumah.
"Jam berapa?" tanya saya kepada Bagas. "Jammm ... sembilan."
"Sembilan pas?" "Lebih ... sepuluh."
"Oh ...."
Dan Dilan belum datang juga. Tapi, saya tidak ingin bersedih karena menunggu seseorang. Saya juga tidak ingin terlalu dramatis menunggunya. Saya mencoba sedikit mengabaikannya melalui percakapan yang saya lakukan dengan Bagas, lksan, dan lpul.
Udara malam yang dingin menerpa saya pada saat saya mulai menyadari Dilan mungkin tidak akan datang dan saya benci orang yang ingkar janji. Saya tersesat dalam lamunan, melupakan hawa dingin sampai melihat Mang Anwar datang pada pukul setengah dua belas. Sesaat itu saya merasa bersemangat, seolah-olah tidak akan lama lagi kawannya juga akan segera datang.
Saya melihat Mang Anwar seperti sedang mencari saya, lalu bergegas berjalan ke arah saya, dan dengan berbisik, dia memberi kabar mengejutkan bahwa Dilan dibawa ke rumah sakit. Berita itu langsung membuat lutut saya terasa lemas dan khawatir tentang kemungkinan Dilan mengalami kecelakaan. Saya tahu itu mengerikan, tapi hanya itu yang bisa saya pikirkan.
"Kenapa?" tanya saya gelisah. Saya masih tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Mang Anwar juga tidak tahu. Dia hanya mendengar informasi itu melalui kawannya.
Setelah pamit kepada Bagas dan yang lainnya, saya segera meluncur ke Rumah Sakit Al-Islam diantar oleh Mang Anwar, menggunakan motornya. Saya tidak berpikir saya harus menghargai Bagas, lksan, dan lpul yang sudah jauh-jauh datang ke rumah. Sebenarnya saya panik malam itu, bahkan mungkin gelisah. Seperti tidak ada suara lain yang terdengar selain degup jantung saya.
Jadi, saya pergi dengan Mang Anwar hanya dengan mengatakan bahwa saya ada perlu sebentar. Saya benci berbohong. Saya hanya mendapati diri saya berada dalam situasi di mana saya tidak bisa jujur dan mengatakan yang sebenarnya kepada mereka demi menjaga perasaan mereka. Saya tidak bisa membayangkan perasaan Bagas, lksan, dan lpul seandainya saya mengatakan bahwa saya akan menemui Dilan di rumah sakit dengan meninggalkan mereka.
Di perjalanan, kami terjebak kemacetan lalu lintas di mana saat itu, begitu banyak manusia, tua dan muda, turun ke jalan raya merayakan Tahun Baru. Pasti menjengkelkan, tapi untungnya tidak terlalu parah. Saya memutuskan untuk diam selama perjalanan. Tidak bisa berkonsentrasi, yang bisa saya pikirkan adalah Dilan dan apa yang sebenarnya terjadi. Angin menderu di telinga dan menerpa wajah saya.
Lima belas menit berlalu, kami akhirnya tiba di rumah sakit dan melihat kerumunan anak muda dalam siluet samar di tempat parkir. Ada banyak suara di antara mereka dengan kata-kata yang tidak bisa saya mengerti. Tampaknya mereka adalah anak-anak geng motor yang datang untuk memberikan lebih dari sekadar dukungan moral.
Saya bergegas turun dari sepeda motor dan menyusuri koridor rumah sakit bersama Mang Anwar di bawah panduan Burhan, anak muda berjaketjeans yang pernah saya lihat bersama Dilan di rumah Abah. Kami berpapasan dengannya di gerbang pintu masuk rumah sakit. Burhan sempat tercengang pada awal melihat saya.
Pertama kali tiba, hanya itu. Kemudian, saya masuk melalui garden penyekat ruang UGD, dan bisa melihat Dilan ada di sana.
Sungguh melegakan bisa melihatnya lagi, setelah cukup lama tidak pernah bertemu dengannya. Tentu saja, itu bukan pertemuan yang indah, karena saya bertemu dengan Dilan di rumah sakit, sedang ditangani oleh dua orang tenaga medis. Saya melihat ada seseorang berdiri di sampingnya, kelak saya tahu dia adalah lbra, Panglima Tempur geng motor.
Saya berdiri di samping lbra, melihat Dilan tidak banyak berubah, hanya tampak sedikit pucat. Dia menyeringai saat matanya menoleh ke arah saya, sambil mengatakan sesuatu seperti "Hei, apa kabar?" dengan suara yang rendah. Saya tersenyum, seolah-olah sedang menunjukkan kepadanya bahwa saya bisa melewati kenyataan apa pun yang terjadi untuk bertemu dengannya.
Saya benar-benar tidak percaya bahwa saya akan bertemu lagi dengan Dilan malam itu di ruang UGD Rumah Sakit Al-Islam. lbra mundur sedikit, mempersilakan saya untuk lebih dekat dengan Dilan. "Perlu di-CT scan, gak, Sus?" tanya saya kepada suster setelah meraih jaket jeans Dilan yang tergeletak begitu saja di atas ranjang
pasien.
Kata suster, tidak perlu ada diagnosis lebih lanjut yang harus dilakukan. Suster tidak menemukan Iuka terlalu parah sehingga hanya perlu diperban, dan malam itu juga sebetulnya Dilan sudah boleh pulang.
Salah satu suster kemudian menyuruh kami untuk menunggu di luar. Memang seperti itu. Di rumah sakit, sudah biasa, kita terikat oleh beberapa aturan. Saat lbra, Mang Anwar, dan Burhan, akan pergi ke luar dari garden penyekat ruang UGD, Dilan meraih tangan saya, "lni istri saya, Sus," katanya, terdengar sangat alami, "biar dia di sini."
Tentu saja, saya tahu dia bercanda sehingga saya abaikan meskipun saya tersenyum kepada diri saya sendiri.
"lya, ibu aja yang di sini," kata salah satu suster sambil terus menyelesaikan tindakan medis yang Dilan butuhkan.
Beberapa saat setelah itu, kedua perawat pergi, meninggalkan saya berdua dengan Dilan. Dilan tersenyum, "Tadinya aku mau ke rumah sama temen-temen." "lya. Aku nunggu."
Ada senyum tulus di wajahnya, kemudian dia membaringkan dirinya di ranjang UGO untuk tidak melakukan apa-apa, selain harus beristirahat. Saya duduk di sisi ranjang dengan kedua tangan menggenggam jaket Dilan, dan tidak tahu apa lagi yang bisa saya lakukan.
Saya hanya bisa membiarkan Dilan untuk menenangkan dirinya.
Setelah itu, Dilan membuka mulutnya dan merintih pelan.
"Bu Dokter ... ," terdengar seperti rintihan, hampir gemetar. Saya terkejut. Apa yang harus saya lakukan?
"Kenapa?" tanya saya, bersama pikiran untuk siap-siap melapor ke suster atau dokter.
"Euh ... ," Dilan mengeluh seperti kesakitan dan saya menjadi semakin khawatir.
"Sakit?" tanya saya sedikit berbisik.
Dan Dilan menjawab, "Minta kue ... , saya belum makan dua hari." Ya ampun! Maafkan dia, Tuhan!
Saya tidak yakin bagaimana meresponsnya. ltu adalah seperti sesuatu antara saya merasa kesal dan mendengus. Mungkin ditambah dengan sedikit geraman yang bercampur di dalamnya.
Sebenarnya sangat lucu, tapi kalau dilakukan di waktu dan tempat yang tidak tepat, rasanya menjengkelkan.
Saya menatapnya sejenak dan mencoba mengatur napas, kemudian membungkuk dan bisa merasakan napasnya di wajah saya saat saya berbisik di kupingnya, "Kalau enggak diam ... aku bius!"
Saya melakukannya di saat bersamaan dengan saya menyadari Mang Anwar, Burhan, dan lbra masuk ke dalam ruangan. Saya bisa melihat mereka dari sudut mata saya. Saya tersentak saat itu dan melihat mereka kembali keluar ruangan.
Kemudian yang bisa saya lakukan, hanya menghela napas bersama pemikiran yang sangat dalam. Saya harap mereka tidak berpikir yang aneh-aneh. Tapi sudahlah, saya tidak peduli. Saya tidak ingin berdebat dengan pikiran saya sendiri. Terserah mereka mau bilang apa. ltu tidak seperti yang mereka pikirkan. Dan saya merasa tidak perlu menjelaskan atas apa yang mereka lihat.
Saya merasakan bagaimana Dilan menahan tawa dari dalam dadanya. Sementara matanya diarahkan ke langit-langit rumah sakit. Saya berpikir untuk tenang dan bertanya, "Ke mana saja kamu?"
Tidak ada Jawaban. Dilan hanya menghela napas sambil memejamkan kedua matanya, berpura-pura mati. Seperti saya ini adalah gadis bodoh yang bisa dia manipulasi untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.
Saya tahu dia sedang bercanda, tapi setengah dari pikiran saya menentang kelakuannya. Saya memutuskan untuk memanggil Mang Anwar, tanpa beranjak dari ranjang, "Mang!" Mang Anwar masuk, bersama Burhan dan lbra.
"Kenapa?" tanya Mang Anwar. "Mati!"
Pada saat itulah, Dilan tertawa. Mang Anwar menyeringai. Burhan dan lbra saling bertatap muka dan tersenyum.
Dilan mengangkat dirinya dan membuat posisi duduk. "Mumuh, Yanto, Ari, gimana?" tanya Dilan kepada lbra sambil tersenyum.
"Aman. Lagi ditangani dokter," jawab lbra.
Mumuh, Yanto, dan Ari yang dimaksud oleh Dilan adalah kawan kawan Dilan, yang juga mengalami hal sama seperti Dilan. Saya sudah mendengar semuanya dari Burhan saat saya berjalan dengannya di koridor rumah sakit.
Katanya, kira-kira pukul delapan malam, Dilan, Yanto, Mumuh dan Ari sedang nongkrong di daerah Metro Magahayu Raya. Tidak tahu siapa dan apa tujuannya, tiba-tiba mereka diserang oleh sekitar lima orang yang memakai motor.
Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain melawan untuk membela diri. Kebetulan saat itu, ada mobil patroli polisi yang sedang lewat dan berhasil membubarkan mereka.
Dilan, Mumuh, Yanto, dan Ari dirawat di ruang UGO lainnya dan hanya mengalami Iuka-Iuka yang tidak terlalu berat. Syukurlah. Jadi mereka boleh pulang malam itu juga. Sementara Dilan, dalam kondisi yang baik, selama saya tidak merasa khawatir.
Setelah akhirnya diperbolehkan untuk pulang, kami berjalan keluar, menyusuri lorong rumah sakit, dan bisa melihat anak-anak muda yang sudah berkumpul di halaman depan rumah sakit. Saya melihat beberapa di antaranya adalah perempuan. Jumlahnya banyak sekali, semua memiliki pakaian yang serasi, dari mulai bandana hingga memakai lencana yang dikenakan pada rompi dan jaket mereka. ltu bukan cuma gaya hidup, saya kira rasa hormat mereka juga menyenangkan. Saya langsung merasa seperti menjadi bagian dari mereka yang lebih besar dari saya.
Mereka berdiri menyambut kami, seperti sekelompok penguin yang sedang menunggu ibu mereka pulang dari melaut. Kenyataannya, mereka adalah anak-anak geng motor, mereka ada di depan saya, sebagai junior Dilan, dan saya terkejut ketika melihat ada Bono di tengah-tengah mereka. Bono benar-benar sudah berteman baik dengan Dilan saat itu.
"Aku ke Bono dulu ... ," kata saya ke Dilan. "lya."
Malam itu sangat dingin. Saya sedikit menggigil ketika berbicara dengan Bono. Sementara Dilan sedang bersama lbra dan anak-anak yang lain. Entah apa yang mereka bicarakan.
"Aku mau jadi anggota geng motor ... ," kata saya ke Bono.
Bono hanya menjawabnya dengan ketawa karena dia tahu saya memang sedang bercanda.
"Bubar semua, deh!" Kata Bono kemudian. "Ha ha ha."
Begitulah yang terjadi. Dan malam sudah menunjukkan pukul dua belas, saat tahun mulai berganti. Kami melihat manusia seperti bahagia dengan dirinya sendiri, masing-masing berkumpul di halaman rumah mereka bersama trompet, sate, dan jagung bakar.
Saya pulang naik motor bersama Dilan di bawah langit yang bermandikan cahaya kembang api dan suara trompet di mana-mana. Jauh di lubuk hati, saya sangat menyukai malam itu. Tidak yakin di mana semua kawan-kawan saya. Sementara Mang Anwar mengendarai sepeda motornya, sendirian, mengikuti kami dari belakang.
Hal terbesar yang saya syukuri adalah kenyataan bahwa saya bertemu lagi dengan Dilan. Saya merasa seperti lebih beruntung daripada orang lain. ltulah yang terjadi pada suatu saat di dalam hidup saya.
Sekarang, biarkan saya membahas kembali sedikit tentang Bi Opi. Saya mengatakan kepada Dilan bahwa di dalam suatu hubungan, ada banyak hal yang bisa salah. Tetapi, terkadang bukan kita sendiri yang menyebabkan timbulnya masalah, melainkan orang lain, dan di dalam kasus saya, orang itu adalah Bi Opi.
Jawaban Dilan tidak terduga, "Gak usah dibahas lagi. Bi Opi tidak selalu menjadi orang yang buruk," kata Dilan.
Secara pribadi, saya pikir Dilan adalah satu-satunya orang yang benar-benar mengerti dari mana Bi Opi berasal. Bagaimanapun, dia adalah bibimu. Di dalam semua dinamika rumah tangga, tidak semuanya sempurna, tapi tidak apa-apa.
Bagi Dilan, kita mengalami pasang surut, sama seperti semua orang, masing-masing membuat banyak kesalahan, tetapi itulah cara kita belajar. Bagaimanapun, kemudian kita berharap dan berdoa agar hidup berbalik menjadi lebih baik, menjadi bahagia bagi semua.
"Sekarang, kamu hanya tinggal tersenyum, sisanya biar aku yang urus."
Segera setelah itu, kami sampai di rumah. Saya melihat halaman depan rumah sudah sepi. Bagas, lpul, dan lksan sudah pulang. Saya juga melihat Bi Yati, dibantu oleh Beni dan dua temannya, sedang membereskan sisa-sisa kegiatan perayaan Tahun Baru.
Dilan menarik napas dalam-dalam ketika dia mengucapkan, "Sampai jumpa lagi nanti." Lalu pulang. Ya, harus pulang. Sepertinya dia butuh istirahat.
Mama bertanya ke mana tadi saya pergi, tapi rasanya seperti sedang ditegur karena saya sudah pergi tanpa bilang. Lalu Mama menjelaskan tentang bagaimana dia tadi terpaksa menemani Bagas, lksan, dan lpul menyambut detik-detik datangnya Tahun Baru. Mama menyampaikannya terdengar seperti lelucon, jadi saya hanya tersenyum.
Setelah saya memberitahu apa yang sebenarnya terjadi, Mama terkejut, tetapi saya mengatakan bahwa semuanya sudah selesai. Obrolan dengan Mama di kamar berubah menjadi kesempatan untuk saya menjelaskan semuanya tentang Dilan. Saya terbuka dengannya. ltu sangat membebaskan. Mama ikut senang, setidaknya suaranya terdengar begitu.
Saya juga menjelaskan kepada Mama tentang Bagas. Saya mengatakan kalau ada orang yang ingin bergaul dengan saya, mari. Kalau ada orang yang ingin berteman dengan saya, bertemanlah, dan saya sama sekali tidak memiliki perasaan terhadap siapa pun. Saya lebih suka mengembangkan persahabatan daripada transisi menuju ke arah yang lebih serius. Tapi sikap baik saya kepadanya, selalu membuat Bagas salah di dalam memahaminya.
Saya tahu, saya tahu, saya cukup yakin bahwa perasaan saya sangat berat sebelah. Maksud saya, saya cenderung lebih senang bersama Dilan daripada yang lain, karena Dilan memperlakukan saya lebih seperti saudara, dia memiliki chemistry yang hebat dengan saya, saya juga banyak mendapat pelajaran berharga darinya. Dan saya lebih senang dengan hal seperti itu. ltulah situasi yang saya alami.
Saya senang Dilan sudah kembali. Akhirnya kami menjalin kontak lagi. Dan itulah yang terpenting. Mudah-mudahan ini akan terus berlanjut untuk waktu yang lama bagi persahabatan saya dengan Dilan!
-- Next Chapter--
Bab 13
Sore itu, 1 Januari 1996, saya baru bangun dari tidur siang. Bagas
menelepon dan mengungkapkan rasa kecewanya karena saya melewatkan acara Tahun Baru bersamanya. ltu seperti dia merasa sudah diabaikan, yang membuat saya jadi seperti orang brengsek baginya, meskipun saya tidak bermaksud begitu.
Kemudian, yang bisa saya lakukan hanya meminta maaf karena saya benar-benar ingin menjaga persahabatan. Tetapi kemudian, dia mengatakan akan mengajak saya nonton bioskop.
"Kapan?"
"Besok, yuk!" jawab Bagas.
"Gak bisa ... kayaknya. Soalnya ... " "Atau Bagas ke rumah ...."
"Eh, nanti aja."
"Bagas bingung harus ngapain liburan. Kesel di rumah terus," kata Bagas. "Bimbel kapan mulai lagi?"
"Rabulusa, kan?"
"Pulang bimbingan, main yuk!" "Gimana nanti aja."
"Di rumah ada siapa aja?"
"Manusia, tikus, nyamuk .... Banyak." "Ha ha ha. Bagas rindu ...."
"Umi sehat?"
"Sehat."
Malamnya, melalui saluran telepon, saya mendengar Dilan batuk. Saya tahu dia sakit. Dan saya benci kalau dia memberi prioritas lain selain kesehatannya. Saya lalu menyarankan dia untuk jangan pergi ke mana pun. "lya, Bu," katanya. Saya tersenyum.
Saat itu, Dilan cerita bahwa terhitung dari sejak 5 Januari, Dilan akan mulai bekerja paruh waktu di Eiger. Pak Ronny, pemiliknya, meminta bantuan Dilan untuk meningkatkan kualitas produksinya.
"Kuliahmu gimana?"
"Semester ini gak ngambil SKS banyak," jawab Dilan. "Kamu nanti capek."
"Kalau capek, istirahat."
Jadi, kemudian saya mendukungnya. Bahkan, saya sangat bangga padanya. Saya suka melihat laki-laki memiliki etos kerja yang hebat. ltu seksi. Orang-orang seperti itu adalah pejuang, ketika banyak pria di luar sana bermalas-malasan, menganggur, atau tidak termotivasi.
Meskipun jadwal Dilan sibuk, sesekali dia masih bisa datang ke rumah untuk menyempatkan waktu belajar bersama. Saat itu, saya juga memiliki komunikasi yang sangat baik dengannya.
Dilan akan menelepon saya kalau dia punya waktu luang untuk itu. Biasanya di malam hari, di saat dia bersiap-siap untuk tidur.
Di bulan Ramadhan, beberapa kali Dilan sempat meluangkan waktunya untuk berbuka puasa di rumah saya. Bahkan, dia pernah datang bersama kawan-kawannya, membangunkan saya untuk sahur. Saat itu dia datang bersama Burhan, Anhar, Dudung, Edi, Aldi, dan lbun. Mereka ikut sahur di rumah. Saya senang bisa bercanda dengan Dilan dan juga kawan-kawannya, bahkan sampai kepada hal-hal yang paling bodoh sekalipun.
"Kemaren, ada mobil luar kota," Dilan cerita, "nanya jalan ke saya... , 'Kang, Jalan Ternate di mana?"' "Terus?" tanya Edi.
"Saya, kan, baru pulang tarawih, pake kopiah haji, pake sarung. Masa ditanya soal jalan? Gak level, dong. Jadi, saya jawab, 'Maaf, Bu. Soal jalan saya gak ngerti. Saya mah tahunya hanya masalah agama."'
"Ha ha ha."
"Eh, terus dia bilang, ya, udah. Assalamu'alaikum," kata Dilan lagi. "Ha ha ha."
"Nah, kalau si Anhar ... ," lanjut Dilan.
"Ah, aing deui (Ah, saya lagi)!" Anhar mengeluh. Semua tertawa. "Kalau si Anhar," Dilan melanjutkan, "jangan sampe dia ada di
jalan yang lurus. Kalau kita, sih, oke-oke aja." "Kenapa?"
"Nanti, ngebut dia!" "Ha ha ha."
"Bisa aja, sih, dia di jalan yang lurus. Tapi harus dikasih halang rintang," kata Dudung.
"Dikasih azab aja sekalian," jawab Burhan.
Sampai saat itu, kami telah mengalami banyak hal bersama-sama dan itu berjalan dengan sangat baik. Setiap kali kami memiliki kesempatan bertemu, kami mengisinya dengan banyak kegiatan yang tumpang-tindih, atau hanya diisi dengan sekadar membuat lelucon yang benar-benar menyenangkan. Saya tidak pernah bosan dengan humornya, ketawa konyolnya, atau dorongan kompetitifnya. Bahkan, keanehannya pun menarik buat saya.
Sesekali, di luar waktu belajar, Dilan mengajak saya melihat bintang di depan halaman rumah, membawa saya memancing ikan atau belut di empang, yang lokasinya berada di daerah persawahan yang tidak jauh dari rumah saya. Kalau sedang bosan belajar, kami akan bermain catur, main gitar, domino, atau memasak, dan itu adalah hal biasa. Kadang-kadang saya hanya berbaring di sofa, membaca buku, membiarkan Dilan sibuk sendiri mengerjakan tugas tugas sekolah saya, dan itu adalah hal termanis di dunia.
Jadi, itulah, saya merasa seperti telah mencapai tahap dalam suatu hubungan di mana saya merasa senang bersamanya. Kami tidak pernah benar-benar bertengkar. Dia berpikiran terbuka sebagai sesuatu yang sangat saya sukai. Dan dia adalah satu-satunya orang yang kepadanya saya meminta izin setiap ingin memotong rambut.
Saya tahu, memang ada tingkat keintiman emosional yang jauh lebih dalam antara saya dan Dilan, tapi pada tingkat itu saya menganggap dia hampir seperti figur kakak saja bagi saya. Dan meskipun ada banyak (tidak semua) orang-orang di lingkungan saya yang mengira saya pacaran dengan Dilan, tapi kami tidak terlalu banyak menghiraukannya.
Di luar semua itu, saya masih menikmati kesenangan masa-masa remaja saya. Maksud saya, saya tidak selalu hanya bersama Dilan. Saya masih suka nongkrong dan main bersama orang-orang yang saya anggap teman. Saya juga menghadiri beberapa acara sosial yang terjadi di sekolah, di tempat bimbel, ataupun di tempat lain.
Ketika hal-hal semacam itu terjadi, saya merasa berada di dalam situasi di mana saya bisa menangani diri saya sendiri dengan baik, meskipun pada saat yang sama, Bono menawarkan dirinya untuk menjadi pelindung saya. Bahkan, dia pernah mengantar saya pulang.
"Tuh, kan, nyatanya, gak usah nunggu tahun dua ribu sembilan lima," kata saya kepada Bono di perjalanan mengantar saya pulang.
"lya," jawab Bono. "Dilan tau gak, saya nganterin kamu?" "Nanti saya bilang."
"Bilang ke Kang Dilan, Bono mah cuma mau menjaga." "lya," jawab saya, "sekalian jaga lndri!"
"lya, dong," kata Bono tertawa. "Jangan dibawa macem-macem."
Saya membicarakan lndri dengannya, karena lndri pernah memberitahu saya tentang dia yang sudah mulai dekat dengan Bono.
Selama di sekolah, saya juga melihat bagaimana mereka menghabiskan hari-harinya dengan hampir selalu berdua. Kata lndri, dia sempat beberapa kali pergi makan bersama Bono.
Sejak itu, lndri menjadi tipe wanita yang selalu menjaga penampilannya. Dan memang menjadi terlihat cantik. Dia benar-benar seperti membalikkan keadaan. Bahkan katanya, dia juga menjadi rutin melakukan perawatan wajah menggunakan kosmetik merek Azarine.
"Halal, gak?"
"Halal, dong," katanya.
Selain itu, ada banyak topik lain tentang hal-hal kecil yang dia katakan, terutama tentang apa yang dia lakukan untuk bisa tampil lebih oke di dalam hidupnya yang baru.
"Selamat menempuh hidup baru, lndri!" lndri tertawa,
"Gandeng (Berisik)!
-- Next Chapter--
Bab 14
Hari-hari berlalu. Hari itu, sepulang dari sekolah, saya melihat
mobil Nissan Patrol yang diparkir di pinggir jalan di depan rumah saya. Kemudian, saya mendengar suara-suara ceria datang dari ruang tamu dan melihat Mama sedang berdua bersama seorang ibu dengan potongan rambut pendek model bob lurus. Dia mengenakan celana jeans dan t-shirt bergambar logo Rolling Stones. Penampilannya eksentrik.
"lnikah anakmu?" tanya tamu Mama, ketika saya selesai membuka sepatu di ambang pintu. Aksennya terdengar seperti orang Sumatra.
"lya," jawab Mama bersamaan dengan saya yang mulai masuk rumah, lalu tersenyum kepadanya.
"Mengapa cantik?" katanya dengan wajah mengungkapkan keterkejutan.
Mama kemudian menjawab, "Cantik, dong. Kan, ibunya juga cantik, ha ha ha."
"Duduk sini, Nak?" katanya, dengan isyarat tangannya agar saya duduk di sampingnya.
ltu aneh. Siapa dia?
"lni Bunda ... ," kata Mama, mendongak ke arah saya. "lbunya Dilan."
Saya benar-benar terkejut dan mendebarkan!!!
Terus terang, saya gugup, menjadi seperti merasa serbasalah dan saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, rasanya seperti takut tidak bisa melakukan sesuatu yang lebih baik, tapi saya sangat senang, akhirnya bisa mencapai tujuan yang saya inginkan selama ini: bertemu dengan Bunda di dunia nyata. Tidak terpikir oleh saya sama sekali bahwa hal itu akan terjadi. Saya menatapnya dengan tidak percaya.
"Sini, Nak, duduk dekat Bunda," katanya lagi dengan tersenyum riang.
"Sana. Salim," perintah Mama. Ya, itulah yang justru ingin saya lakukan.
"Sini ... ," Bunda menggeser, memberi ruang duduk untuk saya.
Dengan bersemangat, saya berjalan ke arahnya sambil tersenyum dan mencium tangannya. Lalu, Bunda mendudukkan saya di sampingnya dan melingkarkan tangannya di bahu saya.
"Bunda tebak, kamu pasti banyak yang suka," katanya. Saya tersenyum oleh cara dia memandang saya.
"Enggak ada ... ," jawab saya.
Bunda sedikit terperangah dengan sempat menarik dirinya ke belakang, "Masa, orang seperti kau tidak ada yang suka?" tanya Bunda lagi dengan serius. "Laki-laki bodoh. Barang bagus begini."
Kami semua tertawa.
"Kau harus tau, Bunda pernah punya rambut seperti ini juga waktu muda," katanya, mulai membelai rambut saya. "Herannya, tapi tidak secantik kamu."
"Masa, sih?" tanya saya tersenyum, dengan rendah hati menepis pujiannya.
"Bunda, waktu muda cantik ...." kata Mama.
"Heh?" kata Bunda berseru memandang Mama, "Memang sekarang seperti monster, kah?" Saya dan Mama ketawa.
"Ngomong-ngomong, ada orang yang pernah mengganggumu?" tanya Bunda kemudian.
"Ada, Bunda," jawab saya. Saya bilang "ada" hanya karena ingin tahu reaksinya.
"Oh! Sudah matikah dia?" tanya Bunda dengan nada serius. "Mungkin besok," jawab saya, mulai kebawa gayanya dan saya
merasa seperti cocok dengannya.
"Ha ha ha," Bunda ketawa. Mama dan saya juga ketawa.
"Kata mamamu, Dilan suka ke sini, ya?" tanya Bunda dengan sisa suara ketawa.
"Suka, Bunda," jawab saya.
"Bunda kasih tau sekarang. Kalau ada Dilan, kamu harus sembunyi ...."
"Kenapa?"
