no fucking license
Bookmark

Please Boss!

FeatureImage


Dan kini, Papa seolah ingin menambah beban luka di hatiku yang baru saja kehilangan Mama. Dengan mudahnya Papa mengatakan beliau ingin menikah. Telah menemukan seseorang yang akan menemani hari tuanya. Mana sumpah setianya pada Mama? Aku masih ingat jelas kala Papa selalu berujar mesra pada Mama untuk bersetia hingga ajal menjemput mereka.
-- Blurb --

Detail Info

Judul Please Boss!
Penulis Ria Pohan
Chapter 29 Chapter
Status Tamat
Jumlah kata 71k words
Hak Akses Free/Gratis

FeatureImage

Kecil Kemungkinan

Untuk yang kesekian kalinya aku harus menahan kesakitan. Entah apa yang ada dibenak Papa. Beliau dengan entengnya mengatakan  ingin  berkeluarga.  Rasanya  tanah  kubur  Mama belum  lagi  kering  saat  Papa  mengatakan  niatnya  tersebut. Berbagai  cara  kulakukan  untuk  menentang  keinginan  Papa. Tapi, tetap saja beliau seperti menulikan telinga. Lagipula apa lagi yang Papa cari. Usianya tak lagi muda. Mengapa Papa butuh  pendamping  lagi  di  waktu  senjanya.  Bukankah  lebih baik  jika  Papa  mendekatkan  diri  pada  Yang  Kuasa.  Bukan bermaksud  mendoakan  hal  buruk  terjadi  pada  Papa,  tapi alangkah baiknya jika Papa lebih mendekatkan diri pada-Nya. Usia manusia siapa yang tahu.

Lihat saja Mama. Beliau terlihat sangat sehat. Tak ada penyakit   kronis   apa   pun   yang   mendera,   tapi   Tuhan berkehendak lain. Beliau memanggil Mama di usianya yang baru memasuki 47 tahun. 

Usia yang masih relatif muda dan bugar  jika  ditilik  dari  rentang  usia  rata-rata  yang  dimiliki manusia. Namun, kembali lagi pada takdir. Tak ada yang bisa menolak kuasa Tuhan, bukan?

Dan kini, Papa seolah ingin menambah beban Iuka di hatiku yang baru saja kehilangan Mama. Dengan mudahnya Papa  mengatakan  beliau  ingin  menikah.  Telah  menemukan seseorang  yang  akan  menemani  hari  tuanya.  Mana  sumpah setianya pada Mama? Aku masih ingat jelas kala Papa selalu berujar   mesra   pada   Mama   untuk   bersetia   hingga   ajal menjemput mereka.

Bukan  aku  tak  sayang  dan  tak  ingin  melihat  Papa bahagia.  Tapi,  bisakah  beliau   menundanya?  Paling  tidak hingga  kami  terbiasa  tanpa  Mama.  Ketika  kami  tak  lagi menangis mengenang Mama. Tapi akan tersenyum dalam doa untuk kebahagiaan Mama di sana.

“Kenapa  Papa  bisa  secepat  ini  lupa  sama  Mama?” tanyaku saat Papa mengumumkan keinginannya menikah lagi. 

Bahkan siapa calon Ibu tiriku pun aku tak mengenalnya.

“Danika  ...  maaf.  Papa  butuh  seorang  pendamping. Pengganti Mamamu yang akan menemani dan mengurus Papa di hari tua.”

“Aku tahu, Pa. Tapi, apa harus secepat ini? Bahkan aku nggak tahu siapa perempuan itu.”

“Papa  pasti  akan  kenalkan  kamu  dengan  Tante  Indri. Secepatnya kita akan adakan pertemuan.”

Aku  masih  mematung,  tak  bisa  menjawab  keinginan Papa.  

Walau  masih  mempertanyakan  semua,  tapi  tetap  saja aku belum rela jika sosok Mama sudah memiliki pengganti di rumah ini. Aku belum ikhlas.

“Danika...”

“Bisa Papa tunda untuk menikah lagi?” pintaku. Kali ini air mata mengiringi permintaanku.

Kuharap  rasa  sayang  Papa  masih  begitu  besar  padaku dan  Mama.  Namun  saat  melihat  Papa  kesulitan  menjawab, aku tahu ternyata rasa sayang Papa pada mendiang istrinya sudah  memudar.  

Berapa  lama  Papa  dan  wanita  itu  saling mengenal?  Atau  jangan-jangan  mereka  sudah  bermain  di belakang   Mama?   Jangan   salahkan   pikiran   buruk   yang menderaku. Wajar saja jika aku berspekulasi seperti itu karena sikap Papa yang seperti tak bisa menunggu waktu lagi.

“Apa Papa dan perempuan itu sudah berhubungan jauh sebelum Mama meninggal?” tuduhku.

Papa belum menjawab, tapi air muka beliau yang meragu membuatku   berspekulasi   tentang   hubungan   mereka   kian menguat.  Ya,  Tuhan,  jika  benar  begitu,  teganya  Papa.  Pria yang  begitu  kukagumi  ternyata  bermain  curang  terhadap kesetiaan Mama. 

Apa lagi yang bisa kuharapkan dari laki-laki yang bahkan tidak bisa menjaga  kepercayaan  dan kesetiaan dalam rumah tangganya.

Aku   berlari    secepatnya   meninggalkan Papa   yang mencoba memanggil namaku. Aku tak peduli. Satu hal yang ingin kulakukan saat ini hanyalah berlari sejauh mungkin dari Papa.  Tak  peduli  saat  aku  keluar  dari  rumah,  hujan  deras tengah menyapa. Rasanya aku seperti pemeran utama dalam drama yang berlari di tengah hujan dengan tangisan. Mungkin benar aku adalah pemeran utama dalam drama kehidupanku yang  menyedihkan  ini.  Bahkan  karena  tak  pedulinya  aku berlari,  hampir  saja  teijadi  insiden  tabrakan.  Sebuah  mobil berhenti  mendadak  di  depanku.  Menyisakan  jarak  beberapa meter antara tubuhku dan mobil. Aku yang begitu terkejut, terpaku seketika, kemudian meluruh di jalanan karena shock.

“Kamu     baik-baik     saja?”     tanya     sebuah     suara menghampiriku.

Seorang pria dengan payung baru saja keluar dari mobil yang  hampir  menabrakku.  Dia  sudah  berdiri  di  hadapanku. Aku    yang    masih    belum    sadar    sepenuhnya    berusaha menetralkan  debar  jantungku.  Saat  ini  rasanya  aku  ingin berteriakpada Tuhan. Mengapa aku tak mati saja?!

“Apa kamu baik-baik saja?” Suara itu kembali bertanya. Kini pria berpayung itu sudah beijongkok di depanku. 

Payungnya  ia  gunakan  juga  untuk  menaungi  tubuhku  yang sudah  telanjurbasah.  Sesaat  mata  kami  bertemu.  Ada  raut khawatir dan bingung tercetak jelas di wajah pria berwajah campuran timur tengah ini.

“Kamu butuh bantuan?”

Aku menggeleng. “Tidak.”

Refleks  aku  menegakkan  tubuh.  Tanpa  permisi,  aku kembali  berlari  meninggalkan  pria  itu  yang  ikut  terperanjat karena tindakanku yang tiba-tiba. Entahlah apa yang terjadi pada pria itu. Aku tak peduli. 

Yang kubutuhkan saat ini hanya ketenangan. Dan satu orang yang bisa menenangkanku saat ini hanya dia.

Setelah berlari cukup jauh dan entah berapa lama, aku tiba di depan rumah sahabatku. Tanpa ragu kuketuk pintunya. Tak peduli jika ketukanku mengganggu ketenangan di malam hari ini, yang pasti aku membutuhkannya.

“lya, sebentar!” Bisa kudengar suara teriakan Dayu. Tak berapa  lama  pintu  terbuka.  Wajah  Dayu  tampak  terkejut dengan kehadiranku.“Danika?” tanyanya.

Tak  peduli  tubuhku  yang  basah  kuyup,  aku  langsung menghambur  ke  pelukan  Dayu.  Menumpahkan  tangisku  di pelukannya. Membuat Dayu bertanya-tanya sambil berusaha melepaskan pelukan kami.

“Hei,   kamu   kenapa?”   tanya   Dayu   setelah   berhasil melepaskan pelukan kami.

“Dayu, ada a ... Danika?” Ibu Dayu menghampiri kami yang masih berdiri di depan pintu. 

“Ada apa ini? Ini kenapa Danika basah kuyup, Yu? Ayo, masuk. Dayu, suruh Danika ganti baju dulu. Biar Ibu siapkan teh hangat.”

Tanpa menunggu aku setuju, Dayu langsung menarikku ke  kamarnya.  Walau  rumah  Dayu  tak  begitu  besar,  namun kamar Dayu dilengkapi dengan kamar mandi sendiri. Jadi aku tak  perlu  menggunakan  kamar  mandi  yang  ada  di  dapur. 

Sahabatku itu menyerahkan pakaian ganti dan mendorongku untuk   membersihkan   diri   di   kamar   mandi.   Segera   aku membilas tubuh dan keluar kamar mandi setelah berpakaian. Dayu sendiri sudah mengganti kausnya yang tadi basah karena ulahku. Kulihat sudah ada dua gelas teh hangat di atas meja belajar Dayu. Mungkin Ibunya yang tadi mengantarkan saat aku masih berada di kamar mandi.

“Minum  dulu.”  Dayu  menyodorkan  segelas  teh  yang langsung kusambut.

Rasa hangat langsung menjalar melewati kerongkongan dan memberikan rasa nyaman di rongga perutku. “Makasih, Yu.”

“Kenapa  kamu  malam-malam  begini  basah  kuyup?” Dayu bukan orang yang suka berbasa-basi. Dia akan bertanya langsung ke inti permasalahan.

“Yu, Papa mau nikah lagi.”

Dayu terkejut seketika. Sudah kuduga. Siapa pun yang mendengar berita ini jelas akan sama terkejutnya denganku. Semua  orang  yang  mengenal  keluarga  kami  tahu,  Mama meninggal belum juga lama. Tapi, Papa yang sudah tak tahan malah    ingin    segera    meresmikan    hubungannya    dengan perempuan entah siapa itu.

“Gimana bisa?”

Kembali   aku   memeluk   Dayu.   “Mungkin   Papa   dan perempuan  itu  sudah  berhubungan  jauh  saat  Mama  masih ada, Yu. Bisa kamu bayangin betapa teganya Papa kalau itu sampai teijadi? Mama salah apa? Memang semua pengabdian Mama  untuk  keluarga  masih  kurang?”  Isakku  di  pelukan Dayu.

Dayu hanya terus mengelus punggungku. 

Mungkin gadis ini sama terkejutnya denganku. Tapi aku tak tahu harus bicara pada siapa lagi. Tak banyak orang yang kukenal dekat. Aku jenis orang yang memang tak mudah dekat dengan orang lain. Entah apa yang salah, mungkin memang sosialisasiku sangat buruk. Atau memang sifat dan sikapku membuat orang lain enggan berdekatan denganku. Hanya Dayu dan keluarganya. Sahabat yang kukenal sejak SMP.

Entah berapa lama aku terus mencurahkan kesedihanku pada  Dayu,  karena  yang  terakhir  kali  kuingat  adalah  aku terlalu  lelah  hingga  memejamkan  mata  dan  jatuh  dalam lelapnya mimpi.

***

Rumah  masih  tetap  sama  walau  tanpa  Mama.  Hanya  saja suasana sudah tak senyaman dulu. Sarapan pagi terasa hampa. Hanya  ada  Papa  dan  aku.  Juga  Bi  Tini  dan  Pak  Markum. Keluarga  yang  sudah  bekeija  untuk  keluarga  kami  bahkan sejak  aku  belum  dilahirkan.  Mereka  yang  begitu  loyal membantu  keluarga  kami  dan  tetap  bertahan  bahkan  saat Mama sudah tak ada di sini.

“Nanti malam Papa akan bawa Tante Indri untuk makan malam di sini.”

Sendok yang tadinya akan kusuapkan ke dalam mulut terhenti  di  udara.  Kutatap  tajam  Papa,  namun  beliau  sama sekali   tak   terganggu   dengan   caraku   menatapnya.   Papa mungkin sudah tak peduli lagi padaku sehingga ancamanku pun tak beliau hiraukan lagi.

Sepulang   dari   rumah   Dayu   kemarin   aku   memang kembali menemui Papa. 

Mengancam akan ke luar dari rumah ini jika Papa masih berkeras hati untuk menikah. Bukannya berdiskusi  denganku,  Papa  malah  melenggang  pergi  tanpa kata. Tak peduli aku yang sudah berteriak histeris meminta Papa untuk bicara padaku. Pendapatku benar-benar sudah tak dianggap Papa.

“Aku nggak bisa. Ada tugas kampus. Dan mungkin aku bakal nginap di rumah Dayu.”

“Kamu dan Dayu beda kampus. Kenapa harus nginap di rumahnya kalau memang ada tugas kuliah?”

Aku  memilih  diam.  Meletakkan  sendok  dan  bersiap untuk pergi ke kampus. Tak ada lagi minat untuk meneruskan sarapan    yang    rasanya    sudah    hambar.    Bahkan    tanpa berpamitan   pada   Papa,   aku   meninggalkan   ruang   makan. 

Terserah jika Papa tak suka dengan sikap tak sopanku. Aku sedang   melancarkan   aksi   protesku   atas   keputusan   Papa. Walau rasanya percuma, karena sepertinya Papa juga tak lagi peduli.

Setiba di kampus, bukannya masuk ke ruang kuliah, aku memilih  masuk  ke perpustakaan.  Hari  ini  aku tak  berminat untuk  mengikuti  kelas.  Dengan  emosi  dan  isi  kepala  yang terpecah,  aku tak yakin  bisa mengikuti mata kuliah dengan benar. Masih untung kalau aku bisa tetap diam. Bagaimana jika  tiba-tiba  aku  mengamuk  dan  mengacaukan  seisi  kelas untuk   melampiaskan   amarahku.   Karena   itu,   aku   sengaja meminjam beberapa buku dan memilih menghabiskan waktu dengan membaca. Entah sudah berapa lama aku larut dalam kegiatan    membacaku    hingga    pesan    masuk    di    ponsel mengalihkanku.  Isi  pesannya  bertanya  bagaimana  kabarku dan   memintaku   untuk   menghubunginya.   

Aku   tersenyum membaca rentetan pesan dari si cerewet satu itu. Segera aku berkemas untuk menemui Dayu di kampusnya.

Entah memang hari ini adalah kesialan untukku, karena mobilku  tiba-tiba  saja  menabrak  mobil  yang  ada  di  depan. Bunyi benturan yang cukup keras membuatku menggigit bibir. Sepertinya kerusakan yang kusebabkan tak main-main. Cepat- cepat kutepikan mobilku mengikuti si pemilik mobil di depan. Bergegas   aku   melepaskan   seatbealt   yang   melekat   untuk langsung menghampiri pemilik mobil. Saat aku baru keluar, seorang pria sedang beijongkok memperhatikan sisi samping belakang mobilnya yang kutabrak.

“Maaf,  Pak.  Saya  nggak  sengaja,”  ucapku,  takut-takut saat menghampiri si empunya mobil.

“Cukup parah,” gumam pria itu.

Saat ia berdiri, jantungku rasanya hampir copot. Pemilik mobil ini ternyata adalah pria yang kemarin malam hampir menabrakku.   Dia   memperhatikanku   dari   atas   ke   bawah. Membuatku tak nyaman seketika. Kuharap dia sama sekali tak mengingat  wajahku.  Lagipula  kejadian  itu  kan  saat  malam hari. Bisa saja penglihatannya tak terlalu jelas.

“Kamu...”

“Saya minta maaf!” potongku cepat.

Pria itu memiringkan kepalanya. Ingin berucap, tapi tak ada kata yang keluar dari bibirnya.

“Berapa biaya perbaikan yang harus saya ganti rugi?” tanyaku langsung.

Walau    aku    belum    tahu    bagaimana    nanti    harus membayarnya, mengingat hubunganku dan Papa yang sedang dalam fase perang dingin. 

Jika dulu aku bisa meminta apa pun pada  Papa  saat  terlibat  masalah,  maka  saat  ini  rasanya  tak akan semudah itu.

“Kamu  tahu  kan  biaya  perbaikan  mobil  ini  cukup mahal?”

Aku  mengintip  ke  balik  tubuh  pria  itu  untuk  melihat jenis mobil yang digunakannya. Seketika aku menelan ludah. Mobil milik pria ini jenis mobil mewah yang aku mimpi saja bisa  memilikinya.  Kalaupun  bisa,  Papa  pasti  tak  akan  sudi menghamburkan  uang  hanya  untuk  sebuah  kendaraan  yang fungsinya sama saja.

“Saya   nggak  tahu.   Tapi,  saya   pasti  akan  berusaha bertanggung jawab,” suaraku memelan di akhir kalimat.

Pria  berwajah  campuran  timur  tengah  ini  tersenyum kecil. 

Dalam hati aku berdoa semoga dia adalah malaikat baik hati yang dikirim Tuhan untuk tak mempersulitku. Tapi jika menilik realita, hanya ada satu dari seribu manusia yang bisa dengan mudah mengikhlaskan hal seperti ini.

“Berikan nomor handphone kamu. Nanti saya hubungi jika mobil saya sudah diperbaiki.”

Tuhan  ternyata  tak  menjawab  doaku.  Dengan  langkah gontai, aku kembali ke mobil untuk mengambil handphone. Menyebutkan  nomornya  pada  pria  tersebut  yang  langsung sigap  menyimpan  nomorku  di  ponselnya.  Bahkan  pria  itu sengaja    melakukan    panggilan    untuk    memastikan    aku memberikan nomor yang benar.

“Siapa nama kamu?”

“Hah?”

“Nama kamu? Tidak mungkin saya tidak memberi nama panggilan saat nanti saya menghubungi kamu.”

“Danika.”

“Baiklah, Danika. Nanti saya hubungi lagi.”

Tersenyum  kecil,  pria  itu  berpamitan.  Mobil  mewah milliknya meluncur mulus hingga menghilang dari pandangan mataku.  Setelah  kepergian  pria  itu,  aku  menghela  napas panjang.  Lega  karena  tak  lagi  berhadapan  dengannya,  tapi panik juga di saat bersamaan memikirkan bagaimana caranya aku mendapatkan uang untuk biaya ganti rugi. Dan sepertinya tak ada cara lagi selain menjatuhkan harga diri dan menyerah pada    Papa.    Hanya    beliaulah    satu-satunya    penyokong keuangan yang kumiliki.


Pertemuan

Aku menyerah. Di sinilah akhirnya aku berakhir. Duduk manis di ruang makan dengan dua orang asing yang sebentar lagi akan  jadi  bagian  dari  keluarga  kami.  Tidak,  aku  tak  sudi mengakui  mereka  sebagai  bagian  dari  keluargku.  Mereka bagian dari hidup Papa. Bukan aku. Papalah  yang berkeras hati untuk membawa dua orang asing ini ke rumah kami. Dan sejak  awal,  aku  sudah  menunjukkan  jelas  bahwa  aku  tak pernah  setuju  dengan  hubungan  ini.  Walau  begitu  aku berusaha untuk menghormati mereka karena Papa.

Wanita  yang  diperkenalkan  Papa  sebagai  Tante  Indri datang  bersama  anak  perempuannya.  Haninda,  perempuan yang  usianya  hanya  berbeda  empat  tahun  dariku.  Gadis  itu cantik, sama seperti Mamanya, namun aku tetap tak suka. Aku tak  suka  mereka  akan  tinggal  di  rumah  ini.  Menggantikan segala  kenangan  tentang  Mama.  Ingin  sekali  aku  berteriak sekerasnya pada mereka untuk pergi dari rumah ini, namun aku tak bisa. Semua karena aku butuh uang Papa.

Aku  menceritakan  kecelakaan  yang  menimpaku  pada Papa. Meminta pada Papa untuk memberikan uang ganti rugi padaku   bila   nanti   si   pemilik   mobil   menghubungi.   Papa terkejut, tapi beliau setuju. Tentu saja dengan syarat makan malam ini. Meski enggan, aku tetap harus menurut. Jika tak ingin Papa menarik bantuannya padaku.

“Oh, iya, Danika sudah kuliah semester berapa?” tanya Tante Indri mencoba mendekatkan diri padaku.

“Empat,” jawabku singkat.

Papa berdecak pelan. Kesal akan sambutanku pada Tante Indri yang mencoba mendekatkan dirinya padaku. Namun aku tak  peduli.  Meski  tak  ingin  berlama-lama  bersama  mereka, tetap saja aku mencoba menghabiskan makan malamku. Bisa saja aku menghambur meninggalkan acara ini. Tapi kembali lagi,  aku  hanya  anak  yang  tak  memiliki  kemampuan  untuk memberontak  pada  Papa  karena  kehidupanku  masih  butuh sokongan materi darinya.

“Kalau  nanti  Tante  dan  Papa  kamu  menikah,  Tante mohon  kamu  baik-baik  sama  Hanin,  ya.  Anak  Tante  ini pendiam. Enggak pintar bergaul.”

Aku  tak  menjawab.  Hanya  menggenggam  lebih  erat sendok   dan   garpu   di   kedua   tanganku.   Rasanya   mataku memanas  mendengar  ucapan  wanita  ini.  Tak  bisakah  dia menjaga    perasaanku    sedikit    saja.    Harusnya    dia    tahu sambutanku   yang   kurang   baik   saja   sudah   menjelaskan penolakan.     Mengapa     dia     malah     membahas     perihal pernikahan.

“Tante  dengar  dari  Papa  kamu,  katanya  kamu  belum merestui hubungan kami. Tapi, Tante minta untuk kamu kasih restu  di  pernikahan  kami  nanti.  Bagaimanapun  Tante  dan Papa kamu saling mencintai...”

Kubanting  sendok  di  tanganku  ke atas  piring. Mereka semua terkejut. Wajah Papa bahkan mengeras, tapi aku tak acuh. Telingaku sudah panas mendengar ocehan wanita itu. Apa  dia  begitu  tak  punya  malu  mengatakan  hal  seperti  itu pada anak yang baru saja kehilangan Ibunya? Di mana nurani mereka semua?

“Danika!” bentak Papa.

“Memang siapa yang mau kasih restu? Asai Tante tahu, saya nggak setuju Tante nikah sama Papa. Sampai kapan pun saya nggak setuju. Kalian nggak punya malu, ya? Tega sekali kalian bersenang-senang di atas kesedihan saya? Tante sadar nggak, Tante itu murahan!”

“Danika, cukup!” Papa berteriak makin lantang

Aku memberikan tatapan menantang pada Papa. Namun yang  membuatku  terluka  Papa  justru  memberi  tatapan  tak kalah  tajam.  Aku  tahu  apa  yang  kulakukan  jauh  dari  kata sopan. Tetapi, aku ini putrinya. Putri satu-satunya. Apa rasa cinta  Papa  padaku  sudah  menghilang  tak  berbekas  hanya karena rasa cintanya pada Tante Indri?

“Kamu jangan kurang ajar, ya!” ucap Papa tajam.

“Siapa yang lebih kurang ajar? Aku atau Papa yang justru sudah berselingkuh di belakang Mama bahkan semasa Mama masih ada?” balasku tak kalah lantang.

“Danika,  selagi  Papa  masih  punya  batas  kesabaran, berhenti. Minta maaf sama Tante Indri.”

Aku  menatap  Papa  dan  Tante  Indri  bergantian.  Juga pada  Haninda  yang  sejak  tadi  hanya  berdiam  menyaksikan pertengkaran  kami.  Sepertinya  anak  ini  sudah  memprediksi drama apa yang akan terjadi. Terlihat dari betapa tenangnya wajah  Haninda.  Tatapanku  kembali  pada  Tante  Indri  yang terlihat terluka. Tapi, aku tahu itu hanya topeng karena sinar mata menantangnya jelas menunjukkan siapa perempuan ini. Wanita iblis tak tahu malu yang tega merusak rumah tangga orang lain. Minta maaf padanya? Jangan harap!

“Papa  suruh  aku  minta  maaf  sama  dia?”  Telunjukku dengan   berani   mengarah   pada   Tante   Indri.   Keterkejutan mereka bertambah. “Jangan harap. Memang apa yang salah dari  ucapanku?  Perempuan  terhormat  nggak  akan  mau  jadi perusak rumah tangga orang lain. Perempuan terhormat akan menjaga harga dirinya agar nggak dipandang rendah. Bukan yang dengan sukarela mau jadi perusak rumah tangga orang lain!”

Plak'.

Tamparan   keras   Papa   membuatku   bungkam.   Pipiku memanas. Air mata  juga sudah meluncur mulus dari kedua mataku.  Tapi,  bukan  rasa  sakit  di  pipi  yang  membuatku menangis.  Melainkan  sikap  Papa  yang  dengan  tega  dan terang-terangan   menamparku   di   depan   orang   lain.   Aku memandang tajam Papa dengan mata basah.

“Papa tampar aku?” tanyaku dengan nada terluka yang tak bisa kusembunyikan.

Papa seakan baru tersadar dari apa yang dilakukannya padaku. Mata beliau membelalak sambil memandangi telapak tangannya  yang  tadi  menghampiri  pipiku.  Papa  langsung menurunkan     tangannya,     lalu     menatap     ke     arahku. Pandangannya menyiratkan rasa bersalah.

“Danika...,” panggil Papa dengan nada lemah.

Papa berusaha menggapaiku,  namun aku telanjur sakit hati. Saat Papa berusaha menarikku ke dalam rengkuhannya, aku   justru   berlari   menjauh.   Sudah   cukup   rasanya   aku menahan perasaan. Saat ini aku tak ingin dekat-dekat Papa.

“Danika!” teriak Papa saat aku sudah berlari ke kamarku. Dalam  tangis,  aku  membanting  pintu  kamarku  dan 

menguncinya. Aku tak ingin Papa masuk. Aku tak ingin siapa pun menggangguku. Saat ini aku hanya ingin menangisi nasib burukku. Mungkin perempuan jahat itu tengah tertawa di sana karena berhasil menghancurkan hubungan seorang Ayah dan anak  perempuannya.  Tapi,  aku  bersumpah  itu  tak  akan berlangsung  lama.  Aku  harus  bangkit.  Aku  harus menggagalkan pernikahan atau hubungan apa pun yang ingin diresmikan  Papa  dan  perempuan  itu.  Tak  ada  yang  boleh menggantikan  posisi  Mama  di  rumah  ini.  Tidak  perempuan itu, tidak siapa pun. Hanya akan ada Mama sebagai istri Papa dan Nyonya rumah ini.

Kurenggut  pigura  Mama  di  atas  nakas.  Memandang wajah cantik Mama yang begitu bercahaya di foto tersebut. “Aku janji, Ma, nggak akan ada yang bisa menggantikan posisi Mama   di   rumah   ini.   Aku   bakal   menggagalkan   rencana pernikahan  Papa  dan  perempuan  itu.  Aku  janji!”  ucapku, penuh tekad sembari memeluk pigura berisikan foto Mama.

***

Hari  berganti,  namun  hubungan  Papa  denganku  justru semakin kaku dan menjauh. Padahal aku mengharapkan Papa bicara  padaku.  Meminta  maaf  atas  sikapnya.  Namun, kenyataan  yang  kudapat  justru  Papa  seolah  lupa  pada perbuatannya  padaku.  Entah  apa  yang  teijadi.  Mungkin perempuan itu berhasil mencuci otak Papa agar tak berbicara padaku. Tapi aku tak akan membiarkan dia menang. Hari ini juga  kuputuskan  untuk  menemui  Papa  di  kantornya  selepas kuliahku.

“Papa ada, Mbak?” tanyaku pada Desi, Sekretaris Papa. “Bapak sedang ada tamu, Mbak,” balas Desi dengan nada 

segan padaku.

“Siapa tamunya?”

Belum  sempat  Desi  menjawab,  pintu  ruangan  Papa terbuka. Mataku seketika terbuka lebar. Wanita tak tahu malu itu   justru   dengan   entengnya   menggandeng   lengan   Papa. Bahkan Papa tanpa sungkan membiarkan perempuan tersebut melakukannya. Seolah menunjukkan pada semua orang bahwa sebentar lagi ia akan menjadi Nyonya dari Tuan Randa Wijaya. Tanganku   mengepal   erat,   namun   mereka   tanpa   sungkan masih tak melepas rangkulan.

“Ada apa kamu datang?”

Pertanyaan yang membuat kepala dan hatiku panas. Apa aku,  yang anaknya  sendiri,  tak  boleh  berkunjung  ke  kantor Papa.  Sedang  perempuan  itu  yang  bukan  siapa-siapa  bebas melenggang ke sana kemari di kantor ini?

“Memangnya   salah   kalau   aku   mau   ketemu   Papa?” jawabku sekenanya.

“Kalau begitu kita makan siang bertiga. Ada yang ingin Papa sampaikan sama kamu.”

Papa dan Tante Indri berjalan lebih dulu. Sedang aku mengekor di belakang mereka. Bisa kulihat dari ekor mata, Desi melayangkan tatapan prihatin padaku. Mungkin semua orang   yang   melihat   kami   bertigapun   akan   melayangkan tatapan  yang  sama  padaku.  Bagaimana  tidak,  belum  lagi mengeras   kubur   Mama,   Papa   sudah   dengan   leluasanya membawa perempuan lain. Oh, atau mungkin memang seisi kantor sudah tahu mengenai hubungan mereka, namun semua bungkam  karena  tak  ada  yang  berani  menginterupsi  atasan mereka.

Papa bersama Tante Indri menggunakan mobil kantor. Sedang aku mengikuti mereka dari belakang. Aku tak sudi satu mobil dengan perempuan jahat itu. Jadi lebih baik jika aku mengendarai mobilku sendiri. Hingga mobil yang ditumpangi Papa berhenti di sebuah restoran Jepang yang tak jauh dari kantornya.

Kami  turun  beriringan  dan  langsung  menempati  meja yang  ditunjukkan  Pramusaji.  Setelah  menyebutkan  pesanan, Papa mulai memasang wajah seriusnya. Aku tahu jika sudah begini  pasti  ada  hal  penting  yang  ingin  Papa  sampaikan. Dalam hati aku berdoa semoga bukan apa yang kupikirkan.

“Danika,  Papa  mau  kasih  tahu  kalau  Papa  dan  Tante Indri    sudah    memutuskan    kalau    kami    akan    segera melangsungkan pernikahan.”

Tanganku mengerat di bawah meja. Mataku juga sudah memanas. Hany a dengan satu kalimat rasanya seluruh dunia runtuh  di  atas  kepalaku.  Kutatap  Papa  dengan  mata  yang mulai berkaca-kaca.

“Papa serins?” tanyaku dengan suara bergetar.

“Papa serius. Papa harap kamu bisa menerima ini.” Kualihkan  tatapanku  pada  wanita  di  samping  Papa. 

Wajahnya  tenang,  tak  menunjukkan  raut  apa  pun.  Namun, aku  tahu  dalam  hatinya  perempuan  ini  pasti  bersorak kegirangan. Rasanya aku sudah tak sanggup lagi. Langsung saja  aku  berdiri  dan  berlari  pergi.  Walau  kudengar  Papa berusaha  memanggilku,  namun  tak  ada  tindakan  yang dilakukan  pria  tersebut  untuk  menghentikanku.  Bahkan mengejarku pun tidak. Apa sebegitu berharganya Tante Indri hingga Papa dengan sangat tega mengabaikanku.

Kulajukan  mobilku  dengan  kecepatan tinggi. Berharap Tuhan mencabut saja nyawaku saat ini juga. Namun, tak ada yang teijadi. Aku berhasil melewati jalanan dengan selamat hingga ke tempat yang kutuju. Kulangkahkan kakiku menuju gundukan tanah di tempat peristirahatan Mama. Aku bahkan tak peduli jika mobilku terparkir sembarangan. Saat ini aku butuh Mama.

Begitu tiba di makam Mama, tangis tak bisa kubendung lagi. Kutumpahkan semua sesak di dada. Tanpa kata hanya berupa isakan pilu. Entah sudah berapa lama aku menangis hingga kurasakan tepukan di pundakku. Dengan mata basah, kulihat   Dayu   sudah   berdiri   di   hadapanku.   Tanpa   kata sahabatku itu langsung memelukku. Kami menangis bersama. Entah dari mana Dayu bisa tahu di mana aku berada, namun aku bersyukur ada dia.

“Papa, Yu...” isakku di pelukannya.

Dayu mengangguk sembari menepuk-nepuk pundakku. “lya, aku tahu.”

“Kenapa Papa tega sama aku, Yu...”

Aku tak tahu bagaimana caranya. Mungkin terlalu lelah menangis  hingga  aku  terlelap.  Karena  saat  membuka  mata, aku  sudah  berada  di  kamarku.  Kepalaku  pusing,  namun kupaksa untuk bangun. Saat sudah berhasil bangun dari posisi berbaringku, pintu kamar terbuka. Papa masuk dengan wajah yang masih sama seperti saat kami berada di restoran.

“Danika...”

“Kalau Papa cuma mau bicarain soal pernikahan sama Tante Indri, lebih baik nggak usah. Danika nggak mau tahu.”

“Danika, belajarlah bersikap dewasa, Nak.”

“Dengan  menerima  semua  ini?  Papa  pikir  apa  yang kalian  lakukan  juga  adalah  salah  satu  bentuk  dari  sikap dewasa?” sindirku. Aku tak peduli lagi perihal sopan santun. Papa terlihat kehabisan kata untuk membantahku. “Lakukan apa yang mau Papa lakukan. Toh, percuma aku menentang. Pada akhirnya Papa tetap akan nikah dengan Tante Indri, kan? Apa  pun  pendapatku  Papa  nggak  akan  pernah  peduli,  kan? Jadi, terserah Papa mau apa.”

“Danika, Papa mohon...”

“Tolong tinggalin aku sendiri, Pa. Kepalaku pusing.” Tanpa peduli seperti apa reaksi Papa, aku memilih untuk 

kembali  bergelung  dalam  selimut.  Menumpahkan  kembali tangis  yang  seakan  tak  ada  habisnya.  Aku  bertanya-tanya mengapa  Tuhan  memberikan  cobaan  sesulit  ini  untukku. Rasanya  aku  ingin  menyerah.  Namun,  ucapan  Mama  yang selalu terpatri di kepalaku membuatku untuk tetap bertahan. Mama pernah mengatakan bahwa aku adalah anak yang kuat. Sesulit apa pun nanti jika beliau tak ada di sampingku, aku harus  terus  berdiri  tegak.  Inikah  maksud  nasihat  Mama sebelum  beliau  pergi?  Bahwa  aku  akan  menghadapi  badai dengan Papaku sendiri? Tapi apa pun itu, saat ini yang harus kulakukan  hanya  menenangkan  diri.  Agar  esok  aku  bisa berdiri dengan lebih kokoh menghadapi apa pun yang terjadi.

Semua Berubah

Tuhan  sedang  bermain-main  denganku.  Pernikahan  yang kutentang  habis-habisan  akhirnya  terlaksana  juga.  Pada akhirnya tak ada yang bisa kulakukan selain merutuk dalam hati.  Menyumpah  serapah  agar  kehidupan  pernikahan  Papa dan Tante Indri tak beijalan lancar. Meski tak mewah, tapi pesta  pernikahan  yang  dihadiri  oleh  rekan dan relasi  bisnis Papa cukup mengukuhkan posisi Tante Indri sebagai Nyonya Wijaya selanjutnya. Aku hanya bisa memandang nanar pada senyum  bahagia  yang  ditampilkan  perempuan  ular  itu  dari sudut ruangan. Tak berminat untuk ikut serta dalam perayaan mereka.

Sedang  di  sudut  lainnya  aku  melihat  Haninda,  putri Tante  Indri.  Kulihat  gadis  itu  pun  sama  tak  bahagianya denganku.  Mungkin  dia  sadar  yang  dilakukan  Mamanya begitu memalukan. Menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang. Aku turut prihatin pada nasibnya yang tak jauh berbeda denganku.  Tapi,  bukan  berarti  aku  akan  berdamai  dengan anak itu. Gadis remaja yang masih duduk di bangku SMA itu tetap  bukan  bagian  dariku.  Biarkan  kami  menjalani  hidup masing-masing tanpa turut campur.

Muak   berada   di   dalam   ruangan   yang   hanya   bisa membuatku   memendam   amarah,   aku   memutuskan   pergi. Mobil kulajukan dengan kecepatan di atas rata-rata. Malam ini aku   ingin   melampiaskan   dengan   berburu   adrenalin.   Tak peduli jika aku harus bertaruh nyawa. Atau bahkan memang aku   tak   butuh   nyawaku    lagi.   Hingga   dering   ponsel menyebalkan mengganggu kesenanganku. Aku berdecak kesal, dengan  terpaksa  menghentikan  laju  mobilku  di  tepi  jalan. Semoga saja si penelepon memiliki hal penting. Jika tidak, maka    aku    bersumpah    dia    akan    mati    berdiri    setelah menghubungiku.

Dahiku  mengernyit  saat  menemukan  nomor  yang  tak dikenal  menghubungiku.  Setelah  beberapa  saat  kubiarkan untuk menunggu reaksi si penelepon, akhirnya aku menjawab panggilannya.

“Halo?” sapaku dengan nada bingung.

“Danika, betuZ?”Suara seorang pria terdengar di ujung sana.

“lya, ini siapa?”

“Say apemilik mobil yang waktu itu kamu tabrak. ” Aku menggigit bibirku. Gila! Bagaimana aku bisa lupa. 

Lagipula  ini  sudah  lewat  dari  tiga  minggu,  pria  itu  tak mengabarkan apa pun padaku perihal mobilnya. Jadi, kupikir masalah itu sudah berlalu. Lalu mengapa sekarang dia malah menghubungiku?

“Oh.  Maaf  saya  lupa,”  ujarku  canggung.  “Lagipula kenapa   baru   sekarang   Anda   menghubungi.   Saya   pikir masalahnya sudah selesai.”

Terdengar tawa samar di ujung sana. Membuat dahiku makin mengerut dalam. Apa-apaan pria ini?

“Oh, maaf, itu salah saya. Memang saya juga sedikit lupa dengan mobil itu. ”

Aku  makin  bingung.  Jika  dia  sendiri  lupa,  mengapa sekarang kembali menghubungiku? Seketika timbul penalaran di kepalaku. Apa pria ini sengaja? Apa ini salah satu modus pria untuk mendekati wanita? Jika dia pikir bisa semudah itu mendekatiku  maka  dia  salah  besar.  Aku  bukan  orang  yang mudah bergaul dan gampang tertarik dengan orang lain, maka aku bahkan selalu membentengi diri dengan orang lain jika aku tak menginginkannya.

“Oke. Jadi, berapa biaya yang harus saya bayarkan?” Aku tak ingin berbasa-basi.

Pria    di    ujung    telepon    sana    berdeham    sejenak. “Bagaimana jika kita bertemu? ”

Aku mencibir dalam diam. Sudah jelas sekali pria ini tipe yang  ingin  mencari  alasan.  Tapi  sayangnya  aku  sedang  tak ingin  bermain-main.“Maaf,  bisa  kirimkan  saja  tagihan  dan nomor rekeningnya? Saya nggak punya waktu.”


Terdengar helaan napas. Seperti desahan kecewa. Makin membuatku   penasaran.   Mengapa   pria   ini   sangat   ingin bertemu denganku?

"Ta  sudah,  kalau  begitu  kapan-kapan  saja.  Selamat malam, Danika.”

Panggilan    diputus    sepihak.    Aku    bahkan    belum mengucapkan salam apa pun. Dasar pria aneh. Tapi aku tak mau   ambil   pusing.   Kulajukan   kembali   mobilku   dengan kecepatan  yang  sama  tingginya  seperti  tadi.  Berteriak  di malam hari melampiaskan  amarahku.  Hingga aku kelelahan sendiri  dan  berakhir  di  depan  rumah  Dayu.  Kukeluarkan ponselku dan menghubungi Dayu. Mengatakan padanya aku berada  di  depan  rumahnya.  Tak  lama  seseorang  mengetuk jendela  mobilku.  Kulihat  Dayu  sedang melayangkan  tatapan 

cemasnya padaku.

“Are you okey? ” tanya Dayu hati-hati.

Kupeluk    erat    Dayu    dan    langsung    menumpahkan tangisku padanya. Hanya dia yang saat ini kumiliki. Tempatku bisa    bersandar    entah    untuk    berapa    lama.    Rasanya menyakitkan  saat  aku  menyadari  bahwa  Papa  tak  bisa  lagi menjadi  tempatku  menopangkan  segalanya.  Mungkin  Papa masih  akan  terus  menafkahi.  Namun  hanya  sebatas  materi. Aku  tak  butuh  itu.  Aku  lebih  butuh  keberadaan  dan  kasih sayang Papa. Bahkan tanpa materi berlimpah pun kurasa aku bisa hidup dengan damai. Hanya Papa dan aku. Tapi sekarang tidak lagi. Aku bukan lagi prioritas dalam hidup Papa. Dan kenyataan  itulah  yang  paling  kutakutkan.  Apalagi  dengan hubunganku dan Tante Indri yang sejak awal tak baik. Kini, aku hanya punya Dayu. Hanya sahabatku ini yang masih ada di sisiku.

Jangan tanyakan ke mana keluarga dari pihak Mama dan Papa,  karena  mereka  semua  tak  lagi  ingin  ambil  pusing dengan  kehidupan  orang  lain.  Masing-masing  dari  mereka sudah menjadi manusia egois yang tak butuh orang lain dan tak  ingin   membantu  orang  lain.  Semua  kenyataan  yang kuhadapi   membuatku   mau   tak   mau   harus   belajar   untuk menjadi    pribadi    yang    lebih    kuat    dan    jangan    terlalu menggantungkan hidup pada orang lain.

“Masuk, yuk. Kamu butuh istirahat.”

Handayu membawaku ke rumahnya. Saat kami melewati ruang keluarga, ada Ayah dan Ibu Dayu yang masih bersantai sembari menonton televisi. Mereka tahu bahwa hari ini Papa menikah lagi. Namun, mereka tak merasa harus datang karena nyatanya  Papa  tak  memberikan  undangan  apa  pun  untuk mereka.   Memang   hanya   Mama   yang   berhubungan   baik dengan kedua orang tua Dayu. Sedang Papa hanya sekadar kenal mereka sebagai orang tua dari sahabat anaknya. Tanpa pernah  mau  menjalin  hubungan  lebih  dekat  lagi.  Hal  yang sangat  kusayangkan  sejak  dulu.  Karena  itulah,  saat  Papa menikah   lagi,   ia   tak   merasa   repot   untuk   mengirimkan undangan apa pun pada kedua orang tua Dayu.

“Papamu tahu kamu pergi?” tanya Dayu lagi saat kami sudah berbaring di ranjangnya.

“Mungkin  bahkan  dia  nggak  peduli  anaknya  mau  di mana, Yu.”

“Jangan  ngomong  begitu.  Gimanapun  kamu  anaknya, Nika.”

“Kalau aku anaknya, harusnya dia mikirin perasaanku, Yu. Bukan tetap memilih nikah sama perempuan itu.” Suaraku tertahan saat mengatakannya.

“Aku  nggak  tahu  harus  gimana.  Tapi,  Nika,  mungkin memang Papa kamu butuh seseorang untuk mendampinginya. Dan   mungkin   seseorang   itu,   ya,   memang   Tante   Indri. Gimanapun kan Papamu pasti ingin ada seorang pendamping di hari tuanya.”

Aku menatap kesal Dayu. “Aku tahu, Yu. Aku juga nggak akan  melarang  jika  Papa  ingin  menikah  lagi.  Tapi  bukan dalam waktu sesingkat ini,” beberku. “Dan kamu juga pasti nggak lupa kan dengan yang dulu aku bilang. Perempuan itu dan  Papa  bahkan  mungkin  sudah  berhubungan  saat  Mama masih ada.”

Handayu  tampak  merasa  bersalah.  Aku  tahu  tak  bisa menyalahkannya.  Tapi  tetap  saja  aku  masih  belum  bisa menerima semua ini. Aku berdoa agar kehidupan pernikahan Papa dan perempuan itu tidak beijalan mulus.

Baik  aku  dan  Dayu  akhirnya  memilih  diam  dengan pikiran    kami    masing-masing.    Hingga   pekatnya   malam mengantarkan kantuk di kedua mata dan membiarkan tubuh kami jatuh terlelap. Menyambut mimpi yang sekiranya bisa menjadi pengobat untuk segala kegundahan hari ini.

Sebulan  berlalu  dan  rumah  tangga  Papa  juga  Tante  Indri masih beijalan biasa saja. Mereka terlihat bahagia. Tak peduli ada  hati  yang  masih  berdarah-darah.  Tak  peduli  dua  anak perempuan  yang  memilih  memendam  perasaan  masing- masing.  Bahkan  Papa  seolah  lupa  dia  sudah  menggoreskan Iuka  tajam  di  hati  putrinya.  Beliau  masih  asyik  berbahagia dengan  istri  barunya.  Walau  Papa  tak  melupakan  tanggung 

jawabnya   terhadapku,   namun   tetap   saja   aku   tak   bisa menerima keadaan ini.

