no fucking license
Bookmark
Iklan

Tante Marisa

“Aw! Aduh basah!” teriak Tante Marisa terkaget, lalu sibuk merapikan rambutnya yang terurai karena terkena cipratan air yang membasahi seluruh wajah dan tubuhnya. Aku terkesiap, berusaha menahan napas sebisaku saat melihat daster mini sepaha yang tipis itu basah seluruhnya.
-- Blurb --
Informasi Cerita :

Judul Cerita

Penulis

Total Chapter

Hak Akses

Hanya Untuk

:    Tante Marisa

:    elngprtma

:    4 Chapter

:    Free/Gratis!

:    DEWASA!

DISCLAIMER!

Cerita ini hanya sebuah karangan belaka. Dengan ini kami menganggap pembaca adalah benar sudah DEWASA dan mampu mempertanggung-jawabkan pilihan bacaannya sendiri. Semoga semesta menjadi saksi, bahwa kami sudah sangat serius berusaha untuk mengingatkan.

FeatureImage

Awal Mula

Aku tinggal dengan tante Marisa setelah kedua orang tua angkatku meninggal dunia dalam kecelakaan tunggal di puncak Bogor. Mobil yang papa kendarai, menghantam pembatas jalan hingga terguling sampai ke ujung jurang, lalu meledak.

Papa dan mama angkatku berasal dari keluarga kecil. Mama hanya mempunyai seorang adik perempuan yaitu Tante Marisa, sedangkan papa adalah anak tunggal. Tidak ada lagi keluarga lain yang mereka punya kecuali Tante Marisa.

Aku di adopsi dari umur 3 tahun di sebuah panti. Menurut ibu panti, ibu kandungku meninggal saat melahirkanku, lalu 2 tahun kemudian, ayah menyusul ibu. Saat itu, ayah kandungku mengalami depresi berat, ia tidak kuat meneruskan hidupnya seorang diri, dengan anak yang masih bayi tanpa kehadiran istri tercinta disampingnya. Ayah kandungku lalu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, ia menabrakan diri ke kereta jalur Bandung-Surabaya yang sedang melaju kencang. Pengecut memang, tapi itulah yang terjadi.

Usia Tante Marisa dengan mama angkat hanya terpaut 1 tahun. Kedua orang tua angkatku mengadopsi anak saat mama angkatku berusia 19 tahun. Menurut Tante Marisa, kedua orang tua angkatku memang menikah saat mereka berumur 18 tahun. Lalu satu tahun kemudian, setelah beberapa kali kontrol ke dokter spesialis kandungan, mereka harus menelan pil pahit saat mendapatkan kabar bahwa mama angkatku tidak akan pernah bisa memiliki anak karena endometriosis, yaitu akibat jaringan yang harusnya tumbuh di dalam rahim, tumbuh di beberapa lokasi dalam bagian tubuhnya yang lain. Maka dari itu, mereka akhirnya memutuskan untuk mengadopsi seorang anak. 

Setelah kematian kedua orang tua angkatku, yaitu sekitar 18 tahun setelah aku di adopsi, Tante Marisa memutuskan untuk mengambil alih hak asuh. Mungkin, Tante Marisa sudah terlanjur menyayangiku. Kedekatannya denganku memang sangat baik, bahkan sejak aku masih balita sampai sekarang. Hal itulah yang mendorong Tante Marisa untuk mengurus administrasi dan melewati berbagai macam birokrasi yang menyulitkannya, agar segera  dapat mengambil alih hak asuh itu. 

Sejak dulu, hampir setiap hari Tante Marisa datang dan berkunjung ke rumah untuk sekedar bermain denganku atau membawaku jalan-jalan ke pusat permainan anak di mall-mall besar Jakarta bersama Kirana, anak perempuan satu-satunya. 

Menurut mama angkatku waktu itu, Tante Marisa dari dulu memang selalu menginginkan anak laki-laki. Sejak pertama melihatku, Tante Marisa langsung menyukaiku. Karena menurutnya, aku mudah sekali tertawa, dan garis wajahku yang katanya hampir sempurna, selalu membuatnya merasa gemas. Dan itu berlangsung sampai aku lulus sekolah hingga kini sudah mengambil studi S1 di sebuah universitas negeri Jakarta. Tante Marisa selalu ikut andil dalam hal apapun tentangku, terlebih karena Kirana memilih melanjutkan sekolahnya di Jogjakarta, karena itu Tante Marisa mempunyai banyak waktu untuk mengurusku.