Bunda menjawabnya dengan mempermanis suaranya sehingga menjadi bisikan di telinga saya, seolah-olah apa yang akan dia katakan jangan sampai terdengar oleh Mama.
"Nanti dia cinta!" kata Bunda di telinga saya.
Saya ketawa. Kata-katanya benar-benar mengejutkan.
"Apa? Apa?" tanya Mama, merasa penasaran ingin tahu apa yang dikatakan oleh Bunda.
"Rahasia perusahaan!" jawab Bunda.
Setelah itu, kami mengobrol santai tentang banyak hal. Semuanya terasa alami dan tidak dipaksakan. Saya mulai merasa jauh lebih tenang dan menjadi akrab dengannya. Saya juga bisa merasakan Bunda sangat tertarik dengan semua percakapan, dan seperti dia ingin berbicara lebih banyak lagi dari itu.
Saya pikir bagian dari apa yang membuat saya suka kepada Bunda adalah dia orang yang luar biasa bagi saya. Saya menganggap dia sebagai orang yang ekspresif dengan selera humor yang baik dan benar-benar menghibur. Sepertinya, dia juga stabil dan bermartabat.
Malamnya, saat Dilan menelepon, saya membahas tentang Bunda, dan mengatakan kepadanya bahwa Bunda itu orang yang menyenangkan, lalu Bunda sebarkan ke mana-mana. Tapi kata Dilan, "Apa yang kamu lihat itu palsu. Bunda bisa lebih terlihat nyata kalau dia sedang di rumah."
"Emang kalau di rumah gimana?" "Tidur."
Selain membahas Bunda, kami juga membicarakan hal lain. Dilan bilang bahwa dia ingin segera main ke rumah saya, tapi masih ada banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan, termasuk tugas-tugas kuliahnya. ltu adalah hal yang hampir sama yang selalu dia katakan.
Setelah selesai bicara dengan Dilan lewat telepon, saya kembali mengerjakan beberapa tugas sekolah dan merasa lega setelah semuanya selesai.
Apakah hanya itu yang harus saya lakukan?
Saya butuh liburan, atau menghabiskan waktu berkualitas dengan orang-orang yang saya sukai. Tapi, semua orang tampaknya begitu sibuk sampai tidak punya waktu untuk itu.
Bagas telepon, awalnya hanya bicara tentang banyak hal yang penuh basa-basi, kemudian dia mengajak saya pergi ke acara pameran pendidikan, dan yang kemudian saya sadari adalah tidak apa-apa untuk mengatakan "tidak bisa" jika saya memang sedang tidak ingin pergi ke sana.
Saya juga menerima telepon dari lndri yang memberitahu saya bahwa tadi sepulang sekolah, dia menghabiskan sisa waktunya dengan jalan-jalan bersama Bono.
"Ke mana?"
"Lembang, dong!" jawab lndri lewat telepon.
Hey, lihatlah Bono! Dia seperti orang yang datang begitu mudah untuk lndri. Saya memikirkannya sambil melihat ke luar jendela. Dan jawabannya yang jelas adalah, tentu saja, karena Bono tidak sibuk.
Malam mulai terasa menjadi sunyi. Di luar, angin bertiup cukup kencang. Pohon-pohon di halaman depan mulai berdesir. Saya menguap bersamaan dengan terdengarnya guntur yang menggelegar di kejauhan. Saya langsung berbalik dan masuk dalam selimut, berbaring di tempat tidur.
Beberapa hari kemudian, Dilan datang ke rumah. Dia mengajak saya pergi ke toko buku yang ada di daerah Jalan Merdeka.
"Ke Lembang, yuk?" tanya saya. "Nanti aja," jawab Dilan.
Ya, sudah. Saya mengerti. Dia sibuk! Dia bukan Bono. Saya merasa seperti akan aneh kalau memaksanya.
"Anwar sekarang tinggal di rumah Abah, ya?" tanya Dilan.
"lya. Soalnya harus jaga Abah."
"Aku juga jadi jarang ke rumah Abah." "Pulang dari beli buku, yuk!"
"Hayu."
Sesampainya di toke buku, Dilan memilah-milah beberapa buku desain dan fotografi dengan sampulnya yang bagus-bagus. Saya sendiri tidak tahu ketika saya memikirkan buku apa yang ingin saya beli.
Sekitar beberapa menit kemudian, kami bertemu dengan seorang perempuan yang menyapa Dilan dan bertanya bagaimana kabarnya. Saya menebak usianya sudah di atas dua puluh tahun. Dia memakai pakaian yang cukup provokatif. ltu tidak masalah, itu urusannya, tapi sesuatu yang sulit saya pahami adalah mengapa dia sangat genit. Mungkin dia tidak berpikir itu genit, dia hanya berpikir itu ramah, tapi itu membuat saya merasa canggung.
"Eh, kenalin ..., Cika," kata Dilan kepada perempuan itu.
Saya tersenyum kepadanya dan meraih tangannya yang menawarkan jabat tangan dengan asal.
"Rurin," katanya memperkenalkan diri. Cengkeramannya tidak kencang.
"Cika," jawab saya.
Dia tidak memperhatikan nada bicara saya dan mulai ngobrol lagi dengan Dilan. Saya mencoba mengabaikannya dan memutuskan untuk memanfaatkan waktu dengan memilih-milih buku yang dipajang di rak display.
Ada banyak hal lain yang terjadi selama waktu itu, yang membuat saya berpikir sepertinya dia termotivasi untuk berada di dalam hubungan yang berkomitmen dengan Dilan. Misalnya, Rurin bilang ke Dilan bahwa dia pernah menelepon ke rumah Dilan, tetapi yang menerimanya si Bunda.
Secara terbuka, dia juga bicara kepada Dilan, bahwa dia kangen dan kecewa ketika pada acara makan-makan di daerah Punclut, Dilan tidak datang. Dan lain-lain. Bagaimana dia bisa menjadi seperti itu?
Terus, saya tidak yakin apa yang Rurin rencanakan dengan Dilan. Samar-samar, saya mendengar Rurin bilang bahwa dia akan terus mengusahakan untuk bisa bekerja sama lagi dengan Dilan. Biar bisa bareng-bareng lagi dengan Dilan, katanya. Saya bertanya-tanya tentang apa yang ada di baliknya.
Setidaknya, begitulah yang terjadi dan saya membatalkan main ke rumah Abah karena memilih ingin pulang.
Sekitar pukul lima sore, kami sampai di rumah, dan saya bilang kepada Dilan, "Aku ngantuk, mau tidur."
ltu seperti memberi isyarat bahwa saya ingin sendirian dan jangan diganggu.
Dilan seperti tidak tahu apa yang bisa dia lakukan, selain hanya bilang, "Oke. Aku pulang, ya."
"Ya!"
Kadang-kadang, saya berpikir setiap Dilan tidak ke rumah, saya benar-benar tidak mengerti ke mana sesungguhnya dia pergi, selain untuk menyelesaikan pekerjaannya dan mengurus kuliahnya. ltu adalah salah satu misteri yang meliputinya.
Misteri lainnya adalah masih belum terungkap: apakah dia masih sendiri atau sudah punya pacar? Saya kira dia seharusnya memiliki kesempatan banyak untuk itu di kampusnya, di kantornya, atau di mana pun dia berada.
Hari itu saya membuang-buang waktu untuk murung. lni seperti saya telah mengembara ke sudut aneh dari pikiran saya dan kemudian tersesat di dalamnya.
Di hari Rabu, saya harus mengikuti acara tambahan di sekolah, dan baru selesai setelah pukul setengah tiga. Saya berpikir bagaimana caranya agar saya bisa cepat sampai ke tempat bimbel, dan akhirnya saya diantar oleh Bono.
Setelah sampai di tempat bimbel, saya melihat lksan malah sedang membaca buku di teras tempat bimbel. "Belum masuk?" tanya saya kepada lksan setelah Bono pergi.
"Belum datang gurunya juga," jawab lksan. "Ah!"
"Dianter siapa itu?"
"Bodyguard," jawab saya. "Kenapa memang?" "Gak apa-apa. Nanya aja."
Kemudian, lksan mengajak saya pergi sambil meraih pergelangan tangan saya. ltu aneh karena tidak biasa.
"Mau ke mana?" tanya saya bingung.
lksan membawa saya ke dalam ruangan kelas yang sedang kosong.
"Ada apa, sih?"
"Bagas di belakang. Dia lagi marah. Kamu diem aja di sini," jawab lksan.
"Marah kenapa?"
Saya tahu dia baik-baik saja karena masih hidup, jadi saya tidak peduli dengan apakah dia marah atau tidak.
"Tunggu aja," katanya. "Ah, enggak."
"Plis, tunggu. Bentar aja."
lksan pergi, tapi di ambang pintu, dia sempat menoleh ke belakang dan bicara kepada saya, "Tunggu, yaaa."
Sendirian di ruang kelas, terasa dingin dan kering. Saya benar benar tidak tahu harus berbuat apa. Saya hanya duduk di sana seperti orang bodoh. Akhirnya saya memutuskan untuk pergi, tetapi sebelum saya pergi, lksan datang lagi. Dia membawa kue ulang tahun ke dalam ruangan, disusul oleh Bagas, lksan, lpul, dan beberapa yang lain sambil menyanyikan lagu Happy Birthday.
Saya tahu, mereka sedang melakukan banyak upaya untuk membuat saya merasa istimewa atau semacamnya. Tapi sejujurnya, saya tidak terlalu suka. Entah mengapa. Buat saya, itu tampak seperti anak kecil.
Saya kemudian merasa agak stres untuk beberapa alasan. Tapi, saya tidak boleh terlalu egois. Jadi, ketika mereka menyuruh saya meniup lilin, saya lakukan. Saya yakin, lndri pasti akan tertawa terbahak-bahak melihat apa yang saya lakukan.
Setelah itu, lksan menyanyi, atau sebetulnya berseru, hampir tidak bisa dikendalikan.
"Potong kuenya, potong kuenya. Potong kuenya sekarang juga"
Kemudian, seperti orang bodoh, saya berkata, "Baiklah".
Saya mulai memotong kue dan menyimpannya di atas piring kertas yang sudah disediakan. lksan meminta saya memberikan kue yang sudah di tangan saya kepada orang yang saya anggap istimewa. Ide itu menampar pikiran saya bahwa saya harus melakukan hal yang menggelikan.
"Oke. Tapi, sebelumnya saya mau bilang," kata saya kepada mereka. "Harus tau semua. Buat saya, semua orang itu istimewa. Terutama, ayah dan ibu saya. lksan juga istimewa, lpul juga. Tapi karena ini kuenya dari Bagas, jadi saya kasihin lagi ke Bagas."
Saya memberikan sepotong kue ulang tahun kepada Bagas, meskipun saya tidak ingin seperti itu sebenarnya. Saat itu, saya benar-benar seperti sedang melakukan apa yang tidak saya inginkan. Saya tersenyum, tapi mereka sama sekali tidak tahu apa yang sedang saya pikirkan.
"Suapin, dooong," kata lksan mendesak dan saya benar-benar ingin memukulnya karena itu.
"Makan sendiri," jawab saya. "Sudah besar."
Saya tahu, seorang gadis harusnya bisa mengatakan tidak ketika dia tidak ingin melakukannya.
"Aaah! Gak romantis!" lksan mengeluh.
Acara ulang tahun selesai, dan saya pamit mau pulang. Tapi, lksan dan lpul menahan saya agar jangan pergi dulu karena kata lksan, ada sesuatu yang ingin Bagas sampaikan.
"Maksudnya?" tanya saya.
"Rahasia," jawab lksan, melirik ke arah Bagas.
"Emang, mau ngomong apa?" tanya saya kepada Bagas langsung.
Sebelum Bagas menjawab, lksan, lpul, dan yang lain pamit pergi, meninggalkan saya berdua dengan Bagas di dalam kelas.
Kemudian, setelah mengatakan beberapa hal normal, Bagas bilang bahwa dia mencintai saya. Dan saya hanya terkejut mendengarnya. ltu sebagian besar karena saya tidak pernah berpikir dia akan mengatakannya. Saya benar-benar tidak berpikir Bagas akan sampai sejauh itu.
Selama waktu itu, Bagas menyingkirkan kue ulang tahun, lalu menyimpan sebungkus cokelat dan setangkai bunga mawar di atas kursi. Saya tidak tahu apa yang terjadi dengannya sampai dia meminta saya untuk memilih di antara keduanya. Dan saya baru mengerti maksudnya, ketika Bagas bilang bahwa kalau saya mau menerima cintanya, saya hanya tinggal memilih bunga.
"Kenapa harus begini?" tanya saya.
"Tinggal pilih aja," katanya tersenyum ragu. Serius, saya merasa ada energi yang tidak nyaman dari bocah itu.
Baiklah. Akhirnya saya memilih cokelat. Tentu saja, itu membutuhkan sedikit keberanian, dan saya memiliki semua hak untuk menolak seseorang. Saya tahu, dia kecewa dengan pilihan saya meskipun sebetulnya, saya tidak ingin mengecewakan siapa pun. Saya hanya tidak tahu kenapa saya tidak bisa jatuh cinta kepadanya.
Kemudian, saya langsung merasa tidak enak, "Gak apa-apa, kan?" tanya saya.
"Gak apa-apa," jawab Bagas. Tapi sekilas, saya bisa melihat di wajahnya bahwa sesuatu yang tidak menyenangkan sedang dirasakannya.
"Maaf, ya, Gas ...."
Baru setelah itu, Bagas bangkit dan pergi, meninggalkan ruangan kelas tanpa berkata apa-apa. Saya sempat melihat ada garis sinis di sudut bibirnya.
Sayang sekali harus berakhir seperti itu. Saya sangat kasihan padanya, tapi rasanya persahabatan saya dengan Bagas sudah mencapai tanggal kedaluwarsa. Tapi, sudahlah, saya merasa tidak perlu terlalu memikirkannya.
Malamnya, saya berencana untuk segera menyelesaikan PR. Saya duduk di kursi meja belajar sambil mendengarkan suara hujan di bulan Maret.
ltu adalah hujan di hari ulang tahun saya. Saya berharap, saya akan memiliki tahun-tahun yang luar biasa, termasuk kesehatan dan kebahagiaan untuk membuat saya merasa lebih baik.
Sekitar pukul sembilan, Papa dan Mama masuk ke kamar. Mereka memeluk saya dan mengucapkan selamat ulang tahun. Mereka juga mengatakan kepada saya bahwa mereka mencintai saya, dan saya merasakan semua emosi bercampur aduk, rasanya seperti mau meluap keluar.
Menyusul kemudian, Beni masuk bersama Bi Yati. Mereka juga mengucapkan selamat ulang tahun untuk saya. Saya merasa seperti tidak cukup dengan hanya mengucapkan terima kasih kepada mereka. Saya benar-benar merasa memiliki segalanya oleh keberadaan mereka.
Setelah mereka keluar, hanya selang beberapa menit, telepon berdering dan itu dari Dilan.
"Halo ... ," saya menyapa.
"Kamu ulang tahun?"
"lya."
"Selamat ulang tahun."
"Makasih."
"Besok akujemput kamu di sekolah."
"Ada apa?"
"Ada perlu," jawab Dilan. "Pulangjam berapa?"
"Jam dua belas."
"Kamu ada tugas?"
"Gak ada ... ," jawab saya. "Mama ada?" Tanya Dilan. "Ada."
"Bisa bicara sama Mama?"
"Maaah!!" saya berteriak memanggil Mama sambil meletakkan telepon di atas meja, dan berjalan untuk kembali ke kamar.
Saya masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri saya sebelum tidur. Setelah selesai, saya melihat Mama sedang meletakkan secangkir teh di atas meja belajar.
"Mama boleh nanya, gak?" Tanya Mama "Apa?"
"Teteh pacaran sama Dilan?"
Entah bagaimana, Mama seperti mencurigai sesuatu tentang hubungan saya dengan Dilan.
"Pacar Dilan namanya Rurin," jawab saya. "Rurin?"
"Udah, ah. Mau tidur."
"Tadi ... Dilan bilang di telepon, katanya nitip sun buat Teteh.
Diwakilin sama Mama katanya."
Saya menahan diri untuk tidak berkomentar. "Kalau gak mau, ya, udah," kata Mama.
Wajahnya menjadi serius dan tampak sedih, kemudian Mama berjalan keluar kamar. Dalam satu mikrodetik, saya langsung terdiam, dicengkeram oleh perasaan seperti sudah meremehkan titipan Dilan yang diwakilkan oleh Mama.
Seusai mengunci pintu, saya naik kembali ke tempat tidur dan membalut diri dengan selimut, diiringi oleh suara hujan dan angin lembut yang berembus melalui dedaunan di halaman depan rumah. Jam weker di atas meja menunjukkan pukul sebelas.
Keesokan harinya, di sekolah, Dilan datang menjemput saya. Dia mengenakan jaketjeans belel dan menunggu saya di depan gerbang sekolah. Sayang sekali, hari itu, lndri tidak masuk sekolah, padahal katanya dia ingin berkenalan dengan Dilan.
Saya tahu niat Dilan baik. Saya juga baik-baik saja dengan perhatiannya. Sayangnya, dia mungkin mengira saya menghindarinya dan dia pasti tidak tahu kenapa. Saya benar-benar merasa sedih dengan sikap saya yang kurang ramah kepadanya malam tadi dan hari itu.
"Mau ke mana?" tanya saya. "Jalan-jalan, yuk!" kata Dilan. "Aku mau ke Cikapundung." "lya, kita ke sana."
"Kamu gak sibuk?" "Enggak."
"Rurin gimana, dong?" tanya saya beberapa saat kemudian.
Sebetulnya, jantung saya berpacu saat mengatakannya.
Saya sudah tidak tahu lagi siapa Dilan bagi saya, yang saya pikirkan hanyalah Dilan dan hubungannya dengan Rurin. Saya tahu perasaan ini tidak benar, tapi rasa ingin tahu saya menguasai diri saya dari sejak bertemu dengan Rurin di toke buku. Maaf, kalau saya sedikit cemburu, saya benar-benar terlalu memikirkannya. Kadang kadang saya memang bodoh.
"Kok?" kata Dilan setelah terdiam sebentar.
Sebetulnya, saya juga merasa bersalah dalam hal ini. Terasa menghakimi karenanya, tapi sudah telanjur saya bahas, "Kali aja ... " jawab saya, "mungkin kamu ada acara sama Rurin?"
Saya tahu situasi itu membuat Dilan jadi bingung, "Kok, ngebahas Rurin?"
"Emang kenapa kalau membahas Rurin?" "Kamu mikirin Rurin?"
"Enggak," jawab saya.
Saya benar-benar berpikir untuk tidak ingin membahasnya lagi, tapi, "Kenapa tadi kamu membahasnya?" tanya Dilan.
Ah!!!
"Pengen aja ... ," jawab saya.
"Ya, udah, kita bahas Rurin," jawab Dilan.
Saya tidak meresponsnya. Saya hanya mengepalkan tangan kanan saya dan gemas ingin sekali memukul bahunya, seperti yang terlihat dari ekspresi mulut saya.
"Kenapa diam?" tanya Dilan.
"Gak mau bahas lagi."
Tapi, Dilan tetap membahasnya. Dilan bilang bahwa Rurin adalah Project Officer di salah satu perusahaan yang ada di Cimahi. Dilan baru mengenalnya dua bulan yang lalu melalui proyek dari perusahaan tempat kerja Rurin yang sedang digarap oleh Dilan.
Rurin selalu ada di dalam setiap pertemuan, tapi sama sekali tidak ada kesempatan untuk banyak bicara dengan Dilan, meskipun Rurin selalu mendekat dengan sangat cepat melalui banyaknya kegiatan dan pertemuan tim.
"Tapi aku lihat, kamu deket banget sama dia di toke buku?"
Dilan menjawab bahwa Rurin memang seperti itu, dia melakukan hal sama kepada semua orang. Dan, Dilan juga bilang bahwa Rurin hanya teman biasa baginya.
Ya, sudah!
"Aku gak ada hubungan apa-apa sama Rurin ...," lanjut Dilan. "Udah! Berisik!"
Sesampainya di Cikapundung, saya bisa melihat di hampir sepanjang trotoarnya ada begitu banyak lapak yang menjual buku buku diskon atau buku bekas. Saya dan Dilan mulai menjelajahi semua lapak penjual buku.
Ada begitu banyak buku dengan berbagai pilihan. Semuanya mengandung pengetahuan dan informasi di setiap halamannya. Sangat memukau dan membuat saya kewalahan memikirkan buku apa yang mungkin akan saya beli.
Saya dan Dilan jongkok di salah satu lapak yang ada di sana, lalu memilih-memilih buku, meskipun sebetulnya saya berharap bisa memiliki semuanya. Dan di saat itulah, saya mendengar percakapan Dilan dengan si penjual buku.
"Mang! Ada majalah panas?" tanya Dilan hampir berbisik.
Seperti yang pernah saya katakan, di Cikapundung, selain menjual majalah, buku, dan novel yang normal, mereka juga menyediakan majalah esek-esek yang dijual secara sembunyi sembunyi.
Saya menoleh ke arah Dilan, karena merasa tidak yakin dengan apa yang baru saja dia katakan.
"ltu?" jawab penjual buku, "Ada!"
Baru setelah itu, saya melihat si penjual buku menunjukkan beberapa majalah Playboy yang disimpan di satu tempat tersembunyi.
"Bukan itu!" jawab Dilan.
"Nyari majalah panas, kan?" tanya tukang buku mengerutkan dahinya.
"Maksud saya majalah Panasea, Pak," jawab Dilan serius.
Sekadar informasi, majalah Panasea yang dimaksud oleh Dilan adalah majalah kesehatan populer, yang pada masa itu masih beredar.
"Oh, ituuu, kirain ... ," kata si penjual buku. "Tuh, banyak! Silakan!" kata penjual buku itu sambil menunjuk tumpukan majalah Panasea edisi lama.
Situasi serius yang cukup lucu. Saya berusaha menahan tawa saat itu terjadi.
"Mau buku apa? Di sini ada. Buku Si Manis Jembatan Ancur, ada.
Buku Si Buta dari Gua juga ada!"
"Kalau Gundala Putra Putri, Pak?" tanya Dilan. "Adaaa!" jawab si penjual buku. Mungkin saja dia kesal.
Di perjalanan, setelah beres dari membeli buku, hampir semua percakapan yang dilakukan oleh Dilan dan tukang buku, tiba-tiba muncul kembali di kepala saya. Saya langsung tertawa dan benar benar tertawa keras.
"Kenapa?" tanya Dilan. "Kamu ... ha ha ha!"
Saya tidak bisa meneruskan kalimat oleh tawa yang susah ditahan.
"Kenapa?"
"Enggak, ah!" jawab saya masih ketawa. "Apa, sih?"
"ltu ... kamu cocok, ya, sama tukang buku itu, ha ha ha!" Dilan ketawa dan saya juga.
"Kamu cocoknya sama siapa?" tanya Dilan. "Aku ... cocoknya ... sama Rurin."
"Kirain sama aku."
Saya menjulurkan lidah untuk meledek apa yang baru saja Dilan katakan. Saya berani karena saya yakin, Dilan tidak mungkin bisa melihatnya. Lagi pula, motornya, kan, tanpa kaca spion.
ltu adalah sore yang hangat di bulan Maret. Kami terus mengobrol dan dengan susah payah, saya memulai percakapan tentang Bagas yang menyatakan perasaannya kemarin. Saya mengatakannya dengan cara terbuka dan terdengar ringan di hati. Dilan hanya tertawa dan tidak mengatakan apa-apa tentang itu.
"Ke mana lagi?" tanya Dilan. "Terserah!"
Setelah itu, Dilan membawa saya ke Tahura, yaitu Taman Hutan Raya Djuanda, yang lokasinya di daerah Dago Pakar, kira-kira 20 menit perjalanan menggunakan sepeda motor dari Cikapundung.
Tahura memiliki alam seluas 526 hektare dengan aneka macam pohon, yang tidak hanya mencakup pinus, tetapi juga cemara, mahoni, hantap, trembesi, dan merupakan rumah bagi spesies langka seperti bunga bangkai. Semuanya dimiliki oleh pemerintah Indonesia, dan merupakan tempat yang sempurna untuk liburan di akhir pekan.
Pada saat kami masuk, setelah membeli tiket, kami melewati sebuah jembatan sungai di hilir, mendengar suara tonggeret, mendengar suara burung, dan suara angin yang menderu di antara pepohonan.
Kami berjalan-jalan sedikit dan melihat sekeliling untuk tampak seperti orang kota yang terpukau oleh pepohonan yang menjulang tinggi di sekitar. Saya merasa cukup senang oleh rimbunnya ruang hijau yang bisa menenangkan tubuh dan otak.
Saat kami berdiri di atas batu besar, memandang ke arah luas dari hutan rimbun di lembah, Dilan menyuruh saya menarik napas melalui hidung selama empat hitungan, tahan napas, lalu lepaskan melalui mulut dengan perlahan. Saya melakukannya. Biarkan alam memasuki tubuh kamu melalui semua pancaindra, dan senanglah karena itu adalah bagian dari merayakan acara ulang tahunmu, katanya.
Butuh beberapa detik untuk saya bisa memahami apa yang sedang terjadi, dan kemudian tersenyum memandangnya.
ltu benar-benar kejutan terbaik yang pernah ada! Wajah saya langsung terasa merah muda.
Kemudian Dilan, dengan cukup tegas, memberi saya Tahura sebagai hadiah ulang tahun darinya. Cara menyampaikannya terdengar serius, seolah-olah itu nyata, dan saya hanya tertawa meresponsnya.
"Nah, sekarang Tahura ini sudah jadi milik kamu." "Tahura, kan, milik pemerintah?"
"Anggap aja udah milikmu," jawab Dilan. "Berfantasilah!" Saya mengangguk dengan antusias.
Kemudian, katanya, sampai batas tertentu, berfantasi sangat menyenangkan. Fantasi adalah bagian penting dan perlu untuk kita menikmati kehidupan. Film juga fantasi, lukisan juga fantasi. Balita dan anak-anak prasekolah juga perlu buku fantasi. Kisah-kisah tentang raja dan ratu, pangeran dan putri, kesatria dan naga, telah menghibur orang selama berabad-abad adalah karena fantasi. Hans Christian Anderson, Charles Perrault, mereka menjadi orang besar karena berfantasi. Wright bersaudara juga berfantasi.
"Einstein juga bilang, imajinasi lebih penting daripada ilmu pengetahuan," kata saya.
Dilan tersenyum, lalu katanya, kita ini selalu menggunakan rasio, sehingga cenderung merendahkan segala sesuatu yang tidak ilmiah. Padahal, kita semua memiliki kapasitas untuk berfantasi.
"Jadi, Tahura ini sudah menjadi milikku?" tanya saya. "Satu hektare aja."
"Ha ha ha."
Sesuatu yang aneh, sesuatu yang lucu, sesuatu yang tidak terduga. Dilan memang satu dari tipe orang di mana segalanya menjadi mudah baginya. Betapa menyenangkannya hal itu dan saya sangat menikmati waktu yang kami habiskan bersama di Tahura.
Saya masih ingat segalanya tentang hari itu. Ya, itu adalah bagian terpenting yang bisa saya ingat bahwa, pada dasarnya hadiah ulang tahun yang diberikan oleh Dilan kepada saya, bukan cuma satu hektare tanah di Tahura Djuanda, karena saya merasa Dilan juga memberi saya hadiah lain, yang lebih besar dari itu, dan tidak dibatasi oleh kenyataan, juga berhubungan langsung dengan keinginan dan impian terdalam, sekaligus memicu daya imajinasi. ltu adalah: fantasi!
Kami sampai di rumah kira-kira pukul lima sore, dan mendapati ada keluarga Mang Dhani di ruang tamu. Mang Dhani adalah kakak dari Mang Anwar atau adik dari Mama. Keluarga Mang Dhani memiliki satu anak perempuan yang saat itu berusia lima tahun. Namanya Sabrina. Dia sangat lucu, sehingga sulit untuk diabaikan. Saya meraihnya dan langsung menggendongnya, tetapi kemudian anak itu menangis.
"Sini ... sini," kata Dilan meraihnya.
Kemudian, Sabrina berhenti menangis setelah diambil alih oleh Dilan.
"lh, kok, ke Teteh gak mau," kata saya merasa kecewa seperti gagal pada tugas dasar menjadi ibu.
