
Dan kini, Papa seolah ingin menambah beban luka di hatiku yang baru saja kehilangan Mama. Dengan mudahnya Papa mengatakan beliau ingin menikah. Telah menemukan seseorang yang akan menemani hari tuanya. Mana sumpah setianya pada Mama? Aku masih ingat jelas kala Papa selalu berujar mesra pada Mama untuk bersetia hingga ajal menjemput mereka.
Detail Info
Judul | Please Boss! |
---|---|
Penulis | Ria Pohan |
Chapter | 29 Chapter |
Status | Tamat |
Jumlah kata | 71k words |
Hak Akses | Free/Gratis |

Kecil Kemungkinan
Untuk yang kesekian kalinya aku harus menahan kesakitan. Entah apa yang ada dibenak Papa. Beliau dengan entengnya mengatakan ingin berkeluarga. Rasanya tanah kubur Mama belum lagi kering saat Papa mengatakan niatnya tersebut. Berbagai cara kulakukan untuk menentang keinginan Papa. Tapi, tetap saja beliau seperti menulikan telinga. Lagipula apa lagi yang Papa cari. Usianya tak lagi muda. Mengapa Papa butuh pendamping lagi di waktu senjanya. Bukankah lebih baik jika Papa mendekatkan diri pada Yang Kuasa. Bukan bermaksud mendoakan hal buruk terjadi pada Papa, tapi alangkah baiknya jika Papa lebih mendekatkan diri pada-Nya. Usia manusia siapa yang tahu.
Lihat saja Mama. Beliau terlihat sangat sehat. Tak ada penyakit kronis apa pun yang mendera, tapi Tuhan berkehendak lain. Beliau memanggil Mama di usianya yang baru memasuki 47 tahun.
Usia yang masih relatif muda dan bugar jika ditilik dari rentang usia rata-rata yang dimiliki manusia. Namun, kembali lagi pada takdir. Tak ada yang bisa menolak kuasa Tuhan, bukan?
Dan kini, Papa seolah ingin menambah beban Iuka di hatiku yang baru saja kehilangan Mama. Dengan mudahnya Papa mengatakan beliau ingin menikah. Telah menemukan seseorang yang akan menemani hari tuanya. Mana sumpah setianya pada Mama? Aku masih ingat jelas kala Papa selalu berujar mesra pada Mama untuk bersetia hingga ajal menjemput mereka.
Bukan aku tak sayang dan tak ingin melihat Papa bahagia. Tapi, bisakah beliau menundanya? Paling tidak hingga kami terbiasa tanpa Mama. Ketika kami tak lagi menangis mengenang Mama. Tapi akan tersenyum dalam doa untuk kebahagiaan Mama di sana.
“Kenapa Papa bisa secepat ini lupa sama Mama?” tanyaku saat Papa mengumumkan keinginannya menikah lagi.
Bahkan siapa calon Ibu tiriku pun aku tak mengenalnya.
“Danika ... maaf. Papa butuh seorang pendamping. Pengganti Mamamu yang akan menemani dan mengurus Papa di hari tua.”
“Aku tahu, Pa. Tapi, apa harus secepat ini? Bahkan aku nggak tahu siapa perempuan itu.”
“Papa pasti akan kenalkan kamu dengan Tante Indri. Secepatnya kita akan adakan pertemuan.”
Aku masih mematung, tak bisa menjawab keinginan Papa.
Walau masih mempertanyakan semua, tapi tetap saja aku belum rela jika sosok Mama sudah memiliki pengganti di rumah ini. Aku belum ikhlas.
“Danika...”
“Bisa Papa tunda untuk menikah lagi?” pintaku. Kali ini air mata mengiringi permintaanku.
Kuharap rasa sayang Papa masih begitu besar padaku dan Mama. Namun saat melihat Papa kesulitan menjawab, aku tahu ternyata rasa sayang Papa pada mendiang istrinya sudah memudar.
Berapa lama Papa dan wanita itu saling mengenal? Atau jangan-jangan mereka sudah bermain di belakang Mama? Jangan salahkan pikiran buruk yang menderaku. Wajar saja jika aku berspekulasi seperti itu karena sikap Papa yang seperti tak bisa menunggu waktu lagi.
“Apa Papa dan perempuan itu sudah berhubungan jauh sebelum Mama meninggal?” tuduhku.
Papa belum menjawab, tapi air muka beliau yang meragu membuatku berspekulasi tentang hubungan mereka kian menguat. Ya, Tuhan, jika benar begitu, teganya Papa. Pria yang begitu kukagumi ternyata bermain curang terhadap kesetiaan Mama.
Apa lagi yang bisa kuharapkan dari laki-laki yang bahkan tidak bisa menjaga kepercayaan dan kesetiaan dalam rumah tangganya.
Aku berlari secepatnya meninggalkan Papa yang mencoba memanggil namaku. Aku tak peduli. Satu hal yang ingin kulakukan saat ini hanyalah berlari sejauh mungkin dari Papa. Tak peduli saat aku keluar dari rumah, hujan deras tengah menyapa. Rasanya aku seperti pemeran utama dalam drama yang berlari di tengah hujan dengan tangisan. Mungkin benar aku adalah pemeran utama dalam drama kehidupanku yang menyedihkan ini. Bahkan karena tak pedulinya aku berlari, hampir saja teijadi insiden tabrakan. Sebuah mobil berhenti mendadak di depanku. Menyisakan jarak beberapa meter antara tubuhku dan mobil. Aku yang begitu terkejut, terpaku seketika, kemudian meluruh di jalanan karena shock.
“Kamu baik-baik saja?” tanya sebuah suara menghampiriku.
Seorang pria dengan payung baru saja keluar dari mobil yang hampir menabrakku. Dia sudah berdiri di hadapanku. Aku yang masih belum sadar sepenuhnya berusaha menetralkan debar jantungku. Saat ini rasanya aku ingin berteriakpada Tuhan. Mengapa aku tak mati saja?!
“Apa kamu baik-baik saja?” Suara itu kembali bertanya. Kini pria berpayung itu sudah beijongkok di depanku.
Payungnya ia gunakan juga untuk menaungi tubuhku yang sudah telanjurbasah. Sesaat mata kami bertemu. Ada raut khawatir dan bingung tercetak jelas di wajah pria berwajah campuran timur tengah ini.
“Kamu butuh bantuan?”
Aku menggeleng. “Tidak.”
Refleks aku menegakkan tubuh. Tanpa permisi, aku kembali berlari meninggalkan pria itu yang ikut terperanjat karena tindakanku yang tiba-tiba. Entahlah apa yang terjadi pada pria itu. Aku tak peduli.
Yang kubutuhkan saat ini hanya ketenangan. Dan satu orang yang bisa menenangkanku saat ini hanya dia.
Setelah berlari cukup jauh dan entah berapa lama, aku tiba di depan rumah sahabatku. Tanpa ragu kuketuk pintunya. Tak peduli jika ketukanku mengganggu ketenangan di malam hari ini, yang pasti aku membutuhkannya.
“lya, sebentar!” Bisa kudengar suara teriakan Dayu. Tak berapa lama pintu terbuka. Wajah Dayu tampak terkejut dengan kehadiranku.“Danika?” tanyanya.
Tak peduli tubuhku yang basah kuyup, aku langsung menghambur ke pelukan Dayu. Menumpahkan tangisku di pelukannya. Membuat Dayu bertanya-tanya sambil berusaha melepaskan pelukan kami.
“Hei, kamu kenapa?” tanya Dayu setelah berhasil melepaskan pelukan kami.
“Dayu, ada a ... Danika?” Ibu Dayu menghampiri kami yang masih berdiri di depan pintu.
“Ada apa ini? Ini kenapa Danika basah kuyup, Yu? Ayo, masuk. Dayu, suruh Danika ganti baju dulu. Biar Ibu siapkan teh hangat.”
Tanpa menunggu aku setuju, Dayu langsung menarikku ke kamarnya. Walau rumah Dayu tak begitu besar, namun kamar Dayu dilengkapi dengan kamar mandi sendiri. Jadi aku tak perlu menggunakan kamar mandi yang ada di dapur.
Sahabatku itu menyerahkan pakaian ganti dan mendorongku untuk membersihkan diri di kamar mandi. Segera aku membilas tubuh dan keluar kamar mandi setelah berpakaian. Dayu sendiri sudah mengganti kausnya yang tadi basah karena ulahku. Kulihat sudah ada dua gelas teh hangat di atas meja belajar Dayu. Mungkin Ibunya yang tadi mengantarkan saat aku masih berada di kamar mandi.
“Minum dulu.” Dayu menyodorkan segelas teh yang langsung kusambut.
Rasa hangat langsung menjalar melewati kerongkongan dan memberikan rasa nyaman di rongga perutku. “Makasih, Yu.”
“Kenapa kamu malam-malam begini basah kuyup?” Dayu bukan orang yang suka berbasa-basi. Dia akan bertanya langsung ke inti permasalahan.
“Yu, Papa mau nikah lagi.”
Dayu terkejut seketika. Sudah kuduga. Siapa pun yang mendengar berita ini jelas akan sama terkejutnya denganku. Semua orang yang mengenal keluarga kami tahu, Mama meninggal belum juga lama. Tapi, Papa yang sudah tak tahan malah ingin segera meresmikan hubungannya dengan perempuan entah siapa itu.
“Gimana bisa?”
Kembali aku memeluk Dayu. “Mungkin Papa dan perempuan itu sudah berhubungan jauh saat Mama masih ada, Yu. Bisa kamu bayangin betapa teganya Papa kalau itu sampai teijadi? Mama salah apa? Memang semua pengabdian Mama untuk keluarga masih kurang?” Isakku di pelukan Dayu.
Dayu hanya terus mengelus punggungku.
Mungkin gadis ini sama terkejutnya denganku. Tapi aku tak tahu harus bicara pada siapa lagi. Tak banyak orang yang kukenal dekat. Aku jenis orang yang memang tak mudah dekat dengan orang lain. Entah apa yang salah, mungkin memang sosialisasiku sangat buruk. Atau memang sifat dan sikapku membuat orang lain enggan berdekatan denganku. Hanya Dayu dan keluarganya. Sahabat yang kukenal sejak SMP.
Entah berapa lama aku terus mencurahkan kesedihanku pada Dayu, karena yang terakhir kali kuingat adalah aku terlalu lelah hingga memejamkan mata dan jatuh dalam lelapnya mimpi.
***
Rumah masih tetap sama walau tanpa Mama. Hanya saja suasana sudah tak senyaman dulu. Sarapan pagi terasa hampa. Hanya ada Papa dan aku. Juga Bi Tini dan Pak Markum. Keluarga yang sudah bekeija untuk keluarga kami bahkan sejak aku belum dilahirkan. Mereka yang begitu loyal membantu keluarga kami dan tetap bertahan bahkan saat Mama sudah tak ada di sini.
“Nanti malam Papa akan bawa Tante Indri untuk makan malam di sini.”
Sendok yang tadinya akan kusuapkan ke dalam mulut terhenti di udara. Kutatap tajam Papa, namun beliau sama sekali tak terganggu dengan caraku menatapnya. Papa mungkin sudah tak peduli lagi padaku sehingga ancamanku pun tak beliau hiraukan lagi.
Sepulang dari rumah Dayu kemarin aku memang kembali menemui Papa.
Mengancam akan ke luar dari rumah ini jika Papa masih berkeras hati untuk menikah. Bukannya berdiskusi denganku, Papa malah melenggang pergi tanpa kata. Tak peduli aku yang sudah berteriak histeris meminta Papa untuk bicara padaku. Pendapatku benar-benar sudah tak dianggap Papa.
“Aku nggak bisa. Ada tugas kampus. Dan mungkin aku bakal nginap di rumah Dayu.”
“Kamu dan Dayu beda kampus. Kenapa harus nginap di rumahnya kalau memang ada tugas kuliah?”
Aku memilih diam. Meletakkan sendok dan bersiap untuk pergi ke kampus. Tak ada lagi minat untuk meneruskan sarapan yang rasanya sudah hambar. Bahkan tanpa berpamitan pada Papa, aku meninggalkan ruang makan.
Terserah jika Papa tak suka dengan sikap tak sopanku. Aku sedang melancarkan aksi protesku atas keputusan Papa. Walau rasanya percuma, karena sepertinya Papa juga tak lagi peduli.
Setiba di kampus, bukannya masuk ke ruang kuliah, aku memilih masuk ke perpustakaan. Hari ini aku tak berminat untuk mengikuti kelas. Dengan emosi dan isi kepala yang terpecah, aku tak yakin bisa mengikuti mata kuliah dengan benar. Masih untung kalau aku bisa tetap diam. Bagaimana jika tiba-tiba aku mengamuk dan mengacaukan seisi kelas untuk melampiaskan amarahku. Karena itu, aku sengaja meminjam beberapa buku dan memilih menghabiskan waktu dengan membaca. Entah sudah berapa lama aku larut dalam kegiatan membacaku hingga pesan masuk di ponsel mengalihkanku. Isi pesannya bertanya bagaimana kabarku dan memintaku untuk menghubunginya.
Aku tersenyum membaca rentetan pesan dari si cerewet satu itu. Segera aku berkemas untuk menemui Dayu di kampusnya.
Entah memang hari ini adalah kesialan untukku, karena mobilku tiba-tiba saja menabrak mobil yang ada di depan. Bunyi benturan yang cukup keras membuatku menggigit bibir. Sepertinya kerusakan yang kusebabkan tak main-main. Cepat- cepat kutepikan mobilku mengikuti si pemilik mobil di depan. Bergegas aku melepaskan seatbealt yang melekat untuk langsung menghampiri pemilik mobil. Saat aku baru keluar, seorang pria sedang beijongkok memperhatikan sisi samping belakang mobilnya yang kutabrak.
“Maaf, Pak. Saya nggak sengaja,” ucapku, takut-takut saat menghampiri si empunya mobil.
“Cukup parah,” gumam pria itu.
Saat ia berdiri, jantungku rasanya hampir copot. Pemilik mobil ini ternyata adalah pria yang kemarin malam hampir menabrakku. Dia memperhatikanku dari atas ke bawah. Membuatku tak nyaman seketika. Kuharap dia sama sekali tak mengingat wajahku. Lagipula kejadian itu kan saat malam hari. Bisa saja penglihatannya tak terlalu jelas.
“Kamu...”
“Saya minta maaf!” potongku cepat.
Pria itu memiringkan kepalanya. Ingin berucap, tapi tak ada kata yang keluar dari bibirnya.
“Berapa biaya perbaikan yang harus saya ganti rugi?” tanyaku langsung.
Walau aku belum tahu bagaimana nanti harus membayarnya, mengingat hubunganku dan Papa yang sedang dalam fase perang dingin.
Jika dulu aku bisa meminta apa pun pada Papa saat terlibat masalah, maka saat ini rasanya tak akan semudah itu.
“Kamu tahu kan biaya perbaikan mobil ini cukup mahal?”
Aku mengintip ke balik tubuh pria itu untuk melihat jenis mobil yang digunakannya. Seketika aku menelan ludah. Mobil milik pria ini jenis mobil mewah yang aku mimpi saja bisa memilikinya. Kalaupun bisa, Papa pasti tak akan sudi menghamburkan uang hanya untuk sebuah kendaraan yang fungsinya sama saja.
“Saya nggak tahu. Tapi, saya pasti akan berusaha bertanggung jawab,” suaraku memelan di akhir kalimat.
Pria berwajah campuran timur tengah ini tersenyum kecil.
Dalam hati aku berdoa semoga dia adalah malaikat baik hati yang dikirim Tuhan untuk tak mempersulitku. Tapi jika menilik realita, hanya ada satu dari seribu manusia yang bisa dengan mudah mengikhlaskan hal seperti ini.
“Berikan nomor handphone kamu. Nanti saya hubungi jika mobil saya sudah diperbaiki.”
Tuhan ternyata tak menjawab doaku. Dengan langkah gontai, aku kembali ke mobil untuk mengambil handphone. Menyebutkan nomornya pada pria tersebut yang langsung sigap menyimpan nomorku di ponselnya. Bahkan pria itu sengaja melakukan panggilan untuk memastikan aku memberikan nomor yang benar.
“Siapa nama kamu?”
“Hah?”
“Nama kamu? Tidak mungkin saya tidak memberi nama panggilan saat nanti saya menghubungi kamu.”
“Danika.”
“Baiklah, Danika. Nanti saya hubungi lagi.”
Tersenyum kecil, pria itu berpamitan. Mobil mewah milliknya meluncur mulus hingga menghilang dari pandangan mataku. Setelah kepergian pria itu, aku menghela napas panjang. Lega karena tak lagi berhadapan dengannya, tapi panik juga di saat bersamaan memikirkan bagaimana caranya aku mendapatkan uang untuk biaya ganti rugi. Dan sepertinya tak ada cara lagi selain menjatuhkan harga diri dan menyerah pada Papa. Hanya beliaulah satu-satunya penyokong keuangan yang kumiliki.
Pertemuan
Aku menyerah. Di sinilah akhirnya aku berakhir. Duduk manis di ruang makan dengan dua orang asing yang sebentar lagi akan jadi bagian dari keluarga kami. Tidak, aku tak sudi mengakui mereka sebagai bagian dari keluargku. Mereka bagian dari hidup Papa. Bukan aku. Papalah yang berkeras hati untuk membawa dua orang asing ini ke rumah kami. Dan sejak awal, aku sudah menunjukkan jelas bahwa aku tak pernah setuju dengan hubungan ini. Walau begitu aku berusaha untuk menghormati mereka karena Papa.
Wanita yang diperkenalkan Papa sebagai Tante Indri datang bersama anak perempuannya. Haninda, perempuan yang usianya hanya berbeda empat tahun dariku. Gadis itu cantik, sama seperti Mamanya, namun aku tetap tak suka. Aku tak suka mereka akan tinggal di rumah ini. Menggantikan segala kenangan tentang Mama. Ingin sekali aku berteriak sekerasnya pada mereka untuk pergi dari rumah ini, namun aku tak bisa. Semua karena aku butuh uang Papa.
Aku menceritakan kecelakaan yang menimpaku pada Papa. Meminta pada Papa untuk memberikan uang ganti rugi padaku bila nanti si pemilik mobil menghubungi. Papa terkejut, tapi beliau setuju. Tentu saja dengan syarat makan malam ini. Meski enggan, aku tetap harus menurut. Jika tak ingin Papa menarik bantuannya padaku.
“Oh, iya, Danika sudah kuliah semester berapa?” tanya Tante Indri mencoba mendekatkan diri padaku.
“Empat,” jawabku singkat.
Papa berdecak pelan. Kesal akan sambutanku pada Tante Indri yang mencoba mendekatkan dirinya padaku. Namun aku tak peduli. Meski tak ingin berlama-lama bersama mereka, tetap saja aku mencoba menghabiskan makan malamku. Bisa saja aku menghambur meninggalkan acara ini. Tapi kembali lagi, aku hanya anak yang tak memiliki kemampuan untuk memberontak pada Papa karena kehidupanku masih butuh sokongan materi darinya.
“Kalau nanti Tante dan Papa kamu menikah, Tante mohon kamu baik-baik sama Hanin, ya. Anak Tante ini pendiam. Enggak pintar bergaul.”
Aku tak menjawab. Hanya menggenggam lebih erat sendok dan garpu di kedua tanganku. Rasanya mataku memanas mendengar ucapan wanita ini. Tak bisakah dia menjaga perasaanku sedikit saja. Harusnya dia tahu sambutanku yang kurang baik saja sudah menjelaskan penolakan. Mengapa dia malah membahas perihal pernikahan.
“Tante dengar dari Papa kamu, katanya kamu belum merestui hubungan kami. Tapi, Tante minta untuk kamu kasih restu di pernikahan kami nanti. Bagaimanapun Tante dan Papa kamu saling mencintai...”
Kubanting sendok di tanganku ke atas piring. Mereka semua terkejut. Wajah Papa bahkan mengeras, tapi aku tak acuh. Telingaku sudah panas mendengar ocehan wanita itu. Apa dia begitu tak punya malu mengatakan hal seperti itu pada anak yang baru saja kehilangan Ibunya? Di mana nurani mereka semua?
“Danika!” bentak Papa.
“Memang siapa yang mau kasih restu? Asai Tante tahu, saya nggak setuju Tante nikah sama Papa. Sampai kapan pun saya nggak setuju. Kalian nggak punya malu, ya? Tega sekali kalian bersenang-senang di atas kesedihan saya? Tante sadar nggak, Tante itu murahan!”
“Danika, cukup!” Papa berteriak makin lantang
Aku memberikan tatapan menantang pada Papa. Namun yang membuatku terluka Papa justru memberi tatapan tak kalah tajam. Aku tahu apa yang kulakukan jauh dari kata sopan. Tetapi, aku ini putrinya. Putri satu-satunya. Apa rasa cinta Papa padaku sudah menghilang tak berbekas hanya karena rasa cintanya pada Tante Indri?
“Kamu jangan kurang ajar, ya!” ucap Papa tajam.
“Siapa yang lebih kurang ajar? Aku atau Papa yang justru sudah berselingkuh di belakang Mama bahkan semasa Mama masih ada?” balasku tak kalah lantang.
“Danika, selagi Papa masih punya batas kesabaran, berhenti. Minta maaf sama Tante Indri.”
Aku menatap Papa dan Tante Indri bergantian. Juga pada Haninda yang sejak tadi hanya berdiam menyaksikan pertengkaran kami. Sepertinya anak ini sudah memprediksi drama apa yang akan terjadi. Terlihat dari betapa tenangnya wajah Haninda. Tatapanku kembali pada Tante Indri yang terlihat terluka. Tapi, aku tahu itu hanya topeng karena sinar mata menantangnya jelas menunjukkan siapa perempuan ini. Wanita iblis tak tahu malu yang tega merusak rumah tangga orang lain. Minta maaf padanya? Jangan harap!
“Papa suruh aku minta maaf sama dia?” Telunjukku dengan berani mengarah pada Tante Indri. Keterkejutan mereka bertambah. “Jangan harap. Memang apa yang salah dari ucapanku? Perempuan terhormat nggak akan mau jadi perusak rumah tangga orang lain. Perempuan terhormat akan menjaga harga dirinya agar nggak dipandang rendah. Bukan yang dengan sukarela mau jadi perusak rumah tangga orang lain!”
Plak'.
Tamparan keras Papa membuatku bungkam. Pipiku memanas. Air mata juga sudah meluncur mulus dari kedua mataku. Tapi, bukan rasa sakit di pipi yang membuatku menangis. Melainkan sikap Papa yang dengan tega dan terang-terangan menamparku di depan orang lain. Aku memandang tajam Papa dengan mata basah.
“Papa tampar aku?” tanyaku dengan nada terluka yang tak bisa kusembunyikan.
Papa seakan baru tersadar dari apa yang dilakukannya padaku. Mata beliau membelalak sambil memandangi telapak tangannya yang tadi menghampiri pipiku. Papa langsung menurunkan tangannya, lalu menatap ke arahku. Pandangannya menyiratkan rasa bersalah.
“Danika...,” panggil Papa dengan nada lemah.
Papa berusaha menggapaiku, namun aku telanjur sakit hati. Saat Papa berusaha menarikku ke dalam rengkuhannya, aku justru berlari menjauh. Sudah cukup rasanya aku menahan perasaan. Saat ini aku tak ingin dekat-dekat Papa.
“Danika!” teriak Papa saat aku sudah berlari ke kamarku. Dalam tangis, aku membanting pintu kamarku dan
menguncinya. Aku tak ingin Papa masuk. Aku tak ingin siapa pun menggangguku. Saat ini aku hanya ingin menangisi nasib burukku. Mungkin perempuan jahat itu tengah tertawa di sana karena berhasil menghancurkan hubungan seorang Ayah dan anak perempuannya. Tapi, aku bersumpah itu tak akan berlangsung lama. Aku harus bangkit. Aku harus menggagalkan pernikahan atau hubungan apa pun yang ingin diresmikan Papa dan perempuan itu. Tak ada yang boleh menggantikan posisi Mama di rumah ini. Tidak perempuan itu, tidak siapa pun. Hanya akan ada Mama sebagai istri Papa dan Nyonya rumah ini.
Kurenggut pigura Mama di atas nakas. Memandang wajah cantik Mama yang begitu bercahaya di foto tersebut. “Aku janji, Ma, nggak akan ada yang bisa menggantikan posisi Mama di rumah ini. Aku bakal menggagalkan rencana pernikahan Papa dan perempuan itu. Aku janji!” ucapku, penuh tekad sembari memeluk pigura berisikan foto Mama.
***
Hari berganti, namun hubungan Papa denganku justru semakin kaku dan menjauh. Padahal aku mengharapkan Papa bicara padaku. Meminta maaf atas sikapnya. Namun, kenyataan yang kudapat justru Papa seolah lupa pada perbuatannya padaku. Entah apa yang teijadi. Mungkin perempuan itu berhasil mencuci otak Papa agar tak berbicara padaku. Tapi aku tak akan membiarkan dia menang. Hari ini juga kuputuskan untuk menemui Papa di kantornya selepas kuliahku.
“Papa ada, Mbak?” tanyaku pada Desi, Sekretaris Papa. “Bapak sedang ada tamu, Mbak,” balas Desi dengan nada
segan padaku.
“Siapa tamunya?”
Belum sempat Desi menjawab, pintu ruangan Papa terbuka. Mataku seketika terbuka lebar. Wanita tak tahu malu itu justru dengan entengnya menggandeng lengan Papa. Bahkan Papa tanpa sungkan membiarkan perempuan tersebut melakukannya. Seolah menunjukkan pada semua orang bahwa sebentar lagi ia akan menjadi Nyonya dari Tuan Randa Wijaya. Tanganku mengepal erat, namun mereka tanpa sungkan masih tak melepas rangkulan.
“Ada apa kamu datang?”
Pertanyaan yang membuat kepala dan hatiku panas. Apa aku, yang anaknya sendiri, tak boleh berkunjung ke kantor Papa. Sedang perempuan itu yang bukan siapa-siapa bebas melenggang ke sana kemari di kantor ini?
“Memangnya salah kalau aku mau ketemu Papa?” jawabku sekenanya.
“Kalau begitu kita makan siang bertiga. Ada yang ingin Papa sampaikan sama kamu.”
Papa dan Tante Indri berjalan lebih dulu. Sedang aku mengekor di belakang mereka. Bisa kulihat dari ekor mata, Desi melayangkan tatapan prihatin padaku. Mungkin semua orang yang melihat kami bertigapun akan melayangkan tatapan yang sama padaku. Bagaimana tidak, belum lagi mengeras kubur Mama, Papa sudah dengan leluasanya membawa perempuan lain. Oh, atau mungkin memang seisi kantor sudah tahu mengenai hubungan mereka, namun semua bungkam karena tak ada yang berani menginterupsi atasan mereka.
Papa bersama Tante Indri menggunakan mobil kantor. Sedang aku mengikuti mereka dari belakang. Aku tak sudi satu mobil dengan perempuan jahat itu. Jadi lebih baik jika aku mengendarai mobilku sendiri. Hingga mobil yang ditumpangi Papa berhenti di sebuah restoran Jepang yang tak jauh dari kantornya.
Kami turun beriringan dan langsung menempati meja yang ditunjukkan Pramusaji. Setelah menyebutkan pesanan, Papa mulai memasang wajah seriusnya. Aku tahu jika sudah begini pasti ada hal penting yang ingin Papa sampaikan. Dalam hati aku berdoa semoga bukan apa yang kupikirkan.
“Danika, Papa mau kasih tahu kalau Papa dan Tante Indri sudah memutuskan kalau kami akan segera melangsungkan pernikahan.”
Tanganku mengerat di bawah meja. Mataku juga sudah memanas. Hany a dengan satu kalimat rasanya seluruh dunia runtuh di atas kepalaku. Kutatap Papa dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Papa serins?” tanyaku dengan suara bergetar.
“Papa serius. Papa harap kamu bisa menerima ini.” Kualihkan tatapanku pada wanita di samping Papa.
Wajahnya tenang, tak menunjukkan raut apa pun. Namun, aku tahu dalam hatinya perempuan ini pasti bersorak kegirangan. Rasanya aku sudah tak sanggup lagi. Langsung saja aku berdiri dan berlari pergi. Walau kudengar Papa berusaha memanggilku, namun tak ada tindakan yang dilakukan pria tersebut untuk menghentikanku. Bahkan mengejarku pun tidak. Apa sebegitu berharganya Tante Indri hingga Papa dengan sangat tega mengabaikanku.
Kulajukan mobilku dengan kecepatan tinggi. Berharap Tuhan mencabut saja nyawaku saat ini juga. Namun, tak ada yang teijadi. Aku berhasil melewati jalanan dengan selamat hingga ke tempat yang kutuju. Kulangkahkan kakiku menuju gundukan tanah di tempat peristirahatan Mama. Aku bahkan tak peduli jika mobilku terparkir sembarangan. Saat ini aku butuh Mama.
Begitu tiba di makam Mama, tangis tak bisa kubendung lagi. Kutumpahkan semua sesak di dada. Tanpa kata hanya berupa isakan pilu. Entah sudah berapa lama aku menangis hingga kurasakan tepukan di pundakku. Dengan mata basah, kulihat Dayu sudah berdiri di hadapanku. Tanpa kata sahabatku itu langsung memelukku. Kami menangis bersama. Entah dari mana Dayu bisa tahu di mana aku berada, namun aku bersyukur ada dia.
“Papa, Yu...” isakku di pelukannya.
Dayu mengangguk sembari menepuk-nepuk pundakku. “lya, aku tahu.”
“Kenapa Papa tega sama aku, Yu...”
Aku tak tahu bagaimana caranya. Mungkin terlalu lelah menangis hingga aku terlelap. Karena saat membuka mata, aku sudah berada di kamarku. Kepalaku pusing, namun kupaksa untuk bangun. Saat sudah berhasil bangun dari posisi berbaringku, pintu kamar terbuka. Papa masuk dengan wajah yang masih sama seperti saat kami berada di restoran.
“Danika...”
“Kalau Papa cuma mau bicarain soal pernikahan sama Tante Indri, lebih baik nggak usah. Danika nggak mau tahu.”
“Danika, belajarlah bersikap dewasa, Nak.”
“Dengan menerima semua ini? Papa pikir apa yang kalian lakukan juga adalah salah satu bentuk dari sikap dewasa?” sindirku. Aku tak peduli lagi perihal sopan santun. Papa terlihat kehabisan kata untuk membantahku. “Lakukan apa yang mau Papa lakukan. Toh, percuma aku menentang. Pada akhirnya Papa tetap akan nikah dengan Tante Indri, kan? Apa pun pendapatku Papa nggak akan pernah peduli, kan? Jadi, terserah Papa mau apa.”
“Danika, Papa mohon...”
“Tolong tinggalin aku sendiri, Pa. Kepalaku pusing.” Tanpa peduli seperti apa reaksi Papa, aku memilih untuk
kembali bergelung dalam selimut. Menumpahkan kembali tangis yang seakan tak ada habisnya. Aku bertanya-tanya mengapa Tuhan memberikan cobaan sesulit ini untukku. Rasanya aku ingin menyerah. Namun, ucapan Mama yang selalu terpatri di kepalaku membuatku untuk tetap bertahan. Mama pernah mengatakan bahwa aku adalah anak yang kuat. Sesulit apa pun nanti jika beliau tak ada di sampingku, aku harus terus berdiri tegak. Inikah maksud nasihat Mama sebelum beliau pergi? Bahwa aku akan menghadapi badai dengan Papaku sendiri? Tapi apa pun itu, saat ini yang harus kulakukan hanya menenangkan diri. Agar esok aku bisa berdiri dengan lebih kokoh menghadapi apa pun yang terjadi.
Semua Berubah
Tuhan sedang bermain-main denganku. Pernikahan yang kutentang habis-habisan akhirnya terlaksana juga. Pada akhirnya tak ada yang bisa kulakukan selain merutuk dalam hati. Menyumpah serapah agar kehidupan pernikahan Papa dan Tante Indri tak beijalan lancar. Meski tak mewah, tapi pesta pernikahan yang dihadiri oleh rekan dan relasi bisnis Papa cukup mengukuhkan posisi Tante Indri sebagai Nyonya Wijaya selanjutnya. Aku hanya bisa memandang nanar pada senyum bahagia yang ditampilkan perempuan ular itu dari sudut ruangan. Tak berminat untuk ikut serta dalam perayaan mereka.
Sedang di sudut lainnya aku melihat Haninda, putri Tante Indri. Kulihat gadis itu pun sama tak bahagianya denganku. Mungkin dia sadar yang dilakukan Mamanya begitu memalukan. Menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang. Aku turut prihatin pada nasibnya yang tak jauh berbeda denganku. Tapi, bukan berarti aku akan berdamai dengan anak itu. Gadis remaja yang masih duduk di bangku SMA itu tetap bukan bagian dariku. Biarkan kami menjalani hidup masing-masing tanpa turut campur.
Muak berada di dalam ruangan yang hanya bisa membuatku memendam amarah, aku memutuskan pergi. Mobil kulajukan dengan kecepatan di atas rata-rata. Malam ini aku ingin melampiaskan dengan berburu adrenalin. Tak peduli jika aku harus bertaruh nyawa. Atau bahkan memang aku tak butuh nyawaku lagi. Hingga dering ponsel menyebalkan mengganggu kesenanganku. Aku berdecak kesal, dengan terpaksa menghentikan laju mobilku di tepi jalan. Semoga saja si penelepon memiliki hal penting. Jika tidak, maka aku bersumpah dia akan mati berdiri setelah menghubungiku.
Dahiku mengernyit saat menemukan nomor yang tak dikenal menghubungiku. Setelah beberapa saat kubiarkan untuk menunggu reaksi si penelepon, akhirnya aku menjawab panggilannya.
“Halo?” sapaku dengan nada bingung.
“Danika, betuZ?”Suara seorang pria terdengar di ujung sana.
“lya, ini siapa?”
“Say apemilik mobil yang waktu itu kamu tabrak. ” Aku menggigit bibirku. Gila! Bagaimana aku bisa lupa.
Lagipula ini sudah lewat dari tiga minggu, pria itu tak mengabarkan apa pun padaku perihal mobilnya. Jadi, kupikir masalah itu sudah berlalu. Lalu mengapa sekarang dia malah menghubungiku?
“Oh. Maaf saya lupa,” ujarku canggung. “Lagipula kenapa baru sekarang Anda menghubungi. Saya pikir masalahnya sudah selesai.”
Terdengar tawa samar di ujung sana. Membuat dahiku makin mengerut dalam. Apa-apaan pria ini?
“Oh, maaf, itu salah saya. Memang saya juga sedikit lupa dengan mobil itu. ”
Aku makin bingung. Jika dia sendiri lupa, mengapa sekarang kembali menghubungiku? Seketika timbul penalaran di kepalaku. Apa pria ini sengaja? Apa ini salah satu modus pria untuk mendekati wanita? Jika dia pikir bisa semudah itu mendekatiku maka dia salah besar. Aku bukan orang yang mudah bergaul dan gampang tertarik dengan orang lain, maka aku bahkan selalu membentengi diri dengan orang lain jika aku tak menginginkannya.
“Oke. Jadi, berapa biaya yang harus saya bayarkan?” Aku tak ingin berbasa-basi.
Pria di ujung telepon sana berdeham sejenak. “Bagaimana jika kita bertemu? ”
Aku mencibir dalam diam. Sudah jelas sekali pria ini tipe yang ingin mencari alasan. Tapi sayangnya aku sedang tak ingin bermain-main.“Maaf, bisa kirimkan saja tagihan dan nomor rekeningnya? Saya nggak punya waktu.”
Terdengar helaan napas. Seperti desahan kecewa. Makin membuatku penasaran. Mengapa pria ini sangat ingin bertemu denganku?
"Ta sudah, kalau begitu kapan-kapan saja. Selamat malam, Danika.”
Panggilan diputus sepihak. Aku bahkan belum mengucapkan salam apa pun. Dasar pria aneh. Tapi aku tak mau ambil pusing. Kulajukan kembali mobilku dengan kecepatan yang sama tingginya seperti tadi. Berteriak di malam hari melampiaskan amarahku. Hingga aku kelelahan sendiri dan berakhir di depan rumah Dayu. Kukeluarkan ponselku dan menghubungi Dayu. Mengatakan padanya aku berada di depan rumahnya. Tak lama seseorang mengetuk jendela mobilku. Kulihat Dayu sedang melayangkan tatapan
cemasnya padaku.
“Are you okey? ” tanya Dayu hati-hati.
Kupeluk erat Dayu dan langsung menumpahkan tangisku padanya. Hanya dia yang saat ini kumiliki. Tempatku bisa bersandar entah untuk berapa lama. Rasanya menyakitkan saat aku menyadari bahwa Papa tak bisa lagi menjadi tempatku menopangkan segalanya. Mungkin Papa masih akan terus menafkahi. Namun hanya sebatas materi. Aku tak butuh itu. Aku lebih butuh keberadaan dan kasih sayang Papa. Bahkan tanpa materi berlimpah pun kurasa aku bisa hidup dengan damai. Hanya Papa dan aku. Tapi sekarang tidak lagi. Aku bukan lagi prioritas dalam hidup Papa. Dan kenyataan itulah yang paling kutakutkan. Apalagi dengan hubunganku dan Tante Indri yang sejak awal tak baik. Kini, aku hanya punya Dayu. Hanya sahabatku ini yang masih ada di sisiku.
Jangan tanyakan ke mana keluarga dari pihak Mama dan Papa, karena mereka semua tak lagi ingin ambil pusing dengan kehidupan orang lain. Masing-masing dari mereka sudah menjadi manusia egois yang tak butuh orang lain dan tak ingin membantu orang lain. Semua kenyataan yang kuhadapi membuatku mau tak mau harus belajar untuk menjadi pribadi yang lebih kuat dan jangan terlalu menggantungkan hidup pada orang lain.
“Masuk, yuk. Kamu butuh istirahat.”
Handayu membawaku ke rumahnya. Saat kami melewati ruang keluarga, ada Ayah dan Ibu Dayu yang masih bersantai sembari menonton televisi. Mereka tahu bahwa hari ini Papa menikah lagi. Namun, mereka tak merasa harus datang karena nyatanya Papa tak memberikan undangan apa pun untuk mereka. Memang hanya Mama yang berhubungan baik dengan kedua orang tua Dayu. Sedang Papa hanya sekadar kenal mereka sebagai orang tua dari sahabat anaknya. Tanpa pernah mau menjalin hubungan lebih dekat lagi. Hal yang sangat kusayangkan sejak dulu. Karena itulah, saat Papa menikah lagi, ia tak merasa repot untuk mengirimkan undangan apa pun pada kedua orang tua Dayu.
“Papamu tahu kamu pergi?” tanya Dayu lagi saat kami sudah berbaring di ranjangnya.
“Mungkin bahkan dia nggak peduli anaknya mau di mana, Yu.”
“Jangan ngomong begitu. Gimanapun kamu anaknya, Nika.”
“Kalau aku anaknya, harusnya dia mikirin perasaanku, Yu. Bukan tetap memilih nikah sama perempuan itu.” Suaraku tertahan saat mengatakannya.
“Aku nggak tahu harus gimana. Tapi, Nika, mungkin memang Papa kamu butuh seseorang untuk mendampinginya. Dan mungkin seseorang itu, ya, memang Tante Indri. Gimanapun kan Papamu pasti ingin ada seorang pendamping di hari tuanya.”
Aku menatap kesal Dayu. “Aku tahu, Yu. Aku juga nggak akan melarang jika Papa ingin menikah lagi. Tapi bukan dalam waktu sesingkat ini,” beberku. “Dan kamu juga pasti nggak lupa kan dengan yang dulu aku bilang. Perempuan itu dan Papa bahkan mungkin sudah berhubungan saat Mama masih ada.”
Handayu tampak merasa bersalah. Aku tahu tak bisa menyalahkannya. Tapi tetap saja aku masih belum bisa menerima semua ini. Aku berdoa agar kehidupan pernikahan Papa dan perempuan itu tidak beijalan mulus.
Baik aku dan Dayu akhirnya memilih diam dengan pikiran kami masing-masing. Hingga pekatnya malam mengantarkan kantuk di kedua mata dan membiarkan tubuh kami jatuh terlelap. Menyambut mimpi yang sekiranya bisa menjadi pengobat untuk segala kegundahan hari ini.
Sebulan berlalu dan rumah tangga Papa juga Tante Indri masih beijalan biasa saja. Mereka terlihat bahagia. Tak peduli ada hati yang masih berdarah-darah. Tak peduli dua anak perempuan yang memilih memendam perasaan masing- masing. Bahkan Papa seolah lupa dia sudah menggoreskan Iuka tajam di hati putrinya. Beliau masih asyik berbahagia dengan istri barunya. Walau Papa tak melupakan tanggung
jawabnya terhadapku, namun tetap saja aku tak bisa menerima keadaan ini.
Haninda pun sama sekali tak menunjukkan reaksi apa pun. Putri semata wayang Tante Indri mungkin memiliki perasaan yang sama denganku. Namun, gadis remaja itu tak bisa melakukan perlawanan. Karena dari cerita yang kudengar, hanya Tante Indri yang anak itu punya. Bahkan Ayah kandungnya sendiri tak jelas keberadaannya di mana. Aku bahkan tak yakin Haninda lahir dari hubungan yang sah. Mengingat bagaimana kelakuan jahat Ibunya.
“Oh, ya, Mas, nanti malam jangan lupa, ya. Pesta perayaan pernikahan temanku.” Tante Indri bicara di sela acara sarapan kami.
“lya. Pokoknya kamu tunggu Mas pulang.”
Aku dan Haninda hanya diam mendengarkan celoteh kedua orang tua tersebut. Kami tak peduli apa yang mereka inginkan.
“Mas...” Tante Indri melirik sejenak ke arahku, “tapi aku butuh gaun barn.”
Aku langsung menggertakkan gigiku. Perempuan tak tahu malu ini. Sudah berapa banyak uang Papa yang digunakannya. Bahkan seminggu lalu dia juga meminta pada Papa untuk membiayai perbaikan mobilnya. Dan Papaku yang telah tersihir oleh perempuan benalu ini akan dengan senang hati mengangsurkan kartu kreditnya. Kulirik tajam Tante Indri. Tapi seperti biasa, parasit satu ini kembali tak peduli. la sudah merasa di atas angin sejak menyandang status sebagai Nyonya Wijaya.
“Pa...” ucapku sebelum Papa beranjak dari kursi meja makan.
“Ada apa?”
“Aku butuh uang.” Kulihat Tante Indri mengetatkan bibirnya. Memang kenapa jika aku meminta uang pada Papa. Itu hakku. Tak ada hubungannya dengan perempuan itu.
“Untuk apa Danika?”
“Papa nggak lupa kan dengan pemilik mobil yang aku tabrak?”
Papa tampak berpikir, lalu beliau mengangguk dan langsung mentransfer sejumlah uang ke rekeningku. Setelahnya Papa berpamitan pada kami semua dengan Tante Indri yang mengantar ke depan pintu.
Padahal itu hanya alasanku saja meminta uang karena nyatanya pemilik mobil yang kutabrak tak pernah lagi menghubungiku. Aku hanya ingin membuat Tante Indri kesal saja. Dia harus sadar posisinya. Walau sudah menjadi istri Papa, tapi dia tak akan bisa menggeser posisiku sebagai putri tunggal Randa Wijaya.
Tak ingin berlama-lama di rumah, aku menyudahi sarapanku. Begitu juga Haninda yang siap untuk berangkat ke sekolahnya. Sejak menyandang status sebagai putri tiri Papa, Haninda pun mendapat fasilitas yang sama denganku. Gadis ini memiliki kendaraan dan sopir pribadi yang siap mengantar dan menjemputnya ke manapun. Huh, betapa bahagianya mereka. Tapi, aku jelas tak akan membuat semua mudah bagi Ibu dan anak tersebut.
“Danika...,” panggil Tante Indri sebelum kakiku keluar dari rumah.
“Ada apa?” tanyaku tak ingin berbasa-basi.
“Benar uang sebanyak itu untuk membayar ganti rugi?” “Memangnya Tante pikir aku mau bohong ke Papa?”
jawabku ketus. “Lagipula mau aku minta uang berapa pun ke Papa, itu hakku. Aku putri Papa. Tante nggak punya hak untuk membatasi apa yang menjadi hakku.”
Aku meninggalkan Tante Indri yang wajahnya berubah tak percaya. Mungkin dia pikir aku akan jadi anak manis yang tak bisa berbuat apa pun, tapi dia salah. Tunggu saja apa lagi yang bisa kulakukan sebagai anak satu-satunya Randa Wijaya.
Tak banyak kelas yang kuikuti hari ini. Jadi begitu kelas usai, aku segera menghubungi Dayu. Sayangnya sahabatku itu memiliki jadwal hingga pukul dua siang nanti. Padahal aku ingin bersantai bersama Dayu. Karena tak mungkin menunggu Dayu hingga beberapa jam ke depan, kuputuskan untuk menghibur diriku sendiri. Dan pilihanku jatuh pada mal. Apa lagi memangnya yang bisa kulakukan seorang diri jika bukan menjelajah di pusat perbelanjaan sambil mencuci mata. Karena itu, langsung kulajukan mobil menuju salah satu mal terdekat dari kampus.
Kuputuskan untuk makan siang lebih awal. Dilanjutkan dengan ke toko buku. Mencari sesuatu yang bisa mengusir kebosanananku. Sambil melihat-lihat buku apa yang kubutuhkan, aku juga menumpang baca buku-buku yang segelnya sudah terlepas. Mengambil posisi di pojok ruangan, kududukkan diriku dengan sebuah buku yang menarik perhatianku. Sejenak duniaku teralih ke dalam buku yang kubaca. Sampai seseorang tak sengaja menyenggol kakiku yang menjulur.
“Maaf...,” ucapnya seraya menunduk ke arahku.
Mata kami bertemu dan sama-sama terpaku. Dia lagi. Pria yang beberapa waktu lalu selalu bertemu denganku. Pria itu tersenyum simpul. Sedang aku meneguk liurku. Tak siap berhadapan dengannya saat ini. Atau bahkan aku memang tak siap bertemu dengannya sampai kapan pun.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya sedikit cemas. Otomatis tubuhku langsung menegak. Berdiri
berhadapan dengannya. Entah kenapa jantungku malah bertalu tak menentu. Padahal pria itu hanya bertanya padaku. Tapi entahlah, ada sesuatu yang membuatku tak ingin dekat- dekat dengannya.
“Danika?” Bahkan saat ia menyebut namaku, aku terlonjak seketika. “Kamu baik-baik saja?”
Entah setan apa yang merasuki, aku malah melemparkan buku yang kupegang sembarangan, kemudian berlari menjauh. Tak kupedulikan teriakan pria itu yang memanggilku. Padahal aku memilik utang yang harus kuselesaikan dengannya.
Entah sudah berapa jauh aku darinya. Saat berhenti di basementtempat mobilku terparkir, napasku sudah nyaris putus. Tak seharusnya aku berlari. Namun, itulah hal satu- satunya yang terpikir oleh otakku. Hingga dering ponsel kembali mengagetkanku. Kulihat nomor yang tak dikenal muncul di lay ar. Walau tanpa nama, tapi aku tahu siapa pemilik nomor tersebut. Cepat-cepat kumatikan ponsel dan bergegas masuk ke mobil. Melajukan segera, menjauh sejauh- jauhnya dari dia yang ingin kuhindari.
Keputusan Besar
Seiring berjalannya waktu aku semakin tak betah di rumah. Keberadaan Tante Indri dan putrinya membuatku muak. Enggan menghabiskan waktuku berlama-lama di rumah. Bahkan sering kali aku pulang hingga larut malam. Membuat Papa sering menegurku. Tentu saja teguran Papa tak kupedulikan. Karena sejak memiliki Tante Indri dan Hanin, seolah kehadiranku tak berarti lagi. Papa bahkan lebih sering mengajak Hanin dan Tante Indri menghabiskan waktu bersama tanpa mengikutsertakan aku. Ingin marah, namun aku tahu hasilnya tak akan ada. Papa seperti lupa aku masih putrinya.
Ingin rasanya aku pergi jauh dari rumah ini. Tapi kembali lagi aku tak bisa membiarkan Tante Indri menang dan menguasai rumah ini sepenuhnya. Ini rumah yang penuh kenangan akan Mama. Aku tak bisa begitu saja membiarkan rumah ini jatuh ke tangan perempuan yang sudah merusak keluargaku seperti itu.Dan untuk menghabiskan waktu, aku lebih banyak bermain di luar. Entah itu ke mal atau ke mana saja. Yang pasti tempat yang bisa membuatku melupakan betapa malangnya hidupku. Bisa saja aku menghabiskan sepenuh waktu dengan Dayu. Namun aku juga harus sadar, Dayu juga punya kepentingan yang lain. Walau gadis itu tak akan keberatan menghabiskan waktunya denganku. Namun aku tak ingin menjadi egois dengan memonopoli waktu yang dimiliki Dayu hanya untukku.
“lya, nanti aku bilangin Mas Randa untuk datang. Kamu nggak usah khawatir.”
Aku mendengar selentingan percakapan yang dilakukan Tante Indri melalui sambungan telepon. Tadinya aku akan beranjak langsung ke kamar, tapi seketika menghentikan langkah. Berdiri di jarak yang cukup aman untuk mendengar pembicaraan yang dilakukan Tante Indri. Memang itu terkesan tak sopan, tapi aku tak bisa menahan diri.
“Hah? Soal itu nggak usah khawatirlah. Mas Randa pasti nurutin mauku. Kemarin saja aku minta uang lebih untuk belanja tas, Mas Randa langsung kasih.”
Tanganku seketika mengepal. Wanita tak tahu malu itu memang benar-benar memanfaatkan Papa. Menjadikannya pundi-pundi uang. Tak peduli bahwa Papa harus bekeija keras demi mengumpulkan tiap Rupiah yang saat ini dia bisa nikmati. Aku masih terus mendengarkan hingga satu kalimat Tante Indri yang membuat darahku mendidih. Wanita tak tahu malu itu malah dengan gampangnya ingin menjual perhiasan peninggalan Mama.
“Jangan coba-coba!” bentakku yang langsung menunjukkan diri. Tante Indri nampak terkejut hingga buru- buru mematikan sambungan telepon.
“Apa maksud kamu, Danika?”
“Enggak usah berlagak bego. Tante mau jual perhiasan Mama? Aku nggak bakal biarin itu. Siapa Tante berani utak- atik yang bukan hak Tante?”
Wajah Tante Indri pias seketika. “Kamu salah sangka, Danika. Tante nggak berniat seperti itu...”
“Telingaku masih berfungsi dengan baik. Tante boleh memonopoli Papa, tapi jangan harap untuk bisa menyentuh apa pun yang menjadi milik Mama!”
“Danika, kamu...”
“Enggak usah ngeles. Perempuan kayak Tante memang nggak punya harga diri. Enggak tahu malu!”
Plakl
Satu tamparan dari Tante Indri mendarat mulus di pipiku. Perih, tapi aku tak tinggal diam. Aku membalas tamparan Tante Indri dengan lebih keras hingga wajah perempuan itu memerah juga.
“Jangan berani-berani nyentuh aku dengan tangan kotor Tante!”
Wajah Tante Indri makin memerah. Aku tahu wanita ini sudah tak bisa menyembunyikan amarahnya. Bahkan tatapan matanya yang tajam menunjukkan wanita ular ini sudah tak bisa lagi menyembunyikan jati diri sesungguhnya.
“Kamu berani sama Tante, ya? Kamu tahu, Tante bisa dengan mudah membuat kamu ditendang dari rumah ini!”
Oh, dan ular ini sudah menunjukkan wajah aslinya. Tapi jangan harap dia bisa membuatku takut. Sudah cukup rasa
sakit yang mereka timbulkan untukku. Sekarang aku tidak akan tinggal diam.
“Tante pikir aku takut? Bahkan kalau Papa memang mau menendang aku keluar sekarang juga, aku nggak akan takut. Apa Tante pikir selamanya bisa menikmati kebahagiaan dengan cara kotor seperti itu?” balasku tak kalah sengit.
“Jaga ucapan kamu, Danika.”
“Tante yang harus tahu diri. Tante bangga jadi perempuan murahan?”
Tante Indri begitu terkejut saat aku dengan lantangnya bisa mengeluarkan kalimat itu. Aku tahu itu kasar, tapi aku tak peduli. Perempuan itu harus sadar dengan posisinya. Tak akan selamanya ia bisa mendapatkan apa yang ia mau. Hingga sebuah teriakan mengalihkan perhatian kami berdua.
“Danika!”
Aku dan Tante Indri sama-sama menoleh. Papa sudah berdiri dengan wajah merah padam. Tanpa bisa dicegah, jantungku berdetak cepat. Sedang Tante Indri mengulum
senyum sumirnya. Terlebih Papa beijalan ke arah kami berdua.
“Mas...” Sang Ratu drama mulai beraksi. “Aku tahu aku memang bukan Ibu pengganti yang baik untuk Danika, tapi aku nggak menyangka kalau Danika begitu bencinya padaku.”
Mataku memandang nanar pada Papa dan Tante Indri. Sang ular begitu lihai memainkan perannya. Sedang pria bodoh yang harus tetap kuakui sebagai Ayah begitu percaya dengan wajah penuh dusta istri barunya. Aku benar-benar muak dengan mereka.
“Danika, Papa nggak mengharap kamu bisa menerima Tante Indri sebagai Mama kamu. Tapi paling tidak, hormati dia sebagai istri Papa!” ucap Papa tegas.
“Hormat? Sama perempuan seperti ini? Mimpi!”
“Danika!” tangan Papa mengepal erat karena jawabanku. Aku sudah telanjur menumpahkan semua. Jika memang ini akhirnya, maka aku siap untuk menghadapinya.
“Jangan harap. Sampai mati pun aku nggak bakal hormat sama perempuan ini. Manusia akan pantas dihormati
jika mereka memang pantas mendapatkannya. Tapi dia...” aku menunjuk dengan lancang ke arah Tante Indri, “enggak sampai kapan pun.”
“Jangan uji kesabaran Papa.”
“Memang Papa mau apa? Mau nampar aku lagi?” tantangku.
Papa menghela napas kasar. “Kalau kamu memang nggak bisa lagi diatur, silakan angkat kaki dari rumah ini.”
Aku menatap tak percaya pada Papa. Dengan mudahnya dia mengusir anak satu-satunya ke luar dari rumah ini. Rumah di mana aku lahir dan bertumbuh. Rumah dengan segala kenangan Mama. Semua hanya demi kebahagiaan dunia semata. Dan semua hanya demi perempuan di samping Papa yang saat ini tak bisa menyembunyikan sinar bahagia di matanya.
Aku menatap tajam pada Tante Indri. Beralih pada Papa yang kini memalingkan wajahnya. Aku sedih dan kecewa, itu tak bisa dimungkiri. Namun lebih dari itu, aku tak akan menjilat ludahku sendiri. Seperti yang tadi kulontarkan pada Tante Indri bahwa aku tak takut terusir dari rumah ini. Maka akan kubuktikan pada mereka betapa kuatnya aku karena Iuka yang mereka torehkan.
“Ini keputusan Papa?” tanyaku dengan nada bergetar. Bukan sedih, hanya menahan amarahku akan sikap Papa.
“Kamu yang memutuskan,” jawab Papa masih juga enggan menatapku.
Aku menatap Papa nanar. “Bukan aku yang memutuskan, tapi Papa.”
Aku melangkah menuju kamar. Kubanting pintu dengan sekuat tenaga. Jika Papa pikir aku takut dengan ancamannya, maka Papa salah. Kukeluarkan koper dari lemari dan mulai mengemasi pakaian. Setelah mengemasi barang yang kuperlukan, aku kembali ke ruang keluarga. Papa terkejut
melihatku datang dengan sebuah koper. Mungkin beliau tak menyangka jika putrinya berani mengambil tindakan seperti ini.
“Danika...”
“Ini yang Papa man, kan? Baik, aku sanggupi. Tapi aku akan bawa mobil yang Papa dan Mama hadiahkan sebagai hadiah di ulang tahunku. Mobil itu sudah jadi hakku.”
“Danika, kamu...”
“Selamat tinggal, Pa.”
Tanpa menunggu Papa bicara lagi, aku melangkah pergi. Mungkin Tante Indri sudah bersorak girang di dalam hatinya. Saat akan membuka pintu, aku berpapasan dengan Haninda yang baru kembali dari sekolah.
“Kak...” sapanya. la terperanjat saat melihatku menenteng koper.
Aku tak memedulikannya. Kulanjutkan langkah. Tepat ketika sudah berada di luar rumah, sejenak aku berbalik menatap bangunan besar di belakangku. Rumah yang menjadi saksi segala kebahagianku. Namun kini tak lagi, karena setelah aku melewati gerbang tersebut, artinya aku akan meninggalkan semua. Berat harus meninggalkan semua kenangan tentang Mama di rumah ini, tapi aku harus. Aku akan membuktikan pada Papa, bahwa ia sudah keliru dalam memilih kebahagiaannya. Dan sampai kapan pun aku tak akan kembali ke rumah ini. Mungkin aku akan kembali, tapi hanya untuk menemui Papa sebagai waliku nanti. Kecuali... Papa sendiri yang memintaku kembali ke rumah ini setelah beliau menyadari kesalahannya.
Dayu dan kedua orang tuanya menatapku tak percaya ketika tiba di rumah mereka bersama koperku. Terlebih saat kuceritakan apa yang teijadi antara aku dan Papa. Mereka semakin tak percaya bahwa Papaku tega berbuat seperti itu. Tapi melihat aku yang keluar dari rumah dengan berani, barulah akhirnya mereka memahami segala kesulitanku.
Beruntung aku memiliki Dayu. Tepat setelah keluar dari rumah, aku bingung harus ke mana. Dayu lah satu-satunya tempatku berlindung saat ini. Aku memohon izin padanya dan kedua orang tuanya untuk menginap beberapa waktu hingga aku mendapatkan tempat yang layak untuk tinggal. Tentu saja dengan senang hati mereka tak menolak. Bahkan Tante Nida memintaku untuk tinggal saja bersama mereka. Tapi aku menolak. Aku tak ingin merepotkan mereka. Lagi pula aku harus belajar mandiri. Tak boleh terlalu bergantung dengan orang lain.
“Jadi, kamu sudah dapat gambaran bakal gimana hidupmu ke depan, Ka?” tanya Dayu kala kami sudah berbaring di ranjangnya.
“Belum. Tapi yang pasti, aku harus cari kontrakan dulu. Mungkin untuk setahun ke depan biar aku nggak pusing.”
“Biayanya? Biaya sewa rumah nggak murah, Ka. Terus selanjutnya mau gimana setelah kamu dapat kontrakan? Gimana dengan makan, kuliah kamu?”
Aku menatap Dayu dalam. Aku tahu dia sangat khawatir. Tapi, aku akan buktikan pada Dayu bahwa aku baik-baik saja. Bahkan tanpa hidup mewah seperti biasanya. Aku memang terbiasa mendapatkan kemudahan, tapi bukan berarti aku adalah si anak manja yang tak bisa melakukan apa pun sendiri. Perihal hidup dan kuliah, aku juga sudah memikirannya sejak aku memilih untuk keluar dari rumah.
“Mungkin aku bakal berhenti kuliah, Yu.”
Dayu langsung menegakkan tubuhnya. “Kenapa?”
“Yu, kamu tahu kan aku kuliah di kampus mahal. Biayanya juga nggak murah. Mana sanggup aku harus membiayai kuliahku yang masih beberapa semester lagi. Belum lagi diktat dan biaya segala macamnya. Bimbingan atau saat mengerjakan skripsi nanti. Aku harus realistis, Yu. Saat aku memilih pergi, artinya aku nggak butuh uang Papa. Dan aku mau buktikan sama Papa walau tanpa uangnya, anaknya ini masih bisa hidup. Walau bukan dengan kehidupan serba nyaman yang pernah dia berikan.”
Dayu yang cengeng kembali muncul. la langsung memelukku erat. Terisak di pelukanku. Harusnya aku kan yang menangis, tapi dia malah mengambil alih tugasku. Aku hanya bisa tersenyum geli sambil menepuk-nepuk punggungnya pelan.
“Jangan ragu untuk cerita apa pun ke aku, Ka. Aku bakal bantu kamu semampuku,” isaknya.
Aku tertawa kecil. Namun mendengar ketulusannya, tanpa kuperintah air mataku juga ikut mengalir. Jadilah kami berdua saling berpelukan dan menumpahkan tangis. Saling menguatkan satu sama lain. Dalam hati aku bertekad untuk menjadi lebih kuat. Apa pun yang terjadi aku harus bertahan. Harus bisa berdiri dengan kedua kakiku sendiri.
Paginya setelah sarapan, aku dan Dayu berpamitan pada Ayah dan Ibunya untuk berangkat ke kampus. Sebenarnya aku yang mengantar Dayu ke kampus, sedang aku berencana mencari tempat tinggal. Sambil memikirkan rencana selanjutnya untuk hidupku.
“Hati-hati, ya, Ka. Kalau ada apa-apa telepon aku,” pesan Dayu sebelum dia berpamitan padaku.
“Hm.”
Setelahnya aku kembali melajukan mobil. Tempat selanjutnya yang kutuju adalah toko perhiasan. Sebelum pergi aku memang membawa dua set perhiasan yang dulu dihadiahkan Mama padaku. Hadiah itu murni pemberian Mama saat ulang tahunku. Jadi tentu saja aku membawanya.
Berhubung hari masih pagi, belum kutemukan satu toko pun yang sudah beroperasi. Jadi kuputuskan untuk mencari sebuah toko atau kafe yang sudah beroperasi dan menemukan satu di tepi jalan tak jauh dari lokasi sebuah mal. Kuparkirkan mobilku dan langsung bergegas masuk ke sana.
Tempat yang kudatangi cukup nyaman. Mungkin aku bisa sekalian berpikir dan merencanakan langkah selanjutnya yang akan kuambil di tempat ini. Aku memilih tempat duduk paling jauh dari meja pengunjung lainnya, kemudian memesan camilan dan kopi. Tak lama pelayan mengantarkan pesananku.
Sembari menikmati hidangan, kubuka ponsel. Mencari iklan rumah kontrakan melalui media online. Juga mulai mencari-cari pekerjaan. Tentu saja sulit menemukan pekeijaan nyaman dengan gaji memadai di kota besar seperti
ini. Terlebih aku hanya akan punya bekal ijazah SMA. Pekerjaan apa yang bisa kudapatkan dengan mudah selain sebagai pelayan toko atau pegawai pasar swalayan. Itu juga
jika aku beruntung. Karena bahkan untuk menjadi seorang kasir di supermarket saja aku hams bersaing dengan ratusan pelamar dengan jenjang pendidikan yang sama. Akan semakin sulit saja bagiku.
Setelah menemukan beberapa lokasi rumah yang strategis, aku kembali melanjutkan rencanaku. Mencari toko perhiasan untuk menjual salah satu dari set perhiasanku. Uangnya akan kugunakan untuk bekalku selama proses mencari pekeqaan. Tak perlu pergi jauh karena aku hanya perlu berjalan beberapa meter untuk mencapai mal yang ada di seberang kafe. Toko pertama yang kutemui menjadi pilihanku. Aku tak butuh tawar menawar. Hanya menunjukkan surat perhiasan dan barang. Pemilik toko tampak terkejut dengan set perhiasan yang kupunya. Awalnya ia tak yakin benda itu milikku. Saat kutunjukkan fotoku yang sedang memakai perhiasan tersebut bersama Mama yang kebetulan tersimpan di ponsel, barulah pria itu percaya. Ia memberikan penawaran yang menurutku cukup masuk akal, dan aku langsung menyetujuinya. Kemudian aku kembali ke kafe untuk mengambil mobilku yang masih terparkir di sana.
“Hams kuat, Danika!” desahku, sebelum menjalankan kendaraan ke lokasi selanjutnya.
Setelah berputar seharian, akhirnya aku menemukan satu rumah yang bagiku cukup nyaman dengan harga yang cukup terjangkau. Lokasinya pun aman dan strategis. Setelah melakukan perjanjian dengan pemilik rumah, aku kembali ke rumah Dayu. Tentunya untuk mengambil koper dan berpamitan pada mereka. Hidupku mungkin cukup sulit ke depannya. Tapi, aku yakin bisa melewatinya.
Sudah lebih dari setengah tahun aku menjalani hidup sendiri. Tak ada lagi Papa dan keluarga barunya. Hingga detik ini bahkan Papa sama sekali tak tertarik untuk mencari tahu bagaimana hidupku. Paling tidak itulah yang kualami. Bahkan mencoba menghubungi pun Papa tak pernah. Padahal aku tak pernah menghapus atau mengganti nomor kontakku. Hanya Dayu dan keluarganya yang selalu ada untukku. Meski aku tak ingin membebani Dayu dengan segala masalahku. Tapi, sahabatku itu selalu ada kapan pun aku membutuhkannya.
Mengenai pendidikan, aku benar-benar berhenti kuliah. Selain karena tak akan sanggup lagi membiayai sendiri pendidikan, aku juga tak akan mampu mengatur waktu antara kuliah dan kerja. Terlebih saat ini fokusku adalah pekerjaan demi menyambung hidup. Uang yang kumiliki di tabungan tak akan mampu menopangku selamanya. Uang itu akan habis seiring waktu aku menggunakannya. Jadi jika aku tak bekerja, dari mana aku bisa hidup ke depannya.
“Udah ketemu pekerjaan yang cocok?” Dayu bertanya kala ia berkunjung ke rumahku.
Aku menggeleng. “Susah banget, ya, Yu, cari kerja dengan pendidikan yang cuma berbekal ijazah SMA.”
“Jangan pesimis, pasti bakal ada pekerjaan yang sesuai untuk kamu nanti.” Dayu berusaha menyemangatiku. Meski aku sendiri tak yakin akan ada pekerjaan mumpuni yang sesuai denganku.
Aku tahu tak akan semudah itu, tapi tetap saja memiliki Dayu di sisiku menjadi kekuatan tersendiri bagiku. Mungkin aku tak seberuntung Danika yang dulu; memiliki segalanya dan tak pernah berkekurangan, tapi saat inipun aku tetap bisa bersyukur untuk hidup yang kujalani kini.
“Makan yuk, lapar,” ajak Dayu yang langsung kusetujui.
Kami berkeliling dengan mobilku mencari tempat makan yang enak namun terjangkau. Jika dulu aku terbiasa keluar masuk kafe dan restoran mahal, kini aku hams puas dengan makanan dari waning makan biasa saja. Pun begitu rasa makanan di tempat yang mungkin bagi sebagian orang biasa saja, tetap luar biasa untuk kami.
“Setelah makan mau ke mana?” tanyaku pada Dayu yang mulai sibuk dengan ponselnya.
“Ehm... kayaknya pulang deh. Ada beberapa tugas kuliah yang mesti aku selesaikan.”
Kadang ada rasa iri menyusup dalam hatiku. Mengapa aku tak bisa mendapatkan kehidupan bahagia seperti yang Dayu dapatkan. Dayu bukan berasal dari keluarga kaya. Tapi hidupnya benar-benar bahagia. Kuakui aku mungkin kurang bersyukur. Saat Mama masih hidup bukankah aku memiliki kehidupan yang bahkan lebih baik dari Dayu dan orang lain dapatkan. Namun tetap saja, saat seperti ini jiwa manusia yang masih suka diliputi iri hati akan muncul dalam diriku.
“Kuliah kamu lancar, Yu?” Aku mencoba mengenyahkan perasaan tak menentu di hatiku.
Dayu menggangguk. “Lancar. Doakan, ya, semoga tahun depan aku bisa lulus.”
Aku tersenyum mengamini. Kami kembali melanjutkan makan. Sampai bunyi ponsel Dayu mengganggu aktivitas kami. Segera gadis itu menjawab panggilan. Namun tiba-tiba saja wajah Dayu berubah pias. Seolah darah surut dari seluruh tubuhnya. Bahkan gadis itu mulai terisak. Membuat kami menjadi santapan mata pengunjung yang lain.
“Yu, kenapa?” tanyaku berusaha mencari tahu.
“Nika...” Hanya itu yang bisa Dayu katakan. Lantas gadis itu memeluk tubuhku erat.
Aku yang ingin tahu apa yang teijadi padanya langsung merebut ponsel dari tangan Dayu. Mengambil alih perbincangan dengan siapa pun yang ada di sana. Sementara Dayu masih terns menumpahkan tangisnya di pelukanku.
“Halo...”
“IniDanika?” tanya suara di seberang sana, bingung. “lya. Ini siapa?”
“Ginan.”
Sepupu Dayu tersebut lantas mengatakan apa yang teijadi padaku. Tak hanya Dayu, aku pun yang mendengar berita tersebut tak bisa berkata-kata. Seperti nyawaku juga tercabut seketika itu juga saat Ginan mengabarkan kecelakaan menimpa kedua orang tua Dayu.
“Nika, bisa bantu Dayu? Tenangkan dia dulu. ”
Aku tak tahu harus bagaimana. Jujur, saat ini aku pun bingung. Tangisku memang tak sekeras Dayu, tapi saat ini pikiranku juga kosong. Entah apa yang akan teijadi pada kami. Suara Ginan lagi-lagi menyentakkanku untuk sadar. Lelaki itu benar, jika kami berdua sama-sama tak bisa berpikir, apa yang akan teijadi. Di posisi ini, Dayulah yang lebih butuh ditenangkan, bukan aku. Meski aku juga menyayangi Om Guntur dan Tante Nida, tapi saat ini putri mereka jelas butuh perhatian. Dan akulah yang harus bisa menenangkannya. Seperti saat Dayu melakukannya untukku.
“Yu, dengar... kamu tenang, ya. Kita susul ke rumah sakit,” ucapku, meski tahu Dayu tak akan merespons dengan baik.
Kutarik Dayu ke mobil setelah lebih dulu membayar pesanan kami yang bahkan tak sempat dihabiskan. Mata penasaran para pengunjung tetap mengiringi hingga kami menghilang di dalam mobil. Dayu yang masih menangis membuat konsentrasiku pecah. Bahkan tanganku bergetar saat akan menyalakan mesin mobil. Dalam hati aku berdoa semoga kami bisa selamat sampai tujuan. Jangan sampai kami menjadi korban selanjutnya yang malah menambah kesedihan keluarga Adijaya.
Kukerahkan seluruh kemampuan dan kesadaranku. Hingga aku tak sadar sudah menyetir dengan gila-gilaan. Bahkan hampir kehilangan kendali saat aku menekan pedal rem sekuatnya. Benturan itu tak dapat dielakkan. Dayu yang tadinya menangis meratapi nasib orang tuanya pun seketika bungkam. Kubenturkan kepalaku ke roda kemudi. Merutuki kecerobohanku dalam hati.
Seorang pria keluar dari mobil yang kutabrak. Namun bukan menghampiriku, ia malah meneliti kerusakan mobilnya.
Kuhela napas kasar, kemudian memandang ke arah Dayu yang juga tengah menatapku. Rasanya otakku tak mampu lagi jika harus beradu mulut dengan pemilik mobil. Karena itu, kutarik Dayu untuk ikut keluar menemui si pemilik mobil.
“Parah.” Hanya itu kalimat yang dikeluarkan si pemilik mobil saat kami sudah menghampirinya.
Mataku membulat sempurna saat berhadapan dengannya. Tidak lagi. Aku bahkan masih berutang pada pria ini. Mengapa kami harus dipertemukan lagi? Kupikir setelah melepas semua kehidupanku bersama Papa, maka masa lalu tak akan datang menghampiri. Tapi nyatanya, Tuhan memang selalu punya kejutan dalam hidup umat-Nya.
“Saya...”
Pria di hadapanku ini menunggu. Namun perhatian kami teralihkan dengan Dayu yang kembali menangis. Tuhanku, mengapa aku lupa bahwa saat ini sahabatku sedang tak baik- baik saja. Urusan mobil bisa kuselesaikan nanti, tapi Dayu harus segera bertemu dengan kedua orang tuanya yang saat ini tak jelas nasibnya bagaimana. Karena itu, aku harus segera mengambil keputusan.
“Ini, ambil kunci mobil say a sebagai jaminan. Tapi saat ini ada hal yang jauh lebih penting yang harus say a urus dari sekadar kerusakan mobil ini.”
Kuserahkan kunci mobilku pada pria tersebut. Kemudian berlari cepat mengambil tasku dan Dayu di dalam mobil. Setelahnya aku menarik Dayu dan menghentikan taksi yang ada. Agak sulit memang, namun akhirnya kami mendapatkan taksi yang dibutuhkan. Sedang pria itu masih terpaku menatap kunci mobil yang kuberikan di tangannya. Aku tahu masalah terus menimpaku bertubi-tubi. Tapi saat ini, kurasa aku melakukan pilihan yang tepat. Dayu dan kedua orang tuanya lebih penting dari sekadar mobil rusak.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Mungkin pepatah tersebut sangat tepat untukku dan Dayu. Apa daya kedua orang tuanya tak dapat diselamatkan. Saat kami tiba di
rumah sakit kemarin, Ayah dan Ibu Dayu sudah mengembuskan napas terakhir. Bahkan Dayu tak bisa mengucapkan sepatah kata perpisahan pada keduanya. Kami hanya menemui raga yang terbujur kaku. Tangis Dayu langsung pecah saat itu juga. Bahkan aku dan Ginan tak dapat menenangkan gadis itu. Kami hanya bisa membiarkan Dayu menumpahkan kesedihannya.