Walaupun Tante Marisa sekarang sudah berumur 36 tahun, ia masih tampak  segar untuk ukuran wanita seumurannya. Terlebih Tante Marisa sangat pintar dalam merawat diri, Ia sangat giat berolahraga. Bahkan Tante Marisa sama sekali tidak terlihat seperti wanita lain pada umumnya yang sudah berumur kepala tiga, menuju kepala empat. Cantik, segar dan masih tampak kencang.

Garis wajah Tante Marisa yang tidak terlalu oval, dengan hidung agak sedikit mancung dan bentuk bibir tipis yang sensual itu, selaras dengan bentuk tubuhnya yang tinggi, padat dan putih mulus. Di manapun kami berada, Tante Marisa selalu berhasil menjadi pusat perhatian. Di tempat Gym, swalayan atau saat kami sedang jalan-jalan di sekitar mall, hampir semua mata terpusat kepada seraut wajah dan bentuk tubuh Tante Marisa yang memang selalu tampak sangat menggoda mata para lelaki. Kadang-kadang hal itu membuatku merasa risih. 

Walaupun banyak lelaki dewasa yang mendekatinya, Tante Marisa sepertinya tidak mempunyai niat sedikitpun untuk menikah lagi setelah kematian suaminya 4 tahun yang lalu. Ia hanya memfokuskan diri kepadaku, ikut serta dalam membesarkan dan mengurusku, keponakan angkat yang sekarang sudah menjadi anak angkatnya.

“Hans, masuk kuliah jam berapa?” tanya Tante Marisa, kedua tangannya masih sibuk dengan penggorengan di dapur.

“Jam 10, Tante ...” teriakku sembari kembali menggosok lantai kamar mandi dengan sikat di tangan kananku.

“Makan dulu, sebentar lagi mateng!”

“Iya, bentar lagi, tanggung belum bersih.” Sahutku, lalu kembali menyiram lantai kamar mandi dengan satu gayung air dan menggosoknya hingga tidak ada sedikitpun noda yang tertinggal. 

Setelah semuanya sudah tampak bersih dan mengkilat, aku mengangkat tangan kananku agar bisa menjangkau sebuah rak tunggal dari besi di atas sebuah batang plastik tempat menggantungkan handuk dan menaruh sikat yang aku pegang. 

Tiba-tiba, saat membalikan badan hendak mendekati pintu keluar kamar mandi, dadaku terasa perih. Tampak satu luka goresan kecil memerah. Entah karena apa luka itu muncul, aku tidak tahu. Aku terpekik, lalu mengusap luka goresan itu sembari berteriak kecil.

“Aw!” 

Sakitnya memang tidak seberapa, salahku juga karena saat membersihkan lantai kamar mandi aku memang bertelanjang dada dengan celana pendek ketat hingga satu pertiga paha. 

Postur tubuhku mengalami kemajuan yang cukup signifikan beberapa tahun ini, semenjak ikut Tante Marisa ke gym. Dalam waktu yang relatif singkat, aku tumbuh menjadi lelaki kekar dan berbentuk. Sering kali Tante Marisa menatapku hampir tidak mengedipkan kedua matanya saat memandang ke arahku, dan berkata, “Kamu tumbuh menjadi lelaki yang sangat macho, Hans. Pasti banyak wanita yang mengejar kamu, ya di kampus?” tanyanya waktu itu di tempat gym sembari tersenyum. Senyum yang hampir sama dengan senyuman nakal dari teman-teman wanita di kampusku. 

Benar, aku sering mendapati teman-teman wanita di kampus memperhatikanku dengan tatapan mata dan senyuman seperti itu. Baik di kelas ataupun di lingkungan kampus bagian mana saja. Sorot mata dan lengkungan senyum mereka tampak seolah ingin menerkamku saat itu juga.

“Hans! Kenapa, sayang?!” teriak Tante Marisa, bergegas menghampiriku ke kamar mandi. Betapa kagetnya Tante Marisa melihat dadaku sedikit berdarah, lalu dengan cepat Tante Marisa segera mengambil handuk kecil di atas gantungan plastik di dinding kamar mandi itu dan membersihkan darah di dadaku sembari mengelusnya dengan sangat hati-hati.

“Aku tidak apa-apa, Tante, hanya luka kecil,” ucapku, berusaha menenangkan Tante Marisa yang mulai terdengar panik.

“Tidak apa gimana!? Sampai berdarah gitu, kok bisa sih Hans?”

“Ga tau Tante, aku gak tau ada paku kecil ujung pintu, kayaknya paku bekas gantungan,” sahutku tenang. Aku memang sama sekali tidak terganggu dengan luka itu, sakitnya hanya seperti digigit semut saja, tidak begitu berarti.

“Ya udah diem, Tante bersihin dulu,” ucap Tante Marisa, lalu memutarkan keran shower yang letaknya tepat berada di pinggirnya, hendak membasahi handuk ditangannya agar ia dapat dengan mudah membersihkan darah di dadaku.  