"Anak kecil, tuh, bisa melihat malaikat," kata Dilan. "lya. Tidak bisa melihat bidadari," jawab saya.
Sambil menikmati makanan, kami menghabiskan waktu bersama keluarga Mang Dhani hanya untuk mengobrol bersama-sama di ruang tamu. Dilan selalu sangat cocok untuk membuat kami tertawa. Terkadang, kami merasa seperti keluarga yang bahagia, sayang sekali di tengah keceriaan itu, Pak Ryumam menelepon.
Kamu harus tahu siapa Pak Ryumam. Dia pengajar baru di tempat bimbel saya. Saat itu, dia masih mahasiswa di salah satu perguruan tinggi yang ada di Bandung. Setiap saat dia selalu menjaga pakaiannya untuk tetap modis. Pokoknya itu adalah suatu masa ketika dia mengira dirinya adalah orang yang paling tampan di dunia.
Sebetulnya, pada saat awal-awal saya mengenalnya, saya masih mau bercakap-cakap dengan dia, tetapi kemudian dia mulai sering menggoda saya, atau sesuatu seperti itu dan melakukan gerakan gerakan nyata yang menunjukkan dia tertarik kepada saya dengan cara berlebihan, hal itu membuat saya terganggu dan tidak nyaman.
Dari semenjak itu, setiap saya berpapasan dengannya, saya selalu memasang muka galak, dengan tujuan akan terlihat seperti orang yang kurang mudah didekati, tapi tetap saja dia berani, bahkan pernah menawarkan diri untuk mengantar saya menggunakan mobilnya. Tentu saja saya menolak.
Saya tidak akan menyebut dia menyeramkan selama dia tetap diam dan tidak mencoba berbicara dengan saya. Kenyataannya dia terus merangsek sampai membuat saya tidak ingin duduk sendirian di tempat bimbel, karena saya takut dia akan datang untuk duduk dengan saya.
Sebetulnya sangat disayangkan ada pengajar seperti Pak Ryumam, padahal menurut saya, dia bisa menjadi laki-laki yang sangat baik, dengan berhenti mengajar di tempat bimbel saya, meskipun sebetulnya dia tidak mengajar di kelas saya karena dia pengajar kelas IPS. Jika Pak Ryumam bisa mewujudkannya, saya yakin dunia akan menjadi lebih baik.
"Cika, punya buku Siap Menghadapi EBT ANAS dan UMPTN 1995, gak?"
tanya Pak Ryumam melalui telepon, setelah diawali oleh omongan basa-basi.
"Buat apa, Pak?" "Kakak bisa motokopi." "Beli aja atuh, Pak."
"Waktunya, nih. Kakak gak ada waktu."
"Caba tanya yang lain, Pak. Mereka juga punya."
"Ya, udah. Nanti Kakak tanya."
"lya, Pak."
"Yoyo sakit, ya?"
Yoyo yang dimaksud adalah salah satu office boy di tempat bimbel. "Oh? Gak tau saya, Pak," jawab saya.
"Udah dua hari gak masuk."
"Oh."
"Lagi apa?"
"Main sama ponakan." "Pasti lucu-lucu." "Alhamdulilah."
"Kalau Cika, tuh ..., asli Bandung, ya?''
"lya. Kenapa, Pak?"
"Cewek Bandung, tuh, cakep-cakep."
"Oh."
"Tau, gak? Kemaren ada kejadian lucu ...."
"Gak tau, Pak?"
"Kan, si Endro ... kenal si Endro, kan?"
"Enggak, Pak."
"Ya, pokoknya ada, lah. Kemaren nelepon Kakak. Ngajak mancing ...."
Saya diam karena merasa tidak perlu mengomentari.
"Kakak bilang ke si Endro, Kakak tuh, sukanya mancing keributan ha ha ha. Si Endro langsung ketawa. Dia bilang ke Kakak, Kakak bodor katanya. Ha haha."
"Tau nomor telepon saya dari siapa, Pak?"
"Ada ... gajahf'
Saya merasa tidak bersalah dengan jawaban-jawaban singkat saya. Mungkin terdengar angkuh, tapi saya hanya ingin menutup kesempatan baginya untuk tidak mengatakan lebih banyak lagi.
Kemudian, Pak Ryumam bilang, dia ingin datang ke rumah dan membicarakan banyak hal, dan saya tidak tahu harus berbuat apa. lni benar-benar mimpi buruk buat saya.
Saya merasa sedang menghadapi kecemasan serius, merasa terintimidasi oleh Pak Ryumam, sehingga saya perlu bersikap tegas dengan bilang bahwa di rumah sedang ada pacar saya.
"Ya, ndak apa-apa, kan, Kakak datang?"
"Jangan merepotkan, Pak!"
"Ndak merepotkan, lah, kalau perlu Kakak datang sekarang." "Maksudnya, jangan merepotkan saya, Pak!" "Kakakjamin, Kakak akan baik-baik aja ...."
"Hari ini saya mau berdua aja, Pak. Gak boleh ada pihak ketiga."
"Ya, sudah. Lain kali aja, kalau gak ada pacar,ya?"
ltu pernyataan yang menyebalkan buat saya. Kalau kamu ingin stres, saya sarankan untuk berbicara dengannya. Dia selalu seperti sengaja mencoba memaksa masuk ke dalam hidup saya yang membuat saya merasa tidak nyaman. Kalaupun memang dia kesepian, itu urusannya, tapi jangan dijadikan alasan untuk berperilaku yang tidak pantas kepada anak SMA.
Di hari berikutnya, saya bertemu dengan lndri. Kami duduk di kelas pada jam istirahat untuk membicarakan banyak hal yang kami alami selama minggu-minggu terakhir. lndri bercerita tentang perkembangannya dengan Bono, sementara saya, secara lengkap bercerita tentang Bagas yang sudah menyatakan perasaannya di tempat bimbel.
"Apa, saya bilang juga!" katanya. "Apa?"
"Dia mau ke kamu!"
Jujur, saya bahkan tidak tahu bagaimana rasanya benar-benar diinginkan oleh seorang laki-laki. Bahkan, saya merasa tidak mampu untuk disukai oleh siapa pun.
"Kenapa, sih, gak mau?"
Saya bilang bahwa saya suka Bagas, tapi saya menyukainya sebagai seorang teman. Saya membatasi itu hanya pada persahabatan.
"Apa kurangnya Bagas?"
Bukan seal itu. Bagas cukup baik, tapi sebenarnya bukan tipe saya. Sejujurnya, saya juga merasa bukan tipe gadis yang cocok bergaul dengan gayanya. Lagi pula, saya pikir ada beberapa tanda yang menunjukkan bahwa saya tidak jatuh cinta kepada Bagas. Saya tidak terlalu sering memikirkannya ketika saya tidak sedang bersamanya. Saya juga tidak begitu merindukannya ketika saya jauh darinya, sedangkan dia tampaknya selalu merindukan saya atau memikirkan saya dengan mengungkapkannya melalui berbagai cara.
"Bagas kayaknya marah," kata saya. "Ya, sudah."
Sorenya, saya menghadiri acara halalbihalal di tempat bimbel. Acaranya sederhana, hanya diisi dengan beberapa acara kecil. Saya hadir hanya karena semua teman saya mengundang saya untuk datang dan saya tidak suka menjadi satu-satunya orang yang mengatakan tidak.
Setelah acara berakhir, kira-kira pukul empat, saya dan teman teman menghabiskan seluruh waktu hanya dengan duduk santai di kursi teras tempat bimbel. Keberadaan saya di sana, pada dasarnya hanya sedang menunggu Dilan, katanya dia mau menjemput.
Kami berbicara ngalor ngidul sampai membahas Bagas, lksan, dan
lpul yang sudah pindah tempat bimbel. ltu tidak mengejutkan, karena saya sudah tahu lebih dulu. Ya, dan itu agak menyedihkan, seperti perpisahan yang aneh.
Tidak lama kemudian, Pak Ryumam datang sambil memperhatikan saya yang sedang makan kuaci pemberian Bimo. Saya menjawab pertanyaan-pertanyaannya hanya dengan satu kata dan bertindak agak pasif sambil sesekali menoleh ke arah jalan melihat apakah Dilan sudah datang.
Di menit berikutnya, Pak Ryumam mengeluh dengan mengatakan bahwa dia sedang pusing, karena harus menjadi narasumber di acara perkumpulan Mahasiswa se-Bandung Raya.
Saya pikir, dia hanya mencoba untuk membuat saya terkesan dan saya tidak melihat gunanya memikirkan apa yang dia katakan.
"Menurut kalian, apa yang harus Kakak lakukan?" tanya dia. "Batalin aja, Pak," jawab saya kemudian, yang disambut oleh
cekikikan kawan-kawan saya.
Saya tahu itu adalah perilaku buruk yang tidak harus saya lakukan kepada seorang pengajar. Saya hanya tidak tahu mengapa saya tetap melakukannya.
Sebetulnya saya ingin ramah dan bergaul dengan siapa pun, tapi Pak Ryumam itu selalu mengganggu saya dengan cara apa pun yang dia mau. Saya jadi merasa tidak simpati lagi padanya. Apalagi dia pernah meminjam pensil saya dan tidak pernah mengembalikannya.
Saya juga ingat bagaimana ketika saya pertama kali bertemu dengannya, dia memberi saya surat berisi ajakan untuk belajar berdua dengannya di lokasi wisata Ciater. Terdengar seperti orang brengsek atau apa pun. Bahkan, di dalam semua hal yang sudah dia lakukan, kadang-kadang saya percaya bahwa dia itu memiliki gangguan saraf.
Pak Ryumam terus mengoceh, yang pada intinya dia gila perhatian. Saya hanya diam membeku dan tidak tahu harus bagaimana. Saya hanya tidak suka melihat senyum sok cakepnya itu atau apa pun maksudnya.
"Jangan serius, ah," katanya. Kemudian, dia mulai membuat lelucon dengan bercerita tentang dirinya punya seeker Iguana yang bisa diajak ngomong dan bisa disuruh beli rokok ke warung. Saya hanya meresponsnya dengan memutar bola mata saya. Kedengarannya tidak lucu, bukan? Tapi memang begitu! Saya mendengar kawan-kawan saya tertawa, mungkin untuk menghargai usahanya yang sudah capek-capek melucu.
Tak lama setelah itu, Dilan datang. Dia menempatkan sepeda motornya di tempat parkir, kira-kira berjarak lima meter dari tempat kami berkumpul.
"Aku udah dijemput," kata saya, bangkit dari duduk.
"Dijemput siapa?" tanya Pak Ryumam. Saya masih ingat cara dia melirik Dilan.
Sambil berdiri, saya langsung menjawab, "Pacar." "Paman, ya?"
"Pacar," jawab saya bersikeras.
"Bohong."
Sikap dan nada suaranya membuat saya malas untuk berbicara lebih lanjut dengannya. Kemudian, saya lebih memilih mengabaikannya.
"Duluan, ya. Minal'aidin wal-faizin. Assalamu'alaikum," kata saya
kepada kawan-kawan saya dengan nada terburu-buru. '"Alaikumsalam," jawab mereka.
Lalu dengan sedikit bergegas, saya berjalan menemui Dilan yang masih duduk di atas sepeda motornya. Ketika saya akhirnya melirik ke arah mereka, saya menyadari bahwa mereka (termasuk Pak Ryumam) masih memperhatikan saya.
Jadi, begitu sampai, saya langsung naik, dan duduk di atas motor dengan cara memaksakan diri agar bisa terlihat seolah-olah saya memiliki kehangatan hubungan dengan Dilan atau terlihat seperti pasangan romantis yang sebenarnya.
"Yuk!" kata saya, mengajak Dilan pergi.
Pada saat Dilan mulai menjalankan motor keluar dari halaman tempat bimbel, saya mulai memeluk Dilan dan saya tidak percaya apa yang sedang saya lakukan. Saya benar-benar melingkarkan lengan saya ke tubuhnya dan kagum pada kemudahan saya menyandarkan kepala saya di bahunya. Sensasinya terasa aneh.
Tentu saja, saya tidak pernah menjadi gadis seperti itu. Tidak akan pernah berani meskipun kepada Dilan yang sudah sangat dekat dengan saya, bahkan kalau saya harus jujur, saya setengah merinding saat itu. Tapi hal itu harus saya lakukan, karena saya ingin Pak Ryumam percaya bahwa Dilan adalah pacar saya. Mudah mudahan apa yang saya lakukan bisa memberi kesan lebih dari cukup.
Saya hanya tidak bisa membayangkan apa yang Dilan pikirkan. Tapi sebelum Dilan memikirkan hal yang aneh-aneh, saya melepas pelukan dan menjelaskan kepada Dilan tentang Pak Ryumam serta alasan saya memeluknya. Dilan meresponsnya dengan tertawa. Saya tahu dia mulai mengerti.
"Ke rumah Abah, yuk!"
"Nanti aja. Hari Minggu, Cika ada try out," kata saya kemudian. "Di mana?"
"Di GOR Padjadjaran." "Nanti aku antar." "Gak sibuk?" "Enggak."
Hari Minggu pun tiba. Saya bangun pagi-pagi sekali dan berjalan
ke jendela untuk menyingkapkan tirai, kemudian melihat Bi Yati yang sedang menyapu pekarangan rumah dengan ketelitian dan ketekunan yang membuatnya bahagia.
Mama dan Beni sedang bersiap-siap untuk pergi ke Pangandaran bersama warga kompleks perumahan. Papa tidak bisa ikut karena katanya, ada acara bersama kawan-kawan kantornya di Ciwidey.
Kira-kira pukul sepuluh, setelah saya beres-beres kamar dan membuat kepi untuk Dilan, Dilan sudah datang menjemput saya untuk segera pergi ke acara try out yang diselenggarakan oleh salah satu tempat bimbingan belajar ternama di Bandung.
Setibanya di sana, Dilan bilang bahwa dia akan menunggu saya sampai acara try out selesai.
"Nunggu di mana?" tanya saya.
"Di situ, ya," jawab Dilan menunjuk tempat yang lokasinya tidak jauh dari pas penjaga parkir.
"lya."
Dua jam kemudian, acara try out selesai. Saya berjalan keluar dari aula dan bertemu dengan beberapa orang yang saya kenal, salah satunya adalah lksan. Tapi, dia tampak seperti buru-buru dan pergi begitu saja setelah membuat percakapan basa-basi dengan saya sebelumnya. Saya mendapat kesan bahwa ada sesuatu yang berubah di dalam diri lksan. Seperti orang yang telah kehilangan jiwanya.
Di saat berikutnya, tanpa saya sadari, saya sudah berjalan di depan GOR Padjadjaran untuk segera bertemu dengan Dilan di tempat parkir. Saya bisa melihat Dilan dari kejauhan saat saya berjalan.
Kira-kira sepuluh meter sebelum saya sampai di tempat Dilan, saya menyadari ada seseorang yang menyusul saya dari arah samping kiri, seperti menginginkan sesuatu dari saya.
Saya tidak tahu apa yang dia inginkan dan apa yang akan dia lakukan, kemudian saya berhenti dan memandangnya, "Ada apa?" tanya saya kepada orang itu.
Dia memiliki wajah yang polos seperti seseorang yang pernah dihukum diam di alun-alun selama bertahun-tahun tanpa mandi.
Tapi, saya melihat dia hanyalah pengganggu biasa. "SMA mana?" tanya dia, mencoba ramah.
Saya menatapnya untuk mengetahui ekspresi apa yang ada di matanya.
"SMA?" saya balik bertanya karena ingin jelas untuk apa dia menanyakan hal-hal yang berurusan dengan administrasi.
"lya, dari SMA mana?" "Buat apa?"
"Kenalan aja."
Di kejauhan, saya mendengar suara tawa keras dari arah belakang. Saya melihat ke arah suara dengan cepat dan mendapatkan lima orang anak muda peserta try out sedang duduk di bangku trotoar yang ada di depan gedung GOR Padjadjaran.
"Awas, Teh, yang sudah-sudah juga lima jahitan!" salah seorang di antara mereka berteriak.
"ltu, temen-temenmu?" tanya saya sambil mulai berjalan lagi. "lya," jawab dia. "Boleh kenalan, gak?" katanya, berjalan di
samping saya.
"Buat apa?" tanya saya tanpa memandangnya. Sementara itu, dari agak jauh, saya melihat Dilan berdiri karena mengetahui saya datang.
"Ya, kenalan aja," katanya, seperti kehabisan akal untuk menjawab, "buat persahabatan."
Saya diam tidak merespons dan terus berjalan dengan dia di samping saya.
"Boleh, gak?" katanya.
"lni, izin dulu sama pacar saya," jawab saya kepada orang itu, setelah hampir mendekati Dilan.
Saya sama sekali tidak berpikir bahwa saya akan mengatakannya. ltu taktik. Rasanya seperti tidak ada solusi lain untuk mengusirnya. Nah, itu adalah sesuatu yang bisa dibilang spontan, sehingga membuat saya tidak punya waktu untuk malu.
Dilan juga pasti mendengar apa yang baru saja saya katakan dan saya tidak tahu apa yang Dilan pikirkan tentang itu. Tentu saja, apa yang terjadi di dalam kepala dan hatinya, saya tidak bisa memastikan. Tapi, sepertinya dia tampak santai-santai saja.
Kemudian, saya melihat orang itu langsung terkejut, memandang Dilan dengan pandangan gugup untuk mengimbangi rasa malunya.
"Maaf, Kang," katanya lalu bergegas pergi, seolah-olah berbahaya untuk dia kalau masih berani bicara. Saya kemudian mentertawakannya seperti lelucon.
"Siapa?" tanya Dilan.
"Berenyitf'
Apa yang sudah dilakukan oleh orang itu adalah hal biasa di sekolah menengah yang cukup khas di masa saya. Semacam acara uji nyali, dan saya tidak tahu mengapa seorang pria bersedia melakukan hal bodoh seperti itu. Tapi, biarkan dia menjadi tetap bodoh selagi bisa.
Sesaat berikutnya, saya dan Dilan sudah berada di atas sepeda motor, bergerak perlahan meninggalkan GOR Padjadjaran, dan saya tidak tahu lagi ke mana akan pergi selain pulang.
"Langsung pulang?" tanya saya.
"Pacaran ...," jawab Dilan tanpa beban. ltu bukan masalah, hanya agak aneh.
"Kamu gak ada acara?" tanya saya.
"Gak ada." "Mau ke mana?"
"Di mana tempat pacaran yang bagus?" "Yoghurt Cisangkuy, yuk!"
"Hayu."
Ketika kami sampai di sana, kafe Yoghurt Cisangkuy cukup ramai. Kami memesan makanan dan duduk di kursi kayu yang ada di bawah pohon peneduh. Kami duduk dengan banyak orang di antaranya.
"Gak cocok buat pacaran di sini ... ," kata Dilan mengeluh. "Ha ha ha."
Saya mentertawakan wajahnya yang kesal. Dilan meminum kopinya. Saya berada pada titik di mana saya tidak tahu apakah itu romantis?
"Mau pindah?" tanya saya.
"Udah, di sini aja," jawab Dilan, "gak apa-apa." "Katanya gak cocok?"
"Gak cocok buat apa?" "Buat kamu, ha ha ha!"
Begitulah nyatanya. Jadi, saya bertanya, siapa yang sebenarnya gila? Saya yang mengaku pacar Dilan atau Dilan yang menganggap dia dengan saya sedang pacaran?
Kemudian, saya berbicara dengannya tentang apa saja. Dilan sempat bilang bahwa beberapa hari lagi dia akan berangkat ke Solo untuk menghadiri acara pembukaan pameran bersama dan kebetulan juga ada beberapa hal yang harus dia kerjakan di sana. Saya tahu kedengarannya sangat keren.
Saya mengakui bahwa kegiatan dan keterampilan positif yang dia miliki adalah hal-hal yang saya kagumi. Saya ingin melahap pikirannya, saya ingin mengunyah imajinasinya, dan saya ingin selalu tahu apa yang Dilan jalani.
Tapi, dia tidak pandai menerima pujian. Dia selalu membandingkan dirinya dengan orang lain secara merendah. Dia selalu saja membiarkan dirinya percaya bahwa dia tidak keren. Dia hanya perlu mencoba segalanya untuk menjadi harimau di antara manusia, katanya.
Kami baru pulang setelah maghrib. Jalanan sepi, terutama di daerah pinggiran. Saat itu, Bandung seperti menjadi kota untuk diri kami sendiri dengan keremangan malam yang menggantung di antara pepohonan. Sementara saya tidak tahu harus bagaimana oleh semua kebahagiaan yang ada di dalam diri saya. Hawa dingin semakin menerpa dan mata saya hampir terpejam.
-- Next Chapter--
Bab 15
Hari berikutnya, Dilan bilang bahwa pekerjaannya itu membosankan. Dia mengaku butuh refreshing. Dia tidak ingin ditelan oleh tugas-tugasnya. Jadi, tidak ada waktu yang lebih baik daripada main ke rumah Abah hari itu.
Sesampainya di sana, kami mendapati Mang Anwar, Abah, dan Emak. Cuacanya bagus dan memang bagus untuk semuanya.
"Nih, Bah, kalau udah pacaran mah, lupa!" kata Mang Anwar pada saat kami datang. ltu mengejutkan saya.
"Pacaran apa?" tanya saya.
Mang Anwar tertawa. Dilan juga tertawa seperti tidak memikirkan apa-apa. Semuanya tampak normal saja baginya. Saya sendiri tidak mengerti, kenapa saya tidak bisa bersikap biasa saja.
Abah yang sedang duduk di ruang tengah, merokok bakau, mengangguk sambil mengacungkan jempolnya untuk saya. ltulah yang saya lihat. Dilan dan Mang Anwar tertawa lagi, lebih nyaring.
Saya senang hari itu, dan dapat menemukan kegembiraan di rumah Abah. Saya membantu Emak memasak, dan itu semua adalah makanan sehat. Sementara Abah dan Dilan sedang membuat percakapan di ruang tengah. Saya tidak tahu di mana Mang Anwar, mungkin sedang di luar dengan beberapa hal yang sedang dia lakukan.
Setelah masakan selesai, semuanya disimpan di atas meja makan yang ada di ruang dapur. Saya mencuci tangan dan mengambil dua piring putih bening dari tumpukannya. Kemudian, menuangkan sesendok besar nasi ke sudut piring untuk Dilan dan mengambil nasi untuk diri saya sendiri. Emak melakukan hal yang sama untuk Abah.
Di saat Mang Anwar pergi, karena ada hal yang harus dia urus, saya, Dilan, dan Abah minum kepi di bawah pohon kersen. Dilan seperti biasa, pandai menjaga percakapan tetap mengalir. Sebagian besar kami menghabiskannya dengan hanya tertawa dan bercanda.
Abah tertawa mendengar cerita saya bertemu dengan Dilan di mana pada awalnya Dilan sangat mengganggu.
"Gini, Bah," saya berdiri, lalu melakukan gerakan untuk menggambarkan situasi yang dulu Dilan lakukan. Abah dan Dilan mengawasi.
"Caba kamu tanya aku," kata saya kepada Dilan.
Dilan tertawa. Abah berusaha sebaik mungkin untuk tersenyum. "Tanya!" kata saya menyuruh Dilan.
Dilan tersenyum, dan kemudian, "Heh! Siapa namamu?" katanya.
Ekspresinya dingin dan tenang.
"Ngapain nanya-nanya?" kata saya, "suka?"
Abah dan Dilan meresponsnya dengan tertawa, bersamaan dengan datangnya Emak membawa potongan buah mangga di atas piring dan kemudian bergabung bersama kami di dalam obrolan.
"Dulu dia nyebelin, Bah!" kata saya sambil mulai duduk kembali. "Kalau sekarang?" tanya Abah.
"Masih, sih," jawab saya sambil tertawa.
Ya, dulu saya mendengar agak banyak komentar negatif tentang Dilan. Maksud saya, dia sangat populer di kalangan anak geng motor, ternyata yang kemudian saya dapatkan Dilan benar-benar orang yang menyenangkan. Saya suka cara dia bersama saya, mudah-mudahan dia juga suka cara saya bersamanya.
"Kok, bisa berubah, sih?" tanya saya. "Seperti cuaca," jawab Dilan.
Dari rumah Abah, saya dan Dilan pergi ke salah satu tempat nongkrong di daerah Dago untuk bertemu dengan lndri. Kami sudah sepakat untuk saling bertemu sejak beberapa hari yang lalu.
Saat itu, lndri datang bersama Bono. Kami menempati meja besar yang ada di salah satu sudut ruangan dengan sofa tua yang usang, dan melihat ada banyak pernak-pernik yang menempel di dinding.
Kami menghabiskan begitu banyak waktu dengan obrolan dan saling menikmati kehadiran satu sama lain. Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi semuanya berjalan sangat baik seperti yang saya harapkan.
Bono tidak percaya bahwa ternyata cukup mudah untuk berbicara dengan Dilan. lndri juga mungkin memikirkan hal yang sama tentang Dilan. Ternyata Dilan ramah, tidak keras seperti yang Bono pikirkan, meskipun masih ada banyak hal yang membuat Bono tampak gugup diam-diam. Bono terlihat seperti menyimpan beban dalam dirinya, mungkin karena menyadari posisi Dilan sebagai senior di geng motornya, jadi itulah mengapa setiap tindakan Bono menjadi agak kaku dan kata-katanya serius.
"Apa bintangmu?" tanya Dilan kepada Bono, setelah mentertawakan satu lelucon.
Saya tertawa mengetahui Dilan ternyata peduli dengan astrologi. Saya tidak bisa membayangkan Dilan diam-diam membaca horoskop di majalah. Dan itu adalah salah satu dari sekian banyak topik pembicaraan yang di luar dugaan.
"Pisces, Kang," jawab Bono. "Gak apa-apa."
"Kok?" tanya saya ketawa. "Gak apa-apa gimana? Emang Pisces kenapa?"
"Ya, gak apa-apa aja," jawab Dilan, kemudian berkata kepada Bono, "jangan ganti lagi. Pisces itu bagus."
"Siap, Kang," jawab Bono.
"Kalau kamu?" tanya Dilan kepada lndri.
"Leo aja saya mah, Kang," jawab lndri tersenyum lebar. "Ya, udah. Leo aja," kata Dilan.
"lni kayak aku pertama lihat kamu di Abah, deh," kata saya tertawa mengenang masa awal bertemu dengan Dilan. "Nanya nanya nama orang segala. Apa, sih?" tanya saya.
"Dulu aku takut ke Cika," kata Dilan kepada lndri dan Bono. "Sama, Kang!" kata Bono.
"Dengar! Semua cowok harus takut ke aku!" kata saya tersenyum dengan cara meremehkan.
"Soeharto?" tanya Dilan. "Kecuali Soeharto!" jawab saya.
"Kang, boleh nanya?" kata lndri kepada Dilan. "Seal apa?"
"ltu kenapa masang benderanya kebalik, Kang?"
lndri mempersoalkan bendera Amerika Serikat yang dipasang terbalik di bagian bahu jaketnya.
"Oh, ini. Aku suka Amerika, setiap rindu tinggal lihat benderanya di bahuku. Kalau dipasangnya gak kebalik, aku akan melihatnya terbalik."
"Kirain tukang jahitnya salah masang." "Tadinya aku mau jawab itu juga," jawab Dilan.
"Kenapa suka Amerika, Kang?" tanya lndri lagi. "Sebetulnya, enggak, sih," jawab Dilan.
Saya, lndri, dan Bono tertawa.
"Dia mah suka semua negara," kata saya.
"Ubi bene, ibi patria."
"Apa, tuh?" tanya saya.
"Di mana ada kebaikan, di sanalah negaraku."
Saya merasa ingin momen kebersamaan itu bisa berlangsung selamanya. Tapi, kami harus pulang.
"Apa kamu akan selalu bersamaku?" tanya Dilan di perjalanan pulang.
Saya terkejut, kenapa dia harus bertanya seperti itu? "Gak ada yang tau, hanya Allah," jawab saya. "Sedih."
"Makanya, jangan nanya-nanya yang gitu-gitu, geuraf'
Dilan diam. Langit kelam. Kami sampai di rumah sekitar pukul delapan.
Beberapa menit setelah mandi, saya menerima telepon dari lndri.
Dia mengatakan bahwa dia senang bisa bertemu dengan Dilan. "Mau ketemu lagi?"
"Hayuf' jawab lndri.