Mungkin sudah takdir, aku dan Dayu kehilangan keluarga di usia yang masih muda. Aku kehilangan Mama di usiaku yang kedua puluh tahun. Dayu harus kehilangan keduanya tepat dua bulan setelah ia merayakan ulang tahun yang kedua puluh satu tahun. Rasanya takdir terlalu kejam. Membiarkan kami menjadi sebatang kara saat masih butuh bimbingan orang tua di usia saat ini.
Bukan aku ingin mengingkari keberadaan Papa. Tapi sejak memutuskan hubungan komunikasi dengan Papa, aku tak merasa aku masih memilikinya. Aku merasa tak berbeda
jauh dengan Dayu. Kami sebatang kara. Hanya memiliki satu sama lain. Buktinya meski kedua orang tuanya sudah beristirahat dengan tenang, Dayu tetap saja belum bisa menghilangkan kesedihan. la masih belum menerima kepergian mereka.
“Yu, makan dulu yuk? Dari kemarin kamu belum makan apa pun. Hanya air putih.”
Kembali Dayu menggeleng. Entah sudah berapa kali aku berusaha untuk mengajaknya makan. Sekadar mengisi kekosongan perutnya. Namun, gadis keras kepala ini tetap bergeming dari posisi tidurannya sepulang dari pemakaman seperti kemarin.
“Yu, kalau kamu begini, Tante sama Om nggak akan tenang.”
Bukannya mereda, tangis Dayu malah makin pecah. Aku sama sekali tak tahu cara apa lagi yang bisa kulakukan agar sahabatku ini mau makan. Perlahan kupeluk tubuh Dayu. Kubiarkan dia kembali menumpahkan tangisannya.
“Yu, kamu tahu kan kalau aku juga lebih dulu kehilangan Mama, dan saat terpuruk itu ada kamu di sampingku yang menguatkan. Kali ini giliran aku yang bantu kamu untuk kuat.
Kamu nggak sendiri, Yu. Ada aku. Kita akan hadapi ini sama sama. Tapi aku mohon, kamu juga harus bangkit. Kamu juga harus kuat. Biar Om dan Tante di sana bangga dan bahagia melihat putrinya yang kuat.”
“Nika...”
“lya. Aku tahu. Maka dari itu, mulai saat ini kita harus saling menguatkan. Dua kali lipat lebih kuat dari yang lain. Seribu kali bahkan. Mau, kan?” bujukku, lagi.
Mungkin karena Dayu sudah lelah menangis. Atau karena gadis itu tahu apa yang kukatakan benar, akhirnya ia mulai bangkit. Sedikit demi sedikit Dayu berusaha untuk tegar. Menerima semua dengan hati yang lebih ikhlas. Dan tentu saja hal itu membuat keluargannya yang lain turut merasa lega.
“Aku balik dulu, ya? Nanti kalau ada apa-apa kamu telepon aku, ngerti?” pintaku pada Dayu, setelah menemani gadis itu mengisi perutnya.
“Hati-hati, ya, Ka. Terima kasih kamu selalu ada di sampingku.”
“Itu gunanya sahabat, kan, Yu. Kamu dan aku nggak punya siapa-siapa. Mulai sekarang kita harus saling dukung satu sama lain.”
Setelah berpamitan pada Dayu dan kerabatnya yang masih tersisa, aku kembali ke rumahku. Sesampai di rumah, kubaringkan tubuh. Melepas penat selama dua hari ini menemani Dayu. Otakku juga harus berpikir cepat apa yang akan kulakukan esok. Karena hingga detik ini, aku sama sekali belum menemukan pekerjaan yang tepat. Tak mungkin aku terus bertahan dengan keadaan ini. Sampai berapa lama aku harus bergantung pada tabungan yang tersisa. Dan di saat berpikir keras seperti itu, ponselku berbunyi nyaring. Malas sekali rasanya mengangkat panggilan. Tapi aku takut panggilan itu dari Dayu yang membutuhkan kehadiranku. Jadi mau tak mau kejawab juga.
“Halo?”
“Benar dengan Danika? ”
Aku mengernyit. Suara pria dari ujung sana seperti tak asing bagiku. Tapi aku juga tak memiliki banyak kenalan pria.
Kujauhkan ponsel dari telinga demi bisa melihat si penelepon. Hanya nomor tanpa nama. Jelas dia bukan seseorang yang berada dalam daftar kontakku.
“lya. Ini siapa?” tanyaku berusaha mengenali si pemilik suara.
“Pemilik mobil yang kamu tabrak. ”
Oh, Tuhan! Kutepuk kepalaku karena bisa-bisanya melupakan insiden itu. Dua hari aku sama sekali tak mengingat perihal tabrakan tersebut. Bahkan ke mana mobilku saja tak kupusingkan saat membantu mengurus Dayu. Dan kini, pria itu mengingatkanku akan semua hal yang kulupakan.
“Oh, maaf.”
Kugigit bibir bawahku karena hanya dua kata bodoh itu saja yang bisa kulontarkan. Seketika jantungku berdetak tak karuan. Mengingat bahkan aku memiliki utang dari kejadian lalu yang belum kuselesaikan dengan pria ini. Matilah aku jika pria ini menuntut ganti rugi dua kali lipat. Dari mana kudapatkan uang sebanyak itu. Mengingat mobil yang digunakannya salah satu merek mobil mewah. Belum lagi dengan kerusakan mobilku sendiri. Aku dalam masalah besar. Terlebih uang yang pernah dikirim Papa untuk ganti rugi sebelumnya sudah kugunakan untuk tabungan dan kebutuhan lainnya sejak keluar dari rumah.
“Danika, kamu masih di sana?”
“Eh ... i... iya. Ada apa?”
“Kamu puny a waktu besok?” tanyanya dengan nada lembut. Sejenak aku terpaku karena nada suaranya.
“Hah? Untuk apa?” tanyaku dengan bodohnya. Merutuki otakku yang bekerja lambat akhir-akhir ini.
“Untuk membicarakan masalah kita.”
Kali ini jantungku nyaris copot mendengar permintaan pria tersebut. Rasanya aku belum siap untuk bertemu lagi dengannya. Tapi tak mungkin selamanya aku menghindar. Terlebih mobilku masih ada di tangannya.
“Oke. Di mana?” tanyaku akhirnya.
Pria di seberang sana menyebutkan nama salah satu restoran. Tak lupa ia juga menyebutkan waktu untuk kami
bertemu. Meski masih enggan, namun akhirnya kusanggupi permintaannya. Setelah mengucap salam, dia menutup sambungan.Meninggalkan aku yang masih terdiam dan hanya mampu memandangi langit-langit kamar. Sembari berpikir kapan hidupku akan menjadi lebih mudah.
Meet Again
Sejak pagi perasaanku tak menentu. Semua itu dikarenakan janji dengan seseorang yang membuatku tak tenang. Ingin kembali menghindar, tapi sampai kapan aku akan terns menghindar. Bukankah menyelesaikan masalah lebih cepat akan mengurangi bebanku. Karena itu, meski enggan tetap kulangkahkan kakiku untuk pergi.
Pukul dua siang aku sudah tiba di restoran yang menjadi kesepakatanku dengan pria itu. Sengaja aku datang lebih lambat dari waktu yang dijanjikan. Berharap pria itu sudah pergi karena terlalu lama menunggu. Tapi, sepertinya harapanku sia-sia. Karena begitu aku menginjakkan kaki di dalam restoran, handphone-ku berdering, seorang pria dari meja di ujung sana melambaikan tangan padaku. Memberi tanda bahwa ia masih menunggu. Kutatap pria itu dengan perasaan kacau. Mematikan sambungan telepon dan melangkah mendekatinya.
“Baru tiba?” tanyanya sopan.
Aku tak menjawab dan memilih langsung duduk. Memang tak sopan, tapi aku enggak berbasa-basi dengan pria ini. Aku hanya ingin masalah di antara kami cepat selesai.
“Saya Ibrahim Arrauf. Kamu bisa panggil saya Ibra.” Pria itu berucap sopan.
“Saya nggak perlu memperkenalkan diri lagi, kan?”
Ibra tersenyum sopan seraya mengangguk. Membuatku merasa tersentil akan sikap kurang ajarku. Bagaimanapun kalau dilihat-lihat dari penampilannya, Ibra lebih tua dibandingkan denganku, tapi bisa-bisanya aku bersikap kurang ajar. Salahkan saja sikap defensifku yang berlebihan terhadap orang lain. Sejak meninggalkan rumah dan berseteru dengan Papa, aku jadi semakin lebih waspada terhadap orang lain. Membentengi diri dari segala bentuk perhatian mereka.
“Kamu mau pesan sesuatu?”
“Saya di sini mau menyelesaikan masalah kita. Jadi, berapa biaya yang harus saya bayar?” tanyaku langsung. Aku hanya ingin segera menyingkir dari tempat ini. Dari hadapan pria ini, tepatnya.
“Kenapa terburu-buru? Kamu punya urusan lain?” Kuhela napas keras. “lya. Dan rasanya itu bukan urusan
Anda untuktahu. Jadi...”
Bukannya mendengarkan ucapanku, Ibra malah mengangkat tangannya. Tak lama seorang pramusaji menghampiri meja kami. Dengan seenaknya Ibra memesankan beberapa hidangan. Tanpa persetujuanku.
“Kamu makan dulu, ya? Saya yakin kamu belum makan siang.”
Tepat sekali tebakannya. Akan tetapi aku tak merasa tersanjung dengan perhatian itu. Ralat, sedikit tersanjung. Bagaimanapun wanita yang diperlakukan dengan baik bahkan oleh pria yang baru dikenal pasti akan merasakan desiran suka. Merasa bahwa mereka istimewa. Meski aku berusaha keras untuk tak tersentuh. Tapi tetap saja aku tak bisa mengelak bahwa perhatian pria ini memberi kesan tersendiri di hatiku.
“Berapa umur kamu, Danika?”
“Kamu sedang menginterogasi saya?”
Ibra menggeleng pelan. “Tidak. Hanya ingin tahu saja.” “Kalau begitu nggak usah tanya.”
Pria itu akhirnya memilih diam. Tapi tatapan matanya tak lepas dariku. Membuatku jengah dan memutuskan untuk mengalihkan perhatian pada ponsel. Berbalas pesan dengan Dayu hingga pesanan Ibra tiba.
“Lebih baik letakkan handphone kamu dulu dan makan. Mumpung masih hangat.”
Aku memutar mata, jengkel. Tapi tetap menuruti keinginan Ibra. Meletakkan ponsel dan mulai makan. Pria itu sendiri juga ikut menikmati hidangan. Selama makan tak sekalipun Ibra mengajakku berbincang. Sampai aku sendiri yang akhirnya mencuri pandang pada pria itu. Membuat Ibra menyunggingkan senyum simpul karena aksiku.
“Habiskan dulu makanan kamu,” tegur Ibra membuatku makin malu.
Kepala kutundukkan. Tak berani lagi mencuri pandang ke arah pria itu. Hingga semua hidangan akhirnya kandas, baru aku berani mengangkat wajah di hadapannya.
“Sudah. Sekarang kamu bisa katakan berapa biaya ganti rugi yang hams saya keluarkan.”
“Apa hams selalu membahas masalah itu? Kamu itu orangnya terlalu lugas, ya?”
Aku tak menghiraukan ucapan Ibra dan memilih tetap bemcap, “Karena kedatangan saya ke sini hanya ingin menyelesaikan masalah tersebut.”
“Kamu tidak ingin mencoba makanan penutupnya? Katanyap6z/7«coto di sini enak sekali.”
Kesabaranku habis sudah. Jika tadi aku bisa berdiam dan menunggu karena Ibra sudah memesankan makanan, sekarang tidak lagi. Aku hanya ingin segera pergi dari hadapan pria ini. Sejak awal berurusan dengannya, ada yang aneh kurasakan terhadap pria ini. Entah ada maksud terselubungnya terhadapku.
“Sudah cukup. Saya nggak punya waktu untuk main- main dengan kamu. Jika kamu nggak man menyelesaikan masalah kita, biar saya yang selesaikan.”
Aku berdiri dengan kasar hingga kursi yang kududuki bergeser. Mata para pengunjung tertuju ke arah kami. Ibra sendiri juga ikut berdiri dengan wajah panik. Tapi aku tak peduli. Biar saja kami menjadi tontonan. Jika pria ini ingin bermain-main denganku, maka dia memilih orang yang salah. Karena jika harus malu sekalipun, kurasa tak masalah saat ini.
“Danika, bukan begitu maksud saya...”
“Kamu terns mengulur waktu dan saya nggak suka itu. Kalau memang kamu tidak berniat menyelesaikannya, maka biarkan saya yang bicara.” Aku memperingatkan Ibra yang berniat memotong kalimatku dengan telunjuk mengarah padanya. Membuat pria itu akhirnya tak bisa berkutik. “Karena saya sama sekali nggak tahu berapa kerugian yang harus kamu tanggung, jadi silakan kamu bawa saja mobil saya. Semua surat-suratnya ada di dalam dashboard. Dijual atau apa, terserah. Gunakan uangnya untuk biaya ganti rugi mobil kamu. Adil, kan? Dengan begitu urusan kita selesai. Dan saya harap kita nggak perlu ketemu lagi.”
Ibra begitu terkejut dengan apa yang kuucapkan. Tapi aku tak akan menarik kembali kata-kataku. Biarlah aku kehilangan satu-satunya kendaraan yang mengingatkanku akan Mama. Daripada aku kembali berurusan dengan pria itu. Entah mengapa aku tak ingin berhubungan terus dengannya. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatku tak tenang.
“Danika...” Ibra berusaha mencegah kepergianku dengan menahan pergelangan tanganku.
Aku yang tak ingin lagi berurusan dengannya berusaha melepas cengkeramannya. Pria itu seperti tak ingin melepaskanku. Membuatku menggeram karena kelakuannya.
“Lepasin saya...”
“Kita harus bicara, Danika. Bukan seperti ini,” pintanya. Aku memperhatikan sekeliling yang tak mengalihkan
pandangan sedikitpun pada kami. Sempat terpikir untuk meladeni sikap Ibra, namun kuurungkan karena tak ingin lebih menjadi pusat perhatian. Kutarik paksa cengkeraman tangan Ibra di pergelangan tanganku. Beruntung pria itu ternyata tak mencengkeram erat. Hingga aku bisa dengan mudah lepas darinya. Segera aku berlari meninggalkannya yang masih berusaha mengejarku. Menaiki taksi yang entah secara kebetulan melintas. Tak peduli dengan nasib mobil kesayanganku. Yang kuinginkan hanya bisa bebas dan berhenti berurusan dengan pria bernama Ibra tersebut.
Hari ini Dayu akan menjalani wisudanya. la akan lulus dan menyandang gelar Diploma. Akhirnya setelah tiga tahun berkutat dengan pendidikan, Dayu bisa menyelesaikan kuliahnya. Aku turut bangga padanya. Dan seperti permintaan Dayu, dia ingin aku hadir di acara bahagianya. Meski dengan kondisi hati yang teriris karena aku tak bisa seperti yang lainnya menyelesaikan kuliahku, tapi aku tak ingin merusak hari bahagia Dayu. Apalagi ini adalah janjinya pada kedua almarhum orang tuanya.
Hampir tujuh bulan sudah Dayu hidup sendiri. Dan kini ia sudah mulai bisa menata hidup. Meski masih sering merindukan orang tuanya, tapi Dayu berusaha untuk bangkit. Dia tak ingin Ayah dan Ibunya bersedih di alam sana.
Bersama Ginan dan keluarganya kami menghadiri upacara kelulusan Dayu. Gadis itu begitu bersinar. Dengan toga yang dikenakannya membuat Dayu tampak lebih kelihatan berbeda. Begitu sesi formal berakhir, Dayu langsung berlari menghampiri kami dengan gembira. Orang pertama yang Dayu peluk adalah aku. Membuatku tentu saja merasa bahagia karena ia menganggap aku adalah orang paling penting dalam hidupnya.
“Selamat, Yu. Selamat menempuh dunia kerja yang sebenarnya,” ucapku penuh kebanggaan padanya.
Handayu membalas pelukanku tak kalah erat. “Makasih, Nika. Makasih juga selama ini selalu mendampingiku.”
Setelah mengadakan perayaan kecil bersama keluarga Ginan, aku dan Dayu mengunjungi makam kedua orang tuanya. Dayu ingin mengabarkan kegembiraan ini pada mereka. Ginan hanya bisa mengantarkan kami karena pria itu masih memiliki hal lain untuk dikeijakan.
Sejak tak memiliki mobil lagi, aku dan Dayu harus membiasakan diri bepergian dengan kendaraan umum. Awalnya Dayu sempat heran saat aku tak mengendarai mobil lagi. Dengan sedikit kebohongan, aku berhasil meyakinkan gadis itu. Kukatakan padanya bahwa kerusakan mobil yang kualami saat kami cukup parah, terpaksa mobil tersebut kujual. Terlebih lagi aku harus mengganti kerugian mobil yang kutabrak. Untunglah Dayu percaya dan tak banyak bertanya lagi. Hanya saja dia prihatin padaku. Aku yang terbiasa ke manapun dengan mobil, kini harus bersusah payah untuk pergi dengan kendaraan umum. Padahal bagiku tak masalah. Aku bukan lagi Danika si manja yang memiliki segalanya. Hidup serba seadanya justru membuatku lebih kuat.
“Setelah ini rencana kamu gimana, Yu?” tanyaku pada Dayu ketika kami sudah tiba di rumahnya. Menikmati makan malam yang Dayu siapkan.
Ah, satu hal yang mungkin masih asing bagiku di tengah kemandirian hidup adalah dapur. Dibanding Dayu, kemampuan memasakku masih sangat minim. Terbiasa dilayani atau membeli makanan cepat saji cukup membuatku kewalahan saat mencoba memasak. Terlebih sejak kecil Mama memang jarang memaksaku teijun ke dapur. Bisa memasak mie instan sendiri untuk pertama kalinya adalah sebuah prestasi bagiku. Tapi aku yakin nanti pasti bisa menguasai keahlian yang satu itu.
“Ehm... aku sudah coba masukin lamaran ke beberapa perusahaan, sih. Tinggal nunggu keberuntungan aja,” jawab Dayu santai. “Kamu sendiri? Gimana pekerjaan di sana? Betah?”
Aku mengembuskan napas kasar. Saat ini aku bekeija sebagai petugas kebersihan di salah satu hotel. Pekeijaanku saat ini cukup nyaman. Hany a saja, justru atasannya yang membuatku tak nyaman.
“Pengin keluar aja rasanya akhir bulan ini,” keluhku. “Kenapa?” Dayu terlihat tak setuju.
Tentu saja aku tahu alasan ketidaksetujuannya. Sangat sulit menemukan pekeijaan nyaman dengan ijazah yang kumiliki. Tapi, perempuan mana yang akan betah bekeija dengan atasan mesum yang selalu mencari kesempatan.
“Pak Rizal makin lama makin nakutin tahu nggak,” aduku.
“Ampun deh itu laki-laki. Sudah tua, punya anak-istri juga masih gangguin pegawai perempuan kayak kamu?”
Aku mengangguk. Aku sudah bercerita pada Dayu seperti apa atasanku itu. Memang tak nyaman rasanya bekerja dengan atasan sejenis Pak Rizal. Bukan sekali dua kali kudengar dia memanfaatkan jabatan untuk menekan pegawai kecil seperti kami. Aku bahkan pernah mendengar rumor bahwa dia mengancam akan memecat Rasti, salah seorang pegawai front office jika tak mau menuruti keinginannya. Tak ada yang berani mengadukan perbuatannya pada GM hotel. Mungkin karena takut dengan ancamannya.
“Tapi kalau kamu masih bisa menghindar nggak ada salahnya mempertahankan dulu pekerjaan sekarang, kan, Ka.”
Aku mengangguk setuju dengan ucapan Dayu. “Aku coba deh.”
Kembali ke rutinitasku. Pukul sembilan pagi sudah tiba di hotel. Beberapa teman yang memiliki jam keija sama denganku juga sudah tiba. Setelah mengganti seragam, aku mengambil jadwal ruangan mana yang akan dibersihkan sesuai dengan kertas yang sudah ditempel di loker masing- masing. Kali ini aku harus bekerja sendiri karena partner kerjaku, Sinta, harus absen untuk mengurus anaknya yang sedang demam.
Bekerja sendiri untuk membersihkan beberapa ruangan tentu menguras tenaga. Tapi aku tak ingin mengeluh. Inilah hidup. Tak ada yang mudah di dunia ini jika kita tak berusaha. Karena itu, sesulit apa pun pekeijaannya, aku mencoba untuk tetap kuat. Hany a satu doaku jika memulai bekerja, agar aku tak berurusan dengan Pak Rizal yang menjadi momok beberapa pegawai di sini.
Namun, sepertinya doaku hari ini tak terkabul. Tuhan sepertinya ingin mengujiku. Tepat setelah membersihkan ruang konferensi di lantai empat, pria mesum itu memerintahkanku untuk membersihkan ruangannya. Ingin menolak, namun aku tak punya kuasa. Jika biasanya aku selalu bisa berdalih dan merasa aman karena ada partner kerja, tapi tidak kali ini. Dengan menyematkan doa, aku pun terpaksa menuruti perintahnya.
Tak ada yang aneh di ruangan Pak Rizal. Hany a meja kerja dan sofa di sudut kanan ruangan. Pun belum ada aksi apa pun dari pria itu saat aku masih sibuk membersihkan buku dan pajangan lainnya di lemari hias. Hingga saat aku akan membersihkan sofa, pria kurang ajar itu mulai berulah.
“Danika...”
Suaranya begitu dekat denganku. Aku tahu saat ini dia sudah berada di belakangku yang sedang berjongkok karena harus membersihkan sofa kulitnya. Kudukku bahkan meremang hanya dengan mendengar suaranya. Bukan karena bergairah, tapi karena takut.
“Saya sering memperhatikan kamu. Kamu itu berbeda dari pegawai lainnya. Kamu pasti tahu kalau saya tertarik sama kamu.”
Kugigit bibirku agar tak berteriak kasar padanya. Tanganku mengepal erat saat merasakan sentuhannya di pundakku. Jarak pria itu sepertinya makin dekat. Saat kedua tangannya bertengger di pundakku, refleks aku berdiri dan menjauh selangkah darinya.
“Maaf, Pak, tapi saya harus bekerja. Saya minta pada Pak Rizal untuk tidak mengganggu pekerjaan saya.”
“Kamu tahu, karena sikap tak acuh kamu inilah yang membuat saya penasaran. Kalau kamu mau, saya bisa bantu. Kamu butuh apa punbisa minta pada saya.”
Aku tersenyum sinis pada pria tak tahu malu ini. Dia pikir aku ini apa? Pelacur yang bisa dia bayar?
“Saya nggak butuh apa pun, terima kasih. Bisa saya lanjutkan pekerjaan saya, Pak?” Aku bergerak menjauh darinya, namun pria ini malah menyambar tanganku. Menjatuhkan tubuhku ke sofa. “Anda mau apa?!” teriakku.
“Jangan jual mahal. Saya kenal perempuan seperti kamu.”
“Lepasin saya, Berengsek!”
Pak Rizal malah tersenyum mencemooh. “Saya suka sama perempuan yang malu-malu kucing seperti kamu.”
Malu-malu kucing katanya? Dasar pria tua gila!
Pak Rizal berusaha memajukan wajahnya padaku. Namun aku bukan perempuan lemah yang tak akan melakukan perlawanan. Kubenturkan kepalaku ke wajahnya, membuat dia memekik kesakitan. Kesempatan itu kugunakan untuk melepaskan cengkeramannya.
“Jangan main-main sama saya, Danika!” teriaknya marah.
“Bapak yang jangan main-main sama saya. Karena saya cuma pegawai rendahan, bukan berarti saya takut sama Bapak!”
“Saya bisa pecat kamu!” ancamnya.
“Hah? Enggak perlu. Sekarang pun saya muak bekeija di bawah kepemimpinan atasan seperti Bapak!”
Baru saja aku akan keluar dari ruangannya, rupanya pria itu tak ingin melepaskanku. la menarikku hingga kembali berada dalam cengkeramannya.
“Saya tidak akan melepaskan kamu semudah itu. Sebelum saya...”
Kembali pria gila ini ingin melecehkanku. Bahkan dia sudah menindihku di lantai ruangannnya. Berusaha kembali menciumku yang jelas saja membuatku meronta. Aku berusaha melepaskan diri, tapi pria tua ini seperti memiliki tenaga yang begitu kuat. Tapi aku juga tak akan membiarkan pria ini melecehkanku. Saat pria itu berhasil mendaratkan bibir menjijikkannya di sekitar leherku, kujambak rambutnya membuat dia memekik.
“Kamu mau main kasar?”
Sekali lagi, entah dapat kekuatan iblis dari mana pria ini berhasil membuatku kewalahan. Bahkan perlawananku seakan tak berarti padanya. Namun aku tak ingin menyerah. Aku tak akan membiarkan diriku hancur karena ulah setan mesum seperti dia. Dengan segenap kekuatan, kusarangkan tendangan dengan lututku ke selangkangannya. Pak Rizal menjerit kesakitan dan cengkeramannya mengendur. Kesempatan itu jelas tak kusiakan. Kudorong tubuhnya yang melemah dan bangkit dari posisiku.
“Manusia rendahan!” makiku dengan mata berapi-api menatapnya.
Tak akan kubiarkan dia menangkapku lagi. Segera aku berlari menjauh dari ruang keijanya. Mengambil barang- barangku di loker dan pergi menjauh dari tempat terkutuk itu. Tak kupedulikan tatapan bingung orang-orang yang melihatku begitu tergesa meninggalkan hotel masih dengan seragam. Saat ini yang kubutuhkan hanya menyendiri. Menenangkan diriku sendiri.
Fate
Memulai kembali dari awal itu adalah hal paling sulit, tapi bukan berarti aku akan melemah. Meski harus bergonta-ganti pekeijaan tak membuatku menyerah. Aku percaya akan selalu ada terang di balik gelapnya jalan hidupku. Seperti yang selalu Dayu katakan, perjuangan kita tak akan pernah usai. Sampai mencapai kata bahagia. Dan aku akan meyakininya.
Perkara mendapatkan pekeijaan yang nyaman bukan suatu hal mudah juga. Beberapa kali aku selalu terhambat masalah. Entah itu dari rekan keija atau atasan itu sendiri. Namun bukan berarti aku akan berhenti dan merengek kembali ke kaki Papa.
Bicara tentang Papa, beberapa waktu lalu aku sempat bertemu mereka. Ya, Papa dan keluarga barunya. Aku yang melihat mereka, sedang Papa tak melihatku. Saat mereka menjadi pengunjung di foodcourt di mana aku bekeija. Papa tampak sehat dan bahagia. Sesuatu yang mungkin tak bisa kuberikan. Tapi aku bersyukur, setidaknya tanpa aku, Papa bisa menemukan kebahagiaan hidupnya.
Aku menyerah kalah? Tidak juga. Bukan menyerah, tapi memilih mengalah. Mengalah dengan kenyataan. Memaafkan Papa? Aku masih belum sanggup. Jangan menghakimi, karena bagaimanapun tak mudah bagiku melupakan bagaimana penolakan Papa. Bagaimana Papa lebih memilih istri barunya dibandingkan darah dagingnya sendiri. Tapi dengan begitu aku juga belajar untuk lebih kuat. Meski karena Papa juga aku tak mudah menerima kehadiran orang lain dalam hidupku. Terutama pria.
Bukan sekali dua kali teman keija yang mengatakan memiliki ketertarikan padaku. Tapi aku selalu berhasil memukul mundur mereka. Kepercayaanku terhadap lelaki masih sangat tipis. Dan untuk saat ini, aku merasa lebih baik
menutup kesempatan. Aku masih harus menyembuhkan Iuka hatiku dulu. Barulah aku bisa membuka kesempatan bagi orang lain untuk masuk.
“Kak Danika?”
Seorang gadis menyapaku. Haninda, putri tiri Papa. Gadis itu menyunggingkan senyum kaku. Meski aku tahu dia gadis yang baik, tapi tetap saja ada darah wanita tak tahu malu itu mengalir di tubuhnya. Jangan salahkan aku jika puny a pikiran buruk terhadapnya. Hanya berpedoman pada pepatah; buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Aku takut Haninda pun memiliki tabiat seperti Mamanya. Meski aku tak bisa menghakimi semua orang hanya karena kelakuan orang tuanya. Tapi, maaf, aku belum selapang hati itu untuk tutup mata akan kelakuan Ibunya.
“Kakak keija di sini?” tanya Haninda lagi saat tak mendapat jawaban dariku. “Boleh kita bicara?”
“Saya nggak punya banyak waktu untuk meladeni kamu. Tugas saya banyak.”
Tanpa menghiraukannya, aku meninggalkan Haninda yang mematung. Kulangkahkan kakiku ke gudang barang. Lebih baik menyibukkan diri dengan mengecek persediaan barang di gudang. Saat ini aku memang bekerja sebagai salah satu pegawai di toko buku terbesar. Beruntung bagiku saat melamar ke tempat ini karena ternyata mereka membuka lowongan pekeijaan.
Jika kupikir aku akan bebas dari Haninda, nyatanya aku salah. Gadis itu ternyata keras kepala. Haninda memilih menunggu hingga jam kerjaku berakhir. Padahal ini sudah pukul sembilan malam. Apa gadis itu tak takut berkeliaran hingga semalam ini.
“Kak, Hanin butuh bicara sama Kak Nika.”
“Enggak ada yang perlu kita bicarakan. Pulang. Enggak baik anak gadis berkeliaran malam-malam,” usirku ketus.
Tapi Hanin tak menyerah. Gadis itu terus menyejajari langkahku. Bahkan dengan berani menarik pergelangan tanganku yang langsung saja kuhempas.
“Kamu ngerti nggak, sih?!”
Mata Hanin berkaca, membuatku berdecak kesal. Bagaimanapun aku bukan manusia berhati batu. Melihatnya yang hampir menangis membuatku akhirnya luluh. Gerai makanan yang kebetulan berada di samping toko buku tempatku bekeija menjadi pilihan tempat kami untuk bicara. Setelah memesan, aku dan Haninda memilih duduk di pojokan.
“Mau bicara apa?” tanyaku, tak ingin basa-basi.
“Gimana kabar Kak Nika?”
Kutatap tajam dia hingga mengerut di tempat. “Saya nggak mau basa-basi, Haninda. Katakan apa yang ingin kamu bicarakan dengan saya.”
Haninda meremas-remas pergelangan tangannya. Gadis itu memiliki kebiasaan yang sama denganku jika sedang gugup. Lama kuperhatikan, baru kusadari jika Haninda tak mirip sama sekali dengan Ibunya. Mungkin anak ini lebih mengambil genetik dari Ayahnya. “Kak, Hanin mau minta maaf untuk semua kesakitan yang Kak Nika dapatkan. Terutama karena Mama. Dan... Hanin mohon, Kakak pulang, ya?”
Aku menaikkan sebelah alis. Tak percaya gadis ini bisa berbicara seperti itu padaku. Membuatku semakin yakin ia tak mirip sama sekali dengan Mamanya. “Kenapa saya harus kembali? Bukannya kamu dan Ibu kamu akan bahagia dengan kepergian saya?” tanyaku sengaja memancingnya.
Dan benar saja, gadis itu menyusut sudut matanya. la menggeleng pelan. Rasa ibaku keluar melihat sikap gadis ini. Merasa sedikit bersalah karena sudah bersikap ketus padanya.
“Kamu tahu, nggak akan pernah sama kaca yang sudah pecah. Begitu juga hati saya. Maaf kalau saya bicara kasar, tapi sungguh, saya benci Mama kamu. Kelakuan Mama kamu nggak bisa saya lupakan. Bagaimana mungkin wanita sebagai makhluk paling halus hatinya tega menyakiti hati wanita lain. Dan kamu juga pasti tahu bagaimana kelakuan Mama kamu.”
Haninda makin terisak. Gadis itu meletakkan telapak tangan di bibir untuk menghalau isakannya. Kuberikan selembar tisu yang langsung diterima.
“Hanin tahu Mama salah. Tapi... semua juga bisa terjadi karena ada andil Papa, kan?” ucapnya dengan suara serak.
Aku menundukkan kepala. Benar, semua itu tak akan teijadi jika tanpa andil Papa. Andai Papa adalah lelaki setia yang tak gampang tergoda, maka perselingkuhan itu tak akan ada. Karena itu, aku makin tak bisa menerima kenyataan itu. Tak bisa begitu saja memaafkan Papa.
“Kamu benar, jika Papa nggak memberikan kesempatan, maka mereka nggak akan pernah selingkuh.” Aku ikut membenarkan.
Lama kami berdiam. Menyelami Iuka hati masing- masing. Aku sadar tak hanya aku yang terluka. Ada Haninda
juga yang mungkin sama terlukanya. Hanya bedanya, gadis ini tak bisa melawan kehendak Ibunya.
“Kak Nika mau kan pulang ke rumah?”
“Kamu tahu jawaban saya.”
“Papa rindu Kakak.”
Aku terperanjat dengan penuturan Haninda. “Oh, ya? Tapi saya nggak lihat bentuk kerinduannya terhadap saya. Berusaha mencari tahu keadaan saya saja nggak pernah Papa lakukan.”
“Papa suka melamun sejak kepergian Kak Nika.” Mataku menelisik wajah Haninda dengan saksama. Tak
ada kebohongan sama sekali dari gadis ini. Tapi, sayangnya hatiku masih tak ingin mengakui. Dia masih ingin bersikeras. Jika memang Papa merindukanku, kenapa sampai saat ini tak ada satu usahapun untuk menemuiku. Gengsi? Apa yang bisa diharapkan dari orang tuadengan ego tinggi terhadap anak kandungnya sendiri.
“Sudah, kan? Saya harus pulang dan istirahat. Kamu juga. Dan saya harap, kamu nggak menemui saya lagi.”
Aku meninggalkan Haninda. Meski gadis itu berusaha menghentikanku, tapi aku tak akan terpengaruh sama sekali. Kukeraskan hatiku untuk saat ini. Aku masih butuh waktu sendiri. Tak akan selamanya aku menyimpan dendam dan kemarahan. Tapi tidak untuk saat ini.
Kakiku melangkah memasuki rumah Dayu yang sepi. Gadis itu memintaku untuk datang ke rumahnya setelah bekeija. Dan di sinilah aku hari ini. Setelah tadi mengunjungi makam Mama. Hari ini adalah hari istimewa bagiku. Walau mungkin hanya beberapa orang di dunia ini yang menganggapnya istimewa. Nyatanya aku tak seistimewa itu karena bahkan di hariku sendiri aku tak mendapatkan kebahagiaan dan keistimewaan tersebut.
Ya, lagi dan lagi, kembali aku menyandang status sebagai pengangguran. Kali ini karena berselisih dengan rekan kerja. Ada saja masalah yang datang saat aku mulai mendapatkan hidup tenangku. Apa memang aku tak akan pernah ditakdirkan untuk hidup tenang? Entahlah.
Sudah hampir setengah jam aku menunggu, tapi Dayu sama sekali belum menampakkan batang hidungnya. Melalui pesan Dayu mengatakan bahwa ia akan sedikit terlambat karena harus menyusun laporan bulanan terlebih dahulu. Jika aku begitu malah dalam dunia keija, Dayu cukup beruntung karena hanya hitungan jari gadis itu bermasalah dengan pekeijaannya. Pun kalau Dayu tak bekerja, masih ada Ginan dan keluarga yang akan menampungya. Beruntungnya dia.
Karena terlalu lama menunggu, mataku tak bisa diajak berkompromi. Tak sadar aku langsung tertidur di sofa Dayu saat menunggunya. Hingga seseorang mengguncang tubuhku. Dan Dayu sudah berjongkok di hadapanku.
“Malah tidur,” ejeknya.
“Kamu lama,” keluhku sembari bangkit dari posisi berbaring di sofa.
Dayu kemudian duduk di sampingku. Mengambil sebuah kue yang ada di atas meja kopi. Kupandangi Dayu dan kue itu bergantian.
“Ayo, berdoa,” perintahnya.
Kututup mata sembari memanjatkan doa untuk usiaku saat ini. Hanya satu doa yang kupinta: agar aku dan Dayu selalu diberikan kebahagiaan. Setelahnya kubuka mata dan meniup sebatang lilin yang Dayu sematkan di kue tersebut.
“Selamat ulang tahun, Danikaku. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu. Enggak ada yang paling aku inginkan di
dunia selain melihat Danikaku yang manis kembali bahagia dan ceria seperti dulu.”
Aku memeluk Dayu erat sembari mengucapkan ribuan terima kasih dalam hati. “Tapi, sayangnya doa kita hari ini nggak terkabul, Yu,” ucapku kemudian.
Dayu mengernyit, kemudian matanya membulat sempurna. “Lagi?!” peldknya, membuatku tertawa.
“lya, lagi.”
“Ya sudahlah, mungkin belum rezeki. Sekarang waktunya kita makan kue.Aku belikan yang spesial ini buat kamu.”
Malam itu kuhabiskan bersama Dayu. Kami berbagi dan bercerita banyak hal. Hingga lelap menghampiri dan pekat malam membawa ke alam mimpi. Alam di mana kami bisa bebas melupakan kegundahan hari ini.
Berhenti bekerja bukan berarti aku berputus asa. Keberuntungan mungkin tak selalu berpihak padaku. Tapi aku ingat, Tuhan selalu memberi jalan bagi siapa pun yang tak pernah menyerah dan putus asa. Mungkin itulah yang kini terjadi padaku. Sebuah iklan lowongan pekerjaan yang tak sengaja kulihat di sebuah restoran Jepang baru memberi jalan bagiku.
Sushi Me, sebuah restoran Jepang yang akan dibuka dalam waktu dekat. Mereka membutuhkan pegawai, dan beruntung kualifikasi yang kumiliki mengantarkanku menjadi salah satu yang beruntung. Meski hanya sebagai Pramusaji tak masalah bagiku. Berbagai macam pekerjaan kecil sudah pernah kucoba dan aku tetap bertahan meski selalu berakhir dengan pemecatan atau pengunduran diri.
“Ini seragam kamu. Selamat bergabung dengan Sushi Me, Danika,” kata Anwar, pria berusia 29 tahun, menjabat sebagai Manajer Sushi Me.
Pria ramah senyum itu menyambut para pegawai yang baru bergabung. Dari rumor yang kudengar, pemilik Sushi Me ini adalah seorang pria muda yang hampir seumuran dengan Anwar. Sosoknya dinilai baik oleh beberapa pegawai yang sudah pernah bertemu dengannya. Membuatku salut pada pria itu. Di usia muda dia sudah berani mengambil risiko besar dengan berbisnis. Semoga saja Sushi Me terus berkembang hingga aku tak perlu lagi mencari pekeijaan lain.
“Baik, Sushi Me akan resmi dibuka besok. Pemilik restoran ini juga akan hadir. Jadi, mari kita doakan semua beijalan lancar. Sampai bertemu besok, semuanya!”
Anwar menutup sambutannya. Pria itu kemudian mengizinkan kami kembali ke rumah masing-masing untuk beristirahat dan mempersiapkan diri. Beberapa rekan kerja yang belum kukenal mengajakku berbincang sejenak. Namun, aku yang memang cukup sulit bersosialisasi belakangan ini hanya menjadi pendengar saja. Mereka bercerita perihal pemilik Sushi Me. Betapa mereka penasaran akan sosoknya.
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Aku dan seluruh pegawai Sushi Me sudah bersiaga menyambut para tamu pada pembukaan perdana restoran ini. Sebelum pergi aku sudah mengingatkan Dayu untuk datang ke tempat ini. Namun, Dayu mengatakan bahwa ia akan mengusahakan jika sempat. Padahal sudah kukatakan padanya bahwa Sushi Me memberikan banyak penawaran untuk pembukaan perdananya. Tapi mungkin saat ini bukan rezeki sahabatku yang tukang makan itu. Dayu mengabarkan bahwa ia harus lembur malam ini di kantornya.
“Terima kasih untuk sambutan para pengunjung yang luar biasa. Saya berharap Sushi Me bisa terus berkembang dan bisa memberikan pelayanan terbaik untuk semua customer. ”
Pandangan mataku menajam pada seseorang yang baru saja memberikan sambutan. Tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Rasanya takdir selalu saja bermain-main denganku. Seberapa jauhpun aku berusaha berlari, takdir selalu mempertemukanku dengannya. Tepat di depan mataku, pria itu—pria yang selalu bermasalah denganku. Pria yang padanya kuserahkan benda kenangan berhargaku dari Mama.
Ibrahim Arrauf, pria yang paling ingin kuhindari di muka bumi. Nyatanya kini ada di hadapanku.
“Apa kabar, Danika?” tanya pria itu membuatku membeku. “Saya harap kamu bisa betah bekerja di sini. Senang bisa bertemu kamu lagi.”
Kemudian Ibra melenggan pergi. Menyapa para pegawai dan pengunjung lainnya. Sedangkan aku hanya diam membatu di tempatku berdiri. Tuhan benar-benar memberikan kejutan tak terduga padaku.
Inikah yang dinamakan takdir atau jodoh?
Menghindar Lagi
Bekerja bersama dengan orang yang paling ingin dihindari sangat tidak nyaman. Bukan karena Ibra mengganggu saat aku bekerja, tapi pria itu yang seperti mengawasiku selama melakukan tugasku sebagai seorang Pramusaji. Ibra bukan atasan yang galak dan gila disiplin. Bahkan ia adalah atasan yang sangat kooperatif dan perhatian. la berusaha membuat setiap pegawainya merasa nyaman dan tenang saat bekerja. Berdiskusi apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan ataupun makanan di Sushi Me. Bertanya apakah kebutuhan yang diinginkan pegawai untuk meningkatkan kinerja mereka. Sungguh, Ibra adalahcerminan atasan yang diinginkan setiap pegawai di dunia ini.
Tapi itu bagi yang lain. Tidak bagiku. Setiap kali Ibra muncul di hadapanku, sebisa mungkin aku akan menghindari pria itu. Menyibukkan diri dengan pelanggan. Bahkan saat aku tak memiliki tugas mengantar pesanan, maka aku akan membantu tugas pekerja lain. Entah itu mencuci peralatan, mencuci sayuran, memeriksa bahan makanan di gudang penyimpanan. Apa saja asal aku bisa menghindar dari Ibra. Teman-teman kerjaku yang awalnya merasa bingung akhirnya mendiamkan saja tindakanku. Bahkan merasa bersyukur karena aku bersedia membantu tugas mereka.
Seperti saat ini, kala aku melihat Ibra baru saja tiba di Sushi Me. Padahal restoran ini belum dibuka. Biasanya dia akan muncul setelah satu atau dua jam Sushi Me dibuka. Berbeda dengan Anwar yang memang setiap pagi selalu mengecek persiapan restoran. Aku yang datang terlalu awal langsung gelagapan ketika melihat kemunculannya. Segera saja aku berlari menuju ruang ganti. Membuat Indah yang ada di sana bingung akan tingkahku.
“Kenapa, sih?” tanyanya kala melihatku yang tak tenang.
“Hah?”
Indah tersenyum. Bukan rahasia lagi jika aku akan bertingkah aneh setiap kali ada Ibra. Delapan bulan sudah berjalan dan seisi Sushi Me tahu jika aku amat sangat menghindari interaksi dengan Ibra. Meski begitu aku bersyukur tak ada omongan miring di belakangku. Semua pegawai di Sushi Me sangat kooperatif. Mungkin ada satu atau dua orang, tapi mereka tak pernah menyuarakannya. Mungkin tak ingin mencari masalah karena Ibra yang selalu memperhatikanku. The power of Boss’.
“Mau ke mana, Ndah?” tanyaku kala Indah akan keluar dari ruang ganti.
“Ya kerjalah, Ka. Satu jam lagi Sushi Me mau buka. Masa aku nggak beres-beres. Bisa diamuk Pak Anwar nanti.”
Kulihat ia akan bekeija seorang diri karena dua rekannya belum tiba, aku berinisiatif membantu. Awalnya Indah menolak karena itu bukan tugasku. Terlebih mungkin ia akan sungkan pada atasan. Tapi aku meyakinkan bahwa aku akan mati bosan menunggu restoran ini buka. Akhirnya Indah mengizinkan dan merasa tertolong dengan bantuan tenagaku.
Di Sushi Me semua bekerja memang sesuai tugasnya. Namun bukan berarti pegawai lain tak boleh saling bantu. Lagi pula saat ini belum masuk jam kerjaku. Jadi tak ada salahnya aku membantu Indah membersihkan restoran. Terlebih aku tahu rasanya bagaimana bekerja sendiri. Pengalaman keija yang melelahkan sebagai petugas kebersihan pernah kujalani. Jadi sebisa mungkin aku ingin membantu orang lain yang membutuhkan tenagaku.
“Sepertinya ini bukan tugas kamu, Danika.”
Hampir saja kujatuhkan kemoceng yang ada di tanganku karena suara yang tiba-tiba menyapa. Ibra sudah berdiri di sebelahku. Kulirik sekitar memastikan mata-mata lain yang mungkin akan melihat kami. Namun seperti tak melihat kejadian apa pun, semua sibuk dengan pekeijaannya masing- masing. Terutama Indah yang sedang membersihkan meja- meja tamu di sisi utara restoran.
“Saya cuma mau membantu saja.”
“Nanti kalau kamu kelelahan bagaimana?”
Kulirik Ibra dengan wajah jengkel. “Saya nggak akan mati kehabisan tenaga hanya karena bantu teman bekerja.”
“Saya hanya mengkhawatirkan kamu, Danika.”
Aku mendengkus. Bisa tidak Ibra tak terang-terangan mendekatiku dan menunjukkan perhatiannya? Bagaimanapun aku ini pegawainya. Dan aku jelas tak ingin selalu menjadi pusat perhatian dengan semua perhatian yang diberikan Ibra.
“Bapak ke sana deh, jangan gangguin saya,” usirku.
Pria itu tetap bertahan di tempatnya. Membuatku tak nyaman dan tak bisa bekeija dengan maksimal karena merasa diperhatikan.
“Bapak pergi deh, ganggu konsentrasi keija saya saja.” Aku mendorong tubuh Ibra untuk menjauh, tapi pria itu
masih tetap bergeming. Meski kukerahkan seluruh tenaga, hanya membuat Ibra bergeser seinci saja. Rasanya aku ingin mengamuk dan mencakar wajahnya yang kini menyunggingkan senyuman. Apa dia tak tahu aku benar-benar malu pada beberapa pegawai yang melirik ingin tahu.
“Paklbra...!” teriakku kesal.
Ibra tertawa pelan. “Baik, saya menyingkir. Tapi setelah jam kerja kamu berakhir, temui saya di ruangan. Jangan lari
lagi, Danika. Mau sampai kapan kamu menghindar?”
Ibra memegang tanganku yang tadi berusaha mendorong tubuhnya. Namun secepat kilat kutarik kembali. Tak ingin bersentuhan lebih jauh dengan pria ini.
“Permisi...”
Baru saja aku ingin berlari menjauh, pria itu kembali menarikku pergelangan tanganku. Kutatap Ibra dengan kesal sembari berusaha melepaskan genggamannya. Namun, kali ini sepertinya Ibra tak ingin mengalah. la masih menahan tanganku. Tak kuat, namun cengkeramannya begitu erat.
“Jangan menghindar lagi, Danika. Saya mohon,” pinta Ibra, lirih.
Mata Ibra manatap intens padaku yang tak bisa kubalas dengan memalingkan wajahku. Tak ingin bertatapan dengannya. Tanganku masih berusaha untuk melepaskan diri, tapi tetap saja tak mudah. Pria itu tak mengendurkan sedikitpun cengkeramannya. Jika terus begini, sudah pasti kami menjadi tontonan seisi restoran.
“Danika...”
“lya, sekarang lepasin tangan saya.”
Tanpa kuminta dua kali, Ibra sudah melepas cengkeramannya. “Bagus. Saya tunggu,” ucapnya kemudian.
Pria itu mengusap lembut puncak kepalaku, kemudian meninggalkanku yang masih tercenung dengan tindakannya. Kuangkat kepalaku dan mendapati beberapa mata memandang padaku. Terutama Indah yang beijalan mendekat dengan peralatan pelnya.
“Pak Ibra makin berani, ya?” ledeknya.
Tak kutanggapi komentar Indah. Memilih berlalu menuju ruang ganti. Sebentar lagi Sushi Me akan dibuka. Tugasku membantu Indah juga tak perlu kuteruskan karena sudah ada dua rekan kerjanya yang membantu.
Saat akan masuk ke ruang ganti, kudengar dua orang tengah berbincang. Dan yang menjadi topik hangat perbincangan mereka adalah aku dan Ibra. Mungkin mereka melihat apa yang terjadi tadi. Mengataiku yang seolah bertingkah jual mahal akan perhatian Ibra. Terus saja mereka bicara akan keburukanku yang seperti dibuat-buat untuk mencari perhatian agar Ibra terus mendekat.
Aku memilih tak masuk dan mendengarkan dengan saksama. Aku tak ingin menyulut pertengkaran. Selama ini membicarakanku—karena itulah aku tak ambil pusing. Tapi saat mendengarnya langsung, entah kenapa hatiku sesak. Mengapa selalu saja ada masalah yang menghampiriku. Tak bisakah aku menjalani hidup dengan tenang. Apa kini aku juga harus kembali berhenti hanya karena omongan orang lain yang tak menyenangkan tentangku.
Kembali aku tak memenuhi janjiku. Bukannya menemui Ibra, aku malah kabur selepas bekerja. Bahkan tak berpamitan pada yang lain. Beruntung pria itu tak memergokiku kabur lagi. Aku benar-benar tak ingin bertemu dan bicara dengan Ibra.
Terutama hanya berdua di ruangannya. Masih jelas dalam kepalaku kala mendengar mereka membicarakan yang tak baik tentangku. Jika aku menemui pria itu, maka akan semakin menjadi saja mereka berbicara di belakangku. Memang tak semua, hanya beberapa. Tapi tetap saja saat mendengarnya langsung membuat perasaanku menjadi kacau.
Rumah Dayu adalah tujuanku. Tapi sahabatku itu mengatakan bahwa ia tak bisa pulang lebih awal. Jadi yang bisa kulakukan selama menunggu dengan menyibukkan diri. berbelanja. Kebetulan isi lemari es di rumahku sudah menipis. Selama bekerja di Sushi Me, kondisi keuanganku cukup stabil. Selain gaji memadai, Ibra juga tak segan memberi tambahan bonus jika setiap bulan Sushi Me mengalami pendapatan meningkat. Pria itu memang begitu royal. Aku tak bisa bayangkan berapa banyak uang yang dimilikinya hingga bisa begitu baik pada pegawainya.
Oh, tentu saja Ibra kaya. Mungkin lebih dari yang kubayangkan. Lihat saja mobil yang dikendarainya ketika kami bertabrakan. Bukan jenis mobil biasa saja. Tapi sedan mewah yang harganya saja tak bisa kubayangkan. Jika tungggangan Ibra saja semewah itu, maka tak heran kekayaan yang ia miliki di luar jangkauanku. Selain mengenal Ibra sebagai pemilik Sushi Me, aku tak kenal siapa pria itu selebihnya. Seperti apa Ibra dan kehidupannya pun aku tak tahu. Latar belakang keluarga atau lingkup pergaulannya, aku
juga tak tahu. Dan lebih baik tak perlu tahu karena itu hanya akan menambah daftar kerumitan hidupku saja.
Terlalu banyak berpikir tentang Ibra membuatku tak fokus berbelanja. Bahkan tak sadar sudah menabrak troli milik pengunjung lain. Membuatku harus meminta maaf. Namun ketika melihat siapa pemilik troli yang kutabrak, rasanya aku ingin menarik kembali permintaan maafku.
“Apa kabar, Danika?” Senyum meremehkan terpatri di wajah culasnya.
Tak kupedulikan wanita itu dan memilih pergi mendorong troliku menjauhinya. Namun, sepertinya Tante Indri memang ingin mencari keributan denganku. la malah menyusul dan bicara omong kosong perihal keadaan di rumah
yang tenang tanpa kehadiranku. Hingga saat ia menyinggung perihal benda peninggalan Mama, membuatku tak bisa lagi menutup telinga. Kudorong troliku hingga bertabrakan kembali dengan milik Tante Indri.
“Terserah kalau Tante man melakukan apa pun di rumah itu. Aku nggak peduli. Tapi, jangan sekali-kali menyentuh milik Mama. Aku nggak akan tinggal diam. Tante boleh merasa menang sudah memonopoli Papa. Tapi sampai kapan kebahagiaan semu begitu bisa Tante rasakan? Manusia yang masih merasa punya hati, nggak akan tenang hidupnya dengan jalan menghancurkan kebahagiaan orang lain. Sekali lagi say a peringatkan, jangan sentuh apa yang bukan milik Tante di rumah itu!”
“Kamu mau ancam Tante?”
“Silakan anggap itu ancaman. Tapi saya nggak akan segan untuk merusak kebahagiaan Tante kalau memang Tante menyentuh milik Mama!”
“Kamu tahu, Danika, kamu itu cuma anak kecil yang nggak bisa berbuat apa-apa. Jangan pernah ancam saya. Lebih baik kamu tata hidup kamu dan jangan pernah muncul lagi di hadapan Papa kamu. Jika kamu bisa melakukannya, saya tidak akan pernah mengusik apa pun peninggalan Mama kamu di rumah itu.”
Rasanya aku ingin menampar wajah perempuan tidak tahu diri ini. Tapi sebisa mungkin kutahan emosi. Dia hanya ingin meyakitiku dengan kata-katanya. Aku tak peduli apa yang terjadi antara dia dan Papa. Tapi jika dia macam-macam segala yang berhubungan dengan Mama, maka aku tak akan tinggal diam.
“Terserah! Saya juga nggak berniat mengusik hidup tenang kalian. Tapi mau sampai kapan pun kamu berusaha memutus hubungan antara Ayah dan anak, itu nggak akan pernah bisa. Sejauh apa pun aku beijarak dengan Papa, ikatan darah nggak akan pernah bisa diputus. Kita lihat siapa yang akan nangis darah pada akhirnya nanti. Saya atau kamu!”
Tak ada lagi sopan santun yang tersisa untuknya. Perempuan seperti Tante Indri tak pantas mendapatkan rasa sopanku lagi. Puas menumpahkan emosiku, kutinggalkan dia yang tak lagi berusaha mengejar.
Barn saja terbebas dari satu masalah, masalah lainnya kini menghadangku. Siapa lagi jika bukan Ibra. Pria itu tanpa diduga sudah muncul di hadapanku. Entah dari mana ia tahu aku berada di pusat perbelanjaan ini. Kehadiran Ibra malah menambah daftar panjang emosiku. Saat ini aku rasanya tak punya pengendalian diri lagi.
Kutatap tajam Ibra, namun pria itu tetap bergeming. Akhirnya aku memilih mendorong troli menghindari Ibra. Tapi kali ini Ibra tak tinggal diam. Pria itu menarik troli dariku dan membawanya. Membuat rasa kesalku bertambah untuknya.
“Saya bisa sendiri, Pak Ibra!” desisku mengejar Ibra. “Kenapa kamu kabur lagi?”
“Saya nggak kabur...”
“Tapi cuma menghindar dari saya?”
Aku tak menjawab. Masih berusaha menarik kembali troliku. Tapi Ibra seperti tak mau mengalah. Pria itu malah memasukkan beberapa barang ke dalam troliku. Membuatku mengernyit karena merasa tak membutuhkannya.
“Saya nggak butuh ini.”
Kuambil benda tersebut dari troli. Meletakkan kembali ke tempatnya. Tapi Ibra seperti tak mendengar, kembali memasukkannya ke troli, terus seperti itu dengan aku yang terus mengomel. Pengunjung lain yang melihatnya mungkin mengira kami pasangan yang sedang bertengkar kala berbelanja. Sampai aku yang memilih menyerah dan mengekori ke mana Ibra membawa troliku.
Dan pertengkaran kembali terjadi kala kami berada di kasir. Ibra yang sudah mengeluarkan kartu kreditnya untuk melakukan pembayaran langsung kucegah. Kukatakan pada kasir bahwa aku yang akan membay ar semua. Tapi Ibra kembali keras kepala dengan memberikan kembali kartunya pada kasir. Bahkan menatap tajam padaku membuatku menciut di tempat. Akhirnya aku kembali mengalah dan membiarkan Ibra berbuat sesukanya. Lagi pula sejak tadi kami menjadi pusat perhatian. Ditambah dengan antrian yang akan semakin memanjang jika aku memilih bertengkar dengan Ibra di depan meja kasir. Mungkin nanti aku bisa mengonfrontasi pria ini saat kami sudah tak berada di keramaian.
Membuatnya Menjauh
Jika kukira masalahku dan Ibra akan selesai begitu saja, maka aku salah. Ibra tak berhenti begitu saja. la memaksa untuk mengantarkanku pulang. Padahal rencananya aku akan menginap di rumah Dayu, namun Ibra seakan tak mendengar. la tetap mengantarkanku ke rumah. Membuatku bingung dari mana dia bisa tahu di mana aku tinggal.
“Kamu lupa kalau saya yang punya Sushi Me? Saya bisa tahu semua dari data pegawai,” ucap Ibra santai.
Aku merutuki diri sendiri yang melupakan fakta tersebut. Meski begitu aku masih bersikukuh tak mengizinkan Ibra menginjakkan kaki di rumahku.
“Terima kasih tumpangannya. Sekarang Pak Ibra boleh pergi,” usirku tanpa perasaan.
Namun,alih-alih pergi, Ibra malah mengambil kantong plastik di tanganku,membawanya hingga ke teras rumah. Menungguku membukakan pintu.
“Saya bisa sendiri. Sekarang Pak Ibra boleh pergi!” ucapku ketus.
“Tidakkah kamu ingin menawarkan saya sekadar segelas air, atau kalau boleh makan malam?”
Jika selama ini orang paling keras kepala yang kutahu adalah Dayu, maka kini aku tahu ada yang lebih dari gadis itu. Pria di hadapanku ini tepatnya. Bahkan ia tak repot-repot merasa tersinggung dengan pengusiranku yang terang- terangan.
“Saya...”
“Danika, apa begitu susah memberi saya sedikit saja ruang untuk memperbaiki masalah kita? Jika memang kesalahpahaman kita selama ini kamu anggap sebagai masalah.”
Lama aku memandangi Ibra dan akhirnya menyerah. Bagaimanapun aku tak boleh menjadi orang yang tak tahu caranya berterima kasih. Terlebih Mama mungkin malu jika putrinya tumbuh menjadi anak kurang ajar. Karena itu, kubuka lebar pintu rumah.
Pria itu tersenyum hangat karena penerimaanku. Bahkan tak ragu melangkahkan kakinya. Sengaja aku tak menutup pintu rumah karena tak ingin membuat orang-orang di sekitar berspekulasi yang tidak-tidak kami.
“Ini mau diletakkan di mana?” tanya Ibra merujuk pada kantong belanja yang ada di tangannya.
Kuambil alih kantong tersebut, kemudian meminta Ibra untuk duduk saja di sofa depan. Sementara itu aku mulai menyusun barang-barang yang tak seberapa tadi ke tempatnya. Baru kemudian menemui Ibra dengan membawakan segelas air. Ibra sendiri tak bisa menahan senyumnya kala mendapatiku yang masih memberi sedikit perhatian akan kehadirannya.
“Terima kasih,” ucapnya sembari mengambil gelas yang baru kuletakkan di meja.
“Habis ini Pak Ibra pulang, kan?” tanyaku.
Air yang diteguk Ibra hampir saja menyembur keluar. Mungkin terkejut karena ternyata aku masih berusaha mengusirnya. “Kamu benar-benar tidak mengizinkan saya untuk merasakan makan malam buatan kamu?”
Aku menggeleng. “Enggak. Karena saya juga nggak ada niat untuk masak. Setelah ini saya mau langsung istirahat.”
Ibra menatap arloji di pergelangan tangannya. “Ini masih pukul delapan lewat, Danika. Dan kamu sudah mau tidur? Apa tidak salah?”
Sekali lagi aku menggeleng. “Saya capek dan mau istirahat.”
Sekejap Ibra berdiri. Aku pun menduga bahwa pria ini akan berpamitan justru melangkah lebih dulu darinya. Seakan mempersilakannya untuk pergi.
“Kalau kamu pikir saya akan pergi sekarang, kamu salah.”
Dahiku mengernyit mendengar ucapan Ibra. Bukannya akan pergi, Ibra malah mendekat padaku. Menggenggam erat pergelangan tanganku.
“Pak Ibra mau apa?” tanyaku, berusaha melepaskan cekalan Ibra.
“Saya akan pergi, tapi setelah kamu makan malam. Sejak tadi sore kamu melarikan diri, saya sama sekali belum melihat kamu makan apa pun.”
“Saya nggak lapar,” tolakku bersikeras.
“Makan, Danika. Saya nggak mau kamu sakit.” Dahiku makin mengernyit dalam. “Saya sakit nggak ada
urusannya sama Pak Ibra.”
“Ada. Dan saya nggak suka kalau kamu sakit. Sekarang, kunci pintu rumah kamu dan ikut saya.”
Seakan tak memberi kelonggaran, Ibra sudah menarikku keluar. Membuatku tak bisa berkutik. la bahkan mempermudah dengan mengunci pintu rumahku, kemudian menarikku ke dalam mobilnya. Harusnya aku berteriak untuk menghentikan Ibra. Namun aku justru tak melakukannya. Selain bingung, aku juga tak ingin membuat kegaduhan di lingkungan ini.
“Pak Ibra mau bawa saya ke mana?” tanyaku saat Ibra sudah melajukan mobilnya.
“Makan malam.”
“Jangan ke Sushi Me!” tolakku tegas.
Pria itu menatapku sekilas, kemudian kembali fokus pada jalanan.“Lalu kamu mau makan apa?”
Aku berpikir sejenak. “Apa saja asal jangan ke Sushi Me.” Ibra mengangguk kecil, kemudian tak bertanya apa pun
lagi. Dalam hati aku mengutuki diri sendiri. Bagaimana bisa aku menurut saja dan bukannya melakukan perlawanan atas sikap Ibra. Tapi satu sisi aku juga merasakan kenyamanan. Sejak aku dan Papa berseteru, aku tak pernah lagi merasa nyaman akan perhatian orang lain. Kecuali Dayu, tentu saja.
Oh, bukan tak pernah. Tapi aku yang berusaha membentengi pendekatan apa pun yang dilakukan kaum Adam terhadapku. Tapi untuk kasus Ibra, aku sendiri juga tak mengerti mengapa bisa mudah saja ditaklukkan oleh keras kepalanya.
Mobil Ibra berhenti di sebuah rumah makan khas Indonesia. Kembali pria itu membuatku tercengang karena membukakan pintu untukku. Bahkan menarikkan kursi untuk kududuki. Membuatku menundukkan wajah karena malu akan perhatian intens Ibra. Tanpa meminta pendapatku, pria itu bahkan memesankan menu spesial di rumah makan tersebut.
Selama menunggu, aku berusaha tak melihat ke arah Ibra. Kulayangkan pandanganku ke mana saja asal tak bersirobok dengan matanya. Sampai makanan kami terhidang, aku masih memilih tak memandangnya.
“Danika...” panggil Ibra saat aku tak jua menaikkan pandang. Lebih memilih menatapi lantai di bawah kakiku. “Danika, makan.”
Dua kata bernada perintah tersebut mau tak mau membuatku akhirnya melihat ke arah Ibra. Pria itu bahkan sudah menyiapkan sepiring nasi dan lauk pauknya untukku. Membuatku terperangah takjub. Namun kesal juga karena Ibra seolah memperlakukanku seperti anak perempuannya.
“Saya bukan anak kecil. Pak Ibra nggak usah ngambilin saya makan,” ketusku.
Tapi Ibra tak tampak terganggu. Pria itu ikut menyiapkan piringnya sendiri. Merasa tak akan mendapat tanggapan dari Ibra membuatku akhirnya menyerah dan mulai menikmati makanan yang ada. Tak ada yang bicara selama kami makan hingga kami merasa cukup kenyang. Tanpa kata, Ibra membay ar tagihan dan kembali mengajakku ke mobilnya. Sepanjang jalanpun tak ada kata yang terucap dari bibir kami berdua. Hingga kembali lagi ke rumahku. Kali ini aku menahan Ibra untuk mengantarkanku ke depan pintu.
“Pak Ibra nggak usah turun!” tegasku.
Ibra mengangguk. Tapi belum lagi aku membuka pintu mobil, Ibra kembali menahan pergelanganku.
“Ini apa?” tanyaku, mengarahkan mata ke tangannya yang mencekal.
“Tolong jangan menghindar dari saya, Danika. Saya bukan virus berbahaya yang harus kamu hindari. Selain itu,
jaga kesehatan kamu. Makan dan istirahat yang teratur. Saya nggak mau lihat kamu sakit.”
Mata Ibra memancarkan kesungguhan kala mengucapkan hal tersebut. Membuatku kehilangan kemampuan untuk berkata ketus dan membangun benteng pertahanan. Yang bisa kulakukan hanya menatap Ibra seperti orang bodoh. Hingga Ibra mengelus kepalaku dengan lembut dan mempersilakanku untuk keluar dari mobilnya. Dan detik itu juga aku seperti orang yang kena kutukan sihir. Tak mampu berucap dan bereaksi apa pun atas semua perlakuan Ibra.
Pendekatan yang gencar dilakukan Ibra itu menakutkan. Jika pria itu mengatakan bahwa ia bukan virus berbahaya, maka semua itu salah besar. Sejak aku mengenalnya, semua jadi semakin tak terkendali. Kehadiran pria itu dalam hidupku membawa dampak yang tak baik. Aku takut akan menjadi gadis lemah lagi dan bergantung dengan orang lain. Menjadi lemah adalah hal yang tak kuinginkan dalam hidupku. Karena itu, satu-satunya cara untukku adalah dengan menjauhkan Ibra dariku.
Tapi, menjauhkan Ibra bukan hal yang mudah. Pria itu selalu berada di sekitarku. Bahkan kala aku tak ingin berhadapan dengannya, ia selalu muncul. Seperti tiap kali aku bekerja melayani para tamu, ada saja yang Ibra lakukan untuk menahanku. Entah itu memanggilku ke ruangannya, atau memintaku menemaninya bertemu pemasok bahan restoran. Padahal itu jelas bukan tugasku. Tapi karena Ibralah pemilik Sushi Me, tak ada siapa pun yang bisa mengkritiknya.
“Yu, gimana caranya biar co wok berhenti dekatin kita?” tanyaku saat kami menghabiskan akhir pekan bersama.
Kebetulan Dayu tak bekeija dan aku juga mendapatkan jadwal pagi. Jadi aku bisa menghabiskan waktu akhir pekan
soreku bersamanya. Dayu juga tak memiliki jadwal kencan karena kekasihnya sedang bertugas ke luar kota. Bicara soal hubungan dengan pria, Dayu mungkin lebih berpengalaman dariku. Gadis ini tak pernah menutupi kisah cintanya padaku. Jadi aku cukup tahu siapa saja yang pernah menjadi kekasih Dayu.
“Ehm ... kalau mau bikin cowok berhenti dekat, ya, kita harus punya pacar, kan? Mana ada cowok yang berani dekatin pacar orang. Kecuali dia nekat.”
Punya pacar? Sepertinya itu ide yang bagus untuk membuat Ibra menjauh dariku. Tapi masalahnya, siapa pria yang bisa kujadikan kekasih. Atau paling tidak yang bisa kuajak bekeija sama untuk berperan menjadi kekasihku. Selama ini aku terkenal menjaga jarak dengan rekan kerja pria. Akan aneh jika tiba-tiba saja aku mendekati salah satu dari mereka.
“Ginan mau nggak, ya, aku minta jadi pacar bohongan?” Dayu melebarkan matanya. Bibirnya separuh terbuka.
Mungkin tak percaya dengan pendengarannya. “Ginan? Jadi pacar bohongan kamu?” cecar Dayu.
Aku mengangguk.“Iya. Aku butuh bantuannya.” Dayu menatapku penuh selidik. “Cerita, siapa yang mau
kamu buat menjauh dan kenapa?”
Mungkin sudah saatnya aku bercerita pada Dayu. Mulai dari pertemuan pertamaku dan Ibra. Juga dua kali insiden yang melibatkan mobil. Tentu saja minus mobilku yang kuserahkan pada Ibra sebagai pengganti kerugian biaya mobilnya. Juga bagaimana kini Ibra selalu menghantui hari- hariku.
“Dia suka sama kamu. Ralat, mungkin cinta.” Mataku melotot. “Gimana bisa?”
“Ya, bisa aja,” jawab Dayu santai.
“Oke, anggap dia suka. Tapi aku enggak. Aku merasa terganggu. Dan mau dia berhenti dekatin aku,” beberku. “Jadi, Ginan bisa bantu nggak?”
Dayu berpikir sejenak, kemudian gadis nakal itu menyunggingkan senyum simpul menyebalkannya. Dan aku tahu jawaban Dayu tanpa dia perlu menyuarakannya.
Sore ini ketika jam kerjaku berakhir, aku sudah bersiap untuk pulang. Tentunya setelah mendapat kabar dari Ginan bahwa sepupu Dayu itu akan menjemputku. Aku lega saat tahu Ginan bersedia membantuku. Lagi pula jika ia tak mau membantu, aku yakin Dayu akan menghantui hidup Ginan. Membanyangkannya saja sudah membuatku tertawa. Memangnya kapan Ginan pernah menolak Dayu? Tidak pernah.
Tepat saat Ginan mengatakan sudah berada di depan Sushi Me, aku bergegas menyusulnya. Namun lagi-lagi Ibra menghentikan langkahku. Mengatakan bahwa ia akan mengantarkanku pulang. Tapi, kali ini aku punya alasan yang mungkin akan menghentikan langkah Ibra. Selamanya.
“Saya pulang sama pacar, Pak.”
Wajah Ibra tampak terperangah. Sedetik wajah pria itu terlihat mengeras, namun segera menormalkan ekspresi wajahnya. “Pacar? Siapa?”
Kugigit bibirku. Inilah yang paling kubenci dengan sosok Ibra. Pria ini tak akan mudah menyerah. Mungkin ia akan mengorek informasi sedetilnya dariku untuk mengetahui kebenarannya.
“Di depan.”
Aku berjalan mendahului Ibra. Sedang pria itu mengikuti langkahku. Sampai di depan Sushi Me, aku lega kala melihat Ginan sudah berdiri menunggu sembari memainkan ponsel.
“Nunggu lama?” sapaku, menghampiri Ginan, bahkan nekat memeluk tubuhnya. Kurasakan Ginan membeku, namun saat melihat siapa yang mengikuti di belakangku, pria itu merilekskan tubuhnya. Mulai mengikuti permainan.
“Enggak lama, kok. Mau langsung pulang?”
Kini Ginan menggenggam erat pergelangan tanganku. Dan semua itu tak lepas dari pengamatan Ibra. Akan tetapi pria itu masih menjaga ekspresinya. Hany a memperhatikan kedekatan kami dengan saksama.
“Anda pacar Danika?” tanya Ibra menyelidik.
“lya. Ginan, pacar Danika.” Ginan mengulurkan tangannya pada Ibra yang disambut lelaki itu sambil menyebutkan nama.
Kukira semua akan selesai begitu Ginan memproklamirkan diri sebagai kekasihku. Tapi, nyatanya tak semudah itu mengecoh seorang Ibrahim Arrrauff. Malah dengan santainya Ibra meminta waktu untuk bicara dengan Ginan. Membuatku dilanda panik seketika.
“Kami enggak punya waktu. Kalau Pak Ibra man bicara sama Ginan, lain kali saja. Permisi!”
Kutarik Ginan untuk menjauhi Ibra dan Sushi Me. Tak peduli meski itu tak sopan. Atau Ibra mungkin berpikir untuk memecatku. Semua itu akan kuhadapi untuk esok. Yang pasti saat ini Ibra harus mundur dan tak lagi mendekatiku.
Selama peijalanan pulang, aku hanya diam. Sibuk dengan pikiranku sendiri. Ginan juga tak terlihat ingin menginterupsi. Hingga kami tiba di depan rumahku. Baru pria itu bersuara.
“Danika ... boleh aku kasih saran?”
“Ya?”
“Ibra...” Tubuhku menegang kala Ginan menyebut namanya, “pria itu baik. Aku bisa lihat dia itu orang yang serius dan bertanggung jawab. Dan kelihatannya dia nggak main-main sama kamu.”Oke, aku tahu Ginan ingin bicara apa, tapi aku memilih untuk menjadi orang bodoh dengan melontarkan kata terus bernada tanya.“Kamu pasti tahu apa maksudku, kan?” Aku memilih menggeleng, membuat Ginan melepas tawa sambil mengacak rambut di puncak kepalaku. “Jangan pura-pura bodoh. Kamu sama Dayu kadang sama aja.”
“Maksudnya?”
“Ibra, dia pantas. Buka hati kamu dan coba kasih dia kesempatan. Aku jamin kamu nggak akan nyesal.”Aku memilih berdiam diri. Hingga Ginan mengambil sebelah tanganku dan mengusapnya lembut. Membuatku menaikkan pandangan menatapnya.“Kamu berhak bahagia. Dan saat ini mungkin jalannya. Jangan terus memendam Iuka dan menutup diri, Ka.”