Haninda pun sama sekali  tak menunjukkan  reaksi apa pun.  Putri  semata  wayang  Tante  Indri  mungkin  memiliki perasaan yang sama denganku. Namun, gadis remaja itu tak bisa    melakukan    perlawanan.    Karena   dari    cerita    yang kudengar,  hanya  Tante  Indri  yang  anak  itu  punya.  Bahkan Ayah kandungnya sendiri tak jelas keberadaannya di mana. Aku bahkan tak yakin Haninda lahir dari hubungan yang sah. Mengingat bagaimana kelakuan jahat Ibunya.

“Oh,  ya,  Mas,  nanti  malam  jangan  lupa,  ya.  Pesta perayaan  pernikahan  temanku.”  Tante  Indri  bicara  di  sela acara sarapan kami.

“lya. Pokoknya kamu tunggu Mas pulang.”

Aku  dan  Haninda  hanya  diam  mendengarkan  celoteh kedua orang tua tersebut. Kami tak peduli apa yang mereka inginkan.

“Mas...” Tante Indri melirik sejenak ke arahku, “tapi aku butuh gaun barn.”

Aku  langsung  menggertakkan  gigiku.  Perempuan  tak tahu   malu   ini.   Sudah   berapa   banyak   uang   Papa   yang digunakannya. Bahkan seminggu lalu dia juga meminta pada Papa untuk membiayai perbaikan mobilnya. Dan Papaku yang telah tersihir oleh perempuan benalu ini akan dengan senang hati  mengangsurkan  kartu  kreditnya.  Kulirik  tajam  Tante Indri. Tapi seperti biasa, parasit satu ini kembali tak peduli. la sudah merasa di atas angin sejak menyandang status sebagai Nyonya Wijaya.

“Pa...” ucapku sebelum Papa beranjak dari kursi meja makan.

“Ada apa?”

“Aku  butuh  uang.”  Kulihat  Tante  Indri  mengetatkan bibirnya. Memang kenapa jika aku meminta uang pada Papa. Itu hakku. Tak ada hubungannya dengan perempuan itu.

“Untuk apa Danika?”

“Papa nggak lupa kan dengan pemilik mobil yang aku tabrak?”

Papa  tampak  berpikir,  lalu  beliau  mengangguk  dan langsung    mentransfer    sejumlah    uang    ke    rekeningku. Setelahnya Papa berpamitan pada kami semua dengan Tante Indri yang mengantar ke depan pintu.

Padahal itu hanya alasanku saja meminta uang karena nyatanya   pemilik   mobil   yang   kutabrak   tak   pernah   lagi menghubungiku. Aku hanya ingin membuat Tante Indri kesal saja.  Dia  harus  sadar  posisinya.  Walau  sudah  menjadi  istri Papa, tapi dia tak akan bisa menggeser posisiku sebagai putri tunggal Randa Wijaya.

Tak   ingin   berlama-lama   di   rumah,   aku   menyudahi sarapanku. Begitu juga Haninda yang siap untuk berangkat ke sekolahnya. Sejak menyandang status sebagai putri tiri Papa, Haninda pun mendapat fasilitas yang sama denganku. Gadis ini memiliki kendaraan dan sopir pribadi yang siap mengantar dan  menjemputnya  ke  manapun.  Huh,  betapa  bahagianya mereka. Tapi, aku jelas tak akan membuat semua mudah bagi Ibu dan anak tersebut.

“Danika...,” panggil Tante Indri sebelum kakiku keluar dari rumah.

“Ada apa?” tanyaku tak ingin berbasa-basi.

“Benar uang sebanyak itu untuk membayar ganti rugi?” “Memangnya  Tante  pikir  aku  mau  bohong  ke  Papa?” 

jawabku ketus. “Lagipula mau aku minta uang berapa pun ke Papa, itu hakku. Aku putri Papa. Tante nggak punya hak untuk membatasi apa yang menjadi hakku.”

Aku meninggalkan Tante Indri yang wajahnya berubah tak percaya. Mungkin dia pikir aku akan jadi anak manis yang tak bisa berbuat apa pun, tapi dia salah. Tunggu saja apa lagi yang bisa kulakukan sebagai anak satu-satunya Randa Wijaya.

Tak banyak kelas yang kuikuti hari ini. Jadi begitu kelas usai, aku segera menghubungi Dayu. Sayangnya sahabatku itu memiliki jadwal hingga pukul dua siang nanti. Padahal aku ingin bersantai bersama Dayu. Karena tak mungkin menunggu Dayu  hingga  beberapa  jam  ke  depan,  kuputuskan  untuk menghibur diriku sendiri. Dan pilihanku jatuh pada mal. Apa lagi memangnya yang bisa kulakukan seorang diri jika bukan menjelajah   di   pusat   perbelanjaan   sambil   mencuci   mata. Karena itu, langsung kulajukan mobil menuju salah satu mal terdekat dari kampus.

Kuputuskan untuk makan siang lebih awal. Dilanjutkan dengan  ke  toko buku.  Mencari  sesuatu  yang  bisa mengusir kebosanananku.    Sambil    melihat-lihat    buku    apa    yang kubutuhkan,  aku  juga  menumpang  baca  buku-buku  yang segelnya sudah terlepas. Mengambil posisi di pojok ruangan, kududukkan   diriku   dengan   sebuah   buku   yang   menarik perhatianku.  Sejenak  duniaku  teralih  ke  dalam  buku  yang kubaca.  Sampai  seseorang  tak  sengaja  menyenggol  kakiku yang menjulur.

“Maaf...,” ucapnya seraya menunduk ke arahku.

Mata kami bertemu dan sama-sama terpaku. Dia lagi. Pria yang beberapa waktu lalu selalu bertemu denganku. Pria itu tersenyum simpul. Sedang aku meneguk liurku. Tak siap berhadapan dengannya saat ini. Atau bahkan aku memang tak siap bertemu dengannya sampai kapan pun.

“Kamu baik-baik saja?” tanyanya sedikit cemas. Otomatis     tubuhku     langsung     menegak.     Berdiri 

berhadapan  dengannya.  Entah  kenapa  jantungku  malah bertalu tak menentu. Padahal pria itu hanya bertanya padaku. Tapi entahlah, ada sesuatu yang membuatku tak ingin dekat- dekat dengannya.

“Danika?”   Bahkan   saat   ia   menyebut   namaku,   aku terlonjak seketika. “Kamu baik-baik saja?”

Entah setan apa yang merasuki, aku malah melemparkan buku    yang    kupegang    sembarangan,    kemudian    berlari menjauh.    Tak    kupedulikan    teriakan    pria    itu    yang memanggilku.   Padahal   aku   memilik   utang   yang   harus kuselesaikan dengannya.

Entah sudah berapa jauh aku darinya. Saat berhenti di basementtempat   mobilku   terparkir,   napasku   sudah   nyaris putus.  Tak  seharusnya  aku  berlari.  Namun,  itulah  hal  satu- satunya  yang  terpikir  oleh  otakku.  Hingga  dering  ponsel kembali  mengagetkanku.  Kulihat  nomor  yang  tak  dikenal muncul  di  lay  ar.  Walau  tanpa  nama,  tapi  aku  tahu  siapa pemilik  nomor  tersebut.  Cepat-cepat  kumatikan  ponsel  dan bergegas masuk ke mobil. Melajukan segera, menjauh sejauh- jauhnya dari dia yang ingin kuhindari.


Keputusan Besar

Seiring berjalannya waktu aku semakin tak betah di rumah. Keberadaan  Tante  Indri  dan  putrinya  membuatku  muak. Enggan  menghabiskan  waktuku  berlama-lama  di  rumah. Bahkan sering kali aku pulang hingga larut malam. Membuat Papa  sering  menegurku.  Tentu  saja  teguran  Papa  tak kupedulikan. Karena sejak memiliki Tante Indri dan Hanin, seolah kehadiranku tak berarti lagi. Papa bahkan lebih sering mengajak  Hanin  dan  Tante  Indri  menghabiskan  waktu bersama  tanpa  mengikutsertakan  aku.  Ingin  marah,  namun aku tahu hasilnya tak akan ada. Papa seperti lupa aku masih putrinya.

Ingin  rasanya  aku  pergi  jauh  dari  rumah  ini.  Tapi kembali lagi aku tak bisa membiarkan Tante Indri menang dan menguasai  rumah  ini  sepenuhnya.  Ini  rumah  yang  penuh kenangan akan Mama. Aku tak bisa begitu saja membiarkan rumah  ini  jatuh  ke  tangan  perempuan  yang  sudah  merusak keluargaku  seperti  itu.Dan  untuk  menghabiskan  waktu,  aku lebih banyak bermain di luar. Entah itu ke mal atau ke mana saja.  Yang  pasti  tempat  yang  bisa  membuatku  melupakan betapa  malangnya  hidupku.  Bisa  saja  aku  menghabiskan sepenuh waktu dengan Dayu. Namun aku juga harus sadar, Dayu juga punya kepentingan yang lain. Walau gadis itu tak akan  keberatan  menghabiskan  waktunya  denganku.  Namun aku tak ingin menjadi egois dengan memonopoli waktu yang dimiliki Dayu hanya untukku.

“lya, nanti aku bilangin Mas Randa untuk datang. Kamu nggak usah khawatir.”

Aku mendengar selentingan percakapan yang dilakukan Tante  Indri  melalui  sambungan  telepon.  Tadinya  aku  akan beranjak  langsung  ke  kamar,  tapi  seketika  menghentikan langkah. Berdiri di jarak yang cukup aman untuk mendengar pembicaraan   yang   dilakukan   Tante   Indri.   Memang   itu terkesan tak sopan, tapi aku tak bisa menahan diri.

“Hah? Soal itu nggak usah khawatirlah. Mas Randa pasti nurutin  mauku.  Kemarin  saja  aku  minta  uang  lebih  untuk belanja tas, Mas Randa langsung kasih.”

Tanganku seketika mengepal. Wanita tak tahu malu itu memang  benar-benar  memanfaatkan  Papa.  Menjadikannya pundi-pundi uang. Tak peduli bahwa Papa harus bekeija keras demi  mengumpulkan  tiap  Rupiah  yang  saat  ini  dia  bisa nikmati. Aku masih terus mendengarkan hingga satu kalimat Tante  Indri  yang  membuat  darahku  mendidih.  Wanita  tak tahu  malu  itu  malah  dengan  gampangnya  ingin  menjual perhiasan peninggalan Mama.

“Jangan     coba-coba!”     bentakku     yang     langsung menunjukkan diri. Tante Indri nampak terkejut hingga buru- buru mematikan sambungan telepon.

“Apa maksud kamu, Danika?”

“Enggak usah berlagak bego. Tante mau jual perhiasan Mama? Aku nggak bakal biarin itu. Siapa Tante berani utak- atik yang bukan hak Tante?”

Wajah Tante Indri pias seketika. “Kamu salah sangka, Danika. Tante nggak berniat seperti itu...”

“Telingaku  masih  berfungsi  dengan  baik.  Tante  boleh memonopoli Papa, tapi jangan harap untuk bisa menyentuh apa pun yang menjadi milik Mama!”

“Danika, kamu...”

“Enggak usah ngeles. Perempuan kayak Tante memang nggak punya harga diri. Enggak tahu malu!”

Plakl

Satu  tamparan  dari  Tante  Indri  mendarat  mulus  di pipiku.  Perih,  tapi  aku  tak  tinggal  diam.  Aku  membalas tamparan   Tante   Indri   dengan   lebih   keras   hingga   wajah perempuan itu memerah juga.

“Jangan berani-berani nyentuh aku dengan tangan kotor Tante!”

Wajah Tante Indri makin memerah. Aku tahu wanita ini sudah tak bisa menyembunyikan amarahnya. Bahkan tatapan matanya yang tajam menunjukkan wanita ular ini sudah tak bisa lagi menyembunyikan jati diri sesungguhnya.

“Kamu berani sama Tante, ya? Kamu tahu, Tante bisa dengan mudah membuat kamu ditendang dari rumah ini!”

Oh, dan ular ini sudah menunjukkan wajah aslinya. Tapi jangan  harap  dia  bisa  membuatku  takut.  Sudah  cukup  rasa 

sakit  yang  mereka  timbulkan  untukku.  Sekarang  aku  tidak akan tinggal diam.

“Tante pikir aku takut? Bahkan kalau Papa memang mau menendang aku keluar sekarang juga, aku nggak akan takut. Apa   Tante   pikir   selamanya   bisa   menikmati   kebahagiaan dengan cara kotor seperti itu?” balasku tak kalah sengit.

“Jaga ucapan kamu, Danika.”

“Tante   yang   harus   tahu   diri.   Tante   bangga   jadi perempuan murahan?”

Tante Indri begitu terkejut saat aku dengan lantangnya bisa mengeluarkan kalimat itu. Aku tahu itu kasar, tapi aku tak peduli. Perempuan itu harus sadar dengan posisinya. Tak akan selamanya  ia  bisa  mendapatkan  apa  yang  ia  mau.  Hingga sebuah teriakan mengalihkan perhatian kami berdua.

“Danika!”

Aku dan Tante Indri sama-sama menoleh. Papa sudah berdiri  dengan  wajah  merah  padam.  Tanpa  bisa  dicegah, jantungku  berdetak  cepat.  Sedang  Tante  Indri  mengulum 

senyum  sumirnya.  Terlebih  Papa  beijalan  ke  arah  kami berdua.

“Mas...” Sang Ratu drama mulai beraksi. “Aku tahu aku memang bukan Ibu pengganti yang baik untuk Danika, tapi aku nggak menyangka kalau Danika begitu bencinya padaku.”

Mataku memandang nanar pada Papa dan Tante Indri. Sang  ular  begitu  lihai  memainkan  perannya.  Sedang  pria bodoh yang harus tetap kuakui sebagai Ayah begitu percaya dengan  wajah  penuh  dusta  istri  barunya.  Aku  benar-benar muak dengan mereka.

“Danika, Papa nggak mengharap kamu bisa menerima Tante Indri sebagai Mama kamu. Tapi paling tidak, hormati dia sebagai istri Papa!” ucap Papa tegas.

“Hormat? Sama perempuan seperti ini? Mimpi!”

“Danika!” tangan Papa mengepal erat karena jawabanku. Aku  sudah  telanjur  menumpahkan  semua.  Jika  memang  ini akhirnya, maka aku siap untuk menghadapinya.

“Jangan  harap.  Sampai  mati  pun  aku  nggak  bakal hormat sama perempuan ini. Manusia akan pantas dihormati 

jika mereka memang pantas mendapatkannya. Tapi dia...” aku menunjuk  dengan  lancang  ke  arah  Tante  Indri,  “enggak sampai kapan pun.”

“Jangan uji kesabaran Papa.”

“Memang  Papa  mau  apa?  Mau  nampar  aku  lagi?” tantangku.

Papa  menghela  napas  kasar.  “Kalau  kamu  memang nggak bisa lagi diatur, silakan angkat kaki dari rumah ini.”

Aku menatap tak percaya pada Papa. Dengan mudahnya dia mengusir anak satu-satunya ke luar dari rumah ini. Rumah di  mana  aku  lahir  dan  bertumbuh.  Rumah  dengan  segala kenangan   Mama.   Semua   hanya   demi   kebahagiaan   dunia semata. Dan semua hanya demi perempuan di samping Papa yang  saat  ini  tak  bisa  menyembunyikan  sinar  bahagia  di matanya.

Aku menatap tajam pada Tante Indri. Beralih pada Papa yang kini memalingkan wajahnya. Aku sedih dan kecewa, itu tak  bisa  dimungkiri.  Namun  lebih  dari  itu,  aku  tak  akan menjilat ludahku sendiri. Seperti yang tadi kulontarkan pada Tante Indri bahwa aku tak takut terusir dari rumah ini. Maka akan kubuktikan pada mereka betapa kuatnya aku karena Iuka yang mereka torehkan.

“Ini  keputusan  Papa?”  tanyaku  dengan  nada  bergetar. Bukan sedih, hanya menahan amarahku akan sikap Papa.

“Kamu  yang  memutuskan,”  jawab  Papa  masih  juga enggan menatapku.

Aku    menatap    Papa    nanar.    “Bukan    aku    yang memutuskan, tapi Papa.”

Aku melangkah menuju kamar. Kubanting pintu dengan sekuat tenaga. Jika Papa pikir aku takut dengan ancamannya, maka Papa salah. Kukeluarkan koper dari lemari dan mulai mengemasi    pakaian.    Setelah    mengemasi    barang    yang kuperlukan,  aku  kembali  ke  ruang  keluarga.  Papa  terkejut 

melihatku datang dengan sebuah koper. Mungkin beliau tak menyangka jika putrinya berani mengambil tindakan seperti ini.

“Danika...”

“Ini yang Papa man, kan? Baik, aku sanggupi. Tapi aku akan  bawa  mobil  yang  Papa  dan  Mama  hadiahkan  sebagai hadiah di ulang tahunku. Mobil itu sudah jadi hakku.”

“Danika, kamu...”

“Selamat tinggal, Pa.”

Tanpa menunggu Papa bicara lagi, aku melangkah pergi. Mungkin Tante Indri sudah bersorak girang di dalam hatinya. Saat akan membuka pintu, aku berpapasan dengan Haninda yang baru kembali dari sekolah.

“Kak...”    sapanya.    la    terperanjat    saat    melihatku menenteng koper.

Aku  tak  memedulikannya.  Kulanjutkan  langkah.  Tepat ketika  sudah  berada  di  luar  rumah,  sejenak  aku  berbalik menatap bangunan besar di belakangku. Rumah yang menjadi saksi segala kebahagianku. Namun kini tak lagi, karena setelah aku     melewati     gerbang     tersebut,     artinya     aku     akan meninggalkan   semua.   Berat   harus   meninggalkan   semua kenangan  tentang Mama di rumah ini, tapi aku harus. Aku akan membuktikan pada Papa, bahwa ia sudah keliru dalam memilih kebahagiaannya. Dan sampai kapan pun aku tak akan kembali ke rumah ini. Mungkin aku akan kembali, tapi hanya untuk  menemui  Papa  sebagai  waliku  nanti.  Kecuali...  Papa sendiri yang memintaku kembali ke rumah ini setelah beliau menyadari kesalahannya.

Dayu dan kedua orang tuanya menatapku tak percaya ketika tiba  di  rumah  mereka  bersama  koperku.  Terlebih  saat kuceritakan  apa  yang  teijadi  antara  aku  dan  Papa.  Mereka semakin tak percaya bahwa Papaku tega berbuat seperti itu. Tapi  melihat  aku  yang  keluar  dari  rumah  dengan  berani, barulah akhirnya mereka memahami segala kesulitanku.

Beruntung aku memiliki Dayu. Tepat setelah keluar dari rumah,  aku  bingung  harus  ke  mana. Dayu  lah  satu-satunya tempatku berlindung saat ini. Aku memohon izin padanya dan kedua orang tuanya untuk menginap beberapa waktu hingga aku mendapatkan tempat yang layak untuk tinggal. Tentu saja dengan senang hati mereka tak menolak. Bahkan Tante Nida memintaku  untuk  tinggal  saja  bersama  mereka.  Tapi  aku menolak. Aku tak ingin merepotkan mereka. Lagi pula aku harus  belajar  mandiri.  Tak  boleh  terlalu  bergantung  dengan orang lain.

“Jadi,   kamu   sudah   dapat   gambaran   bakal   gimana hidupmu  ke  depan,  Ka?”   tanya  Dayu  kala  kami  sudah berbaring di ranjangnya.

“Belum. Tapi yang pasti, aku harus cari kontrakan dulu. Mungkin untuk setahun ke depan biar aku nggak pusing.”

“Biayanya? Biaya sewa rumah nggak murah, Ka. Terus selanjutnya   mau   gimana   setelah  kamu  dapat  kontrakan? Gimana dengan makan, kuliah kamu?”

Aku menatap Dayu dalam. Aku tahu dia sangat khawatir. Tapi, aku akan buktikan pada Dayu bahwa aku baik-baik saja. Bahkan tanpa hidup mewah seperti biasanya. Aku memang terbiasa  mendapatkan  kemudahan,  tapi  bukan  berarti  aku adalah  si  anak  manja  yang  tak  bisa  melakukan  apa  pun sendiri.    Perihal    hidup    dan    kuliah,    aku    juga    sudah memikirannya sejak aku memilih untuk keluar dari rumah.

“Mungkin aku bakal berhenti kuliah, Yu.”

Dayu langsung menegakkan tubuhnya. “Kenapa?”

“Yu,  kamu  tahu  kan  aku  kuliah  di  kampus  mahal. Biayanya   juga   nggak   murah.   Mana   sanggup   aku   harus membiayai  kuliahku  yang  masih  beberapa  semester  lagi. Belum lagi diktat dan biaya segala macamnya. Bimbingan atau saat mengerjakan skripsi nanti. Aku harus realistis, Yu. Saat aku memilih pergi, artinya aku nggak butuh uang Papa. Dan aku mau buktikan sama Papa walau tanpa uangnya, anaknya ini masih bisa hidup. Walau bukan dengan kehidupan serba nyaman yang pernah dia berikan.”

Dayu   yang   cengeng   kembali   muncul.   la   langsung memelukku  erat.  Terisak  di  pelukanku.  Harusnya  aku  kan yang menangis, tapi dia malah mengambil alih tugasku. Aku hanya     bisa     tersenyum     geli     sambil     menepuk-nepuk punggungnya pelan.

“Jangan ragu untuk cerita apa pun ke aku, Ka. Aku bakal bantu kamu semampuku,” isaknya.

Aku  tertawa  kecil.  Namun  mendengar  ketulusannya, tanpa kuperintah air mataku juga ikut mengalir. Jadilah kami berdua  saling  berpelukan  dan  menumpahkan  tangis.  Saling menguatkan satu sama lain. Dalam hati aku bertekad untuk menjadi lebih kuat. Apa pun yang terjadi aku harus bertahan. Harus bisa berdiri dengan kedua kakiku sendiri.

Paginya setelah sarapan, aku dan Dayu berpamitan pada Ayah dan Ibunya untuk berangkat ke kampus. Sebenarnya aku yang  mengantar  Dayu  ke  kampus,  sedang  aku  berencana mencari    tempat    tinggal.    Sambil    memikirkan    rencana selanjutnya untuk hidupku.

“Hati-hati, ya, Ka. Kalau ada apa-apa telepon aku,” pesan Dayu sebelum dia berpamitan padaku.

“Hm.”

Setelahnya   aku   kembali   melajukan   mobil.   Tempat selanjutnya yang kutuju adalah toko perhiasan. Sebelum pergi aku   memang   membawa   dua   set   perhiasan   yang   dulu dihadiahkan  Mama  padaku.  Hadiah  itu  murni  pemberian Mama saat ulang tahunku. Jadi tentu saja aku membawanya.

Berhubung hari masih pagi, belum kutemukan satu toko pun  yang  sudah beroperasi.  Jadi  kuputuskan untuk  mencari sebuah toko atau kafe yang sudah beroperasi dan menemukan satu di tepi jalan tak jauh dari lokasi sebuah mal. Kuparkirkan mobilku dan langsung bergegas masuk ke sana.

Tempat  yang  kudatangi  cukup  nyaman.  Mungkin  aku bisa sekalian berpikir dan merencanakan langkah selanjutnya yang akan kuambil di tempat ini. Aku memilih tempat duduk paling   jauh   dari   meja   pengunjung   lainnya,   kemudian memesan camilan dan kopi. Tak lama pelayan mengantarkan pesananku.

Sembari menikmati hidangan, kubuka ponsel. Mencari iklan  rumah  kontrakan  melalui  media  online.  Juga  mulai mencari-cari    pekerjaan.    Tentu    saja    sulit    menemukan pekeijaan nyaman dengan gaji memadai di kota besar seperti 

ini.  Terlebih  aku  hanya  akan  punya  bekal  ijazah  SMA. Pekerjaan  apa  yang  bisa  kudapatkan  dengan  mudah  selain sebagai pelayan toko atau pegawai pasar swalayan. Itu juga 

jika  aku  beruntung.  Karena  bahkan  untuk  menjadi  seorang kasir di supermarket saja aku hams bersaing dengan ratusan pelamar dengan jenjang pendidikan yang sama. Akan semakin sulit saja bagiku.

Setelah   menemukan   beberapa   lokasi   rumah   yang strategis, aku kembali melanjutkan rencanaku. Mencari toko perhiasan  untuk  menjual  salah  satu  dari  set  perhiasanku. Uangnya   akan   kugunakan   untuk   bekalku   selama   proses mencari  pekeqaan.  Tak  perlu  pergi  jauh  karena  aku  hanya perlu berjalan beberapa meter untuk mencapai mal yang ada di   seberang   kafe.   Toko   pertama   yang   kutemui   menjadi pilihanku.     Aku    tak    butuh    tawar    menawar.    Hanya menunjukkan   surat   perhiasan   dan   barang.   Pemilik   toko tampak terkejut dengan set perhiasan yang kupunya. Awalnya ia tak yakin benda itu milikku. Saat kutunjukkan fotoku yang sedang  memakai  perhiasan  tersebut  bersama  Mama  yang kebetulan  tersimpan  di  ponsel,  barulah  pria  itu  percaya.  Ia memberikan penawaran yang menurutku cukup masuk akal, dan aku langsung menyetujuinya. Kemudian aku kembali ke kafe untuk mengambil mobilku yang masih terparkir di sana.

“Hams  kuat,  Danika!”  desahku,  sebelum  menjalankan kendaraan ke lokasi selanjutnya.

Setelah  berputar  seharian,  akhirnya  aku  menemukan satu rumah yang bagiku cukup nyaman dengan harga yang cukup terjangkau. Lokasinya pun aman dan strategis. Setelah melakukan perjanjian dengan pemilik rumah, aku kembali ke rumah    Dayu.    Tentunya    untuk    mengambil    koper    dan berpamitan  pada  mereka.  Hidupku  mungkin  cukup  sulit  ke depannya. Tapi, aku yakin bisa melewatinya.

Sudah lebih dari setengah tahun aku menjalani hidup sendiri. Tak  ada  lagi  Papa  dan  keluarga  barunya.  Hingga  detik  ini bahkan  Papa  sama  sekali  tak  tertarik  untuk  mencari  tahu bagaimana hidupku. Paling tidak itulah yang kualami. Bahkan mencoba menghubungi pun Papa tak pernah. Padahal aku tak pernah  menghapus  atau  mengganti  nomor  kontakku.  Hanya Dayu dan keluarganya yang selalu ada untukku. Meski aku tak ingin  membebani  Dayu  dengan  segala  masalahku.  Tapi, sahabatku itu selalu ada kapan pun aku membutuhkannya.

Mengenai pendidikan, aku benar-benar berhenti kuliah. Selain  karena  tak  akan  sanggup  lagi  membiayai  sendiri pendidikan, aku juga tak akan mampu mengatur waktu antara kuliah dan kerja. Terlebih saat ini fokusku adalah pekerjaan demi menyambung hidup. Uang yang kumiliki di tabungan tak akan  mampu  menopangku  selamanya.  Uang  itu  akan  habis seiring waktu aku menggunakannya. Jadi jika aku tak bekerja, dari mana aku bisa hidup ke depannya.

“Udah ketemu pekerjaan yang cocok?” Dayu bertanya kala ia berkunjung ke rumahku.

Aku  menggeleng.  “Susah  banget,  ya,  Yu,  cari  kerja dengan pendidikan yang cuma berbekal ijazah SMA.”

“Jangan pesimis, pasti bakal ada pekerjaan yang sesuai untuk kamu nanti.” Dayu berusaha menyemangatiku. Meski aku  sendiri  tak  yakin  akan  ada  pekerjaan  mumpuni  yang sesuai denganku.

Aku tahu tak akan semudah itu, tapi tetap saja memiliki Dayu di sisiku menjadi kekuatan tersendiri bagiku. Mungkin aku tak seberuntung Danika yang dulu; memiliki segalanya dan tak pernah berkekurangan, tapi saat inipun aku tetap bisa bersyukur untuk hidup yang kujalani kini.

“Makan yuk, lapar,” ajak Dayu yang langsung kusetujui.

Kami berkeliling dengan mobilku mencari tempat makan yang  enak  namun  terjangkau.  Jika  dulu  aku  terbiasa  keluar masuk kafe dan restoran mahal, kini aku hams puas dengan makanan  dari  waning  makan  biasa  saja.  Pun  begitu  rasa makanan di tempat yang mungkin bagi sebagian orang biasa saja, tetap luar biasa untuk kami.

“Setelah makan mau ke mana?” tanyaku pada Dayu yang mulai sibuk dengan ponselnya.

“Ehm... kayaknya pulang deh. Ada beberapa tugas kuliah yang mesti aku selesaikan.”

Kadang ada rasa iri menyusup dalam hatiku. Mengapa aku  tak  bisa  mendapatkan  kehidupan  bahagia  seperti  yang Dayu dapatkan. Dayu bukan berasal dari keluarga kaya. Tapi hidupnya benar-benar bahagia. Kuakui aku mungkin kurang bersyukur. Saat Mama masih hidup bukankah aku memiliki kehidupan yang bahkan lebih baik dari Dayu dan orang lain dapatkan.  Namun  tetap  saja,  saat  seperti  ini  jiwa  manusia yang masih suka diliputi iri hati akan muncul dalam diriku.

“Kuliah kamu lancar, Yu?” Aku mencoba mengenyahkan perasaan tak menentu di hatiku.

Dayu menggangguk. “Lancar. Doakan, ya, semoga tahun depan aku bisa lulus.”

Aku tersenyum mengamini. Kami kembali melanjutkan makan.  Sampai  bunyi  ponsel  Dayu  mengganggu  aktivitas kami. Segera gadis itu menjawab panggilan. Namun tiba-tiba saja wajah Dayu berubah pias. Seolah darah surut dari seluruh tubuhnya.  Bahkan  gadis  itu  mulai  terisak.  Membuat  kami menjadi santapan mata pengunjung yang lain.

“Yu, kenapa?” tanyaku berusaha mencari tahu.

“Nika...” Hanya itu yang bisa Dayu katakan. Lantas gadis itu memeluk tubuhku erat.

Aku yang ingin tahu apa yang teijadi padanya langsung merebut    ponsel    dari    tangan    Dayu.    Mengambil    alih perbincangan dengan siapa pun yang ada di sana. Sementara Dayu masih terns menumpahkan tangisnya di pelukanku.

“Halo...”

“IniDanika?” tanya suara di seberang sana, bingung. “lya. Ini siapa?”

“Ginan.”

Sepupu  Dayu  tersebut  lantas  mengatakan  apa  yang teijadi  padaku.  Tak  hanya  Dayu,  aku  pun  yang  mendengar berita  tersebut  tak  bisa  berkata-kata.  Seperti  nyawaku  juga tercabut seketika itu juga saat Ginan mengabarkan kecelakaan menimpa kedua orang tua Dayu.

“Nika, bisa bantu Dayu? Tenangkan dia dulu. ”

Aku tak tahu harus bagaimana. Jujur, saat ini aku pun bingung.  Tangisku  memang  tak  sekeras  Dayu,  tapi  saat  ini pikiranku  juga  kosong.  Entah  apa  yang  akan  teijadi  pada kami.  Suara  Ginan  lagi-lagi  menyentakkanku  untuk  sadar. Lelaki  itu  benar,  jika  kami  berdua  sama-sama  tak  bisa berpikir, apa yang akan teijadi. Di posisi ini, Dayulah yang lebih   butuh   ditenangkan,   bukan   aku.   Meski   aku   juga menyayangi Om Guntur dan Tante Nida, tapi saat ini putri mereka  jelas  butuh  perhatian.  Dan  akulah  yang  harus  bisa menenangkannya. Seperti saat Dayu melakukannya untukku.

“Yu,  dengar...  kamu  tenang,  ya.  Kita  susul  ke  rumah sakit,” ucapku, meski tahu Dayu tak akan merespons dengan baik.

Kutarik  Dayu  ke  mobil  setelah  lebih  dulu  membayar pesanan  kami  yang  bahkan  tak  sempat  dihabiskan.  Mata penasaran  para  pengunjung  tetap  mengiringi  hingga  kami menghilang  di  dalam  mobil.  Dayu  yang  masih  menangis membuat  konsentrasiku  pecah.  Bahkan  tanganku  bergetar saat akan menyalakan mesin mobil. Dalam hati aku berdoa semoga kami bisa selamat sampai tujuan. Jangan sampai kami menjadi korban selanjutnya yang malah menambah kesedihan keluarga Adijaya.

Kukerahkan   seluruh   kemampuan   dan   kesadaranku. Hingga  aku  tak  sadar  sudah  menyetir  dengan  gila-gilaan. Bahkan hampir kehilangan kendali saat aku menekan pedal rem sekuatnya. Benturan itu tak dapat dielakkan. Dayu yang tadinya menangis meratapi nasib orang tuanya pun seketika bungkam. Kubenturkan kepalaku ke roda kemudi. Merutuki kecerobohanku dalam hati.

Seorang pria keluar dari mobil yang kutabrak. Namun bukan menghampiriku, ia malah meneliti kerusakan mobilnya.

Kuhela  napas  kasar,  kemudian  memandang  ke  arah Dayu  yang  juga  tengah  menatapku.  Rasanya  otakku  tak mampu lagi jika harus beradu mulut dengan pemilik mobil. Karena itu, kutarik Dayu untuk ikut keluar menemui si pemilik mobil.

“Parah.” Hanya itu kalimat yang dikeluarkan si pemilik mobil saat kami sudah menghampirinya.

Mataku      membulat      sempurna      saat      berhadapan dengannya. Tidak lagi. Aku bahkan masih berutang pada pria ini. Mengapa kami harus dipertemukan lagi? Kupikir setelah melepas semua kehidupanku bersama Papa, maka masa lalu tak akan datang menghampiri. Tapi nyatanya, Tuhan memang selalu punya kejutan dalam hidup umat-Nya.

“Saya...”

Pria di hadapanku ini menunggu. Namun perhatian kami teralihkan  dengan  Dayu  yang  kembali  menangis.  Tuhanku, mengapa aku lupa bahwa saat ini sahabatku sedang tak baik- baik  saja.  Urusan  mobil  bisa  kuselesaikan  nanti,  tapi  Dayu harus segera bertemu dengan kedua orang tuanya yang saat ini tak jelas  nasibnya bagaimana.  Karena itu, aku harus segera mengambil keputusan.

“Ini, ambil kunci mobil say a sebagai jaminan. Tapi saat ini ada hal yang jauh lebih penting yang harus say a urus dari sekadar kerusakan mobil ini.”

Kuserahkan kunci mobilku pada pria tersebut. Kemudian berlari  cepat  mengambil  tasku  dan  Dayu  di  dalam  mobil. Setelahnya aku menarik Dayu dan menghentikan taksi yang ada. Agak sulit memang, namun akhirnya kami mendapatkan taksi yang dibutuhkan. Sedang pria itu masih terpaku menatap kunci mobil yang kuberikan di tangannya. Aku tahu masalah terus  menimpaku  bertubi-tubi.  Tapi  saat  ini,  kurasa  aku melakukan pilihan yang tepat. Dayu dan kedua orang tuanya lebih penting dari sekadar mobil rusak.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Mungkin pepatah  tersebut  sangat  tepat  untukku dan  Dayu.  Apa daya kedua orang tuanya tak dapat diselamatkan. Saat kami tiba di

rumah  sakit  kemarin,  Ayah  dan  Ibu  Dayu  sudah mengembuskan  napas  terakhir.  Bahkan  Dayu  tak  bisa mengucapkan sepatah kata perpisahan pada keduanya. Kami hanya  menemui  raga  yang  terbujur  kaku.  Tangis  Dayu langsung pecah saat itu juga. Bahkan aku dan Ginan tak dapat menenangkan gadis itu. Kami hanya bisa membiarkan Dayu menumpahkan kesedihannya.

Mungkin   sudah   takdir,   aku   dan   Dayu   kehilangan keluarga di usia yang masih muda. Aku kehilangan Mama di usiaku  yang  kedua  puluh  tahun.  Dayu  harus  kehilangan keduanya tepat dua bulan setelah ia merayakan ulang tahun yang kedua puluh satu tahun. Rasanya takdir terlalu kejam. Membiarkan  kami  menjadi  sebatang  kara  saat  masih  butuh bimbingan orang tua di usia saat ini.

Bukan  aku  ingin  mengingkari  keberadaan  Papa.  Tapi sejak  memutuskan  hubungan  komunikasi  dengan  Papa,  aku tak merasa aku masih memilikinya. Aku merasa tak berbeda 

jauh dengan Dayu. Kami sebatang kara. Hanya memiliki satu sama  lain.  Buktinya  meski  kedua  orang  tuanya  sudah beristirahat  dengan  tenang,  Dayu  tetap  saja  belum  bisa menghilangkan  kesedihan.  la  masih  belum  menerima kepergian mereka.

“Yu, makan dulu yuk? Dari kemarin kamu belum makan apa pun. Hanya air putih.”

Kembali Dayu menggeleng. Entah sudah berapa kali aku berusaha    untuk    mengajaknya    makan.   Sekadar   mengisi kekosongan  perutnya.  Namun,  gadis  keras  kepala  ini  tetap bergeming  dari  posisi  tidurannya  sepulang  dari  pemakaman seperti kemarin.

“Yu, kalau kamu begini, Tante sama Om nggak akan tenang.”

Bukannya mereda, tangis Dayu malah makin pecah. Aku sama sekali tak tahu cara apa lagi yang bisa kulakukan agar sahabatku  ini  mau  makan.  Perlahan  kupeluk  tubuh  Dayu. Kubiarkan dia kembali menumpahkan tangisannya.

“Yu, kamu tahu kan kalau aku juga lebih dulu kehilangan Mama,  dan  saat terpuruk itu ada kamu di sampingku yang menguatkan. Kali ini giliran aku yang bantu kamu untuk kuat.

Kamu nggak sendiri, Yu. Ada aku. Kita akan hadapi ini sama­ sama. Tapi aku mohon, kamu juga harus bangkit. Kamu juga harus kuat. Biar Om dan Tante di sana bangga dan bahagia melihat putrinya yang kuat.”

“Nika...”

“lya. Aku tahu. Maka dari itu, mulai saat ini kita harus saling menguatkan. Dua kali lipat lebih kuat dari yang lain. Seribu kali bahkan. Mau, kan?” bujukku, lagi.

Mungkin  karena  Dayu  sudah  lelah  menangis.  Atau karena gadis itu tahu apa yang kukatakan benar, akhirnya ia mulai  bangkit.  Sedikit  demi  sedikit  Dayu  berusaha  untuk tegar. Menerima semua dengan hati yang lebih ikhlas. Dan tentu  saja  hal  itu  membuat  keluargannya  yang  lain  turut merasa lega.

“Aku  balik  dulu,  ya?  Nanti  kalau  ada  apa-apa  kamu telepon aku, ngerti?” pintaku pada Dayu, setelah menemani gadis itu mengisi perutnya.

“Hati-hati,  ya,  Ka.  Terima  kasih  kamu  selalu  ada  di sampingku.”

“Itu  gunanya  sahabat,  kan,  Yu.  Kamu  dan  aku  nggak punya siapa-siapa. Mulai sekarang kita harus saling dukung satu sama lain.”

Setelah  berpamitan  pada  Dayu  dan  kerabatnya  yang masih tersisa, aku kembali ke rumahku. Sesampai di rumah, kubaringkan   tubuh.   Melepas   penat   selama   dua   hari   ini menemani Dayu. Otakku juga harus berpikir cepat apa yang akan kulakukan esok. Karena hingga detik ini, aku sama sekali belum  menemukan  pekerjaan  yang  tepat.  Tak  mungkin  aku terus bertahan dengan keadaan ini. Sampai berapa lama aku harus  bergantung  pada  tabungan  yang  tersisa.  Dan  di  saat berpikir keras seperti itu, ponselku berbunyi nyaring. Malas sekali   rasanya   mengangkat   panggilan.   Tapi   aku   takut panggilan itu dari Dayu yang membutuhkan kehadiranku. Jadi mau tak mau kejawab juga.

“Halo?”

“Benar dengan Danika? ”

Aku mengernyit. Suara pria dari ujung sana seperti tak asing bagiku. Tapi aku juga tak memiliki banyak kenalan pria.

Kujauhkan ponsel dari telinga demi bisa melihat si penelepon. Hanya  nomor  tanpa  nama.  Jelas  dia  bukan  seseorang  yang berada dalam daftar kontakku.

“lya. Ini siapa?” tanyaku berusaha mengenali si pemilik suara.

“Pemilik mobil yang kamu tabrak. ”

Oh,   Tuhan!   Kutepuk   kepalaku   karena   bisa-bisanya melupakan   insiden   itu.   Dua   hari   aku   sama   sekali   tak mengingat   perihal   tabrakan   tersebut.   Bahkan   ke   mana mobilku   saja  tak  kupusingkan  saat  membantu  mengurus Dayu. Dan kini, pria itu mengingatkanku akan semua hal yang kulupakan.

“Oh, maaf.”

Kugigit bibir bawahku karena hanya dua kata bodoh itu saja yang bisa kulontarkan. Seketika jantungku berdetak tak karuan. Mengingat bahkan aku memiliki utang dari kejadian lalu yang belum kuselesaikan dengan pria ini. Matilah aku jika pria  ini  menuntut  ganti  rugi  dua  kali  lipat.  Dari  mana kudapatkan   uang   sebanyak   itu.   Mengingat   mobil   yang digunakannya  salah  satu  merek  mobil  mewah.  Belum  lagi dengan kerusakan mobilku sendiri. Aku dalam masalah besar. Terlebih  uang  yang  pernah  dikirim  Papa  untuk  ganti  rugi sebelumnya sudah kugunakan untuk tabungan dan kebutuhan lainnya sejak keluar dari rumah.

“Danika, kamu masih di sana?”

“Eh ... i... iya. Ada apa?”

“Kamu puny  a  waktu besok?” tanyanya dengan nada lembut. Sejenak aku terpaku karena nada suaranya.

“Hah? Untuk apa?” tanyaku dengan bodohnya. Merutuki otakku yang bekerja lambat akhir-akhir ini.

“Untuk membicarakan masalah kita.”

Kali ini jantungku nyaris copot mendengar permintaan pria  tersebut.  Rasanya  aku  belum  siap  untuk  bertemu  lagi dengannya.  Tapi  tak  mungkin  selamanya  aku  menghindar. Terlebih mobilku masih ada di tangannya.

“Oke. Di mana?” tanyaku akhirnya.

Pria  di  seberang  sana  menyebutkan  nama  salah  satu restoran.  Tak  lupa  ia  juga  menyebutkan  waktu  untuk  kami 

bertemu.  Meski  masih  enggan,  namun  akhirnya  kusanggupi permintaannya.  Setelah  mengucap  salam,  dia  menutup sambungan.Meninggalkan aku yang masih terdiam dan hanya mampu  memandangi  langit-langit  kamar.  Sembari  berpikir kapan hidupku akan menjadi lebih mudah.


Meet Again

Sejak pagi perasaanku tak menentu. Semua itu dikarenakan janji  dengan  seseorang  yang  membuatku  tak  tenang.  Ingin kembali  menghindar,  tapi  sampai  kapan  aku  akan  terns menghindar.  Bukankah  menyelesaikan  masalah  lebih  cepat akan  mengurangi  bebanku.  Karena  itu,  meski  enggan  tetap kulangkahkan kakiku untuk pergi.

Pukul dua siang aku sudah tiba di restoran yang menjadi kesepakatanku  dengan  pria  itu.  Sengaja  aku  datang  lebih lambat dari waktu yang dijanjikan. Berharap pria itu sudah pergi   karena   terlalu   lama   menunggu.   Tapi,   sepertinya harapanku sia-sia.  Karena begitu aku menginjakkan kaki  di dalam  restoran,  handphone-ku  berdering,  seorang  pria  dari meja  di  ujung  sana  melambaikan  tangan  padaku.  Memberi tanda  bahwa  ia  masih  menunggu.  Kutatap  pria  itu  dengan perasaan    kacau.    Mematikan    sambungan    telepon    dan melangkah mendekatinya.

“Baru tiba?” tanyanya sopan.

Aku   tak   menjawab   dan   memilih   langsung   duduk. Memang tak sopan, tapi aku enggak berbasa-basi dengan pria ini. Aku hanya ingin masalah di antara kami cepat selesai.

“Saya Ibrahim Arrauf. Kamu bisa panggil saya Ibra.” Pria itu berucap sopan.

“Saya nggak perlu memperkenalkan diri lagi, kan?”

Ibra tersenyum sopan seraya mengangguk. Membuatku merasa  tersentil  akan  sikap  kurang  ajarku.  Bagaimanapun kalau   dilihat-lihat   dari   penampilannya,   Ibra   lebih   tua dibandingkan   denganku,   tapi   bisa-bisanya   aku   bersikap kurang ajar. Salahkan saja sikap defensifku yang berlebihan terhadap orang lain. Sejak meninggalkan rumah dan berseteru dengan Papa, aku jadi semakin lebih waspada terhadap orang lain. Membentengi diri dari segala bentuk perhatian mereka.