"Nanti saya bilang ke Dilan."
"Eh, dijalan, Bono cerita banyak tentang Dilan, loh."
"Oh. Cerita apa?"
"Ngeri, pokoknyaf' jawab lndri.
Saya mulai berpikir, Bono pasti mengatakan segala macam hal yang bersangkut paut dengan masa lalu Dilan sebagai anak geng motor. Kemudian, saya bilang kepada lndri bahwa Dilan sudah tidak aktif lagi. Memang Dilan dulu menyerang, Dilan dulu berantem, tapi kalau mempertimbangkan kembali latar belakang ceritanya, saya merasa Dilan punya alasan untuk melakukannya.
Dilan juga mungkin melakukan hal buruk, tetapi kalau itu memang salah, Dilan juga tidak akan berusaha membenarkan perbuatannya. Dilan mungkin dianggap tidak bagus di dalam satu hal, tetapi mungkin Dilan memiliki kebaikan di dalam aspek yang lainnya. Tak ada yang sempurna, saya juga. Kamu juga.
"Tapi kayaknya Dilan udah baik,ya?" tanya lndri.
Saya tersenyum dan mengatakan, sejauh yang saya tahu, Dilan sekarang tampak jauh lebih dewasa. Maksud saya, dewasa yang bisa menghargai diri sendiri dan bertanggung jawab.
Sekarang Dilan adalah satu-satunya orang yang saya kenal. Saya mengalami banyak hal di dalam hidupnya. Dia favorit saya dan sahabat terbaik saya yang bisa saya bayangkan.
"Dia kayaknya mau ke kamu, deh."
"Sekarang dia seperti kakak saya."
Mendengar jawaban saya, lndri tertawa keras dan sangat menular sehingga meskipun saya sedang serius, saya juga tertawa.
"Kakak ilegalf' kata lndri dengan suara masih tertawa.
"Berisik!"
"Halo, bisa bicara dengan adiknya Dilan?" kata lndri kemudian dengan nada menyebalkan, yang diakhiri oleh ketawa.
Saya bilang bahwa memang selama ini semua yang Dilan lakukan sering menunjukkan kode-kode untuk menuju suatu hubungan khusus, atau setidaknya, begitulah menurut penilaian saya. Tapi saya tidak ingin gegabah menilai, karena siapa, sih, yang tahu apa yang sebenarnya Dilan inginkan?
"Kalau kamu sendiri suka Dilan?" tanya lndri.
Saya tidak yakin apa yang saya rasakan karena saya belum pernah jatuh cinta sebelumnya.
"Selalu bersama ke mana-mana?" tanya lndri seperti kepada dirinya
sendiri.
Ya, sulit buat saya untuk memahami mengapa saya selalu bersamanya. Saya berasumsi bahwa mungkin karena ada rasa nyaman dengannya, yang telah membuat saya bisa tetap bersamanya selama ini. Saya akui Dilan telah memberi saya sesuatu yang paling edan di dalam semua rencana hidupnya. Semua itu menjadi kegembiraan yang sangat besar di dalam diri saya.
Setelah selesai ngobrol dengan lndri, saya mendapat telepon dari lpul yang mengatakan bahwa saat itu dia sedang menginap di rumah Bagas. Kemudian, lpul bercerita tentang apa yang mereka alami dari satu kejadian ke kejadian lainnya pada saat sudah tidak lagi bersama saya.
"Katanya di acara try out, ketemu Iksan,ya?" tanya lpul.
"Oh, iya!" jawab saya, "Tapi kayaknya dia buru-buru, deh."
"Iya. Dia lihat Dilan. Takut, katanya."
"Oh."
"Kamu ke tempat try out sama Dilan?''
"lya, saya dianter Dilan."
"Kamu udah pacaran sama Dilan, ya?"
"Enggak."
"Deket aja, ya?'' tanya lpul tertawa. "Ya, deket aja, sih."
ltu adalah sebagian dari isi percakapan antara saya dan lpul di saluran telepon. Sejauh yang saya ingat, lpul berbicara cukup lama waktu itu. Dia juga sempat bercerita tentang Dilan yang dia dengar dari kakaknya.
lpul mengatakan semuanya dengan cukup detail tentang cerita Dilan di SMA bahwa katanya Dilan pernah punya pacar bernama Lia, dan itu adalah kisah nyata.
Saya tidak tahu harus berbuat apa dengan informasi itu. Sejujurnya, saya tidak merasa kesal atau apa pun dengan hal itu, saya hanya merasa seperti persepsi saya tentang Dilan dan segala hal tentang dirinya telah berubah. Saya bahkan tidak tahu apa yang bisa saya katakan kepada Dilan untuk membuat segalanya normal lagi. Saya pikir, saya sudah memiliki jawaban yang jelas tentang apa yang harus saya lakukan.
Baru setelah itu, Bagas mengambil alih telepon. Dia terdengar sangat baik dan mencoba berbicara dengan saya tentang apa saja, kemudian katanya, "Bagas senang mendengar suara kamu lagi," bersamaan dengan saya mendengar lpul terkikik di sampingnya.
Saat keesokan harinya Dilan datang ke rumah, dia membawa roti cane titipan Bunda untuk Mama, yang kami nikmati bersama Mama, Beni, Papa, dan Bi Yati di ruang tamu.
Hanya begitulah adanya, kemudian mereka membiarkan saya dan Dilan duduk berdua di ruang tamu, dalam cahaya lampu yang sunyi, sebagai bagian nyata untuk mulai belajar dan mengerjakan tugas sekolah.
Beberapa saat kemudian, setelah tugas sekolah selesai, saya tidak ingat bagaimana awalnya, tiba-tiba Dilan mengatakan bahwa dia ingin bicara dengan saya secara langsung dan menyelesaikan semuanya secepat mungkin.
"Apa itu?" tanya saya.
ltu adalah Dilan mengajak saya pacaran. Dia tidak sedang bercanda. Saya terkejut. Saya hanya duduk tercengang dan tidak tahu harus berkata apa.
Tidak pernah dalam sejuta kali, saya berpikir itu akan benar-benar keluar dari mulutnya. Jantung berdebar keras. Saya bingung, seperti tidak bisa memahami situasinya.
"Bahan-bahan kimia yang ada di dalam otakku mendesak aku untuk pacaran denganmu. Aku gak bisa mengendalikannya. Maaf kalau kata-kataku mengganggumu."
Tidak mengganggu! Sama sekali. Bahkan kalau saya boleh jujur, sebetulnya saya senang oleh pengakuan dan keinginannya itu, bahkan saya juga memiliki perasaan yang mendalam kepadanya yang tidak bisa dianggap biasa-biasa saja. Sungguh, sangat mudah bagi Dilan menjadi orang yang bisa saya cintai.
Tapi, apakah saya sudah siap untuk pacaran? Untuk mungkin patah hati apabila nanti putus? Saya menghargainya. Saya mencintainya, tapi saya tidak berani pacaran. Saya takut akan efek dari hubungan yang dalam dan akhir yang tidak sesuai dengn harapan. Saya benar-benar tidak tahu apakah saya bisa. Saat itu, saya masih sangat muda untuk berpikir dengan benar.
"Serius. Aku juga mau. Tapi aku takut," kata saya menunjukkan keterbukaan terhadap kemungkinan buruk yang akan saya hadapi jika putus. Saya takut terluka. Saya takut kalau sudah pacaran, dengan sudah melakukan banyak hal yang romantis, tahu-tahu malah putus. Terbayang oleh saya, itu pasti menyedihkan. Saya jadi berpisah dari Dilan. Saya jadi tidak memiliki Dilan lagi di dalam hidup saya dan Dilan juga jadi tidak memiliki saya lagi di dalam hidupnya. ltu pasti akan terasa menyakitkan.
"Ya, itu. Makanya jangan putus," jawab Dilan.
Saya diam sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengatakan apa yang ingin saya katakan padanya, "Terus, kalau begitu, kenapa Dilan sama Lia putus?"
Saya merasa tidak pantas untuk menanyakan pertanyaan seperti itu, tapi rasa ingin tahu menguasai diri saya. Saya ingin tahu mengapa mereka putus sehingga hal yang sama tidak terjadi pada saya atau siapa pun. Mungkin saya menyikapinya dengan cukup polos, tapi saya juga manusia yang merasa penasaran.
Dilan tampak terkejut, tetapi tidak gugup. Saya sebetulnya merasa tidak enak, karena itu terdengar seperti saya sedang menyindir atau apa pun, lalu saya segera minta maaf. Tapi Dilan bisa memahami dan dia bilang, "Gak apa-apa."
"Lia pasti sedih berpisah dari kamu," kata saya kemudian, menjadi sedikit berani.
"Bagaimana kamu tau?" tanya Dilan. "Tau apa?"
"Soal Lia?"
Akhirnya saya cerita bahwa kemarin, saya menerima telepon dari seseorang yang bilang, bahwa kakaknya dulu satu angkatan dengan Dilan di SMA.
"lya. ltu tahun 90. Maaf, aku belum cerita ke kamu."
"Cika juga minta maaf, kalau udah ngungkit-ngungkit masa lalumu."
"Terus, gimana menurutmu?" "Gimana, apa?"
"Soal ceritaku di masa lalu?"
Saya menjawab bahwa saya tidak ingin ikut campur dengan semua urusan Dilan dan Lia di masa lalu.
"Putus cinta bisa bikin kacau. ltu makanya, kenapa Cika tidak mau pacaran," kata saya kepada Dilan.
Dalam gayanya yang khas, Dilan berkata, "Aku gak kacau." "Kamu mungkin enggak," jawab saya, "tapi, gimana Lia?" "Mudah-mudahan Lia bahagia."
"Aamiin," kata saya. "Boleh nanya?" "lya, boleh."
"Kenapa dulu putus?"
(Saya sebenarnya bisa berhenti membahas hubungan Dilan dengan Lia, tetapi saya benar-benar ingin tahu jawabannya.)
Dilan menjawab bahwa hal-hal yang sebenarnya terjadi adalah karena Dilan buruk untuk beberapa hal di dalam hidup yang Dilan alami. Terutama karena Dilan masih muda saat itu, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan dan terlalu egois secara keseluruhan. Dilan saat itu menemukan bahwa hasrat utamanya adalah geng motor yang tidak bisa dia tinggalkan.
Meskipun sudah pacaran dengan Lia, Dilan masih ingin memiliki semua kawan yang sama seperti sebelumnya. Dan Dilan merasa sedikit berlebihan dengan menghabiskan banyak waktu untuk kelompoknya itu.
Kemudian, Dilan mengakui bahwa dia merasa sangat bersyukur bisa diterima di perguruan tinggi yang dia inginkan. ltu menjadi sumber yang membantu Dilan mengembangkan dirinya. Dilan seperti memiliki hubungan yang jauh lebih sehat di kampus sebagai lingkungan barunya, yang bisa memicu keinginannya untuk berubah tanpa dia sadari. Banyaknya tugas kuliah dan kegiatan di kampus serta di tempat kerja, dengan sendirinya telah mencuri seluruh waktu Dilan untuk tidak bisa lagi ugal-ugalan di jalan.
"Kenapa gak balikan lagi sama Lia setelah kamu tobat?"
Dilan tertawa, mungkin karena mendengar kata "tobat". Lalu akhirnya Dilan menjawab bahwa begitu Dilan tahu Lia sudah bertunangan dengan orang lain, Dilan menyadari bahwa Dilan tidak dapat mengubahnya. Dilan hanya harus belajar untuk bisa menerimanya bahwa Lia memang bukan untuk Dilan.
"Dilan kecewa?" tanya saya lagi.
(Saat itu, sebetulnya saya menyadari bahwa terlalu banyak untuk saya tanyakan. Tapi tampaknya Dilan sabar.)
Kata Dilan, pada tingkat tertentu itu benar, bisa dikatakan kecewa. Tapi sungguh, sangat penting untuk baik-baik saja, meskipun sedih. ltulah cara bertahan yang baik secara bertahap.
Dan katanya, menambahkan, lebih baik terimalah apa adanya. Semuanya itu hanya perubahan sesaat. Toh, katanya, di balik kesulitan, pasti ada kemudahan.
"Sekarang, aku merasa senang karena sudah diperkenalkan kepada orang yang sangat penting di dalam hidupku," kata Dilan kemudian.
"Siapa?"
Dilan diam sejenak, lalu katanya, sambil memandang saya dengan senyum pantang menyerah, "Kamu."
"Bisa dikatakan pelarian?"
Dilan tampak serius dan saya belum pernah melihat dia seperti itu sebelumnya. Kemudian, Dilan menjawab bahwa hidup terus berjalan dan katanya saya adalah hal lain, menjadi tokoh di dalam cerita saya sendiri.
Dilan juga tidak ingin membandingkan bagaimana hubungan dia bersama orang lain di masa lalu dengan mengukur hubungan dia bersama saya di masa berikutnya.
"Dilan masih saling kontek dengan Lia?"
Dilan menjawab bahwa putus cinta dapat memisahkan, tetapi persahabatan harus tetap bertahan di dalamnya, sebagai hal lain yang sama sekali berbeda, dan juga dipelihara oleh kebajikan.
Saya rasa Dilan menjawabnya begitu dalam, seolah-olah dia memiliki semua jawaban kehidupan. Saya benar-benar memahami semua yang menjadi pemikirannya.
Kami terus mengobrol malam itu, tapi saya tetap membuatnya sederhana dengan menjelaskan bahwa saya tidak ingin terburu-buru menjawabnya.
Saya tetap menghargainya dan bilang terima kasih karena Dilan sudah jujur mengungkapkan perasaan dan keinginannya.
Dilan benar-benar tidak memaksa, bahkan dia bersikap tenang. Saya menyukai cara dia membuat semuanya menjadi baik-baik saja. Lalu katanya, "Apakah aku mengatakan 'aku mencintaimu' terlalu cepat?"
Kemudian saya hanya bilang seperti: saya pikir kita masih bisa menikmati setiap langkah perjalanan romantik, tanpa perlu memberi label apa pun pada hubungan itu. Saya juga bilang bahwa kita masih dapat selalu berdua, meskipun tidak harus berpacaran, kita masih dapat selalu berdua tanpa perlu memikirkan hubungan yang lebih jauh.
Tiba-tiba, pintu rumah terbuka, saya bisa merasakan angin meniup masuk ke dalam ruangan. Papa dan Mama masuk, mengubah suasana, "Haduh, pacaran terus ini anak!" Mama berkomentar di ambang pintu.
Dilan menggeliat dengan mengangkat tangannya sambil tersenyum cukup lebar. Beberapa saat kemudian, Mama memberi kami buah-buahan yang dia beli di perjalanan pulang. Dan, Dilan pulang tidak lama setelah itu.
Besoknya, seperti yang pernah Dilan katakan, dia pergi ke Solo. Kemudian, Dilan tidak pernah menelepon saya dari banyak waktu selama tiga hari dia berada di Solo. Rasanya seperti Dilan sudah tidak peduli lagi dan sudah tidak menganggap saya sebagai prioritas utama baginya.
Sebetulnya saya bisa tidak terlalu peduli, meskipun saya merasa seperti kehilangan sesuatu, entah apa itu, saya tidak bisa mengerti. Rasanya tidak ada istilah lain untuk menggambarkannya. Secara harfiah, saya hanya merasa emosional.
Orang yang benar-benar perlu saya ajak bicara untuk hal itu adalah lndri. Tapi, lndri malah tertawa memenuhi keheningan, ketika saya memuntahkan pikiran-pikiran yang berkecamuk di kepala saya saat itu. Saya selalu menganggap diri saya sebagai orang yang kuat dan mandiri. Begitulah cara saya dibesarkan. Tetapi entah bagaimana, saya seperti lemah ketika merasa diabaikan oleh Dilan.
lndri mengatakan bahwa seharusnya saya tidak usah berkecil hati dengan memikirkan hal itu, karena Dilan bukan pacar saya. Dia sama sekali tidak bertanggung jawab atas apa pun keadaan saya.
Dia bebas menghabiskan waktu dengan siapa pun yang dia inginkan dan dapat memilih untuk menjadi intim dengan siapa pun yang dia inginkan, karena Dilan bukan pacar saya.
Dilan bebas dengan pilihannya jika dia melihat orang lain yang dia inginkan untuk bersamanya. Tidak peduli seberapa besar dia menyukai saya, dia akan memilih orang yang berusaha lebih keras untuk bisa membuatnya bahagia.
lndri mengakui bahwa label pacaran terkadang menyebalkan, tapi katanya, saya juga harus menyadari bahwa saya egois, di mana saya hanya selalu menuntut perhatiannya dan ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengannya, tetapi saya sendiri tidak mau menjalin hubungan khusus dengannya seperti yang dia inginkan.
Kata lndri, saya dalam posisi seperti menginginkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang berarti bagi saya, tapi saya sendiri malah membuat hubungan dengannya menjadi tidak jelas, dan membuang-buang waktu orang lain. Sangat tidak adil, bahkan kejam baginya. Bayangkan saja, di saat Dilan memutuskan untuk serius, di saat Dilan memutuskan untuk membuat komitmen dengan saya, saya justru malah menyikapinya seolah Dilan hanya mainan.
"Tapi terserah kamu," kata lndri, "Mungkin kamu harus memperlambatnya dan membiarkan orang lain yang mendapatkannya."
Saya diam, tidak tahu apa yang harus dikatakan.
"Kenapa, sih, gak mau?" tanya lndri. "Takut mengganggu belajar?
Takut terkekang?"
Oh tidak. Saya menyadari kehadiran Dilan justru membuat saya semangat belajar dan menjadi lebih baik. Bahkan, seiring waktu, keterikatan saya pada Dilan menguat saat nilai dirinya meningkat.
Saya membutuhkannya. Saya merasa hidup saya tanpa dia seperti kurang lengkap. Saya ingat setiap hari menghabiskan waktu bersamanya dan itu selalu membuat saya merasa bersyukur mengenal Dilan. Saya suka bagaimana hari berakhir yang dimulai bersamanya. Saya selalu merasa dialah orangnya yang saya inginkan selalu bersama saya.
"Aku hanya takut gagal."
Saat itu, entah mengapa, saya merasa belum saatnya untuk membahas tentang Dilan yang pernah berpacaran dengan Lia dan hal-hal yang mereka alami kemudian. Mungkin karena saya merasa tidak enak membahas urusan pribadi Dilan dengan orang lain. Atau saya tidak ingin membuat drama yang tidak perlu seputar hubungan Dilan dengan masa lalunya. lntinya, saya tidak akan mengatakan kalau saya tidak ingin mengatakan.
"Kamu mah nganggep pacaran kayak ujian, sih, pake takut gagal segala. Terlalu khawatir juga gak baik, Non. Kalau ada yang bilang, cinta menyakitkan, nyatanya orang tetep aja menikmatinya. ltu namanya dipoyok dilebok (dicela, tapi tetap ditelan)."
"lya, sih."
Sejak itu, saya seperti tergantung pada semua yang dikatakan oleh lndri, dan tidak bisa berkonsentrasi mengerjakan tugas sekolah. Saya sepertinya bisa menangkap apa yang dimaksud oleh lndri, dan kemudian lebih seperti bertanya-tanya arah mana yang harus saya ambil. Dan lndri benar tentang perlunya saya mengubah diri
saya sendiri.
"Lagian, inget tuh, pepatah orang, hidup ini singkat, mengapa harus menunggu?"
Setelah berbicara dengan lndri, saya memikirkan apa yang lndri katakan. Jujur, saya selalu mengagumi bagian bijak dari dirinya yang selalu membimbing saya. Ya, saya bisa menangkap apa yang dimaksud oleh lndri dan mengerti apa yang harus saya lakukan. ltu dengan sendirinya, lndri seperti telah mengubah cara saya mendekati kenyataan.
"Kamu gak akan bisa cuma jadi teman sama orang yang benar benar kamu cintai," katanya.
Saya kemudian seperti bertanya-tanya arah mana yang harus saya ambil. Saya merasa sedang berubah pikiran dan mendapat jawaban, tapi saya bingung bagaimana caranya memastikan Dilan bahwa saya sudah siap berpacaran dengannya.
Saya bingung bagaimana mengatakan kepadanya tentang itu. Dalam keadaan apa pun, saya tidak ingin mengambil inisiatif lebih dulu. Saya berpikir mungkin akan lebih baik menunggu sampai ada waktu yang tepat. Tapi, bagaimana kalau Dilan sudah tidak tertarik lagi membahasnya?
Besoknya, sepulang dari sekolah, saya mendapat telepon dari Dilan yang mengatakan bahwa dia sudah pulang dari Solo.
Pada awalnya, saya hampir saja mengatakan kekecewaan saya karena selama di Solo, Dilan tidak pernah menghubungi saya, tapi karena mendengar suara Dilan gemetar, dan tidak seperti biasanya, saya kemudian berubah pikiran.
"Aku kacau ...," katanya.
"Kacau kenapa?" tanya saya, kecemasan langsung mengalir melalui saya.
"Kamu bukan satu-satunya dengan IQ di atas rata-rata, tapi kayaknya hanya kamu yang mengerti masalahku."
"lya, apa?" tanya saya sedikit kesal, menuntut jawaban yang jelas.
"Besok aja, akujelasin di rumahmu."
"Oke."
Setelah selesai berbicara dengan Dilan, saya menghela napas, bertanya kepada diri saya sendiri apa yang sebenarnya terjadi pada Dilan. Saya terganggu, saya khawatir. Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi pada orang seperti Dilan? ltu membuat saya gelisah. Mungkin saya harus menunggu sampai besok, sampai dia menjelaskan semuanya.
Beberapa menit kemudian, setelah saya selesai mandi, lksan menelepon dan mengatakan bahwa Bagas dirawat di Rumah Sakit Borromeus. "Kenapa?"
'']atuh dari motor," jawab Iksan. "Kok, pake motor?"
"Iya, baru beli."
"Terus, gimana sekarang?" tanya saya. Saya benar-benar khawatir.
"Udah membaik," jawab lksan, "Nengok,yukf'
"Kapan?"
"Besok. Sorean."
"Mmm ... , tapi besok saya ada janji sama orang ... ," jawab saya, dan tentu saja, orang itu adalah Dilan yang tadi bilang di telepon bahwa dia akan ke rumah.
"Kasian ...."
"lya, pasti."
Setelah selesai bicara dengan lksan di telepon, saya kembali ke kamar dan hanya ingin tidur. Separuh waktu itu, saya merasa diri saya seperti tidur, tapi otak saya memikirkan banyak hal tentang Dilan.
Di sekolah, saya bertemu dengan lndri dan mengatakan kepadanya bahwa saya mungkin akan mencapai langkah berikutnya di dalam hubungan dengan Dilan. lndri tertawa cukup keras sampai saya harus menutup mulutnya.
"Besok saya mau nonton sama siapa, coba?" tanya lndri setelah saya melepas tangan dari mulutnya.
"Bono!"
"Yaaaaaaaaa ketauan, deh!" "Sudah saya titipin kamu ke Bono." "Emang sandal?"
"Kalau dia gak beres, saya ambil lagi." "Ha ha ha."
Malamnya, sekitar pukul setengah tujuh, Dilan datang ke rumah saya. Dia mengenakan jaket jeans dan celana kargo cokelat muda. Dilan pasti mengira saya sangat ingin bertemu dengannya, dan memang begitu. Tapi, saya benar-benar ingin mendengar masalah apa yang sedang dia alami.
Sementara, saya melihat Dilan sepertinya baik-baik saja. Dia tampak sangat bahagia ketika berbicara dengan Mama dan Papa. Ekspresinya juga tenang, bahkan Dilan datang membawa oleh-oleh yang kami nikmati bersama Papa, Mama, Beni, dan Bi Yati di ruang tamu sambil membicarakan banyak hal menarik tentang Solo.
Kemudian, Dilan mengajak saya duduk di bangku halaman depan rumah sambil menikmati hot lemon tea. Saya duduk di sampingnya, di bangku kayu, di bawah pohon tabebuya. Saat itu pukul delapan malam. Di sekitar kami terdengar suara jangkrik, kodok, dan sesekali suara anjing di kejauhan. Saya ingat pikiran saya benar-benar sudah siap untuk mendengar apa yang akan dikatakan oleh Dilan tentang masalah yang sedang menimpanya.
Tapi, sebelum kami membahasnya, terdengar pintu rumah terbuka dan kami tahu itu adalah Mama.
"Masuk. Dingin," suara Mama memenuhi halaman depan rumah.
Ya, saya tahu, setidaknya Mama peduli. "lya, Ma!"
"Mama tidur duluan, ya." "lya!"
Mama atau Papa tidak pernah melangkah lebih jauh tentang hubungan saya dengan Dilan, dan saya menemukan kenyamanan oleh pemahamannya itu.
"Emang ada masalah apa?" tanya saya, mulai membahas masalah yang sedang dialami oleh Dilan, tapi dia hanya menggelengkan kepalanya.
Saya mencoba meyakinkannya, untuk berbagi masalah dengan saya.
"Gak ada maksud mau membuat kamu khawatir," katanya kemudian dengan menatap ke samping, ke arah saya, dan saya bisa melihat matanya lebih bicara daripada kata-katanya.
"lya. Cerita aja, gak apa-apa," kata saya, dengan nada suara terdengar penuh perhatian. Bukannya saya ingin dia tahu bahwa saya peduli, tetapi saya benar-benar memikirkan sesuatu, apa saja, yang akan dia katakan tentang masalah yang sedang menimpanya.
"Apa kamu benar-benar ingin tahu?" Dilan bertanya.
Saya menganggukkan kepala, tidak membuat kata-kata. Sebaliknya, saya hanya menunggu dia bicara, mengatakan semuanya.
Dilan kemudian mengatakan bahwa sepulang dia dari Solo, dia merasa menjadi orang yang tidak jelas. Seperti memiliki kepribadian yang dimiliki oleh alien pada saat kembali dari bumi.
"Gak ngerti, ah," kata saya, menatapnya bingung seperti dia baru saja berbicara menggunakan bahasa asing. "Aku gak tau apa yang kamu bicarakan."
"Aku gak tahu lagi siapa aku," katanya sambil menghela napas. "Dilan, kan?"
"lya, betul," kata Dilan lalu mencondongkan tubuhnya ke depan dari kursinya dan memperhatikan saya sangat fokus, "Maksudku ... aku merasa tidak jelas, apakah aku ini pacarmu atau bukan."
ltu mengejutkan. Napas saya meningkat seiring dengan detak jantung saya. Tapi saya tertawa karena saya pikir dia bercanda. Tapi saya segera menyadari bahwa dia sedang tidak bercanda.
"Menurutmu?" tanya saya, menunjukkan ekspresi di wajah saya seolah-olah saya bingung.
Dilan langsung menjawab, "Menurutku, iya. Bagaimana menurutmu? Apakah aku pacarmu?" tanya Dilan. Saya bisa melihat Dilan mengangkat alisnya ke arah saya.
"Ya, sudah," kata saya memandangnya.
Saya pikir dia cukup tahu, sehingga saya tidak perlu mengatakannya lagi.
"Sudah apa?" tanya Dilan. Dia tersenyum dengan penuh semangat.
"ltu jawabannya."
"Apa jawabannya?" dia bertanya seperti untuk memastikan apa yang saya maksud.
Saya menyeringai, "Ya!" jawab saya.
"Ya" untuk pertanyaannya, "ya" untuk pengakuannya, "ya" untuk keinginannya berpacaran dengan saya. Tadi itu, dia seharusnya bisa lebih singkat lagi, dengan langsung mengatakan "aku ingin pacaran denganmu", saya sudah akan setuju.
Setelah itu saya bingung, saya harus bagaimana? Saya tidak punya pengalaman berpacaran. Saya tidak punya pengetahuan tentang pacaran. Saya juga tidak yakin bagaimana perasaan saya setelah itu. Saya merasa biasa saja. Maksud saya, apakah Dilan pacar saya atau bukan, tetap saja saya mencintainya.
Beberapa saat kemudian, kami mendengar suara yang familier dari arah rumah. ltu adalah Bi Yati yang mengatakan ada telepon untuk saya dari lksan.
"Bagas udah dibolehin pulang," katanya. "Oh, syukurlah."
"Tadi doi nanyain, kenapa enggak besuk?"
"Siapa?"
"Cika."
"Oh, iya. Maaf, gak bisa," jawab saya, "tapi yang penting, kan, Bagas sekarang sudah pulih."