-- Next Chapter--

Kecelakaan Kecil

Tetapi, tanpa Tante Marisa sadari, keran yang ia buka terlalu besar, hingga air berhamburan dari lubang-lubang shower dengan sangat deras, dan membasahi daster tipis yang dikenakannya.

“Aw! Aduh basah!” teriak Tante Marisa terkaget, lalu sibuk merapikan rambutnya yang terurai karena terkena cipratan air yang membasahi seluruh wajah dan tubuhnya. Aku terkesiap, berusaha menahan napas sebisaku saat melihat daster mini sepaha yang tipis itu basah seluruhnya. 

Bentuk tubuh Tante Marisa pun terlihat dengan sangat jelas di pelupuk mataku, seketika itu juga dadaku berdebar, bagaimanapun aku adalah lelaki normal yang beranjak dewasa, baru kali ini aku melihat lekukan tubuh wanita terpampang indah di hadapanku.

“Tante ...” ucapku pelan hampir tak terdengar.

“Gak apa-apa, cuma kaget aja ....” sahut Tante Marisa, lalu mendekatiku dengan handuk basah ditangannya, kembali membasuh luka di dadaku dengan lembut. Telapak tangan kirinya mendekap sebelah dadaku, seketika itu juga rasa hangat menyergapku, ada sesuatu yang mengalir indah saat kulitnya yang halus itu bersentuhan langsung denganku.

“Tan-tan-tate ... baju tan-tante ba-basah, le-lebih baik ga-ganti baju du-dulu,” ucapku tergagap, tidak berani lagi memandang ke arah Tante Marisa. Jantungku berdetak dua kali lebih ceoat dari biasanya. Tante Marisa tidak menjawab, ia hanya tersenyum sembari tak henti-hentinya memandangiku. 

Dari jarak sedekat ini aku benar-benar dapat merasakan embusan napasnya yang hangat dan terasa agak sedikit memburu.

“Hans ...” Tante Marisa mendesah pelan, lalu tiba-tiba kedua telapak tangannya merangkul leher dan menarik kepalaku hingga handuk yang berada di dalam genggamannya terlepas. Detik itu juga kepala kami saling mendekat hingga kening kami pun beradu. 

Lalu beberapa saat kemudian Tante Marisa berbisik pelan, “Tante sudah lama tidak merasakannya, kamu tahu itu ‘kan Hans?”

Mendengar bisikan Tante Marisa, aku hanya tercekat, bibirku setengah terbuka seakan tidak percaya dengan apa yang sudah aku dengar. Kedua bola mataku terbelalak, tanpa tahu harus menjawab apa. Tubuhku terasa kaku, dada berdebar kencang merasakan sesuatu yang asing sekaligus menantang kelelakianku.

Beberapa detik kemudian, aku merasa ada sesuatu yang lembut, hangat. kenyal dan basah menyentuh bibirku. Deru napas Tante Marisa terdengar semakin cepat, kedua lengannya kmbali melingkari tubuhku dengan erat.

Aku benar-benar tidak dapat bernapas, gemuruh di dalam dadaku bergejolak dan tubuhku terasa bergetar. Sentuhan tangan Tante Marisa benar-benar membuat jantungku berdetak dengan sangat cepat. 

Tante Marisa masih saja melumat habis bibirku. Tidak cukup puas hanya dengan itu, lidahnya perlahan mulai menyelinap masuk ke dalam rongga mulutku, menari-nari di dalam sana, lalu mengikat lidahku pada saat yang bersamaan dengan sentuhan jari-jari tangannya yang halus mengelilingi tubuhku. 

Kecupan Tanta Marisa mulai liar dan berani, ia seakan sedang berusaha memuntahkan harsrat yang mengendap lama dalam dada, lalu membebaskan gairah yang sudah bertahun-tahun terkekang di dalam aliran napasnya. 

Libido yang besar itu baru saja terlepas setelah sekian lama terkurung dalam diri Tante Marisa. Andrenalinnya seolah berhamburan ke sana ke mari tanpa terkendali, menyerangku habis-habisan tanpa henti.

Cahaya lampu kamar mandi yang terang tampak jelas menyinari tubuh Tante Marisa, seluruh lekuk tubuhnya pun terlihat dengan sangat jelas di pelupuk mataku. Putih mulus, padat berisi dan masih tampak kencang sempurna. 

Walaupun usianya sudah kepala tiga, tetapi bentuk dan lekukan halus tubuhnya itu benar-benar sangat indah. Tante Marisa adalah wanita dewasa yang sudah matang, ia mempunyai sesuatu yang selalu menjadi bahan imajinasi dan khayalan para lelaki, remaja maupun dewasa. Aku yakin, mereka akan melakukan apapun untuk mendapatkannya, meneguk sari-sari keindahan tubuhnya setiap saat adalah mimpi terbesar para lelaki. 