“Dari mana kamu...”
Ginan menaikkan sebelah alis yang langsung dapat kutangkap maksudnya. “Dicoba, Nika. Kesempatan akan selalu datang. Tapi kesempatan saat Tuhan menghadirkan orang seperti Ibra di hidup kamu belum tentu datang dua kali.
Ingat satu hal, kamu harus bahagia. Dan kamu berhak bahagia. Ngerti?”
Aku mencoba mencerna apa yang Ginan sampaikan. Pria itu benar. Aku berhak bahagia. Dan harus bahagia. Karena itu, kuanggukkan kepala sambil melempar senyum. Berpamitan pada Ginan yang langsung melajukan mobilnya menjauh dari kediamanku.
Cukup lama aku berdiam di tempatku berdiri. Memandangi senja yang makin memerah. Kata-kata Ginan kembali berputaran di kepala. Dan itu menyadarkanku akan satu hal. Selama ini aku terlalu menutup rapat diri sendiri dari kebahagiaan, kukatakan pada diri sendiri bahwa aku akan bahagia. Mungkin tak langsung dengan menerima Ibra atau siapa pun dalam hidupku, tapi mulai dengan menciptakan bahagiaku sendiri.
Lengan Untuk Menopang
Bersandiwara bahwa Ginan adalah kekasihku, sudah kulakukan. Apakah berhasil mengecoh Ibra? Tidak sama sekali. Pria itu tak terpengaruh sedikit pun jika Ginan adalah kekasihku. Bahkan Ibra makin gencar mendekat. Membuatku pusing sendiri karena kehabisan cara untuk mengusir pria itu dari hidupku.
Selain itu aku juga semakin betah bekerja di Sushi Me. Rumor miring yang tadinya menerpaku menjadi semakin tak berarti karena para pegawai yang lainpun mungkin menyadaribukan aku yang mendekati Ibra, tapi sang Bos besarlah yang kian mendekat. Sejauh apa pun aku berlari, Ibra selalu berhasil menyusul selangkah di depanku.
Seperti yang kali ini teijadi. Di saat semua karyawan sudah kembali ke rumahnya masing-masing, Ibra malah menahanku di kantornya. Katanya ada yang ingin disampaikan padaku. Dengan terpaksa aku menemui pria itu di kantornya. Setelah diizinkan masuk, baru aku melangkah masuk.
“Ada yang ingin Bapak sampaikan ke saya?” tanyaku tanpa basa-basi. Masih dengan posisi berdiri di depan meja keija Ibra.
“Kamu bisa duduk dulu, Danika. Ada beberapa hal yang harus saya selesaikan dulu.”
Aku mengernyit bingung. “Kalau memang Pak Ibra masih sibuk, kita bisa bicara lain kali.”
“Tidak.” Suara Ibra terdengar tegas. “Sekarang kamu duduk.”
Mau tak mau aku menuruti perintah pria itu. Memilih duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut daripada di kursi yang ada di depan mejanya. Selama menunggu aku memilih untuk berselancar di dunia may a. Terlalu asyik dengan dunia may a hingga tak menyadari jika Ibra sudah berada di sampingku.
“Astaga!” pekikku kala berhadapan Ibra dalam jarak sedekat itu.
“Kamu terlalu asyik dengan handphone. ”
“Bapak ngagetin saya!”
Bukannya menjawab pertanyaanku, Ibra malah balik bertanya. “Kamu sudah makan?”
“Apa yang mau Pak Ibra bicarakan dengan saya? Saya nggak punya banyak waktu. Saya ingin segera pulang ke rumah dan istirahat.”
Ibra tiba-tiba berdiri, membuatku terperanjat. Sebenarnya apa mau pria ini padaku. “Kalau begitu saya antar kamu pulang.”
“Saya nggak butuh tumpangan Bapak. Dan...”
Tak sempat menyelesaikan kalimat, Ibra sudah menarik tanganku hingga ikut berdiri tegak. Tindakannya yang tiba- tiba tentu saja mengejutkanku. Aku bahkan tak bisa berkata apa pun saat Ibra menarikku ke luar dari ruang keijanya.
“Bapak mau apa?” tanyaku saat Ibra sudah membukakan pintu mobilnya untukku.
“Mengantarkan kamu pulang.”
Seperti biasa aku akan memberontak. Dengan kasar kulepaskan cekalan Ibra di pergelanganku, membuat pria itu terkejut. “Saya sudah bilang, kalau saya nggak butuh tumpangan Bapak. Tolong, jangan persulit saya lagi.”Kutinggalkan Ibra yang masih terpaku karena ucapanku. Aku tahu sikapku sangat kasar, tapi jika aku tak berbuat begitu, Ibra tak akan pernah berhenti. Kadang kita memang harus bertindak kejam untuk menghentikan langkah seseorang. Dan mungkin inilah puncaknya Ibra akan berhenti mendekatiku.
Kulangkahkan kaki menuju halte bus terdekat. Pikiranku kembali berputar akan kejadian tadi. Setitik celah dalam hatiku merasa bersalah karena bersikap kasar terhadap Ibra.
Tapi sisi lainnya membenarkan tindakanku. Membuatku mengerang karena pikiran-pikiran tersebut.
Tak lama bis yang kutunggu tiba. Namun saat hendak masuk ke dalam, seseorang menghentikan gerakanku. Mataku terbelalak kala melihat ternyata Ibra yang menghentikanku. Pria itu kembali menarikku menjauhi bis yang segera melaju. Membawaku masuk ke mobil miliknya, kemudian ikut menyusul duduk di kursi kemudi.
Aku masih tak bisa bersuara kala Ibra sudah melajukan mobilnya. Pria itupun tak mengatakan sepatah kata. Hanya menyetir dalam diam. Hingga mobil berhenti di sebuah rumah.
“Kenapa Bapak lakukan ini ke saya?” tanyaku dengan nada menuntut. Kami berdua masih berdiam di dalam mobil.
“Karena kamu terlalu keras kepala untuk menuruti ucapan saya.” Ibra membalas dengan nada santai.
Pria itu kemudian turun dari mobilnya. Berputar hingga kini berada di sisi pintu sebelahku. Dengan cepat Ibra membuka pintu dan menarikku untuk turun. Tanpa membiarkanku melakukan protes, Ibra membawaku masuk ke rumah asing yang kuduga adalah rumahnya.Seketika pikiran aneh berkelabat di kepala. Untuk apa Ibra membawaku ke rumah ini. Terlebih rumah ini begitu kosong. Seperti tak ada satupun penghuninya. Hingga Ibra mendudukkanku di sofa ruang tamu. Dia masih belum bersuara.
“Pak Ibra mau apa?” tuntutku saat pria itu ikut duduk di sebelahku. Refleks aku memundurkan tubuh hingga menyentuh lengan sofa.
“Kenapa sulit sekali mengajak kamu bicara dengan kepala dingin, Danika?” tanyanya membuatku mengernyit.
“Hah?”
“Kenapa kamu selalu menghindar seolah saya ini penyakit menular? Apa saya begitu berbahayanya hingga kamu selalu memasang benteng pertahanan ketika saya mendekat?”
Aku membeku. Lidahku seakan kelu untuk menjawab pertanyaan Ibra. Yang bisa kulakukan saat ini hanya mengerjapkan mata seperti orang bodoh. Terlebih saat Ibra melayangkan tangannya untuk mengelus kepalaku. Seluruh saraf dalam diriku rasanya tak bisa bekerja dengan baik karena aku malah semakin membeku.
“Saya cuma ingin dekat sama kamu, Danika. Apa itu salah?” tanyanya kemudian.
Harusnya aku bisa berteriak lantang bahwa itu salah. Tapi, sentuhan dan tatapan pria itu melumpuhkanku. Aku tak bisa bergerak seinci pun. Hanya menahan napas kala Ibra makin mendekatkan tubuhnya.
“Saya tidak akan berbuat apa pun yang membuat kamu makin membenci say a, Danika. Tapi, biarkan say a bisa dekat dengan kamu. Agar saya bisa menjaga kamu. Boleh, kan?”
Tidak! Tentu saja aku akan menjawab begitu jika saat ini aku adalah Danika yang biasanya. Tapi jangankan menjawab, menolak sentuhan Ibra saja aku tak mampu. Aku hanya berdiam bagai seekor peliharaan yang sedang mendapatkan kasih sayang dari majikannya. Tanpa perlawanan.
“Kamu pasti belum makan malam. Kalau begitu saya akan memasak makan malam untuk kamu.” Ibra akhirnya beranjak dari sofa.
Setelah pria itu tak lagi berada dekat denganku, aku akhirnya bisa menarik napas lega. Efek Ibra memang sangat dahsyat. Sekejap saja aku dibuat tak berkutik olehnya. Aku tak mungkin bertahan lebih lama lagi di dekatnya. Namun, baru saja aku akan meniatkan melarikan diri dari rumahnya, Ibra berseru keras padaku.
“Jangan coba-coba kabur, Danika. Kamu tahu apa yang bisa saya lakukan padamu.”
Tubuhku seketika membeku. Sepertinya ancaman Ibra berhasil memengaruhi. Karena kemudian yang teijadi, aku justru menghampiri Ibra di dapurnya. Duduk diam di kursi
ruang makan. Memperhatikan Ibra yang kini sedang sibuk menyiapkan makan malam. Sikap patuhku tentu saja membuat Ibra tersenyum lebar. Mungkin pria itu merasa menang karena berhasil mengendalikanku. Tapi tak tahulah, aku pun bingung dengan diriku saat ini.
Pekerjaanku berjalan lancar. Tak terasa sudah hampir dua tahun aku bekerja di Sushi Me. Rekor terlama bagiku dalam bekerja. Jika biasanya aku akan bertahan dalam hitungan bulan, tapi tidak di sini. Sesuatu yang patut kusyukuri karena berhasil melewatinya dengan baik.
Ibra yang masih gencar mendekat pun tak terlalu kuambil pusing. Pria itu tak lagi membuatku gentar dengan pendekatannya. Hanya satu yang harus kulakukan untuk menghadapi serangan Ibra: cukup biarkan pria itu bertindak semaunya asal tidak membuatku jengkel , maka Ibra akan memberi sedikit ruang bagiku bernapas lega dari segala gerakan gencarnya.
Seperti halnya aku, Dayu pun mengalami hal yang sama. Gadis itu mendapatkan cobaan berupa atasan yang luar bisa menjengkelkannya seperti Ibra. Atau bahkan lebih menjengkelkan katanya. Bagaimana tidak jika Dayu yang menjabat sebagai Sekretaris tapi justru lebih mirip seperti Baby Sitter sang Bos. Pria bernama Damar Kharisma yang membuat Dayu setiap saat siap meledak karena ulahnya. Aku belum pernah bertemu langsung bagaimana Damar itu. Tapi mendengar cerita Dayu, sepertinya pria itu begitu menjengkelkan.
“Dengar semua, nanti akan ada reservasi khusus. Jadi beberapa orang harus standby untuk membantu, ya.” Anwar memberi pengarahan sebelum jam makan siang berakhir.
Kami yang mendapatkan shift setelah makan siang jelas harus siap sedia menghadapi pesanan khusus ini. Biasanya pesanan khusus berasal dari pelanggan VIP yang sedang mengadakan acara. Entah itu reuni, jamuan tamu bisnis, atau sekadar arisan. Untuk mereka, Sushi Me menyediakan ruangan khusus bagi tamu VIP-nya.
“Danika, kamu ikut bantu di reservasi khusus, ya?” Anwar memberi perintah yang kujawab dengan anggukan. Biasanya yang melayani tamu khusus akan mendapatkan jatah tip lebih karena kami benar-benar harus melayani mereka dengan sempurna.
Pukul dua siang beberapa tamu yang terdaftar sebagai pesanan khusus mulai berdatangan. Aku dan beberapa pelayan yang sudah diberi tugas mulai mengantarkan menu spesial yang sudah disiapkan. Entah itu kesialan atau keberuntungan, yang menjadi tamu khusus Sushi Me hari ini adalah salah satunya Tante Indri. Kami sama-sama terkejut saat berpapasan. Tapi sebisa mungkin kujaga ekspresi wajahkku. Bersikap profesional. Tak ingin mengacaukan acara mereka. Apalagi membuat nama Sushi Me menjadi buruk di mata para pelanggan.
“Selamat menikmati,” ucapku sesopan mungkin setelah meletakkan hidangan di meja.
Aku mempercepat langkah. Segera keluar dari ruangan yang bagiku menyesakkan karena ada Tante Indri di dalamnya. Namun bukannya kembali ke dapur, aku malah memilih mengurung diri di toilet. Membasuh wajah untuk menyejukkan hatiku.
Tapi sepertinya takdir ingin bermain-main denganku saat ini. Tepat setelah membasuh wajah, seseorang masuk ke toilet. Wajah Tante Indri terlihat jelas dari pantulan cermin di depanku. Bibir wanita itu menyunggingkan senyum mengejek.
“Mau apa kamu ke sini?” tanyaku ketus.
“Kenapa? Memangnya tamu tidak diizinkan menggunakan toilet?”
Wanita iblis itu mendekat ke arahku. Sengaja menggunakan keran wastafel di sebelahku. Dengan gerakan lambat, Tante Indri mencuci tangannya, kemudian mengeringkannya dengan tisu yang tersedia.
“Lama tidak bertemu, ya. Gimana kabar kamu?” tanyanya basa-basi.
Aku tak menjawab. Hany a mengencangkan peganganku pada pinggir wastafel. Aku sangat tahu wanita ini hanya ingin bermain-main denganku. Tapi aku tak ingin terpancing olehnya.
“Tapi saya lihat, kamu baik-baik saja,” ucapnya kemudian. “Baguslah. Kalau kamu baik begini, Papa kamu jadi nggak perlu cemas lagi, ya. Anak perempuannya ternyata sudah dewasa. Bahkan sudah bisa jaga diri dan hidup mandiri.”
Ada nada sombong dalam suaranya. Sungguh aku tak ingin terpancing apa pun yang perempuan jahat ini katakan. Tapi saat aku memperhatikan kalung yang melingkar di lehernya, seketika amarahku menggelegak. Dengan kasar kurampas kalung itu hingga terlepas dari lehernya. Perempuan itu menjerit karena tindakan tiba-tibaku.
“Kamu!” teriaknya sambil menngacungkan telunjuk ke arahku.
“Saya sudah bilang, silakan kalau kamu mau kuasai apa pun di rumah Papa, tapi tidak dengan semua barang yang menjadi milik Mama,” ucapku lantang. “Dan ini milik Mama saya!”
Wajah Tante Indri merah padam. Tapi sepertinya perempuan itu tak akan menyerah semudah itu. la berusaha meraih kalung yang ada dalam genggamanku. Namun aku juga tak akan semudah itu menyerahkan milik Mama padanya. Aksi saling rebut tak dapat dielakkan dari kami. Hingga aku yang sudah geram padanya mendorong tubuh Tante Indri hingga ia jatuh ke lantai.
Tepat saat itu seorang pelanggan masuk ke dalam toilet. Wanita itu berteriak memanggil siapa pun yang ada. Secepat kilat beberapa orang mulai masuk ke dalam toilet. Mereka membantu Tante Indri untuk bangun dan melayangkan tatapan menuduh padaku. Tapi aku tak peduli. Aku hanya ingin mempertahankan apa yang menjadi milik Mama.
Bisik-bisik mulai terdengar kala aku dan Tante Indri diantar ke ruang keija Ibra. Teman Tante Indri yang merupakan tamu VIP di Sushi Me jelas marah karena melihat sahabatnya yang menurutnya mendapatkan kekerasan olehku. la berjanji akan menuntut Sushi Me. Bila perlu menuntutku ke pengadilan.
“Bisa jelaskan apa yang teijadi, Ibu...”
“Indri. Nama sahabat saya ini, Indri. Dan saya, Evita, adalah pelanggan VIP di restoran ini.”
Sahabat Tante Indri berucap sombong. Dia mungkin tidak mengetahui bahwa Ibra dalah pemilik Sushi Me. Mungkin dalam pikirannya Ibra yang terlihat sederhana hanya sebatas Manajer di restoran ini.
“Baik, Ibu Indri. Bisa tolong jelaskan apa yang teijadi pada Ibu dan pegawai kami?” tanya Ibra sama sekali tak terpengaruh dengan nada intimidasi wanita bernama Evita itu.
“Pegawai Anda bersikap kasar pada sahabat saya. Dia mendorong sahabat saya hingga jatuh ke lantai. Dan...” Mata Ibu Evita menyipit kala melihat tanganku menggenggam kalung Mama. Segera saja berbagai spekulasi terbentuk di kepalanya. “lihat, pegawai Anda mencuri kalung sahabat saya!”
Baik aku dan Tante Indri sama-sama terperanjat. Aku tentu saja tak terima akan tuduhan wanita sombong itu. Sedang Tante Indri, wajahnya tampak salah tingkah. Mungkin malu jika sampai aku membeberkan apa yang teijadi dan hubungan apa yang kami punya.
“Danika?” tanya Ibra. Suaranya terdengar lembut, membuat Tante Indri dan sahabatnya menatap Ibra heran.
“Saya tidak mencuri. Kalung ini milik Mama saya.” “Heh, jangan sembarangan kamu, ya! Kamu pikir kami
bodoh begitu. Mana mungkin pelayan kecil seperti kamu punya perhiasan semahal itu,”cecar sahabat Tante Indri.
“Tante, apa perlu saya yang ngomong sama sahabat Tante,milik siapa kalung ini sebenarnya?” tanyaku tajam.
Baik Tante Indri dan sahabatnya tampak terkejut dengan keberanianku. Sedang Ibra hanya menatap kami dengan tatapan yang sulit kuartikan.
“Heh, jangan sem...”
“Sudah, Evita. Masalah ini tidak perlu diperbesar. Anggap saja saya memberikan kalung itu sebagai hadiah pada gadis itu.” Tante Indri mulai bersandiwara.
Tentu saja aku tertawa hambar mendengar ucapannya. “Hadiah? Tante lupa kalau ini milik Mama saya? Lupa ucapan saya yang tadi? Apa perlu saya beberin semua di depan teman sosialita Tante siapa saya?”
“Enggak perlu, Danika.” Tante Indri menyahut cepat. “Anggap saja tidak ada kejadian apa pun. Kami tidak akan menuntut apa pun pada restoran ini. Anggap saja yang tadi itu kecelakaan.”
Sahabat Tante Indri akan memprotes ucapannya, tapi wanita itu segera menarik tangan sahabatnya untuk segera keluar dari ruangan Ibra. Kini tinggallah aku dan Ibra berdua. Rasanya keberanianku habis terluras, karena yang selanjutnya teijadi adalah kakiku melemas dan terduduk di lantai, sembari memeluk erat kalung Mama yang berada di tanganku.
Ibra tak tinggal diam. Pria itu menghampiri dan membantuku untuk berdiri. Menuntunku untuk duduk di sofa. Pria itu tak bicara sepatah katapun. Membiarkanku yang kini sudah terisak masih memeluk kalung Mama. Isakanku makin kencang saat kurasakan Ibra kini sudah memelukku erat. Untuk kali ini, aku membiarkan diriku berada dalam pelukan Ibra karena saat ini benar-benar butuh lengan seseorang untuk menopangku.
Lamaran Ibra
Kakiku menginjak tanah pemakaman di mana Mama telah beristirahat dengan tenang. Aku seperti anak yang tak berbakti karena sudah cukup lama tak menemui Mama. Hanya karena kalung yang dikenakan Tante Indri kemarinlah aku akhirnya ingat kembali pada Mama. Aku ingin memohon maaf pada beliau karena sempat lupa mengunjunginya. Meski begitu aku tak pernah melupakan menyebut nama Mama dalam doa.
Sebuket mawar putih sudah ada di atas makam Mama. Aku menghela napas pelan. Sangat tahu siapa orang yang meletakkkan di sana. Hanya aku dan Papa yang tahu betapa Mama menyukai bunga mawar putih. Setitik sudut di hatiku menghangat karena ternyata Papa masih mengingat Mama. Meski ia tak berusaha mencari tahu keadaan putrinya, yaitu aku.
“Assalamualaikum, Ma. Maaf kalau aku jarang berkunjung ke makam Mama.”
Aku memberi salam sembari membersihkan makam Mama dari dedaunan yang mengotorinya. Aku tak ingin mengadukan kesedihanku karena sejak kecil memang aku
jarang mengadu pada Mama dan Papa. Yang kulakukan memang hanya berdoa dan menyapa Mama. Tak ada adegan tangisan karena aku tak ingin Mama tak tenang di alamnya sana.
Setelah selesai berdoa, aku berpamitan pada Mama. Hari ini adalah jatah liburku di Sushi Me. Karena itu, aku tak perlu merasa terburu-buru. Daripada kembali ke rumah, aku memilih menghabiskan waktu ke toko buku. Sudah lama aku tak berburu bacaan. Apa salahnya jika aku sedikit bersenang- senang di hari liburku.
“Maaf,” ucapku bersamaan dengan seseorang yang juga mengambil buku yang sama denganku.
Pria itu tersenyum simpul, kemudian mengulurkan tangannya sebagai isyarat aku bisa memiliki buku tersebut. Setelah memberikan senyum kecil sebagai rasa terima kasih, aku segera mengambil buku tersebut.
Tak terasa hampir tiga jam aku menghabiskan waktu di toko buku. Kulanjutkan dengan berbelanja beberapa bahan makanan yang kuingat sudah hampir menipis di kulkas. Ah, rasanya aku ingin memasak sup daging hari ini. Mungkin mengundang Dayu untuk menginap. Lumayan lama kami tak bercengkerama karena kesibukan masing-masing.
Mengingat Dayu, aku selalu ingin tertawa karena laporan gadis itu. Ada saja perseteruan yang ia dan Bosnya lakukan tiap harinya. Seperti kemarin juga Dayu melaporkan bagaimana pria itu mengganggu hari minggunya. Padahal Dayu sudah berencana untuk beristirahat dengan tenang setelah selama sepekan berhadapan dengan Damar.
Kadang aku iri dengan Dayu. Meski selalu berseteru dengan Damar, tapi ia begitu menikmati hidupnya. Dayu yang tak memiliki kedua orang tua tapi selalu terlihat bahagia. Tanpa beban. Sedang aku, meski sudah hampir bertahun tak bersentuhan dengan Papa dan keluarga barunya, tetap saja masih menyisakan sesak di dada. Sakit karena tetap tak habis pikir bagaimana Papa bisa memilih membiarkanku keluar dari rumah. Dan bertahan tanpa pernah sekalipun berusaha mencari atau menemuiku.
Sudah, tak ada guna aku terus metatapi nasib. Yang terpenting sekarang aku harus terus kuat dan bergerak maju. Mau sampai kapan aku hanya akan beijalan di tempat yang sama. Dengan rasa sakit yang sama. Meski tak akan mudah, tapi bukan berarti aku tak bisa. Hidupku, bahagiaku, maka akulah yang akan menciptakannya.
Tapi, bahagiaku sepertinya tak akan pernah terasa sempurna karena selalu ada celah bagi seseorang mengusiknya. Di hari santaiku sekalipun. Tepat ketika taksi yang kutumpangi berhenti di tepi jalan rumahku, seseorang sudah menanti. Di sana, Ibra sudah berdiri menanti di teras rumah, membuatku memutar mata, malas.
“Sejak kapan Pak Ibra ada di rumah saya?” tanyaku tak ramah. Aku ingin hari liburku tanpa dia. Tapi mengapa Ibra
justru selalu muncul.
“Kamu dari mana?” Bukannya menjawab, Ibra malah balas bertanya.
“Ini hari libur saya. Bisa nggak sih, sehari saja kita nggak usah ketemu?” pintaku dengan jengkel.
Tapi bukannya marah, Ibra malah mengulas senyum. Pria itu mengambil alih kantong plastik yang kubawa, kemudian memerintahku untuk membuka pintu. Mau tak mau aku segera melakukan apa yang diperintahkan Ibra. Pria itu masuk seakan itu rumahnya sendiri. Segera kuambil alih berbagai kantong belanjaku dari tangan Ibra dan meletakkannya di meja makan. Kemudian kembali menemui Ibra di ruang depan.
“Pak Ibra mau apa datang menemui saya?” tanyaku kembali. Aku tak benar-benar tak bisa berbasa-basi dengan pria itu.
“Cuma ingin menemui kamu.”
Dahiku mengernyit. “Sudah, kan? Kalau begitu, Pak Ibra bisa pulang.”
“Kamu tidak berniat menyambut tamu, Danika? Paling tidak tawarkan sedikit keramahan berupa minuman meski air putih. Itu adab dalam menyambut tamu.”
“Saya sama sekali nggak mengharapkan Pak Ibra bertamu ke rumah saya. Dengan begitu Bapak bisa kan pergi dari rumah saya?”
Ibra tampak tak setuju dengan pengusiranku. Pria itu kini berdiri dan mendekat,membuatku gugup dan refleks memundurkan langkah.
“Mau apa?” pekikku tertahan kala Ibra sudah berdiri di hadapanku. Wajahku harus sedikit mendongak karena postur Ibra yang lebih tinggi.
“Danika, kenapa kamu harus selalu ketus pada saya? Tidak bisa, ya, sedikit lebih ramah. Saya bukan musuh kamu. Kamu tahu kan kalau saya...”
Tanganku menjulur menahan dada Ibra. Sontak aku dan pria itu sama-sama membeku. Sungguh, aku refleks melakukannya. Tapi, sepertinya Ibra tak terganggu sama sekali. la malah memegang tanganku yang tadinya akan kujauhkan dari tubuhnya.
“Tolong jangan bikin saya bingung, Pak,” ucapku akhirnya.
“Saya sama sekali tidak ingin membuat kamu bingung. Kamu tahu, saya serins tertarik sama kamu. Dan saya tidak pernah ingin bermain-main dengan perasaan dan rasa tertarik saya.”
Aku membeku. Meski Ibra sudah terlalu sering menunjukkan gelagat bahwa ia tertarik padaku, tapi ini pertama kalinya pria itu bicara langsung perihal perasaannya. Dan aku benar-benar kehilangan kemampuan bicara untuk membalas atau sekadar membantah ucapannya seperti yang biasa kulakukan.
“Danika, sejak awal bertemu dengan kamu, sejak insiden tabrakan itu, saya sudah tertarik sama kamu. Saya nggak akan menutupi apa pun. Dan saya rasa kamu tahu itu dengan saya yang selama ini selalu berusaha mendekati kamu.”
Ibra itu terkenal sebagai pria yang tak banyak bicara. Tapi saat ia banyak bicara seperti ini, aku sangat ingin meminta pada Tuhan untuk melumpuhkan kemampuan bicaranya sejenak.
“Saya nggak mau dengar apa pun. Tolong Pak Ibra pergi dari rumah saya, ya?”
Bisa kurasakan mataku mulai memanas. Mungkin Ibra tahu bahwa sebentar lagi aku akan menangis, pria itu mengalah. Sebelum pergi, Ibra mengusap lembut puncak kepalakujalu berpamitan. Begitu Ibra keluar dari rumah, aku segera menutup pintu rapat. Tak peduli itu salah satu bentuk ketidaksopanan. Aku benar-benar tak ingin melihat pria itu untuk saat ini.
Hampir seminggu setelah pernyataan perasaan Ibra, aku kembali berusaha menghindari pria itu. Tiap kali Ibra memintaku menemuinya di kantor, aku selalu menolak. Tak peduli jika pria itu jengah dan memecat karyawan pembangkang sepertiku. Tapi aku benar-benar ingin menjauhi Ibra.
Tentu saja sikapku yang seperti melakukan perlawanan atas segala perintah Ibra menjadi bahan pembicaraan rekan- rekan di Sushi Me. Ada yang mencibir dan ada yang berusaha memahami alasanku. Aku berusaha menulikan telinga dari segala cibiran itu. Apa pun yang kulakukan itu adalah urusanku. Tapi sekeras apa pun berusaha, tak selamanya aku akan bisa menghindari Ibra. Terlebih kami masih di lingkup kerja yang sama. Maka selalu tiba saatnya saat aku tak bisa lagi berlari darinya.
“Kamu diminta Pak Ibra menghadap ke ruangannya, Nika.” Anwar menghampiriku yang baru kembali ke dapur setelah mengantarkan pesanan.
Aku menatap Anwar dengan pandangan memohon, tapi pria itu langsung mencela.“Jangan terus menghindar, Danika. Saya tahu kamu merasa terganggu. Tapi saya juga tahu bagaimana perasaan Pak Ibra sama kamu. Selesaikan. Bila perlu pertimbangkan. Saya nggak tahu bagaimana hidup kamu. Bagaimana hubungan kalian. Tapi cukup lama menjadi rekan keija kamu, saya bisa katakan kamu tipe orang selalu merasa insecure. Ada saatnya kamu harus mengalah dan membiarkan orang lain masuk ke dalam hidup kamu.”
Sekali lagi aku menatap Anwar. Kali ini dengan pandangan tak percaya. Ingin menyangkal, tapi apa yang dikatakan pria itu sangat benar. Tak selamanya aku bisa bersembunyi di cangkangku. Setelah memantapkan hati, aku menemui Ibra.
Setelah mengetuk pintu dan dipersilakan masuk olehnya, barulah aku berani melangkah ke dalam ruang kerja Ibra di Sushi Me. Meski sudah pernah memasuki kantornya, tetap saja tiap aku berada di sana memberikan rasa tak nyaman. Apalagi dengan kejadian tak menyenangkan beberapa waktu lain yang melibatkan aku dan Tante Indri.
“Silakan duduk, Danika,” ucap Ibra.
Pria itu menghentikan segala kegiatannya dan memfokuskan pandangan padaku. Dengan langkah pelan, aku mendekatkan diri pada kursi yang ditunjuk Ibra. Sengaja menghindari kontak mata dengan pria itu.
“Saya tahu kamu menghindar lagi. Tapi saat ini, saya benar-benar harus bicara dengan kamu,” suara Ibra terdengar sangat serius. Membuatku takut mendengar apa yang ingin disampaikannya.
“Apa sebenarnya yang ingin Pak Ibra bicarakan? Bapak ingin memecat saya karena tindakan tak sopan saya?” tanyaku ragu-ragu.
“Bukan itu.” Ibra melipat kedua tangannya dan menumpukan beban tubuh ke depan. Wajah seriusnya makin serius kala menatapku.“Orang tua saya sudah bertanya kapan saya akan menikah.”
“Lain apa hubungannya dengan saya?”
“Mereka berencana untuk mengenalkan saya dengan putri sahabat mereka.”
Aku masih belum bisa mengikuti ke mana arah pembicaraan Ibra. Mungkin karena terlalu banyak hal yang kupikirkan hingga nalarku tak bisa mengangkap secepat dulu.
“Tapi saya katakan kalau saya sudah punya calon istri.” Sampai kalimat Ibra meluncur mulus, barulah aku
mencapai titik terang maksud pembicaraan ini. Jelas saja aku terkejut. Rasa panik seketika melandaku.
“Maksud Pak Ibra...”
Pria itu mengangguk. “lya. Saya ingin kamu yang menjadi istri saya.”
Kutatap Ibra dengan pandangan horor. Hatiku langsung dilanda gemuruh. Tak bisa seperti ini. Aku sangat tidak siap dengan keinginan lugas yang dilontarkan Ibra.
“Kamu bersedia jadi istri saya, Danika?” tanyanya dengan wajah seribu persen serius.
Refleks aku berdiri. Meninggalkan ruangan Ibra dengan tergesa-gesa. Membuat pria itu terperanjat. Tapi Ibra tak membiarkanku kabur semudah itu. la menyusulku ke ruang ganti. Meminta beberapa karyawan yang ada di sana untuk sekadar bersantai meninggalkan tempat itu.
“Danika...”
“Saya nggak mau dengar apa pun!” tolakku sembari menutup telinga dan menundukkan pandangan. Aku tak sanggup menatap wajah Ibra.
“Saya serius, Danika. Tolong pikirkan,” pintanya berusaha menarik lepas kedua tanganku yang menutupi telinga.
Entah mengapa di situasi ini sisi lemahku muncul. Bukannya melawan Ibra, aku malah sudah terisak sambil terus meminta Ibra untuk keluar dari ruangan itu. Memohon padanya untuk meninggalkanku seorang diri di sana.
Lagi-lagi Ibra mengalah dan menuruti keinginanku. Pria itu pergi sesuai dengan permintaanku. Memberiku waktu sendiri seperti yang kupinta. Setelah yakin Ibra tak lagi berada di dekatku, aku mencoba meredakan isakanku. Tapi sialnya, tak semudah itu.
Ucapan serius Ibra yang memintaku menjadi istrinya kembali terngiang di telingaku. Ketakutanku nyata adanya. Tentu saja aku belum siap menerima Ibra atau siapa pun untuk menjadi pendampingku. Masih terbayang bagaimana pengkhianatan Papa. Bagaimana Papa dengan mudahnya memasukkan Tante Indri ke rumah kami saat tanah kubur Mama mungkin belum mengering. Dan aku tak tahu sampai kapan aku siap menerima pria lain dalam hidupku.
Dengan tangan bergetar, kuambil ponsel dari saku seragamku. Waktu yang terpampang di layar menunjukkan bahwa jam keijaku hampir berakhir. Setelah menarik napas untuk meredakan isakan, kuhubungi Handayu. Saat ini aku butuh dia.
“Halo, Nika?” sapa Dayu pada dering pertama. Mendengar suara gadis itu membuatku luar biasa lega.
“Yu...” panggilku dengan suara bergetar.
“Heh? Kama, kenapa? ’’Suara Dayu berubah cemas. “Bisa jemput aku di sini?”
Aku tahu itu kekanakan, tapi aku tak sanggup keluar dari tempat ini tanpa bantuan Dayu. Aku butuh gadis pemberani itu. Aku tak sanggup menghadapi tatapan heran orang-orang di sini. Terlebih aku belum sanggup bertatap muka dengan Ibra lagi.
“Oke, kamu tenang. Apa pun yang sekarang lagi kamu hadapi, kamu harus tenang, Danika. Secepatnya akujemput kamu ke sana, oke!"
Aku mengangguk kemudian menutup panggilan. Setelahnya kembali isakanku menggema. Entah bagaimana tapi aku sendiri tak tahu mengapa tak bisa berhenti menangis. Ketotololan yang sama sekali tak bisa kuhentikan. Hingga mungkin satu jam kemudian, suara Dayu menyentakku.
“Danika?” panggilnya.
Aku langsung mengangkat kepala, melihat Dayu sudah berada di depan pintu ruang ganti. Gadis itu langsung mendekat padaku—yang langsung kupeluk erat. Dan kembali aku menangis di pelukan Dayu.
“Ada apa?” tanya Dayu mencari tahu. Tapi aku tak menjawab. Memilih mengeratkan pelukanku padanya. “Hei... ayo cerita...”
Setelah beberapa menit larut dalam tangisan, akhirnya aku bisa sedikit demi sedikit menghentikan tangisan. Perlahan aku melepas rangkulan erat di tubuh Dayu. kubersihkan wajahku yang mungkin sudah tak karuan dengan tangan.
“Mau cerita sekarang?” Dayu memberikan tisu yang ia ambil dari dalam tasnya.
Kuambil tisu yang disodorkan Dayu, namun menggeleng. “Jangan di sini.”
Aku merapikan diri dan barang-barang di dalam loker, kemudian bersama kami keluar dari ruang ganti. Saat kami melewati ruang jamuan, beberapa pengunjung dan rekan keija menatap ke arahku dan Dayu. Tapi kami berdua tak ambil pusing. Hingga tiba-tiba saja Ibra sudah berada di hadapan kami. Spontan, aku mundur selangkah. Tanganku mengerat pada tas yang kugunakan dengan tubuh yang seketika membeku. Kularikan pandanganku saat tahu Ibra menatap intens ke arahku.
“Kamu mau pulang?” Ibra bertanya yang tak kuacuhkan. Aku memilih meraih lengan Dayu dan memegangnya erat.
“Jam kerja Danika sudah kelar, kan?” Dayu yang akhirnya bicara. Bisa kulihat dari sudut mata, Ibra mengangguk. “Kalau gitu kami permisi.”
Dayu menarikku untuk segera meninggalkan Sushi Me. Namun saat kami melewati Ibra, pria itu mengatakan hal yang kembali membuatku terperangah.
“Saya serins, Danika. Pikirkan permintaan saya tadi,” neap Ibra meski tak begitu kuat. Tapi jelas Dayu bisa mendengarnya.
Aku tak memedulikannya. Kini malah aku yang menarik tangan Dayu. Mempercepat langkah kami untuk segera menjauh dari Sushi Me. Mungkin Dayu bingung, tapi gadis itu memilih menurut saja padaku. Bahkan hingga kami menemukan taksi yang akan membawa pulang ke rumah, aku dan Dayu tetap memilih untuk tak buka suara. Belum saatnya.
Kembali Ke Realita
Ada sedikit rasa lega di hatiku setelah bercerita pada Dayu apa yang kualami kemarin. Dayu memang adalah sahabat yang terbaik. Gadis itu tak menghakimiku atau mengatai aku gila. Di mana lagi bisa ditemukan perempuan yang diajak menikah
justru menangis ketakutan.
Aku tahu reaksiku sangat konyol. Aku sendiri juga tak menyangka mengapa justru menangis. Bukannya menolak mentah-mentah apa yang diinginkan Ibra. Hany a saja jika kupikirkan, wajar jika aku menangis. Itu adalah reaksi takutku karena permintaan Ibra. Dengan apa yang teijadi dalam keluargaku, tak akan mudah bagiku menerima pria itu semudah itu. Terlebih dengan yang namanya pernikahan.
“Yakin mau masuk keija hari ini?” tanya Dayu sebelum berangkat ke kantor.
Pagi ini gadis itu berangkat ke kantornya dari rumahku karena semalam harus menemani dan menenangkanku. Setelah semalam saling bercerita, rasanya lega dan aku yakin bisa menghadapi hari ini. Meski tak seratus persen aku mampu berhadapan dengan Ibra. Tapi aku tak akan juga menghindar.
“Yakin. Aku nggak mungkin libur, kan, Yu.”
“Siap berhadapan dengan Ibra?” tanya Dayu.
Kugigit bibirku. Pertanyaan yang aku tak akan mungkin bisa hindarkan dari Dayu. Mengingat betapa Dayu tahu bagaimana aku dan Ibra selama ini. Selalu seperti kucing dan tikus yang bersembunyi.
“Aku harus siap, Yu. Enggak mungkin selamanya aku bisa menghindari Ibra. Kecuali aku keluar dari pekeijaan.”
Dayu menatap dalam padaku. Gadis itu kemudian tersenyum sembari menepuk pelan pundakku. “Aku percaya kamu bisa. Jangan lari dan menghindar terus. Ibra itu bukan orang jahat, kok. Kecuali kalau dia macam-macam, kamu bisa timpuk dia pakai kukusan dimsum.”
Aku tertawa mendengar perkataan Dayu. Sahabatku yang manis namun kadang suka bersikap ekstrim ini memang selalu mampu membuatku merasa nyaman. Tapi, bukan berarti aku akan memukul Ibra dengan kukusan dimsum.
“Aku berangkat, ya.”
“Hati-hati, Yu.”
Selepas Dayu pergi, giliranku yang bersiap-siap. Hari ini aku mendapatkan jadwal bekeija pagi. Itu artinya aku harus tiba di Sushi Me sebelum pukul sembilan pagi. Aku sudah memutuskan tak akan menghindar. Karena itu, aku tak akan berlari dari Ibra. Cukup mengabaikan pria itu agar ia tahu bahwa aku tak peduli dengan lamarannya.
Namun sekali lagi, takdir tak akan ada yang menduganya. Belum lagi aku berhadapan dengan Ibra, mimpi buruk kembali menyapaku. Siapa lagi jika bukan Tante Indri. Wanita ular itu datang menemuiku tepat di depan pintu masuk Sushi Me.
“Bisa kita bicara?” Tante Indri berbicara dengan nada dingin.
Harusnya aku yang bersikap memusuhinya. Meski memang dalam hati aku memang memusuhi dan mengutuknya habis-habisan. Tapi mengapa justru dia yang bersikap dingin padaku? Dan lagi, untuk apa dia ingin bicara denganku.
“Maaf, tapi saya tidak punya waktu untuk bicara dengan orang seperti Anda!” jawabku ketus.
“Ini perihal Papa kamu.”
Mendengar kata Papa disebut, mau tak mau aku berpaling padanya. Wajah wanita itu mengeras. Ada apa dengan Papa?
“Di mana?” tanyaku akhirnya.
Tante Indri beijalan mendahului hingga aku terpaksa mengikuti langkahnya. la membawaku ke gerai kopi yang berada tak jauh dari Sushi Me. Setelah memesan dua gelas kopi untuk kami meski aku tak meminta. Akhirnya kami duduk berhadapan.
“Apa yang man Tante bicarakan?” tanyaku tak ingin berbasa-basi.
“Papa kamu sakit.”
Kalimat singkat Tante Indri jelas mengejutkanku. Selama ini aku tahu Papa adalah pribadi yang kuat. Meski pekeija keras, tapi Papajarang sekali jatuh sakit hingga hams dirawat. Paling hanya penyakit ringan seperti sakit kepala.
“Sakit apa?” tanyaku dengan nada sebiasa mungkin. Sengaja aku tak menunjukkan kekhawatiranku. Meski
dalam hati jelas merasa cemas akan kondisi Papa. Bagaimanapun beliau adalah Ayahku. Walau hubungan kami tak baik, tapi Papa tetaplah orang tuaku. Pria yang darahnya
juga mengalir di tubuhku.
“Ginjalnya bermasalah. Saat ini Papamu sedang dirawat di rumah sakit.”
“Ginjal? Gimana bisa? Selama ini bukannya asupan Papa teijaga? Memang apa saja yang Tante lakukan sebagai istri Papa?” cecarku tak habis pikir.
“Papa kamu belakangan ini makannya nggak teratur. Selain itu menurut dokter ia juga sangat kurang mengonsumsi air putih.”
“Lain apa tugas Tante? Kenapa nggak ingatkan Papa untuk jaga kesehatannya?” emosiku mulai terpancing.
Selama Mama masih ada, tak sekalipun beliau mengabaikan kesehatanku dan Papa. Mama selalu bemsaha mengontrol asupan yang kami terima. Karena itu, aku dan Papa sangat jarang sakit. Tapi kini, mendengar apa yang teijadi pada Papa membuatku merasa marah. Tante Indri memang istri yang tak layak. Wanita itu pasti hanya bersenang-senang dengan uang Papa. Karena itu, ia pasti tak mengurus Papa dengan baik hingga beliau jadi begini.
“Lain apa yang Tante mau dari saya?”
“Papamu ingin ketemu kamu.”
“Huh, saat sakit begini Papa baru ingat aku,” gumamku dengan nada mencela.
Jujur saja meski cemas pada Papa, tapi aku tetap belum bisa memaafkan sepenuhnya atas apa yang Papa lakukan padaku. Saat aku butuh dirinya, Papa malah berdiri berseberangan denganku. Dan saat beliau sedang sakit seperti ini, barn mengingat aku sebagai anak. Aku tak ingin mendendam, tapi Iuka hatiku pun masih berdarah. Masih belum sembuh sepenuhnya.
“Saya sibuk. Tante dan Haninda bisa kan mengurus Papa dengan baik? Jangan hanya menikmati uangnya saja.”
“Kamu keterlaluan, ya, Danika! Dia itu Papa kamu!” Tante Indri ikut berdiri saat aku akan beranjak pergi.
“Memang kenapa? Apa Papa butuh sesuatu dari saya makanya kalian bersusah payah menemui? Bukankah uang Papa masih ada? Lakukan pengobatan apa pun untuk kesembuhan Papa. Kalau perlu pergi berobat ke luar negeri sana. Siapa tahu itu juga bisa jadi ajang jalan-jalan bagi Tante.”
“Danika!”
Aku tak peduli dengan teriakan Tante Indri yang memekakkan. Pun dengan tatapan orang-orang yang ada di gerai kopi tersebut. Saat ini aku hanya ingin menjauh dari mereka. Jangan dipikir hanya karena Papa sakit, aku langsung akan luluh dan menemui beliau. Aku tak peduli jika mereka menyebutku anak durhaka. Aku belum ingin bertemu Papa. Belum bisa berlapang hati menerimanya.
Pukul tujuh malam, aku baru bersiap untuk kembali ke rumah. Harusnya sejak pukul lima sore tadi jam keijaku berakhir. Namun karena menggantikan jam keija salah satu pegawai yang izin, maka jam keijaku bertambah tiga jam.Setelah berganti pakaian, aku meninggalkan ruang ganti. Tak ada Ibra yang menemuiku beberapa hari belakangan ini. Bahkan pria itu jarang terlihat di kantor. Anwar sendiri sebagai Manajer tak banyak bicara tentang Ibra. Membuatku bisa bernapas lega. Tapi anehnya, aku juga merasakan sedikit perasaan kehilangan.
“Bodoh,” gumamku sembari memukul pelan kepalaku. “Siapa yang bodoh?”
Aku terperanjat karena Ibra muncul tiba-tiba di hadapanku. Pria itu menyunggingkan senyum ramahnya seperti biasa. Entah mengapa melihat senyum Ibra kali ini jantungku berdetak kencang. Jika biasanya aku bisa
mengendalikan diri, maka tidak kali ini. Efek senyuman Ibra tak seperti biasanya.
“Kamu sudah man pulang?” tanya Ibra lagi.
Jika biasanya aku tak akan menghiraukan apa pun ucapan Ibra, tapi hari ini aku malah mengangguk. Seperti bukan diriku saja.
“Ikut saya sebentar, ya.”
“Mau ke mana?”
“Ketemu orang tua saya.”
Mataku melebar. “Apa?”
“Saya sudah katakan ingin menikah dengan seseorang. Masih rencana. Tapi kedua orang tua saya ingin bertemu dengan kamu.”
Ibra gila! Bagaimana mungkin dia sudah mengatakan pada orang tuanya. Sedang aku saja belum bersedia menikah dengannya. Kenapa aku bisa berhadapan dengan pria keras kepala dan tak terduga seperti dia.
“Tapi saya sama sekali nggak memberikan jawaban apa pun. Kenapa Pak Ibra bisa seenaknya bicara seperti itu sama orang tua Bapak?”
“Saya bisa menunggu jawaban kamu. Tapi kali ini, mau kan ketemu dulu dengan keluarga saya? Sekadar berkenalan.”
“Tapi, saya kan...”
Aku tak bisa menyelesaikan penolakanku karena tatapan memohon Ibra. Sepertinya hari ini aku bukan diriku. Atau Ibra menggunakan sihir hingga aku luluh dan tak menolak kala Ibra membawaku ke kediaman orang tuanya.
“Ini rumah warisan Kakek. Yang tinggal di sini ada dua keluarga. Orang tua saya dan Tante yang merupakan adik Papa,” jelas Ibra sebelum kami turun.
“Hah? Jadi nggak cuma orang tua Pak Ibra?” tanyaku gugup.
Ibra mengangguk. “Orang tua saya. Juga Tante, Om, dan dua anak perempuannya.”
“Pak Ibra sendiri nggak tinggal di sini?”
“Saya tinggal di rumah sendiri. Tapi tidak jauh dari sini, kok,” jelas Ibra.
Pria itu kemudian turun lebih dulu. Ragu-ragu aku turun dari mobil dan melangkah menghampirinya. Mungkin ia tahu aku gugup, karena itu Ibra tiba-tiba menggenggam lembut tanganku. Sempat membuatku tersentak, tapi tak bisa melepas karena Ibra menahannya.
“Jangan khawatir, orang tua saya pasti senang sama kamu. Lagi pula ada saya kalau kamu merasa tidak nyaman.”Usai mengatakan hal itu, Ibra mengajakku masuk. Seorang perempuan yang usianya mungkin berkisar tiga puluhan tahun membuka pintu menyambut kami. Dari sapaann ramahnya pada Ibra, aku yakin dia adalah asisten di rumah ini.
“Yang lain di mana, Bi?” tanya Ibra pada wanita tersebut setelah mengucap salam.
“Sudah menunggu di ruang makan, Mas.”
Ibra mengucapkan terima kasih, lalu menarikku menuju ruang makan. Di sana sudah ada enam orang duduk di masing-masing kursi.
“Assalamualaikum, semua.”
Enam pasang mata kini memandang ke arah kami. Membuatku makin bertambah gusar. Terlebih tatapan mereka semua begitu intens. Seolah memindai seluruh tubuhku.
“Waalaikumsalam. Ayo, duduk dulu. Kita makan malam.”Seorang wanita berujar ramah. Dari tampilan wajahnya bisa kutebak bahwa beliau adalah Ibunda Ibra. Melihat kemiripan di hidung dan mata mereka yang teduh. “Ayo, duduk. Nanti saja berkenalannya. Kalian juga belum makan malam, kan?”
Mau tak mau aku tersenyum canggung sembari mengikuti langkah Ibra. Pria itu menarikkan sebuah kursi dan mempersilakan aku untuk duduk. Jujur saja hal itu membuatku makin canggung. Terlebih semua mata kembali menatap pada kami. Mengucap terima kasih dengan nada pelan, aku kemudian duduk di kursi yang sudah diberikan Ibra.
Makan malam berlangsung cukup tenang. Meski ada beberapa perbincangan yang dilakukan Ibra dan anggota keluarganya. Sebagai orang asing yang barn pertama kali bertemu dengan mereka, aku berusaha sebaik mungkin untuk tak menarik perhatian. Sampai akhirnya kami semua berkumpul di ruang keluarga. Ibra menarikku untuk duduk disampingnya. Sesuatu yang tak akan pernah mungkin kulakukan jika bukan karena kini berada di depan keluarga Ibra. Pria itu kemudian memperkenalkanku pada kedua orang tuanya, Om dan Tantenya, juga Bintang dan Bulan yang merupakan sepupunya.
Sedang aku sendiri memperkenalkan diriku seadanya. Tanpa mengatakan bahwa saat ini hubunganku dan Papa sedang dalam keadaan yang tak baik. Mereka tak perlu tahu itu karena aku sendiri tak yakin bahwa aku dan Ibra benar- benar akan berakhir bersama.
“Ibra bilang kalau dia sudah melamar kamu, itu benar?” tanya Mama Ibra setelah perkenalan singkat kami.
Aku melirik sekilas pada Ibra. Pria itu hanya memasang wajah tenangnya. Membuatku bingung apa yang harus kukatakan pada keluarga Ibra.
“Mungkin Danika terlalu terkejut kalau Mama tiba-tiba tanyakan itu.” Papa Ibra mencoba mencairkan suasana.
“Mama setuju saja dengan pilihan Ibra. Selama Ibra bahagia dan siapa pun yang menjadi istri Ibra nanti bisa membahagiakannya. Mama pasti setuju.”
Wajah bahagia Mama Ibra tak mungkin Input dari pandanganku kala bicara perihal putranya. Ibra pria yang sangat beruntung. Kedua orang tuanya begitu memberikan kebebasan untuknya menentukan pilihan. Hal itu juga berlaku pada kakak perempuannya yang kini sudah berkeluarga.
Selama berbincang aku lebih banyak menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan orang tua Ibra. Namun ada satu hal yang membuatku tak nyaman, pandangan Tante dan kedua sepupu Ibra membuatku merasa mereka tak menyukai keberadaanku. Terlebih saat Bintang bicara perihal perempuan bernama Amanda. Dari apa yang Bintang sampaikan, aku bisa menangkap bahwa sahabatnya tersebut
memiliki perasaan terhadap Ibra. Tapi Ibra hanya menjawab sekenanya saat Bintang berkata bahwa ia dan Amanda akan mengunjungi Ibra di Sushi Me.
Untuk Tante Mala, Tantenya Ibra pun tak lepas memandangku dengan tatapan yang kurang ramah. Mungkin beliau tak setuju dengan pilihan Ibra. Mungkin lebih mendukung Ibra bersama gadis bernama Amanda tersebut.
“Jadi, Mas Ibra bakal ada di Sushi Me besok, kan? Aku sama Manda mau makan siang di sana.” Bintang kembali berujar.
“Mas nggak bisa pastikan ada di sana atau tidak. Tapi kalau kamu dan Manda mau makan siang di sana, ya, silakan.”
“Yah, padahal kan kita mau minta diskon,” ucap Bintang dengan nada bercanda. Meski aku yakin ada maksud lain dari ucapannya.
“Kamu bisa temui Danika nanti, kalau Mas nggak ada di sana.”
Tatapan Bintang kini beralih padaku. Wajah gadis itu kini menunjukkan ekspresi seakan mencemoohku. Aku tahu mungkin baginya aku bukan apa-apa. Hanya pelayan di restoran milik sepupunya yang kebetulan bisa disukai oleh Ibra.
“Lihat nanti deh. Aku balik ke kamar dulu, ya. Ada tugas kantor yang harus dikeijakan.”
“Bulan juga, ada PR dari sekolah yang belum dikerjakan.”
Bintang dan adiknya beranjak pergi meninggalkan ruang keluarga. Menyisakan aku dan Ibra bersama kedua orang tua.
“Kalau boleh Tante tahu, orang tua kamu ... pekeijaanya apa?” Kali ini Tante Mala yang bertanya.
Padahal aku sangat tak ingin menjawab pertanyaan seperti ini. Tapi bagaimanapun aku tak mungkin diam saja. Tante Mala mungkin akan menganggapku tak sopan jika aku enggan menjawab pertanyaannya.
“Papa mengelola perusahaan keluarga, Tante.”
Wanita itu diam sembari menganggukkan kepala, kemudian bertanya kembali, “Lain kenapa kamu bisa bekeija sebagai pelayan di restorannya Ibra?”
Inilah yang paling aku benci dari yang namanya pertemuan keluarga. Selalu ada mulut-mulut usil yang ingin tahu perihal kehidupan orang lain. Sebelum menjawab, kuhela napas sepelan mungkin. Semoga dengan jawabanku kali ini membuat Ibra dan keluarganya berpikir ulang tentang hubunganku dengannya.
“Hubungan saya dan Papa tidak begitu baik setelah Mama meninggal. Papa menikah lagi dan saya memilih keluar dari rumah untuk bisa hidup mandiri.”
“Kamu diusir dari rumah?” pekik Tante Mala membuat Ibra dan kedua orang tuanya menatapku penuh penyesalan.
“Bukan. Tapi saya yang memilih keluar dari rumah. Saya dan istri Papa nggak akur. Karena itu, daripada membuat kondisi rumah makin tidak nyaman, saya memilih keluar.”
Orang tua Ibra tampak tersenyum dengan jawabanku. Tapi tidak dengan Tante Mala. Wajahnya makin menyiratkan ketidaksukaan. la pasti berpikir aku bukan perempuan yang pantas untuk menjadi istri Ibra.
Saat waktu menunjukkan pukul sembilan malam, aku dan Ibra berpamitan. Selama perjalanan menuju rumahku, kami sama-sama memilih berdiam diri. Hingga saat mobil Ibra sudah berhenti di depan rumahku, pria itu menahan pergelanganku yang akan membuka pintu.
“Mama dan Papa setuju apa pun pilihan saya. Karena itu, kamu mau mempertimbangkannya, kan?” tanya Ibra sambil menatap intens padaku.
Sejujurnya sambutan orang tua Ibra begitu baik padaku. Tapi pandangan Tante Mala dan anak-anaknya membuatku berpikir tak seharusnya aku terlena dengan semua itu. Lagi pula memangnya aku akan menikah dengan Ibra?
“Selamat malam, Pak Ibra.”
Kulepaskan cekalan tangan Ibra di pergelanganku, kemudian turun dari mobilnya. Tanpa menoleh ke belakang, aku langsung bergegas masuk ke rumah. Kukatakan pada diri sendiri cukup malam ini aku terlena. Dongeng akan segera berakhir. Dan esok aku harus kembali ke realita.
Mulai Goyah
Aku tahu Ibra tak akan penah menyerah. Aku sangat tahu itu. Karena itulah yang terjadi saat ini. Ibra sudah ada di depan rumahku. Duduk di teras yang hanya diisi dengan kursi berbahan plastik. Meski aku tak menyambutnya dengan baik, tetap saja pria itu tak mundur selangkahpun.
Batu yang keraspun akan luruh jika ditetesi air sedikit demi sedikit. Batu itu akan berubah rapuh. Begitu juga hati manusia yang tak terbuat dari batu. Jelas akan menunjukkan keluluhannya jika diberikan ketulusan dan kegigihan.
Itu juga yang teijadi padaku. Sekeras apa pun aku menolak, perasaan bernama cinta yang dianugerahkan Tuhan, pelan-pelan masuk ke hatiku. Awalnya aku ingin menyangkal,mungkin hanya sekadar simpati akan kegigihan Ibra, tapi rasa simpati saja tak cukup menggambarkan apa yang aku rasakan saat ini. Kehadiran Ibra pelan-pelan mencairkan kebekuan dalam hatiku. Tak perlu menjadi pintar untuk bisa tahu bahwa apa yang kurasakan pada Ibra ini adalah sebentuk cinta. Saat aku mulai mengizinkan pria itu perlahan mendekat, tak lagi bersikukuh menolak keberadaannya, terlebih saat sosok itu kerap kali muncul dalam kepalaku. Kapan pun dan di manapun.
“Ini kan hari libur saya?” keluhku.
“Hari ini saya mau ajak kamu refreshing, ” jawab Ibra santai.
“Ke mana?”
“Kamu puny a tempat yang ingin dikunjungi?”
Tiba-tiba aku teringat pada Mama. Sudah berapa lama sejak terakhir kali aku mengunjungi beliau. Maka kuputuskan untuk mengunjungi makam Mama—Ibra dengan senang hati menyambut usulku. Selama peijalanan aku memilih diam. Meski beberapa kali Ibra memancingku dengan pertanyaan yang kadang kujawab. Selebihnya kudiamkan. Tapi aku semakin saint pada pria itu karena tak sekalipun menunjukkan wajah bosan akan sikapku terhadapnya.
“Assalamualaikum, Ma,” sapaku saat sudah beijongkok di samping makam Mama.
Ibra juga mengambil posisi yang sama. Beijongkok di sisi lain makam. Pria itu juga tak sungkan untuk membersihkan dedaunan kering yang mengotori makam. Juga mencabuti rumput liar yang tumbuh satu-satu. Setelah meletakkkan sebuket bunga yang tadi sempat kami beli di jalan, aku mulai berdoa. Hari ini aku tak ingin bercerita dengan kata pada Mama. Adanya Ibra membuatku enggan untuk membuka suara. Berkeluh kesah seperti biasa. Bagaimana mungkin aku bercerita jika objek yang ingin kuceritakan pada Mama ada bersamaku.
“Assalamualaikum, Tante. Perkenalkan, saya Ibra. Laki- laki yang ingin menjaga anak perempuan Tante dunia-akhirat. Tapi, sayangnya sampai saat ini dia belum membuka kesempatan bagi saya untuk menjaganya. Padahal sudah berulang kali saya utarakan niat untuk menikahi Danika.”
Mataku terbelalak mendengar Ibra bicara. Tanpa sadar aku gemas dan memukul lengannya karena sudah berbicara seenaknya pada Mama. Ibra sendiri tertawa ringan kala aku melakukan itu. Sesuatu yang jarang dilakukan dan jarang ditunjukkannya pada orang lain.
“Ngomong apa, sih?” kesalku. Tak menyangka Ibra bisa begitu berbeda dari dia yang biasanya kukenal. Atau memang aku tak pernah benar-benar mengenalnya.
“Ngomong kenyataan. Kalau saya memang serins ingin menikahi kamu.”
Kutatap Ibra lekat. Selama ini aku terlalu sering mendengar ajakan serins pria itu. Tapi aku tak pernah benar- benar tahu apa yang mendasari Ibra ingin menikahiku. Jika hanya rasa suka, aku juga tahu. Tapi... intinya aku ingin tahu. Mengapa Ibra bisa begitu yakin padaku.
“Kenapa Pak Ibra mau menikahi saya? Atau, apa yang bikin Bapak yakin untuk nikah sama saya?” tanyaku. Nadaku kali ini sangat serius.
“Saya cinta sama kamu, Danika. Kamu pasti tahu itu.” “Cinta saja nggak cukup sebagai alasan untuk menikah.” Ibra tak menjawab. Matanya tampak menerawang.
Mungkin memikirkan jawaban apa yang akan ia katakan padaku. Selama jeda itu, satu pemikiran masuk ke dalam kepalaku. Hanya cinta, dan Ibra terlihat kesulitan menjawab. Hanya alasan itulah yang bisa diterima akal sehatku.
“Karena kasihan, kan?” cetusku tanpa berpikir. Ibra tampak terperanjat. Pria itu belum menjawab, membuatku mendesah keras. Aku langsung berdiri, Ibra juga ikut berdiri. Kini kami saling berhadapan. “Pak Ibra kasihan sama saya. Sejak awal, paling tidak Bapak tahu apa yang saya alami. Karena itu, dorongan rasa kasihan atas hidup saya yang menyedihkan yang membuat Pak Ibra berinisiatif untuk menikahi saya, kan? Kalau cuma itu, sungguh, Pak Ibra nggak perlu berusaha sampai sejauh itu. Saya sudah cukup berterima kasih karena Pak Ibra memberikan saya kesempatan bekeija di Sushi Me. Tapi nggak perlu sampai ingin menanggung beban hidup saya. Saya nggak butuh.”
Aku bergegas pergi. Hanya mengucapkan salam perpisahan pada Mama dalam hati. Emosiku tersulut kala mengetahui kebenaran kalau keinginan Ibra menikahiku tak lebih dari rasa kasihan. Aku tak butuh dikasihani.Tapi seperti biasa, Ibra tak melepasku dengan mudah. Pria itu menyusul langkahku. Menghentikanku dengan mencekal pergelangan tanganku.
“Kita harus bicara dengan kepala dingin, Danika.” “Enggak perlu. Bisa tolong Pak Ibra lepaskan tangan
saya?” Aku berusaha menarik lepas cekalan Ibra dari pergelanganku.
“Ayo!”
Ibra menarik paksa dan membawaku ke mobilnya. Meski aku berusaha berontak, tapi tetap saja aku tak mampu mengimbangi kekuatannya. Pria itu bahkan memasangkan seatbelt padaku, membuatku akhirnya pasrah dan mengikuti maunya Ibra. Sampai di mana kami bisa bertahan.
Yang tak kuduga adalah Ibra membawaku ke sebuah rumah. Mungkin milik pria itu karena begitu mobil berhenti di car port, Ibra langsung turun dan membukakan pintu untukku. Namun, aku melakukan perlawanan dengan tetap bertahan di dalam mobil. Sampai pria itu mengembuskan napas lelah. Tiba-tiba saja Ibra sudah beijongkok di pintu mobil yang terbuka, membuatku sedikit beijengit tapi tetap bertahan untuk tak menatapnya.
“Danika, turun, ya. Kita bicara di dalam dan selesaikan baik-baik,” bujuk Ibra dengan nada lembutnya.
“Antarkan saya pulang. Kalau Pak Ibra nggak mau, saya bisa pulang sendiri.”
“Setelah kita menjernihkan masalah ini, oke?”
“Baik,” ucapku akhirnya.
Ekspresi lega langsung terpancar di wajah Ibra. Pria itu kemudian menyingkir untuk memberi jalan padaku. Meski kaki serasa berat, tapi akhirnya aku keluar juga dari mobil Ibra. Kami beijalan bersisian. Tapi langkahku terhenti seketika kala melihat benda yang tak asing bagiku. Benda yang merupakan kenangan Mama untukku. Benda yang menjadi awal pertemuanku dan Ibra. Tanpa dikomando, kakiku melangkah pada benda yang hampir dua tahun tak kutemui.
Mataku rasanya sudah memanas saat menyentuh badan mobil yang merupakan hadiah dari Mama. Hadiah yang dengan terpaksa kuserahkan pada Ibra demi menutupi ganti rugi yang kuakibatkan. Air mata haru tak bisa kubendung lagi. Sebelah telapak tanganku menutup mulutku yang mulai terisak.
“Ini...?” tanyaku kala berpaling pada Ibra yang berdiri dengan kedua tangan tersembunyi dalam sakunya.
“Hm....”
Kakiku tak sanggup lagi menopang berat tubuh. Seketika aku meluruh di lantai. Dengan kedua lutut yang saling tertekuk, kusembunyikan wajahku di sana. Seluruh pertahananku rasanya runtuh. Tak ada lagi yang tersisa. Saat ini aku benar-benar tubuh tanpa cangkang semu yang seolah terlihat kuat di luar tapi lemah di dalam.
Aku masih duduk sembari menghilangkan senggukanku. Setelah aksi tangisku tadi, Ibra akhirnya membantuku berdiri. Pria itu membawaku untuk duduk di sofa ruang tamunya. Tak ada siapa pun di rumah ini. Mungkin Ibra memang tinggal seorang diri tanpa asisten rumah tangga. Namun begitu, aku tak khawatir. Sejauh aku mengenal Ibra, pria itu memang gigih mengarah keras kepala. Tapi ia tak pernah sekalipun bersikap tak sopan padaku. Bahkan selama ini ia terkesan menjagaku.
Tak lama Ibra datang membawa nampan berisi dua gelas. Satu berisi air putih dan gelas satunya berisi air jeruk. Aku tak tahu siapa yang menginginkan air jeruk. Mungkin untuk dirinya.
“Minum.” Ibra menyodorkan gelas berisi air putih saat duduk di sampingku.
Aku tak menolak. Bahkan ketika pria itu mengusap lembut punggungku pun aku tak menepisnya. Saat ini aku belum punya tenaga untuk bereaksi keras. “Terima kasih,” ucapku lirih, sembari meletakkan gelas yang berisi setengah lagi di atas meja.
Ibra mengangguk. “Sudah siap untuk kita bicara?” tanyanya kemudian.
Meski masih ada sisa air mata di pelupuk, tapi aku mengangguk. “Tapi sebelumnya, say a boleh tanya?” kembali Ibra mengangguk. “Kenapa mobil itu ada di sana?”
“Memang kenapa? Bukannya itu sudah jadi milik saya.” Aku memejam sejenak. Benar. Untuk apa aku bertanya
lagi perihal mobil itu. Bukankah itu sudah menjadi hak milik Ibra. Tapi tetap saja, hatiku masih mengganjal. Aku ingin tahu kenapa mobil itu tetap Ibra pertahankan. Bukannya dijual untuk menutupi ganti rugi mobilnya. Meski mungkin kesedihanku akan berkali lipat jika tahu mobil peninggalan Mama benar-benar dijual. Dan tak bisa lagi kulihat. Ada kelegaan tersendiri kala benda itu masih bisa kujangkau dengan mata—walau tak lagi kumiliki.
"Kenapa mobilnya nggak dijual?" tanyaku memberanikan diri.
Ibra tak langsung menjawab. Pria itu hanya memandangiku sesaat. “Karena mobil itu penting untuk kamu. Terutama untuk saya.”
“Kenapa?”
“Tanpa mobil itu, saya mungkin nggak pernah ketemu kamu, dan ketika kamu menyerahkan mobil itu, meski saya tahu itu berat, saat iu saya tahu mobil itu berarti bagi kamu. Bagi hubungan kita.”
Aku menatap Ibra tak percaya. Memang mobil itu sangat berarti bagiku. Tapi, baginya?“Maksudnya?”
“Saya jatuh cinta pada kamu sejak awal bertemu. Kamu boleh tidak percaya, tapi bagi saya, perasaan yang saya rasakan saat itu tidak main-main. Begitu juga ketika akhirnya takdir mempertemukan kita lagi. Saya makin gencar mendekati kamu karena saya benar-benar serius dengan kamu.”
“Bukan karena kasihan?” tanyaku akhirnya.
Ibra menggeleng. “Saya tidak pernah merasa kasihan sama kamu, Danika. Apa yang terjadi sama hidup kamu sudah pasti akan menimbulkan rasa iba bagi orang lain. Tapi lebih dari itu, saya salut sama kamu. Saya begitu terkejut pada perempuan yang begitu muda, tapi sudah begitu berani mengambil langkah besar untuk hidupnya. Kamu bahkan tidak segan hidup tanpa kemewahan seperti yang biasa kamu dapatkan. Kamu begitu kuat. Membuat saya yakin, bahwa hati saya nggak pernah salah memilih perempuan kuat seperti kamu untuk menjadi pendamping saya.”
Aku diam. mencoba mengurai makna dari apa yang disampaikan Ibra. Sungguh, tadinya kupikir perasaan Ibra sesaat hanya karena rasa penasaran pria itu padaku. Tapi saat ia mengutarakan lagi, dan juga bukti nyata bahwa ia menyimpan mobilku dengan baik, aku jadi meragukan diriku sendiri.
“Kamu mungkin masih ragu. Itu wajar, mengingat apa yang teijadi antara kamu dan Papamu. Saya tahu tidak akan mudah bagi kamu percaya begitu saja pada laki-laki dan hubungan. Tapi ... saya benar-benar serius. Saya ingin menikahi kamu. Kamu boleh menguji sampai di mana batas keseriusan saya. Jika kamu butuh waktu lebih lagi, silakan. Take your timekarena saya akan tetap di tempat yang sama menunggu kamu.”
Sekali lagi aku dibuat tak bisa berkata. Pria ini memang terlalu serins. Tak suka sesuatu yang bertele-tele. Pun ketika Ibra mengatakan menyukaiku, atau ketika ia mengutarakan keinginannya untuk menikahiku, ia selalu berkata langsung pada intinya.
“Sa-”
“Kamu masih boleh berpikir, Danika. Tapi tidak untuk menolak.”
Aku menatap lurus padanya. “Bapak kasih saya waktu berpikir, tapi tidak untuk menolak?”
“lya. Saya hanya memberi kamu waktu dan ruang untuk berpikir. Tapi saya tidak ingin kamu menolak lamaran saya. Saya hanya ingin kamu benar-benar memikirkan apa yang saya tawarkan, Danika. Bukan karena saya ingin meringankan beban hidup kamu dengan bertanggung jawab atas kamu dengan status sebagai suami, tapi lebih dari itu.Seperti yang saya katakan di makam Mamamu tadi. Saya ingin menjaga dan membahagiakan kamu. Sampai akhir hayat.”
Jika gadis lain mungkin memimpikan dilamar secara romantis oleh pasangannya, kurasa aku tak menginginkannya. Karena begini saja, Ibra sudah berhasil membuat jantungku
jumpalitan. Tak ada bunga, tak ada cincin indah, atau makan malam romantis dengan hadiah dan kartu ucapan yang bisa membawa angan ke langit ketujuh. Ibra hanya perlu duduk berhadapan denganku. Mengutarakan keinginannya dengan sangat serins. Tapi lebih dari itu, mampu membuatku tak berkutik.
Lebih gilanya lagi, tak ada sentuhan atau genggaman tangan lembut yang pasti mampu meluluhkan hati perempuan manapun. Ibra hanya mengucap dengan keseungguhan dan tatapan mata yang mampu memerangkapku dalam netra beningnya. Benar-benar lamaran yang jauh dari kata sempurna, tapi justru membuat gadis manapun mungkin tak akan berpikir dua kali untuk menerima keseriusan Ibra. Termasuk aku, yangjuga mulai goyah.
Tak Bisa Menyangkal Lagi
Ibra memasakkan makan siang untuk kami, meski sudah melewati jam makan siang pada umumnya karena aku dan dia masih harus melewati beberapa sesi tanya jawab, jadwal makan siang kami terpaksa tertunda. Tapi begitu, sesi melodrama kami belum berakhir karena Ibra masih ingin mendengar keputusanku setelah penuturannya tadi. la tak memaksa, tapi ia masih butuh aku menerimanya. Itu saja.
Andai saja perutku tak berteriak minta diisi, mungkin aku akan segera menjawab permintaan Ibra. Tapi pria itu tak ingin aku kelaparan. Karena itu, Ibra menghentikan sejenak pembicaraan kami dan berinisiatif untuk memasak.
Jika kupikir ia hanya bermodal bisnis membuka restoran Sushi Me, maka aku salah. Ibra ternyata menguasai keahlian yang umumnya dimiliki kaum hawa; memasak. Siapa sangka ternyata kesukaan memasaklah yang membuat Ibra beralih profesi menjadi pebisnis rumah makan. Meski memang basic pendidikannya adalah Manajemen Bisnis,tapi memasak adalah satu dari sekian kegiatan favorit Ibra, la tak mengambil kursus memasak atau semacamnya, hanya bereksperimen sendiri di dapur.
Tak ada larangan dari kedua orang tuanya bagi Ibra ketika pria itu sibuk di dapur. Jika biasanya anak lelaki akan diusir mundur dari dapur karena masih terlalu tabu atau tak lazimnya berada di area kekuasaan wanita, tapi tidak dengan orang tua Ibra. Sejak duduk di bangku SMP, Ibra sudah terbiasa dengan dapur dan segalanya.
Aku menatap takjub pada hidangan di meja makan. Ada sayur asam, udang asam manis, dan ayam adu terhidang. Rasanya aku saja sebagai perempuan belum tentu mampu
menyajikan hidangan sebaik ini. Liurku mungkin menetes jika tak ingat bahwa saat ini aku tengah berhadapan dengan Ibra. Cacing-cacing di perut juga seakan sadar mereka sudah disuguhi makanan yang menggugah selera.
“Kenapa belum dimakan?” tanya Ibra ketika pria itu akhirnya bergabung denganku di meja makan.