"Cika sombong sekarang."
"Kok, tau?"
"Ya, tau, lahf'
"lean sombong, gak?" "Buat apa sombong?" "Ya, buat siapa aja."
Setelah selesai bicara dengan lksan lewat telepon, saya kembali ke Dilan, bersamaan dengan hujan gerimis mulai turun, jadi kami memutuskan untuk kembali ke ruang tamu dan duduk di sofa. Saat itu, Mama dan Papa sudah tidur. Beni mungkin di kamarnya.
Saya merenung, hal sederhana apa yang harus saya lakukan setelah saya menjadi pacar Dilan? Saya ke dapur untuk membuat dua hot lemon tea dan kembali lagi setelah beberapa saat kemudian, lalu setelah meletakkan dua gelas hot lemon tea di atas meja, saya duduk di sofa di samping Dilan. Agak sulit buat otak saya untuk mulai memahami bahwa saya sebenarnya sedang duduk di samping pacar saya.
Setelah melepas jaket dan meletakkannya di sandaran kursi, Dilan menoleh ke arah saya, "Sekarang aku sudah memasuki fase hidup ... aku harus menjadi pacar yang profesional ... ," katanya.
Saya tersenyum untuk itu, "Minum dulu ... ," kata saya sambil menyerahkan gelas hot lemon tea-nya.
Dilan meraihnya, dan bicara setelah dia selesai minum, "Maksudku, aku janji, aku tidak akan menciummu ...."
Saya bingung dan tidak mengerti mengapa dia harus mengatakannya, tapi mungkin dia hanya ingin menciptakan batasan yang akan dia patuhi untuk mencerminkan kepada saya siapa dia, dan apa yang dia inginkan di dalam berpacaran. Atau dia tampaknya seperti mgm membatasi dirinya sendiri untuk mengurangi kemungkinan risiko berpacaran terlalu jauh dengan melakukan beberapa hal yang tidak pantas. Saya pikir itulah alasannya. Saya bilang setuju, karena menurut saya itu adalah niat yang terpuji, jadi saya dengan antusias berterima kasih atas itikad baiknya itu.
"Jadi, kalau nanti aku mencium kamu, gak salah lagi, berarti aku Bajingan."
Mata saya beralih dari Dilan ke arah kamar dan ruang tamu, untuk sekadar memeriksa karena khawatir ada yang mendengar percakapan pribadi kami. Ada partisi yang memisahkan ruang tengah dan ruang tamu, tapi sepertinya semua orang sudah berada di kamarnya masing-masing. Setelah itu, saya merasa jauh lebih tenang.
"Tapi ... "
Dilan diam, tidak menyelesaikan kalimatnya. "Tapi?" tanya saya menoleh kepadanya.
Dilan lalu menjawab bahwa dia merasa tidak enak untuk mengatakannya. Saya bilang, katakan saja. Saya lebih senang kalau bisa bicara satu sama lain secara terbuka.
Dengan segera dia menoleh, "Malam ini ... aku ingin jadi Bajingan," katanya, menatap saya dalam-dalam sambil tertawa.
Mendengar itu, sebenarnya saya terkejut, saya pikir dia baru saja ingin melanggar aturan yang dia tetapkan sendiri, tapi saya menanggapinya dengan tertawa juga, karena mengira dia sedang bercanda.
Saya sepertinya tidak mau. Lalu, sebelum saya bisa mengatakan apa-apa, Dilan sudah melakukan gerakan tiba-tiba: Dilan mencium kening saya.
Saya terdiam dan menatapnya selama beberapa detik sebelum saya menyadari apa yang sudah Dilan lakukan dan saya tidak tahu mengapa Dilan melakukannya. ltu benar-benar disengaja. Saya seperti bertanya, apa arti semua itu.
Orang mungkin bisa mengatakan bahwa mengecup kening adalah ekspresi rasa kasih sayang yang mendalam, tidak memiliki makna seksual sama sekali. Tapi yang bisa saya pikirkan, itu seperti awal untuk semuanya, itu seperti prolog untuk angan-angannya yang cukup besar, sebenarnya ada lebih banyak niat di balik itu, dia ingin lebih, tetapi tidak bisa, dan hanya itu yang bisa dia lakukan untuk sementara waktu. Saya tidak menganggap mencium kening itu benar-benar istimewa, kecuali dilakukan oleh Papa dan Mama, Abah, Emak, atau saudara perempuan saya. Saya tidak berpikir bahwa mencium kening itu sebagai hal khusus yang tidak bisa disamakan dengan jenis ciuman yang lain.
Saya sedikit kecewa dengan apa yang dilakukan oleh Dilan dan membuat saya merasa kurang aman bersamanya di saat itu juga. Saya mulai sedikit menjaga jarak, siapa tahu Dilan akan mencium saya lagi. Saya tidak ingin menjadi bodoh karena jatuh cinta.
"Jangan melakukan itu lagi ... ," kata saya memandangnya sebentar sambil meletakkan gelas hot lemon tea yang baru saja saya minum.
Dia hanya menatap saya dengan raut wajah merasa bersalah atas seluruh situasinya, lalu bicara, "Banyak hal dariku untuk dimaafkan dari sejak aku lahir."
Saya benar-benar tidak tahu harus berkata apa, selain, "Aku mau tidur ...."
"lya," jawab Dilan dengan gerakan gelisah. "Aku pulang dulu." Sebelum Dilan benar-benar pergi, dia berbalik di ambang pintu.
Ada sesuatu yang tidak bisa saya gambarkan di dalam tatapannya. "Kamu marah?" tanya Dilan.
Saya hanya menjawabnya dengan mengangkat bahu. Kemudian katanya, "Aku orang yang gak percaya ada cinta yang bisa selama lamanya ...."
ltu terdengar tidak menyenangkan. "Maksudmu?" tanya saya mengernyitkan dahi.
"Tapi aku percaya ke kamu, dan aku bisa mewujudkannya." Saya diam. Saya tidak punya apa-apa lagi untuk dikatakan.
"Kita harus bisa," kata Dilan. Matanya sedikit keruh dan percakapan berakhir di sana.
Dilan pulang, kemudian menjadi sunyi di ruang tamu dan saya langsung masuk ke kamar, mengunci diri.
Saya benar-benar tidak yakin dengan apa yang harus saya pikirkan tentang semua itu, tetapi saya sedikit kecewa oleh beberapa alasan, dan saya tidak tahu kenapa, tapi saya sangat tidak suka berciuman. Saya tidak pernah mengerti, mengapa orang pacaran harus berciuman. ltu adalah konsep yang sulit saya pahami.
Ketika saya bangun di pagi hari, saya tahu bahwa saya akan baik baik saja. Hari itu tanggal merah, sekolah libur. Saya duduk di kursi meja belajar, menghirup udara pagi yang segar dan aroma hujan semalam di rerumputan.
Saat itu, Mama dan Papa sedang pergi ke Cicadas untuk urusan yang tidak saya ketahui. Beni mungkin masih di kamarnya. Saya merasa bosan dan ingin pergi ke luar rumah, tapi yang akhirnya saya lakukan adalah membaca Excellent Women karya Barbara Pym. Kemudian, terdengar suara telepon. Saya berdiri, pergi untuk menerima telepon.
"Dari Dilan," kata Bi Yati. "lya, Bi. Makasih."
Saya duduk di kursi dan meraih gagang telepon, "Mau apa?" tanya saya datar.
"Eh? Lan9sun9 interviewr'
"Mau apa?"
"Mau ...."
Saya memutuskan untuk diam selama Dilan berpikir mencari jawaban. Dalam sepersekian detik, Dilan menjawab, "Mau datang ke rumahmu."
"lya. Mau apa?"
"Cuma lihat rumahmu."
"Buat apa lihat rumahku?"
"Buat alasan aja, biar melihat kamu."
"Buat apa lihat aku?"
"Buat memastikan kamu baik-baik saja." "Kalau udah tau baik-baik saja, mau apa?" "Mau ngajakjalan-jalan sama kamu."
"Kalau akunya gak mau, gimana?"
"Pasti aku sedih," dia menjawab dengan suara rendah dan lemah. "Kenapa sedih?"
"Karena gakjadijalan-jalan."
"Kalau gak jadi jalan-jalan, mau apa?"
"Ya, kepaksa duduk-duduk aja."
"Ya, udah."
"Boleh ke rumahmur'
"Tapi, jangan jadi Bajingan."
"Iya."
"Aku gak suka."
"Iya."
Semua pembicaraan itu kenangan. Satu jam kemudian, Dilan datang. Dia tidak membawa bunga atau cokelat. Dia membawa buku tulis bergaris. Di setiap barisnya diisi oleh tulisan tangan Dilan yang rapi dengan kalimat "Maaf, saya berjanji tidak akan menjadi Bajingan lagi" dan Dilan menulisnya beberapa kali sampai satu buku penuh.
Saya tersenyum dan bertanya berapa lama waktu yang Dilan butuhkan untuk menyelesaikan tulisan itu. Dilan menjawab, dua jam. Katanya, dia membuatnya tadi malam, sepulang dari rumah saya. Saya hanya tersenyum seperti orang bodoh.
"Biar apa nulis begini?"
"Sesuatu yang harus kuingat," katanya.
"Pertemuan ini masa percobaan. Jangan pernah jadi Bajingan lagi. Kamu tau, aku gak suka, kan?"
Dilan mengangguk, tapi wajahnya seperti dia tidak mengharapkan saya mengatakan itu. Mudah-mudahan dia baik-baik saja.
Saya akui, saya memiliki temperamen yang cenderung melakukan tindakan tanpa memikirkan akibat dari apa yang saya katakan atau lakukan, tapi untunglah Dilan bisa selalu mengimbanginya dengan memiliki kepala yang dingin.
Sekitar pukul empat sore, Dilan mengajak jalan-jalan. Saya mandi dan berpakaian dengan memilih celana jeans, kaos putih, kemeja polo berwarna merah tua, dan jaket denim, lalu memandang diri di cermin, melakukan pertempuran menjadi sosok yang sempurna untuk dilihat oleh Dilan. Setidaknya menjadi sosok yang sempurna dari manusia sejenis saya.
"Aku suka potongan rambutmu," kata Dilan, saat saya keluar dari kamar.
Apa Bajingan baru saja mencoba menggoda?
Saya menghela napas, mencoba menepisnya, "Gak usah dibahas."
Saya mendengar tawa lembutnya saat berjalan untuk pergi. Entah mau ke mana.
"Pacaran itu urusan yang paling sulit di dunia, karena enggak ada sekolahnya," kata Dilan di perjalanan.
"lni mau ke mana?"
"ltu juga sulit dijawab. Karena gak diajarin di sekolah." "Tinggal jawab ke rumah Abah," kata saya.
"Oke, kalau begitu." "Repot amat, sih!"
Di rumah Abah, ada keluarga Mang Dhani. Saya melihat istrinya sedang memasak di dapur bersama Emak yang bilang bahwa dia tidak tahu saya akan datang. Kalau tahu, dia akan mempersiapkan makanan kesukaan saya. Mang Anwar sedang ada kegiatan di Purwakarta bersama kawan-kawan kuliahnya. Saya melihat Sabrina tampak nyenyak tidur di kamar Abah.
Kami berkumpul di kursi rotan, di bawah pohon kersen, menikmati hasil masakan istrinya Mang Dhani dan Emak. Baunya begitu menggiurkan, tersimpan di dalam panci dan wajan. Saya meletakkan siku saya di atas meja, seperti tampak akan mencicipinya, hmm, enak, kata saya, menarik napas dalam-dalam. Saya menatap Dilan sebelum kembali ke makanan, wajahnya yang santai menjadi senyum yang mudah.
"Hayu, nunggu apa lagi," kata Abah sambil meraih piring dan sendok kecil, diikuti oleh yang lain untuk mulai makan bersama sama. Saya meraih piring dan mengisinya dengan nasi untuk Dilan. Dilan menerimanya dengan rasa terima kasih. Sayur bayamnya lembut, dan rasanya enak.
ltu adalah suasana yang cukup menyenangkan dan damai, Abah berharap akan terus begitu. Bisa berkumpul, penuh dengan kegembiraan. Sementara itu, langit terlihat sedang cerah berwarna biru jernih, dedaunan berdesir lembut tertiup angin, burung-burung berkicau di kejauhan.
Setelah acara makan selesai, Emak datang membawa irisan mangga yang dipasangkan dengan potongan semangka, lalu dia duduk kembali. ltu benar-benar luar biasa. Rasanya enak dan menyegarkan. Kami menikmatinya dengan membicarakan apa saja.
Di sana, saya mendengar Abah mengatakan hampir semua hal tentang saya dan Dilan. Katanya, dia sering mendengar banyak gosip panjang lebar yang dibicarakan oleh saudara-saudara dekat saya, tentang kedekatan saya dengan Dilan.
Percakapan mengalir dengan mudah setelah itu; dari mulai membahas Dilan yang selalu membimbing saya belajar dan juga membantu mengerjakan tugas sekolah. Bagi mereka, Dilan seperti sudah menjadi bagian dari keluarga dan sistem pendukung yang sangat kuat untuk saya.
Jelas, mereka tampak semangat dengan topik yang mereka bahas, dan sungguh luar biasa bisa mengetahui bahwa Dilan, mendapat tempat di hati mereka yang tidak lain adalah keluarga saya sendiri, hal itu menanamkan rasa hormat saya yang pantas pada kemampuan Dilan mengambil hati mereka.
"Abah mah setuju Dilan sama Teteh," kata Abah, sambil mengedipkan mata ke arah Dilan.
"Dilan juga setuju Abah sama Emak," jawab Dilan, meletakkan gelasnya di atas meja. Dia duduk di kursi yang ada di samping saya.
"Abah sama Emak mah sudah telanjur nikah," jawab Emak sambil terkekeh pada dirinya sendiri.
Semua orang tertawa. lstrinya Mang Dhani datang dan dengan hati-hati duduk di samping Mang Dhani yang sedang mengunyah semangka dengan mulut terbuka lebar.
"Cuma, ya, gitu, Dilan harus sabar. Teteh itu keras kepala," kata Abah tersenyum menyeringai. Sebetulnya Abah berkata jujur. Memang tidak sesederhana itu, tapi itulah intinya.
"Abah mah suka bener," jawab Dilan sambil tertawa. Saya mendengus.
"Dilan gurunya, Bah!" kata saya, melirik ke arah Abah sebentar. "Pawangnya, Bah," kata Dilan sambil tersenyum.
"Teteh harus baik ke Dilan," kata Abah lagi sambil mengambil satu iris mangga dengan garpu dan memakannya.
Dilan tersenyum tanpa batas dan merosot lebih dalam ke kursi rotan berlengannya. ltu seperti cara kecilnya untuk melampiaskan kegembiraan yang dia rasakan ketika merasa puas. Saya belum pernah melihat sisi dirinya yang itu.
"Dilan juga harus baik ke Teteh," saya menyela, mengarahkan jawaban kepada Abah sebelum menoleh ke arah Dilan.
"Jangan jadi Bajingan!"
Saya mungkin seharusnya tidak mengatakan itu, tapi setidaknya saya mendapatkan sedikit senyuman dari wajah Dilan.
"Baik Dilan mah," kata Emak.
"Makasih, Mak," kata Dilan tersenyum lebar.
"Emak belum tau sih," kata saya sambil mengatur surai rambut saya yang jatuh di muka.
Apa pun, hari itu, saya menemukan atau mendengar tentang Dilan yang mendapat nilai bagus di pandangan mereka.
Dan saya ikut gembira sebagai pengamat. Saat Mang Dhani, istrinya, Emak, dan Abah mengatakan bahwa mereka setuju saya dengan Dilan, saya juga setuju bahwa mereka setuju. Tetapi saya tidak harus segera memulai memperkenalkan Dilan sebagai pacar saya.
Saya belum ingin memberitahu mereka lebih banyak tentang hubungan saya dengan Dilan lebih daripada yang diperlukan. Maksud saya, saya masih belum ingin melakukan sesuatu yang terlalu mencolok dan saya merasa ingin pacaran yang biasa saja, yang menyenangkan, tanpa pantauan dari luar, tanpa ada orang yang memperhatikan, atau tanpa ada orang yang memberi komentar dan hal lain seperti itu.
Jam terus berdetak. Setelah acara berkumpul selesai, Dilan tertidur di sofa ruang tamu rumah Abah. Saya mengambil bantal dan selimut yang ada di rumah Abah untuk membuat Dilan merasa lebih baik dan tidak kedinginan.
Saya selalu merasa sedih sebetulnya, karena saya tidak pernah bisa membantu Dilan di dalam menyelesaikan pekerjaan dan tugas kuliahnya. Dilan pasti lelah meskipun dia mengaku senang melakukan apa yang dia lakukan. Dia baru bangun setelah keluarga Mang Dhani mau pulang sekitar pukul tujuh malam.
Dari rumah Abah, Dilan mengajak saya pergi ke daerah Gatot Subroto, meskipun saya sudah menyuruh dia pulang untuk lebih baik istirahat. "Saya suka bermain-main dan saya punya waktu untuk itu," katanya. Saya menghela napas.
Kami berhenti di suatu tempat yang sekarang disebut daerah TSM. Langit gelap, cahaya lampu penerang jalan memberi gambaran tentang semuanya sudah sepi.
Kami duduk di salah satu warung, yang dikenal dengan nama Warung Kang Ewok, sambil memakan camilan yang sudah tersedia di atas meja, juga teh panas dan kepi.
Di sana juga, kemudian saya bertemu kawan-kawan Dilan dan melakukan percakapan, ditambah dengan sedikit bergosip. Hampir hanya itu yang terjadi. Kadang-kadang kami berbicara dengan keras sehingga semua suara bisa menembus kesunyian malam di daerah Jalan Gatot Soebroto.
Sejujurnya saya merasa asyik bisa berbaur dengan mereka bersama angin di akhir bulan Maret, di bawah sinar lampu neon.
Karakter-karakter mereka adalah penduduk asli Kota Bandung melalui intonasi dan bahasa yang mereka gunakan.
Beberapa saat kemudian, saya mengenal Remi Moore yang datang belakangan. Dia seorang waria dengan tawa berderit nyaring. Terlalu tua untuk disebut anak muda dan terlihat lebih jantan daripada wanita. Dia sangat lucu dan takdir telah mengisinya dengan keadaan seperti itu dari semenjak dia kecil. Suaranya khas dengan leher yang sedikit meregang pada setiap saat dia bicara. Suaranya terdengar lembut dan juga menyenangkan.
Malam itu, dia terlihat cantik, mengenakan pakaian wanita dan wangi parfum beraroma manis seperti semangka yang baru dibelah. Katanya, dia hanya ingin memperkenalkan kasih sayangnya kepada dunia, tanpa perlu peduli bagaimana keadaan dirinya.
Berkeliaran di malam hari sudah menjadi kebiasaan baginya. Tidak pernah mengambil bagian dalam bentuk merebut kekuasaan melalui politik apa pun. Dia hanya butuh makan dan bekerja keras dari waktu ke waktu. Siang di salon, malam di jalan.
"Nyonya Dilan," katanya kepada saya. "Selamat datang di tempat kami."
"Makasih, Kang." jawab saya "lh? Kok, manggil Akang?"
Semua orang yang ada di sana tertawa.
"Oh, iya. Manggilnya apa, ya?" tanya saya, benar-benar bingung. "Teteh, dong," jawab Remi.
"ltu mah aku!" kata saya. "Aku dipanggil Teteh juga di rumah." "Sama. Beda jenis kelamin doang!" Lagi-lagi, orang-orang
tertawa.
"Kalau datang ke sini lagi, lain kali jangan dandan cantik-cantik," kata Remi Moore lagi.
"Kenapa?" tanya Burhan.
"Eike kalah!" jawab Remi More sambil menepuk bahu Burhan. "Kamu lebih cantik, ah," kata saya.
"Aw!" Remi Moore berseru, sambil menggapit kedua pipinya dengan dua tangannya, seperti tokoh anak kecil dalam poster
film Home Alone, "Dilan! Kamu pilih aku, atau dia?" tanya Remi kemudian kepada Dilan. "Biar, deh, eike jadi yang kedua."
"Kenapa milih yang kedua?" tanya Anhar.
"Kalau nomor satu, kan, kecap. Eike, kan, saos," jawab Remi, langsung.
"Ha ha ha!"
Dilan meminta Remi Moore memberi sedikit wejangan untuk hubungan Dilan dengan saya yang baru resmi berpacaran. Remi Moore menarik napas, kemudian memberi beberapa kalimat.
"Gak usah resah dan gelisah .... Besok kita bertemu lagi ... sekarang ada orang paling manis dan paling lucu yang akan menghibur kita. Eike nerima, eike senang ...."
"Artinya?" tanya Dilan, mendongak kepada Remi Moore.
Orang-orang yang bersama kami saling memandang dan tersenyum.
"Gak ada artinya," jawab Remi Moore.
"Terus, ngapain kamu ngomong? Ah, teu baleg (Ah, gak bener)," kata Burhan, disambut tawa oleh yang lain. Remi Moore juga ikut tertawa sambil menghela napas, seperti kehabisan energi karena harus mengatakan kata-kata yang sudah dia ucapkan tadi.
"Ya, udah. Aku gak bisa lama-lama, ya ...." "Mau ke mana?" tanya Burhan.
"Ngompreng ... ," katanya sambil mereguk gelas kopinya. Saya melihat sepotong rambut pirangnya terurai, lepas di pipinya.
Kira-kira pukul sepuluh, saya dan Dilan pulang dari Warung Mang Ewok, menyusuri jalan sunyi, di bawah gerimis kecil yang tak terhitung jumlahnya di sepanjang Jalan Kiaracondong.
Jarak pandang saat itu tidak terlalu jelas, sebagian karena kabut, sebagiannya lagi karena keadaan semakin gelap. Terdengar gemuruh petir di kejauhan bersama cahaya kilat yang sporadis. Dan jika hujan turun, tidak apa-apa, alam sudah mengaturnya seperti itu.
Saya tidak memeluk Dilan sampai tiba di rumah dan mendapati Mama membuka pintu rumah untuk saya. Mama tampak santai, tidak mempermasalahkan Dilan yang malam itu membawa saya jalan-jalan, kecuali mungkin jika saya pulang terlalu larut malam. Karena biar bagaimanapun, mereka sudah mengenal Dilan (kecuali bahwa Dilan Bajingan, mereka belum tahu) dan mereka percaya kepada saya bahwa saya bisa menjaga diri saya sendiri.
-- Next Chapter--
Bab 16
Besoknya, sepulang dari sekolah dan dengan masih menggunakan seragam, saya dan lndri pergi ke satu-satunya tempat yang sangat kami sukai di daerah Jalan Sultan Hasanuddin.
Di sana cukup tenang. Kami menemukan tempat yang bagus di bawah pohon rindang. Saya hanya ingin santai dan memberitahu lndri bahwa saya sudah resmi berpacaran dengan Dilan, meskipun saya tidak merasa berkewajiban untuk menceritakan kepadanya. Tiba-tiba, lndri berteriak.
"Tembok Berlin roboh!"
"Gak roboh. Dilan yang kebentur tembok." "Ha ha ha."
lndri seperti puas tertawa. Saya juga tertawa sambil menoleh ke kanan dan ke kiri sehingga melihat beberapa orang yang ada di sekitar memandang ke arah kami. Saya tidak yakin apa yang mereka pikirkan, bisa jadi mereka mengira kami adalah pelajar yang sedang bolos.
"Masih mau menyumbangkan tubuhmu untuk Sains?" tanya lndri terkekeh.
"Tergantung situasi," jawab saya. "Sekarang harus izin dulu ke Dilan, ya?" "Dilan yang harus izin."
"Kok?"
"lzin ke saya, boleh gak melarang saya!" "Ha ha ha."
"Gitu, kan?"
"Udah dicium, belum?" katanya dengan tawa liar yang melampaui kata-katanya. Saya tahu dia mengatakan itu hanya untuk menggoda saya.
"Emang harus?" "Ha ha ha."
Hari-hari berlalu dan ada begitu banyak rutinitas duniawi lainnya yang saya jalankan. Saat itu, saya sudah berpacaran dengan Dilan selama satu minggu lebih dan mulai merasakan dunia tampaknya terus berubah. Saya merasa saya memiliki kehidupan romantis yang paling menarik yang pernah ada.
Mama, Papa, Beni, Mang Anwar, Bi Yati, Abah, Emak dan juga Bunda, akhirnya tahu apa yang terjadi dan apa yang sedang berkembang di antara saya dan Dilan.
Saya bisa sepenuhnya terbuka tentang itu kepada mereka.
Dan saya suka bahwa mereka percaya kepada saya dan Dilan, tanpa pengujian, tanpa pengintaian, tanpa pengendalian, tanpa drama. Mereka tampaknya sedikit lebih tertarik untuk bersikap biasa saja daripada merasa khawatir, itulah yang saya maksud.
Di hari berikutnya, saya bertemu dengan lndri. Saya mengambil kesempatan untuk berbicara dengannya selama mengisi waktu jam istirahat. Saya dan lndri membicarakan hal-hal yang terdengar seperti masalah sepele remaja sampai entah bagaimana, kemudian membahas tentang Lia.
"Oh, Dilan punya mantan?" kata lndri.
Saya bilang, saya tidak keberatan jika Dilan tetap berhubungan dengan mantannya. Mereka hanya berteman. Saya percaya Dilan. Tapi kata lndri, kedekatan mereka tidak bisa dianggap sebagai teman biasa. Mereka punya sejarah. Bisa saja mantannya akan menjadi teman dekat lagi, tapi mungkin suatu saat kenangan lama akan muncul kembali. lndri yakin Dilan akan selalu memiliki perasaan kepadanya. Atau, sesuatu yang sifatnya seperti itu.
"Gimana pun lebih enak jadi pacar pertama," katanya.
Saya mulai menghargai pikiran lndri dan menyadari bahwa keberadaan mantan bisa akan membuat tidak nyaman. Situasi ini sangat klise dan konyol sebetulnya, sayangnya tidak ada yang bisa saya lakukan untuk mengubah perasaan saya. Rasanya seperti sesuatu yang sulit untuk saya atasi. Padahal, awalnya saya merasa baik-baik saja seal mantan, tetapi kemudian setelah hari itu membahasnya dengan lndri, semuanya berubah.
Pulang sekolah, Dilan menjemput. Hari itu, saya dan Dilan berencana mau pergi ke rumah Bunda. Tapi, sepertinya saraf saya sedang hilang, sehingga hampir di sepanjang perjalanan saya hanya diam saja sambil mengunyah permet karet dan menggelembungkannya sesekali untuk membuat letupan seperti pistol.
Beberapa kali Dilan melakukan hal-hal khusus untuk membuat saya normal, tetapi tidak berhasil. Dilan bertanya kenapa, saya hanya menjawabnya dengan, "Gak ada apa-apa."
"Harusnya kamu lebih sering diam seperti ini," kata Dilan. Tadinya saya mau bertanya, "Mau?" tapi tidak jadi saya ucapkan.
Sesampainya di rumah Bunda, saya disambut oleh pelukan Bunda yang terkejut mengetahui saya datang.
"Disa!!!" teriak Bunda, setelah melepas pelukan, tetapi tidak ada jawaban yang bisa Bunda dengar.
"Bunda gak ke mana-mana?" tanya saya.
"lbu rumah tangga harus di rumah," jawab Bunda, "Bentar ... mana anakku?"
Bunda celingukan sambil masih memegang tangan saya, seperti tidak akan pernah dia lepaskan.
"Disaaa!" teriak Bunda lagi, sedikit lebih keras.
"Yaaa," jawab seorang wanita muda yang baru saja muncul dari salah satu kamar. Oh, itu Disa, yang dulu namanya pernah disebut oleh Pak Wawan di kantor polisi. Dia mengenakan rok di atas lutut dan kaos dengan tulisan "The Doors".
"Apa kau tidur?" tanya Bunda kepada Disa. "Enggak."
Dia berkata sambil matanya menatap saya.
"Kenalin ini ... ," kata Bunda kepadanya.
"Halo ..." katanya, menyapa saya sambil berjalan dengan mata berbinar.
Kalau saya boleh menilai, sepertinya dia tipikal gadis yang datang kepada saya dengan cara begitu saja, tanpa basa-basi.