“Kamu mau pesan sesuatu?”

“Saya  di  sini  mau  menyelesaikan  masalah  kita.  Jadi, berapa biaya yang harus saya bayar?” tanyaku langsung. Aku hanya ingin segera menyingkir dari tempat ini. Dari hadapan pria ini, tepatnya.

“Kenapa terburu-buru? Kamu punya urusan lain?” Kuhela napas keras. “lya. Dan rasanya itu bukan urusan 

Anda untuktahu. Jadi...”

Bukannya     mendengarkan     ucapanku,     Ibra     malah mengangkat    tangannya.    Tak    lama    seorang    pramusaji menghampiri     meja     kami.     Dengan     seenaknya     Ibra memesankan beberapa hidangan. Tanpa persetujuanku.

“Kamu makan dulu, ya? Saya yakin kamu belum makan siang.”

Tepat  sekali  tebakannya.  Akan  tetapi  aku  tak  merasa tersanjung  dengan  perhatian  itu.  Ralat,  sedikit  tersanjung. Bagaimanapun wanita yang diperlakukan dengan baik bahkan oleh  pria  yang  baru  dikenal  pasti  akan  merasakan  desiran suka.  Merasa  bahwa  mereka istimewa. Meski aku berusaha keras  untuk  tak  tersentuh.  Tapi  tetap  saja  aku  tak  bisa mengelak bahwa perhatian pria ini memberi kesan tersendiri di hatiku.

“Berapa umur kamu, Danika?”

“Kamu sedang menginterogasi saya?”

Ibra menggeleng pelan. “Tidak. Hanya ingin tahu saja.” “Kalau begitu nggak usah tanya.”

Pria itu akhirnya memilih diam. Tapi tatapan matanya tak lepas dariku. Membuatku jengah dan memutuskan untuk mengalihkan  perhatian  pada  ponsel.  Berbalas  pesan  dengan Dayu hingga pesanan Ibra tiba.

“Lebih baik letakkan handphone kamu dulu dan makan. Mumpung masih hangat.”

Aku   memutar   mata,   jengkel.   Tapi   tetap   menuruti keinginan Ibra. Meletakkan ponsel dan mulai makan. Pria itu sendiri  juga  ikut  menikmati  hidangan.  Selama  makan  tak sekalipun  Ibra  mengajakku  berbincang.  Sampai  aku  sendiri yang akhirnya mencuri pandang pada pria itu. Membuat Ibra menyunggingkan senyum simpul karena aksiku.

“Habiskan dulu makanan kamu,” tegur Ibra membuatku makin malu.

Kepala kutundukkan. Tak berani lagi mencuri pandang ke  arah  pria  itu.  Hingga  semua  hidangan  akhirnya  kandas, baru aku berani mengangkat wajah di hadapannya.

“Sudah. Sekarang kamu bisa katakan berapa biaya ganti rugi yang hams saya keluarkan.”

“Apa  hams  selalu  membahas  masalah  itu?  Kamu  itu orangnya terlalu lugas, ya?”

Aku tak menghiraukan ucapan Ibra dan memilih tetap bemcap,   “Karena   kedatangan   saya   ke   sini   hanya   ingin menyelesaikan masalah tersebut.”

“Kamu   tidak   ingin   mencoba   makanan   penutupnya? Katanyap6z/7«coto di sini enak sekali.”

Kesabaranku  habis  sudah.  Jika  tadi  aku  bisa  berdiam dan  menunggu  karena  Ibra  sudah  memesankan  makanan, sekarang tidak lagi. Aku hanya ingin segera pergi dari hadapan pria  ini.  Sejak  awal  berurusan  dengannya,  ada  yang  aneh kurasakan     terhadap     pria     ini.     Entah     ada     maksud terselubungnya terhadapku.

“Sudah  cukup.  Saya  nggak  punya  waktu  untuk  main- main  dengan  kamu.  Jika  kamu  nggak  man  menyelesaikan masalah kita, biar saya yang selesaikan.”

Aku berdiri dengan kasar hingga kursi yang kududuki bergeser.  Mata  para  pengunjung  tertuju  ke  arah  kami.  Ibra sendiri  juga  ikut  berdiri  dengan  wajah  panik.  Tapi  aku tak peduli. Biar saja kami menjadi tontonan. Jika pria ini ingin bermain-main denganku, maka dia memilih orang yang salah. Karena jika harus malu sekalipun, kurasa tak masalah saat ini.

“Danika, bukan begitu maksud saya...”

“Kamu terns mengulur waktu dan saya nggak suka itu. Kalau memang kamu tidak berniat menyelesaikannya, maka biarkan  saya  yang  bicara.”  Aku  memperingatkan  Ibra  yang berniat   memotong   kalimatku   dengan   telunjuk   mengarah padanya.   Membuat   pria   itu   akhirnya   tak   bisa   berkutik. “Karena saya sama sekali nggak tahu berapa kerugian yang harus kamu tanggung, jadi silakan kamu bawa saja mobil saya. Semua  surat-suratnya  ada  di  dalam  dashboard.  Dijual  atau apa, terserah. Gunakan uangnya untuk biaya ganti rugi mobil kamu. Adil, kan? Dengan begitu urusan kita selesai. Dan saya harap kita nggak perlu ketemu lagi.”

Ibra begitu terkejut dengan apa yang kuucapkan. Tapi aku  tak  akan  menarik  kembali  kata-kataku.  Biarlah  aku kehilangan   satu-satunya   kendaraan   yang   mengingatkanku akan Mama. Daripada aku kembali berurusan dengan pria itu. Entah mengapa aku tak ingin berhubungan terus dengannya. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatku tak tenang.

“Danika...” Ibra berusaha mencegah kepergianku dengan menahan pergelangan tanganku.

Aku yang tak ingin lagi berurusan dengannya berusaha melepas    cengkeramannya.    Pria    itu    seperti    tak    ingin melepaskanku. Membuatku menggeram karena kelakuannya.

“Lepasin saya...”

“Kita harus bicara, Danika. Bukan seperti ini,” pintanya. Aku  memperhatikan  sekeliling  yang  tak  mengalihkan 

pandangan  sedikitpun  pada  kami.  Sempat  terpikir  untuk meladeni  sikap  Ibra,  namun  kuurungkan  karena  tak  ingin lebih  menjadi  pusat  perhatian.  Kutarik  paksa  cengkeraman tangan  Ibra  di  pergelangan  tanganku.  Beruntung  pria  itu ternyata  tak  mencengkeram  erat.  Hingga  aku  bisa  dengan mudah  lepas  darinya.  Segera  aku  berlari  meninggalkannya yang masih berusaha mengejarku. Menaiki taksi yang entah secara  kebetulan  melintas.  Tak  peduli  dengan  nasib  mobil kesayanganku.  Yang  kuinginkan  hanya  bisa  bebas  dan berhenti berurusan dengan pria bernama Ibra tersebut.

Hari ini Dayu akan menjalani wisudanya. la akan lulus dan menyandang  gelar  Diploma.  Akhirnya  setelah  tiga  tahun berkutat  dengan  pendidikan,  Dayu  bisa  menyelesaikan kuliahnya. Aku turut bangga padanya. Dan seperti permintaan Dayu, dia ingin aku hadir di acara bahagianya. Meski dengan kondisi  hati  yang  teriris  karena  aku  tak  bisa  seperti  yang lainnya menyelesaikan kuliahku, tapi aku tak ingin merusak hari  bahagia  Dayu.  Apalagi  ini  adalah  janjinya  pada  kedua almarhum orang tuanya.

Hampir tujuh bulan sudah Dayu hidup sendiri. Dan kini ia  sudah  mulai  bisa  menata  hidup.  Meski  masih  sering merindukan orang tuanya, tapi Dayu berusaha untuk bangkit. Dia tak ingin Ayah dan Ibunya bersedih di alam sana.

Bersama   Ginan   dan   keluarganya   kami   menghadiri upacara  kelulusan  Dayu.  Gadis  itu  begitu  bersinar.  Dengan toga   yang   dikenakannya   membuat   Dayu   tampak   lebih kelihatan berbeda. Begitu sesi formal berakhir, Dayu langsung berlari  menghampiri  kami  dengan  gembira.  Orang  pertama yang Dayu peluk adalah aku. Membuatku tentu saja merasa bahagia  karena  ia  menganggap  aku  adalah  orang  paling penting dalam hidupnya.

“Selamat,  Yu.  Selamat  menempuh  dunia  kerja  yang sebenarnya,” ucapku penuh kebanggaan padanya.

Handayu membalas pelukanku tak kalah erat. “Makasih, Nika. Makasih juga selama ini selalu mendampingiku.”

Setelah  mengadakan  perayaan  kecil  bersama  keluarga Ginan,  aku  dan  Dayu  mengunjungi  makam  kedua  orang tuanya.   Dayu   ingin   mengabarkan   kegembiraan   ini   pada mereka. Ginan hanya bisa mengantarkan kami karena pria itu masih memiliki hal lain untuk dikeijakan.

Sejak  tak  memiliki  mobil  lagi,  aku  dan  Dayu  harus membiasakan   diri   bepergian   dengan   kendaraan   umum. Awalnya Dayu sempat heran saat aku tak mengendarai mobil lagi.  Dengan  sedikit  kebohongan,  aku  berhasil  meyakinkan gadis itu. Kukatakan padanya bahwa kerusakan mobil yang kualami  saat  kami  cukup  parah,  terpaksa  mobil  tersebut kujual. Terlebih lagi aku harus mengganti kerugian mobil yang kutabrak. Untunglah Dayu percaya dan tak banyak bertanya lagi. Hanya saja dia prihatin padaku. Aku yang terbiasa ke manapun  dengan  mobil,  kini  harus  bersusah  payah  untuk pergi dengan kendaraan umum. Padahal bagiku tak masalah. Aku bukan  lagi  Danika  si manja yang memiliki segalanya. Hidup serba seadanya justru membuatku lebih kuat.

“Setelah ini rencana kamu gimana, Yu?” tanyaku pada Dayu ketika kami sudah tiba di rumahnya. Menikmati makan malam yang Dayu siapkan.

Ah, satu hal yang mungkin masih asing bagiku di tengah kemandirian     hidup     adalah     dapur.     Dibanding     Dayu, kemampuan   memasakku   masih   sangat   minim.   Terbiasa dilayani atau membeli makanan cepat saji cukup membuatku kewalahan saat mencoba memasak. Terlebih sejak kecil Mama memang  jarang  memaksaku teijun  ke dapur. Bisa  memasak mie  instan  sendiri  untuk  pertama  kalinya  adalah  sebuah prestasi  bagiku.  Tapi  aku  yakin  nanti  pasti  bisa  menguasai keahlian yang satu itu.

“Ehm... aku sudah coba masukin lamaran ke beberapa perusahaan, sih. Tinggal  nunggu keberuntungan aja,” jawab Dayu  santai.  “Kamu  sendiri?  Gimana  pekerjaan  di  sana? Betah?”

Aku  mengembuskan  napas  kasar.  Saat  ini  aku  bekeija sebagai petugas kebersihan di salah satu hotel. Pekeijaanku saat ini cukup nyaman. Hany a saja, justru atasannya yang membuatku tak nyaman.

“Pengin keluar aja rasanya akhir bulan ini,” keluhku. “Kenapa?” Dayu terlihat tak setuju.

Tentu  saja  aku tahu  alasan ketidaksetujuannya. Sangat sulit   menemukan   pekeijaan   nyaman   dengan   ijazah   yang kumiliki.  Tapi,  perempuan  mana  yang  akan  betah  bekeija dengan atasan mesum yang selalu mencari kesempatan.

“Pak  Rizal  makin  lama  makin  nakutin  tahu  nggak,” aduku.

“Ampun deh itu laki-laki. Sudah tua, punya anak-istri juga masih gangguin pegawai perempuan kayak kamu?”

Aku mengangguk. Aku sudah bercerita pada Dayu seperti apa atasanku itu. Memang tak nyaman rasanya bekerja dengan atasan sejenis Pak Rizal. Bukan sekali dua kali kudengar dia memanfaatkan jabatan untuk menekan pegawai kecil seperti kami.  Aku  bahkan  pernah  mendengar  rumor  bahwa  dia mengancam akan memecat Rasti, salah seorang pegawai front office  jika  tak  mau  menuruti  keinginannya.  Tak  ada  yang berani  mengadukan  perbuatannya  pada  GM  hotel.  Mungkin karena takut dengan ancamannya.

“Tapi  kalau  kamu  masih  bisa  menghindar  nggak  ada salahnya mempertahankan dulu pekerjaan sekarang, kan, Ka.”

Aku mengangguk setuju dengan ucapan Dayu. “Aku coba deh.”

Kembali ke rutinitasku. Pukul sembilan pagi sudah tiba di  hotel.  Beberapa  teman  yang  memiliki  jam  keija  sama denganku  juga  sudah  tiba.  Setelah  mengganti  seragam,  aku mengambil  jadwal  ruangan  mana  yang  akan  dibersihkan sesuai dengan kertas yang sudah ditempel di loker masing- masing.  Kali  ini  aku  harus  bekerja  sendiri  karena  partner kerjaku,  Sinta,  harus  absen  untuk  mengurus  anaknya  yang sedang demam.

Bekerja sendiri untuk membersihkan beberapa ruangan tentu menguras tenaga. Tapi aku tak ingin mengeluh. Inilah hidup. Tak ada yang mudah di dunia ini jika kita tak berusaha. Karena itu, sesulit apa pun pekeijaannya, aku mencoba untuk tetap kuat. Hany a satu doaku jika memulai bekerja, agar aku tak   berurusan   dengan   Pak   Rizal   yang   menjadi   momok beberapa pegawai di sini.

Namun,  sepertinya  doaku  hari  ini  tak  terkabul.  Tuhan sepertinya   ingin   mengujiku.   Tepat   setelah   membersihkan ruang    konferensi    di    lantai    empat,    pria    mesum    itu memerintahkanku   untuk   membersihkan   ruangannya.   Ingin menolak,  namun  aku  tak  punya  kuasa.  Jika  biasanya  aku selalu  bisa  berdalih  dan  merasa  aman  karena  ada  partner kerja, tapi tidak kali ini. Dengan menyematkan doa, aku pun terpaksa menuruti perintahnya.

Tak ada yang aneh di ruangan Pak Rizal. Hany a meja kerja dan sofa di sudut kanan ruangan. Pun belum ada aksi apa  pun  dari  pria  itu  saat  aku  masih  sibuk  membersihkan buku dan pajangan lainnya di lemari hias. Hingga saat aku akan membersihkan sofa, pria kurang ajar itu mulai berulah.

“Danika...”

Suaranya begitu dekat denganku. Aku tahu saat ini dia sudah berada di belakangku yang sedang berjongkok karena harus    membersihkan    sofa    kulitnya.    Kudukku    bahkan meremang hanya dengan mendengar suaranya. Bukan karena bergairah, tapi karena takut.

“Saya  sering memperhatikan  kamu.  Kamu  itu berbeda dari  pegawai  lainnya.  Kamu  pasti  tahu  kalau  saya  tertarik sama kamu.”

Kugigit   bibirku   agar   tak   berteriak   kasar   padanya. Tanganku  mengepal  erat  saat  merasakan  sentuhannya  di pundakku. Jarak pria itu sepertinya makin dekat. Saat kedua tangannya  bertengger  di  pundakku,  refleks  aku  berdiri  dan menjauh selangkah darinya.

“Maaf, Pak, tapi saya harus bekerja. Saya minta pada Pak Rizal untuk tidak mengganggu pekerjaan saya.”

“Kamu  tahu,  karena  sikap  tak  acuh  kamu  inilah  yang membuat saya penasaran. Kalau kamu mau, saya bisa bantu. Kamu butuh apa punbisa minta pada saya.”

Aku tersenyum sinis pada pria tak tahu malu ini. Dia pikir aku ini apa? Pelacur yang bisa dia bayar?

“Saya  nggak  butuh  apa  pun,  terima  kasih.  Bisa  saya lanjutkan   pekerjaan   saya,   Pak?”   Aku   bergerak   menjauh darinya,   namun   pria   ini   malah   menyambar   tanganku. Menjatuhkan tubuhku ke sofa. “Anda mau apa?!” teriakku.

“Jangan   jual   mahal.   Saya  kenal   perempuan   seperti kamu.”

“Lepasin saya, Berengsek!”

Pak  Rizal  malah  tersenyum  mencemooh.  “Saya  suka sama perempuan yang malu-malu kucing seperti kamu.”

Malu-malu kucing katanya? Dasar pria tua gila!

Pak   Rizal   berusaha   memajukan   wajahnya   padaku. Namun   aku   bukan   perempuan   lemah   yang   tak   akan melakukan perlawanan. Kubenturkan kepalaku ke wajahnya, membuat dia memekik kesakitan. Kesempatan itu kugunakan untuk melepaskan cengkeramannya.

“Jangan   main-main   sama   saya,   Danika!”   teriaknya marah.

“Bapak yang jangan main-main sama saya. Karena saya cuma  pegawai  rendahan,  bukan  berarti  saya  takut  sama Bapak!”

“Saya bisa pecat kamu!” ancamnya.

“Hah? Enggak perlu. Sekarang pun saya muak bekeija di bawah kepemimpinan atasan seperti Bapak!”

Baru saja aku akan keluar dari ruangannya, rupanya pria itu  tak  ingin  melepaskanku.  la  menarikku  hingga  kembali berada dalam cengkeramannya.

“Saya   tidak   akan   melepaskan   kamu   semudah   itu. Sebelum saya...”

Kembali pria gila ini ingin melecehkanku. Bahkan dia sudah menindihku di lantai ruangannnya. Berusaha kembali menciumku   yang   jelas   saja   membuatku   meronta.   Aku berusaha melepaskan diri, tapi pria tua ini seperti memiliki tenaga yang begitu kuat. Tapi aku juga tak akan membiarkan pria  ini  melecehkanku.  Saat  pria  itu  berhasil  mendaratkan bibir menjijikkannya di sekitar leherku, kujambak rambutnya membuat dia memekik.

“Kamu mau main kasar?”

Sekali lagi, entah dapat kekuatan iblis dari mana pria ini berhasil    membuatku    kewalahan.    Bahkan    perlawananku seakan tak berarti padanya. Namun aku tak ingin menyerah. Aku  tak  akan  membiarkan  diriku  hancur  karena  ulah  setan mesum  seperti  dia.  Dengan  segenap  kekuatan,  kusarangkan tendangan  dengan  lututku  ke  selangkangannya.  Pak  Rizal menjerit     kesakitan     dan     cengkeramannya     mengendur. Kesempatan itu jelas tak kusiakan. Kudorong tubuhnya yang melemah dan bangkit dari posisiku.

“Manusia  rendahan!”  makiku  dengan  mata  berapi-api menatapnya.

Tak akan kubiarkan dia menangkapku lagi. Segera aku berlari  menjauh  dari  ruang  keijanya.  Mengambil  barang- barangku di loker dan pergi menjauh dari tempat terkutuk itu. Tak kupedulikan tatapan bingung orang-orang yang melihatku begitu  tergesa  meninggalkan  hotel  masih  dengan  seragam. Saat  ini  yang  kubutuhkan  hanya  menyendiri.  Menenangkan diriku sendiri.


Fate

Memulai kembali dari awal itu adalah hal paling sulit, tapi bukan berarti aku akan melemah. Meski harus bergonta-ganti pekeijaan tak membuatku menyerah. Aku percaya akan selalu ada terang di balik gelapnya jalan hidupku. Seperti yang selalu Dayu katakan, perjuangan kita tak akan pernah usai. Sampai mencapai kata bahagia. Dan aku akan meyakininya.

Perkara  mendapatkan  pekeijaan  yang  nyaman  bukan suatu  hal  mudah  juga.  Beberapa  kali  aku  selalu  terhambat masalah.  Entah  itu  dari  rekan  keija  atau  atasan  itu  sendiri. Namun   bukan   berarti   aku   akan   berhenti   dan   merengek kembali ke kaki Papa.

Bicara  tentang  Papa,  beberapa  waktu  lalu  aku  sempat bertemu mereka. Ya, Papa dan keluarga barunya. Aku yang melihat  mereka,  sedang  Papa  tak  melihatku.  Saat  mereka menjadi pengunjung di foodcourt di mana aku bekeija. Papa tampak  sehat  dan  bahagia.  Sesuatu  yang  mungkin  tak  bisa kuberikan.  Tapi  aku  bersyukur,  setidaknya  tanpa  aku,  Papa bisa menemukan kebahagiaan hidupnya.

Aku menyerah kalah? Tidak juga. Bukan menyerah, tapi memilih mengalah. Mengalah dengan kenyataan. Memaafkan Papa? Aku masih belum sanggup. Jangan menghakimi, karena bagaimanapun   tak   mudah   bagiku   melupakan   bagaimana penolakan Papa. Bagaimana Papa lebih memilih istri barunya dibandingkan  darah  dagingnya  sendiri.  Tapi  dengan  begitu aku juga belajar untuk lebih kuat. Meski karena Papa juga aku tak  mudah  menerima  kehadiran  orang  lain  dalam  hidupku. Terutama pria.

Bukan  sekali  dua  kali  teman  keija  yang  mengatakan memiliki   ketertarikan   padaku.   Tapi   aku   selalu   berhasil memukul  mundur  mereka.  Kepercayaanku  terhadap  lelaki masih sangat tipis. Dan untuk saat ini, aku merasa lebih baik 

menutup kesempatan. Aku masih harus menyembuhkan Iuka hatiku  dulu.  Barulah  aku  bisa  membuka  kesempatan  bagi orang lain untuk masuk.

“Kak Danika?”

Seorang  gadis  menyapaku.  Haninda,  putri  tiri  Papa. Gadis itu menyunggingkan senyum kaku. Meski aku tahu dia gadis yang baik, tapi tetap saja ada darah wanita tak tahu malu itu mengalir di tubuhnya. Jangan salahkan aku jika puny a pikiran buruk terhadapnya. Hanya berpedoman pada pepatah; buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Aku takut Haninda pun memiliki   tabiat   seperti   Mamanya.   Meski   aku   tak   bisa menghakimi   semua   orang   hanya   karena   kelakuan   orang tuanya. Tapi, maaf, aku belum selapang hati itu untuk tutup mata akan kelakuan Ibunya.

“Kakak  keija  di  sini?”  tanya  Haninda  lagi  saat  tak mendapat jawaban dariku. “Boleh kita bicara?”

“Saya nggak punya banyak waktu untuk meladeni kamu. Tugas saya banyak.”

Tanpa  menghiraukannya,  aku  meninggalkan  Haninda yang  mematung.  Kulangkahkan  kakiku  ke  gudang  barang. Lebih  baik  menyibukkan  diri  dengan  mengecek  persediaan barang di gudang. Saat ini aku memang bekerja sebagai salah satu  pegawai  di  toko  buku terbesar. Beruntung bagiku saat melamar  ke  tempat  ini  karena  ternyata  mereka  membuka lowongan pekeijaan.

Jika kupikir aku akan bebas dari Haninda, nyatanya aku salah.  Gadis  itu  ternyata  keras  kepala.  Haninda  memilih menunggu  hingga  jam  kerjaku  berakhir.  Padahal  ini  sudah pukul  sembilan  malam.  Apa  gadis  itu  tak  takut  berkeliaran hingga semalam ini.

“Kak, Hanin butuh bicara sama Kak Nika.”

“Enggak ada yang perlu kita bicarakan. Pulang. Enggak baik anak gadis berkeliaran malam-malam,” usirku ketus.

Tapi Hanin tak menyerah. Gadis itu terus menyejajari langkahku.   Bahkan   dengan   berani   menarik   pergelangan tanganku yang langsung saja kuhempas.

“Kamu ngerti nggak, sih?!”

Mata   Hanin   berkaca,   membuatku   berdecak   kesal. Bagaimanapun aku bukan manusia berhati batu. Melihatnya yang  hampir  menangis  membuatku  akhirnya  luluh.  Gerai makanan   yang   kebetulan   berada   di   samping   toko   buku tempatku bekeija menjadi pilihan tempat kami untuk bicara. Setelah   memesan,   aku   dan   Haninda   memilih   duduk   di pojokan.

“Mau bicara apa?” tanyaku, tak ingin basa-basi.

“Gimana kabar Kak Nika?”

Kutatap  tajam  dia  hingga  mengerut  di  tempat.  “Saya nggak mau basa-basi, Haninda. Katakan apa yang ingin kamu bicarakan dengan saya.”

Haninda meremas-remas pergelangan tangannya. Gadis itu  memiliki  kebiasaan  yang  sama  denganku  jika  sedang gugup.  Lama  kuperhatikan,  baru  kusadari  jika  Haninda  tak mirip  sama  sekali  dengan  Ibunya.  Mungkin  anak  ini  lebih mengambil  genetik  dari  Ayahnya.  “Kak,  Hanin  mau  minta maaf   untuk   semua   kesakitan   yang   Kak   Nika   dapatkan. Terutama karena Mama. Dan... Hanin mohon, Kakak pulang, ya?”

Aku menaikkan sebelah alis. Tak percaya gadis ini bisa berbicara seperti itu padaku. Membuatku semakin yakin ia tak mirip  sama  sekali  dengan  Mamanya.  “Kenapa  saya  harus kembali? Bukannya kamu dan Ibu kamu akan bahagia dengan kepergian saya?” tanyaku sengaja memancingnya.

Dan benar saja, gadis itu menyusut sudut matanya. la menggeleng pelan. Rasa ibaku keluar melihat sikap gadis ini. Merasa sedikit bersalah karena sudah bersikap ketus padanya.

“Kamu tahu, nggak akan pernah sama kaca yang sudah pecah. Begitu juga hati saya. Maaf kalau saya bicara kasar, tapi sungguh,  saya  benci  Mama  kamu.  Kelakuan  Mama  kamu nggak bisa saya lupakan. Bagaimana mungkin wanita sebagai makhluk paling halus hatinya tega menyakiti hati wanita lain. Dan kamu juga pasti tahu bagaimana kelakuan Mama kamu.”

Haninda  makin  terisak.  Gadis  itu  meletakkan  telapak tangan   di   bibir   untuk   menghalau   isakannya.   Kuberikan selembar tisu yang langsung diterima.

“Hanin tahu Mama salah. Tapi... semua juga bisa terjadi karena ada andil Papa, kan?” ucapnya dengan suara serak.

Aku  menundukkan  kepala.  Benar,  semua  itu  tak  akan teijadi jika tanpa andil Papa. Andai Papa adalah lelaki setia yang tak gampang tergoda, maka perselingkuhan itu tak akan ada. Karena itu, aku makin tak bisa menerima kenyataan itu. Tak bisa begitu saja memaafkan Papa.

“Kamu benar, jika Papa nggak memberikan kesempatan, maka   mereka   nggak   akan   pernah   selingkuh.”   Aku   ikut membenarkan.

Lama  kami  berdiam.  Menyelami  Iuka  hati  masing- masing. Aku sadar tak hanya aku yang terluka. Ada Haninda 

juga yang mungkin sama terlukanya. Hanya bedanya, gadis ini tak bisa melawan kehendak Ibunya.

“Kak Nika mau kan pulang ke rumah?”

“Kamu tahu jawaban saya.”

“Papa rindu Kakak.”

Aku  terperanjat  dengan  penuturan  Haninda.  “Oh,  ya? Tapi  saya  nggak  lihat  bentuk  kerinduannya  terhadap  saya. Berusaha mencari tahu keadaan saya saja nggak pernah Papa lakukan.”

“Papa suka melamun sejak kepergian Kak Nika.” Mataku menelisik wajah Haninda dengan saksama. Tak 

ada kebohongan sama sekali dari gadis ini. Tapi, sayangnya hatiku masih tak ingin mengakui. Dia masih ingin bersikeras. Jika memang Papa merindukanku, kenapa sampai saat ini tak ada satu usahapun untuk menemuiku. Gengsi? Apa yang bisa diharapkan  dari  orang  tuadengan  ego  tinggi  terhadap  anak kandungnya sendiri.

“Sudah,  kan?  Saya  harus  pulang  dan  istirahat.  Kamu juga. Dan saya harap, kamu nggak menemui saya lagi.”

Aku  meninggalkan  Haninda.  Meski  gadis  itu  berusaha menghentikanku, tapi aku tak akan terpengaruh sama sekali. Kukeraskan  hatiku  untuk  saat  ini.  Aku  masih  butuh  waktu sendiri.  Tak  akan  selamanya  aku  menyimpan  dendam  dan kemarahan. Tapi tidak untuk saat ini.

Kakiku melangkah memasuki rumah Dayu yang sepi. Gadis itu memintaku untuk datang ke rumahnya setelah bekeija. Dan di sinilah aku hari ini. Setelah tadi mengunjungi makam Mama. Hari ini adalah hari istimewa bagiku. Walau mungkin hanya beberapa orang di dunia ini yang menganggapnya istimewa. Nyatanya  aku  tak  seistimewa  itu  karena  bahkan  di  hariku sendiri aku tak mendapatkan kebahagiaan dan keistimewaan tersebut.

Ya, lagi dan lagi, kembali aku menyandang status sebagai pengangguran. Kali ini karena berselisih dengan rekan kerja. Ada saja masalah yang datang saat aku mulai mendapatkan hidup   tenangku.   Apa   memang   aku   tak   akan   pernah ditakdirkan untuk hidup tenang? Entahlah.

Sudah hampir setengah jam aku menunggu, tapi Dayu sama sekali belum menampakkan batang hidungnya. Melalui pesan  Dayu  mengatakan  bahwa  ia  akan  sedikit  terlambat karena harus menyusun laporan bulanan terlebih dahulu. Jika aku begitu malah dalam dunia keija, Dayu cukup beruntung karena  hanya  hitungan  jari  gadis  itu  bermasalah  dengan pekeijaannya. Pun kalau Dayu tak bekerja, masih ada Ginan dan keluarga yang akan menampungya. Beruntungnya dia.

Karena terlalu lama menunggu, mataku tak bisa diajak berkompromi. Tak sadar aku langsung tertidur di sofa Dayu saat menunggunya. Hingga seseorang mengguncang tubuhku. Dan Dayu sudah berjongkok di hadapanku.

“Malah tidur,” ejeknya.

“Kamu  lama,”  keluhku  sembari  bangkit  dari  posisi berbaring di sofa.

Dayu kemudian duduk di sampingku. Mengambil sebuah kue yang ada di atas meja kopi. Kupandangi Dayu dan kue itu bergantian.

“Ayo, berdoa,” perintahnya.

Kututup  mata  sembari  memanjatkan  doa  untuk  usiaku saat ini. Hanya satu doa yang kupinta: agar aku dan Dayu selalu  diberikan  kebahagiaan.  Setelahnya  kubuka  mata  dan meniup sebatang lilin yang Dayu sematkan di kue tersebut.

“Selamat ulang tahun, Danikaku. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu. Enggak ada yang paling aku inginkan di 

dunia selain melihat Danikaku yang manis kembali bahagia dan ceria seperti dulu.”

Aku memeluk Dayu erat sembari mengucapkan ribuan terima kasih dalam hati. “Tapi, sayangnya doa kita hari ini nggak terkabul, Yu,” ucapku kemudian.

Dayu    mengernyit,    kemudian    matanya    membulat sempurna. “Lagi?!” peldknya, membuatku tertawa.

“lya, lagi.”

“Ya    sudahlah,    mungkin    belum    rezeki.    Sekarang waktunya kita makan kue.Aku belikan yang spesial ini buat kamu.”

Malam itu kuhabiskan bersama Dayu. Kami berbagi dan bercerita  banyak  hal.  Hingga  lelap  menghampiri  dan  pekat malam membawa ke alam mimpi. Alam di mana kami bisa bebas melupakan kegundahan hari ini.

Berhenti   bekerja   bukan   berarti   aku   berputus   asa. Keberuntungan mungkin tak selalu berpihak padaku. Tapi aku ingat, Tuhan selalu memberi jalan bagi siapa pun yang tak pernah  menyerah  dan  putus  asa.  Mungkin  itulah  yang  kini terjadi  padaku.  Sebuah  iklan  lowongan  pekerjaan  yang  tak sengaja kulihat di sebuah restoran Jepang baru memberi jalan bagiku.

Sushi  Me,  sebuah  restoran  Jepang  yang  akan  dibuka dalam  waktu  dekat.  Mereka  membutuhkan  pegawai,  dan beruntung kualifikasi yang kumiliki mengantarkanku menjadi salah satu yang beruntung. Meski hanya sebagai Pramusaji tak masalah   bagiku.   Berbagai   macam   pekerjaan   kecil   sudah pernah kucoba dan aku tetap bertahan meski selalu berakhir dengan pemecatan atau pengunduran diri.

“Ini  seragam  kamu.  Selamat  bergabung  dengan  Sushi Me,  Danika,”  kata  Anwar,  pria  berusia  29  tahun,  menjabat sebagai Manajer Sushi Me.

Pria ramah senyum itu menyambut para pegawai yang baru bergabung. Dari rumor yang kudengar, pemilik Sushi Me ini adalah seorang pria muda yang hampir seumuran dengan Anwar.  Sosoknya  dinilai  baik  oleh  beberapa  pegawai  yang sudah  pernah  bertemu  dengannya.  Membuatku  salut  pada pria  itu.  Di  usia  muda  dia  sudah  berani  mengambil  risiko besar   dengan   berbisnis.   Semoga   saja   Sushi   Me   terus berkembang hingga aku tak perlu lagi mencari pekeijaan lain.

“Baik,  Sushi  Me  akan  resmi  dibuka  besok.  Pemilik restoran  ini  juga  akan  hadir.  Jadi,  mari  kita  doakan  semua beijalan lancar. Sampai bertemu besok, semuanya!”

Anwar   menutup   sambutannya.   Pria   itu   kemudian mengizinkan  kami  kembali  ke  rumah  masing-masing  untuk beristirahat  dan  mempersiapkan  diri.  Beberapa  rekan  kerja yang belum kukenal mengajakku berbincang sejenak. Namun, aku yang memang cukup sulit bersosialisasi belakangan ini hanya   menjadi   pendengar   saja.   Mereka   bercerita   perihal pemilik Sushi Me. Betapa mereka penasaran akan sosoknya.

Hari  yang  ditunggu  akhirnya  tiba.  Aku  dan  seluruh pegawai Sushi Me sudah bersiaga menyambut para tamu pada pembukaan  perdana  restoran  ini.  Sebelum  pergi  aku  sudah mengingatkan Dayu untuk datang ke tempat ini. Namun, Dayu mengatakan   bahwa   ia   akan   mengusahakan   jika   sempat. Padahal    sudah    kukatakan    padanya    bahwa    Sushi    Me memberikan      banyak      penawaran      untuk      pembukaan perdananya.  Tapi  mungkin  saat  ini  bukan  rezeki  sahabatku yang tukang makan itu. Dayu mengabarkan bahwa ia harus lembur malam ini di kantornya.

“Terima  kasih  untuk  sambutan  para  pengunjung  yang luar biasa. Saya berharap Sushi Me bisa terus berkembang dan bisa memberikan pelayanan terbaik untuk semua customer. ”

Pandangan mataku menajam pada seseorang yang baru saja  memberikan  sambutan.  Tak  percaya  dengan  apa  yang baru  saja  kulihat.  Rasanya  takdir  selalu  saja  bermain-main denganku.  Seberapa  jauhpun  aku  berusaha  berlari,  takdir selalu mempertemukanku dengannya. Tepat di depan mataku, pria  itu—pria  yang  selalu  bermasalah  denganku.  Pria  yang padanya kuserahkan benda kenangan berhargaku dari Mama.

Ibrahim Arrauf, pria yang paling ingin kuhindari di muka bumi. Nyatanya kini ada di hadapanku.

“Apa   kabar,   Danika?”   tanya   pria   itu   membuatku membeku.  “Saya  harap  kamu  bisa  betah  bekerja  di  sini. Senang bisa bertemu kamu lagi.”

Kemudian Ibra melenggan pergi. Menyapa para pegawai dan   pengunjung   lainnya.   Sedangkan   aku   hanya   diam membatu     di     tempatku     berdiri.     Tuhan     benar-benar memberikan kejutan tak terduga padaku.

Inikah yang dinamakan takdir atau jodoh?


Menghindar Lagi

Bekerja  bersama  dengan  orang  yang  paling  ingin  dihindari sangat tidak nyaman. Bukan karena Ibra mengganggu saat aku bekerja,  tapi  pria  itu  yang  seperti  mengawasiku  selama melakukan  tugasku  sebagai  seorang  Pramusaji.  Ibra  bukan atasan yang galak dan gila disiplin. Bahkan ia adalah atasan yang sangat kooperatif dan perhatian. la berusaha membuat setiap pegawainya merasa nyaman dan tenang saat bekerja. Berdiskusi  apa  yang  perlu  dilakukan  untuk  meningkatkan kualitas pelayanan ataupun makanan di Sushi Me. Bertanya apakah  kebutuhan  yang  diinginkan  pegawai  untuk meningkatkan kinerja mereka. Sungguh, Ibra adalahcerminan atasan yang diinginkan setiap pegawai di dunia ini.

Tapi itu bagi yang lain. Tidak bagiku. Setiap kali Ibra muncul di hadapanku, sebisa mungkin aku akan menghindari pria itu. Menyibukkan diri dengan pelanggan. Bahkan saat aku tak   memiliki   tugas   mengantar   pesanan,   maka   aku   akan membantu  tugas  pekerja  lain.  Entah  itu  mencuci  peralatan, mencuci   sayuran,   memeriksa   bahan   makanan   di   gudang penyimpanan. Apa saja asal aku bisa menghindar dari Ibra. Teman-teman kerjaku yang awalnya merasa bingung akhirnya mendiamkan   saja   tindakanku.   Bahkan   merasa   bersyukur karena aku bersedia membantu tugas mereka.

Seperti saat ini, kala aku melihat Ibra baru saja tiba di Sushi Me. Padahal restoran ini belum dibuka. Biasanya dia akan  muncul  setelah  satu  atau  dua  jam  Sushi  Me  dibuka. Berbeda  dengan  Anwar  yang  memang  setiap  pagi  selalu mengecek persiapan restoran. Aku yang datang terlalu awal langsung  gelagapan  ketika  melihat  kemunculannya.  Segera saja aku berlari menuju ruang ganti. Membuat Indah yang ada di sana bingung akan tingkahku.

“Kenapa, sih?” tanyanya kala melihatku yang tak tenang.

“Hah?”

Indah  tersenyum.  Bukan  rahasia  lagi  jika  aku  akan bertingkah  aneh  setiap  kali  ada  Ibra.  Delapan  bulan  sudah berjalan  dan  seisi  Sushi  Me  tahu  jika  aku  amat  sangat menghindari   interaksi   dengan   Ibra.   Meski   begitu   aku bersyukur  tak  ada  omongan  miring  di  belakangku.  Semua pegawai di Sushi Me sangat kooperatif. Mungkin ada satu atau dua orang, tapi mereka tak pernah menyuarakannya. Mungkin tak    ingin    mencari    masalah    karena    Ibra    yang    selalu memperhatikanku. The power of Boss’.

“Mau ke mana, Ndah?” tanyaku kala Indah akan keluar dari ruang ganti.

“Ya kerjalah, Ka. Satu jam lagi Sushi Me mau buka. Masa aku nggak beres-beres. Bisa diamuk Pak Anwar nanti.”

Kulihat ia akan bekeija seorang diri karena dua rekannya belum   tiba,   aku   berinisiatif   membantu.   Awalnya   Indah menolak karena itu bukan tugasku. Terlebih mungkin ia akan sungkan pada atasan. Tapi aku meyakinkan bahwa aku akan mati  bosan  menunggu  restoran  ini  buka.  Akhirnya  Indah mengizinkan dan merasa tertolong dengan bantuan tenagaku.

Di Sushi Me semua bekerja memang sesuai tugasnya. Namun bukan berarti pegawai lain tak boleh saling bantu. Lagi pula saat ini belum masuk jam kerjaku. Jadi tak ada salahnya aku  membantu  Indah  membersihkan  restoran.  Terlebih  aku tahu  rasanya  bagaimana  bekerja  sendiri.  Pengalaman  keija yang melelahkan sebagai petugas kebersihan pernah kujalani. Jadi  sebisa  mungkin  aku  ingin  membantu  orang  lain  yang membutuhkan tenagaku.

“Sepertinya ini bukan tugas kamu, Danika.”

Hampir saja kujatuhkan kemoceng yang ada di tanganku karena  suara  yang  tiba-tiba  menyapa.  Ibra  sudah  berdiri  di sebelahku.  Kulirik  sekitar  memastikan  mata-mata  lain  yang mungkin  akan  melihat  kami.  Namun  seperti  tak  melihat kejadian apa pun, semua sibuk dengan pekeijaannya masing- masing.  Terutama  Indah  yang  sedang  membersihkan  meja- meja tamu di sisi utara restoran.

“Saya cuma mau membantu saja.”

“Nanti kalau kamu kelelahan bagaimana?”

Kulirik Ibra dengan wajah jengkel. “Saya nggak akan mati kehabisan tenaga hanya karena bantu teman bekerja.”

“Saya hanya mengkhawatirkan kamu, Danika.”

Aku  mendengkus.  Bisa  tidak  Ibra  tak  terang-terangan mendekatiku dan menunjukkan perhatiannya? Bagaimanapun aku ini pegawainya. Dan aku jelas tak ingin selalu menjadi pusat perhatian dengan semua perhatian yang diberikan Ibra.

“Bapak ke sana deh, jangan gangguin saya,” usirku.

Pria  itu  tetap  bertahan  di  tempatnya.  Membuatku  tak nyaman dan tak bisa bekeija dengan maksimal karena merasa diperhatikan.

“Bapak pergi deh, ganggu konsentrasi keija saya saja.” Aku mendorong tubuh Ibra untuk menjauh, tapi pria itu 

masih  tetap  bergeming.  Meski  kukerahkan  seluruh  tenaga, hanya membuat Ibra bergeser seinci saja. Rasanya aku ingin mengamuk  dan  mencakar  wajahnya  yang  kini menyunggingkan senyuman. Apa dia tak tahu aku benar-benar malu pada beberapa pegawai yang melirik ingin tahu.

“Paklbra...!” teriakku kesal.

Ibra tertawa pelan. “Baik, saya menyingkir. Tapi setelah jam kerja kamu berakhir, temui saya di ruangan. Jangan lari 

lagi, Danika. Mau sampai kapan kamu menghindar?”

Ibra memegang tanganku yang tadi berusaha mendorong tubuhnya.  Namun  secepat  kilat  kutarik  kembali.  Tak  ingin bersentuhan lebih jauh dengan pria ini.

“Permisi...”

Baru  saja  aku ingin  berlari  menjauh,  pria itu  kembali menarikku pergelangan tanganku. Kutatap Ibra dengan kesal sembari berusaha melepaskan genggamannya. Namun, kali ini sepertinya   Ibra   tak   ingin   mengalah.   la   masih   menahan tanganku. Tak kuat, namun cengkeramannya begitu erat.

“Jangan menghindar lagi, Danika. Saya mohon,” pinta Ibra, lirih.

Mata Ibra manatap intens padaku yang tak bisa kubalas dengan    memalingkan    wajahku.    Tak    ingin    bertatapan dengannya. Tanganku masih berusaha untuk melepaskan diri, tapi   tetap   saja   tak   mudah.   Pria   itu   tak   mengendurkan sedikitpun  cengkeramannya.  Jika  terus  begini,  sudah  pasti kami menjadi tontonan seisi restoran.

“Danika...”

“lya, sekarang lepasin tangan saya.”

Tanpa    kuminta    dua    kali,    Ibra    sudah    melepas cengkeramannya. “Bagus. Saya tunggu,” ucapnya kemudian.

Pria  itu mengusap lembut  puncak kepalaku, kemudian meninggalkanku yang masih tercenung dengan tindakannya. Kuangkat     kepalaku     dan     mendapati     beberapa     mata memandang padaku. Terutama Indah yang beijalan mendekat dengan peralatan pelnya.

“Pak Ibra makin berani, ya?” ledeknya.

Tak   kutanggapi   komentar   Indah.   Memilih   berlalu menuju  ruang  ganti.  Sebentar  lagi  Sushi  Me  akan  dibuka. Tugasku membantu Indah juga tak perlu kuteruskan karena sudah ada dua rekan kerjanya yang membantu.

Saat  akan masuk ke ruang ganti, kudengar dua orang tengah    berbincang.    Dan    yang    menjadi    topik    hangat perbincangan mereka adalah aku dan Ibra. Mungkin mereka melihat   apa   yang   terjadi   tadi.   Mengataiku   yang   seolah bertingkah jual mahal akan perhatian Ibra. Terus saja mereka bicara   akan   keburukanku   yang   seperti   dibuat-buat   untuk mencari perhatian agar Ibra terus mendekat.