Aku terperanjat menatap Ibra. Selaparnya aku, mana mungkin bisa tak sopan,memulai makan tanpa si pemilik rumah.
“Mana boleh saya makan tanpa Pak Ibra.”
Ibra hanya tersenyum samar. Pria itu lantas mulai mengambil nasi juga lauk pauknya, kemudian memberikan piring yang tadi diisinya untukku, membuatku makin bingung.
“Kenapa?” tanyaku.
“Makan yang banyak. Saya nggak suka lihat kamu kurusan.”
Harusnya aku tersanjung, namun alih-alih aku malah cemberut. Apa dia meledek bentuk tubuhku yang memang lebih kurus dari terakhir kali aku mengeceknya?Tapi sudahlah, aku tak ingin bertengkar dengan Ibra hanya karena masalah makan. Harusnya aku bersyukur pria ini begitu baik mau memasak untukku. Jadi yang kulakukan selanjutnya adalah berdoa dan menikmati makan siangku.
Tak ada suara di meja makan kecuali denting alat makan yang beradu. Ibra sendiri juga menikmati makanannya. Meski aku memergokinya berkali-kali menatapku. Tapi aku tak ambil pusing hingga makanan di piringku tandas.
Jika tadi Ibra sudah berbaik hati memasak, maka sebagai balasan agar tak dianggap tak tahu diri, aku menawarkan untuk mencuci piring. Awalnya Ibra menolak, tapi aku bersikukuh untuk melakukannya. Akhirnya ia menyerah dan membiarkanku mencuci peralatan makan. Sedang dirinya membantu membersihkan meja.
Tak butuh waktu lama, aku sudah menyelesaikan tugasku, kemudian menyusul Ibra yang sedang bersantai di ruang televisi. Sesaat kakiku ragu melangkah, tapi tak mungkin aku terus berdiam diri di rumah Ibra. Bagaimanapun kami masih belum memiliki hubungan yang jelas. Atau kalaupun memiliki hubungan, tak baik bagi perempuan berada berlama-lama di rumah lelaki jika bukan suami atau kerabatnya.
“Pak Ibra...,” panggilku, berdiri beberapa meter dari sofa yang diduduki Ibra.
Pria itu langsung menegakan kepalanya, menatapku.
"Ya, Danika?"
“Saya ... sudah bisa pulang, kan?”
Ibra berdiri, beqalan ke arahku, membuat jantungku kembali kebat-kebit. Walau sudah terlalu sering berdekatan dengan Ibra, tetap saja aku tak bisa mengendalikan kerja
jantungku terhadap pria itu.
“Duduk dulu, ya. Kamu masih belum memberi saya jawaban.”
“Tapi, kan, katanya saya boleh berpikir.” Suaraku tak seketus biasanya.
“lya, tapi kamu barn makan. Biarkan organ pencernaanmu bekeija dengan baik dulu.”
Ibra menarik lenganku, membawaku duduk di sofa, kemudian mendudukkan dirinya di sampingku. Lagi-lagi
jantungku bereaksi berlebihan. Berusaha bergerak samar, aku perlahan menjauh dari Ibra. Pria itu sadar, tapi tak mengatakan apa pun. Hampir dua puluh menit kami hanya berdiam. Dengan tatapan yang terpaku pada layar televisi yang menayangkan entah apa. Meski pandanganku terpaku ke layar, tapi tidak dengan pikiranku. Bahkan saat Ibra memanggil, aku tak sadar. Hingga pria itu menyentuh lenganku, membuatku terlonjak kaget.
“A... apa?” tanyaku gelagapan.
“Sudah ingin pulang?” tanya Ibra lagi.
“E ... memang sudah boleh pulang?”
Senyum Ibra terukir.“Saya nggak akan tahan kamu. Lagi pula saya juga tahu, kamu khawatir kan dengan kondisi kita yang hanya berdua.” Aku mengangguk. “Jadi, kamu sudah siap pulang?”
Jika tadi aku ingin pulang, entah mengapa sekarang aku seperti enggan. Seperti ada sesuatu yang menahanku untuk segera pulang. Bahkan saat Ibra sudah berdiri, aku masih duduk sembari mendongak menatapnya.
“Kenapa?” tanyanya lagi.
“I... jawabannya...?” Entah mengapa justru kata itu yang tercetus dari bibirku. Ingin kutarik, tapi tak akan mungkin karena Ibra sudah tersenyum simpul mendengarnya.
“Take your time. Tapi jangan terlalu lama. Atau say a akan langsung paksa kamu.”
Mataku membelalak dengan mulut setengah terbuka. Tak percaya Ibra akan mengatakan hal tersebut. Cepat-cepat kuperbaiki ekspresiku jika tak ingin memancing tawa karena sikap bodohku. Aku pun segera berdiri menyusulnya.
Saat melewati car port, sekali lagi kulangkan kaki menuju mobil kenangan yang terparkir di sana. Mengelus badan mobil yang terlihat begitu mulus dan terawat. Rasanya tak cukup hanya terima kasih yang bisa kuberikan pada Ibra untuk mengungkapkan rasa legaku karena benda itu begitu dirawat dengan baik.
“Terima kasih,” kataku, Ibra tampak terkejut, “karena sudah merawat mobilnya. Itu hadiah dari Mama. Satu-satunya pengingat paling nyata akan keberadaan Mama.”
Aku tak tahu mengapa aku harus membeberkan fakta itu pada Ibra. Tapi, kurasa memang harus mengatakannya. Jika Ibra menganggap mobil itu sama berarti baginya, maka ia harus tahu arti mobil itu bagiku.
“Kalau kita menikah, kamu bisa memilikinya lagi.” Wajahku pasti sudah memerah mendengar kata-kata
yang keluar dari bibir Ibra. Bahkan aku bisa merasakan telingaku memanas. Terlalu banyak ucapan spontan pria itu yang berhasil membuatku hampir kena serangan jantung. Tak ingin memperpanjang, aku memilih segera masuk ke mobil Ibra. Pria itu tersenyum sembari membuka gerbang rumahnya.
Hubunganku dan Ibra perlahan membaik. Dalam artian mulai membuka diri terhadapnya. Meski harus perlahan, tapi Ibra sama sekali tak keberatan untuk menyamakan langkahnya
denganku.Walau aku dan Ibra tak pernah mendeklarasikan apa pun, seluruh pegawai Sushi Me seolah tahu bahwa aku dan Ibra tak lagi seperti bermain kucing dan tikus. Mereka melihat aku yang tak lagi berusaha menghindari Ibra tiap kali pria itu mendekat atau bicara denganku. Tapi begitu, aku tetap menjaga jarak dengannya jika sedang bekeija. Tak ingin dipandang tak profesional dan melalaikan tugas hanya karena Bos besar menyukaiku.
Tapi sebaik apa pun hubungan, akan selalu muncul riak kecil di tengah tenangnya. Seperti yang siang ini teijadi, aku melihat Bintang dan dua orang temannya tiba di Sushi Me. Selama bekeija, aku jarang melihatnya datang. Atau memang dia sering datang tapi karena aku tak mengenalnya, jadi aku berpikir bahwa dia sama seperti pelanggan pada umumnya. Terlebih tak pernah sekalipun aku melihat Ibra berbincang atau menyambutnya selama bekeija di tempat ini.
Sebagai pegawai tentu saja aku harus bersikap layaknya pramusaji yang ramah dalam melayani pelanggan. Meski kini aku tahu Bintang adalah adik sepupu Ibra, aku tetap menyambutnya selayaknya pengunjung lain.
“Ini buku menunya, silakan memesan,” ucapku seramah mungkin.
Bintang sendiri seolah tak mengenalku. la bertindak bak pelanggan terhormat yang menunjukkan bahwa dirinya saat ini adalah raja. Jadi harus diperlakukan selayaknyakarena apa yang ia bayar atas makanannya nanti adalah pemasukan untuk membayar gajiku. Gadis itu menyebutkan pesanannya yang kucatat dengan cermat. Tak ingin memberinya celah untuk melakukan komplain terhadapku nanti.
“Kalian mau pesan apa, Manda, Prita?”
Telingaku tak salah mendengar saat ia menyebut nama ‘Manda’ pada salah seorang temannya. Amanda, sahabat Bintang yang menyukai Ibra, bukan? Kulirik kedua gadis itu, mencoba menebak yang mana gadis bernama Manda tersebut.
“Samain kamu aja deh,” ucap seorang dari kedua gadis tersebut. Gadis yang menurutku sangat cantik. Berkulit putih dengan wajah yang menunjukkan betapa ia begitu terbiasa dengan perawatan mahal.
“Kamu, Prita?”
Ah, aku akhirnya tahu. Gadis cantik pertama tadilah yang bernama Manda. Pantas saja, gadis secantik dia bisa
jatuh hati pada Ibra. Jika dibandingkan denganku, maka tak akan bisa disandingkan. Bukan berarti aku ingin rendah diri. Tapi kalau ditilik dari apa pun, jelas gadis bernama Amanda itu begitu tepat jika bersanding dengan Ibra.
Terlalu asyik bercengkerama dengan isi kepala, hingga aku tak sadar Bintang sudah mengeraskan suaranya, membuatku gelagapan saat menjawab. Gadis itu langsung memasang tampang masam. Berdecak tak suka karena sikapku yang tak fokus dalam bekeija.
“Samakan saja pesanannya dengan yang pertama,” ucapnya ketus.
Aku mengangguk dan berpamitan pada ketiga nona besar itu untuk memproses pesanan mereka.“Meja 6,” ucapku pada Kartika, kasir yang saat ini bertugas untuk mencatat di komputer sebelum aku memberikan kertas pesanan ke bagian dapur.
“Kenapa?” tanya Kartika ketika melihatku menghela napas.
“Hah?”
“Kamu, kenapa lesu begitu?”
“Enggak. Cuma dapat pelanggan galak aja.”
“Meja 6?” Kartika menyerahkan kembali kertas yang tadi kuberikan padanya setelah memasukkannya ke dalam data.
“Biasalah. Aku ke dapur, ya,” pamitku yang dibalas anggukan Kartika.
Saat akan melintas ke dapur, kulihat sosok Ibra yang sudah bergabung bersama sepupunya dan kedua gadis tadi. Wajah Manda begitu berbinar kala menatap Ibra,membuatku kembali menghela napas pelan. Segera kusingkirkan perasaan tak nyaman tersebut. Aku harus fokus bekeija jika tak ingin semua menjadi kacau.
Setelah meletakkan kertas pesanan untuk diproses, aku kembali ke ruang jamuan. Melayani pelanggan lain yang barn tiba. Selama itu, aku bisa merasakan Ibra yang terus mencuri pandang ke arahku, tapi sebisa mungkin kuabaikan lirikan pria itu. Hingga saat aku mengantarkan pesanan ke meja Bintang dan sahabatnya, gadis itu seperti sengaja memancing pembicaraan agar Ibra dan sahabatnya yang bernama Manda itu terlihat dekat. Dengan jelas bisa kulihat Bintang melirikku sambil menyunggingkan senyum sinis. Seolah menegaskan bahwa ia sama sekali tak setuju jika Ibra memilihku.
Tak ingin termakan oleh omongan Bintang, aku segera menyingkir setelah mengantarkan semua pesanan mereka. Waktu istirahatku juga hampir tiba. Jadi setidaknya aku bisa menyingkir sejenak untuk menenangkan isi kepalaku yang panas.
Aku memilih menikmati makan siang di luar Sushi Me. Rumah makan Padang yang beijarak beberapa ratus meter dari Sushi Me menjadi pilihanku. Setelah mengatakan pesanan pada pramusaji di sana, aku menunggu di salah satu meja kosong yang jauh dari pintu masuk. Yang tak kusangka selanjutnya adalah tiba-tiba Ibra sudah duduk berhadapan denganku. Bahkan aku tak sempat mengedip saat pria itu juga sudah mengatakan pesanannya pada sang pramusaji.
“Kok?” Hanya itu yang bisa keluar dari bibirku.
“Mau menemani kamu makan siang.”
“Tapi... Bintang dan teman-temannya?”
“Memang kenapa dengan mereka?”
Mataku mengeijap. Seperti ada kata yang tertahan di lidahku, namun akhirnya tak mengatakan apa pun. Memilih bungkam selagi menunggu pesanan datang. Setelah menyelesaikan makan siang yang tanpa kata, aku dan Ibra kembali ke restoran. Meski kami beijalan bersisian, tapi tetap tak ada satu suarapun yang keluar.
“Saya balik keija dulu,” pamitku yang diangguki Ibra. “Pulang nanti saya antar.”
Belum sempat aku menjawab, Ibra sudah beijalan menuju ruangannya. Mataku hanya mampu menatap punggung lebar itu yang perlahan menjauh. Beberapa pasang mata mungkin menyaksikan interaksi kami. Hingga aku mengalihkan tatapan karena merasa ada yang begitu intens melihatku.
Benar saja. Saat aku berpaling, tatapan tajam datang dari meja enam, Bintang dan kedua sahabatnya masih berada di situ dan menatap tajam padaku. Tatapan yang mungkin bisa membakarku hidup-hidup karena bara kemarahan bisa kutangkap dari mata mereka. Terutama Bintang. Tapi aku tak ingin ambil pusing. Kuabaikan mereka dan kembali ke pekerjaan yang sudah menungguku.
Perlahan Menerima
Sejak siang kurasakan tubuhku tak dalam kondisi baik-baik saja. Namun sekeras mungkin aku bertahan. Pekeijaan yang menyita waktu membuatku hams menyingkirkan rasa sakit. Menguatkan diri demi nama profesionalitas. Tapi, sepertinya tubuhku tak bisa diajak berkompromi lagi. Tepat saat aku akan mengakhiri jam kerja hari ini, kurasakan kepalaku mulai pusing. Perutku pun terasa diaduk. Dengan tergesa aku memasuki kamar mandi yang berada di samping ruang ganti dan memuntahkan isi perutku.
Tubuhku terasa lemas meski sudah memuntahkan hampir semua isi perutku hari ini. Tak sanggup lagi, aku terduduk lemas di pinggir wastafel. Hingga Kartika masuk ke kamar mandi dan terkejut melihatku yang tak berdaya.
“Danika, kamu sakit?” tanyanya, cemas.
Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Tak sanggup menjawab pertanyaannya karena kepala yang kurasakan semakin pusing. Entah apa yang terjadi hingga tiba-tiba kudengar suara derap langkah memasuki kamar mandi. Kesadaranku yang sudah separuh hilang membuatku tak mampu bergerak dan hanya pasrah saja saat seseorang membopong tubuhku. Hingga saat berhasil membuka mata, aku sudah berada di ruangan dengan infus yang terpasang di tangan kiriku. Saat kepalaku menoleh, hanya ada Ibra di ruangan bersamaku. Mungkin Ibra bisa merasakan bahwa aku yang sudah sadar sepenuhnya, pria itu menoleh hingga tatapan kami saling mengunci.
“Mau minum?” tawarnya.
Aku tak menjawab. Tapi seolah tahu, Ibra perlahan mendekat dan membantuku untuk duduk tegak, lalu menyodorkan sebotol air mineral.
“Saya sakit apa?” tanyaku setelah menuntaskan dahaga.
“Gejala tifus. Selain faktor makanan, sepertinya kamu juga kelelahan,” jelas Ibra. “Mulai sekarang saya akan pantau
pola makan kamu.”
Dahiku mengernyit. Memantau pola makanku? Memangnya Ibra siapa? Tepat saat akan buka suara untuk membantah, Ibra menyelaku.
“Saya peduli sama kamu, Danika. Saya nggak mau kamu sakit. Jadi turuti saya.”
Bibirku mencebik. Tapi begitu pun Ibra tak ambil pusing. Pria itu malah sibuk bertanya apa yang kubutuhkan. Apa aku lapar atau tidak. Atau posisiku sudah nyaman atau belum. Pria itu benar-benar berperan sebagai perawat pribadiku. Membuatku tak bisa menutup mata atas segala perhatian Ibra. Bahkan ketika aku akan tidur, Ibra tak lupa membantuku untuk menyamankan posisi. Baru ia ikut berbaring di ranjang tambahan yang ada di ruangan ini.
Ibra lebih dulu terlelap. Mungkin dia lelah karena mengurusku. Posisi ranjang kami yang bersebelahan membuatku bisa melihatnya dengan jelas. Pria itu tampak nyaman dalam tidurnya. Lama aku memperhatikan Ibra, sampai akhirnya menyadari kalau pria ini ... berbeda. Ibra begitu tulus dengan segala perhatiannya padaku. Keyakinanku tiba-tiba menguat bahwa pria ini tak akan sama seperti Papa.
Ibra bukan Papa. Tak ada yang perlu kutakuti jika aku memberikan kesempatan pada Ibra untuk masuk ke dalam hidupku. Lelah berpikir, akhirnya aku pun ikut terlelap bersama kantukku.
Saat pagi menj elang, aku meminta Ibra untuk mengambilkan ponselku. Aku harus mengabarkan pada Dayu tentang kondisiku. Sempat marah karena baru memberitahunya sekarang, akhirnya Dayu menghela pasrah. Terlebih saat kuberitahu ada Ibra yang menjagaku.
Dayu tiba saat Ibra sedang menyuapkan sarapan. Ekspresi wajah jail gadis itu jelas membuatku malu setengah mati. Selama ini Dayu tahu jika aku begitu antipati pada Ibra. Tapi, situasi saat ini jelas membuat gadis itu pasti berpikir nakal tentang kami.
“Gimana keadaannya?” tanya Dayu.
“Dokter bilang sudah lebih baik.” Ibra menjawab seadanya, kemudian kembali fokus padaku.
Ibra memaksaku untuk menghabiskan sarapan, tapi aku sama sekali tak berminat lagi. Meski aku sudah menolak, Ibra tetap memaksa. Hingga membuatku terpaksa membuka mulut meski dengan wajah cemberut.
“Gimana bisa sakit, sih, Nika?” Dayu kembali bertanya. Gadis itu meletakkkan kantong yang dibawanya.
“Kelelahan. Mungkin karena banyak pikiran. Juga kerena pengaruh makanan dan daya tahan tubuh Danika yang menurun. Itu yang dikatakan dokter.” Ibra lagi yang menjawab.
“Sudah cukup,” ucapku menyela saat Ibra kembali mengarahkan suapan padaku.
Ibra menghela napas. “Sedikit lagi, Ka. Satu suapan lagi,” bujuknya. Aku menggeleng pelan. Bahkan menutup mulutku dengan telapak tangan.“Satu suapan, setelah itu saya nggak akan paksa kamu lagi.”
“Turutin deh, Nika. Mau cepat sembuh nggak, sih?” Dayu ikut menimpali. Mungkin ia prihatin pada Ibra yang terus berusaha membujukku.
Diserang dua orang sekaligus, jelas aku kalah suara. Dengan wajah kesal, aku menerima suapan terakhir dari Ibra. Membuat kedua penyerangku tersenyum karena sikap patuhku. Ibra lantas membantuku meminum obat yang tadi diantarkan perawat saat kunjungannya membawakan sarapan.
“Aku balik dulu, deh. Soalnya cuma izin datang telat ke kantor. Enggak enak kalau kesiangan banget,” ucap Dayu akhirnya memecah suasana.
“Tapi nanti temani aku di sini , ya? Nginap,” pintaku sebelum Dayu pergi.
Gadis itu melirik Ibra yang memasang wajah tanpa ekspresi. “Bukannya ada Ibra, ya?” godanya.
“Ya, Pak Ibra kan harus urusin yang lain juga, Yu.” Dayu belum menjawab,membuatku terpaksa memaksanya. “Nginap, kan, Yu?”
Akhirnya Dayu mengangguk. Gadis itu kemudian berpamitan. Meninggalkan aku dan Ibra yang kembali membisu berdua di dalam ruangan. Ibra memilih untuk mengantarkan peralatan bekas makanku. Padahal ada petugas yang bisa melakukannya, tapi pria itu berdalih ia ingin bicara khusus pada staf dapur rumah sakit perihal menu makananku selama dirawat.
Aku hanya bisa menghela napas kala Ibra sudah tak berada di dalam ruangan. Pria itu, bagaimana bisa dia begitu perhatian. Padahal aku bukan siapa-siapa baginya. Hanya karyawan di restorannya. Status lamaran Ibra yang belum kujawab, tak bisa dimasukkan ke dalam hitungan bahwa kami memiliki hubungan. Saat masih berpikir dengan segala isi kepalaku, pintu ruanganku kembali terbuka. Ibra sudah kembali. Pandangan kami saling mengunci.
“Saya tinggal dulu bisa? Ada yang harus saya keijakan di Sushi Me.”
Aku mengernyit. Kenapa Ibra harus meminta izinku? “Sebelum makan siang, saya pastikan sudah di sini lagi.” “Kalau Pak Ibra nggak bisa ke sini, juga nggak apa-apa,
kok. Saya tahu Bapak punya banyak urusan. Bukan hanya harus mengurusi saya. Terima kasih karena sudah menemani saya semalam. Selain itu untuk bi—”
Ibra menatap tajam, membuatku tak bisa melanjutkan ucapan.
“Jangan bicarakan soal biaya. Yang paling penting kamu sembuh dulu,” ucapnya, tegas.
Aku hanya bisa menatap Ibra dengan raut tak setuju. Meski begitu aku tak akan bisa menang dengan kekeraskepalaan pria itu. Ibra kemudian merapikan barang- barangnya sebelum pamit. Yang tak kusangka adalah perlakuan pria itu yang membuat jantungku kembali bergemuruh. Sebelum benar-benar pergi, Ibra mencium puncak kepalaku. Mengatakan ia akan kembali secepat mungkin. Meninggalkan aku yang masih terpaku karena perlakuannya.
***
Empat hari aku tertahan di rumah sakit dan akhirnya diizinkan pulang. Dayu turut serta mendampingiku. Kebetulan hari keluar dari rumah sakit bertepatan dengan libur akhir pekannya Dayu. Karena itu, aku juga memintanya menemaniku. Ibra tetap dengan perhatiannya. Bahkan semua barang keperluanku selama di rumah sakit, pria itu yang membenahi, membuat Dayu tak henti-hentinya menatap takjub pada Ibra.
“Ada yang lain lagi?” tanyanya padaku.
“Enggak ada. Dan juga, biaya administrasi ...” Aku kembali bungkam karena decakan tak senang dari Ibra.
“Berapa kali saya katakan. Jangan pikirkan biaya. Cukup kamu kembali sehat.”
Tak bisa lagi membantah, akhirnya aku pasrah ketika Ibra mengiringiku dan Dayu berjalan keluar dari kamar rawat. Selagi Ibra mengambil mobilnya di parkiran, ia meminta kami menunggu di lobi rumah sakit. Kemudian mengantarkanku dan Dayu kembali ke rumah. Pria itu lantas berpamitan pada kami setelah berjanji besok akan menjengukku lagi.
Dayu menyibukkan diri di dapur sementara aku meletakkan barang-barangku di kamar. Aku meminta Dayu untuk memasakkan semur untukku. Entah mengapa aku rindu dengan makanan itu.
“Ayo, makan!” Dayu berteriak memanggilku.
Aku keluar dengan wajah semringah. Tak sabar merasakan masakan Dayu. Tanpa banyak bicara, aku mulai menyendokkan nasi dan lauk yang telah dimasakkan Dayu.
“Kangen banget, ya, sama makanan beginian?” tanya Dayu, heran melihatku begitu bersemangat.
“Kamu nggak tahu saja, Yu, enggak enaknya makanan rumah sakit.”
Dayu hanya mengiakan saja ucapanku. Makan malam kami selingi dengan obrolan random. Sampai Dayu mengungkit perihal Papa, seketika nafsu makanku menghilang. Bukan karena ucapan Dayu sepenuhnya, tapi memang karena suasana hatiku mendadak kacau. Entah mengapa aku jadi ingat tentang Papa yang sempat dirawat di rumah sakit. Seperti yang dikabarkan Tante Indri saat itu.
“Ngapain nanyain mereka, Yu?” tanyaku kemudian. “Mungkin bagi Papa, aku sudah mati.”
“Jangan ngomong begitu, ah,” Dayu tampak merasa tak enak hati.
Tapi meski begitu, aku memang tak ingin menyinggung lagi perihal Papa dan keluarganya. Meski kenyataan kalau benar Papa sempat sakit kemarin, mengapa sampai saat ini ia tak muncul di hadapanku. Tak pernah berusaha menghubungiku. Kenyataan itulah yang membuat rasa kecewaku pada Papa tak juga menyurut.
“Kalau Papa memang masih anggap aku anaknya, paling tidak sekali saja dia pasti bertanya tentang aku, Yu.”
Mungkin ini adalah ungkapan kekecewaanku akan sikap Papa. Meski berusaha seolah tak peduli, nyatanya aku masih manusia yang memiliki hati dan perasaan. Jauh di lubuk hatiku, aku masih menginginkan Papa setidaknya sekali saja mengkha watirkanku.
“Mungkin Papamu merasa bersalah, jadi beliau nggak punya keberanian untuk menghubungimu.”
“Bagus. Itu artinya dia masih manusia. Kalau dia nggak punya perasaan bersalah sedikitpun terhadapku, berarti dia sudah menjadi iblis. Hanya iblis yang nggak punya hati.”
Aku beranjak. Meletakkan piring kotor di wastafel. Namun saat akan mencucinya, Dayu menghentikanku. Mengatakan biar ia saja yang mencuci semua peralatan. Meski aku menolak, tapi Dayu juga menunjukkan sikap keras kepalanya. Di dalam kamar, aku kembali mengingat percakapan dengan Dayu. Terdengar jahat saat aku mengatai Papa sendiri sebagai iblis yang tak punya hati. Tapi, salahkah aku yang masih menyimpan Iuka dan kekecewaaan terhadap Papa berkata kasar seperti itu?
Pikiranku terusik karena dering ponsel yang nyaring. Dengan segera aku mengangkatnya bahkan tanpa melihat siapa yang menghubungi. Saat terdengar salam dari suara yang sangat kukenal, jantungku seketika berdegup cepat. Ibra benar-benar mampu mengubah duniaku dalam sekejap.
“Sudah diminum obatnya?” tanyanya setelah aku membalas salamnya.
Obat. Bagaimana aku bisa lupa?! Kugigit bibir bawahku karena melupakan untuk mengonsumsi obat-obatan itu. Tak juga menjawab, aku bisa mendengar hela napas Ibra di
seberang sana.
“Jangan lupa obatnya, Danika. Gimana kesehatan kamu mau cepat pulih kalau suka melalaikan obat- obatanmu.”
Aku tak bersuara. Hanya menikmati perhatian Ibra melalui omelannya. Tanpa kusadari, senyumku mengembang. Hingga saat Ibra memanggil namaku, membuatku tersentak.
“Danika, kamu deny ar say a, kan? ”
“lya, dengar.”
“Apa?”
“Obatnya.”
“Bagus. Minum obatnya dan segera istirahat. ”
“Bapak lama-lama mirip Nenek saya. Bawel.”
Kugigit lidahku pelan saat tersadar apa yang baru saja kukatakan. Hingga tawa renyah Ibra terdengar. Entah apa yang membuat pria itu tertawa begitu nyaring.
“Saya suka dengar kamu banyak bicara begini, ” ucapnya kemudian.
“Saya nggak banyak bicara, kok.”
“Apa pun itu, pastikan kamu minum obatnya. Kalau kamu nggak mau saya bawel lagi.”
“Hem,” gumamku.
Hening entah untuk berapa lama. Baik aku dan Ibra sepertinya tak masalah dengan kebungkaman kami. Padahal telepon masih terhubung.
“Danika...” suara itu kembali terdengar. Aku tak menyahut. Menunggu Ibra melanjutkan ucapannya. ”... kamu sudah pikirkan jawaban untuk saya? ”
Apa ini? Kenapa dadaku berdegup lagi?
“Jawaban?” tanyaku ulang.
“lya. Rasanya saya nggak sabar untuk mendengar jawaban kamu. Sepertinya saya harus mengingkari janji
untuk menunggu. ” Jeda sejenak. “Apa bisa ... saya dapatkan jawabannya segera? ”
Aku bingung. Sungguh. Waktu yang dijanjikan Ibra paling tidak bisa membuatku berpikir. Atau melihat lebih banyak lagi apa yang bisa pria itu lakukan untukku. Tapi saat tiba-tiba Ibra meminta jawabannya, aku seperti tak puny a alasan untuk menunda. Apa yang Ibra lakukan untukku selama ini, terlebih merawatku di rumah sakit, merelakan waktunya yang berharga hanya demi merawatku, rasanya aku menjadi manusia tak puny a perasaan jika tak segera memberinya jawaban.
Lagi pula apa lagi yang kutunggu. Restu keluarga Ibra sudah di tangan. Meski ada Tante dan sepupunya yang tak setuju, tapi mereka bukan halangan. Yang paling penting adalah kesediaan orang tua Ibra menerimaku. Kerabat yang lain tak memberi restu pun tak akan jadi masalah dalam hubungan nanti, karena kamilah yang akan menjalaninya. Bukan mereka.
“Danika... ”
“Ehm, jangan sekarang. Jangan lewat telepon. Nanti, saat kita ketemu,” jawabku akhirnya. Mungkin aku bisa merasakan Ibra yang merasa lega. Terdengar dari helaan napasnya yang ringan.
“Oke. kalau begitu besok. ”
“Hah?”
“Besok. Bukannya saya katakan besok akan mengunjungi kamu? ” Ada nada geli dalam suara Ibra.
Aku panik. Yang benar saja. Hanya karena kukatakan akan memberi jawaban saat kami bertemu, bukan berarti aku akan menjawab besok, kan?
“Oke, saya rasa sudah cukup mengganggu waktu kamu. Sekarang kamu istirahat. Dan jangan lupa obatnya, Danika, ” ucapnya, bahkan saat aku belum memberikan penolakan atas apa yang dikatakan Ibra tadi. “Sampai ketemu besok, Danika.”
Ibra mengucap salam lalu menutup teleponnya. Aku bahkan belum sempat membalas salamnya. Dan lebih gilanya, aku belum sempat menolak Ibra untuk memberi jawaban besok.
Dasar pria itu!
Saatnya Menjawab
Setelah kepergian Dayu dan Andra, aku merapikan rumah sekadarnya. Gugup karena Ibra mengatakan akan datang. Mengingat pembicaraan semalam mendadak aku dibuat gelagapan. Semua karena Ibra yang mengatakan ingin mendengar jawabanku. Padahal aku belum yakin sepenuhnya akan memberi jawaban apa padanya.
Saat waktunya makan siang, Ibra sudah tiba di rumah. Pria itu membawakan satu bungkusan yang isinya aku yakin adalah menu makan siang. Entah mengapa pria itu seakan tahu bahwa aku memang tak memasak apa pun hari ini. Sarapan pagi pun, aku dan Dayu, memilih membeli dari waning makan yang buka di pagi hari.
“Kamu belum makan siang, kan?” Ibra langsung memberondongku dengan tanya begitu masuk ke rumah.
Aku hanya menggeleng.
Tanpa canggung, Ibra melangkah masuk. Pria itu langsung menuju meja makan. Meletakkan bungkusan yang dibawanya. Mau tak mau aku mengambilkan peralatan makan karena Ibra sudah duduk di kursinya.
“Makanan dari Sushi Me.Kamu nggak masalah, kan?” tanya Ibra lagi saat mengeluarkan kotak bekal dari bungkusan yang ia bawa.
Aku hanya menerima saja. Ibra pun tak keberatan sama sekali menyiapkan semua di piring saji yang telah kusediakan. Untuk ukuran seorang lelaki, Ibra memang sungguh luar biasa. la tak merasa canggung mengerjakan apa pun. Tak banyak pria yang bisa bersikap seperti Ibra. Mungkin pengaruh tinggal terpisah dari orang tua membuat pria itu begitu mandiri terhadap hidupnya. Sungguh sangat beruntung wanita yang mendapatkan pria sepertinya.
Eh, tapi ...bukankah pria itu menginginkanku? Jadi ... akukah wanita beruntung itu?
Selesai makan siang, aku langsung mengangkat piring kotor bekas kami makan. Sengaja kulakukan dengan cepat agar Ibra tak bisa menghalangiku untuk mencucinya. Meski ada sedikit rant larangan di wajahnya, tapi Ibra tak mengusikku yang mencuci piring kotor kami. Sengaja pula aku memperlambat gerakan. Berharap agar Ibra merasa bosan menungguiku dan memilih untuk ke ruang tamu saja. Tapi hingga aku mengeringkan tangan yang basah, pria itu masih bertahan di kursinya. Membuatku menghela napas pelan karena kegigihan Ibra.
“Kenapa nggak tunggu di depan saja, sih?” desahku. “Sama-sama.” Hanya itu jawaban Ibra yang membuatku
menghela napas kembali.
Seperti yang Ibra inginkan, akhirnya kami bersama-sama ke ruang depan. Pria itu duduk di sofa panjang. Sedang aku memilih duduk di sofa single.
“Kamu siap memberikan saya jawaban?”
Jika saja bisa, rahangku pasti jatuh ke lantai karena ucapan tanpa tedeng aling dari Ibra. Tapi, harusnya aku terbiasa dengan itu. Ibra bukan tipe orang yang suka bicara berbelit. la akan selalu bicara pada intinya.
“Harus sekarang?” tanyaku ragu.
Dia mengangguk. “Sekarang. Bukankah lebih cepat kamu memberikan jawaban, lebih cepat masalah terselesaikan.”
Lagi-lagi aku ingin menganga mendengar jawaban Ibra. Sepertinya aku tak akan pernah terbiasa dengan Ibra yang to the point. Aku menggaruk kepala yang sama sekali tak gatal. Sungguh, jika saja ada pintu ajaib, maka aku ingin masuk ke sana dan menghilang. Tapi sepertinya, bahkan hanya memikirkannya akan sulit dengan tatapan Ibra yang begitu intens padaku. Mata Ibra seperti mengunciku untuk tak bergerak. Aku tak ingat kapan terakhir kali membeku seperti ini hanya karena tatapan.
“Danika...”
Kugigit bibir bawah. Semalaman aku sudah berpikir. Mencoba menelaah keputusan terbaik yang bisa kuambil untuk hidupku. Tapi berapa kalipun aku berpikir, bayangan masa depan bersama Ibra selalu muncul. Tak akan rugi bagiku memiliki pria seperti Ibra sebagai teman hidup. Meski akan ada beberapa halangan yang mengintai langkah masa depan kami. Namun, mengingat betapa gigih dan tegasnya Ibra, aku berharap tak akan salah menyerahkan masa depanku padanya.
“Sebelum saya jawab, saya mau bertanya....” Ibra mengangguk, pertanda mengizinkanku untuk bertanya. “Apa Bapak yakin ingin menikah dengan saya?”
“Butuh berapa kali saya katakan tentang keyakinan saya untuk menikahi kamu, Danika?” Ibra balas bertanya.
“Tapi, masa lalu...” Aku menggeleng. “Bukan. Saya punya catatan buruk tentang hubungan keluarga saya saat ini.”
“Ibu tiri kamu?”
Aku mengangguk. “Dan Papa.”
“Kamu tahu saya siap mendengarkan apa pun cerita dan keluhan kamu.”
Selama beberapa saat aku dan Ibra hanya saling bertatapan. Dari pertemuanku dan keluarga Ibra yang lalu, pria itu dan keluarganya hanya tahu bahwa aku memilih tinggal seorang diri karena tak memiliki kecocokan dengan Tante Indri selaku ibu tiriku. Aku tak menceritakan secara detail bahwa aku memutuskan pergi dari rumah Papa karena merasa Papa tak lagi menginginkanku sebagai seorang anak. Lebih memilih mempertahankan Tante Indri yang hanya berstatus sebagai istri dibandingkan mempertahankan putri kandungnya.
Aku ragu untuk bercerita alasan dibalik aku benci pernikahan Papa dan Tante Indri. Di mana mereka justru mengkhianati Mama yang sudah begitu setia sebagai istri hingga akhir hayatnya. Bagiku itu aib. Mungkin saja jika Ibra tahu yang sebenarnya, pria itu akan memutar langkah menjauhiku. Rasanya tak siap ketika aku baru mulai membuka diri, tapi harus kehilangan kepercayaan terhadap Ibra.
“Danika, kamu bisa cerita apa pun pada saya.”
“Saya harap setelah dengar ini, Pak Ibra nggak akan mundur.”
Sudut bibir Ibra tertarik ke atas. Senyuman penuh percaya diri yang ditampilkannya justru membuatku mengernyit bingung.“Kenapa?” tanyaku.
“Apa yang kamu katakan tadi sudah bisa membuat saya menarik kesimpulan dari jawaban kamu nanti.”
Ibra benar-benar berhasil membuatku bungkam seribu bahasa. Bagaimana bisa ada lelaki sepercaya diri dia di dunia ini.
“Jadi, Pak Ibra siap dengan cerita saya?” tanyaku kemudian.
Meski ini adalah aib, tapi segala sesuatu yang dimulai dengan kejujuran, akan berakhir baik, bukan? Untuk kali ini aku akan percaya itu. Karenanya, meski diliputi perasaan cemas akan tanggapan Ibra, aku memilih mulai bercerita. Bagaimana hidupku dulu hingga kemudian Mama pergi yang membuat separuh duniaku seakan runtuh. Sampai kemudian Papa membawa Tante Indri dan Haninda masuk ke hidup kami. Bagaimana mereka begitu tega menikah dalam kurun waktu tak lama setelah Mama meninggal. Juga perseteruanku dengan Tante Indri yang berujung dengan Papa lebih memilih wanita itu dibandingkan aku. Semua kukisahkan tanpa ada yang ditutupi.
Baiknya Ibra, tak sekalipun pria itu berusaha menyela ceritaku. Bahkan tak ada tatapan kasihan atau menghakimi yang diberikannya. Wajah Ibra begitu tenang dengan segala bentuk kedewasaan pikirannya. Membuatku lega dalam hati karena sudah bercerita padanya.
“Wanita yang berselisih dengan kamu di Sushi Me tempo lalu?”
Aku mengangguk. “lya. Dia Tante Indri. Istri Papa.”
“Apa kamu pernah bertemu Papamu lagi?”
“Enggak. Terakhir Tante Indri datang, mengabarkan kalau Papa sempat dirawat di rumah sakit.”
“Dan kamu nggak datang menjenguk?”
Dengan lemah, aku menggeleng. “Rasanya masih belum sanggup.”
“Tapi saat kita menikah nanti, kamu harus sanggup,” katanya, membuatku sedikit terkejut. “Kita butuh beliau untuk jadi wali nikah kamu.” Dahiku mengernyit dalam. Sepersekian detik kembali membeku. “Saya nggak akan menarik apa pun ucapan saya. Karena itu, mau tidak mau, siap tidak siap, kita akan menemui Papa kamu.”
Kalimat Ibra benar-benar meruntuhkan segala pertahan yang selama ini kubangun. Inikah rasanya saat seorang pria menawarkan dirinya untuk menjadi pendamping hidup? Aku tak pernah tahu bahwa rasanya akan semengejutkan ini. Bahkan Ibra belum mendengar langsung jawabanku.
Tanpa bisa kutahan, air mata mengalir dengan sendirinya. Andai saat ini ada Mama, mungkin beliau akan berbahagia saat tahu putrinya dilamar. Tak romantis, tapi sanggup menghancurkan kekerasan hatiku. Membuatku berani meletakkan kepercayaan pada Ibra.
“Kenapa menagis?” tanyanya, perlahan mendekat padaku dan berlutut di depanku.
“Pak Ibra serins?” tanyaku, meyakinkan diri sendiri. “Bagi saya, lelaki sejati itu yang dipegang adalah
keteguhannya. Jadi, saya harap kamu nggak akan bertanya apa saya serius atau tidak lagi.”
“Keluarga Bapak?”
“Apa yang kamu cemaskan? Orang tua saya seratus persen mendukung apa pun keputusan saya.”
“Tante dan sepupu Pak Ibra?” Entah mengapa aku justru menyebutkan kerabat yang lain.
“Mereka nggak berhak mengatur apa pun keputusan saya. Kita hanya butuh ridho orang tua. Selebihnya kita hanya bisa mengharapkan doa yang baik dari mereka.”
Melihat pancaran mata Ibra yang penuh keyakinan, refleks kepalaku mengangguk,membuat pria itu tersenyum. Senyum tercerah yang pernah kulihat di wajah Ibra. Kecemasanku perlahan terkikis. Tergantikan dengan keyakinan yang sama seperti yang Ibra miliki. Mungkin memang sudah waktunya aku meninggalkan rasa sakit masa lalu untuk menyambut kebahagianku di masa depan.
***
Tadinya aku berpikir memberi jawaban pada Ibra akan membuat pria itu puas. Tapi kenyataannya, tak sama sekali. Maksudku, setelah Ibra mendapat kepastian, pria itu pasti akan merasa lega, merasa satu bebannya bisa terangkat, dan mungkin kami akan pelan dan perlahan mengatur semua. Namun yang terjadi malah Ibra kembali ingin mempertemukanku dengan keluarganya.
Bukan, aku sama sekali tak memiliki ketakutan apa pun lagi berhadapan dengan orang tuanya. Tapi aku masih belum menyiapkan diri untuk bertemu dengan Tante dan sepupu Ibra. Walau berkali sudah Ibra katakan bahwa penilaian Om dan Tantenya tak akan memengaruhiapa pun yang sudah disusunnya.
“Tapi... saya masih belum siap ketemu mereka.”
“Kita hanya akan menyampaikan pada Papa dan Mama rencana pernikahan, bukan untuk menemui Om dan Tante. Itu saja. ”
Aku melotot pada Ibra yang masih asyik berkutat di meja kerjanya. Jam kerjaku memang sudah berakhir sejak satu jam lalu, tapi lagi-lagi Ibra menahanku di ruangannya. Beralasan aku tak diizinkan pulang tanpa pengawalan darinya. Dan seperti yang sudah-sudah, aku harus pasrah menunggu Ibra selesai dengan pekerjaannya.
“Kapan memangnya kita pernah ngomongin pernikahan?” tanyaku bingung.
“Saat kamu memutuskan menerima lamaran saya, saat itu juga saya sudah memikirkan rencana pernikahan.”
Jawaban enteng Ibra membuatku benar-benar tak habis pikir. Maksudnya, baru beberapa minggu lalu aku setuju menerimanya, tapi Ibra bahkan tak pernah bicara padaku tentang pernikahan. Aku tak berpikir akan secepat itu kami segera melangkah ke jenjang pernikahan. Akan ada waktu bagi kami untuk saling menerima sepenuhnya.
“Pak Ibra nggak pernah bicara sama saya.”
“Karena itu, saya ingin kita bicarakan itu dengan keluarga. Orang tua saya lebih dulu, maksudnya.”
“Harusnya ngomongnya ke saya dulu.”
“Ya sudah, kita bicarakan sekarang,” putus Ibra, membuatku makin terperangah.
Ibra bahkan sudah meninggalkan kursi kerjanya. Kini duduk di hadapanku. Begitu tenang seperti biasa—yang justru membuatku salah tingkah. Sepertinya aku memang tak akan pernah terbiasa dengan pembawaan diri Ibra.
“Saya ingin pernikahan, kalau bisa dilakukan secepatnya.”
Aku menyipit. “Secepatnya itu ... seberapa cepat?” tanyaku.
“Kalau kamu setuju, saya bisa siapkan dalam waktu satu bulan.”
Aku meringis. Dia benar-benar gila. Satu bulan? Hei, kami bahkan belum membicarakan langkah apa pun untuk menemui Papa. Seperti yang Ibra katakan, seburuk apa pun hubunganku dan Papa, tak akan membuat pria itu mundur demi mendapatkan restu Papa untuk menikahiku.
“Pak Ibra gila? Satu bulan?” pekikku tak percaya.
“Saya bisa siapkan...”
“Enggak!” potongku cepat. “Terlalu cepat.”
“Bukankah ada slogan Tebih cepat lebih baik’? Apalagi yang namanya pernikahan itu hal baik yang harus disegerakan.”
Seketika aku kesal hingga mengerucutkan bibir. Bagaimana bisa pria itu bersikap santai dalam menghadapi hal seperti ini. Namun yang membuatku terkejut adalah tawa Ibra yang tiba-tiba menggema. Memang ada yang lucu dari pembicaraan kami saat ini?
“Saya tahu. Sudah, jangan cemberut begitu. Kalau memang itu terlalu cepat untuk kamu, kita bisa rencanakan satu persatu. Tapi saya juga tidak ingin terlalu lama. Paling tidak, dalam enam bulan ke depan kita sudah mendapatkan kesepakatan waktu menikah. Bagaimana?”
Aku kembali berpikir. Enam bulan bukan waktu yang lama, tapi tak secepat satu bulan yang diajukan Ibra juga. Mungkin memang itu adalah waktu yang ideal bagi kami untuk merencanakan semua. Apalagi dengan belum adanya pembicaraan untuk bertemu dengan Papa. Mungkin dalam waktu enam bulan itu akhirnya aku bisa mengikis rasa sakit hatiku pada Papa. Hingga siap menemui Papa untuk restunya.
“Terserah.” Akhirnya kata itu yang keluar dari bibirku. Dibalas sunggingan senyum oleh Ibra.
“Kalau kamu jawab begitu, berarti besok pun say a bisa menikahi kamu.Ya, kan?”
Mataku mendelik, kesal. “Apaan, sih.”
“Makanya jangan jawab terserah. Itu artinya kamu berikan saya kebebasan untuk mengambil keputusan. Kalau maunya saya, ya, secepatnya menikahi kamu.”
Wajahku sudah pasti memerah malu mendengar ucapan blak-blakan Ibra. Pria itu benar-benar seperti manusia tanpa beban. Begitu mudah memutuskan sesuatu dalam hidupnya; yang menurutku tanpa pertimbangan, tapi tidak bagi Ibra, la
jelas pria yang berpikir matang untuk urusannya meski seolah tanpa pertimbangan.
“Baik, singkirkan sejenak urusan kita dan orang tua saya. Kapan kamu siap kita bertemu Papamu?” Ibra memutar topik yang membuat mood-ku langsung anjlok.
Mataku langsung menghindar dari tatapan intens Ibra ke segala arah. la pasti tahu aku belum ingin bicara perihal Papa. Belum siap.
“Danika, kita butuh beliau. Saya nggak mungkin seenaknya main nikah sama kamu tanpa restu Papa kamu. Kamu bukan anak yatim piatu yang nggak punya orang tua. Kamu hanya kehilangan Mama. Masih ada beliau.”
Aku tahu niat Ibra baik. Hanya saja ... entahlah. Aku belum siap.
“Tapi sudah lama rasanya saya seperti anak yatim piatu,” balasku lirih.
“Jangan begitu. Bagaimanapun beliau Papamu. Kalau kamu belum sanggup, bagaimana kalau saya yang lebih dulu menemuinya?”
Tatapanku langsung kembali pada Ibra. Terkejut, jelas saja. Ibra justru menawarkan untuk menemui Papa saat aku bahkan belum ingin bertemu.“Memangnya bisa?” pertanyaan bodoh, aku tahu, karena senyum Ibra kini kian melebar.
“Bisa saja. Memangnya saya sepengecut apa sampai berhadapan dengan calon mertua saja nggak punya nyali.”
“Bukan itu, tapi...”
“Kamu izinkan atau tidak kalau saya bertemu Papa kamu?” Mulutku baru akan terbuka, tapi Ibra menyela lebih dulu, “Jangan jawab terserah. Kamu tahu bisa saja detik itu
juga saya mengajukan diri untuk melaksanakan ijab kabul di hadapan Papa kamu.”
Aku menyerah, sungguh. Tak ada habisnya Ibra mengejutkanku dengan kepribadian dan tindakannya. Pria itu benar-benar gila. Dalam artian yang mampu membuatku juga sama gilanya dengan dia. Karena itu, aku justru menyetujui Ibra untuk bertemu dengan Papa. Senyum kemenangan kian melebar tersungging nyata di wajah Ibra. Rasanya Tuhan sudah benar-benar mengirimkan orang yang tepat untuk menjagaku. Karena hanya Ibra yang berhasil membungkamku seribu bahasa tanpa sanggup melawannya.
Waktu Untuk Menyembuhkan
Sore ini, setelah jam keija berakhir, aku tak langsung pulang ke rumah. Selain karena Ibra yang memang tak mengizinkanku untuk pulang sendirian, hal lainnya karena Dayu datang menemuiku. Saat datang, wajah gadis itu terlihat kacau. Mungkin Dayu sedang menghadapi masalah dengan Damar. Siapa lagi? Karena setahuku hanya Damar, sang Bos yang selalu berhasil memancing keruh di wajah Dayu.
Kami memilih duduk di meja paling pojok. Jauh dari hiruk pikuk pengunjung lain Sushi Me. Setelah sebelumnya memesan beberapa jenis sushi dan minuman. Dayu mulai bercerita apa yang menjadi penyebab wajah keruhnya. Tentu saja tebakanku benar. Lagi dan lagi, selalu soal Damar. Selagi Dayu bercerita, aku hanya mendengarkan sembari memainkan sedotan minumanku.
“Menurut kamu, sikapku benar, kan?” tanya Dayu setelah bercerita dengan begitu menggebu-gebu.
Sejujurnya, aku sedikit bingung harus bagaimana menanggapi. “Yang mana?” tanyaku, yang langsung membuat bibir Dayu separuh terbuka.
“Semuanya, Ka. Menolak Damar, menjauh...”
“Kapan kamu nolak? Kapan dia nyatain perasaan ke kamu? Dari cerita kamu, aku nggak nangkap satu pun situasi yang kamu sebutin.”
Dayu berdecak kesal. Dari raut wajahnya, aku tahu gadis itu ingin melemparkan sesuatu ke wajahku. Tapi, bukankah yang kukatakan benar adanya? Damar tak menyatakan apa pun pada Dayu. Mereka pun tak memiliki hubungan selain sebagai atasan dan bawahan. Tentu aku marah atas apa yang Damar lakukan pada Dayu. Seolah pria itu mempermainkannya. Tapi kembali lagi, hubungan mereka belumjelas.
“Yu, aku nggak tahu pasti. Tapi, menurutku kamu benar. Jangan mau mengalah sama perasaan. Walau kamu mungkin sempat merasakan getaran karena sikap dan perhatian Damar, tapi selalu pakai akal sehat untuk bisa melihat kalau apa yang Damar lakukan ada artinya atau enggak untuk kamu. Kalau Damar sendiri masih bingung dengan dirinya, apalagi kamu. Apa yang bakal terjadi sama hubungan kalian, seandainya apa yang kamu pikir kalau Damar ingin menjalin hubungan sama kamu. Hubungan yang bahkan didasari keragu-raguan enggak akan lancar ke depannya,” ujarku panjang lebar.
Bukan aku ingin mengahalangi perasaan Dayu. Tapi, aku hanya ingin menjaga sahabatku itu dari risiko sakit hati. Aku tidak ingin Dayu disakiti oleh pria—karena aku dan dia pada dasarnya sama, cukup ragu berhubungan dengan laki-laki. Terlebih yang tak bisa menjaga hatinya. Namun, bukan berarti selamanya tak akan ada pria baik yang akan mampu menaklukkan hati kami. Karena bagiku, Ibra sudah membuktikannya.
Dayu menatap takjub padaku beberapa saat. Entah mungkin gadis itu terharu akan petuah yang baru saja kusampaikan. Hingga tiba-tiba ia memelukku erat sembari mengungkapkan terima kasih dan rasa sayangnya padaku. Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan diri. Sampai Dayu spontan mengecup pipi kananku, membuatku langsung memekik geram.
“Dayu!” Jeritku setelah berhasil lepas dari jeratannya. Sedang gadis itu tertawa saja. Tak peduli dengan mata-mata penasaran para pengunjung yang sejak tadi memperhatikan kami.
Perbincangan kami terus berlanjut, yang tentu saja didominasi oleh keluhan dan serapah dari Dayu untuk Bosnya. Namun, satu suara yang sangat kukenal menginterupsi obrolan kami.
“Danika...”
Panggilan Ibra spontan membuat aku dan Dayu menatapnya. Aku lupa bahwa hari ini kami akan menemui orang tua Ibra untuk membicarakan perihal lamaran resmi yang akan dilakukannya pada Papa.
“Yu, maaf hari ini nggak bisa nemenin kamu dulu, ya. Ada sedikit urusan.” Mataku memberi isyarat pada Dayu yang langsung dipahami gadis itu.
“Oke. Makasih buat waktunya dengerin curhatanku yang nggak penting banget.” Dayu mengerling jail, membuatku mencubit pipinya gemas.
“Kami duluan, Yu. Kalau ada apa-apa kasih tahu yang lain, ya,” ucap Ibra selagi menungguku memasang tas ke pundak.
“Jagain Danika, ya!” pesan Dayu yang diangguki Ibra. Kami berpamitan yang hanya dibalas anggukan oleh
Dayu. Sejujurnya aku gugup. Bukan karena orang tua Ibra, tapi Tantenya yang memang masih—atau memang tak akan pernah—suka padaku. Selain itu ada lagi Bintang. Gadis itu dengan terang-terangan bahkan pernah memintaku menjauhi Ibra. Alasannya tentu saja karena aku tak cocok menjadi pendamping Ibra. Hal itu terjadi saat ia mendatangiku ke Sushi Me disaat Ibra sedang tak ada di restoran.
Jika saja aku ingin memberi pelajaran pada gadis itu, maka aku sudah melaporkan apa yang sudah dilakukannya pada Ibra. Tapi aku bukan orang yang senang menyulut pertengkaran. Cukup aku yang tahu. Lagi pula seperti kata Ibra, aku tak perlu mendengarkan ucapan sumbang mereka. Cukup Ibra dan orang tuanya saja yang menerimaku. Yang lain bukan apa-apa.
“Kamu siap kan ketemu Mama dan Papa?” Ibra tiba-tiba bertanya.
“Hah? Eh, siap nggak siap, sih.”
Pria itu tersenyum dengan jawabanku. Sebelah tangannya mengelus puncak kepalaku. Sedang satunya lagi tetap pada roda kemudi.“Harus siap. Tidak ada alasan kamu takut. Kalau Tante dan Om, jangan dipikirkan.”
Aku mengangguk, meski dalam hati tetap gugup. Bagaimana tidak dipikirkan jika tatapan mereka saja sudah menyiratkan tak suka.
Setiba di rumah Ibra, Mamanya sendiri yang menyambut dan membukakan pintu. Bahkan beliau mengatakan sudah menyiapkan menu makan malam spesial untuk menyambutku. Dengan sebelumnya kami melakukan salat magrib berjamaah, barn bekumpul di meja makan.
“Ibra bilang kamu suka semur, jadi Tante buatkan semur.” Tante Amida berucap padaku.
“Terima kasih, Tante,” jawabku tersanjung, meski aku bingung dari mana Ibra tahu aku suka semur.
Acara makan malam kali ini begitu tenang. Tanpa ada obrolan apa pun di meja makan. Meski begitu aku bisa merasakan beberapa kali tatapan Bintang dan Tante Mala terarah padaku. Dalam hati aku tak nyaman menikmati makananku, tapi aku mencoba mengabaikan mereka.
Selesai dari meja makan, kami beranjak ke ruang keluarga. Tak hanya ada orang tua Ibra, tapi juga Om dan Tantenya. Juga dua sepupunya. Tadinya kukira pembicaraan kami hanya akan melibatkan Mama dan Papa Ibra, ternyata anggota keluarga yang lain pun ingin berpartisipasi, membuat rasa was-wasku kembali lagi.
“Sudah tentukan tanggal untuk kita ketemu orang tuanya Danika?” Papa Ibra yang membuka pembicaraan.
Aku dan Ibra saling lirik.
“Belum. Tapi, minggu ini Ibra rencana mau ketemu Papa Danika dulu,” jawab Ibra, membuatku seketika membelalak.
“Memang lebih baik begitu. Kamu sampaikan dulu ke Papanya Danika secara pribadi, lalu kita bisa datang secara resmi untuk melamar.”
Mendengar kata melamar keluar dari bibir Papa Ibra membuat tanganku seketika berkeringat. Efek kata yang begitu dahsyat. Artinya, selangkah lagi hidupku tak akan sebebas sekarang. Sudah akan ada Ibra yang menjadi penanggung jawabku.
“Kamu yakin mau menikah dengan Danika?”
Akhirnya, seseorang yang aku tahu pasti menentang keputusan Ibra bersuara juga. Semua mata kini memandang ke arah Tante Mala. Tapi seperti biasa, wanita itu tak menunjukkan kecemasan sama sekali akan kalimat yang barn diutarakannya.
“Ibra yakin, Tante.”
“Kama tahu, Ibra, Tante rasa ada banyak perempuan lain yang lebih cocok dan pantas jadi istri kamu.”
Papa dan Mama Ibra tampak terkejut, tapi tidak dengan pria itu. Ibra masih memasang wajah tenangnya. Seperti biasa
jika ia menghadapi masalah.
“Itu menurut Tante. Tapi bagi Ibra, Danika yang terbaik. Lagi pula pantas atau tidak, biar waktu yang menjawab. Apa Danika dan Ibra bisa menjalani rumah tangga bahagia versi kami sendiri, atau menurut orang lain.”
“Ibra, menikah itu bukan main-main. Kamu nggak bisa menggantungkan hidupmu sama orang yang belum kamu kenal baik. Nikah itu komitmen seumur hidup...”
“Dan biarkan Ibra yang membuktikan bahwa komitmen itu bisa kami jalani sampai akhir hay at. Terima kasih untuk perhatian Tante, tapi Ibra rasa keputusan apa pun biar Ibra yang ambil. Sebagai orang tua; Mama, Papa, dan Tante mungkin hanya perlu memberi nasihat dan arahan bagi kami yang muda ini.”
Tante Mala dibuat bungkam. Wanita itu menunjukkan wajah kalah, namun tetap tak terima. Suaminya sendiri tak banyak bicara. Mungkin karena statusnya yang menumpang tinggal di rumah peninggalan Kakek Ibra, membuat pria itu lebih banyak diam. Tapi seperti tak puas dengan penolakan Ibunya, kali ini Bintang yang bersuara.
“Apa yang Mama bilang itu benar, Mas. Mas Ibra nggak bisa semudah itu menentukan siapa yang akan jadi istri. Apalagi dengan kondisi keluarga yang nggak jelas. Siapa yang bisa menjamin rumah tangga Mas akan baik-baik saja nanti.”
Aku mengunci rapat mulutku. Meski ingin menyanggah ucapan Bintang. Tahu apa gadis itu tentang keluargaku. Hanya karena Papa yang menelantarkanku bukan berarti aku adalah anak yang tak pernah mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Ada Mama yang dulu membesarkan dan mendidikku dengan baik. Sebagai imbas dari pengendalian diri, aku mengepalkan kedua tangan di pangkuan.
Lagi-lagi Ibra seperti tahu apa yang sedang berkecamuk dalam hati dan kepalaku. Pria itu, yang memang duduk berdampingan denganku, menarik salah satu tanganku. Pelan, Ibra mengusap punggung tanganku yang mengepal. Menyimpannya dalam genggaman. Mataku langsung beralih menatap Ibra dengan dahi mengerut.
“Enggak ada yang bisa menjamin seperti apa rumah tangga kami nanti. Tidak kamu, atau juga Mas dan Danika. Cukup Tuhan saja yang akan bekerja sesuai ketentuannya. Jadi, baik kamu atau siapa pun nggak perlu ikut cemas memikirkannya.”
“Kenapa, sih, Mas bisa suka sama dia?” Kali ini Bintang tak ragu melontarkan ketidaksukaannya padaku.
“Bintang!” tegur Mama Ibra, tapi gadis itu seolah tak peduli. Tatapan matanya tetap tajam mengarah padaku.
“Karena pribadinya. Kamu nggak kenal Danika, tapi Mas tahu dia. Mas rasa itu cukup sebagai jawaban untuk kamu.” Ibra berucap tegas, membuat Bintang dan Tante Mala kembali kalah. Tapi ada tatapan bangga yang tak sengaja kutangkap dari kedua mata orang tua Ibra.
“Sekali lagi, Ibra cuma mau tanya ke Mama dan Papa, apa kalian merestui Ibra dan Danika?”
Kali ini aku menatap kedua orang tua Ibra dengan dada berdebar. Merekalah penentu keputusan apa yang akan aku dan Ibra ambil. Melihat sedikit perdebatan tadi, ada rasa cemas melandaku. Tapi melihat betapa tenang dan mudahnya Ibra mematahkan semua argumen Tante Mala dan Bintang, bolehkah aku menggantungkan harapanku pada pria itu?
“Memangnya Mama dan Papa pernah larang kamu? Apa pun yang menjadi keputusan kamu, kami yakin kamu sudah memikirkannya dengan matang.”
Jawaban tegas dari Papa Ibra membuat beban di hatiku seketika terlepas. Terlebih dengan senyum tulus yang terpancar di wajah Mama Ibra. Lupakan wajah masam Tante Mala dan putrinya, karena kini aku punya kartu AS penentu hidup kami. Restu calon mertuaku.
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Bukan aku, tapi Ibra. Pria itu yang menantikan datangnya hari ini. Sesuai kesepakatan, minggu ini kami akan berkunjung ke rumah Papa. Andai bisa menghindar, aku pasti menundanya. Tapi Ibra tak akan setuju dengan keinginanku. Semakin cepat kami berhadapan dengan Papa, semakin baik. Itu yang dikatakan Ibra.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Papa, aku hanya meremas jemari. Atau mengalihkan kegugupan dengan memandangi lay ar ponsel. Menunggu Dayu membalas pesan random yang kukirimkan. Meski kebanyakan gadis itu hanya membalas berupa stiker atau emoji. Itu saja cukup untuk mengalihkan sedikit kecemasanku sebelum berhadapan dengan Papa. Hingga akhirnya mobil Ibra memasuki pekarangan rumah Papa.
“Kamu siap, kan?”
Aku tak menjawab. Mataku memandang lurus bangunan rumah di depan kami. Berbagai kelabat kenangan masa kecil dan masa-masa indahku bersama Mama seketika berkeliaran di kepala. Andai Ibra tak menyentuh pundakku, mungkin aku hanya akan terpaku menatap rumah itu.
“Kenapa?” tanyanya kemudian.
“Kangen Mama.” Mataku mulai berkabut dengan cairan bening, tapi cepat-cepat aku mengeijap agar air mataku tak turun.
“Pulang dari sini, kita ke makam.”
Ibra benar-benar tahu bagaimana memperbaiki suasana hatiku. Bersama kami turun dari mobil dan melangkah ke pintu rumah yang tertutup rapat. Kembali aku mengingat saat aku meninggalkan rumah ini dan memutuskan hidup sendiri. Dan kini, aku kembali menginjakkan kaki di rumah ini lagi. Tentu saja sesuai janjiku dulu bahwa aku akan mendatangi Papa untuk restunya. Bukan kembali untuk menjadi putri yang sudah dibuangnya.
Ibra menekan bel sembari mengucap salam. Menunggu pintu dibuka, tak sekali pun pria itu melepas tautan tangannya padaku. Hingga terdengar suara kunci yang diputar dan Haninda tepat di hadapan kami, membukakan pintu.
“Kak Danika?” ucap Haninda terkejut. Matanya kemudian beralih pada sosok di sampingku.
“Papa ada?” tanyaku tanpa basa-basi.
Haninda mengangguk. “Ada.”
“Bisa panggilkan Papa? Ada yang man saya bicarakan.” Haninda sekali menatap ke arah Ibra. Matanya terpaku
cukup lama pada tautan tanganku dan Ibra. Hingga aku sengaja berdeham agar gadis itu sadar dari keterpakuannya. Haninda langsung mempersilakan kami masuk. Sementara ia memanggil Papa, aku dan Ibra memilih menunggu di ruang tamu.
Mata Ibra menjelajah seisi ruangan. Aku pun melakukan hal yang sama. Tak banyak perubahan di rumah ini. Kecuali foto besar yang terpajang di dinding dekat tangga. Dulu, di sana terpajang fotoku bersama Mama dan Papa. Tapi kini diganti dengan foto keluarga Papa, Tante Indri, dan Haninda. Tanpa aku. Aku tersenyum sinis, ternyata mereka memang menyingkirkan apa pun tentangku dan Mama. Rasanya aku muak berlama-lama ada di rumah ini.
Pengamatan kami terhenti saat suara langkah mendekat. Di sana, Papa dan Haninda beqalan ke arah kami. Papa terlihat semakin kurus. Entah bagaimana istrinya mengurus beliau. Tapi dulu saat bersama Mama, Papa tak pernah semenyedihkan ini. Mama selalu memastikan kebutuhan kami, baik lahir maupun batin, terpenuhi dengan baik.
“Danika?” sapa Papa. Suaranya tak setegas terakhir kali. “Kamu datang?”
Aku hanya mengangguk sembari menatap Papa. Beliau mungkin terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Namun, raut itu berubah menjadi lebih terkejut saat menyadari aku tak datang sendiri.
“Ini siapa?” tanya Papa, entah ditujukan padaku atau Ibra.
Ibra sigap berdiri dan mengulurkan tangannya pada Papa. “Apa kabar, Om? Perkenalkan, saya Ibra, calon suami Danika.”
Tak hanya Papa yang terkejut, Haninda yang berada di samping Papa pun sama terkejutnya. Gadis itu kemudian berpamitan sejenak, mengatakan akan meminta asisten rumah tangga menyediakan minuman untuk kami.
“Calon suami?” Papa kini mengarahkan tatapannya padaku.
“Mungkin Papa bisa duduk dulu, Ibra man bicara.” Meski bicara, tapi tatapanku tak sepenuhnya kuarahkan pada Papa.
“Ibra? Kenapa bukan kamu?” Nada bicara Papa kini menajam. Aku diam tak menjawab.
“Apa yang Danika katakan benar, Om bisa duduk dulu. Kita bicara dengan kepala dingin.”
Papa menghela napas kasar. Meski begitu beliau tetap menuruti apa yang Ibra katakan. Ibra tahu saat ini situasi tidak kondusif. Namun begitu bukan salahnya. Memang sejak awal kukatakan bahwa hubunganku dan Papa sudah tak baik, dan Ibra tahu itu.
“Maaf kalau kedatangan kami sangat mendadak. Tapi, say a dan Danika...”
“Sejak kapan?” Papa memotong ucapan Ibra.
“Apanya?” tanyaku.
“Sejak kapan kalian berpacaran?”
“Kami tidak berpacaran, Om.” Ibra yang menjawab, membuat Papa terkejut.
“Tidak pacaran?”
“Saya kenal Danika sudah cukup lama. Tapi kami memang tidak berpacaran. Saya ingin langsung menikahi Danika. Karena itu, saat ini kami datang menemuiOm.”
Papa semakin terkejut dengan penuturan Ibra. Mungkin Papa tak menyangka bahwa aku benar-benar membuktikan ucapanku. Bahwa aku akan datang kembali ke rumah ini,bukan untuk mengemis tinggal lagi di sini, tapi untuk restunya.
“Danika...”
Aku menoleh ketika Papa memanggil.
“... kamu yakin?”
Kutatap Papa setangguh yang kubisa. Di saat seperti ini, Papa baru bertanya keyakinanku. Ke mana saja beliau bertahun ini? Saat aku, anak perempuan satu-satunya beijuang hidup sendiri di luar sana.
“Aku nggak akan datang ke rumah ini lagi kalau nggak yakin.”
Belum sempat Papa menjawab, Haninda datang bersama salah satu asisten rumah tangga membawakan minuman dan makanan ringan. Setelah meletakkan makanan dan minuman, Haninda bergabung bersama kami. Duduk di samping Papa.
Mataku tak berkedip memperhatikan mereka. Ingin mengasihani diri sendiri akan pemandangan yang tersaji di depan mata. Bagaimana bisa mereka terlihat seperti Ayah dan putrinya saat aku ada di depan mereka. Hidup kadang memang selucu situasi saat ini.
“Kembali lagi pada pembicaraan kita, saya ingin meminta restu dan izin Om untuk menikahi Danika.”
Lagi-lagi pancaran terkejut kutemukan. Yang membuatku mengernyit bingung, kenapa Haninda hams begitu terkejut. Ada apa dengan gadis itu? Apa ia mengenal Ibra?
“Saya tidak bisa semudah itu memberi...”
“Aku cuma butuh restu Papa. Aku mohon jangan dipersulit. Jikapun Papa nggak setuju, aku tetap akan nikah sama Ibra.”
“Danika...”
Dua suara menegurku. Satu dari Papa dengan nada tak setujunya, sedang Ibra menegurku dengan nada menenangkannya.
“Maaf, Om. Saya tahu hubungan Om dan Danika tidak begitu baik. Tapi, saya tetap membutuhkan restu dan izin Om sebagai satu-satunya orang tua yang dimiliki Danika.”
Aku dan Papa saling bertatapan. Tetap ada raut tak setuju di mata itu. Mungkin karena bagi Papa terlalu tiba-tiba. Tapi, Papa pasti tahu bahwa beliau tak akan bisa mencegahku. Seperti dulu saat aku memilih melepas segala kemudahan hidup dan pergi dari rumah ini. Papa harus tahu, aku bukanlah Danika yang penurut.
Pembicaraan yang kuyakin akan berlangsung lama ini diusik oleh kehadiran seseorang. Tante Indri muncul di ruang tamu. Mungkin wanita itu baru bepergian dari luar rumah. Melihat dari dandanannya yang mencolok. Wanita itu tampak terkejut saat melihatku duduk di sofa. Terlebih bersama Ibra yang ia pasti tahu adalah atasanku di Sushi Me.
“Danika? Kapan kamu datang?” tanyanya.
Basa-basi yang menurutku sangat busuk. Aku tidak menjawab. Hingga Haninda membuka suara untuk menjawab pertanyaan Mamanya.
“Ada apa kamu datang?” Tante Indri bertanya padaku, tapi matanya terarah pada Ibra.
“Kak Danika dan...”
“Saya Ibra, calon suami Danika. Kami datang ke sini untuk membicarakan perihal lamaran resmi saya dan keluarga pada keluarga Danika, kapan nantinya bisa dilaksanakan.”
Untuk kesekian kali, tatapan terkejut itu muncul. Kali ini tentu saja dari Tante Indri. Wanita itu menatap aku dan Ibra bergantian, kemudian seringai culasnya muncul.
“Oh. Pantas kamu betah bekerja di restoran Jepang itu, ya.” Kutatap tajam Tante Indri, tapi wanita tak tahu malu itu . .. menebalkan mukanya. Mungkin ia berpikir aku sama seperti dirinya yang menggoda atasan.
“Maaf, Tante ngomong apa? Apa Tante mau bilang kalau saya...” ucapanku terhenti karena Ibra yang meremas
jemariku.
“Saya benar-benar minta maaf kalau kedatangan kami tidak di waktu yang tepat. Tapi saya ingin sampaikan bahwa saya sangat serius ingin menikahi Danika. Di hadapan Om dan Tante, saya berjanji akan membahagiakan Danika. Mungkin tak akan pernah sebaik seorang Ayah menjaga anak perempuannya, tapi saya pastikan Danika tidak akan kekurangan apa pun. Baik lahir maupun batinnya. Saya akan membahagiakannya semampu saya. Karena itu, saya butuh izin Om untuk meneruskan tanggung jawab seorang Ayah terhadap putrinya untuk saya emban. Saya ingin menggantikan tugas Om sebagai penanggung jawab hidup Danika. Menjadi pembimbingnya, menjadi Imam baginya, dunia-akhirat.”
Ibra mengucapkan seluruh kalimat itu tanpa keraguan sedikitpun. Bisa kulihat ada perasaan terpukul di mata Papa. Helaan napas berat Papa terdengar jelas di telingaku. Mungkin kalimat Ibra benar-benar memukul tepat pada sasaran. Tangan Papa tampak bergetar. Di detik itu, aku merasakan iba pada Papa. Bagaimana seorang pria asing bisa menampar keras dirinya melalui kata-kata yang memang benar adanya. Terutama di bagian Ibra ingin mengemban tanggung jawab seorang Ayah terhadap putrinya.
“Kalian sudah makan siang?” Entah mengapa Papa malah mengalihkan pembicaraan. “Mungkin kita bisa lanjutkan pembicaraan setelah makan siang?”
Aku ingin protes. Tak ingin berlama-lama berada di rumah ini. Namun, lagi-lagi Ibra menahanku. Menatapku sembari menggelengkan kepala pelan. Terpaksa aku menurut. Meski tak betah berada dekat Tante Indri dan Papa. Tapi akhirnya aku patuh saat Ibra menarikku ke arah ruang makan.
Keputusan
Makan siang yang bagiku berlangsung mencekam sudah kami lewati. Aku sama sekali tak berselera sedikit pun. Keinginanku hanya cepat-cepat mengakhiri pertemuan ini. Terlalu muak harus terus berada di atap yang sama dengan Tante Indri. Terlebih dengan tatapan Haninda yang seakan tak bisa lepas dari Ibra. Jujur saja, aku tak nyaman. Rasa penasaranku kian membuncah akan hubungan keduanya. Tapi aku percaya Ibra. Dia bukan tipe pria yang gampang menebar pesonanya pada perempuan lain. Meski tak bisa dimungldri jika tanpa melakukannya pun, sikap Ibra sudah mampu memesona siapa pun. Termasuk aku.
“Sebelumnya, boleh Papa bicara berdua saja dengan Ibra?” Pinta Papa sesaat setelah kami menyelesaikan acara makan siang.