Entah sudah berapa lama belahan dadanya yang bulat dan putih bersih itu menghimpit dadaku. Aku seolah terbawa suasana, tanpa sadar kedua lenganku sudah berada di balik pinggangnya, menarik tubuh Tante Marisa hingga tubuh kami melekat semakin erat tanpa sekat. Hangat, harum, basah, lembut dan sangat mendebarkan dada. Aku benar-benar terhanyut ke dalam gairah yang panas.

“Tan-tante ...” ucapku agak sedikit terbata-bata menyebut dan memanggil Tante Marisa, sembari berusaha menahan deru napas yang semakin bergejolak hebat di dalam dada. Bagaimana pun usahaku untuk mengumpulkan kembali akal sehatku, hantaman andrenalin yang terpompa dengan sangat kencang di dalam diriku telah mengalahkan sisi kewarasanku. 

Sungguh, urat syaraf kelelakianku sedari tadi bergemuruh dengan sangat hebat, aku tidak kuasa menahannya. Aliran libido dalam darah mengalir deras, birahiku benar-benar telah meluluh lantakan pertahananku, mengalahkan semua akal sehat dalam diriku, perlahan-lahan mulai memudar dan menghilang. Melupakan dimana posisiku di lingkaran keluarga Tante Marisa.

Saat itu, Tante Marisa yang tengah memeluk tubuhku erat sepertinya sudah merasa, ada sesuatu yang mengembang dan membesar di dibalik celana pendekku yang ketat itu. Sesuatu yang setengah jam lalu masih meringkuk dan terkurung dalam sangkarnya, kini benar-benar sudah membengkak, keras dan tegang menunggu saat yang tepat untuk menunjukan aksinya. 

Tante Marisa tidak menghiraukan panggilanku, lalu perlahan ia menurunkan kepalanya, sampai tiba di depan dadaku yang menurutnya kini dadaku semakin bertambah kekar dan berbentuk. Tanpa keraguan sedikitpun, ia mulai menghisap daging kecil di atas dadaku, lalu menjilatinya dengan unjung lidahnya. Sekitika bulu-bulu halus di seluruh tubuhku berdiri, sensasi maha dahyat yang aku rasakan benar-benar diluar nalarku. 

Aku belum pernah melakukan hal seperti ini dengan siapapun. Hampir seluruh waktu yang aku miliki, aku habiskan hanya untuk belajar, belajar dan belajar. Sisanya untuk menemani Tante Marisa kemanapun Tante Marisa ingin pergi.

Walau banyak teman-teman wanita di kampusku yang selalu berusaha menggoda, aku tidak pernah sekalipun memberi mereka harapan. Aku hanya ingin serius menyelesaikan studi agar hidupku berhasil. Aku ingin suatu saat nanti aku dapat membalas semua kebaikan Tante Marisa, sebagai baktiku kepada keluarganya yang telah membesarkanku.

Tapi kini, aliran darah di ubun-ubunku sudah benar-benar terseret oleh arus libido yang bergerak cepat memenuhi sel-sel reproduksiku. Gairahku benar-benar terpompa sentuhan-sentuhan halusnya, seketika itu juga hormon kelelakianku seolah terbakar, bergejolak di dalam dada hingga mendidih. Dan akhirnya, andrenalinku bertambah memuncak. Aku sudah tidak tahan lagi.

“Tante ...” Aku mendesis pelan, kedua telapak tanganku mengarah ke kepala Tante Marisa yang terlihat masih sibuk menciumi seluruh area tubuhku bagian dada, menggigit pelan puncak dadaku sembari menghisapnya berulang-ulang. Aku mendesis sembari memeluknya. 

“Ssssshhh ... Tan-tante ....” 

Tubuhku bergetar, napasku mulai terdengar tersenggal, sibuk menahan sesuatu yang masih terasa asing bagiku. Rasanya geli, enak, nyaman sekaligus panas membakar tubuhku. Darah kelelakianku benar-benar membar saat Tante Marisa tiba-tiba mengendurkan hisapannya dan beralih ke tengah-tengah kedua pangkal pahaku.

-- Next Chapter--

Main Di Kamar Mandi

Diantara kedua pangkal pahaku, Tante Malissa mengarahkan kedua tangannya tepat ke tengah-tengah celana pendek yang aku kenakan, mengusap sesuatu yang sudah membengkak. Batang kelelakianku yang berdiri dengan tegak itu terasa berdenyut, walau masih bersembunyi di dalam lapisan kain celana, tetapi sentuhan tangannya seakan menyalurkan aliran listrik yang menyengat ke seluruh jaringan syaraf otak dan tubuhku. Aku hanya mampu memeluk erat kepala dan leher Tante Marisa yang semakin lama semakin berani menurunkan celana pendek yang aku kenakan. 