Saya pikir malah tidak akan menyenangkan kalau dia tertutup. "Halo," jawab saya.
"Siapa ini?" tanya Disa dengan mata bertanya-tanya, sambil mengulurkan tangannya yang langsung saya sambut.
"Cika."
"Aku Disa," jawab Disa, memberi senyuman hangat, "lngat! Disa, s-nya lima."
"Lima?"
"Biar dingin banyak es!"
ltu berhasil membuat saya dan Bunda tertawa. Menurut saya, Disa juga adalah orang yang spontan yang pernah saya temui.
"Aku manggilnya apa?" tanya Disa kepada saya. "Cika aja."
Setelah semua itu, Bunda mengajak saya duduk di sofa yang ada di ruang tengah, dan kami berkumpul di sana. Rasanya begitu menyenangkan dengan obrolan-obrolan mereka yang penuh kebahagiaan sambil menikmati keripik pisang persembahan dari Bunda. Sebetulnya saya merasa belum bisa bicara banyak saat itu, karena masih merasa malu dan mungkin belum terbiasa.
"Mana Dilan?" tanya Bunda, setelah dia duduk. "Mau mandi dulu, katanya," jawab saya.
"Oke. Dia semalam tidur di kantor," kata Bunda. "lya."
"Sejak Bunda ketemu di rumahmu tempo hari, Bunda yakin kamu pasti akan jadi pacar Dilan," kata Bunda. Senyumnya sedikit terbuka.
"Kok, bisa?"
"Bunda tidak bisa menunggu lebih lama lagi sebetulnya," jawab Bunda.
"Kapan Dilan nyatain?" tanya Disa.
"Kapan, ya?" jawab saya tertawa, pura-pura lupa padahal sebetulnya malu.
"Harusnya, jangan asal terima. Cika harus istikharah dulu!" kata Disa.
Saya tertawa. Selain spontan, ternyata Disa juga orang yang usil. Dan apa yang diucapkannya cukup sulit diprediksi. Dia menyuarakan secara acak apa pun yang muncul di kepalanya untuk membiarkan dirinya bebas ngomong apa saja.
Kemudian, Disa bilang bahwa dia tidak bisa hidup tanpa oksigen dan merasa perlu mengunjungi kebun binatang diam-diam di malam hari untuk melepaskan semua binatang. Lalu mewanti-wanti saya agar jangan bilang kepada petugas kebun binatang.
"Janji?" tanya Disa.
"Ya," kata saya dan terkikik.
Selain itu, dia juga bilang bahwa dia ingin punya banyak anak, setidaknya melahirkan anak seminggu sekali.
"Ha ha ha."
Obrolan selesai oleh Bunda yang mengajak saya masak. Disa membawa tumpukan piring. Bunda menyuruh saya untuk memotong kubis. Bi Diah (asisten rumah tangga) menggoreng ikan di wajan seperti yang saya lihat. Saya juga melihat Bunda merebus bihun.
Pada saat yang sama, saya melihat Dilan keluar dari kamar. Dia sudah selesai mandi dan duduk membaca buku di sofa ruang tengah.
"Suamimu ... ," kata Bunda kepada saya, suaranya hampir berbisik, sambil menunjuk Dilan dengan bibirnya. Saya tertawa sendiri setelah menoleh ke arah Dilan.
Setelah selesai memasak, kami makan di ruang tengah. Semuanya berjalan dengan sangat ceria. Banyak nama disebutkan yang belum pernah saya dengar, dan saya tidak ingat lagi apa saja yang dikatakan saat itu. Tetapi, saya ingat Bunda kemudian membahas hubungan saya dengan Dilan sambil mengambil apel dari piring, kemudian memberikannya kepada saya sebagai tanda bahwa Bunda merestui hubungan saya dengan Dilan.
Acara makan pun selesai, saya membantu Bi Diah dan Disa membereskan gelas dan piring sampai kemudian tidak ada lagi yang bisa dikerjakan. Hal itu seperti ada semangat penghargaan dan kebersamaan yang menyenangkan di sana. Semuanya berjalan alami sampai saya melihat Bunda sudah duduk di sofa ruang tengah sambil menikmati makanan yang manis-manis.
"Cika, Dilan ... ," Bunda memanggil saya dan Dilan, yang sedang duduk di ruang tamu bersama Disa, "sini ... ," katanya dengan penuh wibawa.
Ketika kami mematuhinya, Bunda terlihat seperti ingin bicara. Tatapannya melewati saya dan Dilan yang sudah duduk bersamanya. Dilan di sisi kanan dan saya di sisi berlawanan.
Tiba-tiba, Disa datang dan berdiri sejenak di samping Bunda. "Aku gak dipanggil?" tanya Disa kepada Bunda.
"Kau ke kamar."
Disa mengangguk, lalu berbalik dengan cepat, berjalan ke kamarnya.
"Bolehkah Bunda membicarakan sesuatu dengan kalian?" tanya Bunda kemudian.
"Boleh, Bunda," jawab saya, sementara Dilan hanya mengangguk.
"Cika ... ," kata Bunda, beberapa saat kemudian. "Ya, Bunda."
"Kamu harus tahu ... " "lya, Bunda."
"Bunda ini, mencintai Dilan sudah dari sejak dua puluh empat tahun yang lalu. Bunda sudah tau semua tentang Dilan. Dan, Dilan yang Bunda cintai ini, sekarang sudah bersama kamu."
"lya, Bunda," jawab saya dengan kerendahan hati.
"Sebelum nanti Bunda mengalami hari terakhir bersama kalian, Bunda tak akan membiarkan hari-hari berlalu tanpa memperhatikan kalian."
Bunda mengatakannya dengan perlahan, yang membuat kata katanya semakin penting. Kami hanya menyimaknya dalam diam. Kemudian, saya melihat Bunda menatap Dilan.
"Kamu sudah cerita ke Cika soal Lia?"
Saya sedikit terkejut mendengarnya. Tentu saja, itu topik yang sangat sensitif. Dan saya tidak menyangka Bunda akan menanyakannya.
"Sudah," jawab Dilan santai, sama sekali tidak memberikan kesan merasa terganggu oleh pertanyaan itu. Dia bahkan tampil tenang seperti biasanya.
"Syukurlah, kalau Cika sudah tau Lia," kata Bunda.
Sejenak Bunda tampak berpikir, lalu setelah menarik napas, Bunda bicara kepada saya dengan sedikit diawali desahan. "Sekarang, apa pun alasannya, Cika tak perlu terobsesi oleh apa pun di masa lalu Dilan ...."
Saya mengangguk dengan sedikit terkejut karena merasa Bunda seperti bisa membaca pikiran saya yang sudah kena pengaruh pandangan lndri tentang mantan. Dan saat itu, Bunda seperti sedang mengoreksinya.
"Dilan berhak atas sejarah hidupnya. Cika juga sama begitu. Dilan punya waktunya sendiri bersama orang-orang di dalam hidupnya, baik sekarang maupun di masa lalu, sebagai sesuatu yang mungkin harus Dilan lalui."
"lya, Bunda," jawab saya pelan.
"Masa lalu tak perlu disikapi sebagai hal yang mengganggu. Tapi kalau kamu tetap memandangnya begitu, silakan saja, tak ada yang melarang. Hanya saja, itu pasti akan membuat hidupmu runyam dan akan membuat hidupmu tak nyaman."
"lya, Bunda."
"Bunda tau, tak mudah harus sepenuhnya menghapus ingatan masa lalu. Tapi, kalian harus bisa menempatkan masa lalu dan masa kini secara terpisah."
Saya tidak tahu apa pandangan Dilan tentang itu. Tapi, saya melihat dia mengangguk.
"Mungkin energi tak akan pernah mati ..., tetapi kita semua tau, hubungan Dilan dengan Lia sudah berhenti. Semuanya sudah berakhir, seperti banyak hal lain yang hilang selamanya."
Setelah itu, Bunda terdiam, tetapi dia menatap saya dengan saksama.
"Apakah kamu ingin mengganti masa lalu Dilan dengan kecemburuan?" tanya Bunda kepada saya.
"Enggak, Bunda."
"Akal sehat dan kepala dingin adalah kuncinya."
"lya."
Bunda diam lagi, kemudian menoleh ke arah Dilan.
"Dan kau, Dilan ... " "Siap."
"Kebersamaanmu dengan Cika sekarang, tidak perlu dianggap sebagai uji kecocokan untuk memilih mana yang terbaik di antara Cika dan Lia ... , atau dengan siapa pun, lah, di dunia ini."
"lya."
"Jangan bodoh, Kau." "Enggak, Bunda."
"Membandingkan hubungan yang telah berakhir dengan yang sedang berlanjut, sama saja seperti membandingkan hidup dengan kematian. Gak ada gunanya."
"lya, Bunda."
"Tak ada yang bisa bersaing dengan kamu," kata Bunda sambil menatap saya. "Cinta di masa lalu itu cuma fantasi yang tidak nyata."
"lya."
"lngat, Dilan. Cika adalah yang lain dengan segala hal yang ada di dalam diri Cika. Tiap orang punya bagiannya sendiri. Menjadi tokoh di dalam ceritanya sendiri. Cika pantas mendapatkan yang jauh lebih baik daripada kau membiarkan dirimu terjebak dalam ingatan yang berlebihan. ltu bodoh," kata Bunda memandang ke arah Dilan.
"lya," jawab Dilan.
"Dilan harus bilang terima kasih ke Cika."
"Makasih," kata Dilan kepada saya langsung. Ada senyuman di sekitar mulutnya. Hanya satu detik.
"Sama-sama," jawab saya kepada Dilan pelan.
"Cika berhak bersama seseorang yang membuat Cika merasa dicintai lebih dari siapa pun. Bunda yakin, Cika akan mendapatkannya dari Dilan."
"Siap, Bunda," jawab Dilan.
"Bunda percaya ke Dilan. Cika juga harus percaya ke Dilan. Tidak usah khawatir. Lagi pula, kita semua ini manusia, hidup diberi rahmat kepercayaan."
"lya."
"Kalau hanya untuk membuat Cika senang," kata Bunda lagi menatap ke arah Dilan, "jangan menjanjikan apa yang tidak akan pernah bisa kau berikan."
"Siap!"
"Dan tidak kembali pada kesalahan sebelumnya." "lnsya Allah," jawab Dilan.
"Dan Cika juga bisa melakukan hal terbaik, ini jika Cika mau, untuk membuat Dilan semakin yakin bahwa Dilan sekarang sudah bersama orang yang tepat."
"lnsya Allah, Bunda."
"Kalian ini masih sangat muda. Masih punya banyak kehidupan hingga ke depan yang harus diisi dengan cinta. Yang harus diisi dengan kegembiraan. Dunia sedang menanti kalian ...."
"lya."
"Oke! Ada pertanyaan?"
"Ada, gak?" tanya Dilan kepada saya, setelah dia menggelengkan kepalanya.
"Gak ada, Bunda," jawab saya kepada Bunda.
"Ya, sudah. Kalian ... sekarang sudah cukup besar untuk memahami apa yang Bunda katakan. Yang lalu, berlalu, bahagia yang akan datang. Semuanya duniawi, surga di kemudian."
"Aamiin ...."
Percakapan berakhir. ltu adalah hak istimewa Bunda yang langka bagi anak-anaknya untuk dapat mendengar apa yang ingin dia sampaikan.
Buat saya pribadi, semuanya sangat benar. lni adalah nasihat Bunda yang sangat indah dan meyakinkan. Rasanya saya benar benar setuju dengan semua yang dikatakan oleh Bunda.
Saya menilai, apa yang dikatakan Bunda adalah kebajikan yang luar biasa. Kata-katanya memiliki efek yang Bunda harapkan. Maksud saya, saya bisa menerimanya dengan penuh semangat.
Kata-katanya telah meningkatkan harga diri saya. Terasa sangat kuat dan menentukan kehidupan saya bersama Dilan selanjutnya. Sejak itu, saya merasa seperti tidak ada lagi yang mengganggu pikiran saya. Tak ada lagi beban rasanya. Dan segalanya terasa menjadi baru!
Buat saya, keistimewaan Bunda tampak pada kebijaksanaan dan rasa tanggung jawabnya sebagai seorang ibu, yang kualitasnya muncul dari pikiran-pikirannya yang terbuka.
Pukul delapan malam, hujan sudah berhenti. Saya pulang bersama Dilan, melewati jalanan yang licin dan basah. Saya bisa mencium bau udara lembap dan bau tanah di sepanjang perjalanan. Sesekali terlihat kilatan cahaya di langit kelabu dan suara guntur yang menggelegar di kejauhan.
ltu adalah malam yang dingin. Saya menggigil, memeluk Dilan, dan tiba-tiba saja saya merasa sedih karena Dilan sekarang sibuk. Dia harus menyelesaikan banyak pekerjaan dan tugas kuliahnya. Sebetulnya tidak apa-apa buat saya, karena saya tahu Dilan akan menghubungi saya ketika dia bisa, dan dia akan datang ke rumah jika punya waktu kosong.
Hanya saja, saya rindu momen di mana saya dan Dilan dulu hampir setiap hari bisa duduk berdua. Saya merindukan kembali pada kebahagiaan lama yang pernah ada di ruang tamu, bagaimana dulu kami biasa berbicara setiap hari dan bagaimana saya dapat memberitahu semua hal yang saya pikirkan. Berbicara hanya saya dan dia.
Kemudian setelah saya mengatakan semua itu kepada Dilan, Dilan bertanya, "Nanti bagaimana kalau aku jadi Bajingan?" Saya diam, seperti tercekat.
"Gak apa-apa kalau aku jadi Bajingan?" tanya Dilan lagi.
Setelah hening sejenak, saya akhirnya menjawab, "Bukannya kamu udah nulis, janji gak akan jadi Bajingan?"
Dilan langsung menjawab dengan mengatakan bahwa, dia bisa membuat adendum atau semacam teks baru untuk mengubah pernyataan sebelumnya.
"Tapi, itu juga kalau kamunya setuju," kata Dilan.
Saya diam. Saya benar-benar tidak tahu apa yang bisa saya katakan kepadanya.
"Setuju?" tanya Dilan. "lya," jawab saya pelan.
-- Next Chapter--
Bab 17
Hari demi hari berlalu. Banyak hal yang terus berubah, salah
satunya adalah Dilan menjadi Bajingan kembali sesuai adendum yang dia buat sendiri di buku tulis bergaris yang saya tanda tangani. Kecupan kening hanyalah tanda kasih sayang, tetapi kemudian menjadi sedikit lebih jauh dari itu, seperti dikendalikan oleh mesin keadaan. Bulan April, dengan hujan-hujan kecil, adalah bulan saya sibuk belajar, karena saya harus menghadapi ujian EBTA dan EBTANAS yang akan diselenggarakan pada tanggal 6 sampai 9 Mei 1996.
ltu sangat penting. Saya sudah menyiapkan semuanya, termasuk mengatur waktu yang baik untuk membawa banyak manfaat dan bisa membuat segalanya lebih mudah bagi saya, keluarga, dan Dilan.
Sementara itu, Dilan mulai sibuk lagi dengan pekerjaan dan kuliahnya. Tidak apa-apa, saya bisa memahami dan mendukung seberapa banyak dia harus menyelesaikan semuanya. Saya hanya tinggal menunggu dia menelepon atau menunggu dia datang pada setiap dia memiliki waktu senggang.
Biasanya, Dilan akan datang setiap Sabtu malam atau di hari Minggu. Kemudian kami melakukan hal-hal yang dapat dilakukan bersama sebelum hari Senin, seperti jalan-jalan, mengunjungi keluarga, memasak, atau menghabiskan waktu berdua di ruang tamu. Kadang-kadang, Dilan juga datang di hari lain ketika jadwal kami sedang cocok.
Dan Sabtu malam itu, saya pergi bersama Mama, Papa, dan Beni ke acara pernikahan saudara saya di daerah Cileunyi. Ketika pulang, saya melihat Dilan sedang tidur di sofa ruang tamu. Sepertinya, dia kelelahan setelah bekerja selama seminggu.
Ketika Dilan terbangun, saya ingin dia merasa bahwa waktu bersama saya sangat menyenangkan. Dia mendapatkan camilan dan segelas kopi bikinan saya. Dan saya duduk di sampingnya.
"Aku sedih ...."
"Kenapa?" tanya saya kaget.
Dilan tidak menjawab, dia hanya mengambil buku kotretan yang tersimpan di bawah meja, kemudian menunjukkan tulisan di salah satu bagian yang ada di dalamnya, dan itu adalah tulisan saya.
Dilan yang saya sukai bukan Dilan sebagai anak nakal yang suka berantem atau mengintimidasi.
Dilan yang saya sukai bukan Dilan sebagai anak nakal yang mengabaikan tanggung jawab, menyalahgunakan narkoba, atau melanggar hukum.
Dilan yang saya sukai adalah Dilan sebagai anak nakal yang tidak berbahaya atau kasar.
Dilan yang saya sukai adalah Dilan yang punya kepercayaan diri dan mampu mengendalikan emosinya.
Saya suka Dilan karena punya kepribadian yang baik dan sensitif untuk bisa memperlakukan semua orang dengan hormat.
Dilan yang saya banggakan adalah Dilan yang melakukan kebaikan karena Dilan punya cara berpikir yang luar biasa, cerdas, dan genius. ltu kekuatan supernya yang tidak akan bisa dilawan oleh siapa pun, kecuali oleh yang setara dengannya.
Apalagi Dilan sekarang sudah mahasiswa, harus selalu memikirkan konsekuensi dari semua tindakannya.
Dilan bilang, dia sudah membaca semuanya. Saya bereaksi dengan tenang, meskipun sedikit terkejut oleh itu, karena sebetulnya tulisan itu sangat pribadi yang tidak perlu diketahui orang lain.
"Kok, ada di sini?" tanya saya sambil meraihnya. "Bagus," katanya.
Saya kemudian menjelaskan bahwa itu adalah tulisan lama, dan saya menulisnya sehari setelah Dilan menyerahkan diri ke kantor polisi karena sudah melakukan hal tidak baik kepada Bono.
ltu hanya tulisan asal, kata saya melanjutkan, semacam tulisan angan-angan saja tentang keinginan saya melihat Dilan berubah untuk dirinya dan kebaikannya sendiri. "Bagus sekali."
"Karena?" tanya saya.
"Aku harus mewujudkan apa yang kamu tulis."
Saya tersenyum yang mengarah pada kesadaran bahwa saya menyukainya, "Coba buktikan," kata saya.
Dua hari setelah itu, Dilan punya waktu senggang untuk menjemput saya di sekolah. Kami pergi ke toko buku Palasari untuk membeli beberapa buku yang saya butuhkan demi persiapan menghadapi EBTANAS. Saat itu cuaca sedang cerah dan lalu lintas cukup sibuk.
Kami melaju di belakang mobil warna hitam yang tiba-tiba mengerem. Sepertinya Dilan tidak punya cukup waktu untuk berhenti, sehingga menabraknya. Atau begitulah yang saya pikirkan, dan tentu saja, tidak ada yang menginginkan hal seperti itu terjadi.
Butuh beberapa menit untuk menyadari hal itu, sampai kami mendengar beberapa kendaraan membunyikan klaksonnya. Dilan kemudian melakukan upaya yang wajar dengan memindahkan motor ke tempat aman di bahu jalan, agar tidak menghalangi arus lalu lintas.
Mobil hitam juga melakukan hal yang sama seraya menyalakan lampu hazard-nya. Sesaat kemudian, kami mulai menjadi pusat perhatian dari beberapa orang dan kendaraan yang kebetulan sedang lewat.
Lalu, saya melihat si pengemudi mobil keluar. Dia memeriksa apa yang terjadi. Tapi, perilakunya seperti siap untuk bertempur dengan kunci inggris di tangannya. Dilan menyuruh saya menjauh.
Melihat ada goresan kecil di bagian bumper mobilnya, si pengemudi itu langsung marah. Dia menuduh Dilan ngebut, kemudian meminta SIM dan detail kontak Dilan dengan sikap yang kasar, bahkan hampir memukul Dilan.
Ya, saya mengerti, kecelakaan seperti itu bisa membuat siapa pun stres dan marah, tapi saya melihat Dilan tampak tenang dan santai mencoba menjelaskan semuanya. Dilan mengatakannya dengan tanpa ekspresi nafsu di wajahnya. Walaupun begitu, dia tidak terlihat menjadi lemah.
Dilan dengan sopan kemudian meminta maaf dan mengatakan kepada si pengemudi bahwa dia akan bertanggung jawab untuk memperbaiki kerusakan. Tapi, si pengemudi itu tetap marah dan mengaku-ngaku dari keluarga tentara (padahal Dilan juga anak tentara, hanya saja dia tidak mengatakannya).
Satu atau dua menit setelah itu, saya melihat ada konvoi sepeda motor melintas di jalan raya. Tampaknya terorganisir, seperti geng motor. Saya tidak bisa memastikan jumlahnya, tetapi sangat banyak.
Beberapa di antara mereka melihat ke arah Dilan, lalu entah bagaimana, semuanya bergerak menepi secara bersama-sama. Ternyata, mereka adalah kawan-kawan Dilan dari sebuah geng motor yang cukup terkenal di Bandung.
Mereka bertanya tentang apa yang terjadi. Dilan menjelaskan tentang situasinya dan mencoba memberi isyarat bahwa tidak ada masalah dan semuanya baik-baik saja. Saya melihat Dilan kemudian merangkul si pengemudi itu, seperti sengaja untuk menunjukkan keakraban.
Tapi, satu atau dua orang dari mereka menaruh curiga pada kunci inggris yang sedang dipegang oleh si pengemudi mobil. Entah apa yang dikatakan oleh Dilan, kemudian semuanya berakhir tanpa ada kekerasan fisik.
Di jalan, Dilan bercerita tentang dirinya dan dunia jalanan yang pernah dilaluinya bahwa pada dasarnya, mereka adalah keluarga di dalam persaudaraan. ltulah alasan sebenarnya mengapa geng atau klub motor dibentuk.
Kemudian, kata Dilan, sebagian masyarakat menggambarkan mereka sebagai kelompok yang sangat kejam, dan sayangnya, beberapa pendapat masyarakat itu benar. Padahal, kata Dilan, tidak satu pun klub atau geng motor yang akan membenarkan anggotanya lepas kendali dengan melakukan perilaku ilegal apa pun.
Beberapa kawan Dilan sebenarnya adalah orang-orang terbaik yang pernah Dilan temui di sana. Jadi, Dilan merasa tidak menjadi hal buruk bahwa dia pernah menjadi bagian dari mereka.
"Salah satunya kamu." "Kenapa aku?" tanya Dilan.
"lya. Beberapa orang baik yang kamu bilang tadi, salah satunya kamu."
"Oh ... mudah-mudahan."
Selain itu, Dilan juga cerita tentang adanya perang berkepanjangan dengan klub atau geng saingan, tapi Dilan tidak setuju dengan hal itu. Dilan ingin memberitahu mereka agar berdialog daripada adu jatos atau baku tembak.
Sudah tiba waktunya untuk mari kembali ke prinsip dasar, yaitu kembali kepada kekeluargaan di dalam persaudaraan dan solidaritas menuju Bandung yang menyenangkan dan tanpa rasa takut.
Dilan juga bilang bahwa dia ingin membayar semua hal yang pernah mengecewakan ayah dan bundanya di masa lalu. Dia merasa harus mengingatkan dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dengan cara yang pasti.
Buat saya, Dilan sedang mengalami apa yang dia inginkan. Meskipun begitu, katanya, dia tetap akan berhubungan dengan kawan-kawannya dan selalu mengatakan bahwa dia peduli kepada mereka karena mereka sudah seperti saudara baginya.
"Kamu masih ingat tulisanmu di buku kotretan?" tanya Dilan. "Oh, itu."
"Ya, aku setuju."
"Tadi kamu sudah membuktikannya. Aku kagum kamu bisa tenang. Bisa nahan emosi. Enggak terpancing. Padahal, aku tau siapa kamu ... "
"Emang kamu tau siapa aku?" "Orang yang sabar."
"Ha ha ha. Bukannya Bajingan?" "Merangkap."
Di hari Minggu berikutnya, Dilan datang ke rumah. Kami
menanam bunga dengan warna kuning kecokelatan di halaman depan rumah.
ltu adalah waktu yang baik dan menyenangkan sampai tiba-tiba Mama memberitahu kami bahwa dia mendapat telepon dari Mang Sadili yang mengabarkan tentang Bi Opi sedang dirawat di Rumah Sakit Advent.
Jadi, setelah mendengar itu, Dilan memutuskan untuk menjenguk Bi Opi. Kata Dilan, semua hal buruk yang sudah Bi Opi lakukan memang sangat menyebalkan, tapi kita semua pernah melakukan kesalahan.
Kita harus bisa memaafkan diri sendiri dan orang lain. Tidak perlu melihat ke belakang, yang lalu biarlah berlalu, toh pada akhirnya apa yang kemudian kita dapatkan adalah hal yang mengarah pada hari hari terbaik.
Saya dan Dilan datang, dan betapa menakjubkan, ketika saya melihat Bi Opi mulai menangis, begitu pula dengan Mang Sadili. Saya rasa, mereka tidak bisa menahannya. Dan saya berbicara dengan Bi Opi, membuka kembali jalur komunikasi dengan mencoba yang terbaik untuk menghiburnya.
"Sing langgeng sareng Dilan (Semoga langgeng sama Dilan)," katanya lirih.
"Aamiin. Nuhun (Terima kasih), Bi."
Jadi, itu adalah semacam cara yang lebih bermartabat untuk membina kembali hubungan baik antara saya dan Bi Opi. Saya kemudian menjadi dekat lagi dengan keluarga Bi Opi seperti sebelumnya.
"Kamu tadi ikut nangis, gak?" tanya saya ke Dilan. "Masa ikut-ikutan?"
-- Next Chapter--
Bab 18
Hari itu, 9 Mei, adalah hari terakhir saya menghadapi ujian EBTA
dan EBTANAS. ltu sangat penting karena kelulusan siswa ditentukan oleh kombinasi hasil EBTA dan EBTANAS, dan ditambah dengan nilai raper.
Saat itu, di dalam melaksanakan EBTANAS, pihak sekolah berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Sedangkan pada pelaksanaan EBTA, koordinasi sekolah adalah dengan pemerintah provinsi.
Saya takut setengah mati kalau-kalau saya membuat kesalahan saat menjawab pertanyaan dan kemudian tidak lulus. Saya sudah banyak belajar, tapi tetap saja saya merasa khawatir tidak dapat menerapkannya selama ujian.
"Tenang," kata Dilan. "Ujian di sekolah, beda dengan ujian di kehidupan."
"Apa bedanya?"
"Di sekolah dapat pelajaran dulu, baru ujian. Enak. Di kehidupan, beda. Ujian dulu, baru mendapat pelajaran."
Pemikiran yang aneh, tapi memang begitulah nyatanya.
Beberapa minggu kemudian, seperti banyak siswa lain, saya akhirnya dinyatakan lulus. Saya sangat bersemangat, bersama pemikiran untuk mengambil langkah selanjutnya di dalam hidup saya: mengikuti UMPTN yang akan diselenggarakan pada 19 Juni 1996!
Dan setelah menunggu dalam ketegangan, Sabtu, 27 Juli 1996, saya mendapat kabar gembira bahwa saya lulus UMPTN dan diterima di UNPAD, di jurusan yang saya minati.
lndri juga gembira, karena dia diterima di IKIP Bandung (sekarang UPI). Sedih sebetulnya karena saya dan lndri harus kuliah di universitas yang berbeda, tapi IKIP adalah kampus kebanggaan lndri, sebagai tempat yang lebih baik untuk dirinya menjadi mulia, karena menjadi guru adalah profesi yang menakjubkan, yang bisa menciptakan banyak profesi. Saya setuju dan karena itu, saya kira, kita semua harus berterima kasih kepada guru. Dilan juga berpikir begitu, dan katanya, "Pendidikanku adalah untuk berterima kasih kepada guru."
Saya sendiri benar-benar harus merasa bangga menjadi mahasiswi UNPAD, bahkan saya tidak tahu bagaimana menjadi lebih bahagia lagi dari itu. Buat saya, perguruan tinggi di mana pun kampusnya, adalah impian yang harus terwujud di dunia nyata.