Aku keberatan. Untuk apa Papa butuh bicara dengan Ibra. Aku hanya butuh persetujuan. Tapi seperti biasa, Ibra tak keberatan sama sekali. Pria itu setuju dan mulai mengikuti langkah Papa ke arah ruang kerjanya.
“Jangan khawatir. Saya pasti bisa mengatasinya,” ucap Ibra menenangkan saat aku mencekal pergelangan tangannya. Mau tak mau, aku melepas Ibra untuk pergi bersama Papa.
Sepeninggal Ibra dan Papa, hanya ada aku, Tante Indri, dan Haninda di ruang keluarga. Kuabaikan keberadaan mereka dan memilih untuk duduk di sofa sembari memainkan ponsel. Tapi sepertinya tak akan semudah itu bagi Tante Indri untuk melepasku. Karena wanita itu dan putrinya justru berada di tempat yang sama denganku.
“Hebat kamu, ya, bisa mendapatkan atasan di tempat kamu bekeija.” Suara Tante Indri terdengar. “Pantas saja keadaan kamu baik-baik saja di luar sana. Ternyata...”
“Apa?” selaku.
Tante Indri menyunggingkan senyum meremehkannya. “Ternyata kamu punya penyokong ekonomi rupanya.”
Kubalas Tante Indri dengan senyum sinis, membuat wajah wanita itu memerah. “Hah? Jangan samakan saya dengan Tante. Saya bukan perempuan murah yang tega menggoda atasannya.”
“Kamu...” desis Tante Indri tertahan.
“Mama...” Haninda berusaha melerai pertengkaran kami. “Saya bicara kenyataan, kok. Harga diri saya cukup
tinggi. Asai Tante tahu, bukan saya yang mengejar, tapi Ibra yang terus mendekati saya. Bahkan dia butuh bertahun untuk saya bilang Tya’. Saya perempuan mahal, Tante. Nggak akan sembarangan membiarkan laki-laki mendekati saya.”
Wajah Tante Indri memerah. Wanita itu pasti berusaha menahan emosinya. Sedangkan Haninda hanya menundukkan wajah mendengar ucapanku.
“Mama, Kak Danika, jangan bertengkar. Enggak enak kalau kedengaran sama Papa dan Mas Ibra.”
Alisku terangkat sebelah. Mas? Haninda baru saja menyebut Ibra dengan panggilan ‘Mas’. Panggilan yang menurutku terlalu dekat bagi orang yang baru berkenalan seperti mereka.
“Kamu kenal sama Ibra?” tanyaku spontan pada Haninda.
Gadis itu terperanjat. Begitu juga Tante Indri. Haninda menguji kesabaranku dengan kebungkamannya. la enggan menjawab.
“Kamu kenal Ibra, Ninda?” desak Tante Indri.
Mendapat desakan dari Mamanya dan tatapan menuntut dariku membuat Haninda terpojok. Gadis itu akhirnya mengangguk pelan, membuat hatiku serasa diremas. Ada marah tersisip karena mengetahui kenyataan itu. Tapi, aku tak akan bertindak bodoh tanpa meminta penjelasan dari Ibra.
“Sejak kapan?” Tante Indri kembali bertanya. Menyuarakan rasa penasaranku juga.
“Ehm, Mas Ibra itu sahabat salah satu dosenku. Pernah ketemu saat Mas Ibra dan Pak Dhani lagi di kampus,” jawab Haninda.
Tante Indri tampak tak terpengaruh, tapi tidak bagiku. Melihat bagaimana Haninda menatap Ibra, aku tahu ada yang berbeda. Mungkin gadis itu juga menyukai Ibra. Seperti perempuan lainnya yang sering kali simpati terhadap sikap Ibra.
“Tapi kamu nggak suka sama Ibra, kan?” Haninda tersentak akan tanyaku padanya. Sebut aku cemburu.Aku hanya ingin memastikan bahwa intuisiku tak salah. Ibra milikku sejak pria itu mengajakku menikah. Boleh, kan, jika aku mengklaim pria itu dan berusaha mempertahankannya. Terlebih dengan status Tante Indri sebagai Mamanya. Aku tak ingin berpikiran buruk tentang Haninda. Tapi, kadang pepatah benar adanya. Siapa yang tahu jika buah jatuh tak
jauh dari pohonnya. Tak ada yang bisa menebak hati dan tabiat manusia. Kecuali manusia itu sendiri.
“Kamu jangan kurang ajar, Danika!” Tante Indri yang bersuara, marah atas tuduhanku pada putrinya.
“Saya nggak tanya Tante. Saya tanya Haninda.”
“Apa kamu pikir anak saya perempuan nakal yang senang menggoda laki-laki?” geram Tante Indri. Sementara Haninda hanya terdiam di samping Mamanya.
Aku mengangkat bahu. “Siapa yang tahu.”
“Kak Danika!” seru Haninda.
Aku tahu ia pasti sakit hati. Tapi, ia hams menjawab tanyaku jika ingin aku tak berpikir macam-macam.“Kamu tinggal jawab. Apa susahnya,” lanjutku.
“Lain apa? Memangnya jawaban Haninda berpengaruh terhadap hidup kamu?” Tante Indri terus membela anaknya.
Kutatap Ibu dan anak itu dengan pandangan tegas. “Sangat. Karena saya nggak mau kejadian yang menimpa Mama, terjadi pada saya.”
Satu tamparan mendarat di pipiku. Tentu saja dari Tante Indri. Wajah wanita itu sudah memerah menahan kemarahannya. Baik aku dan Haninda sama-sama terkejut atas apa yang dilakukan Tante Indri.
“Mama!” tegur Haninda sembari menahan Mamanya. “Jaga ucapan kamu!” ucap Tante Indri dengan suara tertahan.
“Atau apa?” tantangku.
Aku dan Tante Indri bertatapan dengan kemarahan yang terpancar jelas dari mata kami masing-masing. Jika wanita itu pikir aku akan melunak padanya, itu hanya ada dalam mimpinya. Cukup ia menghancurkan hidupku dengan kehadirannya. Tapi tak akan kubiarkan karma yang sama menimpaku dengan adanya Haninda dalam hubungan yang baru akan kumulai bersama Ibra.
“Kamu nggak akan pernah tahu apa yang bisa saya lakukan untuk membuat kamu jera. Apa diusir dari rumah belum cukup, Danika?”
“Diusir? Tante bercanda? Saya yang memutuskan untuk keluar dari rumah. Bukan karena diusir Papa.”
“Tetap saja, Papa kamu tetap memilih saya daripada kamu, putri kandungnya.”
“lya, Papa memang bodoh. Lebih milih perempuan sampah kayak Tante.”
“Kamu...”
Sekali lagi tangan Tante Indri akan melayang ke pipiku. Aku sudah siap menerima tamparannya, sampai kami sadari, sudah ada sebuah tangan yang menahan pergelangan Tante Indri.
“Mas Ibra...” gumam Haninda.
“Cukup sekali Tante bisa melayangkan tangan ke wajah Danika. Tidak akan ada lain kali.”
Aku dan Tante Indri sama-sama terdiam. Terlebih saat Ibra melepaskan cekalannya pada pergelangan Tante Indri dan berdiri di sampingku. Kutatap Tante Indri dengan senyum penuh kemenangan. Jika dulu wanita itu merasa berada di atas angin, maka saat ini giliranku. Kami bahkan tak sadar jika sedari tadi, Papa sudah berdiri beberapa meter dari kami dan menyaksikan kembali pertengkaranku dan Tante Indri.
“Kamu ... sebagai calon suaminya, harusnya kamu bisa mengatur mulut calon istri kamu.” Telunjuk Tante Indri mengarah pada Ibra. Wanita itu benar-benar menunjukkan emosinya.
“Itu pasti, Tante. Tapi perlu saya ingatkan pada Tante, tolong jangan lagi bersikap kasar pada Danika. Segera, Danika akan menjadi tanggung jawab say a. Dan say a jelas tidak akan menolerir siapa pun yang bersikap kasar padanya. Meski itu Tante, sebagai istri dari Papa Danika.”
Ucapan Ibra yang tegas membuat Tante Indri tak bisa membantah. Terlebih saat tatapannya bertemu dengan Papa. Ada sedikit ketakutan yang terpancar dari mata Tante Indri. Aku sendiri tak ingin berlama-lama memandang Papa. Mataku segera kualihkan pada Ibra.
“Segera?” tanyaku bingung.
Ibra tersenyum hangat, kemudian mengangguk. Setelahnya pandanganku beralih kepada Papa. Beliau memberikan tatapan yang tak bisa kubaca sama sekali. Menatap mata Papa yang jernih seperti saat ini, membawaku seperti kembali ke masa lain. Tapi tetap ada Iuka di sana. Hingga akhirnya kupalingkan wajah. Memilih kembali menatap ke arah Ibra.
“Ayo, pulang!” pintaku padanya.
“Danika...,” panggilan Papa terdengar, tapi aku tetap tak ingin memandangnya.
“Ayo, pulang. Saya kangen Mama.” Saat kukatakan itu, tak ada lagi yang bersuara. Ibra pun mengerti apa yang kuinginkan. Pria itu membawaku bersamanya menghampiri Papa.
“Ayo, pamit sama Papa kamu,” perintahnya yang harus kuturuti.
Meski berat hati, tapi aku akhirnya menatap Papa kembali. “Aku pamit, Pa.”
Papa belum menjawab, hanya memandangiku sejenak. Hingga kemudian terdengar, “Papa tunggu kamu pulang ke rumah.”
Aku tak menjawab, pun tak mengiakan, tapi aku tahu apa yang Papa maksud dengan menungguku pulang. Itu pasti berhubungan dengan lamaran resmi Ibra dan keluarganya. Sudah pasti aku harus pulang ke rumah. Tapi kupastikan, itu adalah terakhir kalinya aku menginjakkan kaki di rumah ini. Terakhir kali pulang ke rumah yang sejak kepergian Mama tak lagi kusebut rumah.
Rencana kedatangan keluarga Ibra sudah diputuskan. Dua minggu lagi mereka akan datang ke rumah Papa untuk melamarku dan membicarakan perihal pernikahan. Namun hingga kini, aku tak berniat kembali ke rumah. Aku akan pulang di hari Ibra dan keluarganya datang.
Masalah lamaran dan restu tak lagi menjadi pikiranku. Hany a saja sejak kedatanganku ke rumah Papa, aku belum bisa menghilangkan pikiranku tentang Ibra dan Haninda. Terlebih aku tak berkesempatan bertanya langsung pada Ibra. Saat Ibra membawaku mengunjungi Mama sepulangnya kami dari rumah Papa, keinginanku itu terlupakan. Berada di makam Mama membuatku lupa akan misiku bertanya pada Ibra.
Pun setelah kami kembali pada kegiatan harian. Sushi Me yang selalu dibanjiri pelanggan membuatku jarang mendapat kesempatan untuk bicara padanya. Begitu juga dengan Ibra yang akhir-akhir ini jarang berada di Sushi Me. Bahkan ia sering memintaku pulang dengan taksi karena tak memiliki waktu untuk menjemputku.
Hubungan kami memang maju selangkah. Tapi di titik tertentu, aku merasa justru komunikasi kami mundur beberapa langkah. Jika biasanya Ibra akan selalu mengawasiku, bertanya padaku, atau memerintahku ini dan itu, kini pria itu seolah menjauh. Membuat kepalaku berpikir yang tidak-tidak. Kadang malah pikiran bahwa Ibra tak lagi memprioritaskanku menyusup masuk seenaknya. Membuat hatiku kembali mempertanyakan keseriusan pria itu.
“Hei, lesu amat? Kenapa?” Anwar, Manajer kami tiba- tiba menghampiriku di ruang ganti.
Aku menoleh, tersenyum simpul padanya. “Capek.” “Kan jam keija kamu sudah kelar. Kenapa nggak
pulang?” tanya Anwar lagi. “Nunggu Pak Ibra?”
Aku menaikkan sebelah alisku. “Kenapa aku harus nunggu Pak Ibra?”
“Kan biasanya kalian pulang sama-sama. Atau Pak Ibra biasa keluar cuma buat nganterin kamu pulang.”
Apa yang Anwar katakan memang benar. Tapi, akhir- akhir ini tidak lagi. Ibra seperti punya kesibukan lain yang aku tak boleh tahu.
“Kenapa? Lagi bermasalah sama Pak Ibra?”
Aku mengalihkan kembali tatapan pada Anwar. “Enggak, kok. Aku balik, ya,” pamitku. Anwar hanya mengangguk kecil.
Baru saja menginjakkan kaki di pintu keluar Sushi Me, langkahku sudah dihadang seseorang. Kuhela napas, lelah. Sebenarnya saat ini aku ingin segera tiba di rumah dan mengistirahatkan tubuh dan pikiranku. Tapi sepertinya Tuhan sedang ingin menguji kadar kesabaranku dengan menghadirkan Bintang.
“Bisa bicara sebentar?” tanyanya dengan nada datar. “Berapa lama?”
Bintang menatap tajam padaku. “Begin! banget kualitas calon istri Mas Ibra,” sinisnya.
“Kamu minta waktu sebentar, kan? Karena itu saya tanya sebentar itu seberapa lama buat kamu. Tiga puluh menit saja bagi saya sudah cukup lama.”
“Oke, saya juga malas basa-basi sama orang kayak kamu. Tapi demi keluarga kami, saya cuma mau bilang, tinggalkan Mas Ibra. Kamu itu nggak pantas jadi istrinya Mas Ibra. Harusnya kamu sadar, kalau kamu dan Mas Ibra itu nggak cocok sama sekali. Dan harusnya kamu juga mikir, enggak semua anggota keluarganya setuju dengan rencana kalian. Kalau kamu memang pintar, pikirkan itu. Apa kamu bisa menjalani pernikahan dengan adanya tentangan dari keluarga?”
Bintang bicara panjang lebar. Di depan pintu Sushi Me yang pasti membuat kami jadi pusat perhatian. Mungkin aku salah membiarkan perempuan ini mengoceh di depan umum. Tapi sungguh, aku lelah. Dengan tubuhku dan juga pikiranku tentang Ibra yang akhir-akhir ini sering menghilang. Dan ditambah dengan ocehan sepupunya yang membuat telingaku berdenging, makin bertambah lelah yang kurasakan.
“Sudah, kan?” tanyaku. Wajah Bintang memerah karena menahan emosi. “Katakan itu pada Ibra.”
“Danika!”
Tak kuhiraukan Bintang dan teriakannya. Saat ini kepalaku pusing. Aku ingin menjauh dari keramaian dan menyendiri di rumahku. Tanpa gangguan siapa pun.
Begitu tiba di rumah, aku langsung memasak untuk makan malam. Beruntung masih memiliki stok bahan makanan di kulkas. Jadi aku tak perlu keluar dari rumah untuk berbelanja. Tak sampai satu jam, masakan sederhana sudah siap dihidangkan. Tapi belum lagi bisa menyantap makanan malam, suara ketukan di pintu menggangguku. Dengan malas, aku beranjak menuju pintu depan. Kudapati Ibra sudah berdiri di sana.
“Ada apa?” tanyaku, malas berbasa-basi.
“Tidak mengizinkan saya masuk dulu?” tanya Ibra, membuatku terpaksa menyingkir dan mempersilakannya masuk.
“Sudah makan malam?” Ibra menggeleng. “Mau makan malam sama-sama?”
Senyum di wajah pria itu terbit. Mungkin ia bahagia karena ini pertama kalinya aku menawarkannya untuk makan malam bersamaku. Kami menuju dapur. Pintu depan sengaja kubiarkan terbuka sebagai antisipasi. Meski Ibra sering bolak- balik ke rumahku, tapi bukan berarti aku bebas dari ucapan miring orang-orang.
“Cuma masakan sederhana,” ucapku ketika Ibra sudah duduk.
“Bukan masalah. Nanti juga saya akan sering makan masakan kamu.”
Aku tak menjawab, memilih mulai menikmati makan malam sederhanaku. Hingga setelah selesai makan, aku meminta Ibra untuk menunggu saja di ruang tamu selagi aku membersihkan piring kotor bekas kami makan. Tapi seperti yang sudah-sudah, pria itu tak menurut. Malah tetap duduk di kursi makan menungguku selesai mencuci piring.
“Bintang datang ke Sushi Me menemui kamu?” pertanyaan pembuka dari Ibra ketika kami sudah berada di ruang tamu membuatku terperanjat.
“Tahu dari mana?” tanyaku bingung.
“Anwar. Dia lihat kamu berdebat sama Bintang di pintu masuk Sushi Me.”
Aku menggangguk. “Lain?”
“Maaf,karena sikap Bintang kurang ajar ke kamu. Saya harap kamu bisa maklum. Tapi jangan pernah pikirkan dan ambil hati apa pun yang mereka katakan ke kamu.”
Sekali lagi aku mengangguk. Tak mau ambil pusing akan masalah ketidaksukaan Bintang dan Mamanya terhadapku. Lama kami terdiam sampai akhirnya aku ingat ada yang ingin kutanyakan pada Ibra.
“Kamu kenal Haninda sebelumnya?” tanyaku tiba-tiba. “Hah?” Wajah Ibra menunjukkan kebingungan saat aku
bertanya.
“Kamu, kenal sama Haninda sebelumnya?”
“Tidak.”
“Tapi dia bilang kenal kamu sebagai teman dosennya.” Ibra tersenyum. Sepertinya ia tahu arah pembicaraan
kami. “Kalau dia pernah lihat saya, mungkin benar. Tapi saya sama sekali tidak kenal Haninda sebelumnya.”
Mataku menatap Ibra menyelidik. Pria itu tetap tenang. Menandakan benar-benar tak berbohong padaku. Sejauh ini, pria itu sama sekali belum pernah membohongiku. Dan semoga saja Ibra akan terus jadi pribadi yang jujur dan dapat kupercaya.
“Kamu punya sesuatu yang mengganggu pikiranmu soal itu? Haninda?” tanya Ibra tiba-tiba.
“Kalau aku bilang enggak, artinya aku bohong. Kalau aku nggak kepikiran mana mungkin aku tanya ke kamu.”
Tadinya kupikir Ibra akan marah atau paling tidak kecewa karena aku punya kecurigaan terhadapnya. Tapi yang ada, ia malah mengelus pelan puncak kepalaku.
“Itu bagus. Apa pun yang mengganjal di pikiran dan hati kamu, bicarakan. Saya suka inisiatif kamu untuk bertanya langsung ke saya. Daripada berspekulasi, akhirnya malah jadi pikiran yang aneh-aneh dan akan mengganggu hubungan kita.”
“Kamu ... akan selalu jujur, kan?” Tiba-tiba saja terlontar kalimat itu dari bibirku.
“InsyaAllah, saya akan selalu jujur sama kamu, tentang apa pun.”
Aku diam, tapi juga merasakan kelegaan. Paling tidak Ibra memberikan jaminan padaku. Aku tak ingin hubungan dilandasi kebohongan apa pun. Aku ingin Ibra selalu mengutarakan apa pun padaku. Begitu juga yang akan kulakukan terhadapnya. Kadang krisis kepercayaan itu masih tertinggal di dalam hatiku. Karena itu, aku tidak ingin mengalami hal yang sama untuk kedua kali. Dikhianati.
Membuka Hati
Malam nanti keluarga Ibra akan datang ke rumah Papa untuk lamaran resmi mereka. Ibra sudah mengatakan bahwa ia akan membawa kedua orang tuanya saja. Sedang keluarga Tante Mala tak diikutsertakan. la tak ingin kehadiran Tante Mala membuat suasana lamaran yang ia inginkan menjadi tak kondusif. Ibra juga mengatakan bahwa ia ingin aku menunggu kedatangan keluarganya di rumah. Tapi untuk kali ini, aku tak ingin menurutinya. Waktu libur yang diberikan Ibra khusus hari ini agar aku segera pulang ke rumah, tak kugunakan. Aku lebih memilih untuk menjernihkan pikiran. Sore nanti aku baru akan kembali ke rumah. Pagi hingga siang ini, aku ingin menghabiskan waktu seorang diri.
Dan di sinilah aku, terdampar di sebuah toko buku. Menyendiri di sudut ruangan dengan beberapa buku yang bisa dibaca dengan bebas. Beberapa kali ponselku berdering, namun aku tak mengangkatnya sama sekali. Ada Ibra dan Papa yang menghubungi. Aku tak tahu dari mana Papa bisa mendapatkan nomor ponselku. Mungkin Ibra yang memberikan.
“Kak Danika?”
Kepalaku menengadah saat mendengar panggilan itu. Mataku bertemu pandang dengan Haninda. Kenapa di saat aku ingin menyendiri, ada saja gangguan.
Gadis itu masih berdiri di tempatnya. Karena aku tak berniat menyambutnya dengan ikut berdiri, Haninda berinisiatif untuk ikut duduk di depanku.
“Mau ngapain kamu?” tanyaku langsung.
“Kenapa Kak Danika di sini? Bukannya nanti malam keluarga Mas Ibra mau datang?”
Panggilan itu lagi. Aku terganggu dengan cara Haninda memanggil Ibra. Apa aku sudah berubah jadi calon istri posesif nan pencemburu?
“Bukan urusan kamu. Saya yang tanya ngapain kamu di sini,” ketusku.
Wajah Haninda tampak tersenyum maklum. Meski gadis ini tak menduplikat sifat Ibunya, aku tetap tak bisa bermanis- manis terhadapnya. “Lagi cari-cari buku untuk kuliah,”
jawabnya.
Jawabannya Haninda entah mengapa serasa menusuk ke ulu hatiku. Miris bukan, Haninda yang bukan putri kandung Papa mendapatkan pendidikan terbaik. Sedang aku, justru harus merasakan yang namanya berhenti kuliah. Sesaat aku ingin meneriakkan kata tak adil di depan wajahnya, tapi aku tahu tak akan ada gunanya. Inilah jalanku. Meski aku harus mengalami kesulitan, tapi Tuhan begitu berbaik hati menghadirkan orang-orang seperti Dayu dan Ibra di hidupku.
“Sudah ketemu, kan? Kamu bisa pergi,” usirku padanya. Aku tak tahu bagaimana raut wajah Haninda menerima
pengusiranku karena aku memilih untuk melanjutkan membaca. Tadinya kupikir gadis itu akan menyerah dan pergi,tapi ternyata Haninda tetap bertahan di tempatnya.
“Aku tahu Kak Danika masih marah sama Mama, atau bahkan aku. Tapi, aku benar-benar nganggap Kak Danika seperti Kakakku sendiri. Aku tahu Mama salah, tapi sebagai anak aku bisa apa.Hidupku masih bergantung sepenuhnya sama Mama. Aku cuma bisa berdoa semoga Mama dibukakan hatinya agar sadar dari kekeliruannya. Juga berdoa agar Kak Danika dibukakan pintu maafnya untuk Mama. Maaf kalau aku lancang sok nasihatin kalian. Tapi, menyimpan marah dan dendam nggak akan ada gunanya. Enggak akan mengembalikan waktu ke masa lain.”
Kujauhkan buku dari pandanganku dan menatap tajam ke arah Haninda. Gadis itu tampak meringis karena tatapanku. “Tahu apa kamu soal dendam dan sakit hati? Pernah merasakan?”
Haninda menaikkan sedikit pandangannya. “Pernah. Kalau Kak Danika berpikir cuma Kakak yang jadi korban di sini, coba pikir ulang. Apa aku juga nggak menjadi korban dalam hal ini...”
“Itu karena ulah Mama kamu!”
“Gimana dengan Papa?” tantang Haninda. Gadis itu sepertinya ingin menumpahkan apa yang mengganjal di kepalanya. “Seperti yang aku pernah bilang, Mamaku memang salah, tapi ada andil Papa juga kenapa keadaan ini menimpa kita.”Mata Haninda mulai berkaca-kaca. Jujur, dalam hati aku tak tega melihat gadis itu. Tebersit rasa iba kala aku melihat mata jernihnya yang mulai berair.
“Aku ... sama seperti Kak Danika. Aku juga nggak ingin berada dalam situasi seperti sekarang ini. Dicap sebagai anak perempuan murahan. Perebut kebahagiaann orang lain. Itu semua juga bikin aku sakit hati, Kak. Tapi lagi-lagi, aku bisa apa? Marah sama Mama? Aku nggak akan bisa, Kak. Mau bagaimanapun, seburuk apa pun, dia itu tetap Mamaku. Orang yang sudah melahirkan dan membesarkanku. Kak Danika boleh benci sama Mama. Itu hak Kak Danika. Tapi ... bisa tidak, jangan benci aku?”
Haninda sudah benar-benar menangis, dan aku bingung harus bagaimana menghadapi anak ini. Beruntung kami berada di sudut ruangan dan jauh dari pandangan orang orang. Meski ada satu-dua pengunjung yang tak sengaja melihat kami. Tapi kurasa mereka tak ingin repot-repot ikut campur terhadap masalah yang kami hadapi.
“Aku juga tahu kekhawatiran Kak Danika. Kakak pasti masih puny a rasa trauma atas apa yang teijadi pada orang tua kita. Baik, aku jujur, aku suka sama Mas Ibra. Tapi sebatas itu. Hany a rasa kagum seorang gadis terhadap laki-laki. Karena aku tahu, hanya sebatas itu yang bisa kulakukan. Aku nggak pernah punya niat atau bahkan angan-angan untuk coba berdekatan dengan Mas Ibra. Terlebih saat tahu Mas Ibra adalah calon suami Kak Danika. Aku nggak akan pernah berani bermimpi untuk dekatin dia. Terlebih lagi, aku bukan Mama. Darah Mama memang mengalir di tubuhku, tapi... aku bukan Mama...”
Di detik ini, isakan Haninda makin keras. Aku seperti disadarkan oleh gadis itu. Selama ini aku membencinya secara sepihak. Hany a karena ia putri Tante Indri. S elama ini aku tak adil terhadap gadis itu. Melihatnya menangis di depanku, mengetuk nuraniku. Andaikan Mama masih bersamaku, beliau pasti akan kecewa padaku. Mama tidak pernah mengajarkanku akan kebencian. Tapi kemarahan dan rasa terkhianati yang dilakukan oleh Papa dan Tante Indri mengaburkan nuraniku. Membuatku pun memupuk rasa yang sama terhadap Haninda, yang mungkin juga menjadi korban dari keegoisan dua manusia dewasa tersebut.
“Jangan benci aku seperti Kak Danika benci Mama...” isak Haninda. Gadis itu menundukkan kepala, menyembunyikan wajah basahnya.
Rasanya aku menjadi manusia tak berhati jika aku masih menebar benci pada gdis itu. Haninda tak bersalah. Harusnya sejak awal kedatangan gadis itu, aku tak mengibarkan kobaran kemarahan dan kebencian yang sama padanya. Seperti yang kulakukan pada Papa dan Tante Indri.
Kuulurkan tanganku, mengusap kepala Haninda lembut. Gadis itu perlahan menegakkan kepalanya. “Maaf...,” ucapku lirih.
Wajah Haninda berangsur lega. Gadis itu berusaha meredakan isak tangisnya. “Sejak Kak Danika pergi, Papa mulai berubah. Mungkin di awal beliau masih merasa kalau Kak Danika hanya anak manja yang sedang melakukan protesnya pada orang tua dengan pergi dari rumah. Tapi seiring waktu, saat Papa nggak mendapat sedikit pun kabar dari Kak Danika, Papa tahu beliau salah. Di luar,semua terlihat baik-baik saja, tapi aku tahu kalau Papa menyesal akan kepergian Kak Danika,” beber Haninda kemudian.
“Kalau Papa menyesal, kenapa nggak pernah berusaha mencari tahu tentangku?” tanyaku kemudian.
“Papa berusaha, tapi rasa malu dan sesalnya mungkin lebih mendominasi. Apalagi hubungan Mama dan Papa nggak beijalan sebaik kelihatannya. Mungkin itu karma. Memang mereka masih terlihat baik sebagai suami istri. Tapi nggak ada yang tahu kalau di rumah, mereka seperti orang yang punya hidup masing-masing. Rumah megah itu nggak seperti rumah.
Itu sebabnya, aku lebih sering menghabiskan waktu di luar daripada di rumah.”
Satu kesadaran tiba-tiba menghantamku. “Kamu ... kenapa bisa lebih kenal Papa dibanding aku?”
Haninda tersenyum maklum. “Karena saat Kak Danika nggak ada, Papa cuma punya aku untuk tempatnya bicara.”
Aku diam, pikiranku menerawang. Pantas saja saat aku kembali, ada sorot tak terbaca di mata Papa. Bisakah itu kuartikan sebagai rasa rindu?
“Kak, Papa menyesal. Dalam hatinya, beliau pasti merindukan putri satu-satunya. Sebaik apa pun aku jadi teman bicara Papa, aku nggak akan bisa menggantikan sosok anak kandungnya. Orang bilang, darah lebih kental dari air. Dan itu memang benar adanya. Papa rindu Kak Danika.”
Kutatap Haninda dengan serius. Saat aku akan menyela, gadis itu kembali bicara, “Papa dan Kak Danika itu mirip. Kalian sama-sama keras kepala,” ucapnya diiringi senyum simpul. “Pasti butuh waktu buat Kak Danika untuk benar- benar maafin Papa. Tapi, coba, ya? Kakak boleh tetap benci Mamaku, tapi aku mohon, buka pintu maaf Kak Danika untuk Papa.”
Lagi dan lagi, aku dibuat terperanjat oleh Haninda. Penilaianku selama ini benar-benar keliru terhadapnya. Selama ini aku terlalu picik menilai Haninda. Semua lagi-lagi karena kesalahan kedua orang tua kami yang ikut kulimpahkan padanya. Melihatnya bicara dengan tulus padaku seperti saat ini membuka hatiku. Bahwa tak selamanya buah itu jatuh tak jauh dari pohonnya. Seperti halnya Haninda. la boleh saja mewarisi darah dari Ibunya,tapi akal dan hatinya memutuskan untuk ia tak akan jadi seperti Ibunya.
Malam ini aku sudah berada di kediaman Papa. Sore tadi aku memutuskan untuk ikut bersama Haninda pulang ke rumah. Meski hubungan kami masih agak canggung, tapi aku akan berusaha untuk membuka hatiku terhadapnya. Yang tak kalah terkejut dengan kedatangan kami sore tadi adalah Papa. Wajah beliau tampak berbinar menyadari putri kandung dan putri tirinya tampak akur bersama. Beruntung aku tak harus bertatap muka dengan Tante Indri. Jika tidak, kurasa suasana hatiku akan memburuk kembali.
Selama menunggu kedatangan Ibra, kuputuskan untuk mengurung diri di kamar. Kamar lamaku yang sudah beberapa tahun ini tak kutempati. Semua masih sama. Tak ada satu pun yang berubah dari kamar ini. Bahkan pigura berisi fotoku dan Mama masih berada di tempatnya. Membuatku bisa mengenang sosok Mama di kamar ini.
“Masuk,” ucapku ketika ada yang mengetuk pintu.
“Ayo turun, Kak. Keluarga Mas Ibra sudah datang.”
Aku mengangguk. Setelah memastikan sekali lagi penampilanku dengan kebaya yang merupakan warisan dari Mama, aku dan Haninda turun bersama ke ruang tamu. Di sana sudah ada Ibra dan kedua orang tuanya. Juga Papa dan Tante Indri. Walau tak suka melihat kehadiran Tante Indri, tapi aku harus menahan diri. Jangan sampai menyulut pertengkaran dengannya dan membuat semua menjadi kacau.
Mama Ibra tampak tersenyum hangat menyambut kedatanganku. Membuatku tertular senyumannya dan ikut tersenyum. Setelah duduk di sofa bersama Haninda, aku pun menaikkan pandangan yang langsung tertangkap mata Ibra.
Rasa gugup menyerangku. Ibra memang sering menatapku intens, tapi tatapannya malam ini terasa berbeda. Mampu membuat jantungku kembali menggila. Kuturunkan tatapanku menghindari Ibra.
“Bismillah, assalamualaikum, Pak Randa Wijaya dan keluarga.” Suara Papa Ibra mengalun tenang di ruangan ini. Membuat kami semua otomatis menjawab salamnya. “Perkenalkan, saya Zahid Arrauff, dan istri saya, Amida. Malam ini datang ke rumah Pak Randa untuk membicarakan perihal hubungan kedua anak kita, Danika dan Ibra. Pak Randa pasti sudah tahu tujuan kami ke sini menemui Bapak untuk alasan apa. Karena sebelumnya, Ibra sudah menyampaikan bahwa dia sudah menemui Pak Randa. Karena itu, kami mohon kesediaan Pak Randa dan keluarga untuk menerima kami.”
Suasana seketika menjadi lebih serius. Aku bisa melihat tatapan Papa dan Om Zahid yang saling terpaut satu sama lain. Tanpa sadar aku mencengkeram jemariku.
“Waalaikumsalam. Terima kasih untuk kedatangan Pak Zahid dan Ibu Amida, juga Ibra. Seperti yang sudah Pak Zahid katakan, Ibra sudah menemui saya dan, ya, seperti yang saya katakan padanya, semua tergantung pada keputusan Danika. Apa pun yang menjadi kebahagiaan Danika, saya tidak akan menghalanginya.”
Aku dan Haninda berpandangan sejenak, kemudian mataku mencari Papa. Sudut bibir Papa tampak tertarik. Matanya seperti memancarkan kerinduan padaku detik itu
juga. Namun saat tak sengaja aku bertemu pandang dengan Tante Indri, wanita itu kembali merusak suasana hatiku. Cepat-cepat kupalingkan wajahku ke arah lain.
“Ibra, bagaimana?” Om Zahid bertanya pada putranya yang sejak tadi tak pernah mengalihkan tatapan dariku.
Ibra menghela napas sejenak. “Bismillah, Danika Khayrani Wijaya, bersediakah kamu menerima saya, sebagai pendamping hidupmu, laki-laki yang akan menghabiskan sisa umurnya bersamamu? Dalam susah maupun senang. Saling belajar dan memahami. Saling mendukung dan menguatkan sebagai pasangan. Hingga Allah menuliskan ketetapan-Nya sampai akhir hidup kita.”
Cengkeraman jemariku berubah menjadi lebih dingin. Napasku pun terasa berat. Aku tak pernah mengalami hal ini. Menerima lamaran seorang pria di depan banyak orang. Lidahku pun serasa kelu untuk bersuara. Hingga kurasakan sebuah genggaman hangat menyentuh tanganku. Mataku langsung beralih pada Haninda yang menampilkan senyum hangat layaknya saudari yang menyemangati Kakaknya untuk mengambil keputusan paling penting dalam hidupnya. Kurasa Papa dan Tante Indri akan terkejut karena genggaman tangan kami.
“Bismillah, saya terima,” suaraku lirih bergetar. Tapi setelah mengucapkan kalimat singkat itu, semua beban dan ketakutan seakan lepas dari hatiku.
“Alhamdulillah... ” Om Zahid dan Tante Amida berucap syukur.
Papa pun terlihat sama leganya. Mata beliau tampak berkaca-kaca. Membuatku menyadari bahwa apa yang dikatakan Haninda mungkin ada benarnya. Tapi saat mataku menangkap pancaran tak senang dari Tante Indri, kemarahanku timbul kembali. Masih ada. Sisa kemarahan dan benci itu masih ada di hatiku untuk mereka.
Prosesi dilanjutkan dengan saling bertukar cincin dan menetukan tanggal pernikahan. Ibra menginginkan akad nikah dilakukan secepat mungkin, tapi Mamanya menginginkan agar diberi waktu untuk mempersiapkan semuanya.
“Mama dan yang lainnya jangan khawatir. Ibra sudah siapkan semua. Untuk resepsi, Ibra ingin dilakukan di Sushi Me. Tidak perlu banyak tamu, yang penting semua berlangsung lancar dan terkendali. Untuk akadnya, terserah Danika ingin dilangsungkan di mana. Bagaimana, Danika?”
Aku tertegun. Ibra benar-benar sudah menyiapkan semua. Bahkan tanpa mengatakan padaku. Memang, aku tak akan protes untuk acara resepsi yang dilaksanakan di Sushi Me nanti. Sepertinya ia tahu aku tak terlalu ingin pesta mewah dan meriah. Tapi untuk akad, mengapa Ibra justru bertanya padaku? Apa karena ia tahu, aku masih belum ingin memperbaiki hubungan dengan Papa?
“Bagaimana, Danika? Kamu mau akad nikah dilaksanakan di mana?” tanya Tante Amida kemudian.
Kutatap Ibra dan Papa bergantian. Jelas tertangkap netraku, bahwa Papa mengharapkanku untuk melangsungkan akad nikah di rumah ini. Tapi, aku kembali ingat, Papa dan Tante Indri pun melangsungkan akad nikah di rumah ini, dan hal itu membuatku tak ingin mengalami momen sakralku di tempat yang sama dengan mereka.
“Boleh di masjid dekat tempat tinggal saya?” tanyaku pada Ibra dan kedua orang tuanya.
Wajah Tante Amida dan Om Zahid tampak terkejut. Mungkin mereka tak menyangka jika aku enggan melaksanakan prosesi sakral itu di rumah ini. Begitu pula Papa yang tampak kecewa.
“Apa pun keputusan kamu.” Akhirnya Ibra menjawab. Aku lega karena Ibra selalu menuruti mauku. Meski
mungkin agak berlebihan, namun baik Papa dan kedua orang tua Ibra pun akhirnya setuju. Selangkah lagi, hidupku akan berubah. Pembicaraan pun dilanjutkan mengenai mahar dan busana pernikahan. Untuk urusan itu, aku menurut dan menyerahkan semua pada Tante Amida—karena Tante Indri pun terlihat tak ingin repot-repot mengakrabkan diri dengan calon mertuaku.
Saat pembicaraan sudah berakhir, Ibra dan keluarganya berpamitan untuk pulang. Sebenarnya aku ingin ikut bersama mereka, tapi merasa tak enak hati pada orang tua Ibra. Jadi, sebelum pria itu pergi, aku meminta kesediaan Ibra untuk menjemputku kembali setelah mengantarkan orang tuanya. Jika ia keberatan, maka aku akan memilih pulang dengan taksi.
“Jangan pulang dengan taksi. Tunggu saya di sini!” kata Ibra dengan nada tegas.
Aku menurut. Selagi menunggu Ibra, aku memilih kembali mengurung diri di kamar. Tapi belum lagi mencapai kamar, aku bisa mendengar suara perdebatan dari arah ruang keija Papa. Tak ingin ikut campur, kulangkahkan kakiku secepatnya ke arah kamar. Namun kembali langkahku terhenti ketika Tante Indri keluar dari ruang kerja Papa. Wanita itu menatapku tak suka.
“Pasti kamu bahagia, ya, bisa kembali lagi ke rumah ini,” cibirnya. “Atau karena Papa kamu akhirnya mengizinkan untuk menikah?”
“Dengan atau tanpa izin Papa, saya tetap akan nikah. Enggak usah mencampuri urusan saya. Urus saja masalah Tante sendiri!” balasku ketus dan segera berlalu ke dalam kamar.
Kurebahkan tubuhku ke kasur. Mencoba berpikir apa yang menjadi perdebatan Papa dan Tante Indri. Tapi semakin aku berpikir, semakin tak kutemukan jawabannya. Atau mungkin perdebatan mereka ada hubungannya denganku?
Tidak, apapun itu, aku tak peduli pada mereka.
Kembali kutegakkan tubuhku. Beringsut menuju kamar mandi. Aku harus mengganti pakaianku. Menunggu Ibra agar segera menyingkir dari kekacauan rumah ini.
Luka Yang Kembali Terbuka
Mitosnya, ada saja kendala menjelang hari pernikahan. Tadinya aku tak percaya pada hal seperti itu. Sampai aku mengalaminya sendiri. Hari-hari menjelang momen sakral itu membuatku dilanda kepanikan. Baik yang beralasan maupun tanpa alasan. Hal kecil seperti persiapan kebaya akad saja bisa membuat kepalaku hampir meledak karena ukurannya menjadi lebih kecil. Jika calon pengantin dilanda stres hingga kehilangan nafsu makan,berbeda denganku yang justru kelebihan nafsu makan hingga ukuran kebaya menjadi kekecilan.
Kepanikanku juga berdampak pada orang-orang di sekitar. Terutama Dayu dan Ibra. Keduanya kerap menjadi sasaran adukan emosiku. Terlebih lagi Ibra. Pria itu yang lebih banyak mengurus perihal resespsi di Sushi Me tak Input dari amukanku. Seperti malam ini, ketika Ibra datang membawakanku makan malam yang ia pesan khusus dari rumah makan Padang kesukaanku. Aku kembali berulah.
“Aku nggak suka rasa rendangnya,” protesku pada Ibra. Aku memang mengubah panggilanku pada Ibra. Bukan
karena Ibra yang meminta, tapi memang atas inisiatifku sendiri. Juga karena Dayu yang merasa heran setiap kali mendengar aku dan Ibra saling bicara. la tak melihat kami sebagai pasangan karena sapaan yang formal. Akhirnya mau tak mau aku mulai mengubah kebiasaan berbicara layaknya karyawan Sushi Me. Walau memang aku masih terdaftar sebagai karyawan di sana.
Ibra mengernyit karena penolakanku. “Tidak ada yang salah dengan rasa rendangnya, Danika.”
Kusingkirkan bungkusan makananku. “Aku nggak suka.” “Kamu mau makan apa kalau begitu?”
Aku menatap Ibra. Bagaimana pun aku memperlakukan pria itu, tak pernah ada raut terganggu di wajahnya. Apa Ibra memang terlahir dengan kesabaran yang berlebih?
“Kamu, kenapa nggak pernah marah kalau aku berulah?” tanyaku akhirnya.
“Selama itu masih bisa saya tolerir, saya maklumi.”
“Apa yang nggak bisa kamu tolerir?”
“Benar kamu ingin tahu?” Ibra bertanya serius. “Saya paling tidak suka perselingkuhan dan kebohongan. Saya mau pondasi dalam rumah tangga kita nanti diisi dengan kejujuran dan kepercayaan.”
“Cuma itu?” tanyaku tak habis pikir.
Aku tahu, kepercayaan dan kesetiaan adalah hal penting dalam suatu hubungan. Tapi tetap saja aku tak menyangka Ibra hanya butuh dua hal itu dalam pernikahan.
“Kadang, dua hal kecil seperti itu saja tak mampu dijaga dalam suatu hubungan. Kamu pasti tahu kan, ada berapa banyak perceraian dan perpisahan di luar sana yang dialami tiap pasangan hanya karena tak mampu menjaga komitmennya?”
Aku sekali lagi mengangguk setuju akan pernyataan Ibra. Tapi...
“Gimana dengan cinta?” tanyaku tiba-tiba.
“Kamu masih bertanya perihal cinta saya ke kamu?” Aku mengernyit. “Bukan. Tapi... apa cinta nggak penting
dalam suatu hubungan?”
Ibra tersenyum simpul. “Bagi saya, cinta itu faktor alami dalam suatu hubungan. Tidak perlu digali lebih dalam. Kamu pasti akan menemukannya. Belajar saja mencintai apa yang sudah menjadi milikmu. Itu lebih baik. Daripada sibuk mencari cinta yang ternyata bukan untuk kita.”
“Gimana kalau ... aku nggak cinta sama kamu?” tantangku. Bukankah selama ini pria itu yang terus menerus menunjukkan perasaannya. Apa Ibra tak penasaran dengan perasaanku padanya?
“Dengan kamu menerima saya saja, itu cukup. Saya tidak perlu lagi bertanya seperti apa perasaan kamu. Seperti yang saya katakan tadi, kamu akan belajar mencintai apa yang sudah menjadi milikmu.”
“Jadi, kamu mengibaratkan diri dengan benda?” “Kepemilikan bukan hanya sebatas ukuran benda,
Danika. Tuhan mencintai makhluknya, apa berarti setiap makhluknya adalah sebentuk benda bagi Tuhan?”
Aku menghela napas pelan. Mengapa pembahasannya berubah haluan menjadi sesuatu yang berat?
“Jangan banyak berpikir dan menerka-nerka. Kamu pasti akan mencintai saya. Mungkin saat ini kadarnya masih sedikit di hati kamu, tapi nanti akan bertambah.”
“Pede\ ” cibirku.
Setelah makan malam, Ibra berpamitan padaku. Aku mengantarkan pria itu hingga ke depan pintu. Seperti biasa setelah pria itu dan mobilnya menghilang dari pandangan, aku kembali masuk ke dalam rumah. Namun baru saja menginjakkan kaki di depan pintu kamar, ponselku berdering. Nama Haninda terpampang di layar. Tak biasanya gadis itu menghubungiku.
“Halo?”
“Kak Danika, bisa ke rumah sakit? ”
“Kenapa?”
“Papa...”
Lama aku berdiam. Menimbang apakah akan menyetujui permintaan Haninda atau tidak. Setan dalam kepalaku berteriak bahwa aku tak perlu menghiraukannya. Tapi sisi dalam hatiku meminta agar aku datang menemui Papa.
“Kak? ” suara Haninda kembali bergema.
“A-aku...”
“Kak, Papa pasti ingin lihat Kak Danika di sini. Aku tunggu, ya? ”
Setelah menyebutkan nama rumah sakit dan mengucap salam, Haninda mematikan sambungan. Aku masih terpaku di tempatku berdiri. Dua sisi dalam diriku kembali bertarung. Membuatku belum bisa mengambil keputusan. Tapi, ada Tante Indri pasti di sana. Satu fakta itu membuatku enggan untuk datang. Namun ketika kakiku melangkah ke dalam kamar, mataku tertumbuk pada pigura fotoku dan Mama yang sedang tersenyum ke arah kamera.
Mama, semasa hidupnya bisa jadi tahu pengkhianatan Papa di detik terakhir sisa umurnya. Tapi tak pernah sekalipun kulihat beliau menunjukkan kesakitan dan kekecewaannya karena pengkhianatan tersebut. Mama justru berusaha mengabdikan diri sebagai istri terbaik di sisa hidupnya. Semua itu tak mungkin bisa kuhapus dari ingatanku.
Memaafkan bukan berarti melupakan. Tapi memendam justru akan menyakiti diri sendiri. Kalimat dari Mama seketika terngiang di telingaku. Mama, perempuan dengan segala kebaikan hatinya mampu memaafkan Papa. Apa aku tak bisa mengambil sedikit saja ketegaran hatinya?
Kakiku melangkah menuju lemari pakaian. Setelah memastikan dompet dan ponsel telah masuk ke dalam tas, aku bergegas pergi menuju rumah sakit. Di dalam taksi, berbagai pikiran telah memenuhi kepalaku. Mempertanyakan tepatkah keputusanku ini. Bagaimana jika aku tak bisa berdamai dengan Tante Indri dan malah membuat ricuh suasana.
Tapi satu pikiran membuatku yakin dengan keputusanku, mungkin inilah waktunya aku membuka jalan damai dengan Papa. Tidak langsung berdamai, tapi pelan- pelan. Tak ada yang tahu menit berikutnya apa yang akan teijadi dalam hidupku. Terlebih, aku masih butuh Papa di hari pernikahanku. Tak ada Mama yang akan mendampingiku di hari pernikahan nanti. Tapi, aku ingin melembutkan hatiku untuk menerima Papa di hari bersejarah itu. Tak ada guna selamanya aku mengeraskan hati pada pria yang karenanyalah aku bisa terlahir di dunia. Bagaimanapun, aku pernah menjadi putri kesayangannya.
“Kak Danika?” sapa Haninda ketika aku masuk ke ruang rawat Papa.
Tak ada Tante Indri di sana. Wanita itu mungkin tak mau repot-repot merawat Papa yang terbaring sakit. Benar- benar perempuan licik.
“Gimana keadaan Papa?”
“Papa baru tidur. Sekitar sepuluh menit yang lain.”
Aku mengangguk mendengar penuturan Haninda. Kuperhatikan wajah terlelap Papa. Ada gurat letih tergambar di sana.“Tante Indri, mana?” tanyaku kemudian.
Haninda menunduk. Seperti menyembunyikan sesuatu. “Tadi Mama pulang. Katanya man ambil pakaian Papa.”
Kembali aku hanya mengangguk. Tak ingin mencari tahu tentang urusan mereka. Suasana kamar ini begitu hening. Hanya terdengar detak jarum jam dan desingan penyejuk ruangan yang mengisinya.
“Kenapa Papa bisa dirawat?” Haninda terlihat seperti enggan menjawab. “Jujur, Haninda. Kamu mau saya musuhi lagi?”
Haninda menggeleng. “Mama dan Papa bertengkar.” “Hah?”
“Bertengkar karena apa aku nggak tahu. Tapi saat aku coba cari tahu, Mama sudah membanting pintu kamar dan tinggalin Papa. Setelah aku susul Papa, beliau sudah jatuh di lantai.”
Dadaku bergemuruh. Apa yang dikatakan Haninda memancing emosiku. Tentunya kepada Tante Indri. Setelah ia berhasil menjadikan Papa sebagai suami, begini perlakuan dan balasan wanita itu terhadap Papa?
“Dokter bilang apa tentang kondisi Papa?” cecarku kemudian.
“Dokter bilang hipertensi. Dokter juga bilang itu berpengaruh sama ginjalnya.”
“Mama kamu itu kenapa, sih?” bentakku tiba-tiba. Haninda terkejut. Dan ternyata tak cuma Haninda, Papa pun seketika membuka matanya.
“Danika?” seru Papa dengan suara lirih. Mungkin efek tidurnya yang terganggu.
“Jangan bangun!” perintahku kala Papa ingin menegakkan tubuhnya.
“Sejak kapan ada di sini?” tanya Papa kemudian.
“Papa istirahat saja, aku sama Haninda mau ngomong di luar dulu.”
“Danika...”
“Sebentar, Pa.”
Aku bisa melihat senyum Papa, sebelum akhirnya mengangguk dan membaringkan tubuhnya kembali. Aku beijalan mendahului Haninda. Menunggu gadis itu di kursi tunggu yang ada di depan ruangan Papa.
“Sekarang, jelaskan apa yang terjadi antara Papa dan Tante Indri,” tuntutku begitu Haninda berdiri di depanku. Gadis itu masih terpaku. “Haninda!”
“Papa mau menceraikan Mama.”
“Hah?”
Haninda mengangkat kepalanya. Mata gadis itu terlihat berkaca-kaca. “Papa mau menceraikan Mama. Mungkin karena itu mereka bertengkar. Mama nggak terima.”
Aku tak mampu berkata-kata. Jujur saja dari dulu aku sangat ingin Papa dan Tante Indri berpisah. Bahkan sejak awal aku tak ingin mereka bersama. Tapi saat ini, aku tak tahu bagaimana perasaanku.
“Lain kamu sedih gitu?”
Haninda menggeleng, kemudian mengangguk. “Apa pun keputusan Papa, aku bisa terima. Tapi...”
“Tapi, apa?”
“Aku takut saat mereka berpisah, aku nggak bisa ketemu Papa lagi. Sejak kecil, aku nggak dekat dengan Ayah kandungku karena Mama memang melarang. Saat bertemu Papa, meski sebagai Ayah tiri, aku senang. Papa begitu baik. Sosoknya sebagai Ayah benar-benar mampu bikin aku tahu bagaimana rasanya puny a seorang Ayah.”
Ya, dan karena kehadiranmu, bahkan putri kandungnya sendiri terlempar dari sisinyal Ingin sekali aku melontarkan kalimat itu pada Haninda. Tapi aku memilih menahan lidahku. Saat ini, gadis itu pasti bersedih. Posisiku yang digantikan olehnya, jelas membuat ia dan Papa begitu dekat. Meski tak ada hubungan darah, tapi aku bisa melihat Haninda menyayangi Papa.
“Kamu kan sudah dewasa. Kalaupun mereka bercerai, kamu masih bisa ketemu Papa kapan pun kamu mau.” Haninda menatapku intens. “Itu juga kalau mereka jadi bercerai. Seperti yang kamu bilang, Mamamu menolak.”
Haninda duduk di kursi tunggu. “Mereka sepertinya akan bercerai.”
“Dari mana kamu yakin?”
Haninda mengangkat bahu. “Kak Danika yang jaga Papa malam ini?” tanyanya kemudian.
“Hah? Kenapa?”
“Papa kelihatan senang tadi saat lihat Kakak datang. Jadi, Kak Danika man kan jaga Papa malam ini?” Haninda kemudian berdiri. “Aku pamit, ya, Kak.”
Tanpa aku sempat bicara, gadis itu sudah beijalan menjauhiku. Membuatku hanya bisa terpaku menatap punggungnya yang perlahan kian menjauh. Tak mungkin meninggalkan Papa sendirian di sini, aku kembali masuk ke ruang rawatnya. Kulihat Papa sudah kembali terlelap. Tapi ada yang berbeda, gurat lelahnya tergantikan wajah damai dalam lelapnya. Membuatku tak mengerti apa yang kurasakan saat ini.
Aku terbangun saat mendengar suara berisik. Mataku mengerjap beberapa kali. Sebelum akhirnya sadar bahwa saat ini aku sedang tak berada di kamarku. Melainkan di kamar rawat Papa di rumah sakit. Kuedarkan pandangan, melihat Papa bersama seorang dokter yang ditemani perawatnya tengah mengadakan visit untuk mengecek kondisi Papa. Mereka terdengar berbincang ringan. Sampai Papa menyadari aku sudah bangun sepenuhnya ketika mata kami bertatapan.
“Sudah bangun?” Papa menatapku sambil tersenyum. Dokter dan perawatnya serempak menoleh. Membuatku meringis malu karena dilihat saat bangun dari tidurku.
“Nyenyak tidurnya?” Dokter menimpali. Pria paruh baya yang usianya kutaksir tak jauh berbeda dari Papa memiliki senyum ramah khas orang tua.
“Mungkin nggak nyaman, Dok. Lagi pula siapa yang merasa nyaman tidur di rumah sakit.” Kali ini si perawat yang menyahut, dengan senyum maklum tersungging di bibirnya.
Aku turun dari ranjang, kemudian mendekat pada ketiganya. “Gimana kondisi Papa, Dok?”
“Sudah cukup stabil. Hari ini juga boleh keluar. Tapi, harap dijaga tekanan darahnya, ya. Jangan terlalu stres dan berpikir yang berat-berat dulu.”
Aku mengangguk patuh. Meski tak yakin bisa menjaga amanat yang disampaikan dokter dengan tag nama Rizwan tersebut. Karena saat kami berpisah nanti, mana bisa kupastikan akan seperti apa kondisi Papa.
Setelah dokter Rizwan dan perawatnya berpamitan, kembali hanya ada aku dan Papa di ruangan. Kami hanya berdiam tanpa berani sating menatap. Situasi canggung kentara terasa di ruangan ini.
“Aku ke kamar mandi dulu,” ucapku tiba-tiba, memecah kecanggungan.
Tanpa menunggu jawaban dari Papa, aku langsung bergegas ke kamar mandi. Setelah membasuh wajah dan berkumur dengan cairan pembersih mulut yang tersedia di sana, aku kembali ke ruangan Papa. Sudah kudapati seorang perawat membawakan sarapan untuk Papa. Kemudian berpamitan setelah tugasnya selesai.
“Kamu mau sarapan juga?” tanya Papa saat melihatku hanya berdiri di depan pintu kamar mandi.
“Ehm...”
Belum sempat menjawab, suara pintu dibuka terdengar. Ibra masuk dengan menenteng bungkusan yang kuyakin berisi menu sarapan. Kehadirannya jelas mengejutkanku. Tapi yang aku bingung, dari mana Ibra tahu aku ada di sini?
“Papa yang hubungi Ibra tadi pagi. Saat kamu masih tidur.” Papa menjawab kebingunganku.
“Apa kabar, Pa?” sapa Ibra sembari mencium punggung tangan Papa. Wajah Papa tampak berseri pagi ini.
“Baik. Kamu bawa sarapan?” tanya Papa yang diangguki Ibra. “Kalau begitu kalian juga makan. Biar kita sarapan sama sama.”
Aku belum bereaksi, tapi Ibra bergerak cepat. Dia membawaku ke sofa yang ada di sudut ruangan. Membuka bungkusan yang ia bawa dan memberikan satu porsi bubur ayam kepadaku.
“Aku nggak mau bubur ayam.”Belum apa-apa aku sudah berulah. Ibra menatap bingung padaku. Sedang Papa menghentikan sejenak kegiatan makannya.
“Lain kamu mau sarapan apa?” tanya Ibra, seperti biasa, sangat sabar.
“Lontong sayur...?”
“Tunggu di sini.”
Ibra beranjak pergi. Pria itu berpamitan pada Papa yang dibalas dengan anggukan kecil. Tak lama Papa melanjutkan sarapannya. Sesaat aku memilih untuk menyibukkan diri dengan ponsel. Sampai kudengar Papa terbatuk. Mungkin tersedak makanannya. Cepat-cepat aku berdiri dan membantu Papa dengan menepuk-nepuk punggungnya. Seperti yang dulu sering beliau lakukan jika aku tersedak.
“Terima kasih,” ucap Papa.
Jarak kami begitu dekat. Tapi seperti ada jurang dalam yang memisahkan. Sampai akhirnya Papa menyeka sudut matanya.
“Maafkan Papa, Nika,” ucap beliau. Suaranya terdengar serak dan bergetar.
“Untuk apa?”
“Untuk sikap Papa selama ini yang sudah menyakiti kamu. Terlebih, mengkhianati kamu dan Mamamu.”
Pengakuan Papa seperti palu godam yang menghantam ulu hatiku. Jika selama ini aku bisa menahannya, tapi kini tidak lagi saat Papa sendiri yang membukanya.
“Sejak kapan?” tanyaku akhirnya.
“Setengah tahun ... sebelum kepergian Mama.”
Jika dulu aku sudah mengeraskan hatiku untuk tak menangis. Saat ini aku tak sanggup lagi. Pertahananku seketika runtuh. Sudah selama itu mereka berkhianat. Bahkan
jika pun hanya hitungan satu bulan, tetap saja, yang mereka lakukan jelas pengkhianatan.
“Mama tahu?”
Papa menunduk. Seperti yang dapat kusimpulkan, bahwa Mama tahu kecurangan Papa. Tangis tak lagi dapat kubendung. Mama benar-benar tahu pengkhianatan Papa. Tapi wanita itu begitu pintar menutup lukanya. Aku terduduk lemas di lantai. Menumpahkan kembali tangisku untuk Mama. Sampai kurasakan seseorang merangkulku.
“Maafin Papa, Danika. Maaf...”
Aku menggeleng dalam pelukan Papa. Tak ada gunanya Papa memohon maafku. Karena di sini, Mamalah yang paling terluka. Aku bersedih untuk Mamaku. Wanita lembut yang begitu malang mendapatkan pria berengsek seperti Papa.
“Danika...”
“Kenapa...” isakku kembali.
“Danika, izinkan Papa menebusnya, ya? Papa mohon...” pinta beliau berulang kali, tapi aku tetap menggelengkan kepala.
Papa mendekapku makin erat. Jujur saja aku ingin mendorong Papa menjauh, tapi sepertinya tenagaku terkuras habis untuk menangis. Hingga yang bisa kulakukan hanya menagis dalam pelukan Papa. Pelukan yang sudah bertahun hilang dari hidupku.
“Danika? Papa?” suara Ibra mengejutkan kami berdua. Papa melepas pelukannya. Saat itu juga, entah dapat
kekuatan dari mana, aku langsung berlari ke arah Ibra. Ganti memeluk tubuh pria itu lebih erat.
“Ada apa?” tanyanya. Mungkin pada Papa.
“Bisa bawa Danika dulu? Mungkin dia butuh ditenangkan,” pinta Papa padanya.
Ibra yang baru tiba, meski bingung, tetap menjalankan permintaan Papa. Pria itu membawaku keluar. Saat akan memintaku duduk, aku menggeleng. Tetap memeluk erat tubuh Ibra. Aku tak peduli jika saat ini menjadi pusat perhatian karena benar-benar butuh pegangan.
“Jangan begini, banyak orang,” bujuknya, tapi aku tetap menggeleng.
Ibra pasrah, sepertinya. la membawaku berjalan menjauh dari kamar rawat Papa. Sampai langkah kami terhenti, Ibra menuntunku untuk masuk ke dalam mobil. Setelahnya pria itu menyusul masuk. Tanpa banyak bicara Ibra melajukan mobil keluar dari lingkungan rumah sakit. Entah ke mana pria itu akan membawaku. Mobil Ibra berhenti pinggir jalan yang tak jauh dari sebuah taman. la tak memaksaku ke luar. Membiarkanku menyelesaikan tangisku.
“Sudah lebih baik?” Ibra mengulurkan selembar tisu saat tangisku mulai mereda.
Kuterima lembaran tersebut sembari menyeka wajahku yang basah. Namun, selembar saja rasanya tak akan mampu menghapus sisa air mata di wajahku. Ibra mengambil alih. Pria itu membersihkan wajahku dengan sapu tangan yang ia keluarkan dari saku celananya. Saat seperti ini aku merasa seperti anak kecil yang diasuh oleh Ayahnya.
“Mau cerita kenapa kamu menangis?”
“Papa.” Hanya satu kata itu yang mampu kuucapkan saat ini.
“Ada apa dengan Papa?”
Bukannya bercerita, aku malah kembali menangis. Membuat Ibra tak bisa melakukan apa pun. la kembali membiarkanku menangis. Entah untuk berapa lama. Sampai kemudian Ibra mengenggam tanganku. Membuatku menatap padanya meski terhalang air mata yang masih keluar.
“Saat ini saya nggak mungkin peluk kamu. Kita bisa disangka berbuat asusila di dalam sini. Tapi, kapan pun kamu butuh, saya selalu siap untuk jadi tempat bersandar. Kalau memang saat ini masih sulit, silakan menangis lagi. Tapi cukup hari ini saja. Saya nggak mau lihat wajah calon istri saya bengkak karena terlalu banyak menangis.” Ibra mengusap lembut pipiku yang basah. “Cukup hari ini. Cukupkan untuk saat ini. Saya izinkan kamu menangis. Tapi nanti, setelah tanggung jawab Papa sepenuhnya ada di tangan saya, saya pastikan, kamu tidak akan menangis lagi.”
Ini gila. Sudah berulang kali aku mendengar janji yang Ibra ucapkan. Tapi saat ia berucap saat ini, aku justru makin menangis kencang. Satu sisi bersyukur ia tak memaksaku untuk langsung bercerita, memilih bersabar menunggu hingga aku siap, tapi di sisi lain, aku tahu tak selamanya bisa membuat pria itu hanya menunggu. Akan ada saatnya aku memang harus terbuka padanya. Saat ini aku kembali benar- benar bersyukur Tuhan menghadirkan seorang Ibra dalam hidupku.
Hari Baru
Pernikahanku hanya tinggal menghitung hari. Namun di sisa hari yang kupunya, aku belum juga bertemu muka dengan Papa. Masih membekas Iuka yang kembali terbuka lebar karena pengakuan Papa. Bahkan saat Haninda mengabarkan kepulangan Papa dari rumah sakit pun aku tak ingin menemui beliau.
Kegundahanku hanya kupendam sendiri. Meski ada Dayu dan Ibra, tapi aku tak ingin membebankan hal ini pada mereka. Sepertinya aku memang butuh waktu sendiri, dan Ibra dengan senang hati memberikannya. Pria itu mengurus segala persiapan pesta pernikahan seorang diri. Beruntung segala berkas dan kelengkapan pernikahan sudah ditangani lebih dulu. Jadi aku hanya tinggal menunggu waktunya saja.
Waktu sendiri seperti ini kugunakan untuk mengunjungi Mama. Beberapa hari ini aku selalu ke makam. Mencurahkan segala kesedihanku pada Mama. Juga berdoa untuk Mama agar mendapatkan tempat yang lapang dan ketenangan di alam sana.
“Aku pamit, ya, Ma? Besok aku pasti datang lagi. Assalamualaikum, Ma.”
Saat berbalik, tubuhku langsung membeku. Beberapa meter di depanku sudah berdiri Papa. Beliau pun bereaksi yang sama sepertiku. Tapi kemudian, Papa melangkah perlahan, menghapus jarak antara kami.
“Apa kabar, Danika? Sudah mau pulang?” tanya Papa yang tak kujawab.
Papa membawa sebuket mawar merah, meletakkannya di sisi pusara Mama,kemudian berdoa. Selama Papa melakukan hal tersebut, aku hanya berdiri terpaku.
“Apa kabar, Ma? Kamu sudah tahu pasti kan kalau Danika, anak kita, mau menikah. Rasanya begitu cepat berlalu.
Seperti baru kemarin Danika masih kuajari naik sepeda. Masih kuajari berenang setiap akhir pekan. Bahkan masih seperti baru kemarin saat kita menghabiskan waktu piknik bersama. Sekarang, anak ini sudah man jadi istri saja,” celoteh Papa panjang lebar. Selama itu aku masih tetap diam.
“Ma, Papa minta maaf. Maafkan semua kesalahan Papa yang sudah mengecewakan Mama semasa masih hidup. Dan tolong, maafkan Papa juga karena tidak bisa jadi Ayah yang baik untuk Danika. Mungkin saat ini Papa sedang mendapatkan balasan karena sudah menelantarkan Danika. Sebelum Papa benar-benar melepas Danika, bisakah Mama minta putri kita untuk memaafkan Papanya?”
Tanganku terkepal. Meski terasa Papa benar-benar tulus meminta maaf, tapi tetap saja aku belum bisa menerimanya dengan sepenuh hati.
“Papa tahu, selama ini Mama sudah menjadi istri dan Ibu yang baik bagi kami. Maafkan Papa, semoga Mama tenang di alam sana. Dan nanti tiba saatnya Papa menyusul di sana, semoga Mama bersedia menunggu dan menyambut Papa ...”
Aku berusaha untuk menulikan pendengaran, tapi seperti tak bisa karena isakan terdengar jelas di telingaku. Dan saat kupalingkan wajah, terlihat Papa menunduk dengan bahu bergetar.
Papa adalah lelaki kuat yang pernah kukenal selama hidupku. Beliau tak pernah menangis. Bahkan tidak saat kepergian Mama. Tapi saat ini, kulihat dengan jelas bahwa Papa sedang menangis. Mungkin menangisi sikap dan dosanya. Entah mengapa saat ini kulihat Papa begitu rapuh. Pernikahan yang dibangunny a bersama Tante Indri seolah mendapatkan balasan karma dari kecurangan mereka karena tak beqalan dengan baik. Tapi
***
“Kenapa Papa nggak pernah berusaha menemuiku satu kali pun selama empat tahun ini?” tanyaku tiba-tiba.
Papa berusaha menghentikan isaknya. Menyapu sudut matanya yang berair dengan telapak tangan. “Papa takut,”
jawabnya lirih.
“Takut? Hanya bertemu denganku saja ... Papa merasa takut?”
“Rasa bersalah dan berdosa bisa menjadikan manusia paling kuat pun merasakan ketakuan, Danika.”
“Apa susahnya datang dan minta maaf. Akui kesalahan Papa.”
Papa diam tak menjawab. Aku menggeram dalam hati. Apa gengsi dan harga diri membuat manusia begitu merasa tinggi untuk sekadar meminta maaf? Ketakutan apa yang bisa membuat seorang manusia dewasa tak berani mengucapkan kata maaf kepada orang lain. Urusan maaf diterima atau tidak, biar menjadi ketentuan Tuhan.
“Terlalu banyak Iuka yang Papa torehkan. Aku berpikir untuk mencoba memaafkan Papa. Tidak, untuk Mama, aku akan memaafkan Papa. Tapi... hubungan kita nggak akan bisa balik lagi seperti dulu, kan. Biar Papa menjalani hidup Papa. Begitu juga denganku. Kita serahkan pada Tuhan, semoga memberi kita waktu untuk saling memperbaiki diri. Semoga di masa depan, kita bisa menerima satu sama lain lagi. Papa tetap Papaku. Tapi hubungan kita sebagai Ayah dan anak saat ini, hanya sebatas darah. Entah butuh waktu berapa lama lagi sampai aku benar-benar bisa memaafkan Papa dan menyembuhkan Iuka. Aku harap Papa bisa mengerti itu.”
Usai mengungkapkan keputusan, aku meninggalkan Papa. Tak lega sepenuhnya, tapi aku merasa saat ini, itulah
jalan terbaik untuk kami. Biarkan tangan Tuhan bekeija melalui waktu agar kami bisa menyembuhkan Iuka masing- masing.
Dibanding pulang ke rumah, aku memilih untuk ke Sushi Me. Para rekan keija di sana begitu terkejut saat melihat kehadiranku. Karena seperti yang mereka tahu, aku sudah tak perlu bekeija lagi karena akan menikah dengan pemiliknya. Memang belum resmi mengundurkan diri, tapi aku tak peduli. Saat ini aku butuh berkegiatan untuk mengalihkan pikiranku. Dan seperti kebanyakan hubungan dengan koneksi lainnya, tak ada yang protes saat aku meminta untuk membantu di sana.
Ibra yang barn kembali ke Sushi Me tampak terkejut melihatku tengah melayani tamu. Tapi pria itu membiarkan dan lebih memilih kembali ke ruang keijanya. Aku bekerja sampai jam terakhir di Sushi Me. Bahkan ketika semua pekeija sudah menyelesaikan tugasnya dan kembali ke rumah masing-masing, aku masih berdiam di ruang ganti dengan seragam Sushi Me. Memainkan kakiku sambil menghela napas berulang kali.
“Kenapa masih di situ?” suara Ibra mengagetkanku. “Jam kerja sudah selesai. Kenapa belum ganti pakaian?”
Aku tak menjawab, hanya memandangi wajah pria itu. Ibra menggeleng pelan kemudian beijalan menghampiriku.
“Ada yang mengganggu pikiran kamu hari ini?”
Selalu tepat sasaran. Aku kadang heran, seberapa kenal pria itu terhadap diriku—yang kadang aku sendiri tak mengerti diri sendiri. Tapi Ibra seolah bisa membacaku dengan gamblang. Kapan aku bahagia, atau kapan aku merasa terganggu akan sesuatu.
“Aku ketemu Papa di makam,” ucapku akhirnya.
Seperti kebiasan Ibra biasanya, ia tak menuntutku menjelaskan lebih lanjut. Hanya diam menungguku yang bercerita dengan sukarela. Kemudian mengalirlah semua ceritaku tentang Papa. Kejadian di rumah sakit yang membuatku menangis. Kemudian bagaimana aku akhirnya memutuskan untuk menjalani hidup kami masing-masing seperti yang kuutarakan di makam Mama tadi.
“Aku jahat, ya? Mana ada anak yang memutuskan hubungan dengan orang tuanya,” ujarku selesai bercerita.
“Tidak. Kamu tidak benar-benar memutuskan hubungan Ayah dan anak. Bahkan itu pilihan terbaik. Kamu hanya memberi waktu bagi kalian berdua untuk saling menyembuhkan.”
“Begitu?”
“Hem.”
Jeda menguasai kami. Aku dan Ibra masih sama-sama diam. Menikmati kesunyian malam dengan pikiran masing- masing.
“Sudah makan malam?” tanya Ibra tiba-tiba.
Aku menolehkan wajah padanya. “Sudah. Kamu?” “Sudah. Saya pikir karena terlalu banyak pikiran, kamu
jadi lupa makam malam.”
Keheningan kembali melanda kami. Entah sudah berapa lama kami duduk diam di ruang ganti. Sampai tiba-tiba saja Ibra menggenggam jemariku. Membuatku menatap heran padanya dan mata kami saling mengunci. Tanpa kuduga, Ibra melayangkan kecupan ringan di dahiku, membuatku membeku seketika. Ini kedua kalinya pria itu menciumku. Meski lagi-lagi hanya sentuhan ringan seperti sebelumnya. Tapi tetap saja, apa yang Ibra lakukan mampu mengobrak- abrik kondisi di jantungku.
“Maaf...” ucap Ibra setelahnya. “Harusnya saya bisa menahan diri sampai kita resmi menikah.”
Wajah Ibra memerah, mungkin malu. Kepala pria itu lalu menunduk meski tanpa melepaskan tautan jemari kami. Aku yang tadinya begitu terkejut, seketika ingin tertawa. Sopan sekali. Setelah menciumku, justru meminta maaf. Tanpa sadar, kekehan kecilku keluar, membuat Ibra kembali menatapku.
“Kenapa tertawa?” tanyanya bingung.
Aku menggelengkan kepala. Tapi masih tak bisa menahan senyum. Sayang aku tak bisa menahan rasa geliku lebih lama. Hingga tawaku perlahan keluar tanpa bisa kutahan. Genggaman tangan Ibra kian mengerat.
“Ini pertama kalinya saya lihat kamu tertawa lepas.” Kalimat Ibra menghentikan tawaku. Pikiranku mencoba
mencerna kembali ucapannya. Aku langsung tersadar. Benar, ini pertama kalinya aku tertawa lepas di depan Ibra. Selama ini tawaku hanya kuperlihatkan di depan Dayu. Itu pun tak pernah selepas ini. Tanpa beban. Sudah selama apa aku tak tertawa lepas seperti ini?
“Terima kasih.”
Ibra mengernyit bingung. “Untuk apa?”
“Karena membuatku tertawa lagi.”
Ibra menepuk pelan puncak kepalaku dengan tangan satunya lagi. “Teruslah tertawa seperti ini. Bahkan di saat paling terpuruk, kamu harus bisa tertawa, meski hanya untuk menertawakan diri sendiri.”