Lalu, sesaat kemudian, Tante Marisa mengangkat kepalanya dan mengajukan pertanyaan yang membuat mukaku memerah, “Kamu benar-benar belum pernah melakukannya? Serius?” tanya Tante Marisa, menatapku sembari melengkungkan sebuah senyum yang sangat berbeda dari biasanya.

Aku menggelengkan kepala sembari menutup kedua bola mataku. Beberapa detik kemudian, aku memberanikan diri menatap langsung ke arah Tante Marissa. Wajah yang begitu cantik dengan bibir tipis yang sensual dan postur tubuh sempurna itu tampak sedang berjongkok tepat di tengah selangkanganku. Segala lekuk tubuhnya yang padat dan proporsional jelas terlihat oleh kedua mataku. Di antara balutan daster mini yang basah, aku melihat semuanya. Sangat indah sekali.

Tanpa sadar, bola mataku menatap belahan dada Tante Marisa yang sangat putih mulus itu tanpa sedikitpun berani berkedip. Kedua bulatan di dada Tante Marisa membuat darahku kembali bergejolak, batang kelelakianku kembali berdenyut, dan itu pasti sangat terasa oleh Tante Marisa yang masih  menggenggam dan mengelus-ngelus tongkat pusakaku dengan sangat lembut. Tante Marisa tersenyum, lalu melorotkan satu-satunya penghalang terakhir berupa kain halus berbentuk segitiga yang masih menutupi organ vitalku.

“Hans ... pu-punya ka-kamu ... be-besar ....” Desis Tante Marisa, mulutnya setengah terbuka sementara kedua bola matanya tampak terbelalak saat melihat batang kelelakianku yang kini sudah terbebas dari kurungannya itu. 

Sebelum aku sempat berkata-kata, Tante Marisa sudah membenamkan mulutnya, hingga batang kelelakianku amblas hampir setengahnya ke dalam mulut Tante Marisa yang menggenggam erat organ paling vital di antara bagian tubuhku yang lain dengan kedua telapak tangannya.

“Aaaahkkk ... Tan-tante ....”

Aku mendesah, mungkin terdengar memalukan, tetapi aku benar-benar sudah tidak kuat lagi menahan segala rangsangan yang sudah sedari tadi menyelimuti akal sehatku. Sesuatu yang hangat, basah dan geli bercampur dengan kenikmatan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, membongkar segala rasa yang aku punya. Otot-ototku menegang sempurna, kedua telapak tanganku semakin erat memeluk kepala Tante Marisa, mendorong dan menarik kepalanya berulang-ulang. Bahkan, pinggulku sudah mulai berani bergerak maju dan mundur, mengikuti irama hisapan Tante Marisa.

Satu menit kemudian, Tante Marisa berdiri, menempelkan tubuhnya dengan kedua tangan yang melingkari punggunku, Tanta Marisa lalu kembali menyentuh bibirku dengan bibirnya, menghisap lidahku dan mengaitkannya dengan lidahnya sendiri, bergerak liar di antara air liur kami yang bercampur. Instingku seolah berbisik, aku harus membalasnya. Tidak boleh seorang lelaki hanya berdiam diri saja ketika menerima serangan seperti itu.

Pelan-pelan, bibir Tante Marisa aku gigit sedikit, lalu mengulum bibir tipis tipis yang sensual itu dengan bibirku. Kedua tangan kami saling melingkar, pelukan dan sentuhan semakin liar berkelana ke segala penjuru, bahkan setiap inchi dari lekukan tubuh yang tersembunyi sekalipun tidak luput dari jangkauan tanganku.

Waktu terus berdetak, kedua tanganku mulai berani menjelajahi tubuh Tante Marisa. Dari dada hingga pinggulnya yang besar membulat, lalu perlahan dan hati-hati kedua tanganku bergerak turun, menaikan daster mini ditubuhnya yang sudah basah itu sampai melewati rambut di ujung puncak kepala Tante Marisa. 

Tante Marisa terlalu paham untuk hal semacam itu, ia segera melepaskan daster yang melekat di tubuhnya dan melemparkannya ke bawah lantai. Seketika kedua bola mataku kian membesar, tidak mampu untuk tidak menelan air liruku sendiri. 