Saya memberitahu Papa dan Mama, dan berbicara gembira dengan mereka. Kemudian, saya memutuskan untuk menelepon Dilan di rumahnya, tetapi yang menerima Bunda. Kepada Bunda, saya yakin saya menyampaikan berita yang cukup menyenangkan.
"Mau kado apa?" tanya Bunda.
"Mau kereta gantung."
"Kereta gantung?"
"Ya!"
"Makanya, bantu Bundajual tanah di Cileunyi."
"Bercanda, Bunda!"
"Hadiahnya Bunda nikahin sama Dilan aja, gimana?"
"Gimana Bunda aja."
"Kalau begitu, ya sudah, nikah besok"
Hari berlalu, ulang tahun Dilan tiba, di awal Agustus. Kami
mengadakan pesta keluarga kecil-kecilan untuk Dilan, meskipun Dilan merasa hal itu tidak perlu. Tapi kalau saya sudah mau, biasanya Dilan tidak bisa menolaknya.
Acaranya sederhana, kami berkumpul di ruang tengah rumah Bunda. ltu acara milik kami, hangat dan menyenangkan. Ada suara dari banyak suara yang bicara. Mengobrol dan tertawa dengan sesekali berani saling menggoda dilatarbelakangi oleh alunan lembut lagu-lagu Bob Dylan.
Lagu Blowing in the Wind sedang berlangsung saat kami
membahas rencana Dilan yang akan berangkat ke Kuba pada akhir bulan September tahun 1996. Saat itu, Dilan mendapat program beasiswa penuh, dengan tambahan mengikuti perkuliahan di Fakultas Seni dan Filsafat pada salah satu perguruan tinggi yang ada di Kuba. Secara umum, kegiatan seperti itu adalah untuk mempererat hubungan antara badan-badan pengelola kebudayaan dan satuan satuan kesenian di antara dua negara.
Sementara itu, saya sendiri harus siap-siap mengikuti kegiatan penataran P4 yang akan diselenggarakan oleh kampus. Dan kemudian saya mengikutinya sampai tuntas, meskipun hidung saya meler, dan sedikit agak demam, tetapi demi kejayaan Pancasila, semua wajib ikut.
Sebelum Dilan berangkat ke Kuba, saya sempat berpartisipasi dalam acara Ospek atau perpeloncoan. Kami melaksanakannya melalui keintiman yang dipaksakan dengan sesama peserta Ospek yang disertai oleh teriakan dari mahasiswa yang lebih tua. Di mana kemudian kami mengakhirinya dengan duduk-duduk bersama, melingkar di sekitar api unggun.
Tapi pada akhirnya, tidak masalah buat saya dengan apa yang sudah mereka lakukan, yang penting Kang Nandang, Tatib Ospek, berhenti mengganggu saya. Saya tidak bermaksud buruk dengan itu, tapi ingat bahwa saya juga punya akhir pekan bersama Dilan. Syukurlah, Kang Nandang mengenal Dilan dan semuanya selesai. Bunga yang sedianya untuk saya, dibawanya kembali.
"Salam buat Dilan," katanya.
Saya ceritakan semua itu kepada lndri pada saat lndri menelepon.
"Di bawah lindungan gangsterf' teriak lndri.
"Kamu juga, kan?"
"Yoif'
"Salam buat Bono!"
Saat itu, lndri dan Bono sudah resmi berpacaran. Bono sudah bertobat, untungnya. Bono telah benar-benar berubah berkat lndri. lndri menjadi seperti titik balik dalam hidup Bono yang mengubah dirinya secara total. Dan, saya selalu ingin segera melihat bukti bahwa mereka bahagia.
Hari saat Dilan harus berangkat ke Kuba tiba, bersamaan dengan saya yang sudah mulai sibuk kuliah. Komunikasi melalui telepon dengan Dilan di Kuba cukup tidak memungkinkan, selain masalah waktu yang berbeda, teknis jaringan, juga karena akan memakan biaya yang sangat mahal.
Kami hanya selalu terhubung melalui surat-menyurat. Surat suratnya ringan, dengan gaya yang dia pilih dari keseluruhan yang tulus, penuh kenangan, penuh kelembutan, dan kesepian. Surat suratnya juga sangat menarik, penuh dengan gambar dan humor singkat. Kadang-kadang dia menulis dengan nada sedikit serius.
W aktu merapat di Marina Hemingway, aku hanya ingin tidur meskipun banyak hal yang lebih baik untuk dilakukan.
Untuk sementara waktu, aku mendukung Revolusi Castro bersama anggukan dan senyuman. Aku mengalami reaksi seperti itu. Ada banyak momen kemanusiaan sampai aku tiba di Havana pagi tadi bersama setengah angin, seribu bintang, dan bulan di tengah malam tropis.
Kawan Kuba dari Instituto Superior de Arte, bertanya siapa aku. Aku kekasihnya Ancika, kataku. Dia tidak mengenalmu, tetapi dia akan menyadarinya nanti.
Di sini, aku tinggal di kamar yang baru dicat dengan warna merah muda di sebuah rumah yang baru dibangun. Aku tidak tahu di mana mendapatkan dirimu di sini. Itu penting, karena aku ingin menjadi Bajingan.
Sekarang, aku bisa merasakan bagaimana rasanya jauh darimu bersama nyanyian Gregorian di radio yang bisa membuat laki-laki sepertiku terpana.
Ini aku rasakan dalam rasa rindu yang halus tanpa ada sangkut pautnya dengan hubungan yang sudah tegang antara beberapa negara blok Timur atau sikap Fidel Castro terhadap Cekoslowakia yang ingin liberal.
Begitulah kenyataannya, Cika. Tanpa perlu alasan yang lebih mendalam, aku mencintaimu secara konsisten. Rasanya seperti sudah berada di ujung jari kakiku, yang akan menumbuhkan hasrat bertemu.
Aku di sini bukan untuk berfilsafat. Tapi, rasa rindu memang menyukai keteduhan dan langkah-langkah yang hening. Rindu itu sangat suka sendirian, diiringi oleh suara hujan di atap. Rasanya manis dan tenang. Itu makin tumbuh, di bawah desakan reaksi lingkungan yang asing di sini. Menjadi sebuah revolusi rindu yang sama seperti para pendukung revolusioner di sini.
Cika, aku ingin melihatmu bahagia. Ini adalah pendapat yang sangat pribadi tentang apa yang aku rasakan di sini. Semoga aku akan memiliki kekuatan yang masih kuminta di dalam doa. Jika bukan sekarang, tenang, masih ada harapan tersembunyi yang akan kita raih.
Havana, Kuba Dilan, hamba Allah, dengan kasih sayang yang keras dan membandel.
Selama Dilan di Kuba, sesekali saya mengunjungi rumah Bunda,
dan Sabtu sore itu, saya dan Bunda pergi ke pasar dari pukul satu sampai pukul tiga sore.
"Malam ini, Bunda akan masak untukmu," kata Bunda. "Cika bantu."
"Asal kamu tidur di rumah Bunda." "lzin dulu ke Mama, ya."
Akhirnya, Mama memberi izin saya untuk tidur di rumah Bunda. Sementara itu, saya sudah mencium harum makanan yang menyebar dari dapur. Kami baru saja selesai masak. Bi Diah meletakkan semangkuk sayur sop di atas meja, juga telor dadar, dan sepiring ikan tongkol. ltu adalah makanan lezat. Kami pun mulai makan.
Di saat itulah, saya mendengar orang mengucapkan salam dari luar. Ketika Disa membuka pintu, saya melihat seorang anak muda di sampingnya. Dia memiliki wajah yang ramah.
"Hm, wangi sekali di sini! Jadi lapar," kata orang itu. "Kenalin, Ancika," kata Bunda kepada orang itu.
Dia tersenyum dan berkata, "Saya Andi." "Pacarnya Disa," kata Bunda kepada saya. "Pacar?" tanya Disa.
"Mana buktinya?"
"Harus?" Andi balik bertanya dengan tertawa.
Bunda mengedipkan mata ke arah saya. Disa tertawa sambil menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
"Makan dulu," kata Disa kepada Mas Andi.
Kami duduk di ruang tengah, menikmati hidangan di dalam suasana yang menyenangkan. Saya benar-benar senang untuk malam yang indah itu.
Kami benar-benar dapat melakukan percakapan terbaik. Saya benar-benar berbicara dengan mereka tentang segala hal, termasuk membahas Dilan. Saya jadi rindu kepadanya. Terkadang, bukan hanya cinta atau suka yang membuat saya merindukannya. Bisa oleh banyak alasan yang lain.
Bunda menggandeng tangan saya dan membawa saya ke kamar Dilan untuk tidur, meninggalkan Disa yang sedang duduk berdua dengan Mas Andi di ruang tamu.
"Tentu saja, Dilan akan kembali. Sekarang, kamu harus tidur. Dilan tidak bisa tinggal lebih lama lagi di Kuba," kata Bunda sambil menggoyangkan bantal sedikit.
Setelah memberi saya ciuman selamat malam, Bunda menyelinap keluar dari kamar setenang mungkin. Kemudian saya mencoba untuk tidur dengan pikiran yang dipenuhi tentang Dilan dan keyakinan bahwa Dilan baik-baik saja di sana.
Di pagi hari, setelah mandi, saya duduk bersama Bunda di ruang tengah sambil menikmati secangkir susu cokelat. ltu adalah hari Minggu dan jarum pendek jam dinding sudah menunjuk ke angka delapan.
Tidak lama kemudian, Bunda menelepon Mama. Bunda meminta biaya tebusan kalau saya ingin kembali ke rumah Mama, baik dalam bentuk kue atau cokelat. Saya hanya tersenyum padanya.
"Apa kata Mama, Bunda?" tanya saya setelah Bunda menutup telepon.
"Pikir-pikir dulu, katanya." "Ha ha ha."
"Baiklah, kalau begitu. Lebih lama lebih bagus!"
Beberapa saat kemudian, Disa keluar dari kamarnya dengan masih menggunakan piama. Dia mengedipkan matanya melawan sinar matahari yang masuk menembus kaca jendela. Lalu dia berjalan ke dapur, menuangkan segelas susu untuk dirinya sendiri, dan bergabung dengan kami di dalam harmoni kedamaian dan keheningan.
Waktu berlalu, akhirnya Dilan pulang dari Kuba. Perasaan saya yang kekanak-kanakan dan meluap-luap mengalir pada saat itu juga. Saya sangat bersyukur bahwa saya bisa kembali mencapai keadaan yang sama lagi bersama sang Bajingan. Dia datang menjadi seperti hadiah ulang tahun buat saya.
Dilan juga merasa gembira karena bisa bertemu lagi dengan nasi, sambal, dan sayur asam.
"Aku sama dengan nasi, sambal, dan sayur asam?" tanya saya. "Nasi, sambal, dan sayur asam adalah sesuatu yang sangat
berharga bagiku."
Sejak Dilan pulang dari Kuba, saya melihat pandangan pandangan Dilan kemudian seperti terinspirasi oleh prinsip-prinsip ideologis yang saya anggap aneh. Saya tidak bisa menjelaskannya di sini. ltu harus dibahas secara terpisah di buku yang ditulis oleh Dilan sendiri. Saya merasa tidak memiliki kapasitas untuk menceritakan hal-hal seperti itu. Lagi pula itu sensitif.
"Buatku, negara adalah aku sendiri yang merdeka dan berdaulat," kata Dilan, suatu hari, di studionya yang ada di bagian belakang rumah Dilan-itu adalah ruangan persegi bekas gudang yang didedikasikan oleh Bunda untuk Dilan berkarya. Sebagian besar diisi oleh tumpukan kanvas dan dua easel penyangga lukisan, tapi ada rak buku juga, televisi tabung, meja kerja, dan satu sofa double seater untuk kebutuhan istirahat.
"Di mana pun kamu, akulah satu-satunya orang yang tau rahasia siapa dirimu," kata saya, di tengah musik hening yang mengalir di antara kami.
"Siapa?" tanya Dilan setelah menggoreskan cat pada kanvasnya. Sementara, saat itu saya sedang duduk agak dekat dengannya, di sofa warna merah tua.
"Siapa pun dirimu, kamu adalah Bajingan," jawab saya tertawa. Dilan juga tertawa, lalu katanya, ya, seperti kata Gibran,
kebenaran bisa terbuka, hanya kebohongan yang perlu ditutup.
Kemudian, Dilan duduk di samping saya sambil tersenyum. Kepalanya bersandar pada lengan sofa. Ada gelombang perasaan yang tak terbayangkan dan juga pikiran yang sangat asmara yang lalu mengalir ke dalam masing-masing tubuh kami sore itu bersama alunan lagu-lagu B.B. King.
Di sisi lain, melalui jendela yang terbuka, kami hanya bisa melihat Bi Diah yang mondar-mandir di dapur sebelum akhinya datang ke studio membawa pisang goreng dan bala-bala. Makanan sudah datang, dan tawa kami memenuhi keheningan. Kedatangan Bi Diah dengan sendirinya menjadi cara santai untuk mengalihkan pikiran kami dari dunia asmara ke dunia kuliner.
"Bunda sama Disa udah pulang, Bi?" tanya Dilan. "Belum," jawab Bi Diah.
"Aku suruh beli rokok ke Yogya, mau, gak, Bi?" tanya Dilan. "Jauh, ah."
Saya tidak punya pilihan lain selain tertawa.
Dilan juga mulai berbicara tentang Albert Camus, Ivan Illich, Jaspers, Gabriel Marcel, Heidegger, Kierkegaard, Kant dan Auguste Comte, dengan banyak referensi ke Voltaire dan Diderot, Dostoevsky dan Zola, Stendhal, Cocteau dan Picasso. ltu tema-tema seperti individualisme, tanggung jawab, ketakutan, komitmen, dan kesepian.
Dilan mendiskusikan buku Jean Paul Sartre dengan kegembiraan. Dia menggunakan lebih banyak cara untuk membuat kata-katanya sejelas mungkin. Kadang-kadang menambahkannya dengan sedikit lelucon untuk menciptakan situasi dan suasana yang sangat santai.
"Bagaimana menurut UNPAD?" tanya Dilan tentang Sartre yang sedang kami bahas saat itu.
"Menurut UNPAD, kayaknya gak usah dipikirin, deh. Biar semuanya dipikirin oleh Sartre aja."
"Seseorang harus duduk dan gak usah memikirkan apa-apa." "Bilang ke Sartre," kata saya.
"Sudah meninggal."
"Dan penerusnya adalah seorang Bajingan."
Dilan juga menjadi aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik. Saya cenderung melonggarkan kendali. Saya tidak ingin menjadi wanita yang menghalangi kegiatan yang dia jalankan, baik di dalam maupun di luar kampus, dengan catatan selama hal itu bisa menambah kekayaan pikiran dan ekspresinya.
Beberapa hari kemudian, bersama kawan-kawannya, Dilan mendirikan komunitas baru di Kampus 1TB sebagai reaksi terhadap masyarakat dan pemerintah. Dilan bilang bahwa itu adalah wadah untuk dia berperan di dalam hidupnya yang bersentuhan dengan realitas lingkungannya, dan dengan keadaan sosialnya tanpa tujuan untuk mencapai posisi, kekuasaan, atau status.
ltu adalah masa-masa di mana Dilan menjadi begitu eksperimental. Dia seperti mulai mencampurkan ideologi, seni, filosofi, dan sastra ke dalam lelucon. Tujuan dasarnya adalah untuk membuat orang tertawa dan merasa riang melalu karya dan kegiatannya.
Saya tersenyum dan percaya bahwa Dilan tahu apa yang harus dia lakukan. Mudah-mudahan menghasilkan kepuasan hidup yang lebih besar lagi baginya, mudah-mudahan mampu menemukan hal hal baru yang akan bisa meningkatkan harga dirinya, meskipun dia dan kawan-kawannya lebih memilih menjadi seperti orang-orang yang berdiri di pinggir jalan, dan merasa bukan siapa-siapa. Hanya hambaAllah.
Jelas, Dilan terlihat sudah berubah. Saya tidak yakin apakah itu lebih baik atau tidak, tetapi saya menemukan apa yang membuat saya senang dan tersenyum penuh harap. Kiranya segala sesuatu itu tidak pasti, semuanya bersifat relatif. Dilan yang dulunya merupakan anak geng motor, kemudian berubah secara alami dan menempatkan dirinya sebagai orang dewasa di dalam tatanan yang baru.
Saat itu saya tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi semuanya berjalan dengan baik-baik saja, sampai Dilan mengajak saya menghadiri acara pembukaan Ospek untuk mahasiswa baru 1TB. Kebetulan sore itu saya punya jadwal kosong, sehingga akhirnya saya bisa berangkat dengan Dilan.
Sesampainya di Kampus 1TB, acara baru saja dimulai. Tidak ada tempat yang ditentukan di mana harus duduk. Saya dan Dilan memilih duduk di area sebelah kiri, di antara banyak senior yang hadir saat itu. Kami duduk, mengelilingi lapangan kecil di tengah kampus, yang sebetulnya adalah lapangan basket. Sementara itu, matahari sore sedang bersinar cukup hangat. Suara gamelan dan trompet marching band datang dari tempat lain di kampus, yang sedang dimainkan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa, terasa seperti gema dari suara panggilan di kejauhan.
Di tengah lapang, saya bisa melihat mahasiswa baru sudah duduk bersila dengan kepala menunduk, mengungkapkan apa yang tampak, seperti tidak bersemangat.
Sungguh, saya tidak mengerti mengapa mahasiswa baru itu masih tetap mau mengikutinya (sebagaimana saya juga dulu ikut), masuk ke dalam situasi yang tidak nyaman hanya untuk menempatkan mereka di dalam tradisi tersebut.
Beberapa menit setelah menyanyikan lagu Bagimu Negeri, ketua panitia Ospek maju ke depan dan bicara tentang alasan diselenggarakannya kegiatan Ospek. Dia mengatakan tujuannya adalah agar mereka dapat memecah batas-batas individu sehingga bisa terbangun sebagai sebuah kesatuan.
Jadi, katanya, mereka perlu mendukung sepenuhnya kegiatan tersebut. Sementara, saya pribadi memandang Ospek atau perpeloncoan hanya cara senior mencoba bertindak seolah-olah peduli kepada adik tingkatnya, tetapi pada intinya masih dengan cara ingin ditakuti.
Tapi, apa yang saya lihat sore itu, meskipun sedikit mengerikan, sepertinya cukup menarik, bahkan sangat lucu. Beberapa kegiatan yang mereka lakukan benar-benar absurd yang tidak akan bisa diterima oleh orang-orang waras di seluruh dunia.
Maksud saya, sama sekali tidak ada Ospek fisik di sana. Saya menilainya hanya sebagai sebuah kegiatan permainan mental. Kata Dilan, kekerasan fisik dalam Ospek terlalu melewati batas dan tidak imajinatif.
Beberapa jam setelah itu, acara pembukaan Ospek berakhir. Tapi sebelum acara benar-benar ditutup, Dilan adalah salah satu senior yang diminta oleh panitia untuk memberi beberapa patah kata sebagai wejangan.
"Aku ke sana dulu, ya?" katanya.
"lya."
Dilan berjalan memasuki lapangan dengan mengenakan jaket US Army-nya, kemudian dia berdiri di depan mahasiswa baru yang sudah duduk berkumpul. Saya benar-benar ingin tahu apa yang akan dia katakan. Dilan memulainya dengan mengucapkan yel-yel: "ITB! ITB! ITB!" yang langsung diikuti oleh seluruh mahasiswa baru.
ltu semacam yel-yel yang biasa dilakukan oleh semua senior untuk menunjukkan nada optimis walau terdengar cukup sombong dan bisa dianggap ofensif (terutama oleh saya yang bukan mahasiswa 1TB, meskipun pada dasarnya mereka tidak berbicara untuk saya).
Kemudian, Dilan bicara tentang hal-hal yang bisa membantu membangkitkan perasaan positif mereka sebagai mahasiswa 1TB. ltulah sejauh yang saya dengar. Dilan mengatakan kepada mereka bahwa mereka harus bangga menjadi mahasiswa 1TB.
Meskipun saya tahu bahwa kesombongan yang tulus lebih baik daripada kerendahan hati yang palsu, tapi saya merasa apa yang dikatakan oleh Dilan sangat menyebalkan. Memang apa, sih, hebatnya ITB!?
"Hanya itu yang bisa saya sampaikan," kata Dilan di akhir wejangannya sambil melepas jaketnya, sehingga saya bisa melihat tulisan: UNPAD, pada kaos hitam yang sedang dipakainya. Ukuran tulisannya cukup besar, berwarna putih menggunakan huruf kapital semua.
Ya Tuhan!
ltu sama sekali tidak terduga. Hadirin, terutama senior, yang menyadari tulisan di kaos Dilan, semuanya tertawa menggemuruh. Saya bahkan mendengar ada salah satu di antara senior berteriak sambil tertawa, "Hidup UNPAD!" yang disambut oleh tawa gemuruh berikutnya.
Sementara Dilan sendiri tampak acuh tak acuh, berjalan keluar dari lapangan. Kelak, saya menceritakan kisah itu kepada lndri, Mama, Mang Anwar, dan kawan-kawan saya di UNPAD. Mereka tidak bisa berhenti mentertawakan situasinya.
Sore hampir berakhir, kegelapan mulai mendekat, merayapi pohon-pohon tua yang rimbun di lingkungan Kampus 1TB. Kemudian, Dilan tersenyum mengajak saya pulang setelah menghabiskan percakapan yang seru bersama kawan-kawannya yang bersahabat.
"Terima kasih sudah promosiin UNPAD," kata saya tersenyum, di perjalanan keluar dari Kampus 1TB.
"Aku mata-mata UNPAD," kata Dilan kemudian. "Aku mata-mata ITB."
Saya tertawa bersamanya di tengah cuaca malam yang dingin. Saking dinginnya, sampai terasa seperti bisa menembus ke dalam tulang dan sepertinya bisa juga membuat beku dinding setebal Gedung Sate.
Situasi cukup sunyi, seolah-olah hanya ada saya dan Dilan, atau bagaimana. Rasanya cukup damai hingga kami sampai di rumah pada pukul delapan malam. ltu adalah perjalanan memakan waktu setengah jam dan Dilan telah bertindak penuh cinta.
Setelah sang Bajingan pulang, saya berbaring di tempat tidur, sambil memikirkan semua saat-saat indah yang saya alami bersama Dilan. Saya merasakan nostalgia untuk semuanya dan saya menghargai hal-hal yang sudah terjadi selama ini, kemudian senyum-senyum sendiri mendengar syair lagu Start Me Up dari The Rolling Stones. Kasetnya pemberian dari Bunda.
-- Next Chapter--
Bab 19
Waktu terus berlalu, rasanya terasa begitu cepat, episode demi episode terus berlanjut bersama hal-hal baru yang menarik, hingga akhirnya saya berada di tahun 1998.
Saya mendengar kabar tentang Bagas yang kuliah di Jakarta, untuk meraih gelar sarjana di bidang musik. Dan saya benar-benar bertemu dengannya ketika saya sedang nongkrong bersama teman kuliah di salah satu kafe yang ada di daerah Dago.
Saat itu, Bagas sedang berdua bersama pacarnya yang manis. Saya sempat berbicara dengan Bagas sedikit, yang memberitahu bahwa album musiknya sudah beredar dan bisa dibeli di toko-toko kaset terdekat.
Saya memuji semua upayanya, bahkan saya juga mendengar band Bagas mulai populer saat itu. Menurut saya itu sangat keren dan saya sangat bangga padanya.
Sedangkan lndri, di awal Januari 1998, meninggal dunia karena mengalami kecelakaan tunggal pada saat dia menggunakan sepeda motor tetangganya. ltu berita mengejutkan. Saya tidak pernah berpikir bahwa itu akan terjadi. Sungguh sangat menyedihkan untuk menjelaskan sedikit tentang itu di sini.
Saya kira hal yang paling sulit adalah menyadari bahwa saya sudah tidak akan pernah melihat lndri lagi, sudah tidak akan pernah bersama-sama dia lagi. Bono menangis, dan saya tahu seluruh situasinya sama nyata bagi Bono seperti halnya bagi saya.
Saya tidak tahu harus berkata apa, hanya gemetar di samping Dilan dan Bono, saat melihat peti mati mulai diturunkan bersamaan dengan hujan gerimis sore itu. Begitu menyakitkan dan menguras mental untuk memikirkan bahwa lndri sudah pergi untuk selama lamanya.
Saya mendengar, Yadit menikah dengan orang Subang di salah satu resor termahal di Bandung. Tidak ada detail yang bisa saya ketahui secara langsung karena saya tidak ada di sana. Mama dan Papa hadir, tetapi saya tidak bisa datang karena ada kegiatan kampus yang wajib saya ikuti di luar kota, tetapi yang terpenting adalah, saya berharap pernikahan mereka bisa sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Waktu benar-benar telah mengubah segalanya. Betapa senangnya untuk berpikir kembali ke masa-masa yang sudah berlalu, yaitu masa lalu yang saya ingat dengan cinta yang penuh rasa syukur.
Dan lihatlah, oleh perjalanan waktu, kemudian hampir semuanya berubah melalui bagaimana semua itu memang harus terjadi.
Sementara itu, saya dan Dilan terus berkeliaran sebagai sepasang kekasih, menonton bioskop, makan bersama, atau kadang-kadang saya mengajaknya jalan-jalan ke pusat perbelanjaan.
Suatu hari, saya dan Dilan bertemu dengan Milea Adnan Hussain di daerah BIP. Saat itu dia ada di salah satu gerai kepi, sedang sendirian dan hanya duduk di sana. Saya sempat terkejut mengapa dia sendirian, tapi itu bukan urusan saya.
Ketika Dilan bertanya, dia hanya memberi jawaban bahwa dia sedang menunggu suaminya yang sedang berkeliling BIP bersama adik iparnya untuk mencari barang. Dia agak kecapean, sehingga memilih tidak ikut.
Bagaimanapun, saya cukup beruntung, akhirnya bisa bertemu dengan Milea. Lagi pula, saya pikir Dilan sudah menyelesaikan semuanya sejak lama. Jadi, saya sama sekali tidak merasa pahit hati atau cemburu, meskipun dia seperti wanita yang tidak akan bisa saya tandingi, bahkan di masa terbaik saya.
Dia sopan dan ramah saat kami bertemu dan mengobrol sebentar dengannya. Sepuluh menit kemudian, suami dan anaknya datang. Setelah itu, saya dan Dilan pergi meninggalkan mereka, melanjutkan hidup masing-masing.
"Sepertinya dia masih cinta ke kamu," kata saya sambil berjalan menuju tempat parkir motor.
"Jangan gibah."
Setelah itu, saya merasa sangat bersalah karena saya memiliki pikiran yang membuat saya merasa bodoh. Maksud saya, seperti yang dikatakan oleh Bunda, bahwa tidak ada hal baik yang bisa datang dengan membahas mantannya. Semua itu hanya bersumber dari pikiran yang buruk, yang hanya akan membawa masalah dan kecemburuan.
Lebih baik mendengar tentang pengalaman Dilan dan mengatakan pada diri sendiri bahwa ada alasan bagus mengapa dia bersama saya sekarang, dan itu sudah cukup bagi saya untuk tidak membahasnya lagi sampai kami pulang. Ya, sudah. Dia memang punya masa lalu, tetapi saya punya Dilan.
Beberapa hari berikutnya, 2 Oktober 1998, saya dan Dilan berada di ruang tamu. Betapa senangnya kami bersama malam itu, di mana sebagian besar percakapan mengarah pada Dilan ingin memulai sebuah keluarga dengan menikahi saya. Pacaran itu kekanak kanakan, katanya. Cinta-cintaan itu tidak akan menjadi lebih baik. Pernikahanlah yang harus saya lakukan dengannya.
Nah! Akhirnya kami sepakat. Betapa bahagianya kami dan bagaimana kami kemudian membuat rencana pernikahan itu bisa segera terjadi. Dianti dan Laras, kawan-kawan dekat saya di UNPAD, menatap langsung ke arah saya dengan senyum di wajahnya saat saya mengatakan kepada mereka bahwa saya akan menikah, lalu mereka memberitahu saya bahwa mereka juga ingin segera menikah, tetapi pacarnya belum siap. Konsentrasi pacarnya untuk saat itu, masih harus menyelesaikan studi dan mencari pekerjaan.
Nanti ketika semuanya sudah beres, baru akan menikah, katanya. Saya sering mendengar ungkapan-ungkapan seperti itu, tapi kemudian saya merasa cukup baik tentang diri saya sendiri.