Setelah mengucapkan kalimat itu, Ibra menarik tanganku. Mengajakku kembali pulang. Sudah terlalu lama kami berada di restoran yang sudah sepi. Selama peijalanan pulang, tak henti Ibra bertanya padaku tentang masa kecil dan masa remajaku. Apa yang kusuka, apa yang paling kubenci. Semua. la ingin tahu bagaimana aku sampai pribadi terdalamku. Meski aku belum berani memulai hal yang sama seperti yang Ibra lakukan, tapi pria itu tak mempermasalahkannya. la bilang, semua bisa dilakukan pelan-pelan. Saat kami sudah hidup bersama nanti.
Lepas salat magrib, keluarga besar Ibra sudah berkumpul di masjid yang sudah kami tunjuk sebagai tempat berlangsungnya ijab kabul. Tak ada prosesi siraman bagiku. Hanya pengajian yang keluarga Ibra lakukan sehari sebelum hari akad. Kakek dan Nenek Ibra dari pihak Ayah dan Ibunya sudah berpulang ke Yang Maha Kuasa. Karena itu hanya ada orang tua Ibra dan kerabat yang bisa menghadiri. Kakak perempuan Ibra yang baru kutemui hari ini pun hadir bersama keluarga kecilnya. Dikarenakan ia yang tinggal di kota yang berbeda dengan keluarganya. Meski baru bertemu, tapi sambutan wanita itu terhadapku sama hangatnya dengan kedua orang tua mereka.
Dari pihak keluargaku sendiri, ada beberapa kerabat dari pihak Papa dan Mama. Meski mereka tak bisa hadir seluruhnya, aku tak ambil pusing. Mungkin mereka memang memiliki kesibukan masing-masing. Hanya saja mereka sudah menitipkan doa restunya untukku. Papa sendiri hadir hanya didampingi Haninda. Tak ada Tante Indri. Mungkin memang hubungan mereka sedang benar-benar memburuk.
Tibalah saat yang paling mendebarkan dalam hidupku.Aku ditemani Dayu dan Kakak perempuan Ibra duduk di sudut masjid. Sedang pria itu sudah duduk tegak di depan penghulu yang akan menikahkan kami. Didampingi orang tuanya dan Papa. Selama prosesi ijab kabul, entah mengapa aku memilih untuk menunduk dan menutup mataku. Mencari kekuatan dengan memikirkan dan membayangkan saat ini, sosok Mamalah yang mendampingiku. Sampai ketika kudengar seruan hamdalah dan takbir menggema, akhirnya berani membuka mata dan menatap sekeliling.
Tubuhku kaku, tak percaya jika kini aku sudah menyandang status sebagai istri. Rasanya baru kemarin aku menikmati hari-hari bahagiaku sebagai anak-anak. Bermain dan berlarian dengan teman-temanku. Kini, hidup baru sebagai seorang istri terasa membentang nyata di depan mataku.
Yasmin, kakak Ibra, dan Dayu mengiringiku untuk duduk berdampingan dengan Ibra. Prosesi sesudahnya kulakukan dengan isi kepala yang masih berantakan. Tapi beruntung aku bisa menandatangani berkas pernikahan dan penyematan cincin dengan lancar. Kemudian dilanjutkan dengan prosesi meminta izin dan restu pada kedua orang tua. Saat prosesi itu berlangsung, tak ada perasaan apa pun yang kurasakan terhadap Papa. Tak ada isak dan tangis haru. Kulakukan semua seperti biasa. Kerasnya hatiku belum mampu diluluhkan dengan mata memerah dan getar suara milik Papa saat melepasku.
“Selamat, Danika...” Dayu memelukku erat, yang kubalas dengan tak kalah erat. Bahkan tanpa bisa dicegah, kami berdua menangis bersama. “Baik-baik, ya, jadi istri. Sekarang kamu nggak akan sendiri lagi. Ada Ibra yang akan jadi penopang. Ada Ibra yang akan selalu menghapus tangismu. Kalau sampai dia yang justru bikin kamu nangis, aku yang bakal hajar dia.”
Aku tertawa disela isakanku. “Kamu juga, Yu. Makasih untuk waktu-waktu yang kita habiskan berdua. Makasih untuk selalu jadi sahabat terbaikku. Jadi yang selalu ada di sisiku seberat apa pun hidup yang kita jalani. Makasih, Handayuku...”
Setelah segala prosesi akad selesai, kami siap berpindah ke Sushi Me. Di mana resepsi sederhana kami digelar. Sebelum beranjak ke Sushi Me, aku dan Ibra terlebih dahulu berganti pakaian di rumahku yang sederhana. Dibantu Yasmin dan Dayu. Sementara yang lain lebih dulu bergerak ke lokasi pesta.
Ketika melangkah memasuki Sushi Me, aku dibuat takjub dengan penataannya. Sushi Me disulap menjadi ruang pesta yang menakjubkan. Bahkan ketika aku dan Ibra melangkah bersama, tebaran confetti dan ucapan selamat memeriahkan ruangan. Wajah-wajah para pekerja Sushi Me terlihat bersemangat menyambut kami. Begitu juga tamu undangan yang sebagian besarnya adalah kerabat dan kolega orang tua Ibra.
“Selamat menempuh hidup barn untuk Pak Ibra dan Danika...”
Anwar, selaku Manajer Sushi Me, menyerahkan pisau pada kami. Aku yang masih bingung dibawa melangkah bersama Ibra dan Anwar ke tengah ruangan. Di mana sebuah kue pernikahan yang ukurannya cukup besar siap untuk dipotong.
“Aku nggak pernah mimpi untuk motong kue pernikahan,” ucapku sambil menahan tawa.
Memang benar, sejak kecil aku tak terlalu bersemangat dengan selebrasi ulang tahun dan potong kue. Setiap kali berulang tahun, Mama dan Papa yang merencanakannya. Aku hanya mengikuti tanpa benar-benar menikmati. Tapi kali ini, aku harus menikmatinya—karena ini hariku.
“Maka biarkan ini jadi yang pertama dan terakhir kali kamu melakukannya,” balas Ibra yang sudah memegang tanganku dan menggerakannya memotong kue tersebut.
Riuh rendah tamu kembali menggema. Terlebih saat aku dan Ibra saling menyuapkan kue ke mulut masing-masing. Berganti dengan kami yang menyuapkan potongan kue pada orang-orang yang disayangi. Aku, tentu saja menyuapkannya pada Dayu. Selain sebagai sahabat, dia adalah saudara perempuan bagiku.
Acara dilanjutkan dengan beberapa kata sambutan dan ucapan dari rekan dan keluarga. Kemudian dilanjutkan dengan prosesi hiburan yang sudah disiapkan. Kami semua berdansa dan tertawa. Larut dalam kebahagiaan malam ini. Meski begitu ada yang sedikit hilang dalam perayaan kali ini.
Sejak awal aku tiba di Sushi Me, tak ada sosok Papa terlihat. Hanya Haninda yang berbaur dengan orang-orang yang mungkin barn dikenalnya.
“Mencari Papamu?” bisik Ibra saat kami masih larut di lantai dansa. Aku mengangguk. “Mungkin beliau tidak ingin merusak suasana hatimu.”
“Hem...” gumamku. Berusaha mengalihkan perhatian kembali ke sekeliling.
“Jangan khawatir, seperti yang kamu katakan, akan ada waktu kalian untuk saling menerima kembali.”
“Hah?”
Tanpa kuduga, Ibra mencium bibirku, membuatku kembali terpaku. Mataku seakan terpaku hanya pada matanya. Tak peduli jika saat ini seluruh mata memandang pada kami.
“Sekarang sudah boleh, kan?” tanyanya.
Aku tak tahu harus menjawab apa. Hanya anggukan kecil yang kuberikan, membuat pria itu kembali menciumku. Kali ini lebih lama. Terdengar riuh sorakan dari seluruh penjuru ruangan. Tapi aku mencoba untuk tak peduli. Lebih memilih menikmati ciuman kami yang pertama. Biarkan ini menjadi momen bagi kami. Karena hari ini, akulah Ratunya.
Belajar Saling Melengkapi
Bangun pagi dengan seorang pria di sampingku adalah hal yang cukup asing. Di awal pernikahan, aku masih belum terbiasa. Selalu berusaha menahan pekik kala membuka mata dan mendapati Ibra terlelap di sisiku. Tapi sebulan waktu pernikahan beijalan, aku sudah terbiasa. Tak lagi berusaha memekik di pagi hari saat Ibra memeluk atau mendekatkan wajahnya padaku.
Istri. Satu kata yang tak pernah terpikirkan akan kusandang di usia yang cukup muda. Predikat yang dulu setiap kupikirkan adalah sebuah pekeijaan yang berat. Di mana aku tak hanya bertanggung jawab pada diri sendiri, tapi juga pada orang lain yang kupanggil dengan sebutan suami. Tapi, membayangkan sosok Ibra sebagai suami tak sulit. Pria itu begitu kooperatif dalam rumah tangga. Mau berbagi tugas. Sama-sama belajar bagi kami berdua yang masih baru sebagai pasangan. Ibra setelah dan sebelum menikah tetap sama. Tak ada yang berubah dari pria baik hati itu. Kecuali perhatiannya yang makin melimpah. Ah, dan juga keberaniannya dalam melakukan sentuhan, tentunya. Namun, semua kontak fisik yang dilakukan Ibra tak seenaknya diumbar di hadapan orang lain. Di depan umum, Ibra hanya akan menggandeng atau menggenggam tanganku. Kalaupun rangkulan, sebatas yang diperlukan.
Setelah menikah, otomatis aku tak lagi bekerja. Meski begitu Ibra tak melarangku untuk berkegiatan di Sushi Me. Setiap kali aku datang ke sana, maka aku tak ingin hanya duduk diam dan bersantai. Sesekali aku membantu pekerjaan pramusaji lainnya. Ada rasa segan bagi mereka saat aku ikut serta bekeija karena tahu aku adalah istri pemilik restoran itu.
Tapi selalu kukatakan, Ibra tak akan mempermasalahkannya karena aku hanya sekadar mengisi waktu jika berkunjung ke Sushi Me.
“Sudah selesai?” Ibra mengejutkanku yang sedang berada di dapur Sushi Me.
“Kapan datang?”
Sejak mengantarkanku ke Sushi Me, Ibra memang berpamitan untuk bertemu salah satu rekan bisnisnya. la ingin melebarkan usaha restoran. Jadi sedang gencar mencari rekan bisnis untuk diajak kerja sama.
“Sepuluh menit lalu.”
Aku mengangguk. Menyadari ternyata suasan dapur seketika sepi. Mungkin karena kedatangan Ibra membuat para pekerja merasa canggung dan menyingkir dari area dapur.
“Sudah makan siang?” tanyaku, pria itu menggelengkan kepala. “Mau aku buatin?”
Kali ini Ibra tersenyum. “Ayam bakar,” pintanya.
“Oke, Bos! Sekarang Bapak tunggu saja di ruang kerja. Kasihan pekerja lain, nggak leluasa kalau ada Pak Ibra,” ejekku.
Ibra hanya tertawa menanggapi guyonanku. Pria itu kemudian menyingkir dari area dapur. Beberapa pekerja akhirnya berani kembali menginjakkan kaki. Beberapa dari mereka mencuri pandang ke arahku yang sedang mempersiapkan beberapa bahan untuk makan siang pesanan Ibra.
“Pak Ibra baik banget, ya, Bu, jadi suami. Kayaknya sayang banget sama Bu Danika,” celetuk salah satu personil dapur.
Aku menghela napas. Sudah berulang kali kukatakan untuk tak memanggilku dengan embel-embel ‘Bu’. Aku tak setua itu. Tapi bukan karena usia, hanya saja aku merasa aneh setiap kali dipanggil begitu. Alasan mereka jika kutegur: karena kini aku adalah istri pemilik tempat itu. Bosan menegur, akhirnya kubiarkan saja mereka memanggil begitu padaku. Hanya beberapa rekan yang seumuran dan mungkin sudah lama bekeija bersamaku yang menurut untuk memanggil namaku saja.
“Semua orang baik, kok. Tergantung amal ibadah,” candaku yang dibalas tawa ringan dari mereka.
Kufokuskan kembali perhatianku pada masakan yang akan kukeijakan. Tak sampai satu jam, hidangan ay am bakar dan sayur tumisan yang kubuat untuk Ibra sudah siap dinikmati. Tak lupa kusediakan sambal kecap untuk melengkapi menu ayam panggangnya.
“Mau diantar ke Pak Ibra?” Anwar bertanya sambil lalu saat melihatku beijalan ke arah ruangan Ibra dengan nampan hidangan.
“lya”
“Sekarang jadi pramusaji pribadi owner, ya, Nika?” ledek Anwar.
Aku tertawa sambil menggelengkan kepala pelan. Tak habis pikir dengan lelucon ala Anwar. Satu hal yang kusadari sejak menikah dengan Ibra, aku lebih gampang mengeluarkan tawa. Meski hanya tawa ringan. Tapi perubahan itu membuat para pegawai Sushi Me yang kukenal sejak awal bekerja di restoran ini ikut senang dengan perubahanku. Mereka bilang Danika yang sekarang jauh lebih hidup. Bukan Danika yang tertutup dan bersembunyi dalam ruang sepi. Kadang apa yang mereka katakan saat ini membuatku kembali memutar ulang bagaimana diriku dulu. Dan harus kuakui, ya, Danika yang dulu begitu suram. Terima kasih pada Tuhan karena mengirimkan Ibra padaku.
Agak kesulitan mengetuk pintu, tapi ternyata Ibra sudah membukanya. Pria itu berusaha mengambil alih nampan, namun aku menolak. Ini tugasku, jadi tak akan kubiarkan Ibra menggantikannya. Sudah cukup segala kebaikan pria itu padaku selama ini. Sekarang waktunya aku berbakti pada Ibra. Sebagai istrinya.
“Sedang apa?” tanyaku ketika Ibra selesai menutup pintu dan menyusulku ke sofa.
“Menyelesaikan laporan.”
“Gimana hasil pertemuan dengan calon partner-nya? ” Selagi Ibra duduk, aku membantu menyiapkan makan siangnya.
“Alhamdulillah, lancar. Tinggal cari lokasi dan nego harga.”
Ibra makan dengan tenang. Sebelumnya ia menawarkan padaku untuk makan bersama, tapi aku menolak. Mengatakan sudah memakan beberapa sushi dan camilan selagi membantu di dapur tadi. Meski tak merasa lapar, entah mengapa akhir- akhir ini aku suka tiap kali melihat Ibra makan. Kadang Ibra sampai bingung mengapa aku suka memperhatikan dirinya yang sedang makan.
“Benar, nggak mau ikut makan?” tawarnya lagi. Aku kembali menggeleng.
“Aku suka lihat kamu makan,” jawabku spontan. Lagi- lagi pria itu hanya menggeleng pelan. “Ayam bakarnya harus dihabisin, ya,” pintaku kemudian.
“Porsinya terlalu banyak, Danika.”
Aku memang memasak porsi untuk dua orang. Padahal hanya Ibra yang akan makan. Tapi aku ingin saja. Tak tahu kenapa.
“Habisin dong. Jangan buang-buang makanan.”
“lya. Tapi dihabiskan nanti saja, ya. Mungkin bisa disimpan untuk makan malam nanti.”
Entah mengapa mendengar Ibra menolak permintaanku, membuatku seketika ingin menangis. Atau bahkan aku sudah terisak pelan. Padahal biasanya aku tak mempermasalahkan makanan yang harus dihabiskan kapan pun oleh Ibra.
“Hei, kenapa menangis?” Ibra berusaha menenangkanku. Pria itu mengusap pipiku yang mulai basah dengan tangan kirinya yang bersih dari noda makanan.
“Kamu nggak mau habisin masakanku...” isakku.
Ibra terperangah. la menatapku dengan raut super bingung. Jangankan Ibra, aku pun seakan tak mengerti dengan diri sendiri saat ini. Seolah bukan aku. Tak pernah aku
jadi perempuan sedramatis ini. Hanya karena hal kecil aku sampai harus menangis.
“Danika, kamu kenapa?” tanya Ibra lagi.
Aku menggeleng tak mengerti. “Aku cuma mau kamu habisin makanannya.”
Kembali Ibra menatapku dengan bingung. Dahi pria itu sampai mengerut dalam. Sejurus kemudian Ibra seperti hendak berkata, tapi pria itu mengurungkan niatnya.
“Oke, say a habiskan. Ay am bakarnya saja, kan?” tanyanya.
Aku mengangguk dengan bersemangat. Membuat Ibra kembali melepas tawa. la kembali mencoba menghabiskan ayam bakar buatanku. Meski agak terlihat kepayahan, mungkin karena perutnya sudah merasa cukup, tapi pria itu berusaha untuk menuruti keinginanku. Sampai beberapa saat kemudian Ibra berhasil menghabiskan ayam bakar dua porsi miliknya. Pria itu terlihat begitu kekenyangan sampai menyandarkan tubuhnya di punggung sofa.
“Senang?” tanyanya dengan suara yang agak tersendat. Efek kekenyangan mungkin.
“lya,” jawabku lebih bersemangat.
Aku puas sekali menyaksikan Ibra menghabiskan dan menghargai jerih payahku. Meski setiap kali pria itu tak pernah sekali pun mengeluh perihal apa pun padaku. Tapi untuk kali ini, aku begitu bahagia. Kepuasan yang kudapat lebih dari biasanya.
“Aku antar ini ke dapur dulu, ya,” ucapku sembari membereskan sisa makan siang Ibra. Tetapi, Ibra menahan pergelanganku. “Kenapa?”
“Minta yang lain, ya? Kamu di sini saja,” pintanya. “Kenapa?”
“Minta yang lain, ya?”
Aku tak mengerti, tapi menurut juga pada apa yang diperintahkan Ibra. Memanggil seorang pramusaji dan meminta tolong padanya untuk membawakan nampan berisi bekas makan siang Ibra ke dapur. Setelah mengucapkan terima kasih pada pramusaji yang membawakan nampan tersebut, aku kembali menyusul Ibra di sofa.
“Sini.” Ibra menepuk sisi sofa sebelahnya. Kembali aku menurut dan mendudukkan diri di
sampingnya. Tanpa kuduga, Ibra memelukku erat. Saat aku berusaha melepas, Ibra menahannya.
“Biar begini dulu,” gumamnya.
Aku bisa merasakan pria itu menghirup aroma rambutku—karena wajahnya yang berada di sisi samping kepalaku. Tangan Ibra bergerak mengelus punggungku. Membuatku bingung, tapi juga menikmati perlakuannya.
“Nanti kita cek, ya?”
Dahiku mengernyit. Aku ingin menjauhkan tubuh kami. Tapi lagi-lagi Ibra menahan gerakanku.
“Cek? Cek apa?” tanyaku setelah menyerah mencoba lepas dari rengkuhan Ibra.
“Cek ke dokter kandungan.”
Kali ini refleks aku mendorong tubuh Ibra. Beruntung ia juga mengendurkan rengkuhannya. Aku menatap bingung.
Cek? Dokter kandungan? Untuk...
Tiba-tiba mataku mengeijap. Mulutku bahkan separuh terbuka saat satu pemikiran berhasil kucerna. Ibra yang melihat ekspresiku seperti itu, tak bisa menahan rasa gelinya. la menarik wajahku dan melayangkan satu kecupan ke pipiku.
“Masa, sih?” tanyaku ragu.
“Enggak ada yang mustahil, Danika. Tapi, ya, hanya untuk memastikan, kita ke dokter kandungan, ya?”
“Tapi, aku....” Sedikit menjeda. “Gimana kalau hasilnya negatif?”
“Berpikir baik sama Allah. Apa pun hasilnya kita terima. Kalau memang belum, berarti memang belum waktunya. Dan kita masih bisa berusaha.”
“Kamu... nggak masalah?”
“Tidak sama sekali.”
Ibra menarikku kembali ke rengkuhannya. Dengan posisi tubuh Ibra yang bersandar kembali ke punggung sofa dan aku yang bersandar pada tubuhnya. Pelukan Ibra nyaman. Senyaman usapan lembutnya di kepalaku. Aroma tubuh Ibra pun mampu membuatku terbuai. Mengantarkanku ke alam mimpi.
“Terima kasih,” gumamku dengan kesadaran yang sayup menipis.
“Sama-sama.”
Kecupan lembut di puncak kepala adalah yang terakhir kurasakan. Sebelum aku benar-benar terlelap dalam kantukku. Aku ingin bertemu Mama di alam mimpi. Memberitahukan padanya, bahwa aku menikmati kebahagian dalam hidupku. Semua tak lepas dari peran seorang pria yang kini mendekapku erat dalam perlindungannya.
Makan malam kali ini dilaksanakan di kediaman orang tua Ibra. Meski ada rasa enggan bagiku, tapi demi agenda yang sudah aku dan Ibra rencanakan, aku harus menurunkan egoku sejenak. Terutama saat berhadapan dengan Tante Mala dan putri sulungnya. Untuk si bungsu sudah tak ambil pusing dengan diterimanya aku atau tidak oleh Ibu dan Kakaknya.
Selain keluarga inti Ibra, kedatangan Yasmin juga mampu membuatku perasaanku sedikit teijaga saat menginjakkan kaki di rumah itu. Kakak perempuan Ibra dan keluarga kecilnya sedang berlibur di sini. Karena itu, mereka menginap di rumah keluarga Arrauf.
“Makan malam sudah siap dinikmati. Ayo, ke ruang makan semua!” Tante Amida, yang sekarang kupanggil Mama, memanggil kami semua.
Aku dan Ibra yang sedang bermain bersama putra Yasmin, langsung beranjak. Namun saat akan menggendong Zayyan untuk membawanya ke ruang makan, Ibra menahan gerakanku. Pria itu mengambil alih Zayyan dariku. Aku tahu ia khawatir, karena itu aku tak membantah. Di ruang makan sudah duduk semua orang. Bahkan Bintang dan Tante Mala yang tak pernah lepas memasang wajah penuh penolakan padaku.
“Sebelum makan malam dimulai, ada yang ingin Ibra sampaikaan lebih dulu.”
Ibra mulai bicara, membuat perhatian seisi ruang makan kini teralih padanya. Yasmin yang seperti bisa menebak apa yang ingin Adiknya sampaikan, sudah mengulum senyum.
“Berita apa?” tanya Mama Amida penasaran. “InsyaAllah, sebentar lagi kita punya anggota keluarga
baru.” Nada bahagia tak dapat disembunyikan Ibra.
Mereka sudah dapat menebak siap anggota baru yang akan mewarnai rumah ini. Karena itu, Mama dan Yasmin sudah bergerak untuk memelukku. Mengucapkan selamat dan doa agar kandunganku baik-baik saja. Papa Ibra pun turut mengungkapkan rasa bahagianya dengan pelukan. Hanya anggota Tante Mala saja yang tak ikut serta dalam kebahagian kecil kami. Tapi itu memang tak masalah. Aku juga tak mengharapkan mereka berbahagia menyambut kehadiran anggota baru kami. Cukup mereka menjaga jarak dan sikap saja dariku.
“Nah, kalau begitu makan malam ini bisa kita kategorikan sebagai syukuran kecil untuk menyambut anggota baru kita, ya?” ucap Papa Zahid kemudian.
“Zayyan bakal punya teman main nanti.” Yasmin berucap pada putra kecilnya yang masih berada dalam gendongan Ibra.
Makan malam berlangsung cukup kondusif. Tanpa ada sindiran atau ajakan perang mulut dari Tante Mala dan Bintang. Mungkin karena memang Mama dan Papa Ibra sudah mengingatkan mereka. Untuk malam ini pun aku dan Ibra sengaja menginap di kediaman orang tuanya. Semua itu karena permintaan Mamanya yang ingin merasakan semua orang berkumpul di rumah.
Kami tak sering menginap di rumah keluarga Ibra. Hanya sesekali. Saat pertama kali aku menginap di rumah ini, aku sempat tak percaya saat melihat kamar Ibra. Tak seperti bayanganku bahwa kamar pria itu akan sangat sederhana. Nyatanya kamar Ibra cukup ramai dengan dominasi koleksi miniatur miliknya. Sebuah lemari kaca cukup besar digunakan Ibra untuk menyimpan barang-barang koleksinya. Pria itu menyukai hal random berbau makanan. Ada berbagai gelas tumbler dari banyak negara, mangkuk, piring saji unik, bahkan miniatur berbagai makanan dari berbagai bahan baik itu akrilik, resin, atau clay. Memasuki kamar Ibra untuk pertama kali benar-benar membuatku takjub.
“Mau ke mana?” tanyaku kala melihat Ibra akan keluar kamar.
“Bikin susu buat kamu.”
“Ikut.”
Ibra tertawa melihatku yang bergerak riang ke arahnya. Aku tak ingin mendengar omongan-omongan tak menentu dari Tante Mala jika melihat Ibra membuatkan susu kehamilan untukku. Dengan membawa kantong berisi kotak susu milikku, Ibra menggandengku menuju dapur. Saat melintasi ruang keluarga, masih ada keluarga Tante Mala yang sedang menyaksikan tayangan televisi. Ibra hanya menyapa mereka sekilas—meski tak dibalas sama sekali.
“Kenapa sih Tante Mala sama Bintang harus begitu? Mereka boleh musuhin aku, tapi kamu kan keponakannya,” gumamku,sambil menunggu Ibra yang sedang mengaduk susu.
“Biarkan saja. Jangan dipikirkan. Mulai saat ini cukupfokus sama kesehatan dan kandunganmu, mengerti?”
Huh, aku menghela napas pelan. “Tapi tetap aja aku nggak habis pikir.”
Ibra menyerahkan segelas susu hangat padaku. “Jangan dipikirkan. Saya nggak mau kamu dan calon anak kita kenapa- napa. Selama kehamilan ini, Ibunya harus selalu sehat dan bahagia. Dan sebagai calon Ayah, saya akan pastikan itu.”
Mataku terus menatap ke arah Ibra selama menghabiskan susu. Sedang pria itu terus berdiri di sampingku. Mengelus puncak kepalaku selagi aku minum. Persis seperti Ayah yang memastikan anak perempuannya menghabiskan susunya. Gelas yang sudah kosong tadinya akan kubawa ke wastafel untuk dicuci, tapi lagi-lagi Ibra mengambil alih tugas itu dariku. Tanpa peduli dengan gerutuan yang keluar dari bibirku, Ibra sudah berdiri di depan wastafel, mencuci gelasnya.
Aku hanya bisa menatap takjub pada punggung Ibra yang terlihat kokoh. Tanpa kusadari, kakiku melangkah mendekat padanya. Menempelkan sebelah wajahku di punggungnya dengan tangan yang melingkar erat di pinggang. Tubuh Ibra sempat tersentak, mungkin terkejut atas aksi beraniku, tapi kemudian ia merileks. Membiarkan aku menempel layaknya koala di punggungnya.
“Terima kasih, Ayah,” bisikku.
Tak lama Ibra berbalik. Berganti ia yang memelukku. “Sama-sama. Yang penting kamu bahagia, ya.”
Aku mengangguk. Menyembunyikan wajah di dada bidang Ibra. Sedang ia sendiri kurasakan menghirup aroma dari rambutku. Entah untuk berapa lama kami berada dalam posisi begitu sampai suara dehaman seseorang menyadarkan.
“Kalau man mesra-mesraan jangan di dapur, dong.” Yasmin sudah muncul di dapur dengan wajah menggoda. Aku yang tak tahan kembali menyembunyikan wajah di dada Ibra.
“Jangan digodain, Mbak. Tahu sendiri kan hormon Ibu hamil seperti apa?”
Kucubit pinggang Ibra membuat ia sedikit menjengit. Tapi Kedua bersaudara itu malah menertawakan aku yang sedang bersembunyi karena main.
“Enggak apa-apa kok, Nika. Suami sendiri, kan,” ucap Yasmin akhirnya.
“Mau ngapain, Mbak?” tanyaku akhirnya, setelah tak lagi berusaha bersembunyi.
“Buat susu untuk Zayyan,” jawabnya. “Kalian sendiri ngapain?”
“Tadi buat susu juga untuk Danika.” Ibra yang menjawab.
Yasmin mengangguk. Tak lama wanita itu sudah selesai dengan kegiatannya. la bersiap kembali ke kamar. Tapi sebelum Yasmin keluar dari area dapur, ia mendekat padaku.
“Sehat terus, ya, calon keponakan Tante,” ucapnya sembari mengelus perutku yang masih belum berbentuk. Kemudian Yasmin berpamitan pada kami berdua.
“Aku senang,” gumamku setelahnya. “Banyak yang sayang dan menantikan kelahirannya.”
“Itu artinya banyak yang sayang sama Ibunya juga.”
Aku tersenyum mendengar ucapan Ibra. Ikut mengelus perutku seperti yang tadi dilakukan Yasmin. Apa pun kata kata Ibra selalu berhasil membuatku tenang. Setiap kali aku merasa terpuruk atau buruk, selalu ada Ibra yang membantu menguatkanku. Seperti yang selalu ia lakukan. Bersama Ibra, aku menyadari, pernikahan tak semenakutkan yang dulu kupikirkan. Hanya karena orang tuaku gagal, tak berarti aku juga akan mengalaminya. Semua akan berjalan baik jika setiap pasangan mau belajar saling memahami. Seperti yang aku dan Ibra lakukan. Selain berusaha memahami, kami juga belajar saling melengkapi satu sama lain.
Selain kehamilan, ada satu kabar bahagia lainnya yang akan melengkapi hidupku. Apa lagi jika bukan pernikahan Dayu. Sahabatku itu akhirnya melabuhkan pilihannya pada Damar. Mantan atasan yang berhasill memorak-porandakan kehidupan Dayu. Pernikahan itu tak hanya menjadi kebahagian buatku. tapi juga Ginan, sepupu Dayu yang begitu menyayanginya. Dengan adanya Damar, otomatis Dayu tak akan sendiri lagi. Sama sepertiku, Dayu akan punya penopang untuk hidupnya.
Sejak pagi aku dan Ibra sudah berada di hoteltempat prosesi akad nikah sekaligus resepsi akan digelar. Hari ini aku akan menemani Dayu melewati hari bahagianya. Seperti yang ia lakukan di hari pernikahanku. Sebelum menemui Dayu di kamarnya, Ibra mengingatkanku untuk tak bergerak berlebihan. Mengingat kandunganku yang sangat harus dijaga. Calon Ayah itu memang begitu kelewat perhatian dalam memberikan perlindungan bagiku dan calon anak kami.
“Cantik banget, Yu.”
Aku benar-benar takjub pada para penata riasnya. Mereka berhasil membuat Dayu tampak berbeda. Sampai- sampai aku hampir tak percaya jika wanita cantik tersebut adalah Handayu, sahabatku yang pecicilan itu.
“Aku gugup, Ka. Rasanya nggak sanggup dan pengin kabur saja,” desahnya membuatku tertawa.
“Jangan ngaco, deh. Kemarin itu kamu yang kuatin aku. Bilang kalau semua bakal baik-baik saja, dan kali ini giliranku,” ucapku lantang. “Handayu, jangan cemas. Semua akan beijalan lancar. Percaya, deh. Berdoa dan semua akan berjalan baik-baik saja. Enggak ada yang perlu kamu takutkan. Damar sudah menjadi sosok yang kamu butuhkan. Saling percaya dan yakin, kalian pasti bisa mengarungi bahtera rumah tangga dengan baik. Sampai ajal memisahkan.” Dayu tersenyum mendengarkan petuahku. “Bismillah, Dayu. Semua pasti lancar, aman, terkendali.”
Aku dan Dayu bergenggaman erat sembari duduk di atas ranjang. Biasanya akan selalu ada ocehan di antara kami. Tapi kali ini, Handayu yang cerewet seolah menghilang. Aku tahu betapa gugupnya dia. Sampai aku pun bisa merasakan kegugupannya lewat genggaman kami. Pintu yang terbuka tiba-tiba mengejutkan aku dan Dayu. Ginan muncul dengan raut wajah yang sulit dibaca. Tiba-tiba ia merengkuh tubuh Dayu. Membuat Dayu berusaha memberontak tapi tak berhasil. Sepertinya ia membisikkan sesuatu di telinga Dayu yang tak bisa kudengar apa itu.
“Mulai saat ini, kamu sudah menjadi tanggung jawab Damar. Apa pun permasalahan dalam rumah tangga kalian nanti, selesaikan bersama Damar. Bicarakan semua dengan suami kamu. Bangun dan jaga komunikasi di antara kalian. Mengerti?” Ginan memberi nasihat yang diangguki gadis itu. la mengusap wajah Dayu yang basah karena air mata. “Jangan nangis lagi. Nanti make up kamu luntur. Muka kamu jadi
jelek,” ledek Ginan.
“Jangan ngeledekin dong Nan.”
Dayu merengut kesal, membuatku dan Ginan tertawa. Setelahnya aku dan Ginan mengiringinya menuju tempat prosesi akad dilaksanakan. Semua mata memandang ke arah sang pengantin wanita. Terlebih Damar yang seakan matanya terpaku pada Dayu yang terus menunduk menyembunyikan rasa gugup.
Akad dan resepsi digelar dalam satu waktu. Sayangnya kondisiku yang tengah hamil muda tak memungkinkan untuk berlama-lama di acara bahagia Dayu. Aku berpamitan padanya meski tak enak hati. Tapi Dayu sangat mengerti. la
juga mendoakan agar kandunganku dalam keadaan sehat sampai hari kelahiran. Karena, ia juga tak sabar untuk bertemu dengan calon keponakannya.
“Langsung mau pulang ke rumah?” tanya Ibra kala kami sedang berkendara.
“Ehm ... Sushi Me?” tanyaku.
“Kamu nggakboleh makan sushi, Danika.”
Aku cemberut. “Aku bukan mau makan sushi. Cuma mau ke Sushi Me doang.”
Ibra mengalah, pria itu memutar haluan menuju Sushi Me. Sesampai di sana, kami disambut suasana yang sudah ramai. Aku berdiri di tengah ruangan. Memperhatikan sekeliling yang tiba-tiba kurindukan. Aku rindu bergerak lincah melayani pelanggan, membawa pesanan. Bahkan saat membantu membersihkan restoran setelah bekerja.
“Kapan, ya, aku bisa bekeija lagi?” gumamku yang sepertinya didengar Ibra.
“Kamu nggak perlu bekeija lagi. Cukup mengawasi saja.” Tatapan cemberut kuberikan pada Ibr, tapi pria itu tak
ambil pusing. la hanya menarik pergelangan tanganku menuju ruang kerjanya. Bersikap layaknya atasan yang memerintah bawahan. Tapi memang, Ibra kan atasanku. Sejak dulu. Jika dulu dia adalah Bos di tempatku bekerja. Kali ini dia adalah Bos di dalam hidupku.
Menemukan Jalan Bahagia
Layaknya ibu hamil kebanyakan, aku pun mengalami perubahan hormonal yang tak biasa. Terlebih menjadi lebih manja. Sesuatu yang bukan diriku sekali. Sebentar saja aku tak melihat Ibra, maka bisa dipastikan aku akan bersedih tanpa sebab. Karena itu juga, Ibra selalu membawaku bekerja. Semua kegiatan dan pertemuan dengaan calon rekan bisnis Ibra lakukan di Sushi Me. Agar aku tak perlu lelah mengikutinya ke sana kemari.
Selain manja, satu hal yang paling membuatku selalu ingin memasak untuk Ibra. Padahal dulu sebelum menikah, mengajaknya makan saja aku takberminat. Tapi sekarang, apa pun yang Ibra makan harus dari racikan tanganku sendiri. Dunia memang terkadang lucu. Seperti bagaimana ia membolak-balik kehidupan kami. Aku yang dulunya apatis menjurus antipati terhadap Ibra, kini jadi orang yang selalu menempel padanya bagaikan lintah.
Namun dibalik semua cerita bahagia, tetap akan ada satu cerita sedih yang mewarnai hidup manusia. Jika aku mulai membangun kebahagiaanku bersama Ibra, lain halnya dengan Papa. Sejak menikah, belum pernah sekali pun Papa datang menemuiku. Mungkin karena aku juga yang seolah menutup aksesku untuk bertemu dengannya. Tapi Haninda, gadis itu masih mengambil risiko dengan datang menemuiku. Tentunya selalu di tempat yang ada dalam jangkauan Ibra. Mungkin Haninda menghindari ingin meminimalisir konflik denganku. Dengan adanya Ibra, maka ia tahu jika emosiku mendadak naik, ada seseorang yang mampu menenangkanku.
“Gimana kabar kandungan Kak Danika?” sapa Haninda saat ia kembali menemuiku di Sushi Me.
“Baik. Bayinya sehat.”
Meski aku masih enggan berhubungan terlalu sering dengan Haninda, tapi nasihat Ibra masih terns kuingat. Selama masa kehamilan, aku hams tenang dan bahagia. Anak dalam kandunganku pun harus merasakan hal yang sama dengan ibunya. Ibra juga memintaku untuk lebih ikhlas. Dalam arti, aku tak menyimpan amarah dan dendam pada siapa pun. Menurutnya bayi memiliki ikatan batin yang kuat dengan Ibunya. Kami menginginkan anak kami dilahirkan dan dicintai semua orang. Itu berarti aku, sebagai Ibunya harus lebih dulu belajar membuka hati dan menerima orang lain. Menyayangi orang lain meski orang tersebut membuatku kecewa.
Dalam hal itu, aku benar-benar berterima kasih pada kedua orang tua Ibra, la dibesarkan di keluarga yang penuh kasih sayang. Mereka benar-benar mampu mendidik Ibra menjadi pribadi yang penuh kasih dan berakhlak. Seperti yang pernah kubaca, setinggi apa pun ilmu yang dimiliki seseorang, tak akan ada gunanya jika tak dibarengi dengan akhlak yang beradab. Dan Ibra menjadi contoh nyata bagiku jika pria berilmu harus diseimbangkan dengan akhlak yang baik.
Tentu aku ingin calon anakku mengadopsi semua hal yang ada di dalam pribadi Ayahnya. Karena itu, aku selalu berusaha mengingat semua nasihat Ibra. Terutama jika sudah berhubungan dengan orang-orang di masa lalu yang memiliki konflik denganku.
“Kapan due date-nya? ” tanya Haninda lagi.
“Masih bulan depan.”
Lama kami berdiam. Aku melihat Haninda menggerak- gerakkan jemari dalam genggamannya. Kebiasaannya yang kutahu jika ingin menyampaikan sesuatu tapi masih tagu- ragu. Mendadak aku menjadi kasihan pada gadis itu. Pasti ada yang teijadi di rumah Papa.
“Ada apa?” tanyaku, nada suaraku kuturunkan lebih lembut, membuat Haninda terperanjat dan menaikkan pandangan padaku. “Bicara kalau kamu mau cerita.”
Mata Haninda berkabut. Mendadak wajahnya mendung. Aku tahu, tak lama lagi gadis itu pasti menangis. Dan benar saja, dalam hitungan detik, Haninda terisak dengan wajah menunduk.Dalam jarak sedekat ini, ada dorongan bagiku untuk merangkulnya. Tapi ada sisi juga yang seakan menahanku untuk tetap di tempatku. Sampai mataku mengedar ke sekeliling Sushi Me dan bertemu pandang dengan Ibra yang mungkin sejak tadi sudah memperhatikan kami. Pria itu berdiri di depan meja kasir. Ibra mengangguk kecil, seolah memberi kekuatan padaku untuk mengambil sikap.
Seperti mendapat kekuatan tak kasat mata, aku berpindah hingga duduk di samping Haninda. Tanganku masih ragu untuk meenyentuhnya, tapi segera kutepis dan perlahan kurangkul pundak Haninda. Tubuh gadis itu tersentak. Tapi setelah kutepuk pelan pundaknya, Haninda tiba-tiba berbalik dan memelukku erat. Tangisnya makin keras di pelukanku. Memilukan.
“Tumpahkan semua. Saat kamu merasa cukup, kamu boleh bercerita,” ucapku. Suaraku ikut bergetar. Itu artinya aku masih punya hati, kan?
Entah untuk berapa lama Haninda menumpahkan tangis di pelukanku. Seakan tak peduli dengan tatapan pengunjung lainnya. Atau mungkin semua pengunjung terlalu sering disuguhi drama di Sushi Me, hingga mereka terlalu biasa dan tak ambil pusing. Mungkin sebagian dari mereka berpikir mereka datang ke Sushi Me untuk makan. Tak peduli dengan apa yang terjadi di tempat itu selama tak mengganggu kenyamanan mereka.
“Sudah?” tanyaku ketika perlahan Haninda melepas pelukan kami.
Gadis itu mengangguk. Kuberikan segelas air putih padanya. “Terima kasih, Kak.” Suaranya masih bergetar.
“Sudah siap cerita?”
Kembali Haninda mengangguk. Gadis itu menarik napas panjang. Berusaha menegarkan diri. Matanya yang sembab menatap tepat ke netraku. “Huh ... Pa-Papa dan Mama, resmi bercerai.”
Mataku membelalak. Satu fakta yang jelas mengejutkan karena aku memang tak pernah mendengar kabar apa pun lagi dari Papa. Rencana perceraian itu terakhir kali kudengar dari Haninda juga sebelum menikah. Selebihnya, gadis itu tak pernah menyinggung perihal rumah tangga Papa setiap bertemu dengaku. Mungkin karena ada larangan dari Papa atau karena kondisi kehamilanku yang membuatnya tak ingin membahas perihal itu. Tapi ... kenapa kali ini Haninda buka suara?
“Kapan? Dan kenapa sekarang kamu katakan itu?” tanyaku menuntut.
“Seminggu yang lalu, mereka resmi bercerai. Awalnya Mama selalu menolak. Berusaha mempersulit percerain. Tapi Papa sudah dengan keputusannya. Papa merasa tidak sanggup lagi mempertahankan pernikahan mereka.”
“Kenapa nggak dari dulu?” selaku. “Ah, baru sadar mereka kalau pernikahan yang dibangun karena kecurangan nggak akan berlangsung baik,” sinisku lagi.
“Kak, jangan begitu. Kakak lagi hamil.”
Perkataan Haninda membuatku seketika tersadar. Ingin sekali aku merutuki bibirku yang lancar berucap sinis. Pelan, kuusap perutku yang sudah membesar sambil berucap maaf berulang kali.
Haninda hanya membalas dengan senyuman.“Aku tahu Kakak masih menyimpan marah pada Mama dan Papa. Tapi, terima kasih karena masih mau bertemu denganku.”
“Lalu kenapa mereka akhirnya bisa berpisah?”
“Papa menyetujui syarat dan kompensasi yang diajukan Mama.”
Saat itu, aku ingin kembali memaki, tapi kuurungkan dan memilih beristighfar dalam hati. Sudah pasti wanita jahat itu tak akan mengabulkan dengan mudah proses perceraian. Ada harga yang harus dibayar Papa demi sebuah perpisahan. Tapi mungkin Papa memang pantas mendapatkannya. Agar ia tahu bahwa selama ini ia keliru menilai seseorang.
“Mama kamu memang nggak berubah, ya?” Haninda mengangguk setuju. “Aku tahu, Mama memang
keterlaluan.”
“Lalu kenapa kamu datang ke sini dan kasih tahu hal ini?”
“Karena aku nggak mau pisah sama Papa, Kak.” Haninda terisak lagi, yang membuatku mengernyit bingung.
“Kenapa?”
“Mama mau bawa aku pergi. Kalau aku pergi, siapa yang akan temani Papa. Beliau akan makin kesepian.”
Ucapan Haninda menyentil sudut hatiku. Gadis itu, yang bukan darah daging Papa, begitu mengkhawatirkannya. Sedang aku yang memang putri kandungnya masih menutup diri. Rasanya ada yang salah di sini. Tapi lidahku masih kelu untuk mengungkapkannya.
“Kamu kan sudah dewasa. Sudah bisa menentukan sendiri apa yang kamu mau. Memangnya kamu nggak bisa membantah Mamamu kali ini? Lagi pula bukannya Mamamu akan senang kalau dia sama sekali nggak punya beban. Dia lebih bebas menikmati hidupnya.”
Awalnya Haninda tampak terganggu dengan apa yang kusampaikan. Tapi beberapa saat gadis itu terlihat berpikir. Sampai akhirnya wajahnya perlahan berubah cerah.“Kak Danika ... nggak masalah kalau aku tinggal sama Papa?” tanyanya ragu.
Sebelum benar-benar menjawab, aku kembali mencari- cari Ibra. Beberapa detik lamanya tatapan kami terkunci. Adanya dia saja sudah membuatku yakin akan keputusanku. Sampai akhirnya aku menganggukkan kepala. Membuat senyum Haninda kian melebar.
“Tapi kamu yakin bisa menghadapi Mamamu?” tanyaku kemudian.
“Bukan Mama yang paling aku takutkan, tapi kesediaan Kak Danika. Izin Kakaklah yang terpenting. Aku nggak ingin merampas posisi itu dari Kakak. Aku hanya ingin membalas kebaikan Papa dengan menjadi anak yang berbakti padanya selagi aku masih bisa.”
“Kamu boleh jaga Papa.”
Aku tahu ini bukan keputusan terbaik. Tapi bagaimanapun aku tetaplah seorang anak. Seburuk apa pun hubunganku dengan Papa, hanya Papa pengikat darahku saat ini yang ada di dunia. Sakit hati, rasa kecewa, dan marah yang dulu kupendam, perlahan menyingkir tergantikan dengan kebahagiaan yang diberikan Ibra. Aku bisa bahagia, Papa patut mendapatkan karmanya. Tapi, aku tak mungkin bisa menutup mata dengan keadaan Papa baik kini dan nanti. Tak akan setega itu seorang anak menyaksikan Ayahnya menghadapi hari tua tanpa siapa pun. Dalam kesepian dan kesendirian.
Aku tahu, Haninda pun tak akan selamanya bisa bersama Papa. Tapi saat gadis itu masih memiliki waktu, tak ada salahnya ia membaktikan diri sebagai putri Papa. Anak perempuan yang ia besarkan meski hanya beberapa tahun saja. Tapi kebersamaan mereka cukup memberi ikatan yang cukup mendalam dalam diri masing-masing. Dan sebelum aku benar-benar mengambil kembali tempatku, biarlah Haninda yang mengisinya.
Setelah menunggu selama sembilan bulan, akhirnya aku dan Ibra bisa bertemu dengan buah hati kami. Anak lelaki sehat dan menggemaskan yang selama berbulan-bulan berbagi banyak hal denganku. Bayi lelaki yang akan menjadi kebanggaan kami. Anak yang kuharap akan memberi kebahagiaan bagi orang-orang di sekitarnya.
Aidan Arrauff, bayi laki-laki yang membuatku untuk pertama kali menitikkan air mata kala mendekapnya. Perasaan menjadi seorang Ibu yang tak pernah terbay angkan membuatku kembali menangis kala teringat Mama. Karena akhirnya tahu bagaimana rasanya menjadi ibu yang berjuang demi melahirkan anaknya ke dunia. Membuat sang anak akhirnya dapat melihat dunia.
Ibra yang tak bisa menemaniku pasca persalinan, selalu berada di sisiku setelah kelahiran putra kami. Bukan Ibra tak ingin menemaniku saat itu. Hanya saja dokter menyarankan agar ia menunggu di luar ruang persalinan karena aku harus menjalani operasi. Tak seperti keinginanku untuk melahirkan secara normal. Dan sebagai suami siaga, ia patuh pada perintah dokter yang menanganiku.
Handayu yang diberitahu Ibra tentang persalinanku langsung bergegas menuju rumah sakit. Sahabatku itu menungguiku sama seperti Ibra. Meski hanya ada mereka berdua saat aku menjalani persalinan, tapi itu sudah lebih dari cukup bagiku. Kedua orang tua Ibra sendiri akan datang malam nanti karena saat ini mereka sedang dalam perjalanan kembali dari luar kota. Waktu kelahiran yang lebih cepat dari perkiraan membuat Mama dan Papa Ibra tak dapat mendampingiku dikarenakan mereka yang memiliki urusan.
“Gimana rasanya jadi Ibu, Ka?” tanya Dayu.
Aku dan Dayu sedang duduk bersama sembari menggendong Aidan. Sedangkan Damar dan Ibra sedang berbincang entah apa. Putra kecilku ini begitu lincah menggerakkan tubuhnya dalam dekapanku. Membuat aku dan Dayu takjub akan gerakan kecil makhluk mungil di hadapan kami itu.
“Rasanya ... entahlah, Yu. Enggak bisa digambarkan. Luar biasa menyenangkan. Saat makhluk mungil yang selama sembilan bulan ada di rahim kita, tiba-tiba lahir ke dunia. Ada dalam dekapan kita. Rasanya benar-benar ehm menakjubkan.” Aku tak bisa menyembunyikan kebahagiaanku.
“Papa kamu sudah tahu?”
Suasana hatiku seketika berubah. Aku sepertinya tak bisa menyembunyikannya karena Dayu seperti bisa membaca perubahan hatiku.
“Ka, maaf kalau aku terlalu ikut campur. Tapi nggak ada salahnya Papa kamu tahu cucunya sudah lahir, kan?”
Aku memandangi wajah Aidan. Aku tahu apa yang dikatakan Dayu sangat benar. Sudah cukup lama. Bukankah aku juga sudah membuka kesempatan bagi Haninda untuk menjaga Papa menggantikan diriku. Kadang aku bertanya, mau sampai kapan aku dan Papa ada dalam fase saling membatasi. Tapi setiap kali perasaan ingin membuka hati itu muncul, sekejap pula apa yang Papa lakukan bertabur di kepalaku.
Wajah Aidan yang begitu damai, membuatku merasakan kedamaian yang sama. Papa memang bukanlah Ayah terbaik. Tapi, beliau tetaplah seorang pria yang menjadi sosok pahlawan dalam masa kecilku. Mungkin aku tak bisa mengulang kisah bahagia antara Ayah dan anak. Tapi kurasa, cukup itu menjadi bagianku. Aku harus membiarkan Aidan tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang sebagaimana Ibra mendapatkannya saat masih kecil. Dan memberi akses bagi Papa mengenal Aidan, rasanya cukup memberi putraku lingkaran kasih sayang keluarga.
“Nanti, Yu. Aku pasti kasih tahu Papa.” Akhirnya aku bersuara, membuat wajah Dayu seketika dilanda kelegaan.
Perbincangan kami terus berlanjut. Yang tak kusangka adalah kedatangan Papa dan Mama Ibra. Bukankah mereka akan tiba malam nanti? Mengapa siang seperti ini mereka sudah berada di rumah sakit. Meski begitu, aku tetap senang menyambut kedatangan mereka. Kebahagiaan yang sama mereka tunjukkan untuk kehadiran Aidan. Bahkan Mama berulang kali memeluk dan mengucapkan terima kasih padaku karena melahirkan cucunya dengan sehat dan selamat. Sayangnya Dayu tak bisa berlama-lama. Karena bagaimanapun ia harus kembali ke rumah. Juga Damar yang harus kembali ke kantornya.
“Mama dan Papa kembali ke rumah dulu, ya. Lagi pula Danika juga harus istirahat, kan. Nanti malam kita datang lagi ke sini.”
Papa dan Mama Ibra berpamitan padaku setelah berbincang cukup lama. Terlebih karena mereka tak bisa lagi melihat Aidan yang harus kembali ke ruang bayi. Setelah kepergian kedua orang tua Ibra, aku memilih beristirahat.
Sorenya, perwakilan dari Sushi Me yang datang menjengukku. Mereka membawakan hadiah-hadiah kecil untuk Aidan. Suasana kamarku seketika berubah menjadi cukup riuh. Beruntung dokter tak melarang selama tidak mengganggu Aidan yang berada di tengah-tengah kami.
“Duh, Aidan duplikatnya Pak Ibra banget,” cecar Kartika, disetujui oleh yang lainnya.
“lya, nih. Cetakan Pak Ibra banget. Bu Danika cuma kebagian matanya doang kayaknya,” timpal yang lain.
Aku tak menampik, karena Aidan memang duplikat Ayahnya. Semoga tak hanya rupa. Tapi sikap dan kepribadiannya nanti kelak dewasa, kuharap menyamai Ibra.
Kedatangan mereka membuat keadaan kamar sedikit lebih ceria. Aku juga mendengar berbagai cerita yang terjadi di Sushi Me selama aku tak berkunjung ke sana. Rasanya rindu
juga berada di tengah-tengah mereka seperti dulu saat aku masih bekerja. Tapi aku tahu, tak akan bisa kembali merasakan masa-masa itu. Aku sudah menjadi istri. Terlebih menjadi seorang Ibu yang otomatis membuat tanggung
jawabkku bertambah. Juga perhatian yang harus tercurah untuk tumbuh kembang Aidan nantinya.
Pukul sembilan malam, Kedua orang tua Ibra, juga Om dan Tante Mala berpamitan pada kami. Selain karena aku harus beristirahat, sudah terlalu larut bagi mereka untuk berada di kamar inapku. Meski kulihat masih ada keenganan dari Tante Mala, tapi aku cukup lega ia tak mengatakan apa pun yang memancing perdebatan. la hanya datang dan mengucapkan selamat untuk kelahiran Aidan. Meski tanpa kedua putrinya
juga. Kurasa kedatangan Tante Mala dan suaminya saja sudah cukup. Itu pun mungkin karena merasa tak enak hati dengan Mama dan Papa Ibra. Hingga mau tak mau ia datang menjengukku.
Haninda belum bisa datang karena disibukkan pekerjaan barunya. Tapi ia beijanji akan segera menjengukku. Katanya ia tak sabar untuk bertemu dengan Aidan, keponakannya. Meski hubungan kami tak bisa dikatakan layaknya saudara, tapi pelan-pelan aku dan Haninda sudah bisa berkomunikasi dengan baik. Terlebih dengan keputusan Haninda kala meminta izin pada Mamanya. Setelah berdebat cukup alot dengan Ibunya, akhirnya Tante Indri mengalah dan membiarkan Haninda tinggal bersama Papa.
Kebahagiaanku hari ini terasa lengkap. Meski masih ada satu hal yang mengganjal. Kehadiran Papa. Haninda mungkin sudah memberi tahu pada Papa perihal kelahiran cucunya, tapi aku sendiri belum mengambil keputusan untuk menghubungi Papa.
“Kenapa belum tidur?” Ibra bertanya padaku. Pria itu masih berkutat dengan pekeijaannya di sofa.
“Belum ngantuk.”
Ibra mengangguk dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Aku memilih untuk membaringkan tubuhku. Berharap kantuk akan segera menjemputku. Entah berapa lama, saat aku hampir terlelap, Ibra menghampiriku.
“Saya keluar sebentar, ya. Mau beli camilan di supermarket bawah,” pamitnya yang hanya kuangguki. Ibra mencium sekilas dahiku.
Mataku menjelajah langit-langit kamar. Tapi hampir setengah jam lamanya, kantukku tak lagi kembali. Bahkan Ibra pun kurasa terlalu lama pergi. Sampai kemudian terdengar suara dari pintu, membuatku duduk. Bersiap untuk mengomel pada Ibra.
“Kenapa lama ba...” Omelanku terhenti. Tubuhku menegang karena orang yang kupikir ternyata Ibra, justru adalah Papa. Orang terakhir yang kupikir ingin kutemui. Aku bingung, mengapa Papa berada di sini. Tapi mungkin Papa lebih merasa canggung, karena langkahnya terhenti saat mendengar ucapanku tadi.
“Papa mengganggu istirahat kamu?” tanyanya, aku menggeleng pelan. “Boleh Papa mendekat?” tanyanya kemudian. Lagi-lagi aku hanya bisa menjawab lewat gerakan kepala. Papa perlahan mendekat. Berdiri di sisi ranjangku. Belum ada yang bersuara di antara kami. Hanya detak jarum
jam yang mengisi keheningan ruangan. Dadaku berkecamuk, mungkin juga Papa. Sampai akhirnya mungkin karena terlalu lama diam, Papa mulai buka suara.
“Bagaimana keadaan kamu?”
“Baik.”
“Bayinya?”
“Baik juga.”
Hening kembali mengisi. Sampai tanpa kusadari air mata merembes membasahi pipiku. Tangis tertahan yang menjadi isakan yang berhasil didengar Papa. Beliau seketika tersadar dari kebungkamannya.
“Danika? Kenapa nangis? Kamu terganggu Papa di sini? Papa minta maaf. Ibra yang menghubungi Papa. Karena itulah, Papa berani datang. Tapi kalau kamu terganggu, Papa bisa...”
“Tujuan Papa datang ke sini cuma karena diminta Ibra?” tanyaku dengan isakan tak bisa kutahan.
“Bukan.”
“Lain apa?” tuntutku.
“Papa man ketemu kamu dan man lihat cucu Papa.” Suara Papa memelan di akhir kalimat.
“Lain kenapa malah man pergi?”
Di titik ini, tangisku tak bisa lagi kubendung. Aku seakan berubah menjadi anak kecil yang mencari perhatian orang tuanya. Tapi, bukankah aku memang putri Papa yang masih butuh perhatiannya? Terlepas dari segala permasalahan kami, aku masih butuh Papa. Butuh waktu untuk mengakuinya. Tapi itulah yang terjadi padaku.
Tanpa diduga, Papa memelukku. Beliau ikut menangis bersamaku. Berkali-kali kalimat maaf terlontar dari bibirnya dengan suara tertahan.
“Papa minta maaf.”
Pelukan Papa mengerat. Beliau juga menghujani puncak kepalaku dengan ciumannya. Aku pun melakukan hal yang sama, melingkarkan erat kedua lengan ke sekeliling tubuhnya.
“Kamu maafin Papa?”
Aku mengangguk. Papa mengurai pelukan kami. Matanya intens menatapku. Dengan kedua tangannya, Papa menangkup wajahku, kemudian mendaratkan ciuman di dahiku. Air mataku kembali mengalir.
“Terima kasih, Sayang. Maafkan Papa yang selama ini tidak bisa membahagiakan kamu.”
Aku menggeleng. “Danika juga minta maaf,” pintaku. Sekali lagi Papa mendaratkan kecupannya di keningku.
Detik itu juga hatiku merasakan kelegaan yang luar biasa. Aku kembali seperti menjadi Danika saat kecil dulu. Dengan Papa sebagai pahlawanku. Memaafkan memang tak mudah. Melupakan apalagi. Tapi ketika kita bisa melakukan keduanya, seolah semua beban terbebas dari dalam hati.
“Papa mau lihat Aidan?” tanyaku setelah sesi saling memaafkan.
“Jadi, namanya Aidan?” tanya Papa.
“lya. Cucu Papa namanya Aidan.”
“Memangnya boleh Papa lihat Aidan?” Aku pun tak tahu apakah bisa membawa Aidan bersama kami karena hari sudah cukup larut. Tapi, ternyata ada kejutan menanti, Ibra masuk bersama seorang perawat yang membawa Aidan, membuatku dan Papa terperangah takjub.
“Permintaan khusus, Aidan mau ketemu Opanya. Jadi say a kasih izin deh. Cuma jangan lama-lama, ya,” ucap sang perawat sambil tersenyum ramah.
Aidan diserahkan padaku. Papa langsung mendekat. Binar bahagia langsung terpancar di wajahnya kala melihat Aidan. Papa juga menyentuh jemari mungil Aidan dengan tangan tuanya. Pemandangan yang mungkin tak akan pernah kulupakan.
“Papa mau gendong?” tanyaku.
“Boleh?”
Aku mengangguk. Menyerahkan Aidan dengan hati-hati ke tangan Papa. Beliau tampak canggung dan hati-hati. Tapi kebahagiaannya tak bisa disembunyikan.
“Papa jadi ingat saat dulu gendong kamu ketika baru lahir. Sekecil ini,” gumamnya.
Ibra seperti tahu bahwa aku akan terbawa suasana lagi, dan mungkin akan kembali menangis. Cepat-cepat pria itu menghampiriku. Memeluk erat pundakku. Kusembunyikan wajah sembabku di dada Ibra.
Setelah bermain dengan cucunya, meski hanya, sebentar Papa berpamitan. Selain karena perawat sudah datang untuk mengambil Aidan kembali. Sebelum pergi, Papa kembali memelukku erat. Beijanji akan datang esok untuk menemuiku. Papa belum puas bersama Aidan, tentu saja. Beliau ingin menghabiskan banyak waktu dengan cucu satu- satunya.
“Tidur yang nyenyak,” pesan Papa sebelum akhirnya pergi.
“Hati-hati, Pa.”
Ibra berpamitan padaku untuk mengantar Papa keluar rumah sakit. Papa datang bersama sopir, jadi aku tak perlu terlalu khawatir beliau berkendara malam-malam begini. Setelah kepergian mereka, aku membaringkan tubuh di kasur. Hatiku mengembang dengan perasaan lega. Kini aku bisa tersenyum dengan lebih lepas. Tak ada beban lagi yang mengganjal di hatiku. Mama di peristirahatannya pasti bahagia dengan perdamaian antara aku dan Papa. Meski tak bersama kami, aku yakin Mama melihat kami dari sana.
“Sudah lega?”
Aku terkejut. Tahu-tahu saja Ibra sudah berbaring sambil memelukku dari belakang. Kuputar tubuhku hingga berhadapan dengannya. “Terima kasih,” ucapku tulus. Aku tahu semua ini karena Ibra. Tanpa dia, mungkin masih akan ada tembok pembatas antara aku dan Papa.
“Sama-sama. Saya juga lega lihat kamu dan Papa sudah berbaikan. Aidan butuh keluarganya. la harus tumbuh dalam kasih sayang yang utuh dari Ayah, Ibu, dan Kakek-Neneknya.”
Aku memberanikan diri mengecup bibir Ibra. Pria itu terperanjat. Mata Ibra sampai terbelalak tak percaya karena aku berani menciumnya. Namun kemudian, mata itu menghangat. Memancarkan cinta yang selalu mampu membuatku luluh.
“Janji sama saya, jangan sembunyikan apa pun. Jangan simpan kemarahan apa pun. Selalu utarakan, agar kita bisa mencari jalan keluarnya.”
“Dan janji sama aku, untuk terus selalu dan selalu ada untukku, Ibrahim Arrauf.” Ibra terkejut kala aku memanggil namanya. “Please, Boss?” pintaku dengan nada semanja mungkin.
Pria itu tertawa, tapi juga mengangguk menyanggupi pintaku. Malam itu, kami tidur dalam keadaan hati yang begitu damai sambil saling mendekap. Aku tak tahu apa yang akan terjadi esok saat para perawat masuk ke kamar kami. Tapi saat ini, aku ingin menikmati waktu berdua dengan Ibra. Merasakan hangat dalam dekapan pria yang mampu membuka hatiku. Memberiku begitu banyak cinta dalam hidup. Yang mampu menunjukkanku jalan untuk kembali pulang. Pria yang menjadi rumah bagiku. Yang kuharap sampai akhir hayatku.
Lakukan Yang Terbaik
Hubunganku dan Papa berjalan dengan baik. Pelan-pelan kami kembali membangun apa yang telah lama hilang. Meski masih ada sisa-sisa kepingan hati yang terpecah, tapi aku yakin kami bisa menyatukannya kembali. Ditambah lagi ada orang-orang tercinta yang membantuku untuk melewati semua itu.
Perkembangan Aidan juga menggembirakan. Putra kecilku itu tumbuh menjadi anak yang mudah dicintai. Siapa yang tak akan jatuh hati pada anak menggemaskan seperti Aidan. Seluruh keluarga besar kami begitu menyayanginya. Bahkan Tante Mala dan anak-anaknya yang meski aku tahu belum bisa menerimaku, tapi paling tidak memberikan perhatian pada Aidan. Bagiku itu saja cukup.
Ibra sendiri adalah sosok Ayah yang begitu baik. la tak segan turun tangan untuk membantuku mengasuh Aidan. Di masa-masa Aidan begitu rewel setiap malamnya, ia selalu ada di sampingku. Membantuku mengurus Aidan. Mulai dari mengganti popok dan menidurkannya. Aku benar-benar bersyukur memiliki suami super siaga seperti dia.
Bahkan disela sibuknya pekerjaan tak jarang Ibra selalu menyempatkan diri menemuiku dan Aidan di rumah. Padahal Ibra sedang bekeija keras untuk mengembangkan restorannya. Tapi, ia tak pernah lupa untuk menyediakan waktu bagiku dan putra kami.
“Hari ini mau ke mana?” tanya Ibra ketika melihatku sudah bersiap-siap akan pergi.
Aidan sudah berumur enam bulan. la tumbuh menjadi anak yang aktif. Bahkan saking aktifnya kadang aku kewalahan untuk menjaganya. la sedang senang-senangnya bergerak. Tentu saja aku harus selalu awas terhadap setiap tumbuh kembang anak kami.
“Mau ke rumah Dayu. Kayaknya dia lagi ngidam, deh. Pengin ketemu Aidan.”
Bicara tentang Dayu, sahabatku itu saat ini sedang hamil muda. Terima kasih, Tuhan, akhirnya Dayu akan segera merasakan nikmatnya menjadi Ibu. Di masa-masa kehamilan Aidan, aku tahu Dayu begitu gembira. la pun tak sabar untuk segera merasakan menjadi ibu hamil sepertiku. Bahkan ketika Aidan lahir, aku bisa melihat wajah penuh harap Dayu. Hingga Tuhan akhirnya mengabulkan keinginan dan doanya. Kini ia sedang mengalami masa-masa menyenangkan menjadi ibu hamil seperti yang kurasakan dulu.
Ibra mengantarkanku dan Aidan ke rumah Dayu. Pria itu tak mengizinkanku untuk menyetir. Entah untuk sampai kapan. Padahal aku bisa saja menyetir sendiri mobilku yang dihadiahkan Ibra kembali ke tanganku. Tapi mungkin memang belum saatnya bagiku menjadi setan jalanan seperti dulu. Ada Aidan yang harus kuperhatikan.
“Jangan pulang dengan taksi. Tunggu saya jemput, ngerti,” titah Ibra ketika menurunkan kami di depan rumah Dayu. la tak bisa mampir dan menyapa Dayu karena memiliki
janji dengan rekan bisnisnya.
“Siap. Hati-hati, Papa,” sahutku sembari menggerakkan tangan mungil Aidan sebagai bentuk salam padanya.
Setelah memberikan ciuman pada putranya, tentunya juga padaku, Ibra langsung meluncur pergi. Yang tak kusadari
adalah kehadiran Dayu sudah bersandar di depan gerbang rumahnya.
“Heh, romantis banget,” ledeknya.
Aku tertawa melihat ibu hamil berdaster itu. Dayu tampak berseri meski penampilannya kelihatan lusuh karena pasti belum mandi dan bersih-bersih diri. Satu kebiasaan Dayu selama masa kehamilannya ini. la sering bercerita, entah mengapa ia begitu malas mandi pagi. Kadang-kadang ia takut Damar akan bosan padanya karena ia yang tak terlalu memperhatikan penampilan selama hamil.
“Halo, sayangnya Tante Dayu...” la segera mengambil alih Aidan dari gendonganku. Sikapnya yang tak sabar kadang membuatku ngeri kala menyerahkan Aidan ke tangannya.
“Damar sudah berangkat?” tanyaku ketika kami beijalan beriringan ke dalam rumah.
“Sudah. Katanya ada rapat pagi.” Dayu menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari Aidan. “Ribet banget dia sebelum pergi. Selalu begitu. Bawel. Ngingetin ini-itu, bikin kepalaku pusing pagi-pagi dengar ocehannya.”
“Namanya juga calon Ayah. Dia khawatir dong kalau kamu dan bayi kalian kenapa-napa. Apalagi dengan kamu yang suka sembarangan gitu.”
“Halo, Ibu Danika, nggak mungkin dong aku bahayain kandungan. Tenang aja. Selama hamil, aku tuh hati-hati banget bersikap. Enggak sradak-sruduk lagi kayak dulu.” Dayu tertawa lebar. “Emangnya aku banteng main sradak- sruduk. ”
Agenda kami hari ini hanya bermain bersama Aidan. Dayu yang memang meminta kami datang tak pernah melepaskan Aidan sedetik pun. Ada saja yang ia lakukan untuk menggoda putraku itu. Hingga jam makan siang, akhirnya aku yang terpaksa turun tangan untuk memasak karena Dayu tak ingin melepaskan Aidan.
“Mau makan apa, Yu?”
“Terserah kamu. Apa pun yang kamu masak bakal aku makan. Damar bilang aku nggak boleh pilih-pilih makan buat anaknya.”
Aku tertawa mendengarnya. “Kalau aku goreng karet gelang dikecapin bakal kamu makan juga?”
“Boleh. Kalau kamu mau adu mulut sama Damar.” Tawaku makin kencang. Bukan rahasia jika mantan Bos
Dayu yang sekarang menjadi suaminya itu adalah pria cerewet. Dibandingkan dengan Ibra, jelas Damar lebih bawel. Jika Ibra selalu meminta dengan lembut namun tegas, berbeda dengan Damar yang akan mengomel panjang lebar. Lebih terkesan memerintah. Jiwa superiornya tak bisa dihilangkan sepenuhnya.
Selesai makan siang, waktunya menidurkan Aidan. Setelah menyusui, Aidan langsung pulas dan terlelap. Aku memilih menidurkannya di karpet yang sengaja disediakan Dayu di depan ruang tv sebagai tempat bermain. Setelahnya aku dan Dayu pun membaringkan diri di sisi kiri dan kanan Aidan. Sambil berbaring kami bercerita banyak hal. Tentang masa sekolah sampai saat-saat mengalami masa sulit kehilangan kedua orang tua. Hingga saat kami akhirnya menemukan muara kebahagiaan masing-masing.
“Jadi, sekarang Hanin tinggal sama Papa kamu?” Dayu bertanya ketika aku menceritakan perkembangan hubunganku dan Papa.
“lya. Dia bantu jaga Papa di rumah lama.”
“Kamu nggak takut...” Dayu menghentikan ucapannya. “Takut apa?”
“Papamu dan Hanin ... cinlok? ”
Aku tertawa karena pemilihan kata Dayu. “Enggaklah. Papa sayang sama Hanin tulus. Seperti anaknya. Ya, meski kadang bikin iri, sih. Tapi aku udah ikhlas, kok, Yu. Kalau aku terus berkutat di masa lalu, aku nggak akan maju. Sekarang ada Ibra, ada Aidan. Jadi aku rasa aku nggak akan kekurangan kasih sayang.”
“Hem, tahu deh tahu yang sekarang cinta mati sama suaminya.”
Kucubit lengan Dayu hingga dia mengaduh keras. Mataku melotot,memperingatkannya untuk tak berisik agar tak mengganggu tidur pulas Aidan.
“Enggak usah ngeledek. Siapa coba yang dulu curhat soal Damar. Padahal nggak ada hubungan apa-apa. Cuma atasan sama bawahan doang,” balasku.
“Heh, sendirinya nggak sadar yang nangis-nangis gara- gara dilamar Ibra.”
Skak mat. Aku menggigit bibir. Rasanya memalukan ketika mengingat kejadian itu. Melihatku bungkam, tawa Dayu keluar. Meski tertahan karena ia tak ingin membangunkan Aidan.
“Lucu, ya, jalan hidup kita.” Dayu kembali berucap. “lya. Lucu.”
“Siapa yang sangka akhirnya kita berakhir begini. Menikah, punya anak, sama laki-laki yang nggak pernah kita bayangkan.”
“Tapi, aku sama sekali nggak menyesal ketemu Ibra, mengalami semua kerumitan itu, karena pada akhirnya sesuatu yang manis akan selalu menghampiri hidup yang sulit.”
Dayu mengangguk setuju. Tanpa terasa kami larut dalam perbincangan dan akhirnya jatuh terlelap. Suara tangis Aidanlah yang menjadi alarm. Ternyata Aidan merasa haus. Setelah menyusuinya, aku kembali berbaring bersama Aidan dan Dayu. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Sepertinya aku harus segera berpamitan karena saat memeriksa ponselku, ada banyak panggilan tak teijawab yang masuk. Tentu saja semua panggilan tersebut berasal dari Ibra.
Segera saja aku mengirim pesan pada Ibra. Mengabarkan bahwa ia sudah bisa menjemputku dan Aidan. Terlebih mungkin sebentar lagi Damar akan kembali dari kantor. Mungkin pria itu ingin menghabiskan waktu berdua bersama istrinya. Dan aku tak ingin menjadi pengganggu kebersamaan mereka.
“Bagaimana play dat e-nya?” Ibra bertanya setelah aku dan Aidan masuk ke mobil. la hanya berpapasan sekadarnya dengan Dayu.
“Senang. Nggak sabar nunggu anak Dayu lahir. Aidan nanti ada temannya. Ya, kan, anak Mama?”
Aku menciumi pipi mulus Aidan karena gemas. Putraku itu sama sekali tak terganggu. Memang ia benar-benar cerminan Ibra yang begitu tenang. Tak rewel dan sangat kooperatif jika diajak berkegiatan. Ibra yang sedang mengemudi sesekali mengelus pipi Aidan. Seolah sangat mengenal sentuhan Papanya, mata bulat Aidan menatap ke arah Ibra. Tawa anakku itu lepas kala Ibra membalas tatapannya. Sungguh hubungan yang indah antara orang tua dan anak. Tentu saja aku akan menjaganya seumur hidupku.