Bagaimana tidak? Dibalik pakaian dalamnya terpampang dengan jelas bentuk tubuh Tante Marisa yang begitu sempurna. Pinggang ramping dengan pinggul yang tidak terlalu besar, bulat dan masih teramat kencang itu, benar-benar menggoda kelelakianku. Tinggi badan dan bentuk bukit kembar yang membusung, putih, padat dan menantang sangat selaras dengan wajah Tante Marisa yang masih terlihat cantik di usianya yang matang.

 “Kamu baru pertama kalinya melihat tubuh perempuan, Hans?” tanya Tante Marisa sembari tersenyum, masih dengan senyum yang tidak biasanya. Senyum itu seolah menyimpan sebuah hasrat yang teramat besar, sesuatu yang sudah ia tahan bertahun-tahun lalu.

Tatapan Tante Marisa memancarkan aura keindahan yang sulit untuk aku lukiskan, saat itu aku hanya mampu menahan napasku dalam-dalam, mencoba untuk meredam letupan libido yang bergejolak di dalam dadaku. 

“Tan-tante ... apa yang Tante la-laku-kan?” tanyaku, masih berusaha untuk menjernihkan isi kepalaku, bagaimanapun Tante Marisa adalah sosok yang selalu aku hormati, ia adalah pengganti ibu dan mama angkatku yang sangat aku sayangi melebihi apapun.

Tante Malisa kembali tersenyum, memeluk pinggangku tanpa menjawab pertanyaanku, lalu kembali menyambar bibirku dengan sangat bernapsu, ujung lidahnya meliuk-liuk di dalam rongga mulutku, mengikat lidahku seolah tidak akan pernah ia lepaskan sampai kapanpun. 

Lalu, dengan gerakan lambat penuh penghayatan, telapak tangan kanannya kembali menyusuri bagian bawah tubuhku, menyentuh area pinggulku dan meremasnya. Deru napas Tante Marisa terdengar semakin menderu kencang, mengalahkan deru ombak yang menggulung syaraf-syaraf otak akal sehatku yang kini sudah tidak lagi terkendali, terkalahkan oleh derasnya aliran kencang andrenalin, libido, birahi serta apapun yang bisa disebut sebagai sesuatu yang menggairahkan, itu semua benar-benar sangat mendebarkan sekaligus menantang. 

Akal sehatku pun kalah, aku harus mengikuti arus, pelan-pelan kedua tangannku menjangkau punggung Tante Marisa, lalu mencari pengait yang mengunci bra dengan kedua telapak tanganku.

Sedetik kemudian, dada Tante Marisa terbebas dari perlindungan bra yang berwana hitam itu, dan kedua bulatan di dada Tante Marisa tampak padat, bulat, putih dan masih kencang seolah menggodaku untuk segera menghampirinya. Tante Marisa benar-benar merawatnya dengan sangat baik. Aku rasa, waktu Kirana bayi, ia hanya minum air susu kemasan tanpa sekalipun menghisapnya dari kedua bukit kembar itu, dan sepertinya suaminya dulu tidak menyukai dada.

Terbukti dengan secuil daging berwarna merah muda di puncak bukit kembar Tante Marisa yang terlihat tidak membesar, tidak melebar apalagi memanjang, masih terlihat seperti wanita remaja usia belasan. Akal sehatku pun seketika semakin menghitam, debar di dada bergejolak dengan sangat hebat. Kini, aku sudah tidak merasa perlu mengingat hubunganku dengan Tante Marisa, gairah kelelakianku benar-benar terusik. 

Setelah Tante Marisa melepaskan himpitan bibirnya di bibirku, aku segera menurunkan kepalaku, menghampiri secuil daging berwarna merah muda di dadanya lalu menghisap dan menjilatinya dengan ujung lidahku yang mengitarinya tanpa henti. 

“Ssssshhh ... Haaans ....” 

Tante Marisa mengerang, mengeratkan pelukan kedua tangannya ke belakang leherku sembari menutup kedua bola matanya, meresapi kenikmatan yang bertahun-tahun sudah tidak pernah ia rasakan lagi semenjak kematian suaminya.

-- Next Chapter--

Klimaks

Aku semakin gencar melakukan serangan-serangan ke area sensitif tubuh Tante Marisa. Jari-jari tanganku mulai aktif mengelus sesuatu di balik celana dalam Tante Marisa dan memainkannya dengan ujung-ujung jari, bergerak memutar, ke atas dan ke bawah.