Kamis pagi itu dimulai dengan sangat manis. ltu adalah hari yang indah dan matahari bersinar. Tidak ada jadwal kuliah, karena hari itu tanggal merah.
Jadi, sambil duduk di kamar, mengenakan kemeja longgar, saya meniup cangkir hot lemon tea dan bisa melihat jejak uap yang melengkung dari situ. Sarapan spiritualnya adalah mendengarkan Mick Jagger yang menyanyi bersama The Rolling Stones.
Setelah beberapa saat, saya beranjak dari tempat duduk dan keluar dari kamar, kemudian berbicara dengan Mama dan Papa tentang rencana Dilan yang ingin melamar saya. Saya merasa Dilan bersungguh-sungguh. Lalu dengan senang hati, saya setuju.
Papa bilang bahwa saya dan Dilan sudah dewasa, dan sudah dapat membuat keputusan sendiri. Mama dan Papa tahu, saya masih muda, tetapi itu tidak masalah bagi Papa dan Mama saat itu. Mereka juga tahu Dilan belum lulus kuliah dan masih harus menyelesaikan skripsinya, tetapi itu bukan masalah, apalagi Dilan sudah bekerja paruh waktu dan menggarap beberapa proyek besar saat itu.
Papa dan Mama adalah orang yang seperti itu. Mereka selalu berusaha bisa memenuhi harapan saya. Mereka selalu menyetujui apa pun yang saya suka, dan selalu mendukung apa pun yang saya lakukan, selama itu adalah hal baik untuk saya. Hal-hal seperti itulah, pada akhirnya, membuat hubungan saya dengan Papa dan Mama menjadi lebih kuat.
Sikap mereka membuat saya merasa seperti punya otonomi di dalam membuat keputusan sendiri, untuk hidup saya dan untuk membuat orangtua saya bahagia. Apalagi ini terkait dengan kehidupan cinta, orangtua seharusnya tidak punya pilihan lain.
Jika saya membuat kesalahan, saya hanya harus mengambil pelajaran dan memperbaikinya sendiri. Mungkin begitulah cara mereka ingin mendidik saya untuk tumbuh menjadi dewasa. Orangtua hanya dapat membantu dan memberi nasihat, dan anak harus menghargai perhatian mereka dan meminta restu mereka dalam semua aspek kehidupan.
"Ya, Mama tunggu," kata Mama. "Kapan Dilan mau melamar?" "Sabtu malam besok."
"Dua hari lagi?" "lya."
Saya membasuh muka dan melihat diri saya di cermin wastafel. ltu adalah saya, sedang berbagi kenangan tentang rangkaian peristiwa yang saya alami dimulai dari saat bertemu dengan Dilan di rumah Abah, sampai tahu-tahu Dilan sudah akan melamar saya. Takdir secara tak terduga ikut campur tangan di dalam hidup ini.
Sebenarnya, saya ingin berbagi momen monumental ini dengan lndri. Tentu saja, saya sudah tidak dapat menghubunginya. lndri sudah tidak dapat ditemukan di mana pun, kecuali di surga bersama Tuhannya. Saya hanya bisa berbicara dengannya melalui doa-doa. Mudah-mudahan dia masih bisa melihat bagaimana saya menjalani kehidupan sehari-hari dan juga bisa mengetahui bahwa Dilan akan melamar saya. Saya mengangkat tangan saya untuk menyeka air mata yang mulai mengaliri pipi saya.
Sabtu pagi, saya mulai memasak bersama Bi Yati dan Mama. Saya hanya bisa membantunya. Perkedel, sup daging, ayam goreng, gurame asam manis, ikan bandeng, sambal terasi seperti yang Dilan suka, dan tentu saja tidak lupa menyiapkan kepi dan teh. Aroma minyak bawang putih meresap ke seluruh ruang dapur. Mama menempatkan dua potong roti ke dalam pemanggang roti yang baru. Saya memperhatikannya dengan saksama.
Ketika malam tiba, setelah mandi dan selesai shalat Maghrib, saya masih ingat, saya mengenakan rok panjang lebar dengan motif bunga warna pastel cerah, yang dipadu oleh kaos putih sebagai pakaian terbaik yang bisa saya kenakan. Selain itu, sedikit memakai make-up dan rambut yang ditata oleh Mama. Saya merasa tidak perlu formal, itu tidak cocok untuk saya.
Tubuh saya benar-benar merasa sudah siap menyambut Dilan dan keluarganya sambil memutar lagu Wonderjill Tonight dari Eric Clapton, saya sedikit bersemangat dengan lagu itu sambil membaca buku The Way We Live Now oleh Anthony Trollope.
Mama mengeluarkan perabotan yang paling bagus untuk berbagai makanan yang sudah disiapkan. Semuanya hampir sempurna; meja ditata dengan rapi, piring dan peralatan diatur agar terlihat seperti di restoran, dan rumah terlihat rapi.
Sekitar pukul delapan malam, Dilan tiba. Saya terkejut pada kenyataan bahwa Dilan datang hanya berdua dengan Abah menggunakan motor.
Dilan datang mengenakan celanajeans, kaos hitam, dan jaket US Army. Saya tidak peduli sama sekali; penampilan kurang penting bagi saya. Sementara Abah memakai jas dan setelan warna hitam. Abah berbeda dengan Dilan. Bagi Abah, pakaian adalah salah satu prioritas utama dalam hidupnya.
Saya tidak tahu mengapa tetapi itu terjadi dan itu tidak seperti yang kami bayangkan.
Ketika Mama menanyakan mengapa Dilan tidak datang bersama Bunda, Dilan mengatakan bahwa kedatangannya malam itu hanya untuk sebatas membuat kepastian bahwa Papa dan Mama setuju Dilan melamar Cika. Saya mendengar Mama mulai cekikikan, "survei dulu?" tanya Mama yang disambut ketawa oleh saya.
Kalau sudah pasti, Dilan nanti akan datang bersama Bunda hari berikutnya untuk acara lamaran yang lebih resmi. Dilan juga mengatakan bahwa keterlibatan Abah malam itu tidak bisa diremehkan, bagi Dilan, Abah adalah bagian yang sangat penting. Abah sepenuhnya hadir dalam proses Dilan bisa mengenal saya, katanya. Abah selalu terhubung dalam setiap hubungan kami berdua. Berbagai pandangan dan pendapat Abah juga semua berjalan dengan baik. Oke, itu terdengar keren di kepala saya. Saya sekilas berpikir akan seperti apa dia sebagai seorang suami.
"Ya, udah. Terus, gimana?" tanya Mama dengan suara menahan senyum.
"Gimana-gimananya, terserah Abah," kata Dilan menyeringai sambil melirik Abah yang sama-sama sudah duduk sofa double.
Saya melihat Mama, Papa, dan Mang Anwar berusaha saling menahan senyum.
"Mulai aja, Bah ... ," kata Dilan berbisik kepada Abah sambil mencondongkan tubuhnya, seolah-olah Abah adalah teman sekelasnya.
"Ya, sudah. Abah mulai, ya ... ," kata Abah.
Semua langsung diam. Ruangan langsung menjadi sunyi. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain siap mendengar apa yang akan Abah ucapkan.
"Bismillahirrahmanirraahfm. Allahumma shalli 'ala sayyidina muhammadinil-fatihi lima ughliqa wal-khatimi lima sabaqa, nashiril-haqqi bil-haqqi wal-hadf ila shirathikal-mustaqfm wa 'ala alihi haqqa qadrihi wa miqdarihil-'azhfm."
Kemudian, saya melihat semua orang menundukkan kepalanya, termasuk saya. Karena kami mengerti bahwa apa yang Abah ucapkan bukan kalimat biasa. ltu adalah kalimat terpenting yang ingin Abah sampaikan, dan persis yang Abah inginkan, atas nama Allah dan ucapan salam takzim untuk Junjungan Rasulullah Saw. Terdengar khidmat dan coba kamu bayangkan itu.
Dengan ujung mata, saya juga melihat Dilan menundukkan kepalanya. Sangat serius. Saya tersenyum kecil karena menganggap itu sangat lucu dilakukan oleh Dilan yang mengaku sebagai spesies tertentu yang perlu menyelamatkan galaksi. Saya tidak ingin mengubah siapa dia, meskipun sepertinya dia dengan senang hati membiarkan saya membentuk dirinya menjadi apa pun yang saya suka.
Setelah itu, saya mendengar Abah melanjutkan, "Kita semua sudah sama-sama tau, Teteh sama Dilan selama ini menjalin hubungan pacaran. Abah seneng ... Abah ikut seneng ... apalagi Abah tahu Dilan baik. Dilan berpendidikan. Abah percaya ke Dilan bisa ngebimbing Teteh ... bisa ngejaga Teteh. Pokoknya Abah
seneng. Mudah-mudahan Dilan dan Teteh selalu dilindungi oleh Allah "
Semua orang yang ada di ruang tamu serempak bilang, "Aamiin." "Diberi rezeki yang berlimpah dan barokah ...."
"Aamiin ...."
"Dikaruniai keturunan yang baik ... " "Aamiin ...."
"Usia yang panjang dan bahagia ... " "Aamiin ...."
"Tidak masalah buat Abah ... Dilan dan Teteh selalu berdua duaan ... karena Abah percaya ke Dilan. Abah percaya ke Teteh juga. Abah percaya Dilan dan Teteh tidak akan berbuat macam macam. Mereka cucu Abah semua."
Suasana tetap hening, Abah terdiam sebentar. Kemudian Abah bicara lagi setelah itu, "Tapi, kan, orang berbeda. Kalau orang berpikirnya negatif ... akan memandangnya negatif. Bisa jadi, mereka akan melihat Dilan dan Teteh dengan negatif. Orang bisa saja berpikir yang enggak-enggak kalau melihat Teteh dan Dilan berduaan. Terus timbul fitnah, padahal Dilan dan Teteh tidak berbuat yang buruk. Abah enggak mau Dilan dan Teteh dipandang negatif oleh orang ... dipandang buruk oleh orang. Jadi, waktu kemaren Dilan bilang ke Abah mau melamar Teteh, Abah setuju. Abah bahagia. Apalagi menurut Abah, Dilan dan Teteh sudah cukup umur untuk nikah. lnsya Allah, jodoh. Jadi pasangan yang cocok."
"Aamiin ...."
"Jadi, maksud kedatangan Abah ke sini, sebetulnya diminta oleh Dilan untuk menyampaikan niat Dilan yang ingin melamar Teteh. Keputusan bukan ada di Abah. Abah di sini hanya mau menyampaikan. Setuju atau tidaknya terserah Mama sama Papa Teteh. Barangkali itu saja dari Abah."
Saya melihat tangan Abah ragu-ragu mencolek paha Dilan sambil kemudian bicara hampir berbisik.
"Sekarang Dilan tinggal menunggu jawaban dari Mama sama Papa Teteh."
"lya, Bah."
"Mudah-mudahan mereka setuju ... ," kata Abah kepada Dilan. "lya, Bah."
"Gimana ... ?" tanya Abah kepada Mama dengan penuh hormat. "Aduh, gimana, ya?" kata Mama senyum-senyum sendiri. "Tapi ... ,
sebelumnya Mama mau bilang terima kasih untuk niat baik Dilan yang mau melamar Cika. Terima kasih juga ke Abah, yang sudah mau nganter Dilan. Dipikir-pikir, ternyata Abah dan Dilan, tuh, bener bener pasangan yang cocok. Koboi semua ini. Gak tau Mama harus gimana, rasanya nyampurrr ... ya sedih, ya lucu. Gak tau Mama. Tapi, kalau bener ini yang Dilan inginkan, yaitu ngelamar Cika, Mama setuju ...."
Saya kemudian melihat air mata perlahan terbentuk di mata Abah, yang kemudian dia seka dengan tangannya saat dia berkata, "Alhamdulillah ...," jawab Abah menoleh kepada Dilan.
Bagi saya, momen itu seperti menjadi satu-satunya buat Abah bisa mengatakan dengan tepat bagaimana perasaannya. Saat itu, saya sebenarnya menangis sedikit, tetapi menyembunyikannya dengan baik.
"Ada dua yang membuat Mama setuju," kata Mama lagi. "Pertama, karena Mama sudah percaya ke Dilan. Mama yakin Dilan serius. ltu yang pertama .... Yang kedua, Mama merasa tidak bisa menolak, karena yang melamarnya ayah Mama sendiri. Mama takut durhaka kalau nolak!"
Kami semua tertawa. Mama paling keras.
"Sekarang Mama boleh nanya ke Dilan?" tanya Mama hampir tersenyum dan mengangkat alisnya ketika dia mengucapkan kata kata itu.
"lya, Mama."
"Emang Dilan punya apa mau melamar Cika?"
Semua tertawa, karena semua orang tahu Mama mengatakannya dengan maksud bercanda.
"Punya mertua yang baik, Ma," jawab Dilan serius sambil memandang Mama.
Jawaban terbaik yang pernah ada dan saya masih bisa membayangkan wajah Mama ketika mendapat jawaban seperti itu.
"Duh, Mama jadi terharu ... ," kata Mama. Semua orang tertawa.
"Maksud Mama, anak Mama mau dikasih makan apa?" tanya Mama kemudian, dengan suara sisa tertawa.
"Kalau sudah nikah dengan Cika, kan, berarti aku juga anak Mama," kata Dilan.
"lya. Terus?" tanya Mama mengernyitkan dahinya.
"Berarti Mama juga wajib memberi aku makan. Kan, anak Mama juga."
"Heh?!"
Suara tawa langsung kembali meledak memenuhi ruangan.
Papa tertawa terbahak-bahak. Tentu saja, harus memiliki kepercayaan diri yang besar untuk bisa mengatakan hal seperti itu.
"Mama gak tau harus ngomong apa lagi ... ," kata Mama tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Papa gimana?" tanya Mama sambil menoleh kepada Papa. "Nerima juga?"
"Dilan harus yakin, Papa atau Mama, gak akan pernah menolak niat baik Dilan," kata Papa, dengan senyuman kecil yang dia miliki. Sementara Abah mengangguk penuh semangat sambil menyeka air matanya lagi.
"lya, Pa," jawab Dilan.
"Niat baik, gak?" tanya Mama. "lnsya Allah."
"Dilan yang gigih," kata Papa sambil tertawa. Mama kembali tertawa.
Saya senang bahwa semuanya berjalan dengan baik. Saya benar-benar merasa mendapatkan lamaran yang lain daripada yang lain. Saya benar-benar bisa sangat menghargai untuk apa yang Dilan pikirkan sehingga bisa membuat semuanya terjadi. Menyentuh sekaligus juga lucu meskipun yang paling penting bukanlah lamarannya, melainkan Dilanlah yang akan saya nikahi!
Seminggu kemudian, saya mendengar beberapa rekan Dilan di ITB ditangkap di suatu tempat oleh polisi dan begitulah yang saya dengar. Sangat mudah dipahami, bagaimana negara menganggap mereka sebagai elemen subversif karena terlalu lantang menentang pemerintahan. Bahkan, orang seperti Dilan bisa dianggap berbahaya bagi negara hanya karena membuat lagu, puisi, atau pamflet yang mengkritik pemerintah.
Situasi politik saat itu benar-benar sedang memasuki fase genting dan mencekam. Secara keseluruhan, saya tidak tahu banyak tentang ini, tapi di beberapa tempat, saya mendengar terjadi penghilangan secara paksa atau penculikan terhadap aktivis pro demokrasi.
Di masa itu, saya selalu merasa cemas setiap saya mengetahui bahwa Dilan ada di kampus, sebagaimana saya juga merasa cemas ketika saya sedang berada di kampus saya sendiri. Hal itu langsung menjadi saat di mana saya meminta Dilan untuk diam, tidak usah ikut-ikutan, meskipun saya bersimpati dengan perjuangan mereka.
Tapi apa yang kemudian terjadi, pada pukul sebelas malam, dengan terburu-buru, saya dan Mang Anwar pergi ke kantor polisi, meskipun sebetulnya tidak yakin di mana Dilan. Saya hanya mendapat informasi bahwa sebelum diangkut oleh polisi, Dilan bersama kawan-kawannya baru selesai mengadakan acara orasi politik, yang dikombinasikan dengan musik-musik kemarahan membara, yang kemudian dianggap pemerintah sebagai rongrongan.
Kami baru menemukannya pukul dua malam, di salah satu kantor polisi yang ada di Kata Bandung. ltu, tanpa diragukan lagi, adalah hal paling mendebarkan dan penuh emosi yang pernah saya alami. Dilan baru dibebaskan setelah tiga hari kemudian berkat dari pengaruh nama ayahnya, seperti yang mungkin bisa kamu tebak.
Saya harus mengatakan, itulah satu-satunya cara yang dapat dilakukan oleh Dilan dan semua mahasiswa untuk bangsanya. Mereka hanya ingin tanah lahirnya menjadi lebih baik bagi semua, dan menentang siapa pun yang berusaha menikmatinya atas nama kepentingannya sendiri atau kelompok, karena Indonesia adalah milik rakyat, bukan milik golongan tertentu. Dengan begitu, kita setidaknya bisa tahu bahwa apa yang dilakukan oleh mahasiswa itu pada dasarnya adalah sangat mulia dan peduli.
Sudah dua hari sejak Dilan terserang demam tinggi, saya meminta Dilan untuk lebih sering bersama saya, di mana hal itu hampir sama dengan seperti saya mengekangnya. Saya terpaksa melakukannya, bukan untuk memenuhi kebutuhan pribadi saya, tetapi di masa-masa genting, semua hal mengerikan bisa saja terjadi. "Kamu harus terus denganku," kata saya, "jangan ke mana-mana dulu. Lakukan apa yang aku katakan, mengerti?"
ltu berjalan cukup baik, di samping menyelesaikan kuliah dan bekerja, Dilan akhirnya lebih cenderung fokus pada bagian-bagian terbaik dalam menyelesaikan karya-karyanya. ltu seperti yang akan tumbuh menjangkau misteri masa depannya, menjadi kualitas alami yang sangat berharga bagi perkembangan hidupnya.
Dilan mempertahankannya dengan penuh konsentrasi dan perhatian yang mencakup semuanya. Dilan ingin memasukkan hati dan jiwanya ke dalam sebagian besar karya-karyanya. ltu sakral, katanya, bukan karena tujuan ingin menjadi terkenal. Karena popularitas itu rapuh, sekaligus membuat tidak nyaman, cenderung menyebabkan ingin muntah.
Saya merasa dia menjadi beradab hanya dengan bicara seperti itu. Mudah-mudahan dia tetap seperti itu. Saya suka berbicara dengannya mengenai hal itu. Saya selalu belajar darinya tentang hal itu, tetapi sialnya, saya tidak bisa mempraktikkannya.
-- Next Chapter--
Bab 20
Memasuki pertengahan 1998, krisis moneter (krismon) melanda Indonesia. Nilai rupiah anjlok terhadap dolar Amerika. Tarif listrik dan bahan bakar minyak naik. Ekonomi rakyat semakin terpuruk.
Dengan latar belakang situasi sosial ekonomi yang memburuk itu, saya menikah dengan Dilan sebagai konsekuensi wajar dari hubungan saya dengannya. Kami melaksanakannya di tempat yang selamanya menjadi penghormatan untuk perasaan cinta kami berdua: ruang tamu.
Tidak ada perayaan besar-besaran. Maksud saya, sangat sederhana dan memang sangat sederhana. Selain untuk menghemat uang, kebetulan kami juga tidak suka pernikahan dengan acara yang besar. Kami tidak suka situasi modern yang gila, dan kamu harus tahu itu.
Demi untuk menghormati hari pernikahan kami itu, rumah saya dicat baru, termasuk pagar juga. Beberapa pohon di pekarangan rumah dipangkas. Kursi sebanyak 30 buah, sudah disiapkan di halaman depan rumah. Tamu mendapat makanan dan minuman tepat pada waktunya, dan jangan khawatir, semua bisa mengambil secara bergantian. Dilan juga menjual motor CB 100 kesayangannya.
"lni namanya, nikah Koboi," kata Papa.
Tetapi, itu semua adalah hal baik. Kami merasa tidak perlu merayakan pernikahan secara mewah. Saya sudah senang hanya dengan cincin sederhana yang dibeli dari toko emas di daerah Jalan ABC. Dan yang lebih penting dari semua itu, saya ingin menghabiskan sisa hidup saya dengan pria ini, bersama keberanian dan tekad suci untuk mendukung dan membantu satu sama lain melalui cinta, melalui hidup bahagia bersama-sama.
Saya akan berimam kepadanya sebagai istri yang bersemangat untuk keintiman yang menyenangkan. Saya akan berimam kepadanya atas pengaruhnya di dalam diri saya, dan atas pengawasannya kepada diri saya, juga atas kekuasaannya kepada diri saya.
Semua harus menyaksikan keajaiban yang telah Allah berikan atas nama kebesaran dan kasih sayang-Nya. Kemudian, kami bersama-sama mengarunginya dengan penuh semangat untuk mencapai yang terbaik melalui berbagai kemungkinan dan berbagai situasi kehidupan.
Segala sesuatu dalam hubungan sudah sangat bagus, jika bertengkar, itu kecil, dan tidak perlu ada yang serius. Pasti ada pertengkaran, tapi harus baik-baik saja dengan semuanya. Hal yang pasti adalah Dilan sudah boleh tidur di kamar saya, boleh mandi bersama saya, mengerjakan tugasnya di kamar saya, bermain gitar di kamar saya. Dan kami melakukannya seolah-olah tidak akan pernah berakhir untuk semua yang ada di dalam diri kami sebagai manusia, yang selanjutnya akan menghasilkan manusia.
Dan, saya merasa tidak sabar tentang akan tiba saatnya ketika kami punya anak, yaitu anak-anak yang bangga pada ayahnya, dan juga bangga pada ibunya.
Setelah menikah, untuk sementara, Dilan tinggal di rumah saya sambil berusaha mengupayakan bisa membangun rumah sendiri. Sementara itu, untuk membiayai hidup kami, Dilan mengambil kesempatan dengan menyelesaikan pekerjaan yang diminta oleh beberapa perusahaan. ltu membuat Dilan menjadi lebih sibuk daripada sebelumnya, tapi itu tidak menghalangi dia sedikit pun untuk meluangkan waktu bersama keluarganya dan menyelesaikan studinya di ITB yang belum selesai.
Pada saat yang sama, krisis ekonomi di Indonesia semakin memburuk, terjadi demo di mana-mana, Jakarta genting oleh adanya peristiwa penembakan terhadap mahasiswa Trisakti, yang kemudian disusul oleh adanya kerusuhan yang terjadi di mana-mana, terutama di kota-kota besar Indonesia. Dan saya merasa tidak perlu menjelaskannya hingga detail menyangkut masalah itu.
Kemudian, Mei 1998, kami menyaksikan lengsernya Bapak Soeharto yang ditayangkan di televisi. ltu dengan sendirinya menjadi akhir dari masa pengabdiannya. Bagaimanapun, Indonesia harus tetap berterima kasih kepadanya dan memulai babak baru di bawah Presiden B.J. Habibie untuk mengarungi perjalanan panjang menuju demokrasi.
Seiring berlalunya waktu, perlahan tapi pasti, di bawah iringan lagu Gaudeamus Igitur, Dilan akhirnya lulus dari 1TB pada bulan Oktober. Rasanya menyenangkan yang tidak perlu saya katakan lagi. Rasanya seperti mimpi, tetapi itu nyata.
Setahun kemudian, setelah saya melahirkan anak pertama, tiba tiba Dilan harus berangkat untuk melanjutkan studinya di Belanda. Saya tidak bisa menghilangkan pikiran suami saya tentang rencananya itu. Saya hanya duduk di sana, meletakkan kepala saya di bahunya untuk rasa gelisah karena akan jauh darinya.
Saat itu pukul tujuh malam, Dilan, saya, Mama, Papa, Mang Anwar, Beni, Disa, dan Bunda menikmati makan malam di rumah saya. Semua yang ada di meja makan adalah menu yang terbuat dari apa pun yang bisa ditemukan di lemari es dan dapur.
Malam itu, Dilan harus berangkat ke Belanda.
"Jangan khawatir," kata Dilan. "Aku dirancang untuk cuaca dingin." "lya, gitu, Bunda?" tanya saya, melirik ke arah Bunda.
"Lebih tepatnya untuk semua cuaca, dia itu," jawab Bunda. "Dia, tuh, diciptakan kalau tak salah pada musim kemarau."
Kami semuanya tertawa. Saya menggelengkan kepala mencoba menahan tawa, tapi tidak bisa, sehingga ikut tertawa terbahak-bahak.
"Hai, Darah Muda! Cepat kembali, Indonesia menunggumu." kata Bunda kemudian, saat kami semua sudah berdiri di teras rumah untuk melepas Dilan pergi.
"Siap, Bundahara!"
Dilan kemudian mendekat ke arah saya dan melingkarkan tangannya di pinggang saya, "Aduh, aku tidak tahu, mana yang ingin aku cium duluan. Bagus semua!" kata Dilan dengan suara rendah.
Saya menahan senyum, sedikit memonyongkan bibir saya, "Nih!" "Boleh, Mama?" tanya Dilan sambil menoleh ke arah Mama.
Sejujurnya itu seperti saya masih merasa pacaran dengan Dilan dan saya langsung memerah karena malu. Tanggapan segera datang dari Mama, "Kan, udah punya Dilan!"
Setelah Dilan mencium saya, saya bersandar ke dadanya dengan perasaan hangat dan nyaman. Sebetulnya, mata saya mulai terbakar oleh air mata panas, tetapi saya tidak ingin membiarkannya jatuh. Saya berbisik di telinganya, "Cepat kembali, Bajingan."
Setelah itu, saya melihat Mang Ubay, sopir yang akan membawa Dilan ke Bandara Soekarno-Hatta, sudah bersandar di pintu mobilnya, tadi dia ikut makan malam juga dan menikmati segelas kopi. Dilan meraih si bayi, anak kami, yang sedang digendong oleh Mama. Air mata Dilan mulai keluar, tetapi saat itu dia sedang mencium si bayi, untuk apa yang saya pikir bahwa itu adalah cinta.
Waktu keberangkatan Dilan sudah tiba dan Dilan harus segera pergi. Kami saling berbagi pelukan dengannya yang akan terukir di dalam ingatan selamanya.
Di depan pintu mobil yang terbuka, saya melihat Dilan berbalik untuk melihat kami yang masih berdiri di teras rumah.
Dia melambai, senyumannya tampak begitu baik. "Cepat selesai ... ," kata saya ke Dilan agak berteriak.
Lagi pula, itu bukan hanya untuk saya dan bayi, itu untuk dirinya juga dan masa depannya, bersama doa diam yang saya ucapkan. Saya ingin itu benar.
Setelah semua rangkaian peristiwa itu, sekarang, saya sedang duduk melihat pepohonan di depan rumah yang bergoyang mengikuti nyanyian angin. Saya benar-benar merasakan berada di tempat paling bahagia di dalam hidup saya bersama sejarah tentang awal kedatangan Dilan ke dalam kehidupan saya di rumah Abah, dan kemudian semuanya terjadi di luar dugaan saya.
Sampai sekarang, saya selalu menganggap saya cukup bahagia, dan saya suka berpikir bahwa Dilan juga bahagia bersama saya dan anak-anak yang mencintainya. Saya berharap hubungan saya dengan Dilan akan terus bertahan seumur hidup bersama cinta dan harapan di dunia yang penuh warna dan sekaligus melankolis sebetulnya.
Saya bersyukur atas anugerah keberanian dan kesabaran di masa-masa sulit. Saya bersyukur atas beberapa kesedihan yang berhasil kami lampaui. Hidup adalah hidup itu sendiri, apa adanya, Tuhan di balik semuanya dan begitulah cara saya menceritakannya kembali hari ini.
Khusus untuk Dilan, saya hanya bisa mengucapkan banyak terima kasih karena sudah hadir di dalam hidup saya selama ini, yang sudah membuat hidup saya merasa lebih baik di dalam segala hal yang kita lakukan, hampir setiap hari, dan saya tahu saya akan bahagia untukmu seperti maumu.
--------- T A M A T ---------
Bank BCA
Dana / OVO / Gopay
Terima kasih, semoga rezekinya terganti dan berlipat ganda. Amin.