Malam ini aku terpaksa meninggalkan Aidan dalam pengawasan Papa dan Haninda. Semua karena aku harus menemani Ibra menghadiri acara pernikahan teman kampusnya. Sebenarnya berat buatku untuk meninggalkan Aidan yang masih kecil pada orang lain, tapi aku juga tak mungkin melalaikan tugasku sebagai seorang istri. Meski aku tahu kalau Aidan akan baik-baik saja di bawah pengawasan Papa dan Haninda. Tetap saja sebelum pergi aku memberikan banyak wejangan pada Papa dan Haninda. Tak lupa menyiapkan pasokan ASI selama aku meninggalkan Aidan.
Sepanjang peijalanan aku tak bisa menyingkirkan pikiranku tentang Aidan. Apakah putraku itu menangis atau merindukanku. Sampai aku tak fokus pada Ibra yang mengajakku berbincang. Hingga kurasakan jemari Ibra menggenggam sebelah tanganku.
“Kenapa?” tanya Ibra, aku berpaling dengan wajah bingung/Aidan pasti baik-baik saja di bawah asuhan Papa dan Haninda,” ucapnya berusaha menenangkanku.
Kueratkan genggaman jemariku sebelum melepasnya. Akan sangat berbahaya bagi Ibra menyetir dengan satu tangan. Aku tak ingin kami mati konyol karena kecelakaan. Aidan masih membutuhkan kedua orang tuanya.
Tak berapa lama kami tiba di hotel tempat pesta diselenggarakan. Memasuki ruangan pesta, para tamu yang hadir hampir memenuhi seisi hall. Terlebih dahulu Ibra mengajakku menemui mempelai pengantin untuk mengucapkan selamat. Setelahnya berfoto bersama sebagai bentuk kenangan. Ibra berbincang sejenak sebelum kemudian undur diri untuk memberikan kesempatan pada tamu lainnya.
“Mau makan sesuatu?” tawar Ibra padaku.
“Boleh. Kamu yang pilih, ya. Aku tunggu di meja saja.” Setelah mendapatkan persetujuan dariku, Ibra menuju
ke meja prasmanan. Sedang aku mencari meja untuk kami berdua. Sangat sulit mendapatkan meja yang kosong dengan tamu yang begitu banyak. Namun, sepasang suami istri paruh bay a yang baik hati menawarkanku untuk duduk di meja yang sama dengannya. Beberapa saat kemudian Ibra datang dengan sepiring makanan dan segelas air. Sebelum duduk, Ibra memohon izin pada pasangan suami-istri tersebut.
“Kok, cuma satu?” tanyaku ketika Ibra hanya menyerahkan sepiring makanan tersebut padaku.
“Belum lapar.”
“Sepiring berdua mau?” tawarku yang langsung dijawab Ibra dengan gelengan.
“Ibu menyusui lebih butuh makan.”
Sepasang suami-istri tersebut tampak menyimak obrolan kami. Bahkan sang istri ikut menimpali. Bertanya perihal pernikahanku dan Ibra. Juga sudah berapa anak yang kami miliki. Sampai akhirnya perbincangan menjurus pada topik mengenai bisnis. Ibra seperti mendapat peluang usaha dari pertemuan tak terduga kami dengan pasangan suami-istri tersebut. Sang suami tampak tertarik dengan usaha yang kini sedang Ibra jalani. Bahkan berencana untuk mengajak Ibra berdiskusi di lain waktu. Setelah puas berbincang, suami-istri tersebut berpamitan pada kami.
“Bahkan di pesta begini juga kamu bisa punya prospek untuk partner bisnis, ya,” ucapku setelah pasangan tersebut tak lagi bersama kami.
“Yang namanya rezeki bisa dari mana saja,” jawab Ibra kalem.
Tadinya aku dan Ibra ingin berada di pesta sedikit lebih lama. Tapi, kami mendapat telepon dari Papa yang membuatku langsung khawatir. Tanpa pikir panjang, kami segera berpamitan pada pemilik acara. Bahkan pria itu mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Selama di
jalan tak henti-hentinya aku berdoa agar tak teijadi apa pun pada putraku.
Begitu mobil tiba di rumah Papa, dengan kecepatan kilat aku langsung berlari menghampiri Aidan yang suara tangisnya terdengar dari pintu masuk. Kulihat Papa berusaha menenangkan putraku itu yang terus saja menangis.
“Sayang, maafm Mama, ya.” Aku mengulurkan tanganku untuk meminta Aidan dari gendongan Papa. Dengan sigap Papa segera memindahkan Aidan ke tanganku. “Kenapa bisa gini, Pa?” tanyaku, cemas karena Aidan tak juga berhenti menangis meski aku sudah menenangkannya.
“Papa juga nggak tahu. Habis minum susu tadi, Aidan masih tenang main sama Haninda. Setelah itu tiba-tiba saja dia nangis nggak karuan.” Papa mencoba menjelaskan.
Tubuh Aidan yang berada di gendonganku memang sedikit panas. Mungkin anakku terserang demam. Tapi yang mengherankan, mengapa begitu tiba-tiba.
“Perlu kita periksa ke dokter?” Ibra sudah berdiri di sampingku.
Tanpa menolak, aku langsung mengangguk. Kami berpamitan pada Papa dan Haninda yang sama cemasnya. Sebelum pergi, Papa memintaku untuk mengabarkan kondisi Aidan secepatnya setelah ditangani.
Perjalanan ke rumah sakit terasa lambat, dengan putraku yang terns menangis di dalam pelukan. Aku tahu Ibra memiliki kecemasan yang sama, tapi pria itu selalu mampu mendinginkan kepalanya tiap kali berhadapan dengan masalah.
Begitu tiba, Aidan langsung ditangani oleh dokter jaga yang kebetulan ada di sana. Dokter menjelaskan bahwa demam yang dialami Aidan disebabkan oleh virus. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kondisinya. Dokter juga memberikan beberapa obat bagi demamnya. Juga cara menangani sikap rewel Aidan selama demam masih bersarang di tubuhnya. Setelah mendapat penangan dari dokter, kami pun kembali ke rumah. Di perjalanan, Ibra menghubungi Papa untuk mengabarkan kondisi Aidan. Sementara aku menyusui Aidan untuk membuatnya lebih tenang.
Sepanjang malam aku berusaha menjaga Aidan. Walau ia telah tertidur lelap, tapi justru aku yang tak bisa memejamkan mata barang sejenak. Ternyata begini rasanya menjadi seorang Ibu yang khawatir akan keadaan anaknya. Hal kecil apa pun yang teijadi pada anak akan menjadi hal yang mencemaskan seorang Ibu.
“Minum ini.”
Ibra tahu-tahu saja sudah mengulurkan segelas susu padaku. Asap yang mengepul dari dalam gelas menandakan bahwa ia baru saja membuatnya. Entah kapan ia menyelinap keluar kamar. Aku seperti melupakan keberadaannya saat fokusku sepenuhnya terpaku pada Aidan.
“Aku nggak haus.”
“Minum.”
Suara Ibra tak tegas, tetap lembut, tapi aku tahu ada perintah dalam nada suaranya yang tak boleh kubantah. Dengan enggan aku mengambil gelas tersebut dari tangan Ibra dan meneguk isinya perlahan. Hanya seteguk, kemudian mengembalikan gelasnya pada Ibra.
“Kamu boleh cemas sama Aidan, tapi bukan berarti kamu mengabaikan kondisi kamu. Kamu tetap butuh istirahat. Kalau kamu besok sakit, siapa yang akanjaga Aidan?”
“Kamu,” jawabku tanpa pikir panjang.
Ibra tertawa pelan. la duduk di sampingku yang masih duduk di sisi ranjang sembari mengamati Aidan. “Saya mungkin suami dan Ayah yang kuat. Tapi ketika seorang istri sakit, justru disitulah pondasi keluarga akan berantakan. Dalam rumah tangga, sering kali orang mengatakan bahwa suami adalah pilar utama kokohnya pondasi, tapi bagi saya
justru seorang istrilah pilar utamanya. Suami memang kepala keluarga, tapi ada kalanya seorang suami tidak akan sanggup mengerjakan apa yang istri bisa lakukan. Saya cuma hebat dalam mencari nafkah, tapi kamu adalah yang paling hebat mengurus segala hal dalam rumah tangga kita. Kamu selalu memastikan kalau saya dan Aidan baik-baik saja. Tidak merasa kekurangan apa pun. Karena itu, jangan sakit, Danika. Kalau kamu sakit, saya nggak bisa berbuat apa-apa. Saya dan Aidan butuh kamu.”
Baiklah. Sekali lagi, Ibra berhasil melelehkan pertahananku. Apa pun yang Ibra lakukan dan ucapkan selalu mampu menyentuh hati terdalamku. Pria ini seperti menjadi obat bagi segala ketakutan dan kekhawatiranku. Dan seperti kata Ibra tadi, harusnya aku juga bisa menjadi obat bagi segala ketidakmampuannya tanpa diriku.
“Aku nggak akan pernah bisa berhenti ngucapin ini...” Aku memberanikan diri menarik wajah Ibra, kemudian mendaratkan kecupan di bibirnya, ”... terima kasih.”
Ibra tak berkata apa pun lagi. la hanya mengajakku untuk berbaring di sebelah Aidan. Merapikan selimut untuk menutupi tubuhku, kemudian memberikan kecupan di dahiku. Setelahnya ia berjalan memutar ke sisi kiri ranjang. la mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur. Sunyi kini melingkupi seisi ruangan. Aku tahu itu artinya harus segera mengakhiri kekhawatiranku pada Aidan malam ini. Seharusnya memang aku tak perlu khawatir. Aidan ada bersama kami. Aku dan Ibra akan selalu melindunginya dengan segenap usaha kami.
Cemburu Itu Kadang Perlu
Pernikahan yang awet tak melulu tentang hubungan yang baik antara suami dan istri. Kadang dalam suatu hubungan diperlukan adanya pemantik agar ikatan dalam rumah tangga menjadi semakin kuat. Rasa cemburu, misalnya.
Jika kupikir dulu akan sulit bagi Ibra untuk cemburu padaku, tapi ternyata tidak juga. Karena seperti yang pria itu tunjukkan saat ini, seolah tak ingin melepaskanku dalam acara reuni yang diadakan SMA-ku dulu. Terutama jika aku beramah tamah dengan teman beijenis kelamin pria.
Mungkin tak hanya Ibra, karena sepertinya Damar pun melakukan hal yang sama pada Dayu. Pria itu juga tak melepaskan Dayu dari genggamannya sedetik pun. Membuatku dan Dayu tak bisa berbaur dengan teman-teman lama kami.
“Kalian duduk dulu di pojokan sambal nyemil apa gitu...,” kata Dayu pada Ibra dan Damar.
Sepanjang acara, kedua pria itu terus mengekor ke mana aku dan Dayu melangkah. Hingga kami menjadi pusat perhatian di acara reuni akbar yang dilaksanakan pihak panitia di hotel.
“Memangnya kenapa?” Damar menjawab istrinya yang sedang hamil tersebut.
Bagi Damar mungkin tak masalah terus menempel pada Dayu, mengingat istrinya sedang hamil, pastinya ia ingin menjaga Dayu dari kemungkinan kecil apa pun. Tapi berbeda dengan Ibra, la tak seharusnya menempel terus padaku bagai lintah. Tapi apa mau dikata, kedua pria itu seolah tak merasa bersalah sudah mengganggu kesenangan kedua istrinya yang ingin mengenang kebersamaan dengan teman-teman sekolah.
“Aku sama Danika itu mau main dulu. Mau ngobrol banyak sama teman-teman. Kalau kamu sama Ibra terus nempel, teman-teman kita pasti nggak nyaman.”
“Kamu keberatan?” tanya Damar pada istrinya. “Tapi aku nggak keberatan sama sekali. Aku cuma mau jaga kamu sama anak kita.”
Dayu mengerang kesal. la merasa kalah. Tak ingin istrinya itu emosi, Damar segera menarik Dayu dan mengajaknya duduk di kursi yang telah disediakan. Tinggallah aku dan Ibra yang masih berdiri di tengah ruangan.
“Kamu keberatan juga kalau saya nempel terus?” giliran Ibra yang bertanya.
“lya, dong. Aku juga butuh waktu buat ngumpul- ngumpul sama teman.”
“Hem? Jadi, sudah nggak khawatir lagi kalau meninggalkan Aidan? Oke...”
Saat Ibra membawa-bawa nama Aidan dalam pembicaraan kami, aku langsung menyelanya, “Bukan gitu. Ya, aku juga nggak mau ninggalin Aidan kalau bukan karena terpaksa. Tapi kan ini acara reuni yang nggak setiap tahun diadakan. Dan nggak setiap tahun juga aku bisa ketemu teman-teman lama.”
“lya, saya ngerti. Tapi bukan berarti kamu bebas beramah tamah sama teman laki-laki.”
Aku mengernyitkan dahi, kemudian menahan bibir untuk tak tersenyum. “Kamu cemburu?”
“Kalau saya nggak cemburu lihat istri saya ramah tamah dan dekat-dekat sama laki-laki lain, itu artinya saya nggak normal.”
“Em, memang sih kata orang cemburu tanda ci—” “Enggak harus begitu. Tanpa rasa cemburu pun saya
tetap cinta sama kamu. Tapi ada batasan yang harus kamu patuhi dalam berhubungan dengan teman, terutama lawan
jenis. Apalagi kamu sudah bukan lagi perempuan single. ” “lya, maaf,” keluhku, merasa tersentil dengan ucapan
Ibra.
Seakan tahu bahwa perasaanku menjadi tak karuan setelah mendengar ucapannya, Ibra menarikku untuk duduk.
Kami memilih meja agak jauh dari Dayu yang sedang menikmati hidangan.
“Maaf kalau cara menegur say a salah. Tapi say a nggak akan menyangkal kalau saya memang cemburu lihat istri saya bersikap manis pada pria lain. Saya posesif, kamu pasti tahu itu. Tapi kalau memang kamu mau menjalin hubungan baik dengan teman lama meskipun itu laki-laki...”
“Enggak!” potongku cepat. “Maaf. Aku ngerti kok apa maksud kamu. Aku juga pasti bersikap sama kayak kamu kalau lihat ada perempuan yang dekat-dekat. Bahkan dulu juga saat Haninda tahu kamu, aku juga cemburu, kan?”
Ibra akhirnya tersenyum. “Saya senang kamu makin ekspresif. Tidak takut lagi menunjukkan perasaan.”
“Ini semua juga karena kamu.”
Kemudian pembicaraanku dan Ibra terinterupsi oleh suara berisik dari depan panggung. Acara sepertinya mulai dilanjutkan ke hiburan yang tersedia. Ada penampilan dari pemain musik yang mengiringi siapa pun ingin menghibur dengan nyanyian.
Aku dan Ibra memilih untuk bergabung di meja Dayu dan Damar. Sepanjang acara, Dayu tampak asyik mengikuti nyanyian yang ditampilkannya. Mungkin jika tidak sedang dalam kondisi hamil, ia akan turut serta naik ke atas panggung. Suara Dayu memang bukan seperti para biduan, tapi rasa percaya dirinya yang kadang kelewatan mampu memeriahkan suasana.
Setelah hampir tiga jam berada di acara reuni, aku dan Dayu memutuskan untuk pulang. Kami berpamitan pada teman-teman yang lain. Walau banyak yang meminta untuk tetap tinggal, tapi aku tak mungkin meninggalkan Aidan terlalu lama. Meski aku yakin Aidan baik-baik saja bersama Papa—karena hingga saat ini aku tak mendapatkan laporan apa pun dari beliau. Pengalaman saat Aidan demam yang lalu tak membuatku enggan menyerahkan putraku untuk menghabiskan waktu bersama kakek dan tantenya, karena aku yakin mereka akan sangat baik dalam menjaga Aidan.
“Sampai ketemu!”
Aku dan Dayu saling berpelukan saat berpamitan di parkiran. Kami pun saling berpisah ke mobil masing-masing. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore saat kami berkendara menuju kediaman Papa. Jalanan tak terlalu macet karena saat ini memang akhir pekan.
Bicara masalah akhir pekan, entah sudah berapa lama aku dan Ibra tak menikmati waktu kencan berdua. Sejak ada Aidan, memang waktu kami berdua dihabiskan bersama si kecil itu. Tapi kadang aku merasa membutuhkan waktu berdua dengan Ibra. Hany a saja, jika saat ini aku meminta Ibra untuk menyisihkan waktu bagi kami berdua, bagaimana dengan Aidan? Pasokan ASI yang kutinggalkan untuknya mungkin tak akan cukup. Meski Aidan sudah bisa mengkonsumsi susu formula, tapi aku bertekad untuk memberikan ASI ekslusif hingga Aidan berusia dua tahun.
“Ada yang mengganggu pikiran kamu?”
“Kamu kenapa bisa mudah banget sih baca suasana hatiku?”
“Wajah kamu kelihatan auranya lagi banyak pikiran.” Ibra menjawab tenang.
“Kelihatan banget, ya?”
Ibra mengangguk. “Karena itu, coba kasih tahu apa yang mengganggu pikiran kamu?”
“Berapa lama sih kita nggak habisin waktu berdua?” “Hm? Bukannya kita sering menghabiskan waktu
berdua?” Nada suara Ibra terdengar bingung.
“Maksudnya benar-benar berdua loh. Kayak kencan begitu.”
Tanpa kuduga Ibra justru tertawa. Aku langsung cemberut. Mungkin dia berpikir aku terlalu kekanakan. Menginginkan sesuatu seperti kencan yang biasanya dilakukan oleh remaja. Tapi bukankah kadang hal seperti itu perlu juga pada pasangan yang sudah menikah. Buktinya kecemburuan yang tadi Ibra tunjukkan. Bukankah itu juga salah satu hal yang kekanakan jika ditilik dari logika orang dewasa seperti kami?
“Jadi, kamu mau kencan?” tanya Ibra akhirnya.
“Ya, bukan begitu juga. Cuma jadi kepikiran aja. Kapan terakhir kali kita menghabiskan waktu berdua tanpa Aidan?”
Tanpa kusangka, Ibra mengelus pelan puncak kepalaku. “Sabar, ya. Aidan masih terlalu kecil untuk kita tinggalkan terlalu lama. Nanti, saat Aidan sudah bisa lepas dari ASI-nya, saya janji akan bawa kamu ke mana pun kamu man.”
Aku menatap samping wajah Ibra dengan dahi berkerut. “Bukan begitu juga yang aku mau. Aku kan cuma...”
“lya, saya tahu. Kadang memang jadi ibu rumah tangga itu menjemukan. Ada saat kamu juga butuh lepas dari segala kegiatan yang monoton sebagai ibu rumah tangga dan istri.”
“Kenapa jadi gitu? Aku benar-benar nggak maksud untuk ninggalin Aidan, kok. Itu benaran cuma selintas pikiran. Aku nggak pernah bosan jadi ibu rumah tangga.”
Kenapa kurasakan suaraku bergetar? Apa yang salah? Ibra yang salah paham, atau perasaanku yang memang sedang sensitif?
“Gimana kalau waktu kencan berduanya diganti dengan waktu kencan keluarga? Kita bawa Aidan ke mana yang kamu mau. Tapi kita juga butuh konsultasi sama dokter. Sudah amankah kalau Aidan dibawa bepergian dengan pesawat?”
“Hah?”
“Jangan cuma jawab hah’, kalau kamu memang mau,
a
nanti kita rencanakan.”
Ibra kembali fokus pada kegiatan menyetirnya. Sedang aku yang tak mengerti ke mana arah pembicaraan kami tadi hanya bisa terperangah sepanjang jalan. Kepalaku masih berputar memikirkan apa yang baru kami bicarakan.
Peduli apa dengan pikiranku yang berputar. Nyatanya tawaran Ibra begitu menggiurkan. Kapan lagi kami bisa berlibur menghabiskan waktu bersama. Di tengah kesibukan Ibra mengembangkan bisnisnya, mungkin memang saatnya mengeratkan ikatan yang ada di antara kami.
Berkumpul bersama keluarga Ibra bukan merupakan agenda rutin. Tapi tetap saja tiap kali Mama dan Papa Ibra meminta kami untuk berkunjung, aku tak bisa menolak. Meski Tante Mala sudah jarang bersinggungan denganku, tapi rasa tak nyaman berada di tempat yang sama dengannya selalu ada.
Terlebih dengan Bintang yang entah mengapa hari ini bersikap menyebalkan.
Aku tak tahu apa lagi masalah wanita itu padaku. Tapi sejak kedatanganku dan Ibra, dia kembali menunjukkan rasa tak sukanya padaku. Yang paling menyebalkan adalah sikapnya yang berbanding terbalik jika ada Ibra di antara kami. la bersikap manis pada Ibra dan Aidan. Tapi tatapan tak sukanya akan berkobar padaku kala tak melihat Ibra atau lelaki itu ada di dekatku. Jelas saja tingkahnya membuatku
jengah.
Satu hal yang membuat emosiku memuncak saat ternyata dalam acara kumpul keluarga kali ini, Bintang mengundang sahabatnya, gadis bernama Amanda yang dulu ingin ia jodohkan dengan Ibra. Tentu saja kehadiran gadis itu membuat perasaanku kacau seharian. Entah memang Bintang sengaja mendatangkan sahabatnya untuk membuatku jengkel. Atau memang karena Amanda memang sudah dianggap seperti keluarga bagi mereka. Apa pun alasannya, tapi aku tak bisa menerima kehadiran perempuan itu di tengah-tengah kami.
“Makan siangnya sudah siap?” Suara Yasmin menyadarkanku dari lamunan.
Tanpa kusadari ay am goreng yang kupegang sudah berubah warna menjadi lebih hitam. Aku meringis ketika mendapati ay am goreng tersebut sudah berubah menjadi ayam gosong. Yasmin hanya menggeleng kecil sambil tersenyum. Tapi suara sahutan seseorang merusak gendang telingaku.
“Sudah jadi istri juga bahkan kamu nggak bisa masak.” Tentu saja Bintang tak akan bersikap sopan padaku
meskipun aku adalah istri dari kakak sepupunya. Usianya yang lebih tua membuat wanita itu merasa memiliki superioritas terhadapku.
“Maaf, Mbak.” Bukan pada Bintang, tapi kuucapkan itu pada Yasmin.
“Nggak masalah, Nika. Ayamnya masih banyak, kok.”
“Tapi jadi mubazir, Mbak Yas.” Bintang seperti tak ingin melepaskanku.
“Namanya juga nggak sengaja, Bin. Udah kamu goreng lagi ayamnya, ya. Tapi kali ini jangan pakai acara melamun. Mbak man lihat anak-anak dulu.”
Sepeninggal Yasmin, hanya aku dan Bintang yang tersisa di dapur. Tak ada yang perlu kami sembunyikan satu sama lain. Jika Bintang bisa terang-terangan menunjukkan aura permusuhannya padaku, mengapa aku tak bisa melakukan hal yang sama. Kutatap Bintang tanpa berniat menunjukkan wajah kesalku. Wanita itu balas memberikan tatapan yang sama padaku.
“Boleh saya tahu kenapa kamu seolah memusuhi saya?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Karena saya nggak suka sama kamu. Sejak awal kamu pasti tahu itu. Saya nggak menerima kamu jadi bagian dari keluarga ini. Tapi saya nggak bisa berbuat apa pun karena itu keputusan Mas Ibra.”
“Lain, karena kamu nggak bisa menerima, kamu mau bikin pernikahan saya hancur sama Ibra. Begitu?”
Raut wajah Bintang mengeras. “Saya nggak sepicik itu, ya. Jangan pernah memfitnah.”
“Oh. Lalu kehadiran sahabat kamu itu, dalam rangka apa?”
“Kedatangan Amanda sama sekali nggak ada hubungannya dengan Mas Ibra dan kamu. Amanda memang sering datang ke sini.”
Aku memandang skepstis pada perempuan di hadapanku ini. “Hoh? Kebetulan sekali berarti, ya,” sindirku.
Wajah Bintang memerah. Entah mungkin malu atau marah karena sindiranku, tapi aku harus melakukannya. Aku harus menunjukkan pada Bintang bahwa ia tak bisa bermain- main dengan pernikahanku. Dengan rumah tanggaku dan Ibra.
Aku memiliki trauma dan pengalaman akan hadirnya orang ketiga dalam sebuah rumah tangga. Bukan aku ingin mengingat apa yang terjadi pada Papa, tapi aku hanya berusaha mencegah hal itu teijadi padaku. Aku tak ingin memberi celah pada apa pun dan siapa pun yang berpotensi merusak kebahagian keluargaku. Terutama untuk Aidan. Aku tak ingin putraku merasakan apa yang kualami. Bahkan diusianya yang masih begitu kecil.
“Kamu pasti tahu kalau saya pernah mengalami masa sulit dalam keluarga. Kamu sadar apa pun yang kamu rencanakan akan berdampak pada hidup saya? Terutama pada Aidan. Saya nggak peduli sebenci apa kamu terhadap saya, tapi saya nggak akan tinggal diam jika ada orang yang ingin menghancurkan kebahagiaan keluarga saya. Meskipun itu kerabat terdekat sekalipun.”
Kuharap Bintang sedikit saja merasa gentar dengan ucapanku. Dan sepertinya harapanku terkabul dengan wajahnya yang mengetat. Aku pun memasang wajah tak kalah kerasnya agar Bintang tahu aku tak main-main dengan ucapanku.
“Saya sama sekali nggak merencanakan apa yang kamu tuduhkan!” Bintang masih mengelak keras.
“Kamu boleh menyangkal sekuat hati kamu, tapi saya cuma berusaha memperingatkan kamu. Jangan pernah coba- coba ganggu keluarga saya!”
Setelah memberi Bintang peringatan, fokusku kembali pada ay am yang harusnya sudah matang. Tapi karena harus berdebat dengan wanita itu, aku jadi menunda untuk memasak ayam goreng tersebut. Mungkin merasa tak mampu lagi berdebat denganku, Bintang segera meninggalkan dapur. Entah dia kembali marah atau bahkan mengutukku dalam hati, aku tak peduli. Siapa pun yang ingin mencoba mengusik ketenangan rumah tanggaku pasti akan kuhadapi. Sekalipun itu Tante Mala sebagai Ibunya Bintang.
“Sudah selesai masaknya?” Ibra tiba-tiba mengejutkanku dengan masuk ke dapur.
“Aidan mana?”
“Sama Mama. Sudah selesai masaknya?” Kembali pria itu bertanya
“Belum.”
“Karena tadi berdebat dengan Bintang?” Mataku melebar. “Kok kamu tahu? Kamu nguping?”
Ibra mengedik. “Enggak sengaja. Tadi niatnya memang man bantuin kamu masak. Tapi ternyata say a dengar kamu dan Bintang berdebat. Jadi saya tunggu sampai selesai.”
Aku menghela napas pelan. “Kamu terganggu? Maksudnya, hubunganku dengan sepupu kamu nggak membaik sama sekali. Apa itu mengganggu?”
Ibra mengambil alih spatula dari tanganku. Menggantikan tugasku untuk mengaduk ayam goreng di wajan. “Tentu saja saya tenganggu. Terutama karena sikap Bintang pada kamu. Sebagai sebuah keluarga, tentu saya menginginkan kita bisa hidup rukun seperti keluarga pada umumnya. Tapi sebagai suami kamu, saya jelas akan terganggu kalau Bintang masih bersikap memusuhi kamu. Tugas saya nggak cuma bikin kamu bahagia secara lahiriah, tapi juga batiniah. Karena itu, apa pun masalah yang mengganjal di pikiran kamu, jangan pernah ragu untuk bicara sama saya, Danika.”
Aku mengangguk patuh. Berbicara dengan Ibra selalu berhasil membuatku tenang. Apa pun sikap pria itu selalu mampu mengusir jauh segala kekhawatiranku.
“Tapi saya juga senang dicemburui sama kamu.” Ibra tiba-tiba berceletuk.
“Hah? Cemburu?”
“Kamu nggak suka kan kalau Amanda dekat-dekat sama saya?”
Aku langsung mendengkus kesal. “Jelaslah. Mana ada istri yang mau suaminya dekat-dekat dengan perempuan lain.”
Ibra tertawa ringan. “Kalau gitu saya akan jaga diri mulai sekarang dari perempuan lain. Tapi itu juga berlaku buat kamu, ya.”
“Siap, Bos!”
Kami kembali melanjutkan tugas menggoreng ayam karena Yasmin sudah menghampiri. Mengabarkan bahwa yang lain sudah tak sabar untuk bersantap siang. Segera aku menyajikan ayam goreng yang telah matang di meja makan. Sedang Ibra melanjutkan kegiatannya menggoreng yang masih tersisa.
Sisa hari itu kulewati dengan perasaan yang lebih tenang. Tak lagi kupedulikan bagaimana tingkah Amanda dan Bintang, karena Ibra benar-benar membuktikan ucapannya untuk tak berada dekat dengan wanita lain. Sepanjang waktu, ia selalu ada bersamaku dan Aidan.
Satu hal yang kembali kupelajari dari masalah rumah tanggaku. Karena sejatinya pernikahan tak akan berhasil sepenuhnya jika tak ada kerja sama dari semua pihak. Dalam hal ini, kerja samaku dan Ibra adalah agar keluarga kami tetap utuh tanpa adanya celah bagi pihak lain.
Impian Kita
Merayakan tahun keempat pernikahan kami, Ibra memberikan hadiah makan malam romantis bagiku. Harusnya tak perlu karena kami bisa melakukannya di rumah. Tapi, Ibra ingin sesuatu yang istimewa. Karena itu, jam keija di Sushi Me dibuat selesai lebih awal. Semua karena ia ingin membuat tempat itu sebagai tempat kami merayakan ulang tahun pernikahan.
Tak ada siapa pun di sana ketika aku tiba. Hany a ruangan yang disulap tak seperti biasa. Sebuah meja di tengah ruangan dengan lebih banyak space tersisa. Hingga meja tersebut menjadi yang paling menonjol. Meja yang sudah dihias dengan begitu cantik. Rasanya memberi kejutan romantis, bukan Ibra sekali. Entah dapat ide dari siapa pria itu sampai melakukan hal seperti itu untukku.
Tiga tahun menjalani pernikahan bersama Ibra, aku merasa ia selalu mampu menghadirkan kejutan-kejutan tak terduga. Banyak hal yang sudah kami lalui bersama. Suka dan duka juga berbagai perdebatan. Meski selalu saja dalam setiap pertengkaran kecil, Ibralah pihak yang akan selalu mengalah, padahal aku juga ingin bersikap dewasa sepertinya. Tapi Ibra bilang, jika aku bersikap dewasa, bagaimana ia bisa menunjukkan rasa cintanya padaku. Sungguh aneh.
“Ada permintaan khusus?” tanyanya ketika sudah menuntunku untuk duduk.
“Ehm? Berhenti membahasakan diri dengan kata ‘saya’?” Dahi Ibra mengernyit. “Memangnya kenapa?”
Selama ini memang Ibra berbicara dengan membahasakan dirinya dengan kata ‘saya’. Meski kadang kala ia juga berucap dengan membahasakan diri sebagai aku, tapi itu hanya bisa sangat amat jarang. Sepertinya lidah Ibra terbiasa berbicara seperti yang biasanya. Anehnya dengan kedua orang tua, Kakak, dan kerabat dekat lain, Ibra membiasakan diri menyebut nama tiap kali berinteraksi dengan mereka. Hal yang benar-benar tak aku pahami hingga saat ini.
“Faktor kebiasaan, Danika. Rasanya sulit untuk mengubah. Sejak kecil say a selalu bicara dengan menyebutkan nama pada keluarga terdekat. Juga berbahasa sesopan mungkin dengan orang lain. Rasanya agak sulit untuk mengubah kebiasaan itu,” jelas Ibra lagi dan lagi.
“Coba sama aku ngomong dengan menyebut nama kamu?” tantangku.
Bukannya menjawab, Ibra malah tertawa. “Susah,” ucapnya dengan nada geli.
“Sesusah itu?”
Ibra mengangguk. “lya. Saya juga nggak tahu kenapa. Lagi pula kenapa harus diubah. Rasanya komunikasi kita selama ini sudah nyaman.”
Aku mengangguk. Meski terasa aneh bagi yang mendengar tiap kali Ibra berbicara pada istrinya dengan membahasakan saya, tapi bagiku yang sudah menghabiskan waktu dengannya tak terasa aneh lagi.
“Permintaan lain,” tawar Ibra lagi.
“Anak kedua?” ucapku, ragu.
Lagi-lagi Ibra tertawa. “Aneh, ya, kamu. Harusnya yang minta itu saya sebagai suami yang menghamili. Kenapa dalam situasi kita justru kamu yang minta?”
“Habis ... apa, ya? Rasanya aku nggak perlu minta apa- apa lagi. Tuhan sudah sayang banget sama aku. Ada kamu, Aidan, Papa, Haninda, Mama, Papa kamu juga Dayu. Mau minta apa lagi, ya?”
Ibra menghela napas. la berdiri dari kursinya. Berjalan ke arahku kemudian berlutut. Matanya menatap tepat ke dalam mataku. “Minta sama Tuhan supaya kita selalu sehat, bersama sampai akhir hayat. Dianugerahi anak-anak yang berbakti. Seperti hal-hal itu?”
“Itu doaku tiap saat.”
Ibra gemas padaku. la mencubit hidungku cukup keras. Rasanya menyakitkan hingga aku memekik.
“Sakit tahu!” kesalku sambil memukul lengannya.
“Baru kali ini ada orang yang merayakan pernikahan tapi justru bertengkar seperti kita.”
“Kamu yang mulai.”
Dahi Ibra mengernyit mendengarku mengomel. “Kamu lagi masa periode?” tanyanya kemudian.
“Kalau iya, kenapa?”
Wajah Ibra tampak lesu. Membuatku tak tahan untuk tak tertawa. Tentu saja aku tahu mengapa tiba-tiba ia berwajah lesu. Hari peringatan seperti ini adalah sesuatu yang spesial. Di mana kami menghabiskan waktu hanya berdua. Tanpa Aidan. Dan biasanya ditutup dengan kegiatan spesial dengan Ibra yang memesan kamar istimewa di hotel mewah.
“Jangan ngambek gitu dong, Pak Ibra?” bujukku.
“Acara utamanya berarti gagal?”
Aku tertawa makin lepas. Ini pertama kalinya kulihat wajah Ibra benar-benar nelangsa karena tak bisa menjalankan misinya. Sungguh, hari ini Ibra benar-benar bukan seperti Ibra yang kukenal.
“Kita ganti lain waktu, oke? Sekarang kita nikmatin dulu makan malam spesial yang sudah kamu siapin.”
Ibra menyerah. la berdiri dari posisi berlututnya. Kemudian mulai menyiapkan makanan yang spesial ia siapkan untukku. Bukan karena makanan tersebut adalah jenis makanan mahal yang bisa didapatkan di hotel atau restoran mewah. Tapi karena semua masakan tersebut dibuat sendiri olehnya. Untuk urusan masak, kadang aku merasa tersaingi dengan kemampuan Ibra. Hidup mandiri membuatnya juga mampu menangani dapur dengan sangat baik. Satu yang aku heran, jika Ibra memiliki kemampuan mengolah bahan masakan, mengapa ia tak mengambil sekolah memasak saja. Namun, jawaban Ibra saat cukup membuatku paham. la mengatakan untuk bisa memasak tak harus melalui pendidikan formal di sekolah khusus. Siapa pun bisa asal mau berusaha. Seperti Ibra yang banting setir dari pekerjaan sebelumnya dengan mendirikan Sushi Me. Restoran yang memang menjadi impiannya.
“Bagaimana rasanya?” tanyanya.
“Kamu nggak perlu tanya. Ini istimewa.”
Jawabanku membuat Ibra cukup puas. Makan malam dengan sedikit dibumbui perbincangan biasa kami lakukan. Hany a saja kali ini suasananya yang tak biasa. Kesan magis dan penuh cinta terasa jelas dalam ruangan ini. Selesai makan, aku menenangkan perutku yang terisi penuh. Rasa lezat dari masakan Ibra masih menari-nari di lidah dan perutku. Sekarang mungkin organ-organ di dalam tubuhku sedang mencerna nutrisi yang baru saja masuk. Ibra sendiri memilih merapikan meja dari piring-piring kotor. Tapi aku memintanya untuk tak perlu mencuci peralatan bekas kami makan. Biar tugas tersebut menjadi bagianku ketika perutku sudah bisa diajak bekerja sama.
“Oke, waktunya aku cuci piring,” ucapku ketika merasa sudah bebas bergerak lagi.
Selagi aku mengerjakan tugas, Ibra menunggu di tempat. Demi membunuh kesendirian aku bekeija sambil bersenandung. Tak butuh waktu lama menyelesaikannya karena memang jumlah peralatan yang tak seberapa.
Namun, ada yang berbeda saat aku kembali ke ruangan tadi. Lampu-lampu berubah menjadi lebih redup. Ibra tak lagi menunggu di meja spesial. Saat ini ia sedang duduk di sebuah karpet yang dibentangkan di lantai. Ada dua bantal yang tersedia. Yang membuatku tak kalah terkejut sudah tersedia layar proyektor. Mungkin Ibra menyiapkannya saat aku sedang mencuci piring di dapur tadi.
“Maksudnya ini apa? Kita nonton layar tancap gitu?” Nada geli tak bisa kusembunyikan.
“Anggap saja begitu. Ini perayaan spesial kita, kan?” Ibra menepuk sisi sebelahnya. Tanpa menunggu lama,
aku langsung duduk di sampingnya. Tangan Ibra yang memegang remote mulai menekan tombol untuk menyalakan proyektor. Seketika suasana langsung berubah. Gambar gambar yang diiringi musik instrumental mulai bergerak di layar. Mataku menatap takjub semua yang tersaji. Terutama beberapa gambar yang aku tak tahu kapan Ibra mengambilnya. Kami seperti menyaksikan kilasan demi kilasan kehidupan. Momen pernikahan, pertama kali menjadi suami-istri, melakukan kegiatan berdua, hingga masa-masa menanti kehadiran Aidan. Semua tersaji dengan begitu apik di dalam layar.
Tanpa sadar air mataku menetes. Mungkin belum lama waktu yang kami miliki bersama, tapi semua terasa begitu membekas. Terlebih sejak kehadiran Ibra dalam hidupku, semua duka perlahan memudar. Dia yang seperti matahari mampu menghangatkan hidupku yang biasanya dingin dan sepi.
“Saya buat kejutan begini bukan untuk bikin kamu nangis loh.” Ibra berbisik lirih tepat di telingaku. Aku tak sadar bahwa pria itu kini telah memelukku dari belakang dengan posisi kami yang sedang duduk.
“Gimana nggak mau nangis. Kejutannya begini,” balasku. Aku mencoba menghapus air mata dengan punggung tanganku. “Bahkan banyak dari foto-foto itu yang aku nggak tahu kapan kamu ambilnya.”
Ibra mengecup puncak kepalaku sekilas. “Karena itulah namanya kejutan.”
“Kejutan dari kamu selalu sukses bikin aku nangis. Padahal kamu janji nggak akan bikin aku nangis kan.”
“Selama tangisan yang keluar bukan bentuk kesedihan.” Aku mendengkus. Kumiringkan kepala agar dapat
melihat wajahnya. Tadinya bermaksud untuk menyemprot Ibra dengan omelanku, tapi yang ada aku malah terpaku pada tatapannya yang tepat menusuk netraku. Meski dengan penerangan yang temaram,tapi aku masih bisa melihat kejernihan dalam matanya.
Sudah cukup sering rasanya aku mengalami kedekatan dengan Ibra, tapi tetap saja dalam jarak dan suasana seintens saat ini, aku tak bisa mengendalikan diri. Napasku menderu agak cepat. Dengan jantung yang rasanya seperti akan meledak keluar, terlebih saat Ibra mulai mendaratkan ciuman di wajahku. Mulai dari mata, hidung, hingga bibir. Tak ada ciuman penuh hasrat. Hanya sebuah sentuhan yang menunjukkan rasa sayang terhadapku.
“Selamat hari jadi pernikahan kita, Danika. Saya nggak akan minta banyak-banyak sama Tuhan. Cukup kamu terus ada. Bersedia mencintai dan menemani saya seumur hidup. Kamu tahu kan, saya sudah jatuh cinta sama kamu sejak awal kita ketemu. Walau kamu bilang ini picisan, tapi setiap hari saya terns dan akan terns jatuh cinta sama kamu.”
Tanganku langsung tergerak untuk memeluk erat tubuh Ibra. Beijuta syukur rasanya tak akan cukup kuungkapkan atas semua kebahagiaan yang diberikan padaku.
“Selamat hari jadi juga, Pak Ibra. Aku juga akan terus dan terus jatuh cinta sama kamu. Jatuh cinta dengan perhatian dan kebaikan hati kamu.”
Waktu yang tersisa kami habiskan hanya dengan duduk berdua. Menikmati kesunyian suasana namun begitu mendamaikan jiwa. Rasanya ingin terus seperti ini, tapi tak mungkin karena ada satu harta paling berharga yang masih menanti kami di rumah. Aidan.
Sejak pagi aku sudah disibukkan dengan urusan dapur. Aidan dan Ibra masih saling bergelung di kasur. Tapi sejak subuh aku sudah harus bersiap. Hari ini kami memiliki agenda istimewa. Berpiknik bersama Dayu dan keluarga kecilnya. Setelah memastikan beberapa makanan masuk ke dalam keranjang, aku bersiap untuk membangunkan dua jagoanku. Untung Aidan menduplikasi hampir semua sifat Ibra. Jadi tak sulit bagiku untuk mengaturnya. Sejak umur dua tahun, Aidan benar-benar menjadi sosok anak manis, tak pernah rewel dan selalu mau jika kuajak belajar memahami sesuatu.
“Ayo, bangun, mandi. Kita mau piknik, kan!”
Kusibak selimut yang sedang menutupi tubuh keduanya. Senyumku tak bisa ditahan kala melihat ayah dan anak itu saling berpelukan. Pemandangan hangat itu selalu mampu membuatku bahagia tiap harinya.
“Aidan, Papa Ibra, bangun!”
Mereka hanya menjawab dengan gumaman. Aku tahu baik Ibra dan Aidan sudah bangun, tapi mereka masih terus bergelung nyaman satu sama lain.
“Kalau nggak mau Mama tinggal, ya, Aidan. Biar Mama main sama Lila saja.”
Aku sengaja menyebutkan nama Lila sebagai pancingan. Benar saja. Begitu nama putri sahabatku itu disebutkan, Aidan langsung melompat bangun.
“Mau main sama Lila!” teriak Aidan bersemangat.
Aku tertawa. Kedekatan mereka memang sudah terbangun sejak kecil. Mungkin sejak Lila masih berada dalam perut Dayu. Sahabatku yang saat hamil Lila memang begitu sering menghabiskan waktu bersamaku dan Aidan. Persahabatan yang aku dan Dayu miliki sepertinya akan diteruskan oleh kedua buah hati kami.
“Kalau gitu Aidan mandi dulu yuk.”
Aidan langsung mengulurkan tangannya padaku. Kebiasaannya tiap kali akan mandi pagi. Ibra sudah melarangku untuk tidak terlalu sering menggendong Aidan. Anak itu sudah berusia tiga tahun lebih. Dan bagi Ibra, usia itu sudah cukup matang untuk Aidan diajarkan lebih mandiri.
Tapi kadang, aku sebagai ibu sering sekali membantah peringatan Ibra. Meski Aidan sudah bisa berjalan dan bergerak dengan baik, tapi aku masih ingin memanjakannya. Karena nanti, saat usianya makin bertambah, juga ketika Aidan akan memasuki masa sekolah, maka aku sudah tak akan bisa lagi memanjakannya dalam gendonganku.
Memandikan Aidan itu seperti bermain. Ada saja yang akan kami lakukan selama pria kecil itu menjalani kegiatan bersih dirinya. Kadang Aidan akan bermain bajak laut dengan mainan yang ia masukkan ke dalam bathtub-nya. Kadang aku mengajaknya bernyanyi lagu anak-anak untuk menghibur.
“Jangan lama-lama mandinya. Nanti masuk angin.” Suara Ibra terdengar dari luar kamar mandi.
Aku dan Aidan tertawa bersama. Ibra memang kadang paling cerewet jika itu menyangkut aku atau Aidan. Maksudnya memang baik, menjaga kami berdua dari segala kemungkinan bahaya dan penyakit, tapi mandi bagi anak seusia Aidan tak akan seru jika tak diselingi dengan bermain.
“Ayo, sudahan mandinya. Nanti Papa bawel,” ucapku sembari mengangkat Aidan dari dalam bathtub. Waktunya membersihkan tubuh Aidan dengan shower.
Pukul sepuluh lebih, kami berangkat. Tempat yang kami tuju adalah sebuah taman yang memang dibuka untuk kegiatan keluarga. Dayu yang memilih tempat itu. Selain taman, tempat itu juga menyediakan beberapa wahana permainan untuk anak. Pengelola tempat itu memang sengaja menyediakannya agar keluarga yang berkunjung tak merasa bosan.
“Dayu sudah di sana?” tanya Ibra yang sedang menyetir. “Sudah. Katanya sih setengah jam lain.”
Kegiatan seperti ini memang sering aku dan Dayu lakukan. Selain menyenangkan, ajang berpiknik bersama menjadi perekat kedekatan kami. Aku dan Dayu ingin melihat keluarga kami tumbuh bersama dengan cinta dan kebersamaan. Juga menyaksikan bagaimana Aidan dan Lila tumbuh menjadi sahabat yang saling menyayangi. Meski kadang kala ada celetukan yang keluar justru mengatakan bahwa kami Aidan dan Lila akan tumbuh tak hanya menjadi sahabat, tapi juga sepasang kekasih. Ya, itu yang selalu diutarakan Ginan, sepupu Dayu tiap kali melihat Aidan dan Lila bermain bersama.
“Para Ayah silakanjagain anak-anak main. Para Ibu akan menyiapkan camilan selagi kalian main.” Dayu memerintahkan Damar dan Ibra untuk membawa Lila dan Aidan bermain.
Kedua pria itu menurut saja. Kadang Ibra dan Damar kulihat sering bertukar peran. Mereka bergantian menjaga anak-anak kami. Mungkin sebagai ayah mereka ingin merasakan menjaga anak yang tak dimiliki. Karena itu, kadang keduanya sering bertukar peran. Seperti yang saat ini terlihat. Ibra menemani Lila bermain ayunan. Sedang Damar bermain bola kaki bersama Aidan.
“Mereka tukar peran lagi,” ucap Dayu sambil tertawa. “Enggak pengin ngasih anak laki-laki buat Damar?”
tanyaku.
Bibir Dayu mencebik. “Enggak pengin kasih anak perempuan untuk Ibra?” balasnya dengan sengit.
Aku tertawa. Tak tahan melihat ekspresi nyinyir yang disengaja di wajah Dayu. “Masih berusaha,” jawabku.
“Seriusan, Nika? Kamu mau kasih anak lagi?” Dahiku mengernyit. “Kok malah ditanyain? Ya, iyalah.
Kasihan kalau Aidan jadi anak tunggal. Jadi, ya, aku mau punya anak lebih dari satu. Kamu kan juga tahu rasanya jadi anak tunggal. Enggak enak. Suka kesepian.”
“lya, sih. Tapi nggak secepat itu juga. Lila belum juga genap tiga tahun,” jawab Dayu. “Rencana mau punya anak berapa, Bu?”
“Em, tiga kali, ya. Itu juga kalau dikasih rezeki sama Yang di Atas.”
“lya. Mau usaha kayak apa juga kalau Allah belum kasih, ya, kita bisa apa.”
Lelah bermain, Aidan dan Lila bersama kedua ayah tersebut kembali. Aku dan Dayu mulai menyuguhkan minuman dingin dan camilan untuk mereka. Aidan dan Lila tampak sangat senang bisa bermain bersama. Bahkan dua anak kecil itu tak henti-hentinya bercerita apa yang mereka lakukan. Sedang kedua ayah hanya mendengarkan ocehan anak-anaknya dengan saksama.
Setelah makan siang, giliran kami bermain bersama Aidan dan Lila. Kedua ayah ditugaskan menjaga barang- barang. Kami mencoba beberapa wahana anak yang tersedia,seperti kereta api dan bianglala mini. Melihat anak- anak kami begitu gembira juga memberi kegembiraan yang sama bagiku dan Dayu. Lelah mencoba permainan, Aidan dan Lila memutuskan untuk bermain di bak pasir. Kedua bocah itu mencoba membangun istana pasir. Kemampuan komunikasi mereka memang belum terlalu baik, tapi yang namanya anak-anak selalu menemukan caranya untuk berteman. Begitu juga Lila dan Aidan yang kini sedang bermain dengan dua anak seusia mereka.
“Senang, ya, lihat mereka tumbuh bahagia begitu.” Dayu tiba-tiba berucap. Saat ini kami hanya memperhatikan kedua anak kami dari bangku taman yang tak jauh dari bak pasir tersebut.
“Sangat, Yu. Rasanya seperti melihat kembali memori masa kecil.”
“lya, tapi aku doang. Kamunya enggak karena Aidan kan anak laki-laki.”
Aku berdecak kesal seraya menampilkan wajah masam. Sahabatku itu hanya terkekeh geli melihatnya.
“Ayah, Ibuku, juga Mama kamu pasti lagi bahagia juga lihatin cucu-cucunya main.”
Aku merangkul Dayu seketika. “Tentunya. Impian orang tua adalah melihat anak-anak bahagia. Impian Kakek dan Nenek adalah menyaksikan cucu-cucunya tumbuh. Walau Mamaku, Ayah, dan Ibu kamu nggak melihat mereka secara langsung. Tapi aku yakin, mereka sama bahagianya dengan kita.”
“Jadi kangen, kan.” Suara Dayu agak bergetar.
“Hahaha, siapa duluan yang mulai coba?”
Tanpa diduga, kedua anak kecil kesayangan itu sudah berada di hadapan kami. Aidan mengulurkan setangkai bunga kecil pada Dayu. Mungkin dia melihat Dayu yang berwajah sendu. Jadi jagoanku itu mencoba menghibur Dayu dengan memberikan bunga yang ia petik di sekitar taman. Semoga saja pengelola taman tak memarahi kami karena ulah Aidan yang mencabut tanaman sembarangan.
“Untuk Tante Dayu?” tanya Dayu meyakinkan.
“lya!” jawab Aidan lantang.
“Terima kasih, Sayang.” Dayu mencium pipi kanan Aidan, membuat putraku itu tersenyum malu-malu.
“Ayo, balik. Sebelum para Bapak itu bawel,” ajakku kemudian.
“Lah, Ibra bisa bawel juga?” Dayu bertanya heran. “Sedikit.”
Puas bermain dan berkumpul bersama, kami segera merapikan barang-barang. Waktunya untuk pulang karena Aidan dan Lila sudah terlihat lelah dan mengantuk. Kami berpamitan satu sama lain. Sebelum pergi, kembali Dayu memberitahukan rencananya yang lain, la ingin kami berlibur bersama. Untuk itu, ia mengancam Damar dan Ibra untuk meluangkan waktu. Kedua pria itu tampak pasrah. Tak bisa menentang keinginan Dayu. Membuat sahabatku itu bersorak girang karena lagi-lagi rencananya terwujud. Sungguh perempuan itu memang tak pernah berubah. Sang pemaksa ulung. Tapi begitu, aku juga turut senang. Itu artinya semakin banyak waktu yang kami habiskan bersama untuk bersenang- senang.
Hadiah Terindah
Hari ini sangat istimewa bagiku. Pria yang kucintai sedang berulang tahun. Sejak sore aku dan Aidan sudah sibuk mempersiapkan kejutan untuk Ibra. Pria itu mengatakan akan pulang sedikit terlambat. Ada beberapa hal yang harus diselesaikan sehubungan dengan pembukaan cabang Sushi Me yang barn. Aku dan Aidan bisa lebih leluasa mempersiapkan kejutan makan malam baginya.
Aku juga sudah menghubungi keluarga Ibra juga Papa dan Haninda untuk datang. Mereka semua akan datang saat waktu makan malam. Meski Mama Ibra, Yasmin, dan Haninda berniat untuk membant, namun aku melarang mereka untuk datang. Aku ingin makan malam kali ini menjadi hasil keija kerasku dan si kecil Aidan. Meski tak banyak membantu, tapi kehadiran Aidan di dapur membuatku bersemangat mempersiapkan semuanya.
Pukul setengah delapan malam, orang tua Ibra dan keluarga kecil Yasmin tiba,disusul kedatangan Papa dan Haninda. Tak ada keluarga Tante Mala dalam rombongan. Meski begitu aku cukup bernapas lega. Artinya tak perlu ada perdebatan antara kami nantinya.
“Ibra sudah datang?” tanya Mama Amida padaku. “Katanya lagi di jalan, Ma.”
Menyaksikan kebersamaan keluarga membuat hatiku menghangat. Papa juga orang tua Ibra yang tampak bahagia bermain bersama Aidan di karpet yang tersedia. Semua itu kurekam dalam kepalaku. Meski tak ada Mama, tapi kehangatan yang kumiliki saat ini cukuplah menjadi pengobat rinduku pada beliau. Mama pun pasti tak ingin aku terus larut dalam kesedihan.
Tak lama terdengar deru mobil memasuki pekarangan rumah. Aku tahu itu pasti Ibra. Aku segera memberi aba-aba bagi semua untuk bersiap. Begitu Ibra masuk nanti, kami semua akan meneriakkan ucapan selamat ulang tahun seraya menyalakan confetti.
Bel berbunyi, menjadi pertanda bahwa Ibra kini sudah berada semakin dekat. Tapi aku sengaja tak ingin membukanya. Aku tahu jika sampai tiga kali Ibra menekan bel tapi aku takjuga datang, pria itu akan membuka sendiri pintu.
Benar saja, suara pintu yang berderit menandakan Ibra sudah membuka sendiri pintunya. Pria itu pasti heran ketika masuk ke rumah, namun suasana sepi yang menyambutnya. Ketika langkah kaki semakin dekat ke arah ruang makan, saat itu kami berteriak dan menyalakan confetti hingga membuat Ibra cukup terkejut.
“Selamat ulang tahun!” teriak kami bersamaan.
Rasanya memberi kejutan pada Ibra tak terlalu berguna. Karena nyatanya, walau cukup terkejut dengan suasana yang tiba-tiba meriah, ekspresi wajah Ibra hanya tersenyum maklum. Ingin sekali rasanya mencakar wajahnya agar sedikit lebih ekspresif. Sepertinya nanti aku akan protes padanya karena rencana kejutanku ternyata tak seheboh yang kubayangkan.
Aidan langsung menghambur ke dalam pelukan Ibra. Sigap, sang ayah langsung menangkapnya.“Selamat ulang tahun, Papa!” Aidan menghadiahi ciuman di pipi Ibra. Senyum lembut langsung Ibra pamerkan pada anak semata wayangnya itu.
“Selamat ulang tahun, Ibra. Semoga semakin dewasa dan semakin baik sebagai kepala rumah tangga.” Ucapan tersebut datang dari Papa Ibra.
“Selamat ulang tahun, Ibra. Semoga sehat selalu bisa menjaga Danika dan Aidan.” Papa juga memberi ucapan dan doanya.
Satu persatu anggota keluarga lainnya memberikan ucapan dan doa pada Ibra. Hanya aku yang tak ikut serta karena puny a kejutan lain untuknya saat kami hanya berdua saja nanti. Makan malam berlangsung hangat. Ada banyak canda dan tawa menghiasi meja makan kami. Namun yang paling memberikanku kehangatan adalah kala jemari Ibra menggenggam erat jemariku di bawah meja. Tawa kami bersama memenuhi atmosfer ruang makan. Genggaman tangaku dan Ibra seolah menjadi pertanda bahwa kami akan terns membangun suasana seperti ini. Menjadi lebih erat.
Hampir tengah malam semua tamu berpamitan. Selain karena masih ada anak kecil yang harus segera beristirahat, para orang tua juga butuh waktu untuk istirahat. Setelah mereka berpamitan, aku dan Ibra menemani Aidan untuk tidur. Sejak dua bulan lalu, Ibra memang mencoba membiasakan Aidan untuk tidur di kamarnya sendiri. Meski kadang-kadang jika terbangun tengah malam, anak itu akan menyelinap ke kamar kami. Tapi perlahan Aidan mulai terbiasa. la juga bukan anak yang takut akan gelap dan kesendirian. Benar-benar sosok anak yang akan tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. Persis seperti ayahnya.
“Sepertinya dia sudah tidur.” Ibra berbicara dengan sangat pelan. Takut membangunkan Aidan yang telah terlelap.
Saatnya bagi kami untuk meninggalkan kamar si kecil. Sebelumnya baik aku dan Ibra memberikan ciuman selamat tidur untuk Aidan. Tak lupa membisikkan doa agar Aidan diberikan mimpi indah. Sambil berpergangan tangan, aku dan Ibra keluar dari kamar Aidan menuju kamar kami yang berada di sebelahnya.
“Saya mandi dulu, ya. Kamu tidur duluan.”
Selagi Ibra masih berada di kamar mandi, aku mulai mempersiapkan kejutan yang akan kuberikan untuknya. Kotak kayu berisi hadiah kuletakkkan di bawah bantal tidurku,kemudian segera naik ke kasur untuk menunggunya. Berbekal sebuah buku yang memang selalu ada di nakas, aku mulai membaca demi membunuh waktu.
Tak lama Ibra keluar dari kamar mandi. la tampak lebih segar dengan piyama polos. Sejujurnya Ibra tak terlalu suka tidur menggunakan piyama. la lebih senang tidur dengan kaus dan celana panjang berbahan katun. Walaupun banyak piyama yang memang memiliki bahan sama seperti yang biasa Ibra kenakan, tapi tetap pria itu tak terlalu suka menggunakannya. Hany a karena aku sudah membelikannya saja, Ibra tak mungkin menyia-nyiakan apa yang sudah kusiapkan.
“Kenapa belum tidur?”
Ibra sudah berada di sampingku. Tangannya segera terulur untuk mengambil buku yang sedang kupegang. la memang cukup strict jika menyangkut jam istirahat. Ibra selalu ingin aku memiliki waktu istirahat yang cukup dan berkualitas. Padahal aku tak bekeija sekeras dirinya. Hanya mengurus rumah dan Aidan. Rasanya itu bukan pekerjaan yang terlalu menguras tenaga dan pikiran karena aku melakukan semuanya dengan senang hati. Tak seperti Ibra yang kadang harus bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya demi mengurus usaha. Aku tak bisa bayangkan betapa gilanya jam keqa Ibra. Saat masih menjadi pegawai Sushi Me saja aku tahu ia tak banyak menghabiskan waktu di sana. Entah berapa banyak urusan yang dimiliki Ibra di luar.
“Tidur, Danika,” pintanya ketika aku tak juga membaringkan diri. Bahkan ia menarikku untuk segera berbaring.
Kami saling berhadapan dengan posisi tidur yang miring. Ibra sudah memejamkan mata, meski aku tahu ia belum terlelap. Gurat lelah tampak jelas di wajahnya. Telunjukku mengusap lembut mulai dari alis hingga bibir Ibra. Membuat pria itu refleks membuka mata.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku hanya mengumbar senyum. Jemariku masih meraba wajah Ibra. Pria itu langsung menangkapnya dan menyatukan
jemari kami.
“Kamu aneh hari ini.”
“Enggak aneh, kok. Masa aku mau elus-elus suami sendiri dibilang aneh.”
“Aneh.”
Kata yang diucapkan Ibra justru membuatku tertawa. Entah sudah berapa banyak tawa yang berhasil pria itu ciptakan dalam hidupku. Aku tak akan pernah bisa berhenti bersyukur karena Tuhan menghadirkan dia dalam hidupku.
“Selamat ulang tahun.”
“Bukannya tadi sudah?” ucapnya dengan nada bingung. “Aku belum.”
Ibra hanya menggumamkan kata ‘oh’, la bukan pria minim ekspresi sebenarnya. Hanya saja memang jarang mengumbarnya. Aku pernah melihat Ibra tersenyum, tertawa, bingung. Hanya saja ekspresinya ketika marah saja yang aku tak pernah tahu. Pria itu sangat ahli dalam mengendalikan emosi, terutama kemarahan.
“Sekarang sudah, kan. Ayo, tidur!”
Ibra kembali memejamkan mata. Ingin membangun suasana romantis dengan pria ini kenapa susah sekali. Padahal aku belum menyerahkan hadiahku. Aku tahu Ibra mungkin lelah setelah berkegiatan seharian di luar, tapi ini adalah hari istimewanya. Apa ia tak ingin menghabiskan waktu sedikit berbeda denganku?
Kukeluarkan kotak hadiah yang sudah kusiapkan dari bawah bantal. Kupegang erat dengan sebelah tangan. Sedangkan tangan satunya lagi kembali kugunakan untuk menjaili Ibra. Kupencet hidungnya hingga Ibra kesulitan bernapas. Tapi seperti biasa, ia tak akan menunjukkan kemarahan atau rasa kesal padaku. Matanya hanya menyipit curiga saat terbuka.
“Ada apa lagi, Danika?”
“Aku belum kasih hadiah loh,” ucapku dengan senyum cerah mengembang.
“Besok juga bisa. Kita harus istirahat. Ini sudah cukup larut.”
Aku menggeleng. “Em, kalau hadiahnya besok nggak kejutan lagi dong.”
“Ya, sudah. Mana hadiahnya?” tanya Ibra sembari mengulurkan tangan.
“Jangan kaget, ya, sama hadiahnya.”
Ibra mengangguk. Aku langsung menyerahkan hadiah yang kusiapkan padanya. Meski bingung, tapi Ibra tetap menerimanya. Saat kulihat ia akan menyimpan hadiahnya, buru-buru aku menghentikan.
“Dibuka sekarang!” perintahku.
“Kamu jadi lebih galak, ya,” cibir Ibra.
Tapi seperti biasa, ia akan menuruti permintaanku. Meski dengan wajah yang menahan kantuk, tapi Ibra tetap berusaha menunjukkan antusiasnya kala membuka hadiah dariku. Sementara aku sudah tak sabar untuk melihat ekspresi apa yang akan Ibra pasang di wajahnya melihat hadiah itu.
Tak seperti dugaanku. Wajah Ibra tampak bingung kala memegang hadiah yang sangat spesial kusiapkan. Alisnya hampir menyatu sembari memandangi alat tes kehamilan di tangan. Entah mengapa rasanya aku ingin menangis mendapati semua tak sesuai dengan bayanganku. Harusnya wajah Ibra berbinar kala mendapati hadianya.
“Ini benar?” tanyanya masih tak percaya.
Aku kesal. Tak ada rasa bahagia yang terdengar dari ucapannya. Kubalikkan tubuhku memunggungi Ibra. Rasanya menyedihkan saat mengetahui berita kehamilanku ternyata tak memberi kejutan bagi Ibra. Aku ingin menangis. Atau malah sudah menangis saat kuraskan mataku memanas.Tiba- tiba kurasakan pelukan hangat melingkupiku. Kecupan- kecupan kecil pun menghujani kepalaku. Tapi isakan kecilku belum juga reda. Sampai kurasakan bibir Ibra berada tepat di telingaku.
“Maaf, ya, saya cuma terkejut. Tapi saya benar-benar suka dengan hadiahnya. Terima kasih.”
Sebelah tangan Ibra mengelus lembut perutku. la juga kembali menyarangkan ciuman di sisi kepalaku. Kekesalanku perlahan mereda. Aku pun langsung membalikkan tubuh. Menyembunyikan wajah basahku di dada Ibra.
“Akhirnya Aidan punya adik juga. Kapan kamu tahu? Kenapa nggak kasih tahu saya?” Ibra kembali bertanya.
“Dua minggu lain.” Dahi Ibra mengerut. “Sengaja nggak kasih tahu kamu buat jadi kejutan ulang tahun.”
“Terima kasih.” Sekali lagi Ibra berucap. “Kalau begitu mulai sekarang harus lebih hati-hati, ya. Jangan terlalu lelah. Kalau perlu kita pakai jasa asisten rumah tangga.” Aku mengangguk. “Tapi jangan dulu. Nanti kalau perutku sudah makin besar.”
Ibra menghela napas. Tampak tak setuju. “Saya nggak mau kamu kelelahan selama hamil. Mengurus rumah, saya,
juga Aidan. Kita pakai ART, ya?” bujuknya kembali.
Gurat khawatir tergambar jelas di wajah Ibra. Baiklah, aku tak boleh membebani pikiran pria ini. la hanya ingin menjagaku dan calon bayi kami. Mungkin sekali-kali aku harus menjadi istri yang penurut. Akhirnya aku mengangguk setuju dengan permintaan Ibra.
“Baiklah, sekarang kita tidur, ya. Ibu hamil harus banyak beristirahat.”
Malam ini aku kembali tertidur lelap dalam pelukan hangat Ibra bersama calon anak kedua kami. Hari ini benar- benar membahagiakan. Kejutan yang dititipkan Tuhan padaku sebagai hadiah untuk Ibra sukses besar. Aku, Ibra, dan keluarga lainnya sudah tak sabar untuk bertemu dengan calon anggota baru kami. Semoga sampai hari itu tiba, anak dalam kandunganku berkembang dengan sehat dan baik.
Menyaksikan kedua buah hati tumbuh dengan baik rasanya sangat menggembirakan. Ada prestasi tersendiri sebagai seorang Ibu kala anak-anaknya tumbuh dengan sehat. Begitu pula yang kualami. Semua rasa lelah karena harus mengurus buah hati seorang diri rasanya sebanding kala melihat tawa keluar dari bibir mungil Aidan dan Aila. Walau sebenarnya aku tak benar-benar sendiri dalam mengurus kedua anakku. Ada Ibra yang selalu siap turun tangan membantuku.
Aidan yang kini sudah berusia enam tahun menjadi contoh baik bagi adiknya, Aila, yang masih berusia dua tahunan. Putra sulungku itu tumbuh menjadi sosok kakak lelaki yang bisa diandalkan, penyayang, sabar, dan sangat mengayomi adiknya. Sejak Aila kecil, Aidan memang sudah menunjukkan keterikatan besar pada adik perempuannya. Bahkan ketika Aila masih berada dalam kandungan, Aidan yang kala itu tahu bahwa ia akan menyandang status sebagai seorang kakak lelaki, begitu bersemangat. Mengajak adiknya berbincang meski tak sepenuhnya dimengerti oleh Aila.
Untuk Ibra, jangan ditanya. la begitu gembira kala tahu bahwa kami akan memiliki anak perempuan. Itu artinya keinginannya terpenuhi. Ibra mengatakan bahwa ia merasa lengkap sebagai seorang Ayah dari sepasang anak yang kami miliki. Meski begitu tak menutup kemungkinan ia masih menginginkan anak ketiga dan seterusnya. Meski agak terkejut dengan keinginannya, tapi aku mengiakan saja. Karena aku tahu, meski aku yang mengandung, tapi Ibra tak pernah sedikitpun melalaikan tugasnya sebagai seorang suami dan Ayah dalam menjaga kami.
“Sudah selesai sarapannya?” tanyaku ketika menghampiri meja makan. Tugas membuatkan bekal makan siang untuk Ibra dan Aidan barn saja kuselesaikan.
“Sudah, Mama. Hari ini bekalnya apa?” tanya Aidan ingin tahu.
“ Ay am karage. Suka, kan? Tapi ada sayur juga harus dihabiskan, ya, Abang.”
Meski begitu mirip dengan Ibra, tapi saat semakin bertambah usia, ada satu hal yang tak diadopsi Aidan dari sifat Ibra. Aidan termasuk tipe anak pemilih dalam urusan makanan. Terutama dalam hal sayur-mayur. la akan menyingkirkan sayuran yang sekiranya tak disukai.
“Siap berangkat ke sekolah?” tanya Ibra pada Aidan. “Aila mau ikut antar Abang Aidan sekolah?” tanyaku
pada si kecil Aila yang masih sibuk memakan sarapan paginya. “lya!” jawabnya bersemangat.
Bersama kami beriringan masuk ke mobil yang akan mengantar Aidan ke sekolah. Ibra tak merasa lelah meski harus bolak-balik mengantar jemput anak-anak dan aku. Padahal sudah kukatakan aku bisa menjadi sopir bagi anak- anak kami agar tak merepotkannya, tapi tetap saja ia tak mengizinkan. Lalu apa gunanya mobilku terparkir manis di garasi jika aku tak diizinkan untuk mengendarainya. Padahal aku sudah sangat ingin kembali bisa menyetir mobil sendiri.
Suasana pagi selalu sama. Penuh dengan keceriaan di dalam mobil. Dua anak kecil yang berceloteh dan menyanyi mewarnai pagi kami setiap harinya. Jarak dari rumah ke sekolah Aidan tak terlalu jauh. Hany a memakan waktu berkendara sekitar dua puluh menit. Tapi jika jalanan macet, tentunya memakan waktu lebih untuk sampai.
“Kami antar Abang Aidan ke kelas dulu, ya, Papa,” ucapku pada Ibra yang lebih memilih menunggu di mobil.
Aidan berpamitan pada Papanya. Mencium punggung tangan Ibra. Begitu juga Aila melakukan hal yang sama. Padahal nanti ia akan kembali ke mobil. Hanya saja ia senang melakukannya. Mengikuti apa yang kakak lelakinya lakukan. Saat mengantar Aidan, aku melihat Dayu juga menemani Lila. Putri sahabatku itu masih duduk di bangku TK di sekolah yang sama dengan Aidan. Bukan tanpa alasan. Lila sendiri yang ingin berada satu sekolah dengan Aidan. Padahal jarak dari rumah mereka ke sekolah ini cukup jauh. Damar awalnya menolak, tapi dengan bujukan Dayu, pria itu akhirnya mengizinkan.
“Belajar yang baik, ya, Abang. Jadi anak penurut sama gurunya. Oke?” ucapku sebelum melepaskan Aidan di depan ruang kelasnya.
“Aidan sayang Mama.”
Aidan mengucapkan kalimat saktinya setelah mencium tangan dan pipiku. la pun melakukan hal yang sama pada adiknya. Mengungkapkan rasa sayangnya. Kebiasaan yang kutanamkan pada Aidan dan Aila agar mereka selalu menumbuhkan rasa sayang terhadap saudara dan keluarga.
“Dadah, Abang...” Si kecil Aila melambaikan tangan mengiringi kakak lelakinya masuk ke dalam kelas.
“Kita pulang, ya. Papa sudah menunggu. Nanti Papa telat ke kantor.”
Aila mengangguk. Bergandengan tangan kami meninggalkan ruang kelas di mana Aidan berada. Di tengah peijalanan kami berpapasan kembali dengan Dayu yang juga akan kembali ke rumah. Meski masih TK, tapi Dayu pun mengajarkan kemandirian pada Lila. Lila tak harus ditemani selama prosesnya belajar. Untungnya Lila adalah anak yang sama mandirinya dengan Aidan. Mungkin campuran sifat keras kepala kedua orang tuanyamenjadikan Lila anak perempuan yang tak takut dan kuat.
“Langsung mau balik?” tanya Dayu. Sebelah tangannya menggandeng tangan kiri Aila.
“lya. Ibra kan harus ke restoran lagi. Ke sini naik apa?” aku balik bertanya.
“Damar.”
Aku tertawa melihat ekspresi datar Dayu. Sama sepertiku, ia pun tak diizinkan berkendara. Padahal Dayu sudah susah payah mengikuti kursus mengemudi untuk bisa mengantar jemput Lila. Tapi pada akhirnya, Damar tetap tak mengizinkannya menyetir sendiri. Mengapa kami bisa memiliki suami-suami yang kelewat paranoia. Padahal dulunya aku dan Dayu adalah contoh perempuan mandiri yang tak ingin bergantung pada pria.
“Kenapa kita dapat suami kelewat protektif, ya?” ujarku. “Sudah nasib. Terima saja. Untung cinta,” balas Dayu
seenaknya, membuatku makin tertawa.
Ya, meski kedua pria itu kelewat protektif, tapi kami mensyukuri kehadiran mereka dalam hidup. Siapa yang sangka kami akan berakhir dalam kehidupan rumah tangga seperti ini.
“Tante Dayu pamit, ya. Nanti kita main lagi, oke,” ucap Dayu pada Aila.
Sebelum berpisah, Dayu mencium gemas pipi Aila hingga anakku itu berontak bahkan hampir menangis. Aila mengadukan perbuatan Dayu padaku dengan wajah memerah. Bukannya merasa bersalah, Dayu malah tertawa. Kemudian kami pun saling berpamitan setelah berpelukan.
“Kenapa Aila?” tanya Ibra, bingung kala melihatku masuk mobil sambil menggendong Aila.
“Dayu.”
“Tante Dayu nakal,” adu Aila dengan mata basah.
“Sini Papa peluk. Nanti kita marahin Tante Dayu, ya.” Ibra mengulurkan tangan untuk memeluk Aila yang segera dibalas oleh putri kami.
“Nakai...,” isaknya di pelukan Ibra.
Sang Ayah berusaha menenangkan putrinya. Ibra bahkan tak terlalu peduli lagi dengan waktu yang mungkin saja terbuang karena harus membujuk anak perempuannnya. Bagi Ibra keluarga adalah yang utama. la tak pernah takut kehilangan harta. Tapi tidak dengan waktu dan kasih sayang dengan keluarganya.
“Sudah, peluk Mama, ya. Kita harus pulang. Papa kan harus kerja. Nanti di rumah kita masak kue kesukaan Aila. Mau?” bujukku.
Tak sulit membujuk anak perempuanku itu. Entah memang semua ini hadiah untuk Ibra karena kedua anak kami begitu mengimitasi hampir semua sifat dan karakternya. Setelah Aila berpindah ke pelukanku, Ibra pun kembali melajukan kendaraan ke rumah. Tak lama mobil sudah berhenti di depan gerbang rumah. Aku meminta Ibra tak perlu masuk karena tak ingin dia terlambat.