Aku  memilih  tak  masuk  dan  mendengarkan  dengan saksama. Aku tak  ingin menyulut pertengkaran.  Selama  ini membicarakanku—karena itulah aku tak ambil pusing. Tapi saat  mendengarnya  langsung,  entah  kenapa  hatiku  sesak. Mengapa selalu saja ada masalah yang menghampiriku. Tak bisakah aku menjalani hidup dengan tenang. Apa kini aku juga harus  kembali  berhenti  hanya  karena  omongan  orang  lain yang tak menyenangkan tentangku.

Kembali aku tak memenuhi janjiku. Bukannya menemui Ibra, aku malah kabur selepas bekerja. Bahkan tak berpamitan pada yang lain. Beruntung pria itu tak memergokiku kabur lagi. Aku benar-benar tak ingin bertemu dan bicara dengan Ibra.

Terutama  hanya  berdua  di  ruangannya.  Masih  jelas  dalam kepalaku  kala  mendengar  mereka  membicarakan  yang  tak baik  tentangku.  Jika  aku  menemui  pria  itu,  maka  akan semakin  menjadi  saja  mereka  berbicara  di  belakangku. Memang  tak  semua,  hanya  beberapa.  Tapi  tetap  saja  saat mendengarnya langsung membuat perasaanku menjadi kacau.

Rumah   Dayu   adalah   tujuanku.   Tapi   sahabatku   itu mengatakan bahwa ia tak bisa pulang lebih awal. Jadi yang bisa kulakukan selama menunggu dengan menyibukkan diri. berbelanja. Kebetulan isi lemari es di rumahku sudah menipis. Selama bekerja di Sushi Me, kondisi keuanganku cukup stabil. Selain gaji memadai, Ibra juga tak segan memberi tambahan bonus  jika  setiap  bulan  Sushi  Me  mengalami  pendapatan meningkat.  Pria  itu  memang  begitu  royal.  Aku  tak  bisa bayangkan berapa banyak uang yang dimilikinya hingga bisa begitu baik pada pegawainya.

Oh,  tentu  saja  Ibra  kaya.  Mungkin  lebih  dari  yang kubayangkan.  Lihat  saja  mobil  yang  dikendarainya  ketika kami bertabrakan. Bukan jenis mobil biasa saja. Tapi sedan mewah   yang   harganya   saja   tak   bisa   kubayangkan.   Jika tungggangan Ibra saja semewah itu, maka tak heran kekayaan yang  ia  miliki  di  luar  jangkauanku.  Selain  mengenal  Ibra sebagai  pemilik  Sushi  Me,  aku  tak  kenal  siapa  pria  itu selebihnya. Seperti apa Ibra dan kehidupannya pun aku tak tahu. Latar belakang keluarga atau lingkup pergaulannya, aku 

juga tak tahu. Dan lebih baik tak perlu tahu karena itu hanya akan menambah daftar kerumitan hidupku saja.

Terlalu  banyak  berpikir  tentang  Ibra  membuatku  tak fokus berbelanja. Bahkan tak sadar sudah menabrak troli milik pengunjung  lain.  Membuatku  harus  meminta  maaf.  Namun ketika melihat siapa pemilik troli yang kutabrak, rasanya aku ingin menarik kembali permintaan maafku.

“Apa kabar, Danika?” Senyum meremehkan terpatri di wajah culasnya.

Tak    kupedulikan    wanita    itu    dan    memilih    pergi mendorong  troliku  menjauhinya.  Namun,  sepertinya  Tante Indri  memang  ingin  mencari  keributan  denganku.  la  malah menyusul dan bicara omong kosong perihal keadaan di rumah 

yang tenang tanpa kehadiranku. Hingga saat ia menyinggung perihal  benda  peninggalan  Mama,  membuatku  tak  bisa  lagi menutup  telinga.  Kudorong  troliku  hingga  bertabrakan kembali dengan milik Tante Indri.

“Terserah kalau Tante man melakukan apa pun di rumah itu.  Aku  nggak  peduli.  Tapi,  jangan  sekali-kali  menyentuh milik  Mama.  Aku  nggak  akan  tinggal  diam.  Tante  boleh merasa menang sudah memonopoli Papa. Tapi sampai kapan kebahagiaan semu begitu bisa Tante rasakan? Manusia yang masih   merasa   punya   hati,   nggak   akan   tenang   hidupnya dengan jalan menghancurkan kebahagiaan orang lain. Sekali lagi say a peringatkan, jangan sentuh apa yang bukan milik Tante di rumah itu!”

“Kamu mau ancam Tante?”

“Silakan  anggap  itu  ancaman.  Tapi  saya  nggak  akan segan untuk merusak kebahagiaan Tante kalau memang Tante menyentuh milik Mama!”

“Kamu  tahu, Danika, kamu itu cuma anak kecil yang nggak bisa berbuat apa-apa. Jangan pernah ancam saya. Lebih baik kamu tata hidup kamu dan jangan pernah muncul lagi di hadapan Papa kamu. Jika kamu bisa melakukannya, saya tidak akan pernah mengusik apa pun peninggalan Mama kamu di rumah itu.”

Rasanya  aku  ingin  menampar  wajah  perempuan  tidak tahu diri ini. Tapi sebisa mungkin kutahan emosi. Dia hanya ingin  meyakitiku  dengan  kata-katanya.  Aku  tak  peduli  apa yang terjadi antara dia dan Papa. Tapi jika dia macam-macam segala yang berhubungan dengan Mama, maka aku tak akan tinggal diam.

“Terserah!  Saya  juga  nggak  berniat  mengusik  hidup tenang  kalian.  Tapi  mau  sampai  kapan  pun  kamu  berusaha memutus  hubungan  antara  Ayah  dan  anak,  itu  nggak  akan pernah bisa. Sejauh apa pun aku beijarak dengan Papa, ikatan darah nggak akan pernah bisa diputus. Kita lihat siapa yang akan nangis darah pada akhirnya nanti. Saya atau kamu!”

Tak   ada   lagi   sopan   santun   yang  tersisa   untuknya. Perempuan seperti Tante Indri tak pantas mendapatkan rasa sopanku lagi. Puas menumpahkan emosiku, kutinggalkan dia yang tak lagi berusaha mengejar.

Barn saja terbebas dari satu masalah, masalah lainnya kini menghadangku. Siapa lagi jika bukan Ibra. Pria itu tanpa diduga sudah muncul di hadapanku. Entah dari mana ia tahu aku berada di pusat perbelanjaan ini. Kehadiran Ibra malah menambah daftar panjang emosiku. Saat ini aku rasanya tak punya pengendalian diri lagi.

Kutatap  tajam  Ibra,  namun  pria  itu  tetap  bergeming. Akhirnya  aku  memilih  mendorong  troli  menghindari  Ibra. Tapi kali ini Ibra tak tinggal diam. Pria itu menarik troli dariku dan    membawanya.    Membuat    rasa    kesalku    bertambah untuknya.

“Saya bisa sendiri, Pak Ibra!” desisku mengejar Ibra. “Kenapa kamu kabur lagi?”

“Saya nggak kabur...”

“Tapi cuma menghindar dari saya?”

Aku  tak  menjawab.  Masih  berusaha  menarik  kembali troliku. Tapi Ibra seperti tak mau mengalah. Pria itu malah memasukkan beberapa barang ke dalam troliku. Membuatku mengernyit karena merasa tak membutuhkannya.

“Saya nggak butuh ini.”

Kuambil benda tersebut dari troli. Meletakkan kembali ke  tempatnya.  Tapi  Ibra  seperti  tak  mendengar,  kembali memasukkannya ke troli, terus seperti itu dengan aku yang terus mengomel. Pengunjung lain yang melihatnya mungkin mengira   kami   pasangan   yang   sedang   bertengkar   kala berbelanja.   Sampai   aku   yang   memilih   menyerah   dan mengekori ke mana Ibra membawa troliku.

Dan pertengkaran kembali terjadi kala kami berada di kasir.  Ibra  yang  sudah  mengeluarkan  kartu  kreditnya  untuk melakukan  pembayaran  langsung  kucegah.  Kukatakan  pada kasir  bahwa  aku  yang  akan  membay  ar  semua.  Tapi  Ibra kembali keras kepala dengan memberikan kembali kartunya pada   kasir.   Bahkan   menatap   tajam   padaku   membuatku menciut  di  tempat.  Akhirnya  aku  kembali  mengalah  dan membiarkan Ibra berbuat sesukanya. Lagi pula sejak tadi kami menjadi pusat perhatian. Ditambah dengan antrian yang akan semakin memanjang jika aku memilih bertengkar dengan Ibra di depan meja kasir. Mungkin nanti aku bisa mengonfrontasi pria ini saat kami sudah tak berada di keramaian.


Membuatnya Menjauh

Jika kukira masalahku dan Ibra akan selesai begitu saja, maka aku  salah.  Ibra  tak  berhenti  begitu saja.  la  memaksa  untuk mengantarkanku  pulang.  Padahal  rencananya  aku  akan menginap di rumah Dayu, namun Ibra seakan tak mendengar. la tetap mengantarkanku ke rumah. Membuatku bingung dari mana dia bisa tahu di mana aku tinggal.

“Kamu lupa kalau saya yang punya Sushi Me? Saya bisa tahu semua dari data pegawai,” ucap Ibra santai.

Aku   merutuki   diri   sendiri   yang   melupakan   fakta tersebut. Meski begitu aku masih bersikukuh tak mengizinkan Ibra menginjakkan kaki di rumahku.

“Terima kasih tumpangannya. Sekarang Pak Ibra boleh pergi,” usirku tanpa perasaan.

Namun,alih-alih  pergi,  Ibra  malah  mengambil  kantong plastik  di  tanganku,membawanya  hingga  ke  teras  rumah. Menungguku membukakan pintu.

“Saya  bisa  sendiri.  Sekarang  Pak  Ibra  boleh  pergi!” ucapku ketus.

“Tidakkah kamu ingin menawarkan saya sekadar segelas air, atau kalau boleh makan malam?”

Jika selama ini orang paling keras kepala yang kutahu adalah Dayu, maka kini aku tahu ada yang lebih dari gadis itu. Pria  di  hadapanku  ini  tepatnya.  Bahkan  ia  tak  repot-repot merasa   tersinggung   dengan   pengusiranku   yang   terang- terangan.

“Saya...”

“Danika,  apa  begitu  susah  memberi  saya  sedikit  saja ruang   untuk   memperbaiki   masalah   kita?   Jika   memang kesalahpahaman   kita   selama   ini   kamu   anggap   sebagai masalah.”

Lama  aku  memandangi  Ibra  dan  akhirnya  menyerah. Bagaimanapun  aku  tak  boleh  menjadi  orang  yang  tak  tahu caranya berterima kasih. Terlebih Mama mungkin malu jika putrinya  tumbuh  menjadi  anak  kurang  ajar.  Karena  itu, kubuka lebar pintu rumah.

Pria itu tersenyum hangat karena penerimaanku. Bahkan tak  ragu  melangkahkan  kakinya.  Sengaja  aku  tak  menutup pintu rumah karena tak ingin membuat orang-orang di sekitar berspekulasi yang tidak-tidak kami.

“Ini mau diletakkan di mana?” tanya Ibra merujuk pada kantong belanja yang ada di tangannya.

Kuambil alih kantong tersebut, kemudian meminta Ibra untuk  duduk  saja  di  sofa  depan.  Sementara  itu  aku  mulai menyusun    barang-barang    yang    tak    seberapa    tadi    ke tempatnya.     Baru     kemudian     menemui     Ibra     dengan membawakan  segelas  air.  Ibra  sendiri  tak  bisa  menahan senyumnya  kala  mendapatiku  yang  masih  memberi  sedikit perhatian akan kehadirannya.

“Terima kasih,” ucapnya sembari mengambil gelas yang baru kuletakkan di meja.

“Habis ini Pak Ibra pulang, kan?” tanyaku.

Air yang diteguk Ibra hampir saja menyembur keluar. Mungkin   terkejut   karena   ternyata   aku   masih   berusaha mengusirnya.  “Kamu  benar-benar  tidak  mengizinkan  saya untuk merasakan makan malam buatan kamu?”

Aku menggeleng. “Enggak. Karena saya juga nggak ada niat untuk masak. Setelah ini saya mau langsung istirahat.”

Ibra menatap arloji di pergelangan tangannya. “Ini masih pukul delapan lewat, Danika. Dan kamu sudah mau tidur? Apa tidak salah?”

Sekali  lagi  aku  menggeleng.  “Saya  capek  dan  mau istirahat.”

Sekejap Ibra berdiri. Aku pun menduga bahwa pria ini akan berpamitan justru melangkah lebih dulu darinya. Seakan mempersilakannya untuk pergi.

“Kalau  kamu  pikir  saya  akan  pergi  sekarang,  kamu salah.”

Dahiku mengernyit  mendengar ucapan Ibra. Bukannya akan pergi, Ibra malah mendekat padaku. Menggenggam erat pergelangan tanganku.

“Pak  Ibra  mau  apa?”  tanyaku,  berusaha  melepaskan cekalan Ibra.

“Saya akan pergi, tapi setelah kamu makan malam. Sejak tadi sore kamu melarikan diri, saya sama sekali belum melihat kamu makan apa pun.”

“Saya nggak lapar,” tolakku bersikeras.

“Makan, Danika. Saya nggak mau kamu sakit.” Dahiku makin mengernyit dalam. “Saya sakit nggak ada 

urusannya sama Pak Ibra.”

“Ada. Dan saya nggak suka kalau kamu sakit. Sekarang, kunci pintu rumah kamu dan ikut saya.”

Seakan tak memberi kelonggaran, Ibra sudah menarikku keluar.     Membuatku     tak     bisa     berkutik.     la     bahkan mempermudah  dengan  mengunci  pintu  rumahku,  kemudian menarikku ke dalam mobilnya. Harusnya aku berteriak untuk menghentikan  Ibra.  Namun  aku  justru  tak  melakukannya. Selain  bingung,  aku  juga  tak  ingin  membuat  kegaduhan  di lingkungan ini.

“Pak Ibra mau bawa saya ke mana?” tanyaku saat Ibra sudah melajukan mobilnya.

“Makan malam.”

“Jangan ke Sushi Me!” tolakku tegas.

Pria  itu  menatapku  sekilas,  kemudian  kembali  fokus pada jalanan.“Lalu kamu mau makan apa?”

Aku berpikir sejenak. “Apa saja asal jangan ke Sushi Me.” Ibra mengangguk kecil, kemudian tak bertanya apa pun 

lagi. Dalam hati aku mengutuki diri sendiri. Bagaimana bisa aku menurut saja dan bukannya melakukan perlawanan atas sikap Ibra. Tapi satu sisi aku juga merasakan kenyamanan. Sejak  aku  dan  Papa  berseteru,  aku  tak  pernah  lagi  merasa nyaman akan perhatian orang lain. Kecuali Dayu, tentu saja.

Oh,   bukan   tak   pernah.   Tapi   aku   yang   berusaha membentengi  pendekatan  apa  pun  yang  dilakukan  kaum Adam terhadapku. Tapi untuk kasus Ibra, aku sendiri juga tak mengerti  mengapa  bisa  mudah  saja  ditaklukkan  oleh  keras kepalanya.

Mobil   Ibra  berhenti  di  sebuah   rumah  makan  khas Indonesia.  Kembali  pria  itu  membuatku  tercengang  karena membukakan pintu untukku. Bahkan menarikkan kursi untuk kududuki.   Membuatku   menundukkan   wajah   karena   malu akan perhatian intens Ibra. Tanpa meminta pendapatku, pria itu   bahkan   memesankan   menu   spesial   di   rumah   makan tersebut.

Selama  menunggu,  aku  berusaha  tak  melihat  ke  arah Ibra.   Kulayangkan   pandanganku   ke   mana   saja   asal   tak bersirobok dengan matanya. Sampai makanan kami terhidang, aku masih memilih tak memandangnya.

“Danika...”  panggil  Ibra  saat  aku  tak  jua  menaikkan pandang.  Lebih  memilih  menatapi  lantai  di  bawah  kakiku. “Danika, makan.”

Dua   kata   bernada   perintah   tersebut   mau   tak   mau membuatku  akhirnya  melihat  ke  arah  Ibra.  Pria  itu  bahkan sudah menyiapkan sepiring nasi dan lauk pauknya untukku. Membuatku  terperangah  takjub.  Namun  kesal  juga  karena Ibra seolah memperlakukanku seperti anak perempuannya.

“Saya bukan anak kecil. Pak Ibra nggak usah ngambilin saya makan,” ketusku.

Tapi    Ibra    tak    tampak    terganggu.    Pria    itu    ikut menyiapkan  piringnya  sendiri.  Merasa  tak  akan  mendapat tanggapan   dari   Ibra   membuatku   akhirnya   menyerah   dan mulai  menikmati  makanan  yang  ada.  Tak  ada  yang  bicara selama  kami  makan  hingga  kami  merasa  cukup  kenyang. Tanpa kata, Ibra membay ar tagihan dan kembali mengajakku ke mobilnya. Sepanjang jalanpun tak ada kata yang terucap dari bibir kami berdua. Hingga kembali lagi ke rumahku. Kali ini aku menahan Ibra untuk mengantarkanku ke depan pintu.

“Pak Ibra nggak usah turun!” tegasku.

Ibra mengangguk. Tapi belum lagi aku membuka pintu mobil, Ibra kembali menahan pergelanganku.

“Ini  apa?”  tanyaku,  mengarahkan  mata  ke  tangannya yang mencekal.

“Tolong  jangan  menghindar  dari  saya,  Danika.  Saya bukan virus berbahaya yang harus kamu hindari. Selain itu, 

jaga kesehatan kamu. Makan dan istirahat yang teratur. Saya nggak mau lihat kamu sakit.”

Mata       Ibra      memancarkan       kesungguhan       kala mengucapkan      hal      tersebut.      Membuatku      kehilangan kemampuan  untuk  berkata  ketus  dan  membangun  benteng pertahanan. Yang bisa kulakukan hanya menatap Ibra seperti orang bodoh. Hingga Ibra mengelus kepalaku dengan lembut dan mempersilakanku untuk keluar dari mobilnya. Dan detik itu  juga  aku  seperti  orang  yang  kena  kutukan  sihir.  Tak mampu berucap dan bereaksi apa pun atas semua perlakuan Ibra.

Pendekatan yang gencar dilakukan Ibra itu menakutkan. Jika pria itu mengatakan bahwa ia bukan virus berbahaya, maka semua  itu  salah  besar.  Sejak  aku  mengenalnya,  semua  jadi semakin  tak  terkendali.  Kehadiran  pria  itu  dalam  hidupku membawa  dampak  yang  tak  baik.  Aku  takut  akan  menjadi gadis lemah lagi dan bergantung dengan orang lain. Menjadi lemah adalah hal yang tak kuinginkan dalam hidupku. Karena itu,  satu-satunya  cara  untukku  adalah  dengan  menjauhkan Ibra dariku.

Tapi, menjauhkan Ibra bukan hal yang mudah. Pria itu selalu   berada   di   sekitarku.   Bahkan   kala   aku   tak   ingin berhadapan dengannya, ia selalu muncul. Seperti tiap kali aku bekerja melayani para tamu, ada saja yang Ibra lakukan untuk menahanku.  Entah  itu  memanggilku  ke  ruangannya,  atau memintaku  menemaninya  bertemu  pemasok  bahan  restoran. Padahal itu jelas bukan tugasku. Tapi karena Ibralah pemilik Sushi Me, tak ada siapa pun yang bisa mengkritiknya.

“Yu, gimana caranya biar co wok berhenti dekatin kita?” tanyaku saat kami menghabiskan akhir pekan bersama.

Kebetulan Dayu tak bekeija dan aku juga mendapatkan jadwal pagi. Jadi aku bisa menghabiskan waktu akhir pekan 

soreku  bersamanya.  Dayu  juga  tak memiliki  jadwal  kencan karena kekasihnya sedang bertugas ke luar kota. Bicara soal hubungan  dengan  pria,  Dayu  mungkin lebih berpengalaman dariku. Gadis ini tak pernah menutupi kisah cintanya padaku. Jadi aku cukup tahu siapa saja yang pernah menjadi kekasih Dayu.

“Ehm ... kalau mau bikin cowok berhenti dekat, ya, kita harus punya pacar, kan? Mana ada cowok yang berani dekatin pacar orang. Kecuali dia nekat.”

Punya  pacar?  Sepertinya  itu  ide  yang  bagus  untuk membuat Ibra menjauh  dariku. Tapi masalahnya,  siapa pria yang  bisa  kujadikan  kekasih.  Atau  paling  tidak  yang  bisa kuajak  bekeija   sama  untuk  berperan  menjadi  kekasihku. Selama  ini  aku  terkenal  menjaga  jarak  dengan  rekan  kerja pria. Akan aneh jika tiba-tiba saja aku mendekati salah satu dari mereka.

“Ginan mau nggak, ya, aku minta jadi pacar bohongan?” Dayu  melebarkan  matanya.  Bibirnya  separuh  terbuka. 

Mungkin tak percaya dengan pendengarannya. “Ginan? Jadi pacar bohongan kamu?” cecar Dayu.

Aku mengangguk.“Iya. Aku butuh bantuannya.” Dayu menatapku penuh selidik. “Cerita, siapa yang mau 

kamu buat menjauh dan kenapa?”

Mungkin sudah saatnya aku bercerita pada Dayu. Mulai dari  pertemuan  pertamaku  dan  Ibra.  Juga  dua  kali  insiden yang  melibatkan  mobil.  Tentu  saja  minus  mobilku  yang kuserahkan   pada   Ibra   sebagai   pengganti   kerugian   biaya mobilnya. Juga bagaimana kini Ibra selalu menghantui hari- hariku.

“Dia suka sama kamu. Ralat, mungkin cinta.” Mataku melotot. “Gimana bisa?”

“Ya, bisa aja,” jawab Dayu santai.

“Oke, anggap dia suka. Tapi aku enggak. Aku merasa terganggu. Dan mau dia berhenti dekatin aku,” beberku. “Jadi, Ginan bisa bantu nggak?”

Dayu   berpikir   sejenak,   kemudian   gadis   nakal   itu menyunggingkan  senyum  simpul  menyebalkannya.  Dan  aku tahu jawaban Dayu tanpa dia perlu menyuarakannya.

Sore ini ketika jam kerjaku berakhir, aku sudah bersiap untuk  pulang.  Tentunya  setelah  mendapat  kabar  dari  Ginan bahwa sepupu Dayu itu akan menjemputku. Aku lega saat tahu Ginan  bersedia  membantuku.  Lagi  pula  jika  ia  tak  mau membantu, aku yakin Dayu akan menghantui hidup Ginan. Membanyangkannya  saja  sudah  membuatku  tertawa. Memangnya  kapan  Ginan  pernah  menolak  Dayu?  Tidak pernah.

Tepat  saat  Ginan  mengatakan  sudah  berada  di  depan Sushi Me, aku bergegas menyusulnya. Namun lagi-lagi Ibra menghentikan    langkahku.    Mengatakan    bahwa    ia    akan mengantarkanku pulang. Tapi, kali ini aku punya alasan yang mungkin akan menghentikan langkah Ibra. Selamanya.

“Saya pulang sama pacar, Pak.”

Wajah Ibra tampak terperangah. Sedetik wajah pria itu terlihat   mengeras,   namun   segera   menormalkan   ekspresi wajahnya. “Pacar? Siapa?”

Kugigit bibirku. Inilah yang paling kubenci dengan sosok Ibra.  Pria  ini  tak  akan  mudah  menyerah.  Mungkin  ia  akan mengorek   informasi   sedetilnya   dariku   untuk   mengetahui kebenarannya.

“Di depan.”

Aku berjalan mendahului Ibra. Sedang pria itu mengikuti langkahku. Sampai di depan Sushi Me, aku lega kala melihat Ginan sudah berdiri menunggu sembari memainkan ponsel.

“Nunggu  lama?”  sapaku,  menghampiri  Ginan,  bahkan nekat memeluk tubuhnya. Kurasakan Ginan membeku, namun saat  melihat  siapa  yang  mengikuti  di  belakangku,  pria  itu merilekskan tubuhnya. Mulai mengikuti permainan.

“Enggak lama, kok. Mau langsung pulang?”

Kini  Ginan  menggenggam  erat  pergelangan  tanganku. Dan semua itu tak lepas dari pengamatan Ibra. Akan tetapi pria itu masih menjaga ekspresinya. Hany a memperhatikan kedekatan kami dengan saksama.

“Anda pacar Danika?” tanya Ibra menyelidik.

“lya.    Ginan,    pacar    Danika.”    Ginan    mengulurkan tangannya   pada   Ibra   yang   disambut   lelaki   itu   sambil menyebutkan nama.

Kukira      semua      akan      selesai      begitu      Ginan memproklamirkan diri sebagai kekasihku. Tapi, nyatanya tak semudah  itu  mengecoh  seorang  Ibrahim  Arrrauff.  Malah dengan  santainya  Ibra  meminta  waktu  untuk  bicara  dengan Ginan. Membuatku dilanda panik seketika.

“Kami enggak punya waktu. Kalau Pak Ibra man bicara sama Ginan, lain kali saja. Permisi!”

Kutarik Ginan untuk menjauhi Ibra dan Sushi Me. Tak peduli meski itu tak sopan. Atau Ibra mungkin berpikir untuk memecatku. Semua itu akan kuhadapi untuk esok. Yang pasti saat ini Ibra harus mundur dan tak lagi mendekatiku.

Selama   peijalanan   pulang,   aku   hanya   diam.   Sibuk dengan   pikiranku   sendiri.   Ginan   juga   tak   terlihat   ingin menginterupsi. Hingga kami tiba di depan rumahku. Baru pria itu bersuara.

“Danika ... boleh aku kasih saran?”

“Ya?”

“Ibra...”   Tubuhku   menegang   kala   Ginan   menyebut namanya, “pria itu baik.  Aku bisa lihat dia itu orang yang serius  dan  bertanggung  jawab.  Dan  kelihatannya  dia  nggak main-main sama kamu.”Oke, aku tahu Ginan ingin bicara apa, tapi   aku   memilih   untuk   menjadi   orang   bodoh   dengan melontarkan kata terus bernada tanya.“Kamu pasti tahu apa maksudku, kan?” Aku memilih menggeleng, membuat Ginan melepas tawa sambil mengacak rambut di puncak kepalaku. “Jangan  pura-pura  bodoh.  Kamu  sama  Dayu  kadang  sama aja.”

“Maksudnya?”

“Ibra, dia pantas. Buka hati kamu dan coba kasih dia kesempatan.   Aku   jamin   kamu   nggak   akan   nyesal.”Aku memilih  berdiam  diri.  Hingga  Ginan  mengambil  sebelah tanganku  dan  mengusapnya  lembut.  Membuatku  menaikkan pandangan menatapnya.“Kamu berhak bahagia. Dan saat ini mungkin   jalannya.   Jangan   terus   memendam   Iuka   dan menutup diri, Ka.”

“Dari mana kamu...”

Ginan  menaikkan  sebelah  alis  yang  langsung  dapat kutangkap   maksudnya.   “Dicoba,   Nika.   Kesempatan   akan selalu  datang.  Tapi  kesempatan  saat  Tuhan  menghadirkan orang seperti Ibra di hidup kamu belum tentu datang dua kali.

Ingat  satu  hal,  kamu  harus  bahagia.  Dan  kamu  berhak bahagia. Ngerti?”

Aku mencoba mencerna apa yang Ginan sampaikan. Pria itu benar. Aku berhak bahagia. Dan harus bahagia. Karena itu, kuanggukkan  kepala  sambil  melempar  senyum.  Berpamitan pada Ginan yang langsung melajukan mobilnya menjauh dari kediamanku.

Cukup    lama    aku    berdiam    di    tempatku    berdiri. Memandangi  senja  yang  makin  memerah.  Kata-kata  Ginan kembali berputaran di kepala. Dan itu menyadarkanku akan satu hal. Selama ini aku terlalu menutup rapat diri sendiri dari kebahagiaan,  kukatakan  pada  diri  sendiri  bahwa  aku  akan bahagia. Mungkin tak langsung dengan menerima Ibra atau siapa  pun  dalam  hidupku,  tapi  mulai  dengan  menciptakan bahagiaku sendiri.


Lengan Untuk Menopang

Bersandiwara  bahwa  Ginan  adalah  kekasihku,  sudah kulakukan.  Apakah  berhasil  mengecoh  Ibra?  Tidak  sama sekali. Pria itu tak terpengaruh sedikit pun jika Ginan adalah kekasihku. Bahkan Ibra makin gencar mendekat. Membuatku pusing sendiri karena kehabisan cara untuk mengusir pria itu dari hidupku.

Selain itu aku juga semakin betah bekerja di Sushi Me. Rumor miring yang tadinya menerpaku menjadi semakin tak berarti    karena    para    pegawai    yang    lainpun    mungkin menyadaribukan  aku  yang  mendekati  Ibra,  tapi  sang  Bos besarlah yang kian mendekat. Sejauh apa pun aku berlari, Ibra selalu berhasil menyusul selangkah di depanku.

Seperti  yang  kali  ini  teijadi.  Di  saat  semua  karyawan sudah   kembali   ke   rumahnya  masing-masing,   Ibra  malah menahanku    di    kantornya.    Katanya    ada    yang    ingin disampaikan padaku. Dengan terpaksa aku menemui pria itu di kantornya. Setelah diizinkan masuk, baru aku melangkah masuk.

“Ada yang ingin Bapak sampaikan ke saya?” tanyaku tanpa basa-basi. Masih dengan posisi berdiri di depan meja keija Ibra.

“Kamu bisa duduk dulu, Danika. Ada beberapa hal yang harus saya selesaikan dulu.”

Aku  mengernyit  bingung.  “Kalau  memang  Pak  Ibra masih sibuk, kita bisa bicara lain kali.”

“Tidak.”  Suara  Ibra  terdengar  tegas.  “Sekarang  kamu duduk.”

Mau tak mau aku menuruti perintah pria itu. Memilih duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut daripada di kursi yang ada di depan mejanya. Selama menunggu aku memilih untuk berselancar di dunia may a. Terlalu asyik dengan dunia may  a  hingga  tak  menyadari  jika  Ibra  sudah  berada  di sampingku.

“Astaga!”  pekikku  kala  berhadapan  Ibra  dalam  jarak sedekat itu.

“Kamu terlalu asyik dengan handphone. ”

“Bapak ngagetin saya!”

Bukannya  menjawab  pertanyaanku,  Ibra  malah  balik bertanya. “Kamu sudah makan?”

“Apa yang mau Pak Ibra bicarakan dengan saya? Saya nggak  punya  banyak  waktu.  Saya  ingin  segera  pulang  ke rumah dan istirahat.”

Ibra     tiba-tiba     berdiri,     membuatku     terperanjat. Sebenarnya apa mau pria ini padaku. “Kalau begitu saya antar kamu pulang.”

“Saya nggak butuh tumpangan Bapak. Dan...”

Tak sempat menyelesaikan kalimat, Ibra sudah menarik tanganku hingga ikut berdiri tegak. Tindakannya yang tiba- tiba tentu saja mengejutkanku. Aku bahkan tak bisa berkata apa pun saat Ibra menarikku ke luar dari ruang keijanya.

“Bapak mau apa?” tanyaku saat Ibra sudah membukakan pintu mobilnya untukku.

“Mengantarkan kamu pulang.”

Seperti  biasa  aku  akan  memberontak.  Dengan  kasar kulepaskan cekalan Ibra di pergelanganku, membuat pria itu terkejut.   “Saya   sudah   bilang,   kalau   saya   nggak   butuh tumpangan      Bapak.      Tolong,      jangan      persulit      saya lagi.”Kutinggalkan Ibra yang masih terpaku karena ucapanku. Aku  tahu  sikapku  sangat  kasar,  tapi  jika  aku  tak  berbuat begitu, Ibra tak akan pernah berhenti. Kadang kita memang harus    bertindak    kejam    untuk    menghentikan    langkah seseorang. Dan mungkin inilah puncaknya Ibra akan berhenti mendekatiku.

Kulangkahkan kaki menuju halte bus terdekat. Pikiranku kembali  berputar  akan  kejadian  tadi.  Setitik  celah  dalam hatiku merasa bersalah karena bersikap kasar terhadap Ibra.

Tapi   sisi   lainnya   membenarkan   tindakanku.   Membuatku mengerang karena pikiran-pikiran tersebut.

Tak lama bis yang kutunggu tiba. Namun saat hendak masuk ke dalam, seseorang menghentikan gerakanku. Mataku terbelalak  kala  melihat  ternyata  Ibra  yang  menghentikanku. Pria itu kembali menarikku menjauhi bis yang segera melaju. Membawaku   masuk   ke   mobil   miliknya,   kemudian   ikut menyusul duduk di kursi kemudi.

Aku masih tak bisa bersuara kala Ibra sudah melajukan mobilnya.  Pria  itupun  tak  mengatakan  sepatah  kata.  Hanya menyetir  dalam  diam.  Hingga  mobil  berhenti  di  sebuah rumah.

“Kenapa Bapak lakukan ini ke saya?” tanyaku dengan nada menuntut. Kami berdua masih berdiam di dalam mobil.

“Karena  kamu  terlalu  keras  kepala  untuk  menuruti ucapan saya.” Ibra membalas dengan nada santai.

Pria itu kemudian turun dari mobilnya. Berputar hingga kini   berada   di   sisi   pintu   sebelahku.   Dengan  cepat  Ibra membuka    pintu    dan    menarikku    untuk    turun.    Tanpa membiarkanku melakukan protes, Ibra membawaku masuk ke rumah asing yang kuduga adalah rumahnya.Seketika pikiran aneh  berkelabat  di  kepala.  Untuk  apa  Ibra  membawaku  ke rumah ini. Terlebih rumah ini begitu kosong. Seperti tak ada satupun  penghuninya.  Hingga  Ibra  mendudukkanku  di  sofa ruang tamu. Dia masih belum bersuara.

“Pak Ibra mau apa?” tuntutku saat pria itu ikut duduk di sebelahku.    Refleks    aku    memundurkan    tubuh    hingga menyentuh lengan sofa.

“Kenapa  sulit  sekali  mengajak  kamu  bicara  dengan kepala dingin, Danika?” tanyanya membuatku mengernyit.

“Hah?”

“Kenapa   kamu   selalu   menghindar   seolah   saya   ini penyakit  menular?  Apa  saya  begitu  berbahayanya  hingga kamu   selalu   memasang   benteng   pertahanan   ketika   saya mendekat?”

Aku  membeku.  Lidahku  seakan  kelu  untuk  menjawab pertanyaan   Ibra.   Yang   bisa   kulakukan   saat   ini   hanya mengerjapkan  mata  seperti  orang  bodoh.  Terlebih  saat  Ibra melayangkan  tangannya  untuk  mengelus  kepalaku.  Seluruh saraf  dalam  diriku  rasanya  tak  bisa  bekerja  dengan  baik karena aku malah semakin membeku.

“Saya  cuma ingin  dekat sama  kamu,  Danika.  Apa  itu salah?” tanyanya kemudian.

Harusnya  aku  bisa  berteriak  lantang  bahwa  itu  salah. Tapi, sentuhan dan tatapan pria itu melumpuhkanku. Aku tak bisa  bergerak  seinci  pun.  Hanya  menahan  napas  kala  Ibra makin mendekatkan tubuhnya.

“Saya tidak akan berbuat apa pun yang membuat kamu makin membenci say a, Danika. Tapi, biarkan say a bisa dekat dengan kamu. Agar saya bisa menjaga kamu. Boleh, kan?”

Tidak! Tentu saja aku akan menjawab begitu jika saat ini aku adalah Danika yang biasanya. Tapi jangankan menjawab, menolak  sentuhan  Ibra  saja  aku  tak  mampu.  Aku  hanya berdiam  bagai  seekor  peliharaan  yang  sedang  mendapatkan kasih sayang dari majikannya. Tanpa perlawanan.

“Kamu  pasti  belum  makan  malam.  Kalau  begitu  saya akan  memasak  makan  malam  untuk  kamu.”  Ibra  akhirnya beranjak dari sofa.

Setelah  pria  itu  tak  lagi  berada  dekat  denganku,  aku akhirnya bisa menarik napas lega. Efek Ibra memang sangat dahsyat. Sekejap saja aku dibuat tak berkutik olehnya. Aku tak mungkin bertahan lebih lama lagi di dekatnya. Namun, baru saja aku akan meniatkan melarikan diri dari rumahnya, Ibra berseru keras padaku.

“Jangan coba-coba kabur, Danika. Kamu tahu apa yang bisa saya lakukan padamu.”

Tubuhku  seketika  membeku.  Sepertinya  ancaman  Ibra berhasil  memengaruhi.  Karena  kemudian  yang  teijadi,  aku justru  menghampiri  Ibra  di  dapurnya.  Duduk  diam  di  kursi 

ruang  makan.  Memperhatikan  Ibra  yang  kini  sedang  sibuk menyiapkan  makan  malam.  Sikap  patuhku  tentu  saja membuat  Ibra  tersenyum  lebar.  Mungkin  pria  itu  merasa menang karena berhasil mengendalikanku. Tapi tak tahulah, aku pun bingung dengan diriku saat ini.

Pekerjaanku  berjalan  lancar.  Tak  terasa  sudah  hampir  dua tahun aku bekerja di Sushi Me. Rekor terlama bagiku dalam bekerja.  Jika  biasanya  aku  akan  bertahan  dalam  hitungan bulan, tapi tidak di sini. Sesuatu yang patut kusyukuri karena berhasil melewatinya dengan baik.

Ibra   yang   masih   gencar   mendekat   pun   tak   terlalu kuambil pusing. Pria itu tak lagi membuatku gentar dengan pendekatannya.   Hanya   satu  yang  harus  kulakukan  untuk menghadapi serangan Ibra: cukup biarkan pria itu bertindak semaunya  asal  tidak  membuatku  jengkel  ,  maka  Ibra  akan memberi  sedikit  ruang  bagiku  bernapas  lega  dari  segala gerakan gencarnya.

Seperti halnya aku, Dayu pun mengalami hal yang sama. Gadis itu mendapatkan cobaan berupa atasan yang luar bisa menjengkelkannya     seperti     Ibra.     Atau     bahkan     lebih menjengkelkan  katanya.  Bagaimana  tidak  jika  Dayu  yang menjabat  sebagai  Sekretaris  tapi  justru  lebih  mirip  seperti Baby  Sitter  sang  Bos. Pria  bernama  Damar  Kharisma  yang membuat Dayu setiap saat siap meledak karena ulahnya. Aku belum pernah bertemu langsung bagaimana Damar itu. Tapi mendengar    cerita    Dayu,    sepertinya    pria    itu    begitu menjengkelkan.

“Dengar  semua,  nanti  akan ada reservasi  khusus. Jadi beberapa orang harus standby untuk membantu, ya.” Anwar memberi pengarahan sebelum jam makan siang berakhir.

Kami yang mendapatkan shift setelah makan siang jelas harus  siap  sedia  menghadapi  pesanan  khusus  ini.  Biasanya pesanan  khusus  berasal  dari  pelanggan  VIP  yang  sedang mengadakan acara. Entah itu reuni, jamuan tamu bisnis, atau sekadar   arisan.   Untuk   mereka,   Sushi   Me   menyediakan ruangan khusus bagi tamu VIP-nya.

“Danika,  kamu  ikut  bantu  di  reservasi  khusus,  ya?” Anwar  memberi  perintah  yang  kujawab  dengan  anggukan. Biasanya yang melayani tamu khusus akan mendapatkan jatah tip  lebih  karena  kami  benar-benar  harus  melayani  mereka dengan sempurna.

Pukul dua siang beberapa tamu yang terdaftar sebagai pesanan   khusus   mulai   berdatangan.   Aku   dan   beberapa pelayan yang sudah diberi tugas mulai  mengantarkan menu spesial  yang  sudah  disiapkan.  Entah  itu  kesialan  atau keberuntungan, yang menjadi tamu khusus Sushi Me hari ini adalah  salah  satunya  Tante  Indri.  Kami  sama-sama  terkejut saat  berpapasan.  Tapi  sebisa  mungkin  kujaga  ekspresi wajahkku. Bersikap profesional. Tak ingin mengacaukan acara mereka. Apalagi membuat nama Sushi Me menjadi buruk di mata para pelanggan.

“Selamat menikmati,” ucapku sesopan mungkin setelah meletakkan hidangan di meja.

Aku mempercepat langkah. Segera keluar dari ruangan yang   bagiku   menyesakkan   karena   ada   Tante   Indri   di dalamnya.  Namun  bukannya  kembali  ke  dapur,  aku  malah memilih  mengurung  diri  di  toilet.  Membasuh  wajah  untuk menyejukkan hatiku.

Tapi  sepertinya  takdir  ingin  bermain-main  denganku saat ini. Tepat setelah membasuh wajah, seseorang masuk ke toilet. Wajah Tante Indri terlihat jelas dari pantulan cermin di depanku. Bibir wanita itu menyunggingkan senyum mengejek.

“Mau apa kamu ke sini?” tanyaku ketus.

“Kenapa?      Memangnya      tamu      tidak      diizinkan menggunakan toilet?”

Wanita    iblis    itu    mendekat    ke    arahku.    Sengaja menggunakan keran wastafel di sebelahku. Dengan gerakan lambat,     Tante     Indri     mencuci     tangannya,     kemudian mengeringkannya dengan tisu yang tersedia.

“Lama   tidak   bertemu,   ya.   Gimana   kabar   kamu?” tanyanya basa-basi.

Aku tak menjawab. Hany a mengencangkan peganganku pada pinggir wastafel. Aku sangat tahu wanita ini hanya ingin bermain-main   denganku.   Tapi   aku   tak   ingin   terpancing olehnya.

“Tapi   saya   lihat,   kamu   baik-baik   saja,”   ucapnya kemudian. “Baguslah. Kalau kamu baik begini, Papa kamu jadi nggak  perlu  cemas  lagi,  ya.  Anak  perempuannya  ternyata sudah   dewasa.   Bahkan   sudah   bisa   jaga   diri   dan   hidup mandiri.”

Ada  nada  sombong  dalam  suaranya.  Sungguh  aku  tak ingin terpancing apa pun yang perempuan jahat ini katakan. Tapi  saat  aku  memperhatikan  kalung  yang  melingkar  di lehernya,   seketika   amarahku   menggelegak.   Dengan   kasar kurampas    kalung    itu    hingga    terlepas    dari    lehernya. Perempuan itu menjerit karena tindakan tiba-tibaku.

“Kamu!” teriaknya sambil menngacungkan telunjuk ke arahku.

“Saya sudah bilang, silakan kalau kamu mau kuasai apa pun  di  rumah  Papa,  tapi  tidak  dengan  semua  barang  yang menjadi milik Mama,” ucapku lantang. “Dan ini milik Mama saya!”

Wajah   Tante   Indri   merah   padam.   Tapi   sepertinya perempuan itu tak akan menyerah semudah itu. la berusaha meraih kalung yang ada dalam genggamanku. Namun aku juga tak  akan  semudah  itu  menyerahkan  milik  Mama  padanya. Aksi saling rebut tak dapat dielakkan dari kami. Hingga aku yang  sudah  geram  padanya  mendorong  tubuh  Tante  Indri hingga ia jatuh ke lantai.

Tepat saat itu seorang pelanggan masuk ke dalam toilet. Wanita itu berteriak memanggil siapa pun yang ada. Secepat kilat  beberapa  orang  mulai  masuk  ke  dalam  toilet.  Mereka membantu   Tante   Indri   untuk   bangun   dan   melayangkan tatapan  menuduh  padaku.  Tapi  aku  tak  peduli.  Aku  hanya ingin mempertahankan apa yang menjadi milik Mama.

Bisik-bisik  mulai  terdengar  kala  aku  dan  Tante  Indri diantar   ke   ruang   keija   Ibra.   Teman   Tante   Indri   yang merupakan tamu VIP di Sushi Me jelas marah karena melihat sahabatnya yang menurutnya mendapatkan kekerasan olehku. la berjanji akan menuntut Sushi Me. Bila perlu menuntutku ke pengadilan.

“Bisa jelaskan apa yang teijadi, Ibu...”

“Indri. Nama sahabat saya ini, Indri. Dan saya, Evita, adalah pelanggan VIP di restoran ini.”

Sahabat  Tante  Indri  berucap  sombong.  Dia  mungkin tidak   mengetahui   bahwa   Ibra   dalah   pemilik   Sushi   Me. Mungkin dalam pikirannya Ibra yang terlihat sederhana hanya sebatas Manajer di restoran ini.

“Baik, Ibu Indri. Bisa tolong jelaskan apa yang teijadi pada  Ibu  dan  pegawai  kami?”  tanya  Ibra  sama  sekali  tak terpengaruh dengan nada intimidasi wanita bernama Evita itu.