Tubuh Tante Marisa semakin bergetar, tangannya sibuk menjangkau setiap lekuk tubuhku dengan sangat liar. Sesekali, kedua telapak tangan Tante Marisa menjambak rambutku dan lalu kembali mengelusnya dengan sangat lembut sembari mengeluarkan suara-suara halus yang aneh, sepertinya Tante Marisa sedang medesah pelan, mengerang dan lalu mendesis bersamaan dengan liukan tubuhnya. 

jantungku berdetak lebih kencang, jari-jariku kini sudah tidak lagi terkendali, merayap pelan ke ujung celana paling dalam yang masih membungkus area sensitif kewanitaan Tante Marisa, lalu menariknya ke bawah hingga merosot. Pelan-pelan kedua tanganku membawanya sampai ke bawah kaki Tante Marisa hingga terjatuh ke bawah lantai kamar mandi.

Pelukan Tante Marisa semakin erat. Dengan setengah berbisik, Tante Marisa berkata pelan, “Asshh ... masukin saja, Hans ....” bisik Tante Marisa terdengar merengek manja. Tangan kanannya kembali meraih sesuatu yanng sudah mengeras di antara kedua pangkal pahaku, lalu menggenggamnya sembari membuat gerakan tangan naik turun. Dalam genggaman jari-tari tangan halusnya, tongkat pusaka milikku kembali berdenyut, jantung memompa darah dengan sangat cepat, semua gerakan tangan dan desahan Tante Marisa benar-benar telah menghasilkan hormon andrenalin dalam tubuhku bergejolak parah. Aku semakin tidak bisa mengendalikan diri.

Tangan kiriku segera mengangkat sebelah kaki Tante Marisa ke atas, sementara tangan kananku memeluk pinggangnya agar tidak terjatuh. Saat itu juga tampak area kewanitaan Tante Marisa terbuka dengan lebar. Posisinya berada tepat di depan tongkat kelelakianku, siap menerima sodokan dan hentakan yang menusuk ke dalam area kewanitaan Tante Marisa tanpa ampun.

Untuk sesaat, aku sempat melirik ke arah Tante Marisa, keraguan yang sempat terselip di dalam hati seketika menguap ke udara saat Tante Marisa dengan cepat mendorong pinggulku dengan kedua tangannya, hingga jarak antara pangkal paha kami semakin tidak lagi bersekat, sangat dekat dan lalu perlahan saling menempel.

Dorongan pelan dari pinggulku akhirnya berhasil membawa organ vitalku masuk ke dalam area kewanitaan Tante Marisa. Perlahan, batang kelelakianku menyelinap sedikit demi sedikit. Lorong kecil lembab, hangat dan basah itu benar-benar terasa menggigit, organ vitalku seakan dikulum sesuatu yang basah. Hentakan demi hentakan pinggulku mulai teratur, deru irama napas menambah sensasi kenikmatan yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. 

Tante Marisa kembali mendesis, tubuhnya meliuk pelan. Kedua lengannya semakin erat melingkari leherku, menyangga tubuhnya sembari mengimbangi gerakan pinggulku. Lorong kecil di dalam area kewanitaan Tante Marisa yang terisi penuh besarnya tongkat kelelakianku yang sudah membengkak sedari tadi, semakin basah. 

“Haans ....” Tante Marisa kembali mendesis, lalu menyambar bibirku dan mengaitkan lidahnya, menyusuri rongga mulutku sembari men-transfer salivanya berulang kali. Hisapan dan kecupan itu benar-benar membuat jantungku bergemuruh, seolah genderang perang di medan laga yang membahana.

  Setelah beberapa menit bermain di posisi yang sama, Tante Marisa memintaku untuk mengganti posisi dan melepaskan desakan pinggulku setelah menghabiskan kecupan bibirnya di bibirku. Lalu, Tante Marisa membelakangiku, menyodorkan pinggul bulat, putih dan kencangnya hingga tepat berada di depan selangkanganku, sementara kedua tangannya berpegangan pada tembok kamar mandi.

Tanpa di perintah, aku kembali menyodokan organ vitalku ke area kewanitaan Tante Marisa, lalu menghentakan pinggulku sampai tongkat pusakaku kembali memenuhi lorong kewanitaannya. Irama hentakan kembali kuatur sedemikian rupa, cukup teratur dan bertenaga. Sembari memeluk pinggang Tante Marisa, aku mengecup tengkuk dan leher Tante Marisa dengan lembut.  Membuat Tante Marisa kembali meliukan tubuhnya yang bergetar halus itu sampai berkali-kali. 

Selama tiga menit ke depan, hal itu saja yang aku lakukan, hentakan pinggul dan deru napas yang tersenggal serta rintihan kenikmatan mewarnai permainan kami di dalam kamar mandi. Hingga akhirnya aku merasa ada sesuatu yang seolah mendesak ingin segera keluar dari dalam tubuhku, aku lalu segera mempercepat hentakan pinggulku, menghantam area kewanitaan Tante Marisa dengan kekuatan dan kecepatan penuh.