“Ayo, pamit sama Papa. Kasih Papa ciuman biar Papa semangat kerjanya.” Aku memberikan instruksi pada Aila.
Aila menurut. la langsung mengulurkan tangannya. Meminta wajah Ibra mendekat untuk bisa memberikan ciuman penyemangat di pipi Ibra. “Aila sayang Papa.”
Ibra pun membalas dengan memberikan ciuman di pipi kanan dan kiri Aila. “Papa juga sayang Aila. Jadi anak baik selama di rumah sama Mama, ya.”
Aila mngangguk patuh. Setelahnya giliran Ibra melayangkan ciuman di pipi dan dahiku. Aila hanya menatap apa yang Papapnya lakukan padaku. Tapi karena sudah terbiasa melihat, Aila dan Aidan tak pernah bertanya-tanya. Bagi mereka itu cara kami menunjukkan kasih sayang—seperti yang kami lakukan pada mereka. Mungkin nanti setelah umur mereka bertambah, aku dan Ibra akan mengajarkan hal lainnya. Apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan. Semua harus dilakukan secara bertahap.
“Hati-hati nyetirnya, ya, Papa. Sampai ketemu nanti sore.”
Setelah acara berpamitan usai, aku dan Aila segera keluar dari mobil. Sekali lagi kami melambaikan tangan pada Ibra yang membuka kaca jendela mobilnya. Hingga Ibra kembali melajukan kendaraan sampai menghilang dari pandangan.
“Sekarang tinggal Aila dan Mama. Mau apa kita hari ini “Kue!” ucapnya dengan semangat.
“Oke! Hari ini Aila dan Mama akan bikin kue!”
Aila tertawa. la meminta untuk diturunkan dari gendongan, kemudian menggenggam jemariku. Bergandengan tangan kami masuk ke dalam rumah. Seperti biasa, hanya akan ada aku dan Aila seharian di rumah. Hingga Aidan dan Ibra kembali dari kegiatan masing-masing untuk berkumpul bersama kami lagi. Tak ada asisten rumah tangga yang kami gunakan. Aku membutuhkan jasa asisten hanya selama masa kehamilan Aila. Setelahnya aku kembai menjalani peran sebagai Ibu dan istri dalam istana kecil kami.
Bagiku, hidup yang kujalani saat ini cukup sempurna. Memiliki keluarga dengan suami dan anak-anak yang selalu mampu menghangatkan hatiku. Andai diberikan kesempatan untuk menjalani kehidupan kedua, aku tetap akan memilih
jalan yang sama. Merasakan perpisahan dengan Mama, bertengkar dengan Papa, kehilangan kasih sayang dan rumah,
juga bertemu dengan Ibra. Pria yang menunjukkanku jalan untuk kembali menemukan kebahagiaan. Memberikanku sebuah keluarga. Mengembalikan kepercayaanku dan menghadirkan sebuah tempat bagiku untuk pulang.
Ibra adalah malaikat yang Tuhan kirimkan padaku. Hadiah terindah yang tak akan pernah tergantikan. Karena itu, aku pun ingin menjadi hadiah yang sama indahnya bagi Ibra. Dengan selalu bersamanya, mendukunya, memberikan cinta yang akan sama besarnya. Selalu bertumbuh seiring beijalannya waktu yang akan kami habiskan bersama.
Mungkin dulu aku pesimis, tapi Ibra hadir dan membuka mataku. Membuatku percaya bahwa di balik setiap kesedihan yang kurasakan, tersimpan kebahagiaan yang sudah Tuhan siapkan. Sejatinya kesedihan dan kesulitan adalah cara Tuhan untuk menunjukkan kasih sayangNya pada manusia. Bagaimana bisa bertahan melalui itu semua membuktikan bahwa manusia adalah makhluk yang kuat. Tuhan akan selalu menghadirkan berbagai cara untuk selalu memberikan kita kekuatan. Mungkin dengan menghadirkan orang-orang di sisi kita sebagai hadiah terindah. Seperti Ibra di sisiku. Selamanya kami akan berjalan beriringan untuk mewujudkan semua impian yang akan kami bangun bersama.
Ibra Gadis Di Bawah Hujan
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam saat Ibra melirik jam di pergelangan tangan. Tak terasa sudah hampir lima jam ia dan teman-teman berkumpul. Banyak perbincangan yang mereka lakukan. Mulai dari mengenang masa-masa kuliah sampai kegiatan yang masing-masing mereka lakukan saat ini. Meski jarang berkumpul dengan sesama teman sekolahnya dulu, bukan berarti Ibra adalah sosok yang menutup diri dari pergaulan. la memang dikenal sebagai pribadi yang pendiam, tapi bukan juga seorang yang antisosial. Siapa pun yang mengenal Ibra pasti akan tahu betapa pria itu adalah pribadi yang ramah dan hangat di balik sikap pendiamnya.
Setelah berpamitan, Ibra bersiap kembali ke rumahnya. Bukan rumah keluarga besar Arrauf karena sejak tiga tahun lain, ia berhasil membeli hunian pribadi dari hasil keija kerasnya. Meski masih berstatus sebagai Manajer di perusahaan keluarga, tapi Ibra yang pintar membaca peluang bisnis berhasil mengumpulkan pundi-pundi Rupiah melalui usaha di mana ia menjadi penanam modal di beberapa bursa saham dan properti. Ibra tak ingin terus bergantung dengan perusahaan milik keluarga. Meski tak dimungkiri bahwa ia
jelas akan menjadi satu kandidat pemimpin di sana. Tapi sedini mungkin, pria itu ingin membuktikan diri bahwa ia bisa berdikari.
Hujan tengah menyapa kala Ibra berkendara menuju rumahnya. Sepertinya Tuhan selalu memberikan kejutan dalam hidup. Kali ini pun Ibra mendapat kejutan tak terduga. Seseorang berlari di tengah hujan dan hampir saja menjadi korban tabrakan mobilnya. Jika Ibra tak memiliki refleks yang cepat untuk menghentikan laju mobil, mungkin orang tersebut sudah celaka karena bertumbukan dengan mobilnya. Sosok yang hampir ditabrak Ibra tampak meluruh di jalan. Cepat- cepat pria itu mengambil payung yang untungnya selalu ada di kantong belakang jok mobil. Segera Ibra keluar dari mobilnya untuk melihat kondisi orang tersebut.
Betapa terkejutnya Ibra saat menyadari bahwa sosok yang hampir ditabraknya adalah seorang gadis. Terlebih Ibra bisa melihat betapa putus asanya sosok gadis itu dengan membiarkan hujan membasahi tubuhnya. Mungkin gadis itu sedang mengalami masalah. Perlahan Ibra mendekat dan memayungi tubuh gadis itu yang sudah basah.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya khawatir.
Gadis itu tak menjawab. Masih diam dan tertunduk. Mungkin sedang mencoba menenangkan dirinya yang hampir menjadi korban tabrakan.
“Hei, kamu baik-baik saja?” Ibra kembali bertanya. Bahkan kini ia sudah ikut beijongkok di hadapan gadis itu.
Sesaaat mata mereka bertemu. Ada debar asing yang merasuk ke dada Ibra. Seketika ia dilanda kebingungan akan apa yang tiba-tiba dirasakannya. Lebih dari itu, Ibra jelas khawatir saat melihat mata jernih gadis itu yang seolah memancarkan kesedihan.
“Kamu butuh bantuan?”
Dengan cepat gadis itu menggeleng. “Tidak!”
Gadis itu refleks berdiri, membuat Ibra terkejut. Tanpa diduga berlari meninggalkan Ibra yang masih bingung. Ingin rasanya Ibra mengejar dan menghentikannya karena merasa gadis itu sedang memiliki masalah. Namun, sosok itu menghilang begitu cepat dari pandangannya. Beruntung saat ini jalanan tengah sepi. Jika tidak, mungkin mereka sudah mendapat teguran dari pengguna jalan lainnya karena menghambat lalu lintas.
Tak ada yang dapat Ibra lakukan selain kembali ke mobil. Namun entah mengapa ia tak bisa mengenyahkan wajah sendu gadis itu dari kepalanya. la bukan tipe orang yang gampang jatuh cinta. Ibra mudah bersimpati terhadap orang lain. Tapi untuk jatuh cinta, bisa dihitung dengan jemari berapa kali ia merasakannya hingga usianya yang cukup dewasa ini.
Bertemu dengan gadis itu membangkitkan rasa barn dalam diri Ibra. Jatuh cinta pada pandangan pertama? Mungkin saja. Tapi, Ibra tak ingin cepat-cepat menyimpulkan. Jika memang ia dan gadis itu memiliki benang takdir, ia percaya Tuhan akan mempertemukan mereka kembali.
Ibra baru kembali dari pertemuannya dengan salah satu klien perusahaan. Kontrak kerja sama yang ia ajukan mendapat persetujuan. Karena itu, ia merasa cukup puas hari ini. Tapi sepertinya suasana hati Ibra yang sedang baik, berbanding terbalik dengan nasibnya hari ini. Mobilnya lagi-lagi harus menjadi sasaran tabrakan. Terkejut, tentu saja.Tapi pria yang selalu mampu mengatur emosinya itu berusaha untuk tetap berkepala dingin tiap kali menghadapi masalah.
Ibra segera keluar dari mobil. Memperhatikan bagian belakang mobilnya yang kini menjadi sasaran benturan. Setelah mengamati bagian yang cukup parah tersebut, Ibra hanya bisa menghela napas pelan.
“Maaf, Pak. Saya nggak sengaja.”
Sebuah suara penuh kecemasan terdengar dari seseorang yang menghampiri. Ada rasa tak asing yang dirasakan Ibra. Seperti pernah mendengar suara merdu tersebut. “Cukup parah.” Hanya itu yang bisa Ibra katakan pada orang di belakangnya yang mungkin adalah si penabrak.
Perlahan Ibra berdiri untuk berhadapan dengan sang tersangka. Namun, alangkah terkejutnya ia kala melihat siapa gadis yang berdiri di depannya saat ini. Gadis yang pada kesempatan lalu juga hampir tertabrak olehnya. Tak hanya Ibra, gadis itu pun terlihat begitu terkejut. Seperti seseorang yang tiba-tiba terkena serangan jantung. Pasi. Sekali lagi Ibra memperhatikan dari atas ke bawah penampilan gadis itu. Menelitinya. Membuat raut tak nyaman tergambar jelas di wajah gadis cantik itu.
“Kamu.. ”
“Saya minta maaf!” potong gadis itu cepat.
Ibra memiringkan kepala. Ada keinginan untuk bicara, namun tak ada kata yang mampu pria itu keluarkan. Seperti ia kehilangan kemampuan bicaranya karena kehadiran gadis itu.
“Berapa biaya perbaikan yang hams saya ganti rugi?” Gadis itu bertanya tanpa basa-basi.
Sungguh, bukan perihal biaya yang menjadi konsentrasi Ibra saat ini, melainkan pertemuan tak terduganya dengan gadis itu masih sulit dicerna akalnya. Benarkah ini takdir Tuhan yang memang menjadikan pertemuan mereka sebagai ikatan jodoh? Ibra sangat ingin percaya itu. Tapi melihat gadis itu yang tak nyaman berada bersamanya, ia tahu tak akan mudah baginya.
“Kamu tahu kan biaya perbaikan mobil ini cukup mahal?” pancing Ibra untuk melihat reaksi gadis itu.
Dan benar saja apa yang ia perkirakan. Gadis di depannya ini mencoba mengintip dari balik tubuh Ibra jenis mobilnya. Juga seberapa parah kerusakan yang ditimbulkan. Ibra bisa melihat gadis itu susah payah mereguk saliva, la sebenarnya tak ingin bersikap mengancam. Tapi, jika jalan satu-satunya untuk bisa mendekati gadis itu adalah dengan ancaman seperti ini, maka Ibra akan memanfaatkannya.
“Saya nggak tahu. Tapi saya pasti akan berusaha bertanggung jawab.” Suara gadis itu memelan di akhir ucapannya.
Ibra mencoba menahan sudut bibirnya untuk tak tertarik ke atas. Tapi sepertinya hal itu tak bisa dicegah. Bahkan ia yakin senyuman kecilnya mampu dilihat gadis itu.
“Berikan nomor handphone kamu. Nanti dihubungi kalau mobil saya sudah diperbaiki.”
Apa yang dikatakan Ibra sepertinya berdampak buruk bagi gadis itu. Langkahnya tampak gontai saat kembali ke mobil. Setelahnya gadis itu menyebutkan nomor ponsel dengan wajah sangat terpaksa. Ibra tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada. la langsung menyimpan nomor diberikan gadis itu. Bahkan untuk memastikannya, Ibra sengaja melakukan panggilan. Wajah gadis itu bertambah
jengkel melihatnya.
“Siapa nama kamu?” Ibra memberanikan diri bertanya. la berharap gadis itu mau menjawab.
“Hah?”
“Nama kamu. Tidak mungkin saya tidak memberikan nama panggilan saat nanti menghubungi kamu.” Ibra kembali beralasan.
“Danika.”
“Baiklah, Danika. Nanti saya hubungi lagi.”
Setelahnya Ibra tersenyum. la tampak senang akhirnya mengetahui nama gadis yang berhasil menarik perhatiannya. Setelah berpamitan, Ibra lantas meluncur pergi. Meninggalkan gadis itu yang mungkin akhirnya bisa bernapas lega setelah tak lagi berhadapan dengan Ibra.
Mobil yang ditabrak oleh gadis bernama Danika itu akhirnya selesai diperbaiki. Namun, Ibra belum ingin menghubungi gadis itu untuk meminta biaya pertanggung jawaban. Lagi pula sejak awal ia memang tak berniat memintanya pada Danika. Melainkan lebih ingin mengenal gadis itu saja karena hatinya sudah terpaut sejak awal pertemuan mereka.
Beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan pun membuat Ibra sejenak lupa perihal gadis itu. Sampai ketika memeriksa ponsel, matanya terpaku pada nomor gadis itu. Hatinya tanpa bisa dicegah justru ingin menghubungi gadis itu. Sambutan yang didapatkan Ibra saat tiba-tiba menelepon Danika tentu saja tak ramah. Bahkan gadis itu seperti lupa padanya dan permasalahan mereka. Jawaban bernada ketus pun mewarnai perbincangan singkat melalui telepon. Suasana hati Danika yang tak bersahabat itu menjadi makin tak bersahabat kala menjawab panggilan darinya. Hingga membuat Ibra menyerah.
Lupakan soal biaya perbaikan karena ia benar-benar tak mempermasalahkannya. Bukan karena ia memiliki uang berlebih, tapi karena melihat sesuatu yang mengganggu Danika ketika mereka bertemu. Seperti gadis itu memiliki beban hidup yang begitu berat. Dan mendapati Danika yang bahkan tak ingin berbasa-basi dengannya membuat Ibra akhirnya menyerah. la menutup panggilan secara sepihak. Mungkin memang ia mengharapkan sesuatu yang mustahil antara dirinya dan Danika. Karena itu, ia berpikir untuk berhenti.
Ketika satu keinginan tak terpenuhi, bukan berarti manusia hams berhenti berharap. Seperti itulah yang Ibra lakukan. Meski harapannya untuk mengenal Danika tak beijalan baik, ia tetap melanjutkan kesehariannya. Tak ada waktu untuk meratap karena ia seorang lelaki. Ada banyak hal yang bisa ia lakukan. Terutama tentang pekerjaannnya.
Ibra yang berencana membuka sebuah restoran Jepang terus berusaha mencari rekan kerja yang ingin membangun usaha bersamanya. Tapi tentu saja itu tak mudah. Terlebih dengan pengalaman Ibra yang masih minim akan wirausaha. la bam ingin merintis bisnisnya. Tentunya sulit bagi orang lain memercayakan sejumlah dana padanya. Jikalau usaha itu sukses tentu saja memberi keuntungan, namun bila sebaliknya, bukankah mereka akan menanggung kerugian besar. Karena itu, masih sulit bagi Ibra mendapatkan rekanan dalam usahanya.
“Jadi, kamu masih belum ketemu rekan?” tanya Papanya ketika Ibra berkunjung ke rumah utama.
Rumah utama yang dimaksud adalah rumah peninggalan kakek yang kini dihuni oleh dua keluarga. Orang tua Ibra dan keluarga Tante Mala, adik ayahnya. Kedua orang tua Ibra hanya tinggal berdua di satu kamar. Sementara Tante Mala tinggal bersama kedua putrinya, Bintang dan Bulan. Ibra sendiri memilih tinggal di rumah pribadi yang ia dapatkan dari kerja kerasnya sendiri. Sementara kakaknya, Yasmin, sudah menikah dan tinggal bersama suami.
“Belum, Pa,” jawab Ibra tak bersemangat. “Tapi Ibra akan terus usaha. Ini yang Ibra inginkan. Mendirikan usaha sendiri. Lepas dari mtinitas kantor.”
Papa dan Mamanya tampak mengangguk setuju. Memang sejak kuliah, putra bungsu mereka begitu mandiri. Bahkan Ibra berusaha membiayai sendiri pendidikannya. Tapi tentu saja orang tua Ibra tak setuju. Biaya pendidikan adalah satu dari tanggung jawab mereka sebagai orang tua.
Karenanya, mereka tetap ingin memenuhi tanggung jawab tersebut. Sedang penghasilan yang Ibra dapatkan dengan kerja kerasnya mereka minta untuk ditabung saja.
“Gimana kalau Papa jadi penanam modal di usaha kamu itu? Saat sudah ada hasilnya, kamu bisa balikin modal yang Papa pinjamkan?” Papa Ibra menawarkan.
Tentu saja itu tawaran yang menggiurkan. Tapi itu bukan yang Ibra inginkan. Hingga detik ini ia masih bekerja di bawah naungan perusahaan keluarga. Meski ada beberapa pekerjaan sampingan yang ia lakukan. Alasan Ibra ingin membuka restoran selain karena ia memang suka dengan bisnis tersebut,
juga agar ia tak lagi bergantung pada penghasilan yang ia dapatkan dari bekerja di perusahaan milik keluarganya. Jika papanya memberikan pinjaman modal, bukankah itu artinya Ibra tak beranjak ke mana-mana.
“Nanti dulu, Pa. Untuk saat ini, biar Ibra berusaha sendiri dulu.”
Zahid dan Amida pun akhirnya menyerah. Mereka tahu putranya bukanlah tipe anak yang menggampangkan segala hal. Ibra adalah pekerja keras, mereka tahu itu. Karenanya, saat Ibra mengutarakan keinginan untuk tak lagi bergantung pada usaha keluarga, mereka berusaha mendukung keputusannya. Padahal Ibra adalah satu dari penerus usaha karena memang ia adalah cucu laki-laki satu-satunya di dalam keluarga—yang diharapkan akan mengambil alih kepemimpinan di perusahaan. Tapi, keinginan Ibra yang besar pun tak mungkin mereka tentang. Sejak remaja, Zahid dan Amida membebaskan pilihan apa pun putra-putrinya.
“Kalau gitu, selamat berusaha!”
Papanya menutup perbincangan seputar bisnis yang ingin dirintis Ibra. Selanjutnya mereka membahas perihal perusahaan. Sampai pembicaraan menjurus pada pertanyaan seputar jodoh Ibra. Pria itu menyerah. la segera memohon diri pada orang tuanya untuk kembali ke rumah sebelum hari semakin larut. Selalu seperti itu tiap kali membahas masalah pernikahan. Ibra akan selalu melarikan diri. Bukan karena dirinya tak ingin, tapi karena Ibra belum menemukan pendamping yang tepat. Mungkin sudah ketika ia memikirkan Danika, tapi sepertinya akan sangat sulit jika ia memikirkan tentang gadis itu. Gadis yang ditemukannya pertama kali di bawah hujan.
Ibra - Jodoh Itu Nyata
Ibra masih tak menyerah dengan keinginannya membangun bisnis restoran Jepang. Meski hingga saat ini ia belum mendapatkan rekan untuk kerja sama, tapi pria itu tak pernah menyerah dengan impiannnya. Langkah awal sudah Ibra ambil dengan mulaai mencari-cari lokasi untuk mendirikan restoran. la sudah berkeliling berbagai tempat demi menemukan lokasi yang strategis. la juga meminta bantuan teman-temannya yang mungkin bisa memberikan informasi seputar lahan.
Langkah selanjutnya, Ibra mulai berburu konsep restoran yang akan dibangun. Mungkin tak akan jauh berbeda dari restoran Jepang pada umumnya, tapi Ibra menginginkan sesuatu yang baru. Karena itu, ia berniat mencari berbagai referensi.
Seperti yang sudah-sudah, kembali takdir membawa Ibra bertemu dengan Danika. Gadis yang ditemuinya di bawah hujan. Mungkin memang sebuah kebetulan ketika mereka tak sengaja bertemu di toko buku. la yang memang berencana mencari beberapa buku referensi untuk bisnis barunya dan berpapasan dengan Danika yang juga sedang berada di toko buku yang sama. Ibra yang sedang berjalan di jejeran rak buku, hampir saja terjungkal karena kaki seseorang yang berselonjor di lantai.
“Maaf,” ucap Ibra sembari menunduk pada orang yang kakinya tak sengaja ia tabrak. Tak disangka ternyata adalah Danika. “Kamu baik-baik saja?” tanya Ibra kembali berusaha memastikan.
Gadis itu langsung berdiri. la tampak terkejut namun juga cemas. Mungkin takut jika Ibra kembali bertanya tentang
utang piutang yang ada di antara mereka.
“Danika?” Gadis di depan Ibra terlonjak kaget. “Kamu baik-baik saja?”
Entah memang bertemu dengan Ibra adalah sebuah bencana baginya. Tiba-tiba saja Danika melemparkan buku yang ia pegang ke arah Ibra. Seolah pria itu adalah penjahat yang sedang berusaha menculiknya. Sempat kaget, Ibra kemudian kembali memanggil nama gadis itu. Namun Danika terns berari menjauh. Tak peduli apakah Ibra terluka atas tindakannya tadi.
Setelah gadis yang selalu ketakutan tiap kali bertemu dengannya itu tak lagi terlihat, Ibra menghela napas. la sungguh tak habis pikir mengapa gadis itu begitu ketakutan tiap mereka bertemu. Bahkan melalui sambungan telepon pun Danika tampak panik saat berhadapan dengannya. Di mana salahnya, Ibra sendiri tak tahu.
Tapi sikap gadis itu yang terus menjauh membuat Ibra makin penasaran. la makin tertantang untuk mengenal Danika. la merasa memiliki keterikatan pada gadis muda itu. Dan Ibra bertekad kali ini ia tak akan menyerah. la akan berusaha mencari tahu semua tentang Danika.
“Sampai kapan dia mau berlari menghindari saya begitu?” desah Ibra, lelah.
la tak berniat mengejar Danika karena ia tahu hasilnya akan percuma. Karena itu, ia membiarkan saja gadis itu berlari menjauh. Jika memang berjodoh, maka ia yakin Tuhan akan kembali mempertemukan mereka. Yang saat ini perlu Ibra lakukan hanya kembali melanjutkan kegiatannya.
Di tengah kegiatannya mencari buku, ponsel Ibra bordering. Setelah melihat nama pemanggil di layar, ia langsung menjawab. Sang teman yang menghubungi ternyata mengabarkan info sebuah ruko bagi Ibra yang mungkin bisa pria itu gunakan sebagai tempat usahanya. Tanpa pikir panjang Ibra langsung meminta alamat dan kontak pemilik ruko tersebut. Setelah mendapatkan dan mengucapkan terima kasih atas info tersebut, Ibra menutup sambungan. Ibra membawa sejumlah buku yang ia pilih ke meja kasir. Setelah melakukan pembayaran, pria itu segera pergi dari toko buku.
Tujuan Ibra selanjutnya adalah mendatangi pemilik ruko yang ditawarkan temannya.
Lokasi yang strategis membuat Ibra ingin sekali membangun usahanya di tempat tersebut. Sayangnya negosiasi tak beijalan semudah yang ia inginkan karena sang pemilik ruko tak ingin melepaskan rukonya dengan harga yang Ibra tawarkan.
“Apa tidak bisa harganya diturunkan sedikit lagi, Pak?” pinta Ibra pada sang pemilik.
“Saya rasa itu sudah harga paling pantas, Nak Ibra.” “Boleh saya minta waktu untuk memikirkannya?” “Silakan.”
Pada akhirnya Ibra kembali ke kantor dengan tangan kosong. Melihat ia yang baru kembali ke kantor tampak lesu sempat membuat papanya bingung. Tapi ia tak ingin membicarakan masalah pribadi di kantor. Mungkin nanti ketika jam keija usai, Zahid bisa bertanya pada Ibra.
Ibra sendiri kembali memikirkan tawaran yang diberikan sang pemilik ruko. Sambil dirinya mengalkulasi berbagai dana yang dimiliki. Ruko tersebut memang strategis. Tak jauh juga dari sebuah pusat perbelanjaan dan perkantoran. Akan sangat mudah bagi Ibra mendapatkan pelanggan jika ia berhasil membuka restorannya di lokasi tersebut. api jika ia menerima penawaran harga tersebut, maka biaya untuk hal lainnya jelas akan menyusut. Selain itu Ibra juga butuh dana besar untuk melakukan perombakan ruang agar restoran tersebut sesuai dengan yang diinginkannya.
Setelah lama berpikir, Ibra akhirnya menyerah. Kepalanya tak lagi sanggup diajak berpikir. Mungkin keinginannya membangun usaha harus ditunda untuk beberapa saat. Sampai ia berhasil mengumpulkan dana yang lebih. Menunggu tak akan menjadi masalah karena ia bukan berhenti untuk impiannya. Hanya melakukan penguluran waktu untuk yang lebih tepat.
Butuh waktu hampir dua tahun akhirya Ibra berhasil membangun mimpinya. Akhirnya hari itu tiba. Hari di mana ia berhasil membangun sendiri usaha restorannya. Restoran Jepang yang diberi nama Sushi Me tersebut akhirnya terwujud dalam bentuk nyata.
Hari ini Ibra akan meresmikan pembukaan perdana restorannya. Semua hal sudah ia bereskan dengan baik. Mulai dari tempat, stok bahan-bahan hingga pegawai. la sudah mendapatkan orang-orang terbaik yang akan membantunya menjalankan Sushi Me. Tapi dari semua itu, ada satu hal yang membuat Ibra begitu bersemangat menyambut hari ini. Semua tak lain karena seseorang yang sempat menghilang dari hidupnya. Akhirnya kini Ibra akan kembali bertemu dengan orang tersebut.
Gadis keras kepala bernama Danika yang selalu bermasalah dengannya. Bukan dengan Ibra sebenarnya, tapi dengan mobilnya. Entah mengapa tiap kali ia dan Danika bertemu dulu selalu karena sebuah kecelakaan. Bahkan mobil milik gadis itu yang diserahkan secara terpaksa, masih Ibra simpan dengan baik. la tak berniat melakukan sesuatu terhadap benda yang ia tebak berharga bagi Danika.
Saat menyeleksi para pegawai Sushi Me, tak sengaja Ibra melihat berkas lamaran milik Danika. Tanpa pikir panjang, ia memerintahkan Anwar, sang Manajer Sushi Me, untuk merekrut Danika sebagai salah satu dari pegawai mereka. Semua itu karena misinya yang ingin mendapatkan gadis itu.
Ibra sudah tak bisa lagi berpaling. Kali ini ia akan mengambil kesempatan tersebut. Meski tahu tak akan mudah, tapi ia percaya jodoh itu sesuatu yang nyata, yang Tuhan hadirkan walau kita sering kali menolaknya.
“Terima kasih untuk sambutan para pengunjung yang luar biasa. Saya berharap Sushi Me bisa terus berkembang dan bisa memberikan pelayanan terbaik untuk semua customer. ”
Sambutan singkat yang Ibra berikan disambut dengan meriah tepuk tangan. Tapi satu hal yang tak lepas dari pandangan pria itu. Wajah terperangah Danika. Rasanya menyenangkan menatap wajah tak percaya gadis itu saat mereka kembali dipertemukan. Pria itu pun berjalan mendekati Danika yang masih berdiri terpaku di tempatnya.
“Apa kabar, Danika?Saya harap kamu betah bekeija di sini.”
Tak ada jawaban dari Danika, tapi sepertinya melihat Ibra berdiri di hadapannya seperti menyaksikan sosok hantu. Ibra berusaha menyembunyikan senyumnya. Kemudian ia berlalu dari hadapan gadis yang masih terpaku tersebut untuk menyapa para pengunjung lainnya.
Tentu saja itu hanya awal dari hubungan mereka. Karena hari-hari selanjutnya, Danika kembali menjaga jarak. Bahkan gadis itu membangun dinding yang sangat tinggi hingga Ibra tak bisa mencapainya. Tapi bukan berarti Ibra akan menyerah. la sudah bertekad. la sudah menentukan pilihannya pada Danika.
Ditambah lagi orang tuanya kembali mengeluarkan wacana perihal pernikahan. Tak jarang berusaha mengenalkan Ibra pada anak dari rekan keija atau teman-teman mereka. Tapi seperti biasa Ibra selalu menolak. la hanya menginginkan Danika yang akan menjadi pendampingnya. Tapi belum saatnya bagi Ibra bercerita pada kedua orang tuanya. Yang utama baginya adalah meluluhkan gadis itu terlebih dahulu.
Semua tak semudah yang dibayangkan Ibra. Karenanya nyatanya meski sudah berada dalam satu teritori yang sama, Danika tetap tak tersentuh. Gadis itu seperti membangun batas setipis udara tapi begitu kuat dan tak tertembus. Sekeras apa pun Ibra mencoba, Danika tak ingin mengendurkan pertahanannya.
Alasan atasan dan pegawai yang bisa Ibra gunakan demi bisa mendekati gadis itu pun nyatanya tak berlaku. Entah harus memecat gadis itu agar datang padanya, atau tetap bertahan dengan permainan kejar-menghindar ala mereka. Yang pasti Ibra gemas setengah mati dibuat satu gadis itu.
“Anwar, bagaimana perkembangan restoran kita?” Ibra memang berbicara pada Anwar, tapi matanya tak pernah lepas melirik ke arah Danika.
Anwar bukan tak tahu jika atasannya itu menaruh perhatian lebih pada Danika. Sering kali ia melihat Ibra menatap penuh takjub pada sosok Danika. Tapi seperti biasa, gadis itu tak akan peduli pada atasan mereka. Atau Danika sengaja tak peduli meski ia tahu betapa Ibra selalu memperhatikannya. Apa pun itu, yang pasti Anwar tak ingin ikut campur akan hubungan kedua insan tersebut.
“Sejauh ini perkembangan restoran bagus banget, Pak. Pengunjung kita makin meningkat. Ada beberapa masukan dari para pengunjung untuk menambah jumlah menu agar lebih bervariasi. Juga promo menarik untuk pengunjung dengan kantong terbatas seperti mahasiswa dan pelajar.” Anwar menjelaskan sambil tertawa di akhir kalimat.
Ibra hanya tersenyum menerima laporan tersebut. Mungkin ia akan mempertimbangkan saran dari para pengunjung. Karena memang sejak awal ingin merintis usaha restoran ini, Ibra tak pernah menjadikan laba besar sebagai prioritas. la hanya ingin mewujudkan impiannya menghadirkan satu tempat makan yang bisa memberikan kebahagiaan bagi para pengunjung dengan harga yang teijangkau.
Setelah memberikan laporan, Anwar kembali bertugas, begitu juga Ibra yang memilih untuk kembali ke ruang kerjanya. Namun sebelum kembali, terlebih dahulu pria itu menghampiri Danika. Meminta Danika untuk menemuinya setelah selesai bekeija.
Namun lagi-lagi seperti biasa, Danika pasti melarikan diri ketika Ibra sendiri akhirnya turun tangan untuk menyeret gadis itu ke ruangannya, Danika sudah tak lagi berada di restoran. Yang bisa Ibra lakukan hanya membesarkan hati akan penolakan gadis itu yang tak ada habisnya.
“Gagal lagi?” Anwar tahu-tahu sudah berada di ruangannya.
“Kapan kamu masuk?” tanya Ibra bingung.
“Beberapa kali saya ketuk pintu, tapi Pak Ibra nggak nyahut. Cuma Danika yang bisa bikin Pak Ibra melamun begitu.”
“Kamu tahu sekali, ya.”
“Jangan nyerah, Pak. Usaha nggak akan pernah mengkhianati hasil. Sekeras apa pun Danika menolak, suatu saat dia pasti bisa lihat ketulusan Bapak.”
Ibra menatap Anwar dengan pandangan takjub. Namun kemudian, ia hanya bisa tersenyum simpul. Mendapatkan suntikan semangat dari orang lain kadang memang mampu membuat suasana hati berubah.
“Mana laporan yang hams saya lihat?”
Anwar menyerahkan laporan yang dipegangnya. Beberapa saat Ibra membolak-balik kertas-kertas tersebut. Setelah menandatangani, ia menyerahkan kembali laporan tersebut pada sang Manajer. Tak ingin berlama-lama mengganggu atasannya, Anwar pun undur diri.
Tepat setelah kepergian Anwar, ponsel Ibra berdering. la melihat nomor rumah keluarganya tertera di lay ar. Tanpa menunggu lama, Ibra langsung menjawab panggilan tersebut.
“Halo, Assalamualaikum?”
“Waalaikumsalam, ” suara mamanya langsung menyapa. “Hari ini makan malam di rumah, ya,” pinta mamanya lagi.
“InsyaAllah.”
“Oke, Mama tunggu, ya. Jangan telat. Kayaknya Yasmin juga mau ke rumah. ”
“InsyaAllah, Mama.”
Setelahnya Mama Ibra mulai bertanya tentang kegiatan putra satu-satunya tersebut. Juga perkembangan yang Ibra rintis. Saat merasa puas, akhimya panggilan tersebut diakhiri.
Sesuai janjinya, Ibra pulang ke rumah keluarga Arrauff. Namun ada seseorang yang tak dikenali Ibra yang berada satu meja bersama mereka. Seorang gadis yang mungkin seusia dengan Bintang, sepupunya. Dari penuturan mamanya, gadis bernama Amanda tersebut ternyata memang sahabat Bintang.
Tanpa perlu otak yang jenius pun Ibra bisa menduga maksud terselubung dari kehadiran gadis itu. Apalagi jika bukan usaha keluarganya untuk menjodohkan Ibra. Padahal bemlang kali Ibra menjelaskan bahwa ia tak ingin dijodohkan. la akan bemsaha sendiri mencari pasangan hidupanya.
“Memangnya mau cari yang bagaimana lagi sih, Ibra? Begitu banyak yang Tante kenalin masa nggak ada yang nyantol di kamu? Sekarang Amanda. Itu anak cantik. Dari keluarga terpandang. Kurang apa lagi coba?” Seperti biasa, Tante Mala mulai mencecar Ibra dengan berbagai pertanyaan.
Bukan sekali dua kali sang tante berusaha mengenalkan Ibra pada anak kerabat atau koleganya, tapi Ibra selalu menolak. Pun begitu Tante Mala takjugajera. Berusaha untuk ikut campur dalam urusan jodoh Ibra. Sedangkan orang tuanya tak pernah terang-terangan mendesak Ibra. Meski pria itu tahu jika mama dan papanya sangat ingin melihat ia segera menikah.
“Tidak ada yang kurang dalam diri Amanda, Tante. Hanya Ibra yang merasa belum ingin. Ibra belum menemukan yang tepat.”
“Kalau kamu kebanyakan mikir nggak akan mungkin ketemu yang tepat. Jodoh itu bukan cuma perkara tepat atau enggak, tapi juga perkara mengusahakan. Kalau kamunya selalu nolak, ya, kapan kamu bakal nikah.”
Ibra benar-benar jengah dengan perdebatan tanpa akhir seperti itu. Tapi ia tak mungkin menentang Tante Mala dengan terang-terangan. la masih menghormati Tante Mala sebagai adik papanya. Karena itu, Ibra berusaha mengontrol dirinya jika mereka sudah berhadapan.
“Tante nggak perlu khawatir. Mama dan Papa juga. Saat ini Ibra sedang mengusahakannya.”
Mendengar penuturan Ibra, kedua orang tuanya tampak berbinar. Akhirnya apa yang mereka inginkan akan segera terwujud. Putranya yang selalu pasif dalam hal mencari pasangan, sekarang terlihat begitu aktif.
“Benar? Siapa dia? Kapan kamu kenalin ke keluarga kita?” tanya mamanya bersemangat.
“InsyaAllah segera, Ma. Hanya saja gadis ini cukup unik. Keras kepalanya luar biasa. Ibra harus usaha lebih keras lagi untuk dia.”
“Ya, begitu harusnya laki-laki. Berusaha. Jangan menyerah hanya karena ditolak. Kalau memang kamu yakin dia jodohmu, ya, kejar terus.”
Ucapan papanya membuat Ibra merasa mendapat angin segar. Walau ia tahu kedua orang tuanya akan sangat mendukung apa pun keputusan Ibra selama hal itu baik, tapi untuk kali ini merasa jalannya begitu terbuka. Hal terpenting dalam usahanya adalah doa kedua orang tuanya. Selama Ibra mengantongi hal tersebut. la yakin akan mampu menghadapi apa pun. Termasuk menaklukkan Danika dalam usahanya.
Ibra - Takluk
Mungkin benar apa kata pepatah, usaha tak akan pernah mengkhianati hasil. Itu pula yang Ibra rasakan sekarang. Perlahan tapi pasti, Danika mulai menerimanya. Meski ada sekat tipis yang memisahkan, tapi Ibra yakin ia akan mampu menembusnya suatu saat nanti. Bukan dengan paksaan, melainkan kelembutan yang tak akan pernah menyakitkan.
Tepat setelah Ibra menyatakan kesungguhan perasaannya pada Danika, gadis itu mulai berani membuka diri. Danika tak lagi takut menunjukkan kerapuhannya pada Ibra. Terlebih akan hubungannya dengan sang ayah yang tak baik-baik saja. Sebagai pria yang mencintai gadis itu, tentu saja Ibra berusaha mengerti segala ketakutan Danika. la juga tak ingin memaksa gadis itu untuk langsung mencurahkan apa pun padanya. Mereka akan beijalan dengan perlahan. Sampai rasa nyaman dan aman yang diberikan Ibra mampu membuat Danika mempercayakan diri sepenuhnya pada Ibra.
Perihal perkembangan hubungannya dengan Danika, Ibra pun tak menutupi hal tersebut dari keluarga. Terutama mama dan papanya. Kedua orang tuanya berhak tahu bagaimana hubungan Danika dan keluarganya. Beruntung kedua orang tua Ibra mengerti. Mereka tak mempermasalahkan hal itu. Hany a saja keduanya menasihati Ibra untuk membantu Danika menyelesaikan segala permasalahan yang ada antara gadis itu dan papanya. Karena bagaimanapun juga, nantinya Ibra akan menikahi Danika. Dan gadis itu tetap butuh walinya dalam pernikahan.
Ibra pun sudah memberitahukan rencananya untuk menemui Papa Danika. Papa dan mamanya tentu mendukung penuh. Hany a saja Tante Mala yang sejak awal menentang hubungan Ibra dan Danika masih berusaha mempersuasi keponakannya untuk memikirkan kembali keputusannya.
“Tante, sekali lagi Ibra tekankan, pilihan Ibra insyaAllah yang terbaik. Apa pun nanti yang akan kami hadapi, Ibra yakin bisa menyelesaikannya. Kekhawatiran Tante rasanya terlalu tidak beralasan. Maaf kalau Ibra tidak sopan, tapi keputusan Ibra tidak akan berubah. Seperti apa pun Danika, Ibra akan menerimanya. Seperti Danika juga yang siap menerima segala kelebihan dan kekurangan Ibra.”
Tante Mala tampak tersinggung dengan ucapan Ibra. “Kamu tahu, pernikahan yang langgeng itu kalau ada restu dari keluarga. Kamu itu sebagai yang muda harus lebih banyak belajar dari kami yang tua ini. Mungkin kamu bisa menyepelekan peringatan Tante, tapi saat nanti semua nggak beijalan lancar, barn kamu akan menyesal, dan membenarkan nasihat yang tua ini.”
Ibra mencoba untuk menanggapi sinisme tantenya dengan senyum simpul. “Terima kasih untuk segala nasihat Tante. Tapi Ibra akan memercayakan semua pada Tuhan saja. Kita manusia cukup menjalani sebaik-baik hidup saja. Sisanya adalah ketentuan Yang Maha Kuasa. Jadi, Ibra sama sekali tidak akan pernah khawatir.”
“Terserah kamu. Nanti kamu akan lihat kalau apa yang Tante omongin itu benar!”
Tante Mala meninggalkan ruang keluarga dengan membawa segala kekesalannya. Ibra sendiri tak ingin ambil pusing. Yang ia butuhkan adalah dukungan kedua orang tuanya. Baginya itu saja sudah cukup untuk membuatnya yakin untuk terus melangkah.
Hany a satu yang kini menjadi konsentrasi Ibra. Pertemuan dengan ayah dari perempuan yang ia cintai. Sampai saat ini Danika tak menunjukkan keinginan untuk berbaikan dengan papanya. Meski gadis itu tak mampu menolak niat Ibra yang ingin menemui papanya sehubungan dengan rencanana pernikahan mereka, tapi Ibra tahu ada keengganan dalam diri Danika.
“Mengenai rencana kamu menemui orang tua Danika, apa butuh Papa dan Mama dampingi?” Papa Ibra kembali bertanya.
“Untuk pertemuan besok, biar Ibra saja. Paling tidak Ibra harus memperkenalkan diri dulu dengan keluarga Danika. Sebelum nanti Ibra butuh Papa dan Mama untuk melamar secara resmi.”
“Sampai sekarang, Danika belum ada niat untuk berbaikan dengan Papanya?” timpal Mama.
Ibra menggeleng. “Mungkin Danika belum sanggup, Ma.”
Mama Ibra pun mengangguk paham. “Pastinya. Andai Mama jadi Danika, Mama nggak tahu apa akan sanggup bertahan hidup tanpa sokongan dari orang tua.”
“Itu tugas kamu nanti, Ibra. Sebagai suami, kamu harus bisa menjadi jembatan untuk hubungan istri kamu dan keluarganya. Tidak baik kalau kamu hanya menunggu waktu sampai Danika bisa meredam marahnya tanpa berusaha membantu.”
“Ibra akan ingat itu, Pa.”
Tak hanya mendapat restu dari kedua orang tuanya, Ibra juga mendapat nasihat-nasihat yang akan membantu dalam
menjajaki jenjang pernikahan. Keterbukaan Ibra pada orang tuanya memang begitu dalam. Apa pun permasalahan yang tengah ia hadapi selalu Ibra katakan jika memang pria itu tak mampu mencari solusinya. Orang tua bagi Ibra tak hanya sebatas peran, tapi kadang mampu berperan sebagai sahabat bagi dirinya dan Yasmin.
Dari kedua orang tuanya, Ibra belajar banyak hal. la pun berharap nanti bisa menjadi orang tua yang seperti itu. Yang tak hanya mampu mendidik tapi juga mampu memberikan peran sebagai sahabat hingga anak merasa nyaman berbagi dengannya. Ibra ingin menjadi orang tua yang mampu menghadirkan kasih sayang dan memberi kebebasan pikiran bagi anaknya nanti. Tepat seperti yang orang tuanya berikan.
Sejak dalam perjalanan tadi Danika tak bisa tenang. Hari ini mereka akan menemui papanya. Setelah sekian lama, akhirnya anak yang hilang itu akan kembali pulang ke rumahnya. Namun Ibra tahu, Danika tak merasakan perasaan yang bernama pulang. Bagi Danika, rumah papanya bukanlah rumah baginya untuk pulang.
Karena itu, sebagai lelaki yang akan mendampingi Danika, Ibra berusaha memberikan rasa aman bagi gadis itu. Mereka memang tak tahu apa yang nanti akan dihadapi setibanya di sana. Namun, satu hal yang akan Ibra pastikan adalah ketenangan hati Danika. la tak akan membiarkan perempuan itu merasakan sakit seperti terakhir kali berada di rumah papanya.
Kedatangan mereka yang tiba-tiba begitu mengejutkan Papa Danika. Bahkan ketika ia dengan lantang mengatakan niatnya untuk menikahi Danika, Ibra tahu tak mudah mendapatkan kepercayaan ketika ada pria lain yang ingin mengambil tanggung jawab tersebut dari pundak seorang ayah. Tapi, meski Papa Danika menyatakan keberatannya, Ibra tak akan mundur.
Tak hanya restu yang belum dikantongi, kehadiran Ibu tiri Danika pun seketika memperkeruh suasana. Ibra tak tahu sosok seperti apa wanita bernama Tante Indri tersebut. Tapi sejak pertama kali bertemu dengannya di Sushi Me, Ibra tahu wanita itu tak menyukai Danika. Dan sebagai pria yang akan mengemban tanggung jawab terhadap hidup Danika nantinya, Ibra sebisa mungkin akan melindungi wanitanya.
Suasana panas yang menguar antara Danika dan Tante Indri diinterupsi oleh Papa Danika. Beliau mengajak semua untuk makan siang bersama. Danika jelas menunjukkan keenganan. la bahkan terlihat ingin segera kabur dari rumah itu. Beruntung Ibra berhasil menenangkan hingga Danika akhirnya luluh dan setuju untuk makan siang bersama.
“Sebelumnya, boleh Papa bicara berdua saja dengan Ibra?”
Permintaan tersebut diajukan Papa Danika tepat setelah mereka menyelesaikan makan siang. Wajah Danika semakin tak karuan. la jelas-jelas menolak. Tapi, lagi-lagi Ibra berhasil meyakinkan gadis itu.
“Jangan khawatir. Saya pasti bisa mengatasinya,” ucap Ibra menenangkan saat Danika mencekal pergelangan tangannya.
Ibra begitu tenang ketika melangkah memasuki ruang kerja ayah dari kekasihnya. Matanya menjelajah sejenak. Sampai akhirnya sang pemilik ruangan mempersilakannya untuk duduk di kursi di depan meja kerjanya.
“Apa yang ingin Om bicarakan dengan saya?” tanya Ibra tanpa basa-basi.
la tahu pasti hal yang sama juga dirasakan pria paruh baya di hadapannya ini. Banyak hal yang mungkin ingin disampaikan Papa Danika padanya. Namun, hingga beberapa menit berlalu, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya.
“Kalau begitu biar saya yang bicara,” ucap Ibra kemudian. “Saya tahu kehadiran saya pasti membuat Om begitu terkejut. Tapi kedatangan saya tidak main-main sedikitpun. Saya mencintai Danika. Saya ingin menikah dan hidup bersamanya. Membahagiakan Danika. Menggantikan tanggung jawab Om padanya.”
Seketika raut wajah Papa Danika berubah. Kesedihan tergambar jelas di wajah tua tersebut. Ada rasa bersalah dan rasa tak rela. Tentu saja Ibra paham kesedihan apa yang dirasakan seorang ayah ketika anaknya akan menikah. Tak lagi menjadi tanggung jawabnya. Terlebih bagi Papa Danika yang mungkin belum merasa menjadi ayah yang baik. Rasanya mungkin berat bagi beliau menyerahkan Danika. Bahkan di saat dirinya mengabaikan Danika. Belum mampu memberikan kebahagiaan yang utuh sebagai seorang ayah.
“Saya juga sedikit mengerti dengan apa yang Om rasakan. Sampai saat ini Om juga pasti tahu Danika masih belum bisa menghapus kemarahannya. Gadis itu banyak menderita. Bahkan setelah kehilangan Mamanya, dijauhkan dari satu-satunya orang tua yang dimiliki. Sampai saat ini Danika masih merasa ketakutan. Saya juga tahu Danika masih merasa insecure, la begitu takut saya mengkhianatinya. Seperti yang mungkin Om lakukan padanya.”
Wajah Papa Danika makin tertunduk. la benar-benar tersayat mendengar penuturan Ibra. Putri satu-satunya merasakan kesakitan yang begitu dalam karena keegoisannya sebagai orang tua. Menebusnya sekarang pun bukan perkara mudah. Danika begitu rapuh. la merasakan begitu banyak kehilangan. Akan sulit menembus kembali pertahanan putrinya. Maaf saja rasanya tak akan cukup untuk menebus semua kesalahannya.
“Maaf kalau ucapan saya terlalu lancang. Saya hanya ingin Om tahu, Danika kehilangan arah ketika meninggalkan rumah ini. Tapi ia mencoba untuk tetap berdiri tegak. Bukan saya ingin menghakimi Om saat ini. Saya nggak punya hak untuk melakukan itu. Apa yang teqadi antara Om dan Danika, kalianlah yang harus menyelesaikannya. Tapi sebagai pria yang ingin membahagiakannya, saya beijanji akan membantu sebisa mungkin. Semua itu tentu saja harus dari usaha Om dan Danika sendiri.”
“Kamu benar,” desah Papa Danika dengan nada kalah. “Saat ini hanya satu yang Om bisa lakukan untuk Danika.
Memberikan kami restu. Saat ini Danika mungkin hanya bisa percaya pada dua orang saja, saya dan sahabatnya, Dayu. Tapi, pelan-pelan kita akan kembali membangun hubungan antara Om dan Danika yang renggang. Om pasti tahu seberapa rapuh Danika ketika beijuang seorang diri di luar sana. Izinkan saya mengambil separuh tugas Om di dunia ini untuk membahagiakannya.”
Papa Danika menatap tepat ke mata Ibra tanpa putus. Ada kejujuran dan kesungguhan di sana. Pria muda di depannya bersungguh-sungguh untuk membahagiakan putrinya. Sebagai seorang ayah yang gagal menjalankan tugas, tak patut rasanya menghentikan masa depan Danika. Keputusan yang akan ia ambil akan berdampak besar pada hidup Danika nantinya. Tapi ketika ia sendiri tak mampu menjaga, mengapa ia tak memberi kesempatan pada Ibra untuk menuntaskan apa yang tak bisa ia berikan pada Danika.
“Saya izinkan kamu untuk menikah dengan Danika. Tapi sekali-kali jangan pernah membuatnya bersedih. Saya, sebagai Papanya sudah gagal menjadi orang tua. Tolong bahagiakan Danika. Berikan dia kenyamanan dan cinta sebagai tempatnya pulang.”
Ada air mata yang menetes kala Papa Danika memberikan restunya pada Ibra. Penyesalan terbesarnya adalah tak mampu berdiri sebagai dinding kokoh di sisi anaknya. Ibra turut bersimpati pada pria di depannya tersebut. la segera berdiri dari duduknya demi menghampiri Papa Danika. Tanpa takut akan penolakan, Ibra menggenggam tangan Papa Danika erat. Membuat pria itu mendongakkan kepalanya.
“Terima kasih, Om. Semua akan baik-baik saja. Om harus percaya itu. Danika perempuan berhati lembut. Meski ia terlihat keras membentengi diri, tapi saya yakin, Om yang paling tahu seperti apa putri Om itu.”
“Jaga Danika dengan baik, Ibra. Itu permintaan Om untuk kamu.”
“Pasti!” jawab Ibra tanpa ragu.
Satu masalah terselesaikan. Ibra percaya selalu ada jalan bagi setiap masalah. Semua tergantung dari bagaimana kita berusaha untuk mencari jalan keluarnya. Mungkin saat ini Danika masih menutup rapat hati dan pintu maafnya. Tapi Ibra yakin, selama ada cinta, hubungan ayah dan anak yang sempat terputus ini akan tersambung kembali. Tak pernah ada ikatan darah yang dapat diputuskan di dunia. Meski oleh kematian sekalipun.
Ibra - Menghapus Jarak
Pernikahan bukanlah hal yang mudah. Ibra tahu itu. Banyak hal yang hams ia dan Danika pelajari dalam rumah tangga mereka. Menyatukan dua pemikiran dan keinginan dalam satu wadah bukan perkara gampang. Terlebih dengan sifat Danika yang kadang masih labil. Tapi, di situlah peran Ibra sebagai pemimpin rumah tangga harus bekerja.
Awal pernikahan mereka, butuh banyak penyesuaian dari masing-masing pribadi. Banyak kebiasaan yang harus mulai dihilangkan. Temtama dari Danika. Gadis yang terbiasa melakukan segala hal seorang diri itu, harus mulai membiasakan adanya peran Ibra dalam kehidupannya. Tak mudah memang memulai semua, tapi Ibra bukan pria yang akan mundur dari niatnya.
Tak ada hal yang berat jika dijalani dengan sungguh- sungguh. Pesan dari sang ayah benar-benar Ibra tanamkan dalam dirinya. Karena itu, ia mampu menghadapi semua kesulitan dengan kepala dingin. Seperti menghadapi kelabilan perempuan kedua yang paling Ibra cintai setelah ibu dan kakak perempuannya. Termasuk kesabaran ekstra dalam menghadapi Danika di masa kehamilan keduanya.
“Masih belum mau makan?” tanya Ibra ketika melihat Danika yang hanya duduk di ruang tv. Matanya masih terfokus pada acara yang disiarkan.
“Masih eneg. ” Danika menjawab sambil menggelengkan kepala. “Aidan sudah tidur?”
Putra pertama mereka memang sudah tertidur lelap sejak setengah jam yang lain. Semua berkat Ibra yang berhasil membujuk anaknya. Hari ini entah mengapa Aidan ingin tidur ditemani Danika. Mungkin keberadaan calon adik membuat Aidan ingin menghabiskan banyak waktu dengan ibunya. Sebelum nanti semua waktu tersita untuk mengurus si kecil.
“Sudah.” Ibra duduk berdampingan dengan istrinya di sofa.
“Mbak Isti di mana?” tanya Danika lagi, mengacu pada ART yang mulai dipekeijakan Ibra—meski untuk sementara waktu karena Danika menginginkan setelah kelahiran si kecil nantinya, ia yang kembali mengambil tanggung jawab di rumah.
“Mungkin sudah istirahat.”
Melihat Ibra yang sudah duduk bersamanya, Danika mencari posisi nyaman untuk bersandar. Usia kehamilannya masih menginjak bulan keempat. Tapi kehamilan kali ini agak berbeda dengan saat ia mengandung Aidan dulu. Calon anak mereka kali ini begitu manja pada sang ayah. Beberapa hari terakhir bahkan Danika seperti ratu drama yang tak ingin berjauhan dengan Ibra. Insting keduanya mengatakan mungkin karena calon anak mereka kali ini adalah perempuan. Ibra dan Danika memang belum ingin tahu jenis kelamin sang anak melalui bantuan USG. Biarkan kehadiran anak keduanya menjadi kejutan.
Tangan Ibra mengambil satu tangan Danika untuk digenggam. Hari ini ia mendapat laporan dari Isti bahwa Danika lagi-lagi memuntahkan makanannya. Kehamilan kali ini memang lebih rewel daripada Aidan dulu. Meski agak cemas dengan kondisi kesehatan Danika dan bayi mereka, tapi Ibra tak bisa berbuat apa pun. Memaksa Danika menelan makananya pun tak akan berpengaruh banyak. Pasti istrinya itu akan memuntahkan kembali.
“Mau dibuatkan sesuatu?” tanya Ibra akhirnya. Danika lagi-lagi menggeleng. “Aidan gimana tadi saat
mau tidur? Dia pasti sedih, ya, nggak bisa tidur sama Mamanya?”
Ibra mengelus pelan pipinya. “Enggak. Aidan baik. Dia calon Kakak yang baik. Cukup dikasih pengertian kalau saat ini Mamanya nggak bisa terlalu seeing main karena harus jaga adiknya, dia mengerti.”
“Hah, beruntung banget Aidan mirip Papanya. Kalau mirip aku, pasti sudah keluar tanduknya kalau dicuekin begitu.”
“Kamu nggak seburuk itu.”
“Cuma kamu yang bilang begitu. Papa dan Dayu bilang aku keras kepala. Banget.”
“Enggak masalah. Selama keras kepalanya kamu cuma berlaku ke saya dan orang dewasa lainnya. Bukan ke anak- anak kita. Karena itu, sekarang coba buat makan, ya? Saya yang masak.”
“Boleh, deh. Kasihan juga anakku nggak ada nutrisi kalau Mamanya nggak berusaha untuk makan.” Danika mengelus perutnya yang sudah terllihat membesar.
“Anak kita,” timpal Ibra membuat Danika tertawa.
Ibra lantas beranjak ke dapur. la bergegas memasakkan sesuatu yang sekiranya bisa dimakan Danika. Pilihannya jatuh pada menu salmon teriyaki dan sup sayuran. Tak sulit bagi Ibra yang terbiasa dengan dapur. la mulai menyiapkan bahan- bahan yang akan digunakannya untuk memasak. Di tengah persiapan memasak, seseorang masuk ke area dapur. Isti, sang ART, cukup terkejut melihat Ibra sedang berkutat di dapur. Terlebih saat melihat Ibra yang mulai bekerja memotong sayuran.
“Pak Ibra mau masak?” tanya Isti, heran.
“lya. Kamu tadi bilang Danika susah sekali makan. Karena itu, saya mau coba masak. Siapa tahu Danika bisa makan.”
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Isti lagi. “Enggak usah. Kamu istirahat saja. Besok pasti repot lagi
mengurus Danika dan Aidan yang rewel.”
Isti tertawa mendengar jawaban Ibra. Setelah menuntaskan keinginannya mengambil air minum, Isti kemudian berpamitan. Sejak awal bekerja di sana, ia sudah merasa nyaman dengan semua penghuni rumah tersebut. Baik Ibra dan Danika, tak pernah benar-benar memperlakukannya seperti ART pada umumnya. Mereka benar-benar menganggap Isti sebagai penyelamat yang membantu meringankan tugas. Karena itu, Isti merasa betah bekerja di sana. Walau ia tahu hanya akan bekerja untuk sementara waktu.
Hampir satu jam Ibra berkutat di dapur, akhirnya masakan yang ia buat selesai. Sebuah nampan berisi salmon teriyaki, sup sayuran, nasi hangat juga segelas air putih hangat siap untuk diantarkan. Danika tampak takjub dengan apa yang Ibra bawakan padanya. Selera makannya tiba-tiba saja meningkat. Begitu nampan diberikan ke pangkuannya, segera saja ia menyantap hidangan tersebut.
“Anak kamu ternyata kangen masakan Papanya,” neap Danika di sela-sela kegiatan makannya.
“Makan yang banyak.”
Tentu saja Danika tak ingin menyia-nyiakan apa yang sudah Ibra masakkan. Sepertinya memang benar, sang bayi ingin selalu dekat dengan ayahnya. Buktinya saja Danika begitu lahap menghabiskan makanan. Setelah menunggu beberapa saat, ia bahkan tak memiliki keinginan untuk memuntahkan makanan tersebut.
“Kalau ditambah susu, masih sanggup?” tanya Ibra kemudian.
“Jangan. Perutku udah nggak muat kayaknya,” tolak Danika.
“Kalau begitu saya bawa dulu piring kotornya ke dapur.” “Aku bantuin cuci, ya?” pinta Danika.
Ibra ingin melarang, tapi melihat wajah berbinar istrinya, akhirnya ia mengizinkan. Walau hamil, tapi Danika tak ingin diperlakukan seperti seorang pesakitan. Jika hanya sekadar mencuci piring dan memasak, ia masih mampu mengeijakannya dengan baik. Lagi pula ini bukan kehamilan pertama bagi Danika. Jadi ia tahu sampai mana batas kemampuannya dalam berakti vitas.
Melakukan berbagai aktivitas rumah berdua memiliki arti tersendiri bagi Ibra dan Danika. Di awal pernikahan mereka, Ibra dan Danika membagi tugas satu sama lain. Pun ketika Aidan lahir. Ibra tak sekalipun meninggalkan Danika seorang diri untuk mengurus putra mereka. la selalu ada. Hal itulah yang membuat Danika jatuh cinta terus menerus pada pria yang sudah memilih dan ia pilih untuk hidupnya.
“Siap untuk tidur?” tanya Ibra saat mereka sudah menyelesaikan urusan dapur.
“Sambil dipeluk, ya, tidurnya.”
“Bukannya malah susah? Nanti kamu nggak nyaman tidurnya.”
“Anaknya mau tidur sambil dipeluk Papa.” Danika melingkarkan lengannya tiba-tiba ke tubuh Ibra.
Mereka saling berhadapan dengan wajah Danika yang menengadah agar bisa melihat Ibra. Pria itu sendiri juga menundukkan pandangannya. Kebersamaan dan saat-saat seperti ini kadang mereka rindukan. Di tengah kesibukan masing-masing, Ibra dan Danika merasa tetap membutuhkan waktu berdua. Meski mereka tak keberatan menikmati waktu bersama Aidan. Tapi ada kalanya memang pasangan membutuhkan waktunya untuk makin menguatkan ikatan yang ada dalam hubungan mereka. Seperti yang saat ini Ibra dan Danika lakukan. Hanya hal kecil dan sederhana. Saling berpelukan. Namun mampu menguatkan hubungan mereka semakin dalam.
“Begini saja dulu,” ucap Ibra ketika Danika akan melepaskan rangkulannya.
“Tapi ini dapur. Nanti Mbak Isti lihat, nggak enak.” “Mbak Isti nggak akan datang lagi. Tadi dia sudah keluar
untuk ambil air minumnya.”
Danika tertawa kecil. “Boleh. Anak kita juga kayaknya suka dipeluk-peluk begini.”
Malam itu, selama beberapa saat mereka habiskan dengan saling berpelukan di dapur. Hanya berdua, atau mungkin bertiga dengan bayi di dalam rahim Danika. Dalam keheningan malam, diselimuti kehangatan pelukan dan cinta. Semua itu akan selalu terekam dalam jejak memori Ibra dan Danika. Hal sederhana yang akan selalu dijaga dalam rumah tangga mereka.
Bertemu wanita impian, menikah, menjadi seorang suami dan ayah, Ibra sudah melalui semua fase itu. Peijalanan rumah tangga yang ia dan Danika miliki pun sudah menginjak usia enam tahun. Banyak hal teijadi. Tak hanya hal baik, tapi juga buruk mampu mereka lewati bersama.
Janji yang Ibra ucapkan kala meminta tanggung jawab dari tangan Papa Danika sudah ia buktikan. Meski dirinya bukan sosok lelaki sempurna, tapi Ibra tak pernah berhenti berusaha. la ingin menjadi suami dan ayah yang baik bagi kedua buah hatinya. Baginya Danika dan kedua anak mereka adalah harta paling berharga miliknya yang hams ia jaga.
Keluarga mereka pun tak sempurna. Masih banyak kekurangan yang dimiliki. Tapi, baik Ibra dan Danika sama sama belajar untuk memperbaiki diri; menjadi suami dan istri yang saling melengkapi, menjadi orang tua yang mampu memberikan rasa hangat bagi kedua anak mereka.
Meluangkan waktu sebanyak mungkin dengan anak- anak di tengah kesibukannya membangun usaha. Ibra tak pernah lupa untuk selalu ada di sisi anak-anaknya. la tak ingin melewatkan sedikit pun tumbuh kembang kedua anaknya. Meski lelah, tapi ada kebahagiaan tersendiri baginya kala menjadi sosok ayah yang selalu ada bagi Aidan dan Aila. Bahkan kata pertama yang diucapkan kedua buah hatinya saat mulai berbicara adalah ‘papa’. Hingga membuat Danika sebagai ibu merasa tersaingin. Bagaimana tidak, ketika ia dua puluh empat jam merawat anak-anaknya, tapi justru Ibralah yang mendapat kehormatan sebagai kata pertama kedua buah hatinya. Namun, bukan berarti Danika berlarut-larut dalam kekesalannya. la pun tahu sebesar apa usaha Ibra untuk tetap selalu ada bagi mereka.
“Anak-anak sudah tidur?”
Ibra yang bam kembali dari restoran menghampiri Danika yang sedang berada di dapur. Danika yang saat itu sedang menyiapkan mie instan tampak terkejut begitu menyadari kehadiran suaminya. la bahkan meringis saat Ibra menatapnya dengan intens.
“Berapa kali saya katakan, Danika, mie instan itu nggak baik buat kesehatan,” tegur pria itu pada istrinya.
“Kali ini saja. Ya?” Danika memasang wajah memelas terbaiknya.
Ibra menghela napas. Ingin melarang, tapi ketika melihat wajah Danika, ia tetap merasa luluh. Entah sudah berapa kali wanita itu berhasil menaklukkannya.
“Kali ini,” ucapnya akhirnya.
Danika tersenyum lebar. “Kamu man? Bagi dua, ya?” Ibra mengangaguk, kemudian mengelus lembut kepala
istrinya. “Saya lihat anak-anak dulu.”
Danika mengangguk patuh. la kembali mengalihkan perhatian pada mie instan yang tadi sedang dimasak. Ibra segera berlalu dari arah dapur. Tujuannya adalah kamar Aidan, la ingin memberikan ciuman selamat tidur bagi putra sulungnya. Wajah Ibra tersenyum kala melihat Aidan tertidur lelap. Putranya tampak damai. Perlahan Ibra mendekati ranjang Aidan. Mengelus pelan kepala putranya. Memberikan ciuman di dahi sembari membisikkan doa baik bagi anaknya. Kebiasaan yang selalu ia dan Danika lakukan bagi kedua anak mereka. Dari kamar Aidan, Ibra berlanjut ke kamar mereka. Aila, putri bungsunya masih tidur bersama mereka. Usia Aila yang belum genap tiga tahun membuat mereka masih mengizinkan Aila untuk tidur bersama. Meski sesekali mereka membiasakan Aila untuk tidur di kamarnya sendiri.
Si kecil Aila punya kebiasaan tidur yang agak berantakan. Tak tenang seperti kakak lelakinya. Padahal baik Ibra dan Danika tak pernah beratraksi dalam tidur. Pelan- pelan Ibra memperbaiki posisi tidur Aila. Melakukan ritual yang sama seperti Aidan pada Aila. Kemudian mengatur bantal dan guling sebagai pelindung jikalau putrinya kembali beratraksi dalam tidurnya.
Usai memberikan ciuman untuk anak-anaknya, Ibra kembali menyusul Danika. Saat ini istrinya sudah duduk nyaman di sofa ruang tv. Memegang semangkuk mie instan di tangannya. Ibra pun menjatuhkan tubuhnya di samping Danika.
“Mau aku suapin atau makan sendiri?” tanya Danika. la memainkan alisnya untuk menggoda Ibra.
“Makan sendiri.”
Ibra langsung mengambil alih garpu dari tangan Danika dan engambil satu suapan penuh mie, membuat Danika protes karena porsi mie yang diambil Ibra begitu banyak. Tentunya pria itu melakukannya dengan sengaja. Agar porsi untuk Danika berkurang.
“Kalau kamu makannya begitu, nanti aku masak lagi mie instannya!” ancam Danika.
“Jangan. Saya cuma nggak man kamu sakit.”
“Aku juga nggak mau kamu sakit. Makanya kita makannya bagi dua.”
“Memang penyakitnya bisa dibagi dua?” tanya Ibra dengan dahi berkerut.
Danika cemberut, namun detik berikutnya ia tertawa. Kadang kala Ibra memang sering bertindak tak terduga. Namun begitu, ia selalu suka dengan apa pun yang ditunjukkan Ibra padanya. Keduanya kembali melanjutkan menikmati mie instan. Ditemani tontonan film aksi yang tersaji di layar tv. Sesekali Danika mengomentari film tersebut dengan mulut terisi penuh. Membuat Ibra berkali-kali menegurnya. Untung saat ini hanya ada mereka. Di depan kedua anaknya, Danika dan Ibra harus berhati-hati dalam bersikap. Tak ingin memberikan contoh buruk pada anak- anaknya.
“Kapan aku dikasih izin nyetir lagi?” tanya Danika tiba- tiba. la begitu antusias melihat pemeran wanita dalam film yang ia saksikan beradu cepat di jalanan.
“Kalau Aidan dan Aila sudah remaja.”
“Hah? Lama banget dong. Lama-lama nanti aku nggak bisa lagi nyetir. Kelamaan nganggur.”
“Enggak apa-apa. Masih ada say a yang bisa jadi sopir kamu dan anak-anak.”
Bukan tanpa sebab hingga saat ini Ibra tak mengizinkan Danika kembali menyetir. la masih ingat pengalaman mereka saat bertabrakan. Dan semua itu karena kecerobohan Danika. Meski mungkin saat itu Danika masihlah gadis labil yang sedang dilanda masalah, tapi tetap saja Ibra merasa ngeri membayangkan Danika kembali bergulat di jalanan dengan mobilnya.
“Apa gunanya mobilku di garasi?” gumam Danika pelan. Ibra memperhatikan wajah istrinya itu. Mata Danika
memang terpaku ke layar tv di depan mereka, tapi ia tahu pikiran Danika tengah berkelana. Pria itu lantas mengambil alih mangkok di tangan Danika, meletakkannya di meja kopi.
“Ada perasaan was-was kalau saya kasih kamu izin menyetir. Apalagi saat akan bawa anak-anak.” Ibra mengungkapkan perasaannya.
“Tapi aku bukan lagi perempuan labil awal dua puluh tahunan. Aku sudah jadi Ibu. Aku juga nggak akan sembarangan membahayakan keselamatan Aidan dan Aila. Jadi kamu harusnya nggak usah khawatir sama anak-anak kamu.”
Ibra memutar tubuh Danika hingga berhadapan dengannya. la bisa melihat ada gejolak di kedua mata wanita itu. Tangan Ibra menangkup wajah Danika hingga hanya terfokus padanya.
“Bukan cuma keselamatan anak-anak yang jadi konsetrasi saya, tapi kamu juga. Kalian. Saya nggak akan bisa bayangkan bagaimana rasanya kalau sesuatu teijadi sama kamu dan anak-anak.”
Danika bisa melihat kesungguhan di mata Ibra, la tahu Ibra hanya memikirkan mereka. Sesaat rasa bersalah menghampiri. Mengapa harus selalu Ibra yang mengalah padanya. Ibra selalu berusaha membahagiakan Danika dengan caranya. Mengapa Danika tak berusaha mencoba hal yang sama baginya.
Di sisi Ibra, ia bisa melihat ada pergolakan dalam pikiran istrinya. la tak ingin terlalu mengekang Danika. Tapi untuk hal satu itu, Ibra benar-benar berharap Danika menurut pada keinginannya. la hanya tak ingin hal buruk menimpa mereka. Sekelebat ingatan langsung menyerbu kepalanya. Sampai ketika Ibra mengingat saat pertama kali setelah sekian lama Danika akhirnya kembali melihat mobil miliknya yang ada pada Ibra. Gadis itu menangis. Ada kerinduan yang ia tumpahkan kala mengelus mobil miliknya. Mobil yang menjadi hadiah peninggalan mamanya.
“Oke,” ucap Ibra tiba-tiba.
“Hah?” gumam Danika.
“Kamu boleh mulai menyetir lagi. Dengan syarat harus hati-hati sekali. Selain itu saya juga mau menguji kembali kemampuan menyetir kamu. Kita juga harus memperbaharui surat izin mengemudi kamu...”
“Kenapa tiba-tiba?” Danika memotong ucapan Ibra. “Karena saya nggak man lihat istri saya murung setiap
kali melihat mobil peninggalan Mama hanya terpajang di garasi.”
Mata Danika berkaca-kaca. “Kamu nggak perlu selalu turutin apa mauku, Ibra...”
“Tapi saya cuma ingin lihat kamu bahagia. Lihat kamu tertawa dan tersenyum. Janji saya untuk nggak bikin kamu sedih. Harus saya tepati.”
Danika menundukkan kepalanya. Kedua telapak tangan ia gunakan untuk menutup wajahnya yang mulai membasah. Entah harus bersyukur seperti apa lagi mendapatkan semua kebahagiaan seperti itu dalam hidupnya.
Ibra kemudian membawa tubuh Danika dalam dekapannya. “Maaf kalau saya sudah egois untuk yang satu ini. Harusnya saya percaya dengan kemampuan kamu. Seperti kamu yang juga memercayakan diri kamu dalam tanggung jawab saya. Mulai saat ini saya janji, apa pun akan kita
putuskan berdua karena rumah tangga bukan hanya tentang keputusan saya, tanggung jawab saya, tapi juga ada kamu dan anak-anak kita di dalamnya.”
Danika mengangguk. “Hem. Kita putuskan sama-sama. Terima kasih juga.”
Ibra balas memeluk erat Danika. Kenyamanan langsung menyerbu hatinya. Inilah yang ia dapatkan dari peijuangannya selama ini. Rasanya cukup setimpal dengan pengorbanan yang ia lakukan.
Banyak hal berubah dalam kehidupan Ibra, la tahu itu ketika memantapkan diri untuk mengejar Danika. Keputusan dan tanggung jawabnya tak hanya sekadar bagi dirinya sendiri, namun juga ada Danika dan anak-anak di dalamnya. Meski ada hal-hal yang akan membebani, tapi Ibra sama sekali tak akan melemah. la akan beijuang demi keluarganya.
Banyak perbedaan yang ia dan Danika miliki. Tapi, itu tak akan menjadi penghalang bagi mereka. Berdua, mereka akan menghapus jarak perbedaan itu. Menyatukan dalam sebuah keluarga yang akan selalu ada dan saling menguatkan.
Memberikan Danika apa yang sempat hilang dalam hidupnya; hangatnya keluarga.

Post a Comment