“Pegawai Anda bersikap kasar pada sahabat saya. Dia mendorong sahabat saya hingga jatuh ke lantai. Dan...” Mata Ibu  Evita  menyipit  kala  melihat  tanganku  menggenggam kalung  Mama.  Segera  saja  berbagai  spekulasi  terbentuk  di kepalanya.  “lihat,  pegawai  Anda  mencuri  kalung  sahabat saya!”

Baik  aku  dan Tante  Indri sama-sama  terperanjat.  Aku tentu  saja  tak  terima  akan  tuduhan  wanita  sombong  itu. Sedang Tante Indri, wajahnya tampak salah tingkah. Mungkin malu  jika  sampai  aku  membeberkan  apa  yang  teijadi  dan hubungan apa yang kami punya.

“Danika?”   tanya   Ibra.   Suaranya   terdengar   lembut, membuat Tante Indri dan sahabatnya menatap Ibra heran.

“Saya tidak mencuri. Kalung ini milik Mama saya.” “Heh, jangan sembarangan kamu, ya! Kamu pikir kami 

bodoh  begitu.  Mana  mungkin  pelayan  kecil  seperti  kamu punya perhiasan semahal itu,”cecar sahabat Tante Indri.

“Tante,  apa  perlu  saya  yang  ngomong  sama  sahabat Tante,milik siapa kalung ini sebenarnya?” tanyaku tajam.

Baik Tante Indri dan sahabatnya tampak terkejut dengan keberanianku.   Sedang   Ibra   hanya   menatap   kami   dengan tatapan yang sulit kuartikan.

“Heh, jangan sem...”

“Sudah,   Evita.   Masalah   ini   tidak   perlu   diperbesar. Anggap saja saya memberikan kalung itu sebagai hadiah pada gadis itu.” Tante Indri mulai bersandiwara.

Tentu saja aku tertawa hambar mendengar ucapannya. “Hadiah? Tante lupa kalau ini milik Mama saya? Lupa ucapan saya yang tadi? Apa perlu saya beberin semua di depan teman sosialita Tante siapa saya?”

“Enggak  perlu,  Danika.”  Tante  Indri  menyahut  cepat. “Anggap saja tidak ada kejadian apa pun. Kami tidak akan menuntut apa pun pada restoran ini. Anggap saja yang tadi itu kecelakaan.”

Sahabat  Tante  Indri  akan  memprotes  ucapannya,  tapi wanita  itu  segera  menarik  tangan  sahabatnya  untuk  segera keluar dari ruangan Ibra. Kini tinggallah aku dan Ibra berdua. Rasanya keberanianku habis terluras, karena yang selanjutnya teijadi adalah kakiku melemas dan terduduk di lantai, sembari memeluk erat kalung Mama yang berada di tanganku.

Ibra   tak   tinggal   diam.   Pria   itu   menghampiri   dan membantuku untuk berdiri. Menuntunku untuk duduk di sofa. Pria itu tak bicara sepatah katapun. Membiarkanku yang kini sudah terisak masih memeluk kalung Mama. Isakanku makin kencang  saat  kurasakan  Ibra  kini  sudah  memelukku  erat. Untuk kali ini, aku membiarkan diriku berada dalam pelukan Ibra  karena  saat  ini  benar-benar  butuh  lengan  seseorang untuk menopangku.


Lamaran Ibra

Kakiku  menginjak  tanah  pemakaman  di  mana  Mama  telah beristirahat dengan tenang. Aku seperti anak yang tak berbakti karena sudah cukup lama tak menemui Mama. Hanya karena kalung yang dikenakan Tante Indri kemarinlah aku akhirnya ingat kembali pada Mama. Aku ingin memohon maaf pada beliau karena sempat lupa mengunjunginya. Meski begitu aku tak pernah melupakan menyebut nama Mama dalam doa.

Sebuket mawar putih sudah ada di atas makam Mama. Aku  menghela  napas  pelan.  Sangat  tahu  siapa  orang  yang meletakkkan di sana. Hanya aku dan Papa yang tahu betapa Mama menyukai bunga mawar putih. Setitik sudut di hatiku menghangat  karena  ternyata  Papa  masih  mengingat  Mama. Meski ia tak berusaha mencari tahu keadaan putrinya, yaitu aku.

“Assalamualaikum,    Ma.    Maaf    kalau    aku    jarang berkunjung ke makam Mama.”

Aku  memberi  salam  sembari  membersihkan  makam Mama  dari  dedaunan  yang  mengotorinya.  Aku  tak  ingin mengadukan  kesedihanku  karena  sejak  kecil  memang  aku 

jarang  mengadu  pada  Mama  dan  Papa.  Yang  kulakukan memang hanya berdoa dan menyapa Mama. Tak ada adegan tangisan karena aku tak ingin Mama tak tenang di alamnya sana.

Setelah selesai berdoa, aku berpamitan pada Mama. Hari ini adalah jatah liburku di Sushi Me. Karena itu, aku tak perlu merasa   terburu-buru.   Daripada   kembali   ke   rumah,   aku memilih menghabiskan waktu ke toko buku. Sudah lama aku tak berburu bacaan. Apa salahnya jika aku sedikit bersenang- senang di hari liburku.

“Maaf,” ucapku bersamaan dengan seseorang yang juga mengambil buku yang sama denganku.

Pria   itu   tersenyum   simpul,   kemudian   mengulurkan tangannya  sebagai  isyarat  aku  bisa  memiliki  buku  tersebut. Setelah memberikan senyum kecil sebagai rasa terima kasih, aku segera mengambil buku tersebut.

Tak terasa hampir tiga jam aku menghabiskan waktu di toko  buku.  Kulanjutkan  dengan  berbelanja  beberapa  bahan makanan yang kuingat sudah hampir menipis di kulkas. Ah, rasanya  aku  ingin  memasak  sup  daging  hari  ini.  Mungkin mengundang Dayu untuk menginap. Lumayan lama kami tak bercengkerama karena kesibukan masing-masing.

Mengingat Dayu, aku selalu ingin tertawa karena laporan gadis itu. Ada saja perseteruan yang ia dan Bosnya lakukan tiap    harinya.    Seperti    kemarin    juga    Dayu    melaporkan bagaimana  pria  itu  mengganggu  hari  minggunya.  Padahal Dayu   sudah   berencana   untuk   beristirahat   dengan  tenang setelah selama sepekan berhadapan dengan Damar.

Kadang  aku  iri  dengan  Dayu.  Meski  selalu  berseteru dengan Damar, tapi ia begitu menikmati hidupnya. Dayu yang tak  memiliki  kedua  orang  tua  tapi  selalu  terlihat  bahagia. Tanpa beban. Sedang aku, meski sudah hampir bertahun tak bersentuhan  dengan  Papa  dan  keluarga  barunya,  tetap  saja masih menyisakan sesak di dada. Sakit karena tetap tak habis pikir bagaimana Papa bisa memilih membiarkanku keluar dari rumah.   Dan   bertahan   tanpa   pernah   sekalipun   berusaha mencari atau menemuiku.

Sudah,  tak  ada  guna  aku  terus  metatapi  nasib.  Yang terpenting sekarang aku harus terus kuat dan bergerak maju. Mau sampai kapan aku hanya akan beijalan di tempat yang sama. Dengan rasa sakit yang sama. Meski tak akan mudah, tapi  bukan  berarti  aku  tak  bisa.  Hidupku,  bahagiaku,  maka akulah yang akan menciptakannya.

Tapi,   bahagiaku   sepertinya   tak   akan   pernah   terasa sempurna    karena    selalu    ada    celah    bagi    seseorang mengusiknya. Di hari santaiku sekalipun. Tepat ketika taksi yang  kutumpangi  berhenti  di  tepi  jalan  rumahku,  seseorang sudah menanti. Di sana, Ibra sudah berdiri menanti di teras rumah, membuatku memutar mata, malas.

“Sejak kapan Pak Ibra ada di rumah saya?” tanyaku tak ramah. Aku ingin hari liburku tanpa dia. Tapi mengapa Ibra 

justru selalu muncul.

“Kamu  dari  mana?”  Bukannya  menjawab,  Ibra  malah balas bertanya.

“Ini hari libur saya. Bisa nggak sih, sehari saja kita nggak usah ketemu?” pintaku dengan jengkel.

Tapi  bukannya  marah,  Ibra  malah  mengulas  senyum. Pria   itu   mengambil   alih   kantong   plastik   yang   kubawa, kemudian memerintahku untuk membuka pintu. Mau tak mau aku segera melakukan apa yang diperintahkan Ibra. Pria itu masuk  seakan  itu  rumahnya  sendiri.  Segera  kuambil  alih berbagai     kantong     belanjaku     dari     tangan     Ibra     dan meletakkannya di meja makan. Kemudian kembali menemui Ibra di ruang depan.

“Pak  Ibra  mau  apa  datang  menemui  saya?”  tanyaku kembali.  Aku  tak  benar-benar  tak  bisa  berbasa-basi  dengan pria itu.

“Cuma ingin menemui kamu.”

Dahiku mengernyit. “Sudah, kan? Kalau begitu, Pak Ibra bisa pulang.”

“Kamu tidak berniat menyambut tamu, Danika? Paling tidak tawarkan sedikit keramahan berupa minuman meski air putih. Itu adab dalam menyambut tamu.”

“Saya   sama   sekali   nggak   mengharapkan   Pak   Ibra bertamu ke rumah saya. Dengan begitu Bapak bisa kan pergi dari rumah saya?”

Ibra  tampak  tak  setuju  dengan  pengusiranku.  Pria  itu kini  berdiri  dan  mendekat,membuatku  gugup  dan  refleks memundurkan langkah.

“Mau apa?” pekikku tertahan kala Ibra sudah berdiri di hadapanku. Wajahku harus sedikit mendongak karena postur Ibra yang lebih tinggi.

“Danika,  kenapa  kamu  harus  selalu  ketus  pada  saya? Tidak bisa, ya, sedikit lebih ramah. Saya bukan musuh kamu. Kamu tahu kan kalau saya...”

Tanganku menjulur menahan dada Ibra. Sontak aku dan pria    itu    sama-sama    membeku.    Sungguh,    aku    refleks melakukannya.  Tapi,  sepertinya  Ibra  tak  terganggu  sama sekali.  la  malah  memegang  tanganku  yang  tadinya  akan kujauhkan dari tubuhnya.

“Tolong   jangan   bikin   saya   bingung,   Pak,”   ucapku akhirnya.

“Saya sama sekali tidak ingin membuat kamu bingung. Kamu tahu, saya serins tertarik sama kamu. Dan saya tidak pernah ingin bermain-main dengan perasaan dan rasa tertarik saya.”

Aku   membeku.   Meski   Ibra   sudah   terlalu   sering menunjukkan  gelagat  bahwa  ia  tertarik  padaku,  tapi  ini pertama kalinya pria itu bicara langsung perihal perasaannya. Dan  aku  benar-benar  kehilangan  kemampuan  bicara  untuk membalas  atau  sekadar  membantah  ucapannya  seperti  yang biasa kulakukan.

“Danika, sejak awal bertemu dengan kamu, sejak insiden tabrakan itu, saya sudah tertarik sama kamu. Saya nggak akan menutupi apa pun. Dan saya rasa kamu tahu itu dengan saya yang selama ini selalu berusaha mendekati kamu.”

Ibra itu terkenal sebagai pria yang tak banyak bicara. Tapi  saat  ia  banyak  bicara  seperti  ini,  aku  sangat  ingin meminta   pada   Tuhan   untuk   melumpuhkan   kemampuan bicaranya sejenak.

“Saya nggak mau dengar apa pun. Tolong Pak Ibra pergi dari rumah saya, ya?”

Bisa kurasakan mataku mulai memanas. Mungkin Ibra tahu   bahwa   sebentar   lagi   aku   akan   menangis,   pria   itu mengalah.  Sebelum  pergi,  Ibra  mengusap  lembut  puncak kepalakujalu berpamitan. Begitu Ibra keluar dari rumah, aku segera menutup pintu rapat. Tak peduli itu salah satu bentuk ketidaksopanan.  Aku  benar-benar  tak  ingin  melihat  pria  itu untuk saat ini.

Hampir  seminggu  setelah  pernyataan  perasaan  Ibra,  aku kembali  berusaha  menghindari  pria  itu.  Tiap  kali  Ibra memintaku menemuinya di kantor, aku selalu menolak. Tak peduli  jika  pria  itu  jengah  dan  memecat  karyawan pembangkang sepertiku. Tapi aku benar-benar ingin menjauhi Ibra.

Tentu saja sikapku yang seperti melakukan perlawanan atas segala perintah Ibra menjadi bahan pembicaraan rekan- rekan di Sushi Me. Ada yang mencibir dan ada yang berusaha memahami  alasanku.  Aku  berusaha  menulikan  telinga  dari segala  cibiran  itu.  Apa  pun  yang  kulakukan  itu  adalah urusanku. Tapi sekeras apa pun berusaha, tak selamanya aku akan bisa menghindari Ibra. Terlebih kami masih di lingkup kerja yang sama. Maka selalu tiba saatnya saat aku tak bisa lagi berlari darinya.

“Kamu  diminta  Pak  Ibra  menghadap  ke  ruangannya, Nika.”  Anwar  menghampiriku  yang  baru  kembali  ke  dapur setelah mengantarkan pesanan.

Aku menatap Anwar dengan pandangan memohon, tapi pria itu langsung mencela.“Jangan terus menghindar, Danika. Saya  tahu  kamu  merasa  terganggu.  Tapi  saya  juga  tahu bagaimana  perasaan  Pak  Ibra  sama  kamu.  Selesaikan.  Bila perlu  pertimbangkan.  Saya  nggak  tahu  bagaimana  hidup kamu. Bagaimana hubungan kalian. Tapi cukup lama menjadi rekan keija kamu, saya bisa katakan kamu tipe orang selalu merasa  insecure.  Ada  saatnya  kamu  harus  mengalah  dan membiarkan orang lain masuk ke dalam hidup kamu.”

Sekali   lagi   aku   menatap   Anwar.   Kali   ini   dengan pandangan  tak  percaya.  Ingin  menyangkal,  tapi  apa  yang dikatakan  pria  itu  sangat  benar.  Tak  selamanya  aku  bisa bersembunyi di cangkangku. Setelah memantapkan hati, aku menemui Ibra.

Setelah mengetuk pintu dan dipersilakan masuk olehnya, barulah aku berani melangkah ke dalam ruang kerja Ibra di Sushi  Me.  Meski  sudah  pernah  memasuki  kantornya,  tetap saja tiap aku berada di sana memberikan rasa tak nyaman. Apalagi dengan kejadian tak menyenangkan beberapa waktu lain yang melibatkan aku dan Tante Indri.

“Silakan duduk, Danika,” ucap Ibra.

Pria    itu    menghentikan    segala    kegiatannya    dan memfokuskan pandangan padaku. Dengan langkah pelan, aku mendekatkan  diri  pada  kursi  yang  ditunjuk  Ibra.  Sengaja menghindari kontak mata dengan pria itu.

“Saya tahu kamu menghindar lagi. Tapi saat ini, saya benar-benar harus bicara dengan kamu,” suara Ibra terdengar sangat  serius.  Membuatku  takut  mendengar  apa  yang  ingin disampaikannya.

“Apa sebenarnya yang ingin Pak Ibra bicarakan? Bapak ingin memecat saya karena tindakan tak sopan saya?” tanyaku ragu-ragu.

“Bukan   itu.”   Ibra   melipat   kedua   tangannya   dan menumpukan beban tubuh ke depan. Wajah seriusnya makin serius kala menatapku.“Orang tua saya sudah bertanya kapan saya akan menikah.”

“Lain apa hubungannya dengan saya?”

“Mereka  berencana  untuk  mengenalkan  saya  dengan putri sahabat mereka.”

Aku   masih   belum   bisa   mengikuti   ke   mana   arah pembicaraan  Ibra.  Mungkin  karena  terlalu  banyak  hal  yang kupikirkan hingga nalarku tak bisa mengangkap secepat dulu.

“Tapi saya katakan kalau saya sudah punya calon istri.” Sampai   kalimat   Ibra   meluncur   mulus,   barulah   aku 

mencapai titik terang maksud pembicaraan ini. Jelas saja aku terkejut. Rasa panik seketika melandaku.

“Maksud Pak Ibra...”

Pria  itu  mengangguk.  “lya.  Saya  ingin  kamu  yang menjadi istri saya.”

Kutatap Ibra dengan pandangan horor. Hatiku langsung dilanda gemuruh. Tak bisa seperti ini. Aku sangat tidak siap dengan keinginan lugas yang dilontarkan Ibra.

“Kamu   bersedia  jadi  istri  saya,   Danika?”  tanyanya dengan wajah seribu persen serius.

Refleks aku berdiri. Meninggalkan ruangan Ibra dengan tergesa-gesa.  Membuat  pria  itu  terperanjat.  Tapi  Ibra  tak membiarkanku  kabur semudah itu. la menyusulku ke ruang ganti. Meminta beberapa karyawan yang ada di sana untuk sekadar bersantai meninggalkan tempat itu.

“Danika...”

“Saya  nggak  mau  dengar  apa  pun!”  tolakku  sembari menutup   telinga   dan   menundukkan   pandangan.   Aku   tak sanggup menatap wajah Ibra.

“Saya   serius,   Danika.   Tolong   pikirkan,”   pintanya berusaha   menarik   lepas   kedua   tanganku   yang   menutupi telinga.

Entah  mengapa  di  situasi  ini  sisi  lemahku  muncul. Bukannya melawan Ibra, aku malah sudah terisak sambil terus meminta   Ibra   untuk   keluar   dari   ruangan   itu.   Memohon padanya untuk meninggalkanku seorang diri di sana.

Lagi-lagi Ibra mengalah dan menuruti keinginanku. Pria itu  pergi  sesuai  dengan  permintaanku.  Memberiku  waktu sendiri seperti yang kupinta. Setelah yakin Ibra tak lagi berada di dekatku, aku mencoba meredakan isakanku. Tapi sialnya, tak semudah itu.

Ucapan  serius  Ibra  yang  memintaku  menjadi  istrinya kembali  terngiang  di  telingaku.  Ketakutanku  nyata  adanya. Tentu  saja  aku  belum  siap  menerima  Ibra  atau  siapa  pun untuk  menjadi  pendampingku.  Masih  terbayang  bagaimana pengkhianatan   Papa.   Bagaimana   Papa   dengan   mudahnya memasukkan  Tante  Indri  ke  rumah  kami  saat  tanah  kubur Mama mungkin belum mengering. Dan aku tak tahu sampai kapan aku siap menerima pria lain dalam hidupku.

Dengan   tangan   bergetar,   kuambil   ponsel   dari   saku seragamku.  Waktu  yang  terpampang  di  layar  menunjukkan bahwa jam keijaku  hampir berakhir. Setelah menarik napas untuk  meredakan  isakan,  kuhubungi  Handayu.  Saat  ini  aku butuh dia.

“Halo,   Nika?”   sapa   Dayu   pada   dering   pertama. Mendengar suara gadis itu membuatku luar biasa lega.

“Yu...” panggilku dengan suara bergetar.

“Heh? Kama, kenapa? ’’Suara Dayu berubah cemas. “Bisa jemput aku di sini?”

Aku tahu itu kekanakan, tapi aku tak sanggup keluar dari tempat ini tanpa bantuan Dayu. Aku butuh gadis pemberani itu. Aku tak sanggup menghadapi tatapan heran orang-orang di sini. Terlebih  aku belum sanggup bertatap muka dengan Ibra lagi.

“Oke, kamu tenang. Apa pun yang sekarang lagi kamu hadapi,  kamu  harus  tenang,  Danika.  Secepatnya  akujemput kamu ke sana, oke!"

Aku    mengangguk    kemudian    menutup    panggilan. Setelahnya  kembali  isakanku  menggema.  Entah  bagaimana tapi aku sendiri tak tahu mengapa tak bisa berhenti menangis. Ketotololan  yang  sama  sekali  tak  bisa  kuhentikan.  Hingga mungkin satu jam kemudian, suara Dayu menyentakku.

“Danika?” panggilnya.

Aku langsung mengangkat kepala, melihat Dayu sudah berada   di   depan   pintu   ruang   ganti.   Gadis   itu   langsung mendekat padaku—yang langsung kupeluk erat. Dan kembali aku menangis di pelukan Dayu.

“Ada  apa?”  tanya  Dayu  mencari  tahu.  Tapi  aku  tak menjawab. Memilih mengeratkan pelukanku padanya. “Hei... ayo cerita...”

Setelah beberapa menit larut dalam tangisan, akhirnya aku bisa sedikit demi sedikit menghentikan tangisan. Perlahan aku  melepas  rangkulan  erat  di  tubuh  Dayu.  kubersihkan wajahku yang mungkin sudah tak karuan dengan tangan.

“Mau cerita sekarang?” Dayu memberikan tisu yang ia ambil dari dalam tasnya.

Kuambil tisu yang disodorkan Dayu, namun menggeleng. “Jangan di sini.”

Aku merapikan diri dan barang-barang di dalam loker, kemudian bersama kami keluar dari ruang ganti. Saat kami melewati ruang jamuan, beberapa pengunjung dan rekan keija menatap  ke arahku dan Dayu. Tapi kami berdua tak ambil pusing.  Hingga  tiba-tiba  saja  Ibra  sudah  berada  di hadapan kami.  Spontan,  aku  mundur  selangkah.  Tanganku  mengerat pada   tas   yang   kugunakan   dengan   tubuh   yang   seketika membeku.  Kularikan  pandanganku  saat  tahu  Ibra  menatap intens ke arahku.

“Kamu mau pulang?” Ibra bertanya yang tak kuacuhkan. Aku memilih meraih lengan Dayu dan memegangnya erat.

“Jam  kerja  Danika  sudah  kelar,  kan?”  Dayu  yang akhirnya    bicara.    Bisa    kulihat    dari    sudut    mata,    Ibra mengangguk. “Kalau gitu kami permisi.”

Dayu menarikku untuk segera meninggalkan Sushi Me. Namun saat kami melewati Ibra, pria itu mengatakan hal yang kembali membuatku terperangah.

“Saya  serins,  Danika.  Pikirkan  permintaan  saya  tadi,” neap  Ibra  meski  tak  begitu  kuat.  Tapi  jelas  Dayu  bisa mendengarnya.

Aku tak memedulikannya. Kini malah aku yang menarik tangan   Dayu.   Mempercepat   langkah   kami   untuk   segera menjauh dari Sushi Me. Mungkin Dayu bingung, tapi gadis itu memilih    menurut    saja    padaku.    Bahkan    hingga    kami menemukan taksi yang akan membawa pulang ke rumah, aku dan Dayu tetap memilih untuk tak buka suara. Belum saatnya.


Kembali Ke Realita

Ada sedikit rasa lega di hatiku setelah bercerita pada Dayu apa yang  kualami  kemarin.  Dayu  memang  adalah  sahabat  yang terbaik. Gadis itu tak menghakimiku atau mengatai aku gila. Di mana lagi bisa ditemukan perempuan yang diajak menikah 

justru menangis ketakutan.

Aku tahu reaksiku sangat konyol. Aku sendiri juga tak menyangka  mengapa  justru  menangis.  Bukannya  menolak mentah-mentah  apa  yang  diinginkan  Ibra.  Hany  a  saja  jika kupikirkan, wajar jika aku menangis. Itu adalah reaksi takutku karena  permintaan  Ibra.  Dengan  apa  yang  teijadi  dalam keluargaku,   tak   akan   mudah   bagiku   menerima   pria   itu semudah itu. Terlebih dengan yang namanya pernikahan.

“Yakin mau masuk keija hari ini?” tanya Dayu sebelum berangkat ke kantor.

Pagi ini gadis itu berangkat ke kantornya dari rumahku karena   semalam   harus   menemani   dan   menenangkanku. Setelah semalam saling bercerita, rasanya lega dan aku yakin bisa  menghadapi  hari  ini.  Meski  tak  seratus  persen  aku mampu  berhadapan  dengan  Ibra.  Tapi  aku  tak  akan  juga menghindar.

“Yakin. Aku nggak mungkin libur, kan, Yu.”

“Siap berhadapan dengan Ibra?” tanya Dayu.

Kugigit bibirku. Pertanyaan yang aku tak akan mungkin bisa  hindarkan  dari  Dayu.  Mengingat  betapa  Dayu  tahu bagaimana aku dan Ibra selama ini. Selalu seperti kucing dan tikus yang bersembunyi.

“Aku harus siap, Yu. Enggak mungkin selamanya aku bisa menghindari Ibra. Kecuali aku keluar dari pekeijaan.”

Dayu   menatap   dalam   padaku.   Gadis   itu   kemudian tersenyum sembari menepuk pelan pundakku. “Aku percaya kamu bisa. Jangan lari dan menghindar terus. Ibra itu bukan orang jahat, kok. Kecuali kalau dia macam-macam, kamu bisa timpuk dia pakai kukusan dimsum.”

Aku  tertawa  mendengar  perkataan  Dayu.  Sahabatku yang manis namun kadang suka bersikap ekstrim ini memang selalu   mampu   membuatku   merasa   nyaman.   Tapi,   bukan berarti aku akan memukul Ibra dengan kukusan dimsum.

“Aku berangkat, ya.”

“Hati-hati, Yu.”

Selepas Dayu pergi, giliranku yang bersiap-siap. Hari ini aku mendapatkan jadwal bekeija pagi. Itu artinya aku harus tiba di Sushi Me sebelum pukul sembilan pagi. Aku sudah memutuskan tak akan menghindar. Karena itu, aku tak akan berlari  dari  Ibra.  Cukup  mengabaikan  pria  itu  agar  ia  tahu bahwa aku tak peduli dengan lamarannya.

Namun    sekali    lagi,    takdir    tak    akan    ada    yang menduganya. Belum lagi aku berhadapan dengan Ibra, mimpi buruk kembali menyapaku. Siapa lagi jika bukan Tante Indri. Wanita  ular  itu  datang  menemuiku  tepat  di  depan  pintu masuk Sushi Me.

“Bisa kita bicara?” Tante Indri berbicara dengan nada dingin.

Harusnya   aku   yang   bersikap   memusuhinya.   Meski memang     dalam     hati     aku     memang     memusuhi     dan mengutuknya  habis-habisan.  Tapi  mengapa  justru  dia  yang bersikap dingin padaku? Dan lagi, untuk apa dia ingin bicara denganku.

“Maaf, tapi saya tidak punya waktu untuk bicara dengan orang seperti Anda!” jawabku ketus.

“Ini perihal Papa kamu.”

Mendengar   kata   Papa   disebut,   mau   tak   mau   aku berpaling  padanya.  Wajah  wanita  itu  mengeras.  Ada  apa dengan Papa?

“Di mana?” tanyaku akhirnya.

Tante  Indri  beijalan  mendahului  hingga  aku  terpaksa mengikuti  langkahnya.  la  membawaku  ke  gerai  kopi  yang berada tak jauh dari Sushi Me. Setelah memesan dua gelas kopi  untuk  kami  meski  aku  tak  meminta.  Akhirnya  kami duduk berhadapan.

“Apa  yang  man  Tante  bicarakan?”  tanyaku  tak  ingin berbasa-basi.

“Papa kamu sakit.”

Kalimat   singkat   Tante   Indri   jelas   mengejutkanku. Selama ini aku tahu Papa adalah pribadi yang kuat. Meski pekeija keras, tapi Papajarang sekali jatuh sakit hingga hams dirawat. Paling hanya penyakit ringan seperti sakit kepala.

“Sakit apa?” tanyaku dengan nada sebiasa mungkin. Sengaja  aku  tak  menunjukkan  kekhawatiranku.  Meski 

dalam  hati  jelas  merasa  cemas  akan  kondisi  Papa. Bagaimanapun beliau adalah Ayahku. Walau hubungan kami tak baik, tapi Papa tetaplah orang tuaku. Pria yang darahnya 

juga mengalir di tubuhku.

“Ginjalnya bermasalah. Saat ini Papamu sedang dirawat di rumah sakit.”

“Ginjal? Gimana bisa? Selama ini bukannya asupan Papa teijaga? Memang apa saja yang Tante lakukan sebagai istri Papa?” cecarku tak habis pikir.

“Papa  kamu  belakangan  ini  makannya  nggak  teratur. Selain itu menurut dokter ia juga sangat kurang mengonsumsi air putih.”

“Lain  apa  tugas  Tante?  Kenapa  nggak  ingatkan  Papa untuk jaga kesehatannya?” emosiku mulai terpancing.

Selama    Mama    masih    ada,    tak    sekalipun    beliau mengabaikan  kesehatanku  dan  Papa.  Mama  selalu  bemsaha mengontrol  asupan  yang  kami  terima.  Karena  itu,  aku  dan Papa  sangat  jarang  sakit.  Tapi  kini,  mendengar  apa  yang teijadi  pada  Papa  membuatku  merasa  marah.  Tante  Indri memang   istri   yang   tak   layak.   Wanita   itu   pasti   hanya bersenang-senang dengan uang Papa. Karena itu, ia pasti tak mengurus Papa dengan baik hingga beliau jadi begini.

“Lain apa yang Tante mau dari saya?”

“Papamu ingin ketemu kamu.”

“Huh, saat sakit begini Papa baru ingat aku,” gumamku dengan nada mencela.

Jujur saja meski cemas pada Papa, tapi aku tetap belum bisa  memaafkan  sepenuhnya  atas  apa  yang  Papa  lakukan padaku.   Saat   aku   butuh   dirinya,   Papa   malah   berdiri berseberangan denganku. Dan saat beliau sedang sakit seperti ini,  barn  mengingat  aku  sebagai  anak.  Aku  tak  ingin mendendam,  tapi  Iuka  hatiku  pun  masih  berdarah.  Masih belum sembuh sepenuhnya.

“Saya sibuk. Tante dan Haninda bisa kan mengurus Papa dengan baik? Jangan hanya menikmati uangnya saja.”

“Kamu  keterlaluan,  ya,  Danika!  Dia  itu  Papa  kamu!” Tante Indri ikut berdiri saat aku akan beranjak pergi.

“Memang  kenapa?  Apa  Papa  butuh  sesuatu  dari  saya makanya  kalian  bersusah  payah  menemui?  Bukankah  uang Papa   masih   ada?   Lakukan   pengobatan   apa   pun   untuk kesembuhan Papa. Kalau perlu pergi berobat ke luar negeri sana.  Siapa  tahu  itu  juga  bisa  jadi  ajang  jalan-jalan  bagi Tante.”

“Danika!”

Aku   tak   peduli   dengan   teriakan   Tante   Indri   yang memekakkan.  Pun  dengan  tatapan  orang-orang  yang ada  di gerai  kopi  tersebut.  Saat  ini  aku  hanya  ingin  menjauh  dari mereka. Jangan dipikir hanya karena Papa sakit, aku langsung akan luluh dan menemui beliau. Aku tak peduli jika mereka menyebutku anak durhaka. Aku belum ingin bertemu Papa. Belum bisa berlapang hati menerimanya.

Pukul tujuh malam, aku baru bersiap untuk kembali ke rumah. Harusnya  sejak  pukul  lima  sore  tadi  jam  keijaku  berakhir. Namun  karena  menggantikan  jam  keija  salah  satu  pegawai yang  izin,  maka  jam  keijaku  bertambah  tiga  jam.Setelah berganti pakaian, aku meninggalkan ruang ganti. Tak ada Ibra yang menemuiku beberapa hari belakangan ini. Bahkan pria itu jarang terlihat di kantor. Anwar sendiri sebagai Manajer tak  banyak  bicara  tentang  Ibra.  Membuatku  bisa  bernapas lega.  Tapi  anehnya,  aku  juga  merasakan  sedikit  perasaan kehilangan.

“Bodoh,” gumamku sembari memukul pelan kepalaku. “Siapa yang bodoh?”

Aku   terperanjat   karena   Ibra   muncul   tiba-tiba   di hadapanku. Pria itu menyunggingkan senyum ramahnya seperti  biasa.  Entah  mengapa  melihat  senyum  Ibra  kali  ini jantungku  berdetak  kencang.  Jika  biasanya  aku  bisa 

mengendalikan diri, maka tidak kali ini. Efek senyuman Ibra tak seperti biasanya.

“Kamu sudah man pulang?” tanya Ibra lagi.

Jika  biasanya  aku  tak  akan  menghiraukan  apa  pun ucapan  Ibra,  tapi  hari  ini  aku  malah  mengangguk.  Seperti bukan diriku saja.

“Ikut saya sebentar, ya.”

“Mau ke mana?”

“Ketemu orang tua saya.”

Mataku melebar. “Apa?”

“Saya sudah katakan ingin menikah dengan seseorang. Masih  rencana.  Tapi  kedua  orang  tua  saya  ingin  bertemu dengan kamu.”

Ibra  gila!  Bagaimana  mungkin  dia  sudah  mengatakan pada orang tuanya. Sedang aku saja belum bersedia menikah dengannya.  Kenapa  aku  bisa  berhadapan  dengan  pria  keras kepala dan tak terduga seperti dia.

“Tapi saya sama sekali nggak memberikan jawaban apa pun. Kenapa Pak Ibra bisa seenaknya bicara seperti itu sama orang tua Bapak?”

“Saya bisa menunggu jawaban kamu. Tapi kali ini, mau kan ketemu dulu dengan keluarga saya? Sekadar berkenalan.”

“Tapi, saya kan...”

Aku tak bisa menyelesaikan penolakanku karena tatapan memohon Ibra. Sepertinya hari ini aku bukan diriku. Atau Ibra menggunakan  sihir  hingga  aku  luluh  dan  tak  menolak  kala Ibra membawaku ke kediaman orang tuanya.

“Ini rumah warisan Kakek. Yang tinggal di sini ada dua keluarga.  Orang  tua  saya  dan  Tante  yang  merupakan  adik Papa,” jelas Ibra sebelum kami turun.

“Hah? Jadi nggak cuma orang tua Pak Ibra?” tanyaku gugup.

Ibra mengangguk. “Orang tua saya. Juga Tante, Om, dan dua anak perempuannya.”

“Pak Ibra sendiri nggak tinggal di sini?”

“Saya tinggal di rumah sendiri. Tapi tidak jauh dari sini, kok,” jelas Ibra.

Pria itu kemudian turun lebih dulu. Ragu-ragu aku turun dari mobil dan melangkah menghampirinya. Mungkin ia tahu aku  gugup,  karena  itu  Ibra  tiba-tiba  menggenggam  lembut tanganku. Sempat membuatku tersentak, tapi tak bisa melepas karena Ibra menahannya.

“Jangan  khawatir,  orang  tua  saya  pasti  senang  sama kamu.   Lagi   pula   ada   saya   kalau   kamu   merasa   tidak nyaman.”Usai  mengatakan hal itu, Ibra mengajakku masuk. Seorang  perempuan  yang  usianya  mungkin  berkisar  tiga puluhan   tahun   membuka   pintu   menyambut   kami.   Dari sapaann ramahnya pada Ibra, aku yakin dia adalah asisten di rumah ini.

“Yang lain di mana, Bi?” tanya Ibra pada wanita tersebut setelah mengucap salam.

“Sudah menunggu di ruang makan, Mas.”

Ibra mengucapkan terima kasih, lalu menarikku menuju ruang  makan.  Di  sana  sudah  ada  enam  orang  duduk  di masing-masing kursi.

“Assalamualaikum, semua.”

Enam  pasang  mata  kini  memandang  ke  arah  kami. Membuatku makin bertambah gusar. Terlebih tatapan mereka semua begitu intens. Seolah memindai seluruh tubuhku.

“Waalaikumsalam.   Ayo,   duduk   dulu.   Kita   makan malam.”Seorang    wanita    berujar    ramah.    Dari    tampilan wajahnya  bisa  kutebak  bahwa  beliau  adalah  Ibunda  Ibra. Melihat kemiripan di hidung dan mata mereka yang teduh. “Ayo,  duduk.  Nanti  saja  berkenalannya.  Kalian  juga  belum makan malam, kan?”

Mau   tak   mau   aku   tersenyum   canggung   sembari mengikuti langkah Ibra. Pria itu menarikkan sebuah kursi dan mempersilakan    aku    untuk   duduk.    Jujur    saja    hal    itu membuatku makin canggung. Terlebih semua mata kembali menatap  pada  kami.  Mengucap  terima  kasih  dengan  nada pelan,  aku  kemudian  duduk  di  kursi  yang  sudah  diberikan Ibra.

Makan  malam  berlangsung  cukup  tenang.  Meski  ada beberapa  perbincangan  yang  dilakukan  Ibra  dan  anggota keluarganya.  Sebagai  orang  asing  yang  barn  pertama  kali bertemu dengan mereka, aku berusaha sebaik mungkin untuk tak   menarik    perhatian.   Sampai   akhirnya   kami   semua berkumpul  di  ruang  keluarga.  Ibra  menarikku  untuk  duduk disampingnya.   Sesuatu   yang   tak   akan   pernah   mungkin kulakukan jika bukan karena kini berada di depan keluarga Ibra. Pria itu kemudian memperkenalkanku pada kedua orang tuanya,  Om  dan  Tantenya,  juga  Bintang  dan  Bulan  yang merupakan sepupunya.

Sedang  aku  sendiri  memperkenalkan  diriku  seadanya. Tanpa  mengatakan  bahwa  saat  ini  hubunganku  dan  Papa sedang dalam keadaan yang tak baik. Mereka tak perlu tahu itu karena aku sendiri tak yakin bahwa aku dan Ibra benar- benar akan berakhir bersama.

“Ibra bilang kalau dia sudah melamar kamu, itu benar?” tanya Mama Ibra setelah perkenalan singkat kami.

Aku melirik sekilas pada Ibra. Pria itu hanya memasang wajah   tenangnya.   Membuatku   bingung   apa   yang   harus kukatakan pada keluarga Ibra.

“Mungkin Danika terlalu terkejut kalau Mama tiba-tiba tanyakan itu.” Papa Ibra mencoba mencairkan suasana.

“Mama  setuju  saja  dengan  pilihan  Ibra.  Selama  Ibra bahagia  dan  siapa  pun  yang  menjadi  istri  Ibra  nanti  bisa membahagiakannya. Mama pasti setuju.”

Wajah  bahagia  Mama  Ibra  tak  mungkin  Input  dari pandanganku  kala  bicara  perihal  putranya.  Ibra  pria  yang sangat  beruntung.  Kedua  orang  tuanya  begitu  memberikan kebebasan untuknya menentukan pilihan. Hal itu juga berlaku pada kakak perempuannya yang kini sudah berkeluarga.

Selama berbincang aku lebih banyak menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan orang tua Ibra. Namun ada satu hal yang  membuatku  tak  nyaman,  pandangan  Tante  dan  kedua sepupu   Ibra   membuatku   merasa   mereka   tak   menyukai keberadaanku.     Terlebih     saat     Bintang     bicara     perihal perempuan   bernama   Amanda.   Dari   apa   yang   Bintang sampaikan,  aku  bisa menangkap  bahwa sahabatnya tersebut 

memiliki perasaan terhadap Ibra. Tapi Ibra hanya menjawab sekenanya saat Bintang berkata bahwa ia dan Amanda akan mengunjungi Ibra di Sushi Me.

Untuk   Tante   Mala,   Tantenya   Ibra   pun   tak   lepas memandangku dengan tatapan yang kurang ramah. Mungkin beliau   tak   setuju   dengan   pilihan   Ibra.   Mungkin   lebih mendukung Ibra bersama gadis bernama Amanda tersebut.

“Jadi, Mas Ibra bakal ada di Sushi Me besok, kan? Aku sama  Manda  mau  makan  siang  di  sana.”  Bintang  kembali berujar.

“Mas nggak bisa pastikan ada di sana atau tidak. Tapi kalau kamu dan Manda mau makan siang di sana, ya, silakan.”

“Yah, padahal kan kita mau minta diskon,” ucap Bintang dengan nada bercanda. Meski aku yakin ada maksud lain dari ucapannya.

“Kamu bisa temui Danika nanti, kalau Mas nggak ada di sana.”

Tatapan  Bintang  kini  beralih  padaku.  Wajah  gadis  itu kini menunjukkan ekspresi seakan mencemoohku. Aku tahu mungkin  baginya  aku  bukan  apa-apa.  Hanya  pelayan  di restoran  milik  sepupunya  yang  kebetulan  bisa  disukai  oleh Ibra.

“Lihat nanti deh. Aku balik ke kamar dulu, ya. Ada tugas kantor yang harus dikeijakan.”

“Bulan   juga,   ada   PR   dari   sekolah   yang   belum dikerjakan.”

Bintang dan adiknya beranjak pergi meninggalkan ruang keluarga. Menyisakan aku dan Ibra bersama kedua orang tua.

“Kalau boleh Tante tahu, orang tua kamu ... pekeijaanya apa?” Kali ini Tante Mala yang bertanya.

Padahal  aku  sangat  tak  ingin  menjawab  pertanyaan seperti ini. Tapi bagaimanapun aku tak mungkin diam saja. Tante Mala mungkin akan menganggapku tak sopan jika aku enggan menjawab pertanyaannya.

“Papa mengelola perusahaan keluarga, Tante.”

Wanita   itu   diam   sembari   menganggukkan   kepala, kemudian bertanya kembali, “Lain kenapa kamu bisa bekeija sebagai pelayan di restorannya Ibra?”

Inilah   yang   paling   aku   benci   dari   yang   namanya pertemuan keluarga. Selalu ada mulut-mulut usil yang ingin tahu perihal kehidupan orang lain. Sebelum menjawab, kuhela napas sepelan mungkin. Semoga dengan jawabanku kali ini membuat   Ibra   dan   keluarganya   berpikir   ulang   tentang hubunganku dengannya.

“Hubungan  saya  dan  Papa  tidak  begitu  baik  setelah Mama meninggal. Papa menikah lagi dan saya memilih keluar dari rumah untuk bisa hidup mandiri.”

“Kamu diusir dari rumah?” pekik Tante Mala membuat Ibra dan kedua orang tuanya menatapku penuh penyesalan.

“Bukan. Tapi saya yang memilih keluar dari rumah. Saya dan  istri  Papa  nggak  akur.  Karena  itu,  daripada  membuat kondisi rumah makin tidak nyaman, saya memilih keluar.”

Orang  tua  Ibra  tampak  tersenyum  dengan  jawabanku. Tapi tidak dengan Tante Mala. Wajahnya makin menyiratkan ketidaksukaan. la pasti berpikir aku bukan perempuan yang pantas untuk menjadi istri Ibra.

Saat  waktu  menunjukkan  pukul  sembilan  malam,  aku dan  Ibra  berpamitan.  Selama  perjalanan  menuju  rumahku, kami  sama-sama  memilih  berdiam  diri.  Hingga  saat  mobil Ibra  sudah  berhenti  di  depan  rumahku,  pria  itu  menahan pergelanganku yang akan membuka pintu.

“Mama dan Papa setuju apa pun pilihan saya. Karena itu, kamu  mau  mempertimbangkannya,  kan?”  tanya  Ibra  sambil menatap intens padaku.

Sejujurnya sambutan orang tua Ibra begitu baik padaku. Tapi  pandangan  Tante  Mala  dan  anak-anaknya  membuatku berpikir tak seharusnya aku terlena dengan semua itu. Lagi pula memangnya aku akan menikah dengan Ibra?

“Selamat malam, Pak Ibra.”

Kulepaskan   cekalan   tangan   Ibra   di   pergelanganku, kemudian turun dari mobilnya. Tanpa menoleh ke belakang, aku langsung bergegas masuk ke rumah. Kukatakan pada diri sendiri cukup malam ini aku terlena. Dongeng akan segera berakhir. Dan esok aku harus kembali ke realita.


Mulai Goyah

Aku tahu Ibra tak akan penah menyerah. Aku sangat tahu itu. Karena itulah yang terjadi saat ini. Ibra sudah ada di depan rumahku.  Duduk  di  teras  yang  hanya  diisi  dengan  kursi berbahan plastik. Meski aku tak menyambutnya dengan baik, tetap saja pria itu tak mundur selangkahpun.

Batu yang keraspun akan luruh jika ditetesi air sedikit demi sedikit. Batu itu akan berubah rapuh. Begitu juga hati manusia yang tak terbuat dari batu. Jelas akan menunjukkan keluluhannya jika diberikan ketulusan dan kegigihan.

Itu  juga  yang  teijadi  padaku.  Sekeras  apa  pun  aku menolak, perasaan bernama cinta yang dianugerahkan Tuhan, pelan-pelan    masuk    ke    hatiku.    Awalnya    aku    ingin menyangkal,mungkin  hanya  sekadar  simpati  akan  kegigihan Ibra,  tapi  rasa  simpati  saja  tak  cukup  menggambarkan  apa yang   aku   rasakan   saat   ini.   Kehadiran   Ibra   pelan-pelan mencairkan kebekuan dalam hatiku. Tak perlu menjadi pintar untuk  bisa  tahu  bahwa  apa  yang  kurasakan  pada  Ibra  ini adalah sebentuk cinta. Saat aku mulai mengizinkan pria itu perlahan     mendekat,     tak     lagi     bersikukuh     menolak keberadaannya,  terlebih  saat  sosok  itu  kerap  kali  muncul dalam kepalaku. Kapan pun dan di manapun.