“Aahhk Tan-tante  ....” Teriakanku tertahan saat lahar panas itu keluar dari ujung tongkat pusakaku yang bergerak cepat di dalam lorong kewanitaan Tante Marisa berkali-kali dengan kecepatan penuh. Tubuhku seketika menegang sebelum akhirnya melemas, napasku tersenggal-senggal. Pun begitu pula yang di alami tubuh Tante Marisa. Sepertinya, Tante Marisa telah mencapai puncak kenikmatan, sama sepertiku.

“Aaaaahhkk, Haanns ... Ssshhhh ....” Desis Tante Marisa, jemarinya tampak merekat, menggenggam erat handuk yang tergantung di cantelan tembok. Kedua matanya terpejam untuk sesaat lalu kembali membuka dengan di iringi senyum kepuasan di wajahnya. Saat tubuhku menempel erat dipunggunya, Tante Marisa membiarkan kedua tanganku menggenggam kedua bukit kembarnya yang menggantung kencang.

 “Tan-tan-tante ...” bisikku pelan di telinganya.

“Huum?’

“Ma-maaf ....”

“Kenapa?” tanya Tante Marisa, melirikku dengan tatapan yang masih menggoda.

“A-aa-aku u-udah lan-lancang me... la... ku ....” ucapku terbata-bata, tidak mampu meneruskan ucapanku.

Tante Marisa tersenyum, tidak membalas ucapanku. Lalu dengan perlahan ia membalikan tubuhnya, menatap ke arahku beberapa detik, sebelum melingkari wajahnya dengan satu buah senyumannya yang cantik. Setelah mengecup bibirku dengan lembut, Tante Marisa berucap pelan, “Mandi sana, badan kamu keringatan.” bisik Tante Marisa, mengerlingkan kedua matanya dengan genit lalu menyambar handuk di atas cantelan tembok dan berlalu keluar.

Aku menganggukan kepala pelan, lidahku terasa beku, tak dapat lagi berkata-kata. Dengan perlahan dan hati-hati, aku berusaha mengatur napasku, agar detak jantung kembali berdetak normal dan napas yang tersenggal-senggal pun hilang. Kedua matoaku lekat menyaksikan punggung Tante Marisa yang sudah berbalut handuk itu keluar kamar mandi dan menuju ke dalam kamar pribadinya, begitu banyak pikiran yang tak menentu melintas di kepalaku.

Setelah mengembuskan napas dalam-dalam, aku berbalik dan menutup pintu kamar mandi, aku harus segera membersihkan badan dan menenangkan diri. Semua yang terjadi dengan Tante Marisa benar-benar terasa seakan mimpi. Indah sekaligus membuatku bingung, hal seperti tadi sama sekali tidak pernah terpikirkan sekalipun olehku. 

Hari-hari selanjutnya, Tante Marisa semakin agresif dan entah mengapa aku merasa sangat menikmatinya. Rasa sayangku kepada Tante Marisa berubah menjadi cinta dan hasrat yang bertambah besar dari waktu ke waktu, hingga akhirnya tidak ada lagi batas di antara kami. Bahkan, aku dan Tante Marisa sekarang sudah menempati kamar yang sama. Hampir setiap hari kami melakukannya di setiap kesempatan.

Kamar, ruang tamu, kamar mandi, halaman belakang sampai ruangan dapur menjadi saksi bisu betapa panasnya hubungan gelap diantara kami. Sampai suatu ketika, Tante Marisa mengaku telat  2minggu.

“Deg!”

Saat itu juga jantungku seakan berhenti berdetak. Bukan aku tidak mau bertanggung jawab, tetapi apa yang akan di katakan Kirana tentang masalah ini? Kebingunganku menghilang saat Tante Marisa akhirnya mau berterus terang kepada Kirana, dan tanpa aku duga sama sekali, Kirana mengizinkan mamanya untuk menikah denganku. 

Akhirnya, aku dan Tane Marisa pun menikah. Kirana yang memang mempunyai pikiran bebas, tidak mempermasalahkan perbedaan umur antara aku dan Tante Marisa, ia hanya menitipkan pesan agar aku sungguh-sungguh mencintai mamanya dengan sepunuh hati dan berjanji untuk selalu setia sehidup semati membangun bahtera rumah tangga dengan mamanya sampai mau memisahkan.

Begitulah awal mula kisah hidupku yang berakhir di pelabuhan cinta milik Tante Marisa. Walaupun usia kami berbeda cukup jauh, tetapi aku mencintainya, begitu pula Marisa, istriku.

---------   T A M A T    ---------

BCA Bank BCA
E-Wallet Dana / OVO / Gopay

Terima kasih, semoga rezekinya terganti dan berlipat ganda. Amin.