“Ini kan hari libur saya?” keluhku.

“Hari ini saya mau ajak kamu refreshing, ” jawab Ibra santai.

“Ke mana?”

“Kamu puny a tempat yang ingin dikunjungi?”

Tiba-tiba aku teringat pada Mama. Sudah berapa lama sejak terakhir kali aku mengunjungi beliau. Maka kuputuskan untuk mengunjungi makam Mama—Ibra dengan senang hati menyambut  usulku.  Selama  peijalanan  aku  memilih  diam. Meski  beberapa  kali  Ibra  memancingku  dengan  pertanyaan yang  kadang  kujawab.  Selebihnya  kudiamkan.  Tapi  aku semakin saint pada pria itu karena tak sekalipun menunjukkan wajah bosan akan sikapku terhadapnya.

“Assalamualaikum, Ma,” sapaku saat sudah beijongkok di samping makam Mama.

Ibra juga mengambil posisi yang sama. Beijongkok di sisi lain makam. Pria itu juga tak sungkan untuk membersihkan dedaunan  kering  yang  mengotori  makam.  Juga  mencabuti rumput  liar  yang  tumbuh  satu-satu.  Setelah  meletakkkan sebuket bunga yang tadi sempat kami beli di jalan, aku mulai berdoa.  Hari  ini  aku  tak  ingin  bercerita  dengan  kata  pada Mama.  Adanya  Ibra  membuatku  enggan  untuk  membuka suara. Berkeluh kesah seperti biasa. Bagaimana mungkin aku bercerita jika objek yang ingin kuceritakan pada Mama ada bersamaku.

“Assalamualaikum, Tante. Perkenalkan, saya Ibra. Laki- laki yang ingin menjaga anak perempuan Tante dunia-akhirat. Tapi,   sayangnya   sampai   saat   ini   dia   belum   membuka kesempatan  bagi  saya  untuk  menjaganya.  Padahal  sudah berulang kali saya utarakan niat untuk menikahi Danika.”

Mataku terbelalak mendengar Ibra bicara. Tanpa sadar aku gemas dan memukul lengannya karena sudah berbicara seenaknya pada Mama. Ibra sendiri tertawa ringan kala aku melakukan  itu.  Sesuatu  yang  jarang  dilakukan  dan  jarang ditunjukkannya pada orang lain.

“Ngomong apa, sih?” kesalku. Tak menyangka Ibra bisa begitu berbeda dari dia yang biasanya kukenal. Atau memang aku tak pernah benar-benar mengenalnya.

“Ngomong kenyataan. Kalau saya memang serins ingin menikahi kamu.”

Kutatap   Ibra   lekat.   Selama   ini   aku   terlalu   sering mendengar ajakan serins pria itu. Tapi aku tak pernah benar- benar tahu apa yang mendasari Ibra ingin menikahiku. Jika hanya rasa suka, aku juga tahu. Tapi... intinya aku ingin tahu. Mengapa Ibra bisa begitu yakin padaku.

“Kenapa Pak Ibra mau menikahi saya? Atau, apa yang bikin Bapak yakin untuk nikah sama saya?” tanyaku. Nadaku kali ini sangat serius.

“Saya cinta sama kamu, Danika. Kamu pasti tahu itu.” “Cinta saja nggak cukup sebagai alasan untuk menikah.” Ibra   tak   menjawab.   Matanya   tampak   menerawang. 

Mungkin  memikirkan  jawaban  apa  yang  akan  ia  katakan padaku.  Selama  jeda  itu,  satu  pemikiran  masuk  ke  dalam kepalaku. Hanya cinta, dan Ibra terlihat kesulitan menjawab. Hanya alasan itulah yang bisa diterima akal sehatku.

“Karena  kasihan,  kan?”  cetusku  tanpa  berpikir.  Ibra tampak  terperanjat.  Pria  itu  belum  menjawab,  membuatku mendesah keras. Aku langsung berdiri, Ibra juga ikut berdiri. Kini kami saling berhadapan. “Pak Ibra kasihan sama saya. Sejak  awal,  paling  tidak  Bapak  tahu  apa  yang  saya  alami. Karena  itu,  dorongan  rasa  kasihan  atas  hidup  saya  yang menyedihkan   yang   membuat   Pak   Ibra   berinisiatif   untuk menikahi saya, kan? Kalau cuma itu, sungguh, Pak Ibra nggak perlu berusaha sampai sejauh itu. Saya sudah cukup berterima kasih karena Pak Ibra memberikan saya kesempatan bekeija di  Sushi  Me.  Tapi  nggak  perlu  sampai  ingin  menanggung beban hidup saya. Saya nggak butuh.”

Aku    bergegas    pergi.    Hanya    mengucapkan    salam perpisahan  pada  Mama  dalam  hati.  Emosiku  tersulut  kala mengetahui  kebenaran  kalau  keinginan  Ibra  menikahiku  tak lebih dari rasa kasihan. Aku tak butuh dikasihani.Tapi seperti biasa, Ibra tak melepasku dengan mudah. Pria itu menyusul langkahku.  Menghentikanku  dengan  mencekal  pergelangan tanganku.

“Kita harus bicara dengan kepala dingin, Danika.” “Enggak  perlu.  Bisa  tolong  Pak  Ibra  lepaskan  tangan 

saya?”   Aku   berusaha   menarik   lepas   cekalan   Ibra   dari pergelanganku.

“Ayo!”

Ibra menarik paksa dan membawaku ke mobilnya. Meski aku   berusaha  berontak,   tapi   tetap   saja  aku  tak  mampu mengimbangi  kekuatannya.  Pria  itu  bahkan  memasangkan seatbelt padaku, membuatku akhirnya pasrah dan mengikuti maunya Ibra. Sampai di mana kami bisa bertahan.

Yang  tak  kuduga  adalah  Ibra  membawaku  ke  sebuah rumah. Mungkin milik pria itu karena begitu mobil berhenti di car  port,  Ibra  langsung  turun  dan  membukakan  pintu untukku.  Namun,  aku  melakukan  perlawanan  dengan  tetap bertahan  di  dalam  mobil.  Sampai  pria  itu  mengembuskan napas  lelah.  Tiba-tiba  saja  Ibra  sudah  beijongkok  di  pintu mobil  yang  terbuka,  membuatku  sedikit  beijengit  tapi  tetap bertahan untuk tak menatapnya.

“Danika, turun, ya. Kita bicara di dalam dan selesaikan baik-baik,” bujuk Ibra dengan nada lembutnya.

“Antarkan saya pulang. Kalau Pak Ibra nggak mau, saya bisa pulang sendiri.”

“Setelah kita menjernihkan masalah ini, oke?”

“Baik,” ucapku akhirnya.

Ekspresi lega langsung terpancar di wajah Ibra. Pria itu kemudian  menyingkir  untuk  memberi  jalan  padaku.  Meski kaki  serasa  berat, tapi akhirnya aku keluar juga dari mobil Ibra.   Kami   beijalan   bersisian.   Tapi   langkahku   terhenti seketika kala melihat benda yang tak asing bagiku. Benda yang merupakan  kenangan  Mama  untukku.  Benda  yang  menjadi awal   pertemuanku   dan   Ibra.   Tanpa   dikomando,   kakiku melangkah pada benda yang hampir dua tahun tak kutemui.

Mataku rasanya sudah memanas saat menyentuh badan mobil  yang  merupakan  hadiah  dari  Mama.  Hadiah  yang dengan terpaksa kuserahkan pada Ibra demi menutupi ganti rugi yang kuakibatkan. Air mata haru tak bisa kubendung lagi. Sebelah   telapak   tanganku   menutup   mulutku   yang   mulai terisak.

“Ini...?” tanyaku kala berpaling pada Ibra yang berdiri dengan kedua tangan tersembunyi dalam sakunya.

“Hm....”

Kakiku tak sanggup lagi menopang berat tubuh. Seketika aku  meluruh  di  lantai.  Dengan  kedua  lutut  yang  saling tertekuk,     kusembunyikan     wajahku     di     sana.     Seluruh pertahananku rasanya runtuh. Tak ada lagi yang tersisa. Saat ini aku benar-benar tubuh tanpa cangkang semu yang seolah terlihat kuat di luar tapi lemah di dalam.

Aku  masih  duduk  sembari  menghilangkan  senggukanku. Setelah aksi tangisku tadi, Ibra akhirnya membantuku berdiri. Pria itu membawaku untuk duduk di sofa ruang tamunya. Tak ada siapa pun di rumah ini. Mungkin Ibra memang tinggal seorang diri tanpa asisten rumah tangga. Namun begitu, aku tak  khawatir.  Sejauh  aku  mengenal  Ibra,  pria  itu  memang gigih  mengarah  keras  kepala.  Tapi  ia  tak  pernah  sekalipun bersikap  tak  sopan  padaku.  Bahkan  selama  ini  ia  terkesan menjagaku.

Tak  lama  Ibra  datang  membawa  nampan  berisi  dua gelas. Satu berisi air putih dan gelas satunya berisi air jeruk. Aku  tak  tahu  siapa  yang  menginginkan  air  jeruk.  Mungkin untuk dirinya.

“Minum.” Ibra menyodorkan gelas berisi air putih saat duduk di sampingku.

Aku  tak  menolak.  Bahkan  ketika  pria  itu  mengusap lembut  punggungku  pun  aku  tak  menepisnya.  Saat  ini  aku belum  punya  tenaga  untuk  bereaksi  keras.  “Terima  kasih,” ucapku lirih, sembari meletakkan gelas yang berisi setengah lagi di atas meja.

Ibra  mengangguk.  “Sudah  siap  untuk  kita  bicara?” tanyanya kemudian.

Meski  masih  ada  sisa  air  mata  di  pelupuk,  tapi  aku mengangguk. “Tapi sebelumnya, say a boleh tanya?” kembali Ibra mengangguk. “Kenapa mobil itu ada di sana?”

“Memang kenapa? Bukannya itu sudah jadi milik saya.” Aku memejam sejenak. Benar. Untuk apa aku bertanya 

lagi perihal mobil itu. Bukankah itu sudah menjadi hak milik Ibra. Tapi tetap saja, hatiku masih mengganjal. Aku ingin tahu kenapa  mobil  itu  tetap  Ibra  pertahankan.  Bukannya  dijual untuk  menutupi  ganti  rugi  mobilnya.  Meski  mungkin kesedihanku  akan  berkali  lipat  jika  tahu  mobil  peninggalan Mama  benar-benar  dijual.  Dan  tak  bisa  lagi  kulihat.  Ada kelegaan  tersendiri  kala  benda  itu  masih  bisa  kujangkau dengan mata—walau tak lagi kumiliki.

"Kenapa mobilnya nggak dijual?" tanyaku memberanikan diri.

Ibra    tak    langsung    menjawab.    Pria    itu    hanya memandangiku sesaat. “Karena mobil itu penting untuk kamu. Terutama untuk saya.”

“Kenapa?”

“Tanpa mobil itu, saya mungkin nggak pernah ketemu kamu, dan ketika kamu menyerahkan mobil itu, meski saya tahu itu berat, saat iu saya tahu mobil itu berarti bagi kamu. Bagi hubungan kita.”

Aku menatap Ibra tak percaya. Memang mobil itu sangat berarti bagiku. Tapi, baginya?“Maksudnya?”

“Saya jatuh cinta pada kamu sejak awal bertemu. Kamu boleh  tidak  percaya,  tapi  bagi  saya,  perasaan  yang  saya rasakan saat itu tidak main-main. Begitu juga ketika akhirnya takdir    mempertemukan    kita    lagi.    Saya    makin    gencar mendekati   kamu   karena   saya   benar-benar   serius   dengan kamu.”

“Bukan karena kasihan?” tanyaku akhirnya.

Ibra  menggeleng.  “Saya  tidak  pernah  merasa  kasihan sama kamu, Danika. Apa yang terjadi sama hidup kamu sudah pasti akan menimbulkan rasa iba bagi orang lain. Tapi lebih dari  itu,  saya  salut  sama  kamu.  Saya  begitu  terkejut  pada perempuan   yang   begitu  muda,  tapi  sudah  begitu  berani mengambil  langkah  besar  untuk  hidupnya.  Kamu  bahkan tidak segan hidup tanpa kemewahan seperti yang biasa kamu dapatkan. Kamu begitu kuat. Membuat saya yakin, bahwa hati saya  nggak  pernah  salah  memilih  perempuan  kuat  seperti kamu untuk menjadi pendamping saya.”

Aku  diam.  mencoba  mengurai  makna  dari  apa  yang disampaikan  Ibra.  Sungguh,  tadinya  kupikir  perasaan  Ibra sesaat hanya karena rasa penasaran pria itu padaku. Tapi saat ia   mengutarakan   lagi,   dan   juga   bukti   nyata   bahwa   ia menyimpan mobilku dengan baik, aku jadi meragukan diriku sendiri.

“Kamu mungkin masih ragu. Itu wajar, mengingat apa yang teijadi antara kamu dan Papamu. Saya tahu tidak akan mudah  bagi  kamu  percaya  begitu  saja  pada  laki-laki  dan hubungan.   Tapi   ...   saya   benar-benar   serius.   Saya   ingin menikahi kamu. Kamu boleh menguji sampai di mana batas keseriusan saya. Jika kamu butuh waktu lebih lagi, silakan. Take your timekarena saya akan tetap di tempat yang sama menunggu kamu.”

Sekali lagi aku dibuat tak bisa berkata. Pria ini memang terlalu serins. Tak suka sesuatu yang bertele-tele. Pun ketika Ibra  mengatakan  menyukaiku,  atau  ketika  ia  mengutarakan keinginannya  untuk  menikahiku,  ia  selalu  berkata  langsung pada intinya.

“Sa-”

“Kamu masih boleh berpikir, Danika. Tapi tidak untuk menolak.”

Aku menatap lurus padanya. “Bapak kasih saya waktu berpikir, tapi tidak untuk menolak?”

“lya. Saya hanya memberi kamu waktu dan ruang untuk berpikir. Tapi saya tidak ingin kamu menolak lamaran saya. Saya  hanya  ingin  kamu  benar-benar  memikirkan  apa  yang saya tawarkan, Danika. Bukan karena saya ingin meringankan beban  hidup  kamu  dengan  bertanggung  jawab  atas  kamu dengan status sebagai suami, tapi lebih dari itu.Seperti yang saya katakan di makam Mamamu tadi. Saya ingin menjaga dan membahagiakan kamu. Sampai akhir hayat.”

Jika  gadis  lain  mungkin  memimpikan  dilamar  secara romantis oleh pasangannya, kurasa aku tak menginginkannya. Karena begini saja, Ibra sudah berhasil membuat jantungku 

jumpalitan. Tak ada bunga, tak ada cincin indah, atau makan malam romantis dengan hadiah dan kartu ucapan yang bisa membawa angan ke langit ketujuh. Ibra hanya perlu duduk berhadapan  denganku.  Mengutarakan  keinginannya  dengan sangat  serins.  Tapi  lebih  dari  itu,  mampu  membuatku  tak berkutik.

Lebih  gilanya  lagi,  tak  ada  sentuhan  atau  genggaman tangan lembut yang pasti mampu meluluhkan hati perempuan manapun.  Ibra  hanya  mengucap  dengan  keseungguhan  dan tatapan   mata   yang   mampu   memerangkapku   dalam   netra beningnya.    Benar-benar    lamaran    yang    jauh    dari    kata sempurna, tapi justru membuat gadis manapun mungkin tak akan  berpikir  dua  kali  untuk  menerima  keseriusan  Ibra. Termasuk aku, yangjuga mulai goyah.


Tak Bisa Menyangkal Lagi

Ibra  memasakkan  makan  siang  untuk  kami,  meski  sudah melewati jam makan siang pada umumnya karena aku dan dia masih  harus  melewati  beberapa  sesi  tanya  jawab,  jadwal makan  siang  kami  terpaksa  tertunda.  Tapi  begitu,  sesi melodrama  kami  belum  berakhir  karena  Ibra  masih  ingin mendengar  keputusanku  setelah  penuturannya  tadi.  la  tak memaksa, tapi ia masih butuh aku menerimanya. Itu saja.

Andai  saja  perutku  tak  berteriak  minta  diisi,  mungkin aku akan segera menjawab permintaan Ibra. Tapi pria itu tak ingin aku kelaparan. Karena itu, Ibra menghentikan sejenak pembicaraan kami dan berinisiatif untuk memasak.

Jika kupikir ia hanya bermodal bisnis membuka restoran Sushi Me, maka aku salah. Ibra ternyata menguasai keahlian yang umumnya dimiliki kaum hawa; memasak. Siapa sangka ternyata  kesukaan  memasaklah  yang  membuat  Ibra  beralih profesi menjadi pebisnis rumah makan. Meski memang basic pendidikannya    adalah    Manajemen    Bisnis,tapi    memasak adalah satu dari sekian kegiatan favorit Ibra, la tak mengambil kursus   memasak   atau  semacamnya,   hanya  bereksperimen sendiri di dapur.

Tak  ada  larangan  dari  kedua  orang  tuanya  bagi  Ibra ketika pria itu sibuk di dapur. Jika biasanya anak lelaki akan diusir mundur dari dapur karena masih terlalu tabu atau tak lazimnya berada di area kekuasaan wanita, tapi tidak dengan orang  tua  Ibra.  Sejak  duduk  di  bangku  SMP,  Ibra  sudah terbiasa dengan dapur dan segalanya.

Aku menatap takjub pada hidangan di meja makan. Ada sayur  asam,  udang  asam  manis,  dan  ayam  adu  terhidang. Rasanya  aku  saja  sebagai  perempuan  belum  tentu  mampu 

menyajikan hidangan sebaik ini. Liurku mungkin menetes jika tak ingat bahwa saat ini aku tengah berhadapan dengan Ibra. Cacing-cacing  di  perut  juga  seakan  sadar  mereka  sudah disuguhi makanan yang menggugah selera.

“Kenapa  belum  dimakan?”  tanya  Ibra  ketika  pria  itu akhirnya bergabung denganku di meja makan.

Aku  terperanjat  menatap  Ibra.  Selaparnya  aku,  mana mungkin  bisa  tak  sopan,memulai  makan  tanpa  si  pemilik rumah.

“Mana boleh saya makan tanpa Pak Ibra.”

Ibra  hanya  tersenyum  samar.  Pria  itu  lantas  mulai mengambil  nasi  juga  lauk  pauknya,  kemudian  memberikan piring yang tadi diisinya untukku, membuatku makin bingung.

“Kenapa?” tanyaku.

“Makan  yang  banyak.  Saya  nggak  suka  lihat  kamu kurusan.”

Harusnya  aku  tersanjung,  namun  alih-alih  aku  malah cemberut.  Apa  dia  meledek  bentuk  tubuhku  yang  memang lebih kurus dari terakhir kali aku mengeceknya?Tapi sudahlah, aku tak ingin bertengkar dengan Ibra hanya karena masalah makan.  Harusnya  aku  bersyukur  pria  ini  begitu  baik  mau memasak  untukku.  Jadi  yang  kulakukan  selanjutnya  adalah berdoa dan menikmati makan siangku.

Tak ada suara di meja makan kecuali denting alat makan yang beradu. Ibra sendiri juga menikmati makanannya. Meski aku memergokinya berkali-kali menatapku. Tapi aku tak ambil pusing hingga makanan di piringku tandas.

Jika tadi Ibra sudah berbaik hati memasak, maka sebagai balasan  agar  tak  dianggap  tak  tahu  diri,  aku  menawarkan untuk   mencuci   piring.   Awalnya   Ibra   menolak,   tapi   aku bersikukuh untuk melakukannya. Akhirnya ia menyerah dan membiarkanku   mencuci  peralatan  makan.  Sedang  dirinya membantu membersihkan meja.

Tak   butuh   waktu   lama,   aku   sudah   menyelesaikan tugasku,  kemudian  menyusul  Ibra  yang  sedang  bersantai  di ruang   televisi.   Sesaat   kakiku   ragu   melangkah,   tapi   tak mungkin aku terus berdiam diri di rumah Ibra. Bagaimanapun kami  masih  belum  memiliki  hubungan  yang  jelas.  Atau kalaupun memiliki hubungan, tak baik bagi perempuan berada berlama-lama  di  rumah  lelaki  jika  bukan  suami  atau kerabatnya.

“Pak Ibra...,” panggilku, berdiri beberapa meter dari sofa yang diduduki Ibra.

Pria itu langsung menegakan kepalanya, menatapku. 

"Ya, Danika?"

“Saya ... sudah bisa pulang, kan?”

Ibra  berdiri,  beqalan  ke  arahku,  membuat  jantungku kembali  kebat-kebit.  Walau  sudah  terlalu  sering  berdekatan dengan  Ibra,  tetap  saja  aku  tak  bisa  mengendalikan  kerja 

jantungku terhadap pria itu.

“Duduk  dulu,  ya.  Kamu  masih  belum  memberi  saya jawaban.”

“Tapi,  kan,  katanya  saya  boleh  berpikir.”  Suaraku  tak seketus biasanya.

“lya,    tapi    kamu    barn    makan.    Biarkan    organ pencernaanmu bekeija dengan baik dulu.”

Ibra  menarik  lenganku,  membawaku  duduk  di  sofa, kemudian   mendudukkan   dirinya   di   sampingku.   Lagi-lagi 

jantungku bereaksi berlebihan. Berusaha bergerak samar, aku perlahan  menjauh  dari  Ibra.  Pria  itu  sadar,  tapi  tak mengatakan  apa  pun.  Hampir  dua  puluh  menit  kami  hanya berdiam. Dengan tatapan yang terpaku pada layar televisi yang menayangkan  entah  apa.  Meski  pandanganku  terpaku  ke layar,  tapi  tidak  dengan  pikiranku.  Bahkan  saat  Ibra memanggil,  aku  tak  sadar.  Hingga  pria  itu  menyentuh lenganku, membuatku terlonjak kaget.

“A... apa?” tanyaku gelagapan.

“Sudah ingin pulang?” tanya Ibra lagi.

“E ... memang sudah boleh pulang?”

Senyum Ibra terukir.“Saya nggak akan tahan kamu. Lagi pula saya juga tahu, kamu khawatir kan dengan kondisi kita yang hanya berdua.” Aku mengangguk. “Jadi, kamu sudah siap pulang?”

Jika tadi aku ingin pulang, entah mengapa sekarang aku seperti enggan. Seperti ada sesuatu yang menahanku untuk segera  pulang.  Bahkan  saat  Ibra  sudah  berdiri,  aku  masih duduk sembari mendongak menatapnya.

“Kenapa?” tanyanya lagi.

“I... jawabannya...?” Entah mengapa justru kata itu yang tercetus  dari  bibirku.  Ingin  kutarik,  tapi  tak  akan  mungkin karena Ibra sudah tersenyum simpul mendengarnya.

“Take your time. Tapi jangan terlalu lama. Atau say a akan langsung paksa kamu.”

Mataku  membelalak  dengan  mulut  setengah  terbuka. Tak percaya Ibra akan mengatakan hal tersebut. Cepat-cepat kuperbaiki ekspresiku jika tak ingin memancing tawa karena sikap bodohku. Aku pun segera berdiri menyusulnya.

Saat  melewati  car  port,  sekali  lagi  kulangkan  kaki menuju  mobil  kenangan  yang  terparkir  di  sana.  Mengelus badan mobil yang terlihat begitu mulus dan terawat. Rasanya tak cukup hanya terima kasih yang bisa kuberikan pada Ibra untuk  mengungkapkan  rasa  legaku  karena  benda  itu  begitu dirawat dengan baik.

“Terima  kasih,”  kataku,  Ibra  tampak  terkejut,  “karena sudah merawat mobilnya. Itu hadiah dari Mama. Satu-satunya pengingat paling nyata akan keberadaan Mama.”

Aku tak tahu mengapa aku harus membeberkan fakta itu pada Ibra. Tapi, kurasa memang harus mengatakannya. Jika Ibra  menganggap  mobil  itu  sama  berarti  baginya,  maka  ia harus tahu arti mobil itu bagiku.

“Kalau kita menikah, kamu bisa memilikinya lagi.” Wajahku  pasti  sudah  memerah  mendengar  kata-kata 

yang  keluar  dari  bibir  Ibra.  Bahkan  aku  bisa  merasakan telingaku memanas. Terlalu banyak ucapan spontan pria itu yang berhasil membuatku hampir kena serangan jantung. Tak ingin memperpanjang,  aku memilih segera masuk ke mobil Ibra.  Pria  itu  tersenyum  sembari  membuka  gerbang rumahnya.


Hubunganku dan Ibra perlahan membaik. Dalam artian mulai membuka  diri  terhadapnya.  Meski  harus  perlahan,  tapi  Ibra sama  sekali  tak  keberatan  untuk  menyamakan langkahnya 


denganku.Walau  aku  dan  Ibra  tak  pernah  mendeklarasikan apa pun, seluruh pegawai Sushi Me seolah tahu bahwa aku dan Ibra tak lagi seperti bermain kucing dan tikus. Mereka melihat aku yang tak lagi berusaha menghindari Ibra tiap kali pria itu mendekat atau bicara denganku. Tapi begitu, aku tetap menjaga  jarak  dengannya  jika  sedang  bekeija.  Tak  ingin dipandang tak profesional dan melalaikan tugas hanya karena Bos besar menyukaiku.

Tapi sebaik apa pun hubungan, akan selalu muncul riak kecil di tengah tenangnya. Seperti yang siang ini teijadi, aku melihat Bintang dan dua orang temannya tiba di Sushi Me. Selama bekeija, aku jarang melihatnya datang. Atau memang dia sering datang tapi karena aku tak mengenalnya, jadi aku berpikir bahwa dia sama seperti pelanggan pada umumnya. Terlebih  tak  pernah  sekalipun  aku  melihat  Ibra  berbincang atau menyambutnya selama bekeija di tempat ini.

Sebagai pegawai tentu saja aku harus bersikap layaknya pramusaji yang ramah dalam melayani pelanggan. Meski kini aku   tahu   Bintang   adalah   adik   sepupu   Ibra,   aku   tetap menyambutnya selayaknya pengunjung lain.

“Ini buku menunya, silakan memesan,” ucapku seramah mungkin.

Bintang sendiri seolah tak mengenalku. la bertindak bak pelanggan  terhormat  yang  menunjukkan  bahwa  dirinya  saat ini adalah raja. Jadi harus diperlakukan selayaknyakarena apa yang ia bayar atas makanannya nanti adalah pemasukan untuk membayar  gajiku.  Gadis  itu  menyebutkan  pesanannya  yang kucatat  dengan  cermat.  Tak  ingin  memberinya  celah  untuk melakukan komplain terhadapku nanti.

“Kalian mau pesan apa, Manda, Prita?”

Telingaku tak salah mendengar saat ia menyebut nama ‘Manda’  pada  salah  seorang  temannya.  Amanda,  sahabat Bintang yang menyukai Ibra, bukan? Kulirik kedua gadis itu, mencoba menebak yang mana gadis bernama Manda tersebut.

“Samain kamu aja deh,” ucap seorang dari kedua gadis tersebut. Gadis yang menurutku sangat cantik. Berkulit putih dengan  wajah  yang  menunjukkan  betapa  ia  begitu  terbiasa dengan perawatan mahal.

“Kamu, Prita?”

Ah,  aku  akhirnya  tahu.  Gadis  cantik  pertama  tadilah yang  bernama  Manda.  Pantas  saja,  gadis  secantik  dia  bisa 

jatuh hati pada Ibra. Jika dibandingkan denganku, maka tak akan bisa disandingkan. Bukan berarti aku ingin rendah diri. Tapi kalau ditilik dari apa pun, jelas gadis bernama Amanda itu begitu tepat jika bersanding dengan Ibra.

Terlalu asyik bercengkerama dengan isi kepala, hingga aku    tak    sadar    Bintang    sudah    mengeraskan    suaranya, membuatku  gelagapan  saat  menjawab.  Gadis  itu  langsung memasang   tampang   masam.   Berdecak   tak   suka   karena sikapku yang tak fokus dalam bekeija.

“Samakan   saja   pesanannya   dengan   yang   pertama,” ucapnya ketus.

Aku  mengangguk  dan  berpamitan  pada  ketiga  nona besar itu untuk memproses pesanan mereka.“Meja 6,” ucapku pada Kartika, kasir yang saat ini bertugas untuk mencatat di komputer sebelum aku memberikan kertas pesanan ke bagian dapur.

“Kenapa?”  tanya  Kartika  ketika  melihatku  menghela napas.

“Hah?”

“Kamu, kenapa lesu begitu?”

“Enggak. Cuma dapat pelanggan galak aja.”

“Meja 6?” Kartika menyerahkan kembali kertas yang tadi kuberikan padanya setelah memasukkannya ke dalam data.

“Biasalah.  Aku  ke  dapur,  ya,”  pamitku  yang  dibalas anggukan Kartika.

Saat  akan  melintas  ke  dapur, kulihat  sosok  Ibra yang sudah bergabung bersama sepupunya  dan kedua gadis tadi. Wajah Manda begitu berbinar kala menatap Ibra,membuatku kembali menghela napas pelan. Segera kusingkirkan perasaan tak nyaman tersebut. Aku harus fokus bekeija jika tak ingin semua menjadi kacau.

Setelah meletakkan kertas pesanan untuk diproses, aku kembali ke ruang jamuan. Melayani pelanggan lain yang barn tiba. Selama itu, aku bisa merasakan Ibra yang terus mencuri pandang  ke  arahku,  tapi  sebisa  mungkin  kuabaikan  lirikan pria  itu.  Hingga  saat  aku  mengantarkan  pesanan  ke  meja Bintang dan sahabatnya, gadis itu seperti sengaja memancing pembicaraan agar Ibra dan sahabatnya yang bernama Manda itu terlihat dekat. Dengan jelas bisa kulihat Bintang melirikku sambil  menyunggingkan  senyum  sinis.  Seolah  menegaskan bahwa ia sama sekali tak setuju jika Ibra memilihku.

Tak ingin termakan oleh omongan Bintang, aku segera menyingkir  setelah  mengantarkan  semua  pesanan  mereka. Waktu istirahatku juga hampir tiba. Jadi setidaknya aku bisa menyingkir  sejenak  untuk  menenangkan  isi  kepalaku  yang panas.

Aku memilih menikmati makan siang di luar Sushi Me. Rumah  makan  Padang  yang  beijarak  beberapa  ratus  meter dari   Sushi   Me   menjadi   pilihanku.   Setelah   mengatakan pesanan pada pramusaji di sana, aku menunggu di salah satu meja kosong yang jauh dari pintu masuk. Yang tak kusangka selanjutnya  adalah  tiba-tiba  Ibra  sudah  duduk  berhadapan denganku. Bahkan aku tak sempat mengedip saat pria itu juga sudah mengatakan pesanannya pada sang pramusaji.

“Kok?” Hanya itu yang bisa keluar dari bibirku.

“Mau menemani kamu makan siang.”

“Tapi... Bintang dan teman-temannya?”

“Memang kenapa dengan mereka?”

Mataku  mengeijap.  Seperti  ada  kata  yang  tertahan  di lidahku, namun akhirnya tak mengatakan apa pun. Memilih bungkam    selagi    menunggu    pesanan    datang.    Setelah menyelesaikan  makan  siang  yang  tanpa  kata,  aku  dan  Ibra kembali ke restoran. Meski kami beijalan bersisian, tapi tetap tak ada satu suarapun yang keluar.

“Saya balik keija dulu,” pamitku yang diangguki Ibra. “Pulang nanti saya antar.”

Belum   sempat   aku   menjawab,   Ibra   sudah   beijalan menuju    ruangannya.    Mataku    hanya    mampu    menatap punggung lebar itu yang perlahan menjauh. Beberapa pasang mata   mungkin   menyaksikan   interaksi   kami.   Hingga   aku mengalihkan  tatapan  karena  merasa  ada  yang  begitu  intens melihatku.

Benar saja. Saat aku berpaling, tatapan tajam datang dari meja enam, Bintang dan kedua sahabatnya masih berada di situ dan menatap tajam padaku. Tatapan yang mungkin bisa membakarku  hidup-hidup  karena  bara  kemarahan  bisa kutangkap dari mata mereka. Terutama Bintang. Tapi aku tak ingin  ambil  pusing.  Kuabaikan  mereka  dan  kembali  ke pekerjaan yang sudah menungguku.


Perlahan Menerima

Sejak siang kurasakan tubuhku tak dalam kondisi baik-baik saja. Namun sekeras mungkin aku bertahan. Pekeijaan yang menyita  waktu  membuatku  hams  menyingkirkan  rasa  sakit. Menguatkan diri demi nama profesionalitas. Tapi, sepertinya tubuhku  tak  bisa  diajak  berkompromi  lagi.  Tepat  saat  aku akan mengakhiri jam kerja hari ini, kurasakan kepalaku mulai pusing.  Perutku  pun  terasa  diaduk.  Dengan  tergesa  aku memasuki kamar mandi yang berada di samping ruang ganti dan memuntahkan isi perutku.

Tubuhku   terasa   lemas   meski   sudah   memuntahkan hampir  semua  isi  perutku  hari  ini.  Tak  sanggup  lagi,  aku terduduk lemas di pinggir wastafel. Hingga Kartika masuk ke kamar mandi dan terkejut melihatku yang tak berdaya.

“Danika, kamu sakit?” tanyanya, cemas.

Aku  hanya  bisa  menganggukkan  kepala.  Tak  sanggup menjawab   pertanyaannya   karena   kepala   yang   kurasakan semakin  pusing.  Entah  apa  yang  terjadi  hingga  tiba-tiba kudengar   suara   derap   langkah   memasuki   kamar   mandi. Kesadaranku  yang  sudah  separuh  hilang  membuatku  tak mampu   bergerak   dan   hanya   pasrah   saja   saat   seseorang membopong  tubuhku.  Hingga  saat  berhasil  membuka  mata, aku sudah berada di ruangan dengan infus yang terpasang di tangan  kiriku.  Saat  kepalaku  menoleh,  hanya  ada  Ibra  di ruangan bersamaku. Mungkin Ibra bisa merasakan bahwa aku yang   sudah   sadar   sepenuhnya,   pria   itu   menoleh   hingga tatapan kami saling mengunci.

“Mau minum?” tawarnya.

Aku  tak  menjawab.  Tapi  seolah  tahu,  Ibra  perlahan mendekat    dan    membantuku    untuk    duduk    tegak,    lalu menyodorkan sebotol air mineral.

“Saya sakit apa?” tanyaku setelah menuntaskan dahaga.

“Gejala  tifus. Selain faktor makanan, sepertinya kamu juga kelelahan,” jelas Ibra. “Mulai sekarang saya akan pantau 

pola makan kamu.”

Dahiku     mengernyit.     Memantau     pola     makanku? Memangnya  Ibra  siapa?  Tepat  saat  akan  buka  suara  untuk membantah, Ibra menyelaku.

“Saya peduli sama kamu, Danika. Saya nggak mau kamu sakit. Jadi turuti saya.”

Bibirku mencebik. Tapi begitu pun Ibra tak ambil pusing. Pria itu malah sibuk bertanya apa yang kubutuhkan. Apa aku lapar atau tidak. Atau posisiku sudah nyaman atau belum. Pria itu    benar-benar    berperan    sebagai    perawat    pribadiku. Membuatku tak bisa menutup mata atas segala perhatian Ibra. Bahkan  ketika  aku  akan  tidur,  Ibra  tak  lupa  membantuku untuk menyamankan posisi. Baru ia ikut berbaring di ranjang tambahan yang ada di ruangan ini.

Ibra  lebih  dulu  terlelap.  Mungkin  dia  lelah  karena mengurusku.    Posisi    ranjang    kami    yang    bersebelahan membuatku  bisa  melihatnya  dengan  jelas.  Pria  itu  tampak nyaman  dalam  tidurnya.  Lama  aku  memperhatikan  Ibra, sampai  akhirnya  menyadari  kalau  pria  ini  ...  berbeda.  Ibra begitu tulus dengan segala perhatiannya padaku. Keyakinanku tiba-tiba menguat bahwa pria ini tak akan sama seperti Papa.

Ibra bukan Papa. Tak ada yang perlu kutakuti jika aku memberikan  kesempatan  pada  Ibra  untuk  masuk  ke  dalam hidupku.  Lelah  berpikir,  akhirnya  aku  pun  ikut  terlelap bersama kantukku.

Saat   pagi   menj   elang,   aku   meminta   Ibra   untuk mengambilkan ponselku. Aku harus mengabarkan pada Dayu tentang      kondisiku.      Sempat      marah      karena      baru memberitahunya sekarang, akhirnya Dayu menghela pasrah. Terlebih saat kuberitahu ada Ibra yang menjagaku.

Dayu   tiba   saat   Ibra   sedang   menyuapkan   sarapan. Ekspresi wajah jail gadis itu jelas membuatku malu setengah mati. Selama ini Dayu tahu jika aku begitu antipati pada Ibra. Tapi, situasi saat ini  jelas membuat  gadis itu pasti berpikir nakal tentang kami.

“Gimana keadaannya?” tanya Dayu.

“Dokter   bilang   sudah   lebih   baik.”   Ibra   menjawab seadanya, kemudian kembali fokus padaku.

Ibra memaksaku untuk menghabiskan sarapan, tapi aku sama sekali tak berminat lagi. Meski aku sudah menolak, Ibra tetap memaksa. Hingga membuatku terpaksa membuka mulut meski dengan wajah cemberut.

“Gimana bisa sakit, sih, Nika?” Dayu kembali bertanya. Gadis itu meletakkkan kantong yang dibawanya.

“Kelelahan.   Mungkin   karena   banyak   pikiran.   Juga kerena pengaruh makanan dan daya tahan tubuh Danika yang menurun.   Itu   yang   dikatakan   dokter.”   Ibra   lagi   yang menjawab.

“Sudah  cukup,”  ucapku  menyela  saat  Ibra  kembali mengarahkan suapan padaku.

Ibra menghela napas. “Sedikit lagi, Ka. Satu suapan lagi,” bujuknya. Aku menggeleng pelan. Bahkan menutup mulutku dengan  telapak  tangan.“Satu  suapan, setelah itu  saya nggak akan paksa kamu lagi.”

“Turutin  deh,  Nika.  Mau  cepat  sembuh  nggak,  sih?” Dayu  ikut  menimpali.  Mungkin  ia  prihatin  pada  Ibra  yang terus berusaha membujukku.

Diserang  dua  orang  sekaligus,  jelas  aku  kalah  suara. Dengan wajah kesal, aku menerima suapan terakhir dari Ibra. Membuat    kedua    penyerangku    tersenyum    karena    sikap patuhku.  Ibra  lantas  membantuku  meminum  obat  yang  tadi diantarkan perawat saat kunjungannya membawakan sarapan.

“Aku balik dulu, deh. Soalnya cuma izin datang telat ke kantor.  Enggak  enak  kalau  kesiangan  banget,”  ucap  Dayu akhirnya memecah suasana.

“Tapi nanti temani aku di sini , ya? Nginap,” pintaku sebelum Dayu pergi.

Gadis  itu  melirik  Ibra  yang  memasang  wajah  tanpa ekspresi. “Bukannya ada Ibra, ya?” godanya.

“Ya, Pak Ibra kan harus urusin yang lain juga, Yu.” Dayu belum menjawab,membuatku terpaksa memaksanya. “Nginap, kan, Yu?”

Akhirnya   Dayu   mengangguk.   Gadis   itu   kemudian berpamitan.   Meninggalkan   aku   dan   Ibra   yang   kembali membisu  berdua  di  dalam  ruangan.  Ibra  memilih  untuk mengantarkan peralatan bekas makanku. Padahal ada petugas yang bisa melakukannya, tapi pria itu berdalih ia ingin bicara khusus pada staf dapur rumah sakit perihal menu makananku selama dirawat.

Aku  hanya  bisa  menghela  napas  kala  Ibra  sudah  tak berada di dalam ruangan. Pria itu, bagaimana bisa dia begitu perhatian.  Padahal  aku  bukan  siapa-siapa  baginya.  Hanya karyawan  di  restorannya.  Status  lamaran  Ibra  yang  belum kujawab, tak bisa dimasukkan ke dalam hitungan bahwa kami memiliki  hubungan.  Saat  masih  berpikir  dengan  segala  isi kepalaku,   pintu   ruanganku   kembali   terbuka.   Ibra   sudah kembali. Pandangan kami saling mengunci.

“Saya tinggal dulu bisa? Ada yang harus saya keijakan di Sushi Me.”

Aku mengernyit. Kenapa Ibra harus meminta izinku? “Sebelum makan siang, saya pastikan sudah di sini lagi.” “Kalau Pak Ibra nggak bisa ke sini, juga nggak apa-apa, 

kok.  Saya  tahu  Bapak  punya  banyak  urusan.  Bukan  hanya harus mengurusi saya. Terima kasih karena sudah menemani saya semalam. Selain itu untuk bi—”

Ibra  menatap  tajam,  membuatku  tak  bisa  melanjutkan ucapan.

“Jangan bicarakan soal biaya. Yang paling penting kamu sembuh dulu,” ucapnya, tegas.

Aku  hanya  bisa  menatap  Ibra  dengan  raut  tak  setuju. Meski    begitu    aku    tak    akan    bisa    menang    dengan kekeraskepalaan  pria  itu.  Ibra  kemudian  merapikan  barang- barangnya   sebelum   pamit.   Yang   tak   kusangka   adalah perlakuan    pria    itu    yang   membuat    jantungku   kembali bergemuruh.   Sebelum   benar-benar   pergi,   Ibra   mencium puncak   kepalaku.   Mengatakan   ia   akan   kembali   secepat mungkin.  Meninggalkan  aku  yang  masih  terpaku  karena perlakuannya.

***

Empat  hari  aku  tertahan  di  rumah  sakit  dan  akhirnya diizinkan pulang. Dayu turut serta mendampingiku. Kebetulan hari  keluar  dari  rumah  sakit  bertepatan  dengan  libur  akhir pekannya  Dayu.  Karena  itu,  aku  juga  memintanya menemaniku. Ibra tetap dengan perhatiannya. Bahkan semua barang  keperluanku  selama  di  rumah  sakit,  pria  itu  yang membenahi,  membuat  Dayu  tak  henti-hentinya  menatap takjub pada Ibra.

“Ada yang lain lagi?” tanyanya padaku.

“Enggak  ada.  Dan  juga,  biaya  administrasi  ...”  Aku kembali bungkam karena decakan tak senang dari Ibra.

“Berapa kali saya katakan. Jangan pikirkan biaya. Cukup kamu kembali sehat.”

Tak  bisa  lagi  membantah,  akhirnya  aku  pasrah  ketika Ibra mengiringiku dan Dayu berjalan keluar dari kamar rawat. Selagi Ibra mengambil mobilnya di parkiran, ia meminta kami menunggu  di  lobi  rumah  sakit.  Kemudian  mengantarkanku dan Dayu kembali ke rumah. Pria itu lantas berpamitan pada kami setelah berjanji besok akan menjengukku lagi.

Dayu   menyibukkan   diri   di   dapur   sementara   aku meletakkan  barang-barangku  di  kamar.  Aku  meminta  Dayu untuk memasakkan semur untukku. Entah mengapa aku rindu dengan makanan itu.

“Ayo, makan!” Dayu berteriak memanggilku.

Aku   keluar   dengan   wajah   semringah.   Tak   sabar merasakan masakan Dayu. Tanpa banyak bicara, aku mulai menyendokkan nasi dan lauk yang telah dimasakkan Dayu.

“Kangen  banget,  ya,  sama  makanan  beginian?”  tanya Dayu, heran melihatku begitu bersemangat.

“Kamu nggak tahu saja, Yu, enggak enaknya makanan rumah sakit.”

Dayu  hanya  mengiakan  saja  ucapanku.  Makan  malam kami    selingi    dengan    obrolan    random.    Sampai    Dayu mengungkit     perihal     Papa,     seketika     nafsu     makanku menghilang.  Bukan  karena  ucapan  Dayu  sepenuhnya,  tapi memang   karena   suasana   hatiku   mendadak   kacau.   Entah mengapa aku jadi ingat tentang Papa yang sempat dirawat di rumah sakit. Seperti yang dikabarkan Tante Indri saat itu.

“Ngapain  nanyain  mereka,  Yu?”  tanyaku  kemudian. “Mungkin bagi Papa, aku sudah mati.”

“Jangan ngomong begitu, ah,” Dayu tampak merasa tak enak hati.

Tapi meski begitu, aku memang tak ingin menyinggung lagi  perihal  Papa  dan  keluarganya.  Meski  kenyataan  kalau benar Papa sempat sakit kemarin, mengapa sampai saat ini ia tak     muncul     di     hadapanku.     Tak     pernah     berusaha menghubungiku.   Kenyataan   itulah   yang   membuat   rasa kecewaku pada Papa tak juga menyurut.

“Kalau Papa memang masih anggap aku anaknya, paling tidak sekali saja dia pasti bertanya tentang aku, Yu.”

Mungkin ini adalah ungkapan kekecewaanku akan sikap Papa. Meski berusaha seolah tak peduli, nyatanya aku masih manusia  yang  memiliki  hati  dan  perasaan.  Jauh  di  lubuk hatiku, aku masih menginginkan Papa setidaknya sekali saja mengkha watirkanku.

“Mungkin  Papamu  merasa  bersalah,  jadi  beliau  nggak punya keberanian untuk menghubungimu.”

“Bagus. Itu artinya dia masih manusia. Kalau dia nggak punya  perasaan  bersalah  sedikitpun  terhadapku,  berarti  dia sudah menjadi iblis. Hanya iblis yang nggak punya hati.”

Aku  beranjak.  Meletakkan  piring  kotor  di  wastafel. Namun   saat   akan   mencucinya,   Dayu   menghentikanku. Mengatakan biar ia saja yang mencuci semua peralatan. Meski aku  menolak,  tapi  Dayu  juga  menunjukkan  sikap  keras kepalanya.    Di    dalam    kamar,    aku    kembali    mengingat percakapan dengan Dayu. Terdengar jahat saat aku mengatai Papa sendiri sebagai iblis yang tak punya hati. Tapi, salahkah aku yang masih menyimpan Iuka dan kekecewaaan terhadap Papa berkata kasar seperti itu?

Pikiranku  terusik  karena  dering  ponsel  yang  nyaring. Dengan  segera  aku  mengangkatnya  bahkan  tanpa  melihat siapa  yang  menghubungi.  Saat  terdengar  salam  dari  suara yang sangat kukenal, jantungku seketika berdegup cepat. Ibra benar-benar mampu mengubah duniaku dalam sekejap.

“Sudah   diminum   obatnya?”   tanyanya   setelah   aku membalas salamnya.

Obat. Bagaimana aku bisa lupa?! Kugigit bibir bawahku karena  melupakan  untuk  mengonsumsi  obat-obatan  itu.  Tak juga  menjawab,  aku  bisa  mendengar  hela  napas  Ibra  di 

seberang sana.

“Jangan   lupa  obatnya,   Danika.   Gimana  kesehatan kamu   mau   cepat   pulih   kalau   suka   melalaikan   obat- obatanmu.”

Aku  tak   bersuara.  Hanya   menikmati  perhatian  Ibra melalui omelannya. Tanpa kusadari, senyumku mengembang. Hingga saat Ibra memanggil namaku, membuatku tersentak.

“Danika, kamu deny ar say a, kan? ”

“lya, dengar.”

“Apa?”

“Obatnya.”

“Bagus. Minum obatnya dan segera istirahat. ”

“Bapak lama-lama mirip Nenek saya. Bawel.”

Kugigit lidahku pelan saat tersadar apa yang baru saja kukatakan.  Hingga  tawa  renyah  Ibra  terdengar.  Entah  apa yang membuat pria itu tertawa begitu nyaring.

“Saya  suka  dengar  kamu  banyak  bicara  begini,  ” ucapnya kemudian.

“Saya nggak banyak bicara, kok.”

“Apa  pun  itu,  pastikan  kamu  minum  obatnya.  Kalau kamu nggak mau saya bawel lagi.”

“Hem,” gumamku.

Hening  entah  untuk  berapa  lama.  Baik  aku  dan  Ibra sepertinya tak masalah dengan kebungkaman kami. Padahal telepon masih terhubung.

“Danika...”   suara   itu   kembali   terdengar.   Aku   tak menyahut. Menunggu Ibra melanjutkan ucapannya. ”... kamu sudah pikirkan jawaban untuk saya? ”

Apa ini? Kenapa dadaku berdegup lagi?

“Jawaban?” tanyaku ulang.

“lya.  Rasanya  saya  nggak  sabar  untuk  mendengar jawaban   kamu.   Sepertinya   saya   harus   mengingkari   janji

untuk menunggu. ” Jeda sejenak. “Apa bisa ... saya dapatkan jawabannya segera? ”

Aku  bingung.  Sungguh.  Waktu  yang  dijanjikan  Ibra paling  tidak  bisa  membuatku  berpikir.  Atau  melihat  lebih banyak lagi apa yang bisa pria itu lakukan untukku. Tapi saat tiba-tiba  Ibra  meminta  jawabannya,  aku  seperti  tak  puny  a alasan  untuk  menunda.  Apa  yang  Ibra  lakukan  untukku selama  ini,  terlebih  merawatku  di  rumah  sakit,  merelakan waktunya yang berharga hanya demi merawatku, rasanya aku menjadi   manusia   tak   puny   a   perasaan   jika   tak   segera memberinya jawaban.

Lagi pula apa lagi yang kutunggu. Restu keluarga Ibra sudah di tangan. Meski ada Tante dan sepupunya yang tak setuju,  tapi  mereka  bukan  halangan.  Yang  paling  penting adalah kesediaan orang tua Ibra menerimaku. Kerabat yang lain  tak  memberi  restu  pun  tak  akan  jadi  masalah  dalam hubungan  nanti,  karena  kamilah  yang  akan  menjalaninya. Bukan mereka.

“Danika... ”

“Ehm,  jangan  sekarang.  Jangan  lewat  telepon.  Nanti, saat  kita  ketemu,”  jawabku  akhirnya.  Mungkin  aku  bisa merasakan  Ibra  yang  merasa  lega.  Terdengar  dari  helaan napasnya yang ringan.

“Oke. kalau begitu besok. ”

“Hah?”

“Besok. Bukannya saya katakan besok akan mengunjungi kamu? ” Ada nada geli dalam suara Ibra.

Aku panik.  Yang benar saja. Hanya karena kukatakan akan memberi jawaban saat kami bertemu, bukan berarti aku akan menjawab besok, kan?

“Oke, saya rasa sudah cukup mengganggu waktu kamu. Sekarang    kamu    istirahat.    Dan   jangan    lupa   obatnya, Danika,  ”  ucapnya,  bahkan  saat  aku  belum  memberikan penolakan atas apa yang dikatakan Ibra tadi. “Sampai ketemu besok, Danika.”

Ibra  mengucap  salam  lalu  menutup  teleponnya.  Aku bahkan belum sempat membalas salamnya. Dan lebih gilanya, aku  belum  sempat  menolak  Ibra  untuk  memberi  jawaban besok.

Dasar pria itu!


Saatnya Menjawab

Setelah  kepergian  Dayu  dan  Andra,  aku  merapikan  rumah sekadarnya.  Gugup  karena  Ibra  mengatakan  akan  datang. Mengingat  pembicaraan  semalam  mendadak  aku  dibuat gelagapan.  Semua  karena  Ibra  yang  mengatakan  ingin mendengar jawabanku. Padahal aku belum yakin sepenuhnya akan memberi jawaban apa padanya.

Saat waktunya makan siang, Ibra sudah tiba di rumah. Pria itu membawakan satu bungkusan yang isinya aku yakin adalah  menu  makan  siang.  Entah  mengapa  pria  itu  seakan tahu  bahwa  aku  memang  tak  memasak  apa  pun  hari  ini. Sarapan  pagi  pun,  aku  dan  Dayu,  memilih  membeli  dari waning makan yang buka di pagi hari.

“Kamu   belum   makan   siang,   kan?”   Ibra   langsung memberondongku dengan tanya begitu masuk ke rumah.

Aku hanya menggeleng.

Tanpa   canggung,   Ibra   melangkah   masuk.   Pria   itu langsung menuju meja  makan. Meletakkan bungkusan yang dibawanya. Mau tak mau aku mengambilkan peralatan makan karena Ibra sudah duduk di kursinya.

“Makanan dari Sushi Me.Kamu nggak masalah, kan?” tanya Ibra lagi saat mengeluarkan kotak bekal dari bungkusan yang ia bawa.

Aku hanya menerima saja. Ibra pun tak keberatan sama sekali menyiapkan semua di piring saji yang telah kusediakan. Untuk  ukuran  seorang  lelaki,  Ibra  memang  sungguh  luar biasa.  la  tak  merasa  canggung  mengerjakan  apa  pun.  Tak banyak   pria   yang   bisa   bersikap   seperti   Ibra.   Mungkin pengaruh  tinggal  terpisah  dari  orang  tua  membuat  pria  itu begitu mandiri terhadap hidupnya. Sungguh sangat beruntung wanita yang mendapatkan pria sepertinya.

Eh, tapi ...bukankah pria itu menginginkanku? Jadi ... akukah wanita beruntung itu?

Selesai makan siang, aku langsung mengangkat piring kotor  bekas  kami  makan.  Sengaja  kulakukan  dengan  cepat agar Ibra tak bisa menghalangiku untuk mencucinya. Meski ada   sedikit   rant   larangan   di   wajahnya,   tapi   Ibra   tak mengusikku yang mencuci piring kotor kami. Sengaja pula aku memperlambat  gerakan.  Berharap  agar  Ibra  merasa  bosan menungguiku  dan memilih  untuk  ke  ruang tamu  saja.  Tapi hingga aku mengeringkan tangan yang basah, pria itu masih bertahan  di  kursinya.  Membuatku  menghela  napas  pelan karena kegigihan Ibra.

“Kenapa nggak tunggu di depan saja, sih?” desahku. “Sama-sama.” Hanya itu jawaban Ibra yang membuatku 

menghela napas kembali.

Seperti yang Ibra inginkan, akhirnya kami bersama-sama ke ruang depan. Pria itu duduk di sofa panjang. Sedang aku memilih duduk di sofa single.

“Kamu siap memberikan saya jawaban?”

Jika  saja  bisa,  rahangku  pasti  jatuh  ke  lantai  karena ucapan  tanpa  tedeng  aling  dari  Ibra.  Tapi,  harusnya  aku terbiasa dengan itu. Ibra bukan tipe orang yang suka bicara berbelit. la akan selalu bicara pada intinya.

“Harus sekarang?” tanyaku ragu.

Dia mengangguk. “Sekarang. Bukankah lebih cepat kamu memberikan jawaban, lebih cepat masalah terselesaikan.”

Lagi-lagi aku ingin menganga mendengar jawaban Ibra. Sepertinya aku tak akan pernah terbiasa dengan Ibra yang to the point. Aku menggaruk kepala yang sama sekali tak gatal. Sungguh, jika saja ada pintu ajaib, maka aku ingin masuk ke sana   dan   menghilang.   Tapi   sepertinya,   bahkan   hanya memikirkannya  akan  sulit  dengan  tatapan  Ibra  yang  begitu intens  padaku.  Mata  Ibra  seperti  mengunciku  untuk  tak bergerak. Aku tak ingat kapan terakhir kali membeku seperti ini hanya karena tatapan.

“Danika...”

Kugigit  bibir  bawah.  Semalaman  aku  sudah  berpikir. Mencoba  menelaah  keputusan  terbaik  yang  bisa  kuambil untuk hidupku. Tapi berapa  kalipun aku berpikir, bayangan masa depan bersama Ibra selalu muncul. Tak akan rugi bagiku memiliki pria seperti Ibra sebagai teman hidup. Meski akan ada beberapa halangan yang mengintai langkah masa depan kami. Namun, mengingat betapa gigih dan tegasnya Ibra, aku berharap tak akan salah menyerahkan masa depanku padanya.

“Sebelum   saya   jawab,   saya   mau   bertanya....”   Ibra mengangguk, pertanda mengizinkanku untuk bertanya. “Apa Bapak yakin ingin menikah dengan saya?”

“Butuh berapa kali saya katakan tentang keyakinan saya untuk menikahi kamu, Danika?” Ibra balas bertanya.

“Tapi, masa lalu...” Aku menggeleng. “Bukan. Saya punya catatan buruk tentang hubungan keluarga saya saat ini.”

“Ibu tiri kamu?”

Aku mengangguk. “Dan Papa.”

“Kamu tahu saya siap mendengarkan apa pun cerita dan keluhan kamu.”

Selama   beberapa   saat   aku   dan   Ibra   hanya   saling bertatapan.  Dari  pertemuanku  dan  keluarga  Ibra  yang  lalu, pria  itu  dan  keluarganya  hanya  tahu  bahwa  aku  memilih tinggal  seorang  diri  karena  tak  memiliki  kecocokan  dengan Tante  Indri  selaku  ibu  tiriku.  Aku  tak  menceritakan  secara detail bahwa aku memutuskan pergi dari rumah Papa karena merasa Papa tak lagi menginginkanku sebagai seorang anak. Lebih  memilih  mempertahankan  Tante  Indri  yang  hanya berstatus  sebagai  istri  dibandingkan  mempertahankan  putri kandungnya.

Aku  ragu  untuk  bercerita  alasan  dibalik  aku  benci pernikahan  Papa  dan  Tante  Indri.  Di  mana  mereka  justru mengkhianati  Mama  yang  sudah  begitu  setia  sebagai  istri hingga akhir hayatnya. Bagiku itu aib. Mungkin saja jika Ibra tahu   yang   sebenarnya,   pria   itu   akan   memutar   langkah menjauhiku. Rasanya tak siap ketika aku baru mulai membuka diri, tapi harus kehilangan kepercayaan terhadap Ibra.

“Danika, kamu bisa cerita apa pun pada saya.”

“Saya  harap  setelah  dengar  ini,  Pak  Ibra  nggak  akan mundur.”

Sudut  bibir  Ibra  tertarik  ke  atas.  Senyuman  penuh percaya    diri    yang    ditampilkannya    justru    membuatku mengernyit bingung.“Kenapa?” tanyaku.

“Apa yang kamu katakan tadi sudah bisa membuat saya menarik kesimpulan dari jawaban kamu nanti.”

Ibra  benar-benar  berhasil  membuatku  bungkam  seribu bahasa. Bagaimana bisa ada lelaki sepercaya diri dia di dunia ini.

“Jadi,   Pak  Ibra  siap  dengan  cerita  saya?”   tanyaku kemudian.

Meski ini adalah aib, tapi segala sesuatu yang dimulai dengan kejujuran, akan berakhir baik, bukan? Untuk kali ini aku  akan  percaya  itu.  Karenanya,  meski  diliputi  perasaan cemas  akan  tanggapan  Ibra,  aku  memilih  mulai  bercerita. Bagaimana hidupku dulu hingga kemudian Mama pergi yang membuat separuh duniaku seakan runtuh. Sampai kemudian Papa  membawa  Tante  Indri  dan  Haninda  masuk  ke  hidup kami. Bagaimana mereka begitu tega menikah dalam kurun waktu tak lama setelah Mama meninggal. Juga perseteruanku dengan Tante Indri yang berujung dengan Papa lebih memilih wanita  itu  dibandingkan  aku.  Semua  kukisahkan  tanpa  ada yang ditutupi.

Baiknya Ibra, tak sekalipun pria itu berusaha menyela ceritaku.  Bahkan  tak  ada  tatapan  kasihan  atau  menghakimi yang diberikannya. Wajah Ibra begitu tenang dengan segala bentuk kedewasaan pikirannya. Membuatku lega dalam hati karena sudah bercerita padanya.

“Wanita yang berselisih dengan kamu di Sushi Me tempo lalu?”

Aku mengangguk. “lya. Dia Tante Indri. Istri Papa.”

“Apa kamu pernah bertemu Papamu lagi?”

“Enggak.  Terakhir  Tante  Indri  datang,  mengabarkan kalau Papa sempat dirawat di rumah sakit.”

“Dan kamu nggak datang menjenguk?”

Dengan lemah, aku menggeleng. “Rasanya masih belum sanggup.”

“Tapi  saat  kita  menikah  nanti,  kamu  harus  sanggup,” katanya, membuatku sedikit terkejut. “Kita butuh beliau untuk jadi wali nikah kamu.” Dahiku mengernyit dalam. Sepersekian detik kembali membeku. “Saya nggak akan menarik apa pun ucapan saya. Karena itu, mau tidak mau, siap tidak siap, kita akan menemui Papa kamu.”

Kalimat Ibra benar-benar meruntuhkan segala pertahan yang selama ini kubangun. Inikah rasanya saat seorang pria menawarkan dirinya untuk menjadi pendamping hidup? Aku tak  pernah  tahu  bahwa  rasanya  akan  semengejutkan  ini. Bahkan Ibra belum mendengar langsung jawabanku.

Tanpa    bisa    kutahan,    air    mata    mengalir    dengan sendirinya. Andai saat ini ada Mama, mungkin beliau akan berbahagia  saat  tahu  putrinya  dilamar.  Tak  romantis,  tapi sanggup    menghancurkan    kekerasan    hatiku.    Membuatku berani meletakkan kepercayaan pada Ibra.

“Kenapa    menagis?”    tanyanya,    perlahan    mendekat padaku dan berlutut di depanku.

“Pak Ibra serins?” tanyaku, meyakinkan diri sendiri. “Bagi   saya,   lelaki  sejati  itu   yang  dipegang  adalah 

keteguhannya.  Jadi,  saya  harap  kamu  nggak  akan  bertanya apa saya serius atau tidak lagi.”

“Keluarga Bapak?”

“Apa  yang  kamu  cemaskan?  Orang  tua  saya  seratus persen mendukung apa pun keputusan saya.”

“Tante dan sepupu Pak Ibra?” Entah mengapa aku justru menyebutkan kerabat yang lain.

“Mereka  nggak  berhak  mengatur  apa  pun  keputusan saya. Kita hanya butuh ridho orang tua. Selebihnya kita hanya bisa mengharapkan doa yang baik dari mereka.”

Melihat  pancaran  mata  Ibra  yang  penuh  keyakinan, refleks  kepalaku  mengangguk,membuat  pria  itu  tersenyum. Senyum   tercerah   yang   pernah   kulihat   di   wajah   Ibra. Kecemasanku     perlahan     terkikis.     Tergantikan     dengan keyakinan  yang  sama  seperti  yang  Ibra  miliki.  Mungkin memang sudah waktunya aku meninggalkan rasa sakit masa lalu untuk menyambut kebahagianku di masa depan.

***

Tadinya  aku  berpikir  memberi  jawaban  pada  Ibra  akan membuat pria itu puas. Tapi kenyataannya, tak sama sekali. Maksudku,  setelah  Ibra  mendapat  kepastian,  pria  itu  pasti akan merasa lega, merasa satu bebannya bisa terangkat, dan mungkin  kami  akan  pelan  dan  perlahan  mengatur  semua. Namun  yang  terjadi  malah  Ibra  kembali  ingin mempertemukanku dengan keluarganya.

Bukan, aku sama sekali tak memiliki ketakutan apa pun lagi berhadapan dengan orang tuanya. Tapi aku masih belum menyiapkan  diri  untuk  bertemu  dengan  Tante  dan  sepupu Ibra. Walau berkali sudah Ibra katakan bahwa penilaian Om dan  Tantenya  tak  akan  memengaruhiapa  pun  yang  sudah disusunnya.

“Tapi... saya masih belum siap ketemu mereka.”

“Kita hanya akan menyampaikan pada Papa dan Mama rencana pernikahan, bukan untuk menemui Om dan Tante. Itu saja. ”

Aku melotot pada Ibra yang masih asyik berkutat di meja kerjanya. Jam kerjaku memang sudah berakhir sejak satu jam lalu, tapi lagi-lagi Ibra menahanku di ruangannya. Beralasan aku  tak  diizinkan  pulang  tanpa  pengawalan  darinya.  Dan seperti  yang sudah-sudah,  aku  harus pasrah  menunggu  Ibra selesai dengan pekerjaannya.

“Kapan      memangnya      kita      pernah      ngomongin pernikahan?” tanyaku bingung.

“Saat kamu memutuskan menerima lamaran saya, saat itu juga saya sudah memikirkan rencana pernikahan.”

Jawaban enteng Ibra membuatku benar-benar tak habis pikir.  Maksudnya,  baru  beberapa  minggu  lalu  aku  setuju menerimanya,  tapi  Ibra  bahkan  tak  pernah  bicara  padaku tentang pernikahan. Aku tak berpikir akan secepat itu kami segera melangkah ke jenjang pernikahan. Akan ada waktu bagi kami untuk saling menerima sepenuhnya.

“Pak Ibra nggak pernah bicara sama saya.”

“Karena   itu,   saya   ingin   kita   bicarakan   itu   dengan keluarga. Orang tua saya lebih dulu, maksudnya.”

“Harusnya ngomongnya ke saya dulu.”

“Ya   sudah,   kita   bicarakan   sekarang,”   putus   Ibra, membuatku makin terperangah.

Ibra  bahkan  sudah  meninggalkan  kursi  kerjanya.  Kini duduk di hadapanku. Begitu tenang seperti biasa—yang justru membuatku salah tingkah. Sepertinya aku memang tak akan pernah terbiasa dengan pembawaan diri Ibra.

“Saya     ingin     pernikahan,     kalau     bisa     dilakukan secepatnya.”

Aku  menyipit.  “Secepatnya  itu  ...  seberapa  cepat?” tanyaku.

“Kalau kamu setuju, saya bisa siapkan dalam waktu satu bulan.”

Aku  meringis.  Dia  benar-benar  gila.  Satu  bulan?  Hei, kami  bahkan  belum  membicarakan  langkah  apa  pun  untuk menemui Papa. Seperti yang Ibra katakan, seburuk apa pun hubunganku  dan  Papa,  tak  akan  membuat  pria  itu  mundur demi mendapatkan restu Papa untuk menikahiku.

“Pak Ibra gila? Satu bulan?” pekikku tak percaya.

“Saya bisa siapkan...”

“Enggak!” potongku cepat. “Terlalu cepat.”

“Bukankah ada slogan Tebih cepat lebih baik’? Apalagi yang    namanya    pernikahan    itu    hal    baik    yang    harus disegerakan.”

Seketika    aku    kesal    hingga    mengerucutkan    bibir. Bagaimana bisa pria itu bersikap santai dalam menghadapi hal seperti ini. Namun yang membuatku terkejut adalah tawa Ibra yang   tiba-tiba   menggema.   Memang   ada   yang   lucu   dari pembicaraan kami saat ini?

“Saya   tahu.   Sudah,   jangan  cemberut   begitu.   Kalau memang itu terlalu cepat untuk kamu, kita bisa rencanakan satu persatu. Tapi saya juga tidak ingin terlalu lama. Paling tidak, dalam enam bulan ke depan kita sudah mendapatkan kesepakatan waktu menikah. Bagaimana?”

Aku kembali  berpikir.  Enam bulan bukan waktu yang lama,  tapi  tak  secepat  satu  bulan  yang  diajukan  Ibra  juga. Mungkin  memang  itu  adalah  waktu  yang  ideal  bagi  kami untuk  merencanakan  semua.  Apalagi  dengan  belum  adanya pembicaraan  untuk  bertemu  dengan  Papa.  Mungkin  dalam waktu enam bulan itu akhirnya aku bisa mengikis rasa sakit hatiku pada Papa. Hingga siap menemui Papa untuk restunya.

“Terserah.” Akhirnya kata itu yang keluar dari bibirku. Dibalas sunggingan senyum oleh Ibra.

“Kalau kamu jawab begitu, berarti besok pun say a bisa menikahi kamu.Ya, kan?”

Mataku mendelik, kesal. “Apaan, sih.”

“Makanya  jangan  jawab  terserah.  Itu  artinya  kamu berikan  saya  kebebasan  untuk  mengambil  keputusan.  Kalau maunya saya, ya, secepatnya menikahi kamu.”

Wajahku sudah pasti memerah malu mendengar ucapan blak-blakan Ibra. Pria itu benar-benar seperti manusia tanpa beban. Begitu mudah memutuskan sesuatu dalam hidupnya; yang menurutku tanpa pertimbangan, tapi tidak bagi Ibra, la 

jelas pria yang berpikir matang untuk urusannya meski seolah tanpa pertimbangan.

“Baik, singkirkan sejenak urusan kita dan orang tua saya. Kapan kamu siap kita bertemu Papamu?” Ibra memutar topik yang membuat mood-ku langsung anjlok.

Mataku langsung menghindar dari tatapan intens Ibra ke segala arah. la pasti tahu aku belum ingin bicara perihal Papa. Belum siap.

“Danika,   kita   butuh   beliau.   Saya   nggak   mungkin seenaknya  main  nikah  sama  kamu  tanpa  restu  Papa  kamu. Kamu bukan anak yatim piatu yang nggak punya orang tua. Kamu hanya kehilangan Mama. Masih ada beliau.”

Aku tahu  niat Ibra baik. Hanya saja ... entahlah.  Aku belum siap.

“Tapi sudah lama rasanya saya seperti anak yatim piatu,” balasku lirih.

“Jangan  begitu.  Bagaimanapun  beliau  Papamu.  Kalau kamu belum sanggup, bagaimana kalau saya yang lebih dulu menemuinya?”

Tatapanku langsung kembali pada Ibra. Terkejut, jelas saja. Ibra justru menawarkan untuk menemui Papa saat aku bahkan belum ingin bertemu.“Memangnya bisa?” pertanyaan bodoh, aku tahu, karena senyum Ibra kini kian melebar.

“Bisa  saja.  Memangnya  saya  sepengecut  apa  sampai berhadapan dengan calon mertua saja nggak punya nyali.”

“Bukan itu, tapi...”

“Kamu  izinkan  atau  tidak  kalau  saya  bertemu  Papa kamu?” Mulutku baru akan terbuka, tapi Ibra menyela lebih dulu, “Jangan jawab terserah. Kamu tahu bisa saja detik itu 

juga saya mengajukan diri untuk melaksanakan ijab kabul di hadapan Papa kamu.”

Aku   menyerah,   sungguh.   Tak   ada   habisnya   Ibra mengejutkanku dengan kepribadian dan tindakannya. Pria itu benar-benar gila. Dalam artian yang mampu membuatku juga sama gilanya dengan dia. Karena itu, aku justru menyetujui Ibra untuk bertemu dengan Papa. Senyum kemenangan kian melebar  tersungging  nyata  di  wajah  Ibra.  Rasanya  Tuhan sudah   benar-benar   mengirimkan   orang   yang   tepat   untuk menjagaku. Karena hanya Ibra yang berhasil membungkamku seribu bahasa tanpa sanggup melawannya.


Waktu Untuk Menyembuhkan

Sore ini, setelah jam keija berakhir, aku tak langsung pulang ke  rumah.  Selain  karena  Ibra  yang  memang  tak mengizinkanku  untuk  pulang  sendirian,  hal  lainnya  karena Dayu datang menemuiku. Saat datang, wajah gadis itu terlihat kacau.  Mungkin  Dayu  sedang  menghadapi  masalah  dengan Damar. Siapa lagi? Karena setahuku hanya Damar, sang Bos yang selalu berhasil memancing keruh di wajah Dayu.

Kami memilih  duduk di meja paling pojok. Jauh dari hiruk pikuk pengunjung lain Sushi Me. Setelah sebelumnya memesan  beberapa  jenis  sushi  dan  minuman.  Dayu  mulai bercerita apa yang menjadi penyebab wajah keruhnya. Tentu saja tebakanku benar. Lagi dan lagi, selalu soal Damar. Selagi Dayu bercerita, aku hanya mendengarkan sembari memainkan sedotan minumanku.

“Menurut   kamu,   sikapku   benar,   kan?”   tanya   Dayu setelah bercerita dengan begitu menggebu-gebu.

Sejujurnya,   aku   sedikit   bingung   harus   bagaimana menanggapi. “Yang mana?” tanyaku, yang langsung membuat bibir Dayu separuh terbuka.

“Semuanya, Ka. Menolak Damar, menjauh...”

“Kapan  kamu  nolak?  Kapan  dia  nyatain  perasaan  ke kamu? Dari cerita kamu, aku nggak nangkap satu pun situasi yang kamu sebutin.”

Dayu berdecak kesal. Dari raut wajahnya, aku tahu gadis itu ingin melemparkan sesuatu ke wajahku. Tapi, bukankah yang  kukatakan  benar  adanya?  Damar  tak  menyatakan  apa pun  pada  Dayu.  Mereka  pun  tak  memiliki  hubungan selain sebagai atasan dan bawahan. Tentu aku marah atas apa yang Damar      lakukan      pada      Dayu.      Seolah      pria      itu mempermainkannya.  Tapi  kembali  lagi,  hubungan  mereka belumjelas.

“Yu, aku nggak tahu pasti. Tapi, menurutku kamu benar. Jangan mau mengalah sama perasaan. Walau kamu mungkin sempat merasakan getaran karena sikap dan perhatian Damar, tapi selalu pakai akal sehat untuk bisa melihat kalau apa yang Damar lakukan ada artinya atau enggak untuk kamu. Kalau Damar sendiri masih bingung dengan dirinya, apalagi kamu. Apa yang bakal terjadi sama hubungan kalian, seandainya apa yang kamu pikir kalau Damar ingin menjalin hubungan sama kamu. Hubungan yang bahkan didasari keragu-raguan enggak akan lancar ke depannya,” ujarku panjang lebar.

Bukan aku ingin mengahalangi perasaan Dayu. Tapi, aku hanya ingin menjaga sahabatku itu dari risiko sakit hati. Aku tidak ingin Dayu disakiti oleh pria—karena aku dan dia pada dasarnya  sama,  cukup  ragu  berhubungan  dengan  laki-laki. Terlebih yang tak bisa menjaga hatinya. Namun, bukan berarti selamanya   tak   akan   ada   pria   baik   yang   akan   mampu menaklukkan    hati    kami.    Karena    bagiku,    Ibra    sudah membuktikannya.

Dayu  menatap   takjub  padaku  beberapa  saat.  Entah mungkin   gadis   itu   terharu   akan   petuah   yang   baru   saja kusampaikan.  Hingga  tiba-tiba  ia  memelukku  erat  sembari mengungkapkan  terima  kasih  dan  rasa  sayangnya  padaku. Sekuat  tenaga  aku  berusaha  melepaskan  diri.  Sampai  Dayu spontan   mengecup   pipi   kananku,   membuatku   langsung memekik geram.

“Dayu!”  Jeritku setelah  berhasil lepas dari jeratannya. Sedang gadis itu tertawa saja. Tak peduli dengan mata-mata penasaran  para  pengunjung  yang  sejak  tadi  memperhatikan kami.

Perbincangan  kami  terus  berlanjut,   yang  tentu  saja didominasi oleh keluhan dan serapah dari Dayu untuk Bosnya. Namun,   satu   suara   yang   sangat   kukenal   menginterupsi obrolan kami.

“Danika...”

Panggilan   Ibra   spontan   membuat   aku   dan   Dayu menatapnya.  Aku  lupa  bahwa  hari  ini  kami  akan  menemui orang  tua  Ibra  untuk  membicarakan  perihal  lamaran  resmi yang akan dilakukannya pada Papa.

“Yu, maaf hari ini nggak bisa nemenin kamu dulu, ya. Ada sedikit urusan.” Mataku memberi isyarat pada Dayu yang langsung dipahami gadis itu.

“Oke. Makasih buat waktunya dengerin curhatanku yang nggak  penting  banget.”  Dayu  mengerling  jail,  membuatku mencubit pipinya gemas.

“Kami duluan, Yu. Kalau ada apa-apa kasih tahu yang lain,  ya,”  ucap  Ibra  selagi  menungguku  memasang  tas  ke pundak.

“Jagain Danika, ya!” pesan Dayu yang diangguki Ibra. Kami  berpamitan  yang  hanya  dibalas  anggukan  oleh 

Dayu. Sejujurnya aku gugup. Bukan karena orang tua Ibra, tapi Tantenya yang memang masih—atau memang tak akan pernah—suka padaku. Selain itu ada lagi Bintang. Gadis itu dengan terang-terangan bahkan pernah memintaku menjauhi Ibra.  Alasannya  tentu  saja  karena  aku  tak  cocok  menjadi pendamping  Ibra.  Hal  itu  terjadi  saat  ia  mendatangiku  ke Sushi Me disaat Ibra sedang tak ada di restoran.

Jika saja aku ingin memberi pelajaran pada gadis itu, maka  aku  sudah  melaporkan  apa  yang  sudah  dilakukannya pada  Ibra.  Tapi  aku  bukan  orang  yang  senang  menyulut pertengkaran.  Cukup  aku  yang  tahu.  Lagi  pula  seperti  kata Ibra, aku tak perlu mendengarkan ucapan sumbang mereka. Cukup Ibra dan orang tuanya saja yang menerimaku. Yang lain bukan apa-apa.

“Kamu siap kan ketemu Mama dan Papa?” Ibra tiba-tiba bertanya.

“Hah? Eh, siap nggak siap, sih.”

Pria    itu    tersenyum    dengan    jawabanku.    Sebelah tangannya  mengelus  puncak  kepalaku.  Sedang  satunya  lagi tetap pada roda kemudi.“Harus siap. Tidak ada alasan kamu takut. Kalau Tante dan Om, jangan dipikirkan.”

Aku   mengangguk,   meski   dalam   hati   tetap   gugup. Bagaimana  tidak  dipikirkan  jika  tatapan  mereka  saja  sudah menyiratkan tak suka.

Setiba di rumah Ibra, Mamanya sendiri yang menyambut dan  membukakan  pintu.  Bahkan  beliau  mengatakan  sudah menyiapkan      menu      makan      malam      spesial      untuk menyambutku.  Dengan  sebelumnya  kami  melakukan  salat magrib berjamaah, barn bekumpul di meja makan.

“Ibra  bilang  kamu  suka  semur,  jadi  Tante  buatkan semur.” Tante Amida berucap padaku.

“Terima kasih, Tante,” jawabku tersanjung, meski aku bingung dari mana Ibra tahu aku suka semur.

Acara makan malam kali ini begitu tenang. Tanpa ada obrolan  apa  pun  di  meja  makan.  Meski  begitu  aku  bisa merasakan  beberapa  kali  tatapan  Bintang  dan  Tante  Mala terarah   padaku.   Dalam   hati   aku   tak   nyaman   menikmati makananku, tapi aku mencoba mengabaikan mereka.

Selesai   dari  meja  makan,  kami  beranjak  ke  ruang keluarga. Tak hanya ada orang tua Ibra, tapi juga Om dan Tantenya. Juga dua sepupunya. Tadinya kukira pembicaraan kami hanya akan melibatkan Mama dan Papa Ibra, ternyata anggota keluarga yang lain pun ingin berpartisipasi, membuat rasa was-wasku kembali lagi.

“Sudah tentukan tanggal untuk kita ketemu orang tuanya Danika?” Papa Ibra yang membuka pembicaraan.

Aku dan Ibra saling lirik.

“Belum. Tapi, minggu ini Ibra rencana mau ketemu Papa Danika dulu,” jawab Ibra, membuatku seketika membelalak.

“Memang lebih baik begitu. Kamu sampaikan dulu ke Papanya Danika secara pribadi, lalu kita bisa datang secara resmi untuk melamar.”

Mendengar  kata  melamar  keluar  dari  bibir  Papa  Ibra membuat   tanganku   seketika   berkeringat.   Efek   kata  yang begitu  dahsyat.  Artinya,  selangkah  lagi  hidupku  tak  akan sebebas   sekarang.   Sudah   akan   ada   Ibra   yang   menjadi penanggung jawabku.

“Kamu yakin mau menikah dengan Danika?”

Akhirnya,  seseorang  yang  aku  tahu  pasti  menentang keputusan Ibra bersuara juga. Semua mata kini memandang ke  arah  Tante  Mala.  Tapi  seperti  biasa,  wanita  itu  tak menunjukkan kecemasan sama sekali akan kalimat yang barn diutarakannya.

“Ibra yakin, Tante.”

“Kama tahu, Ibra, Tante rasa ada banyak perempuan lain yang lebih cocok dan pantas jadi istri kamu.”

Papa dan Mama Ibra tampak terkejut, tapi tidak dengan pria itu. Ibra masih memasang wajah tenangnya. Seperti biasa 

jika ia menghadapi masalah.

“Itu menurut Tante. Tapi bagi Ibra, Danika yang terbaik. Lagi pula pantas atau tidak, biar waktu yang menjawab. Apa Danika dan Ibra bisa menjalani rumah tangga bahagia versi kami sendiri, atau menurut orang lain.”

“Ibra, menikah itu bukan main-main. Kamu nggak bisa menggantungkan  hidupmu  sama  orang  yang  belum  kamu kenal baik. Nikah itu komitmen seumur hidup...”

“Dan biarkan Ibra yang membuktikan bahwa komitmen itu bisa kami jalani sampai akhir hay at. Terima kasih untuk perhatian Tante, tapi Ibra rasa keputusan apa pun biar Ibra yang  ambil.  Sebagai  orang  tua;  Mama,  Papa,  dan  Tante mungkin hanya perlu memberi nasihat dan arahan bagi kami yang muda ini.”

Tante  Mala  dibuat  bungkam.  Wanita  itu  menunjukkan wajah  kalah,  namun  tetap  tak  terima.  Suaminya  sendiri  tak banyak bicara. Mungkin karena statusnya yang menumpang tinggal di rumah peninggalan Kakek Ibra, membuat pria itu lebih banyak diam. Tapi seperti tak puas dengan penolakan Ibunya, kali ini Bintang yang bersuara.

“Apa yang Mama bilang itu benar, Mas. Mas Ibra nggak bisa  semudah  itu  menentukan  siapa  yang  akan  jadi  istri. Apalagi dengan kondisi keluarga yang nggak jelas. Siapa yang bisa menjamin rumah tangga Mas akan baik-baik saja nanti.”

Aku mengunci rapat mulutku. Meski ingin menyanggah ucapan Bintang. Tahu apa gadis itu tentang keluargaku. Hanya karena Papa yang menelantarkanku bukan berarti aku adalah anak  yang  tak  pernah  mendapat  kasih  sayang  dari  orang tuanya. Ada Mama yang dulu membesarkan dan mendidikku dengan  baik.  Sebagai  imbas  dari  pengendalian  diri,  aku mengepalkan kedua tangan di pangkuan.

Lagi-lagi Ibra seperti tahu apa yang sedang berkecamuk dalam  hati  dan  kepalaku.  Pria  itu,  yang  memang  duduk berdampingan denganku, menarik salah satu tanganku. Pelan, Ibra    mengusap    punggung    tanganku    yang    mengepal. Menyimpannya dalam genggaman. Mataku langsung beralih menatap Ibra dengan dahi mengerut.

“Enggak  ada  yang  bisa  menjamin  seperti  apa  rumah tangga kami nanti. Tidak kamu, atau juga Mas dan Danika. Cukup  Tuhan  saja  yang  akan  bekerja  sesuai  ketentuannya. Jadi,  baik  kamu  atau  siapa  pun  nggak  perlu  ikut  cemas memikirkannya.”

“Kenapa, sih, Mas bisa suka sama dia?” Kali ini Bintang tak ragu melontarkan ketidaksukaannya padaku.

“Bintang!”  tegur Mama Ibra, tapi gadis itu seolah tak peduli. Tatapan matanya tetap tajam mengarah padaku.

“Karena pribadinya. Kamu nggak kenal Danika, tapi Mas tahu dia. Mas rasa itu cukup sebagai jawaban untuk kamu.” Ibra berucap tegas, membuat Bintang dan Tante Mala kembali kalah. Tapi ada tatapan bangga yang tak sengaja kutangkap dari kedua mata orang tua Ibra.

“Sekali lagi, Ibra cuma mau tanya ke Mama dan Papa, apa kalian merestui Ibra dan Danika?”

Kali ini aku menatap kedua orang tua Ibra dengan dada berdebar.  Merekalah  penentu  keputusan  apa  yang  akan  aku dan  Ibra  ambil.  Melihat  sedikit  perdebatan  tadi,  ada  rasa cemas melandaku. Tapi melihat betapa tenang dan mudahnya Ibra mematahkan semua argumen Tante Mala dan Bintang, bolehkah aku menggantungkan harapanku pada pria itu?

“Memangnya Mama dan Papa pernah larang kamu? Apa pun yang menjadi keputusan kamu, kami yakin kamu sudah memikirkannya dengan matang.”

Jawaban tegas dari Papa Ibra membuat beban di hatiku seketika   terlepas.   Terlebih   dengan   senyum   tulus   yang terpancar di wajah Mama Ibra. Lupakan wajah masam Tante Mala dan putrinya, karena kini aku punya kartu AS penentu hidup kami. Restu calon mertuaku.

Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Bukan aku, tapi Ibra. Pria itu yang menantikan datangnya hari ini. Sesuai kesepakatan, minggu ini kami akan berkunjung ke rumah Papa. Andai bisa menghindar, aku pasti menundanya. Tapi Ibra tak akan setuju dengan keinginanku. Semakin cepat kami berhadapan dengan Papa, semakin baik. Itu yang dikatakan Ibra.

Sepanjang  perjalanan  menuju  rumah  Papa,  aku  hanya meremas   jemari.   Atau   mengalihkan   kegugupan   dengan memandangi lay ar ponsel. Menunggu Dayu membalas pesan random yang kukirimkan. Meski kebanyakan gadis itu hanya membalas  berupa  stiker  atau  emoji.  Itu  saja  cukup  untuk mengalihkan    sedikit    kecemasanku    sebelum    berhadapan dengan   Papa.   Hingga   akhirnya   mobil   Ibra   memasuki pekarangan rumah Papa.

“Kamu siap, kan?”

Aku tak menjawab. Mataku memandang lurus bangunan rumah di depan kami. Berbagai kelabat kenangan masa kecil dan masa-masa indahku bersama Mama seketika berkeliaran di kepala. Andai Ibra tak menyentuh pundakku, mungkin aku hanya akan terpaku menatap rumah itu.

“Kenapa?” tanyanya kemudian.

“Kangen Mama.” Mataku mulai berkabut dengan cairan bening,  tapi  cepat-cepat  aku mengeijap  agar  air mataku tak turun.

“Pulang dari sini, kita ke makam.”

Ibra benar-benar tahu bagaimana memperbaiki suasana hatiku.  Bersama  kami  turun  dari  mobil  dan  melangkah  ke pintu rumah yang tertutup rapat. Kembali aku mengingat saat aku meninggalkan rumah ini dan memutuskan hidup sendiri. Dan kini, aku kembali menginjakkan kaki di rumah ini lagi. Tentu saja sesuai janjiku dulu bahwa aku akan mendatangi Papa untuk restunya. Bukan kembali untuk menjadi putri yang sudah dibuangnya.

Ibra menekan bel sembari mengucap salam. Menunggu pintu dibuka, tak sekali pun pria itu melepas tautan tangannya padaku.  Hingga  terdengar  suara  kunci  yang  diputar  dan Haninda tepat di hadapan kami, membukakan pintu.

“Kak    Danika?”    ucap    Haninda    terkejut.    Matanya kemudian beralih pada sosok di sampingku.

“Papa ada?” tanyaku tanpa basa-basi.

Haninda mengangguk. “Ada.”

“Bisa panggilkan Papa? Ada yang man saya bicarakan.” Haninda sekali menatap ke arah Ibra. Matanya terpaku 

cukup  lama  pada  tautan  tanganku  dan  Ibra.  Hingga  aku sengaja berdeham agar gadis itu sadar dari keterpakuannya. Haninda langsung mempersilakan kami masuk. Sementara ia memanggil Papa, aku dan Ibra memilih menunggu di ruang tamu.

Mata Ibra menjelajah seisi ruangan. Aku pun melakukan hal yang sama. Tak banyak perubahan di rumah ini. Kecuali foto besar yang terpajang di dinding dekat tangga. Dulu, di sana  terpajang  fotoku  bersama  Mama  dan  Papa.  Tapi  kini diganti dengan foto keluarga Papa, Tante Indri, dan Haninda. Tanpa  aku.  Aku  tersenyum  sinis,  ternyata  mereka  memang menyingkirkan  apa  pun  tentangku  dan  Mama. Rasanya aku muak berlama-lama ada di rumah ini.

Pengamatan kami terhenti saat suara langkah mendekat. Di  sana,  Papa  dan  Haninda  beqalan  ke  arah  kami.  Papa terlihat  semakin  kurus.  Entah  bagaimana  istrinya  mengurus beliau.  Tapi  dulu  saat  bersama  Mama,  Papa  tak  pernah semenyedihkan   ini.   Mama   selalu   memastikan   kebutuhan kami, baik lahir maupun batin, terpenuhi dengan baik.

“Danika?” sapa Papa. Suaranya tak setegas terakhir kali. “Kamu datang?”

Aku hanya mengangguk sembari menatap Papa. Beliau mungkin   terkejut   dengan   kedatanganku   yang   tiba-tiba. Namun,   raut   itu   berubah   menjadi   lebih   terkejut   saat menyadari aku tak datang sendiri.

“Ini  siapa?”  tanya  Papa,  entah  ditujukan  padaku  atau Ibra.

Ibra  sigap  berdiri  dan  mengulurkan  tangannya  pada Papa. “Apa kabar, Om? Perkenalkan, saya Ibra, calon suami Danika.”

Tak hanya Papa yang terkejut, Haninda yang berada di samping  Papa  pun  sama  terkejutnya.  Gadis  itu  kemudian berpamitan sejenak, mengatakan akan meminta asisten rumah tangga menyediakan minuman untuk kami.

“Calon   suami?”   Papa   kini   mengarahkan   tatapannya padaku.

“Mungkin  Papa  bisa  duduk  dulu,  Ibra  man  bicara.” Meski bicara, tapi tatapanku tak sepenuhnya kuarahkan pada Papa.

“Ibra?  Kenapa  bukan  kamu?”  Nada  bicara  Papa  kini menajam. Aku diam tak menjawab.

“Apa yang Danika katakan benar, Om bisa duduk dulu. Kita bicara dengan kepala dingin.”

Papa menghela napas kasar. Meski begitu beliau tetap menuruti  apa  yang  Ibra  katakan.  Ibra  tahu  saat  ini  situasi tidak kondusif. Namun begitu bukan salahnya. Memang sejak awal kukatakan bahwa hubunganku dan Papa sudah tak baik, dan Ibra tahu itu.

“Maaf kalau kedatangan kami sangat mendadak. Tapi, say a dan Danika...”

“Sejak kapan?” Papa memotong ucapan Ibra.

“Apanya?” tanyaku.

“Sejak kapan kalian berpacaran?”

“Kami  tidak  berpacaran,  Om.”  Ibra  yang  menjawab, membuat Papa terkejut.

“Tidak pacaran?”

“Saya  kenal  Danika  sudah  cukup  lama.  Tapi  kami memang  tidak  berpacaran.  Saya  ingin  langsung  menikahi Danika. Karena itu, saat ini kami datang menemuiOm.”

Papa semakin terkejut dengan penuturan Ibra. Mungkin Papa  tak  menyangka  bahwa  aku  benar-benar  membuktikan ucapanku.   Bahwa   aku   akan   datang   kembali   ke   rumah ini,bukan  untuk  mengemis  tinggal  lagi  di  sini,  tapi  untuk restunya.

“Danika...”

Aku menoleh ketika Papa memanggil.

“... kamu yakin?”

Kutatap Papa setangguh yang kubisa. Di saat seperti ini, Papa   baru   bertanya   keyakinanku.   Ke   mana   saja   beliau bertahun   ini?   Saat   aku,   anak   perempuan   satu-satunya beijuang hidup sendiri di luar sana.

“Aku nggak akan datang ke rumah ini lagi kalau nggak yakin.”

Belum sempat Papa menjawab, Haninda datang bersama salah satu asisten rumah tangga membawakan minuman dan makanan ringan. Setelah meletakkan makanan dan minuman, Haninda bergabung bersama kami. Duduk di samping Papa.

Mataku   tak   berkedip   memperhatikan   mereka.   Ingin mengasihani  diri  sendiri  akan  pemandangan  yang  tersaji  di depan mata. Bagaimana bisa mereka terlihat seperti Ayah dan putrinya   saat   aku  ada   di  depan  mereka.  Hidup  kadang memang selucu situasi saat ini.

“Kembali   lagi   pada   pembicaraan   kita,   saya   ingin meminta restu dan izin Om untuk menikahi Danika.”

Lagi-lagi     pancaran     terkejut     kutemukan.     Yang membuatku   mengernyit   bingung,   kenapa   Haninda   hams begitu terkejut. Ada apa dengan gadis itu? Apa ia mengenal Ibra?

“Saya tidak bisa semudah itu memberi...”

“Aku   cuma   butuh   restu  Papa.   Aku  mohon   jangan dipersulit. Jikapun Papa nggak setuju, aku tetap akan nikah sama Ibra.”

“Danika...”

Dua suara menegurku. Satu dari Papa dengan nada tak setujunya,      sedang      Ibra      menegurku      dengan      nada menenangkannya.

“Maaf, Om. Saya tahu hubungan Om dan Danika tidak begitu baik. Tapi, saya tetap membutuhkan restu dan izin Om sebagai satu-satunya orang tua yang dimiliki Danika.”

Aku  dan  Papa  saling  bertatapan.  Tetap  ada  raut  tak setuju di mata itu. Mungkin karena bagi Papa terlalu tiba-tiba. Tapi, Papa pasti tahu bahwa beliau tak akan bisa mencegahku. Seperti  dulu  saat  aku  memilih  melepas  segala  kemudahan hidup   dan   pergi   dari   rumah   ini.   Papa  harus   tahu,   aku bukanlah Danika yang penurut.

Pembicaraan  yang  kuyakin  akan  berlangsung  lama  ini diusik oleh kehadiran seseorang. Tante Indri muncul di ruang tamu.  Mungkin  wanita  itu  baru  bepergian  dari  luar  rumah. Melihat dari dandanannya yang mencolok. Wanita itu tampak terkejut saat melihatku duduk di sofa. Terlebih bersama Ibra yang ia pasti tahu adalah atasanku di Sushi Me.

“Danika? Kapan kamu datang?” tanyanya.

Basa-basi  yang  menurutku  sangat  busuk.  Aku  tidak menjawab. Hingga Haninda membuka suara untuk menjawab pertanyaan Mamanya.

“Ada apa kamu datang?” Tante Indri bertanya padaku, tapi matanya terarah pada Ibra.

“Kak Danika dan...”

“Saya Ibra, calon suami Danika. Kami datang ke sini untuk membicarakan perihal lamaran resmi saya dan keluarga pada keluarga Danika, kapan nantinya bisa dilaksanakan.”

Untuk kesekian kali, tatapan terkejut itu muncul. Kali ini tentu saja dari Tante Indri. Wanita itu menatap aku dan Ibra bergantian, kemudian seringai culasnya muncul.

“Oh. Pantas kamu betah bekerja di restoran Jepang itu, ya.”   Kutatap tajam Tante Indri, tapi wanita tak tahu malu itu                                                                           .                     .. menebalkan mukanya. Mungkin ia berpikir aku sama seperti dirinya yang menggoda atasan.

“Maaf, Tante ngomong apa? Apa Tante mau bilang kalau saya...”   ucapanku   terhenti   karena   Ibra   yang   meremas 

jemariku.

“Saya  benar-benar minta  maaf kalau kedatangan  kami tidak di waktu yang tepat. Tapi saya ingin sampaikan bahwa saya sangat serius ingin menikahi Danika. Di hadapan Om dan Tante, saya berjanji akan membahagiakan Danika. Mungkin tak   akan   pernah   sebaik   seorang   Ayah   menjaga   anak perempuannya,   tapi   saya   pastikan   Danika   tidak   akan kekurangan apa pun. Baik lahir maupun batinnya. Saya akan membahagiakannya  semampu  saya.  Karena  itu,  saya  butuh izin  Om  untuk  meneruskan  tanggung  jawab  seorang  Ayah terhadap     putrinya     untuk     saya     emban.     Saya     ingin menggantikan  tugas  Om  sebagai  penanggung  jawab  hidup Danika.  Menjadi  pembimbingnya,  menjadi  Imam  baginya, dunia-akhirat.”

Ibra  mengucapkan  seluruh  kalimat  itu  tanpa  keraguan sedikitpun. Bisa kulihat ada perasaan terpukul di mata Papa. Helaan napas berat Papa terdengar jelas di telingaku. Mungkin kalimat   Ibra   benar-benar   memukul   tepat   pada   sasaran. Tangan Papa tampak bergetar. Di detik itu, aku merasakan iba pada  Papa.  Bagaimana  seorang  pria  asing  bisa  menampar keras dirinya melalui kata-kata yang memang benar adanya. Terutama di bagian Ibra ingin mengemban tanggung jawab seorang Ayah terhadap putrinya.

“Kalian  sudah  makan  siang?”  Entah  mengapa  Papa malah    mengalihkan    pembicaraan.    “Mungkin    kita    bisa lanjutkan pembicaraan setelah makan siang?”

Aku  ingin  protes.  Tak  ingin  berlama-lama  berada  di rumah  ini.  Namun,  lagi-lagi  Ibra  menahanku.  Menatapku sembari menggelengkan kepala pelan. Terpaksa aku menurut. Meski  tak  betah  berada  dekat  Tante  Indri  dan  Papa.  Tapi akhirnya aku patuh saat Ibra menarikku ke arah ruang makan.


Keputusan

Makan siang yang bagiku berlangsung mencekam sudah kami lewati. Aku sama sekali tak berselera sedikit pun. Keinginanku hanya  cepat-cepat  mengakhiri  pertemuan  ini.  Terlalu  muak harus  terus  berada  di  atap  yang  sama  dengan  Tante  Indri. Terlebih dengan tatapan Haninda yang seakan tak bisa lepas dari Ibra. Jujur saja, aku tak nyaman. Rasa penasaranku kian membuncah akan hubungan keduanya. Tapi aku percaya Ibra. Dia bukan tipe pria yang gampang menebar pesonanya pada perempuan  lain.  Meski  tak  bisa  dimungldri  jika  tanpa melakukannya pun, sikap Ibra sudah mampu memesona siapa pun. Termasuk aku.

“Sebelumnya,  boleh  Papa  bicara  berdua  saja  dengan Ibra?”  Pinta  Papa  sesaat  setelah  kami  menyelesaikan  acara makan siang.

Aku  keberatan.  Untuk  apa  Papa  butuh  bicara  dengan Ibra. Aku hanya butuh persetujuan. Tapi seperti biasa, Ibra tak keberatan  sama  sekali.  Pria  itu  setuju  dan  mulai  mengikuti langkah Papa ke arah ruang kerjanya.

“Jangan khawatir. Saya pasti bisa mengatasinya,” ucap Ibra menenangkan saat aku mencekal pergelangan tangannya. Mau tak mau, aku melepas Ibra untuk pergi bersama Papa.

Sepeninggal Ibra dan Papa, hanya ada aku, Tante Indri, dan   Haninda   di   ruang   keluarga.   Kuabaikan   keberadaan mereka dan memilih untuk duduk di sofa sembari memainkan ponsel. Tapi sepertinya tak akan semudah itu bagi Tante Indri untuk  melepasku.  Karena  wanita  itu  dan  putrinya  justru berada di tempat yang sama denganku.

“Hebat  kamu,  ya,  bisa  mendapatkan  atasan  di  tempat kamu  bekeija.”  Suara  Tante  Indri  terdengar.  “Pantas  saja keadaan kamu baik-baik saja di luar sana. Ternyata...”

“Apa?” selaku.

Tante Indri menyunggingkan senyum meremehkannya. “Ternyata kamu punya penyokong ekonomi rupanya.”

Kubalas  Tante  Indri  dengan  senyum  sinis,  membuat wajah  wanita  itu  memerah.  “Hah?  Jangan  samakan  saya dengan  Tante.  Saya  bukan  perempuan  murah  yang  tega menggoda atasannya.”

“Kamu...” desis Tante Indri tertahan.

“Mama...” Haninda berusaha melerai pertengkaran kami. “Saya  bicara  kenyataan,  kok.  Harga  diri  saya  cukup 

tinggi. Asai Tante tahu, bukan saya yang mengejar, tapi Ibra yang terus mendekati saya. Bahkan dia butuh bertahun untuk saya bilang Tya’. Saya perempuan mahal, Tante. Nggak akan sembarangan membiarkan laki-laki mendekati saya.”

Wajah Tante Indri memerah. Wanita itu pasti berusaha menahan emosinya. Sedangkan Haninda hanya menundukkan wajah mendengar ucapanku.

“Mama,  Kak  Danika,  jangan  bertengkar.  Enggak  enak kalau kedengaran sama Papa dan Mas Ibra.”

Alisku   terangkat   sebelah.   Mas?   Haninda   baru   saja menyebut  Ibra  dengan  panggilan  ‘Mas’.  Panggilan  yang menurutku  terlalu  dekat  bagi  orang  yang  baru  berkenalan seperti mereka.

“Kamu   kenal   sama   Ibra?”   tanyaku   spontan   pada Haninda.

Gadis itu terperanjat. Begitu juga Tante Indri. Haninda menguji  kesabaranku  dengan  kebungkamannya.  la  enggan menjawab.

“Kamu kenal Ibra, Ninda?” desak Tante Indri.

Mendapat desakan dari Mamanya dan tatapan menuntut dariku   membuat   Haninda   terpojok.   Gadis   itu   akhirnya mengangguk  pelan,  membuat  hatiku  serasa  diremas.  Ada marah tersisip karena mengetahui kenyataan itu. Tapi, aku tak akan bertindak bodoh tanpa meminta penjelasan dari Ibra.

“Sejak    kapan?”    Tante    Indri    kembali    bertanya. Menyuarakan rasa penasaranku juga.

“Ehm, Mas Ibra itu sahabat salah satu dosenku. Pernah ketemu saat Mas Ibra dan Pak Dhani lagi di kampus,” jawab Haninda.

Tante Indri tampak tak terpengaruh, tapi tidak bagiku. Melihat bagaimana Haninda menatap Ibra, aku tahu ada yang berbeda.  Mungkin  gadis  itu  juga  menyukai  Ibra.  Seperti perempuan  lainnya  yang  sering  kali  simpati  terhadap  sikap Ibra.

“Tapi  kamu  nggak  suka  sama  Ibra,  kan?”  Haninda tersentak  akan  tanyaku  padanya.  Sebut  aku  cemburu.Aku hanya  ingin  memastikan  bahwa  intuisiku  tak  salah.  Ibra milikku sejak pria itu mengajakku menikah. Boleh, kan, jika aku  mengklaim  pria  itu  dan  berusaha  mempertahankannya. Terlebih dengan status Tante Indri sebagai Mamanya. Aku tak ingin   berpikiran   buruk   tentang   Haninda.   Tapi,   kadang pepatah  benar  adanya.  Siapa  yang  tahu  jika  buah  jatuh  tak 

jauh  dari  pohonnya.  Tak  ada  yang  bisa  menebak  hati  dan tabiat manusia. Kecuali manusia itu sendiri.

“Kamu jangan kurang ajar, Danika!” Tante Indri yang bersuara, marah atas tuduhanku pada putrinya.

“Saya nggak tanya Tante. Saya tanya Haninda.”

“Apa  kamu  pikir  anak  saya  perempuan  nakal  yang senang  menggoda  laki-laki?”  geram  Tante  Indri.  Sementara Haninda hanya terdiam di samping Mamanya.

Aku mengangkat bahu. “Siapa yang tahu.”

“Kak Danika!” seru Haninda.

Aku  tahu  ia  pasti  sakit  hati.  Tapi,  ia  hams  menjawab tanyaku  jika  ingin  aku  tak  berpikir  macam-macam.“Kamu tinggal jawab. Apa susahnya,” lanjutku.

“Lain apa? Memangnya jawaban Haninda berpengaruh terhadap hidup kamu?” Tante Indri terus membela anaknya.

Kutatap  Ibu  dan  anak  itu  dengan  pandangan  tegas. “Sangat.  Karena  saya  nggak  mau  kejadian  yang  menimpa Mama, terjadi pada saya.”

Satu tamparan mendarat di pipiku. Tentu saja dari Tante Indri.    Wajah    wanita    itu    sudah    memerah    menahan kemarahannya.  Baik  aku  dan  Haninda  sama-sama  terkejut atas apa yang dilakukan Tante Indri.

“Mama!” tegur Haninda sembari menahan Mamanya. “Jaga  ucapan  kamu!”  ucap  Tante  Indri  dengan  suara tertahan.

“Atau apa?” tantangku.

Aku dan Tante Indri bertatapan dengan kemarahan yang terpancar jelas dari mata kami masing-masing. Jika wanita itu pikir  aku  akan  melunak  padanya,  itu  hanya  ada  dalam mimpinya.    Cukup    ia    menghancurkan    hidupku    dengan kehadirannya.  Tapi  tak  akan  kubiarkan  karma  yang  sama menimpaku  dengan  adanya  Haninda  dalam  hubungan  yang baru akan kumulai bersama Ibra.

“Kamu  nggak  akan  pernah  tahu  apa  yang  bisa  saya lakukan  untuk  membuat  kamu  jera.  Apa  diusir  dari  rumah belum cukup, Danika?”

“Diusir? Tante bercanda? Saya yang memutuskan untuk keluar dari rumah. Bukan karena diusir Papa.”

“Tetap  saja,  Papa  kamu  tetap  memilih  saya  daripada kamu, putri kandungnya.”

“lya,  Papa  memang  bodoh.  Lebih  milih  perempuan sampah kayak Tante.”

“Kamu...”

Sekali lagi tangan Tante Indri akan melayang ke pipiku. Aku sudah siap menerima tamparannya, sampai kami sadari, sudah  ada  sebuah  tangan  yang  menahan  pergelangan  Tante Indri.

“Mas Ibra...” gumam Haninda.

“Cukup sekali Tante bisa melayangkan tangan ke wajah Danika. Tidak akan ada lain kali.”

Aku dan Tante Indri sama-sama terdiam. Terlebih saat Ibra  melepaskan  cekalannya  pada  pergelangan  Tante  Indri dan berdiri di sampingku. Kutatap Tante Indri dengan senyum penuh  kemenangan.  Jika  dulu  wanita  itu  merasa  berada  di atas angin, maka saat ini giliranku. Kami bahkan tak sadar jika sedari tadi, Papa sudah berdiri beberapa meter dari kami dan menyaksikan kembali pertengkaranku dan Tante Indri.

“Kamu ... sebagai calon suaminya, harusnya kamu bisa mengatur  mulut  calon  istri  kamu.”  Telunjuk  Tante  Indri mengarah  pada  Ibra.  Wanita  itu  benar-benar  menunjukkan emosinya.

“Itu pasti, Tante. Tapi perlu saya ingatkan pada Tante, tolong jangan lagi bersikap kasar pada Danika. Segera, Danika akan menjadi tanggung jawab say a. Dan say a jelas tidak akan menolerir siapa pun yang bersikap kasar padanya. Meski itu Tante, sebagai istri dari Papa Danika.”

Ucapan Ibra yang tegas membuat Tante Indri tak bisa membantah. Terlebih saat tatapannya bertemu dengan Papa. Ada sedikit ketakutan yang terpancar dari mata Tante Indri. Aku sendiri tak ingin berlama-lama memandang Papa. Mataku segera kualihkan pada Ibra.

“Segera?” tanyaku bingung.

Ibra    tersenyum     hangat,    kemudian    mengangguk. Setelahnya    pandanganku    beralih    kepada    Papa.    Beliau memberikan   tatapan  yang  tak  bisa  kubaca  sama  sekali. Menatap mata Papa yang jernih seperti saat ini, membawaku seperti  kembali ke masa lain. Tapi tetap ada Iuka di sana. Hingga   akhirnya   kupalingkan   wajah.   Memilih   kembali menatap ke arah Ibra.

“Ayo, pulang!” pintaku padanya.

“Danika...,” panggilan Papa terdengar, tapi aku tetap tak ingin memandangnya.

“Ayo, pulang. Saya kangen Mama.” Saat kukatakan itu, tak  ada  lagi  yang  bersuara.  Ibra  pun  mengerti  apa  yang kuinginkan.  Pria  itu  membawaku  bersamanya  menghampiri Papa.

“Ayo, pamit sama Papa kamu,” perintahnya yang harus kuturuti.

Meski  berat  hati,  tapi  aku  akhirnya  menatap  Papa kembali. “Aku pamit, Pa.”

Papa belum menjawab, hanya memandangiku sejenak. Hingga kemudian terdengar, “Papa tunggu kamu pulang ke rumah.”

Aku tak menjawab, pun tak mengiakan, tapi aku tahu apa yang Papa maksud dengan menungguku pulang. Itu pasti berhubungan  dengan  lamaran  resmi  Ibra  dan  keluarganya. Sudah pasti aku harus pulang ke rumah. Tapi kupastikan, itu adalah terakhir kalinya aku menginjakkan kaki di rumah ini. Terakhir kali pulang ke rumah yang sejak kepergian Mama tak lagi kusebut rumah.

Rencana  kedatangan  keluarga  Ibra  sudah  diputuskan.  Dua minggu  lagi  mereka  akan  datang  ke  rumah  Papa  untuk melamarku  dan  membicarakan  perihal  pernikahan.  Namun hingga  kini,  aku  tak  berniat  kembali  ke  rumah.  Aku  akan pulang di hari Ibra dan keluarganya datang.

Masalah lamaran dan restu tak lagi menjadi pikiranku. Hany a saja sejak kedatanganku ke rumah Papa, aku belum bisa  menghilangkan  pikiranku  tentang  Ibra  dan  Haninda. Terlebih aku tak berkesempatan bertanya langsung pada Ibra. Saat Ibra membawaku mengunjungi Mama sepulangnya kami dari  rumah  Papa,  keinginanku  itu  terlupakan.  Berada  di makam  Mama  membuatku  lupa  akan  misiku  bertanya  pada Ibra.

Pun setelah kami kembali pada kegiatan harian. Sushi Me   yang   selalu   dibanjiri   pelanggan   membuatku   jarang mendapat  kesempatan  untuk  bicara  padanya.  Begitu  juga dengan Ibra yang akhir-akhir ini jarang berada di Sushi Me. Bahkan ia sering memintaku pulang dengan taksi karena tak memiliki waktu untuk menjemputku.

Hubungan kami memang maju selangkah. Tapi di titik tertentu,   aku   merasa   justru   komunikasi   kami   mundur beberapa    langkah.    Jika    biasanya     Ibra    akan    selalu mengawasiku,  bertanya  padaku,  atau  memerintahku  ini  dan itu, kini pria itu seolah menjauh. Membuat kepalaku berpikir yang tidak-tidak. Kadang malah pikiran bahwa Ibra tak lagi memprioritaskanku  menyusup  masuk  seenaknya.  Membuat hatiku kembali mempertanyakan keseriusan pria itu.

“Hei, lesu amat? Kenapa?” Anwar, Manajer kami tiba- tiba menghampiriku di ruang ganti.

Aku menoleh, tersenyum simpul padanya. “Capek.” “Kan   jam   keija   kamu   sudah   kelar.   Kenapa   nggak 

pulang?” tanya Anwar lagi. “Nunggu Pak Ibra?”

Aku  menaikkan  sebelah  alisku.  “Kenapa  aku  harus nunggu Pak Ibra?”

“Kan biasanya kalian pulang sama-sama. Atau Pak Ibra biasa keluar cuma buat nganterin kamu pulang.”

Apa yang Anwar katakan memang benar. Tapi, akhir- akhir ini tidak lagi. Ibra seperti punya kesibukan lain yang aku tak boleh tahu.

“Kenapa? Lagi bermasalah sama Pak Ibra?”

Aku mengalihkan kembali tatapan pada Anwar. “Enggak, kok. Aku balik, ya,” pamitku. Anwar hanya mengangguk kecil.

Baru saja menginjakkan kaki di pintu keluar Sushi Me, langkahku  sudah  dihadang  seseorang.  Kuhela  napas,  lelah. Sebenarnya  saat  ini  aku  ingin  segera  tiba  di  rumah  dan mengistirahatkan tubuh dan pikiranku. Tapi sepertinya Tuhan sedang     ingin     menguji     kadar     kesabaranku     dengan menghadirkan Bintang.

“Bisa bicara sebentar?” tanyanya dengan nada datar. “Berapa lama?”

Bintang menatap tajam padaku. “Begin! banget kualitas calon istri Mas Ibra,” sinisnya.

“Kamu minta waktu sebentar, kan? Karena itu saya tanya sebentar itu seberapa lama buat kamu. Tiga puluh menit saja bagi saya sudah cukup lama.”

“Oke, saya juga malas basa-basi sama orang kayak kamu. Tapi demi keluarga kami, saya cuma mau bilang, tinggalkan Mas  Ibra.  Kamu  itu  nggak  pantas  jadi  istrinya  Mas  Ibra. Harusnya kamu sadar, kalau kamu dan Mas Ibra itu nggak cocok sama sekali. Dan harusnya kamu juga mikir, enggak semua  anggota  keluarganya  setuju  dengan  rencana  kalian. Kalau  kamu  memang  pintar,  pikirkan  itu.  Apa  kamu  bisa menjalani    pernikahan    dengan    adanya    tentangan    dari keluarga?”

Bintang bicara panjang lebar. Di depan pintu Sushi Me yang pasti membuat kami jadi pusat perhatian. Mungkin aku salah membiarkan perempuan ini mengoceh di depan umum. Tapi sungguh, aku lelah. Dengan tubuhku dan juga pikiranku tentang  Ibra  yang  akhir-akhir  ini  sering  menghilang.  Dan ditambah dengan ocehan sepupunya yang membuat telingaku berdenging, makin bertambah lelah yang kurasakan.

“Sudah, kan?” tanyaku. Wajah Bintang memerah karena menahan emosi. “Katakan itu pada Ibra.”

“Danika!”

Tak   kuhiraukan   Bintang   dan   teriakannya.   Saat   ini kepalaku  pusing.  Aku  ingin  menjauh  dari  keramaian  dan menyendiri di rumahku. Tanpa gangguan siapa pun.

Begitu  tiba  di  rumah,  aku  langsung  memasak  untuk makan   malam.   Beruntung   masih   memiliki   stok   bahan makanan  di  kulkas.  Jadi  aku  tak  perlu  keluar  dari  rumah untuk  berbelanja.  Tak  sampai  satu  jam,  masakan  sederhana sudah  siap  dihidangkan.  Tapi  belum  lagi  bisa  menyantap makanan  malam,  suara  ketukan  di  pintu  menggangguku. Dengan malas,  aku beranjak menuju pintu depan. Kudapati Ibra sudah berdiri di sana.

“Ada apa?” tanyaku, malas berbasa-basi.

“Tidak  mengizinkan  saya  masuk  dulu?”  tanya  Ibra, membuatku   terpaksa   menyingkir   dan   mempersilakannya masuk.

“Sudah makan malam?” Ibra menggeleng. “Mau makan malam sama-sama?”

Senyum  di  wajah  pria  itu  terbit.  Mungkin  ia  bahagia karena ini pertama kalinya aku menawarkannya untuk makan malam bersamaku. Kami menuju dapur. Pintu depan sengaja kubiarkan terbuka sebagai antisipasi. Meski Ibra sering bolak- balik ke rumahku, tapi bukan berarti aku bebas dari ucapan miring orang-orang.

“Cuma masakan sederhana,” ucapku ketika Ibra sudah duduk.

“Bukan  masalah.  Nanti  juga  saya  akan  sering  makan masakan kamu.”

Aku  tak  menjawab,  memilih  mulai  menikmati  makan malam   sederhanaku.   Hingga   setelah   selesai   makan,   aku meminta Ibra untuk menunggu saja di ruang tamu selagi aku membersihkan piring kotor bekas kami makan. Tapi seperti yang sudah-sudah, pria itu tak menurut. Malah tetap duduk di kursi makan menungguku selesai mencuci piring.

“Bintang   datang   ke   Sushi   Me   menemui   kamu?” pertanyaan  pembuka dari  Ibra ketika  kami  sudah  berada  di ruang tamu membuatku terperanjat.

“Tahu dari mana?” tanyaku bingung.

“Anwar. Dia lihat kamu berdebat sama Bintang di pintu masuk Sushi Me.”

Aku menggangguk. “Lain?”

“Maaf,karena sikap Bintang kurang ajar ke kamu. Saya harap kamu bisa maklum. Tapi jangan pernah pikirkan dan ambil hati apa pun yang mereka katakan ke kamu.”

Sekali lagi aku mengangguk. Tak mau ambil pusing akan masalah  ketidaksukaan  Bintang  dan  Mamanya  terhadapku. Lama kami terdiam sampai akhirnya aku ingat ada yang ingin kutanyakan pada Ibra.

“Kamu kenal Haninda sebelumnya?” tanyaku tiba-tiba. “Hah?” Wajah Ibra menunjukkan kebingungan saat aku 

bertanya.

“Kamu, kenal sama Haninda sebelumnya?”

“Tidak.”

“Tapi dia bilang kenal kamu sebagai teman dosennya.” Ibra  tersenyum.  Sepertinya  ia  tahu  arah  pembicaraan 

kami. “Kalau dia pernah lihat saya, mungkin benar. Tapi saya sama sekali tidak kenal Haninda sebelumnya.”

Mataku menatap Ibra menyelidik. Pria itu tetap tenang. Menandakan benar-benar tak berbohong padaku. Sejauh ini, pria  itu  sama  sekali  belum  pernah  membohongiku.  Dan semoga saja Ibra akan terus jadi pribadi yang jujur dan dapat kupercaya.

“Kamu punya sesuatu yang mengganggu pikiranmu soal itu? Haninda?” tanya Ibra tiba-tiba.

“Kalau aku bilang enggak, artinya aku bohong. Kalau aku nggak kepikiran mana mungkin aku tanya ke kamu.”

Tadinya  kupikir  Ibra  akan  marah  atau  paling  tidak kecewa karena aku punya kecurigaan terhadapnya. Tapi yang ada, ia malah mengelus pelan puncak kepalaku.

“Itu bagus. Apa pun yang mengganjal di pikiran dan hati kamu,  bicarakan.  Saya  suka  inisiatif  kamu  untuk  bertanya langsung ke saya. Daripada berspekulasi, akhirnya malah jadi pikiran  yang  aneh-aneh  dan  akan  mengganggu  hubungan kita.”

“Kamu ... akan selalu jujur, kan?” Tiba-tiba saja terlontar kalimat itu dari bibirku.

“InsyaAllah, saya akan selalu jujur sama kamu, tentang apa pun.”

Aku diam, tapi juga merasakan kelegaan.  Paling tidak Ibra  memberikan  jaminan  padaku.  Aku tak  ingin  hubungan dilandasi   kebohongan   apa   pun.   Aku   ingin   Ibra   selalu mengutarakan   apa   pun   padaku.   Begitu   juga   yang   akan kulakukan terhadapnya. Kadang krisis kepercayaan itu masih tertinggal   di  dalam   hatiku.   Karena  itu,   aku  tidak  ingin mengalami hal yang sama untuk kedua kali. Dikhianati.


Membuka Hati

Malam nanti keluarga Ibra akan datang ke rumah Papa untuk lamaran resmi mereka. Ibra sudah mengatakan bahwa ia akan membawa  kedua  orang  tuanya saja.  Sedang keluarga  Tante Mala  tak  diikutsertakan.  la  tak  ingin  kehadiran Tante Mala membuat  suasana  lamaran  yang  ia  inginkan  menjadi  tak kondusif. Ibra juga mengatakan bahwa ia ingin aku menunggu kedatangan keluarganya di rumah. Tapi untuk kali ini, aku tak ingin menurutinya. Waktu libur yang diberikan Ibra khusus hari ini agar aku segera pulang ke rumah, tak kugunakan. Aku lebih  memilih  untuk  menjernihkan  pikiran.  Sore  nanti  aku baru akan kembali ke rumah. Pagi hingga siang ini, aku ingin menghabiskan waktu seorang diri.

Dan  di  sinilah  aku,  terdampar  di  sebuah  toko  buku. Menyendiri di sudut ruangan dengan beberapa buku yang bisa dibaca  dengan  bebas.  Beberapa  kali  ponselku  berdering, namun  aku  tak  mengangkatnya  sama  sekali.  Ada  Ibra  dan Papa yang menghubungi. Aku tak tahu dari mana Papa bisa mendapatkan     nomor     ponselku.     Mungkin     Ibra     yang memberikan.

“Kak Danika?”

Kepalaku  menengadah  saat  mendengar  panggilan  itu. Mataku  bertemu  pandang  dengan  Haninda.  Kenapa  di  saat aku ingin menyendiri, ada saja gangguan.

Gadis  itu  masih  berdiri  di  tempatnya.  Karena aku  tak berniat    menyambutnya    dengan    ikut    berdiri,    Haninda berinisiatif untuk ikut duduk di depanku.

“Mau ngapain kamu?” tanyaku langsung.

“Kenapa  Kak  Danika  di  sini?  Bukannya  nanti  malam keluarga Mas Ibra mau datang?”

Panggilan itu lagi. Aku terganggu dengan cara Haninda memanggil  Ibra.  Apa  aku  sudah  berubah  jadi  calon  istri posesif nan pencemburu?

“Bukan urusan kamu. Saya yang tanya ngapain kamu di sini,” ketusku.

Wajah Haninda tampak tersenyum maklum. Meski gadis ini tak menduplikat sifat Ibunya, aku tetap tak bisa bermanis- manis   terhadapnya.   “Lagi   cari-cari   buku   untuk   kuliah,” 

jawabnya.

Jawabannya Haninda entah mengapa serasa menusuk ke ulu hatiku. Miris bukan, Haninda yang bukan putri kandung Papa  mendapatkan  pendidikan  terbaik.  Sedang  aku,  justru harus merasakan yang namanya berhenti kuliah. Sesaat aku ingin meneriakkan kata tak adil di depan wajahnya, tapi aku tahu tak akan ada gunanya. Inilah jalanku. Meski aku harus mengalami    kesulitan,    tapi    Tuhan    begitu    berbaik    hati menghadirkan orang-orang seperti Dayu dan Ibra di hidupku.

“Sudah ketemu, kan? Kamu bisa pergi,” usirku padanya. Aku tak tahu bagaimana raut wajah Haninda menerima 

pengusiranku  karena  aku  memilih  untuk  melanjutkan membaca.  Tadinya  kupikir  gadis  itu  akan  menyerah  dan pergi,tapi ternyata Haninda tetap bertahan di tempatnya.

“Aku tahu Kak Danika masih marah sama Mama, atau bahkan  aku.  Tapi,  aku  benar-benar  nganggap  Kak  Danika seperti Kakakku sendiri. Aku tahu Mama salah, tapi sebagai anak  aku  bisa  apa.Hidupku  masih  bergantung  sepenuhnya sama Mama. Aku cuma bisa berdoa semoga Mama dibukakan hatinya agar sadar dari kekeliruannya. Juga berdoa agar Kak Danika  dibukakan  pintu  maafnya  untuk Mama. Maaf kalau aku lancang sok nasihatin kalian. Tapi, menyimpan marah dan dendam     nggak     akan     ada     gunanya.     Enggak     akan mengembalikan waktu ke masa lain.”

Kujauhkan buku dari pandanganku dan menatap tajam ke   arah   Haninda.   Gadis   itu   tampak   meringis   karena tatapanku.  “Tahu  apa  kamu  soal  dendam  dan  sakit  hati? Pernah merasakan?”

Haninda   menaikkan   sedikit   pandangannya.   “Pernah. Kalau Kak Danika berpikir cuma Kakak yang jadi korban di sini, coba pikir ulang. Apa aku juga nggak menjadi korban dalam hal ini...”

“Itu karena ulah Mama kamu!”

“Gimana  dengan  Papa?”  tantang  Haninda.  Gadis  itu sepertinya   ingin   menumpahkan   apa   yang   mengganjal   di kepalanya. “Seperti yang aku pernah bilang, Mamaku memang salah, tapi ada andil Papa juga kenapa keadaan ini menimpa kita.”Mata Haninda mulai berkaca-kaca. Jujur, dalam hati aku tak tega melihat gadis itu. Tebersit rasa iba kala aku melihat mata jernihnya yang mulai berair.

“Aku ... sama seperti Kak Danika. Aku juga nggak ingin berada dalam situasi seperti sekarang ini. Dicap sebagai anak perempuan  murahan.  Perebut  kebahagiaann  orang  lain.  Itu semua juga bikin aku sakit hati, Kak. Tapi lagi-lagi, aku bisa apa? Marah sama Mama? Aku nggak akan bisa, Kak. Mau bagaimanapun, seburuk apa pun, dia itu tetap Mamaku. Orang yang  sudah  melahirkan  dan  membesarkanku.  Kak  Danika boleh benci sama Mama. Itu hak Kak Danika. Tapi ... bisa tidak, jangan benci aku?”

Haninda sudah benar-benar menangis, dan aku bingung harus   bagaimana   menghadapi   anak   ini.   Beruntung   kami berada  di  sudut  ruangan  dan  jauh  dari  pandangan  orang­ orang.  Meski  ada  satu-dua  pengunjung  yang  tak  sengaja melihat kami. Tapi kurasa mereka tak ingin repot-repot ikut campur terhadap masalah yang kami hadapi.

“Aku juga tahu kekhawatiran Kak Danika. Kakak pasti masih puny a rasa trauma atas apa yang teijadi pada orang tua kita. Baik, aku jujur, aku suka sama Mas Ibra. Tapi sebatas itu. Hany a rasa kagum seorang gadis terhadap laki-laki. Karena aku tahu, hanya sebatas itu yang bisa kulakukan. Aku nggak pernah  punya  niat  atau  bahkan  angan-angan  untuk  coba berdekatan  dengan  Mas  Ibra.  Terlebih  saat  tahu  Mas  Ibra adalah  calon  suami  Kak  Danika.  Aku  nggak  akan  pernah berani bermimpi untuk dekatin dia. Terlebih lagi, aku bukan Mama. Darah Mama memang mengalir di tubuhku, tapi... aku bukan Mama...”

Di detik ini, isakan Haninda makin keras. Aku seperti disadarkan oleh gadis itu. Selama ini aku membencinya secara sepihak. Hany a karena ia putri Tante Indri. S elama ini aku tak adil  terhadap  gadis  itu.  Melihatnya  menangis  di  depanku, mengetuk  nuraniku.  Andaikan  Mama  masih  bersamaku, beliau  pasti  akan  kecewa  padaku.  Mama  tidak  pernah mengajarkanku  akan  kebencian.  Tapi  kemarahan  dan  rasa terkhianati  yang  dilakukan  oleh  Papa  dan  Tante  Indri mengaburkan nuraniku. Membuatku pun memupuk rasa yang sama terhadap Haninda, yang mungkin juga menjadi korban dari keegoisan dua manusia dewasa tersebut.

“Jangan benci aku seperti Kak Danika benci Mama...” isak      Haninda.      Gadis      itu      menundukkan      kepala, menyembunyikan wajah basahnya.

Rasanya aku menjadi manusia tak berhati jika aku masih menebar benci pada gdis itu. Haninda tak bersalah. Harusnya sejak awal kedatangan gadis itu, aku tak mengibarkan kobaran kemarahan dan kebencian yang sama padanya. Seperti yang kulakukan pada Papa dan Tante Indri.

Kuulurkan tanganku, mengusap kepala Haninda lembut. Gadis itu perlahan menegakkan kepalanya. “Maaf...,” ucapku lirih.

Wajah  Haninda  berangsur  lega.  Gadis  itu  berusaha meredakan  isak  tangisnya.  “Sejak  Kak  Danika  pergi,  Papa mulai berubah. Mungkin di awal beliau masih merasa kalau Kak  Danika  hanya  anak  manja  yang  sedang  melakukan protesnya  pada  orang  tua  dengan  pergi  dari  rumah.  Tapi seiring waktu, saat Papa nggak mendapat sedikit pun kabar dari  Kak  Danika,  Papa  tahu  beliau  salah.  Di  luar,semua terlihat baik-baik saja, tapi aku tahu kalau Papa menyesal akan kepergian Kak Danika,” beber Haninda kemudian.

“Kalau Papa menyesal, kenapa nggak pernah berusaha mencari tahu tentangku?” tanyaku kemudian.

“Papa  berusaha, tapi  rasa  malu  dan sesalnya  mungkin lebih mendominasi. Apalagi hubungan Mama dan Papa nggak beijalan  sebaik  kelihatannya.  Mungkin  itu  karma.  Memang mereka masih terlihat baik sebagai suami istri. Tapi nggak ada yang tahu kalau di rumah, mereka seperti orang yang punya hidup masing-masing. Rumah megah itu nggak seperti rumah.

Itu sebabnya, aku lebih sering menghabiskan waktu di luar daripada di rumah.”

Satu   kesadaran   tiba-tiba   menghantamku.   “Kamu   ... kenapa bisa lebih kenal Papa dibanding aku?”

Haninda tersenyum maklum. “Karena saat Kak Danika nggak ada, Papa cuma punya aku untuk tempatnya bicara.”

Aku diam, pikiranku menerawang. Pantas saja saat aku kembali,  ada  sorot  tak  terbaca  di  mata  Papa.  Bisakah  itu kuartikan sebagai rasa rindu?

“Kak,   Papa   menyesal.   Dalam   hatinya,   beliau   pasti merindukan  putri  satu-satunya.  Sebaik  apa  pun  aku  jadi teman bicara Papa, aku nggak akan bisa menggantikan sosok anak kandungnya. Orang bilang, darah lebih kental dari air. Dan itu memang benar adanya. Papa rindu Kak Danika.”

Kutatap Haninda dengan serius. Saat aku akan menyela, gadis itu kembali bicara, “Papa dan Kak Danika itu mirip. Kalian  sama-sama  keras  kepala,”  ucapnya  diiringi  senyum simpul.  “Pasti  butuh  waktu  buat  Kak  Danika  untuk  benar- benar maafin Papa. Tapi, coba, ya? Kakak boleh tetap benci Mamaku, tapi aku mohon, buka pintu maaf Kak Danika untuk Papa.”

Lagi  dan  lagi,  aku  dibuat  terperanjat  oleh  Haninda. Penilaianku   selama   ini   benar-benar   keliru   terhadapnya. Selama ini aku terlalu picik menilai Haninda. Semua lagi-lagi karena    kesalahan    kedua    orang    tua    kami    yang    ikut kulimpahkan padanya. Melihatnya bicara dengan tulus padaku seperti saat ini membuka hatiku. Bahwa tak selamanya buah itu jatuh tak jauh dari pohonnya. Seperti halnya Haninda. la boleh saja mewarisi darah dari Ibunya,tapi akal dan hatinya memutuskan untuk ia tak akan jadi seperti Ibunya.


Malam ini aku sudah berada di kediaman Papa. Sore tadi aku memutuskan untuk ikut bersama Haninda pulang ke rumah. Meski hubungan kami masih agak canggung, tapi aku akan berusaha untuk membuka hatiku terhadapnya. Yang tak kalah terkejut dengan kedatangan kami sore tadi adalah Papa. Wajah beliau  tampak  berbinar  menyadari  putri  kandung  dan  putri tirinya  tampak  akur  bersama.  Beruntung  aku  tak  harus bertatap muka dengan Tante Indri. Jika tidak, kurasa suasana hatiku akan memburuk kembali.

Selama  menunggu  kedatangan  Ibra,  kuputuskan  untuk mengurung diri di kamar. Kamar lamaku yang sudah beberapa tahun ini tak kutempati. Semua masih sama. Tak ada satu pun yang berubah dari kamar ini. Bahkan pigura berisi fotoku dan Mama    masih    berada    di    tempatnya.    Membuatku    bisa mengenang sosok Mama di kamar ini.

“Masuk,” ucapku ketika ada yang mengetuk pintu.

“Ayo turun, Kak. Keluarga Mas Ibra sudah datang.”

Aku   mengangguk.   Setelah   memastikan   sekali   lagi penampilanku  dengan  kebaya  yang  merupakan  warisan  dari Mama, aku dan Haninda turun bersama ke ruang tamu. Di sana sudah ada Ibra dan kedua orang tuanya. Juga Papa dan Tante Indri. Walau tak suka melihat kehadiran Tante Indri, tapi   aku   harus   menahan   diri.   Jangan   sampai   menyulut pertengkaran dengannya dan membuat semua menjadi kacau.

Mama   Ibra   tampak   tersenyum   hangat   menyambut kedatanganku.  Membuatku  tertular  senyumannya  dan  ikut tersenyum. Setelah duduk di sofa bersama Haninda, aku pun menaikkan pandangan yang langsung tertangkap mata Ibra.

Rasa    gugup    menyerangku.    Ibra    memang    sering menatapku intens, tapi tatapannya malam ini terasa berbeda. Mampu  membuat  jantungku  kembali  menggila.  Kuturunkan tatapanku menghindari Ibra.

“Bismillah,  assalamualaikum,  Pak  Randa  Wijaya  dan keluarga.” Suara Papa Ibra mengalun tenang di ruangan ini. Membuat    kami    semua    otomatis    menjawab    salamnya. “Perkenalkan,  saya  Zahid  Arrauff,  dan  istri  saya,  Amida. Malam ini datang ke rumah Pak Randa untuk membicarakan perihal  hubungan  kedua  anak  kita,  Danika  dan  Ibra.  Pak Randa pasti sudah tahu tujuan kami ke sini menemui Bapak untuk    alasan    apa.    Karena    sebelumnya,    Ibra    sudah menyampaikan bahwa dia sudah menemui Pak Randa. Karena itu,  kami  mohon  kesediaan  Pak  Randa  dan  keluarga  untuk menerima kami.”

Suasana seketika menjadi lebih serius. Aku bisa melihat tatapan  Papa  dan  Om  Zahid  yang  saling  terpaut  satu  sama lain. Tanpa sadar aku mencengkeram jemariku.

“Waalaikumsalam. Terima kasih untuk kedatangan Pak Zahid dan Ibu Amida, juga Ibra. Seperti yang sudah Pak Zahid katakan, Ibra sudah menemui saya dan, ya, seperti yang saya katakan padanya, semua tergantung pada keputusan Danika. Apa pun yang menjadi kebahagiaan Danika, saya tidak akan menghalanginya.”

Aku   dan   Haninda   berpandangan   sejenak,   kemudian mataku  mencari  Papa.  Sudut  bibir  Papa  tampak  tertarik. Matanya  seperti  memancarkan  kerinduan  padaku  detik  itu 

juga. Namun saat tak sengaja  aku bertemu pandang dengan Tante  Indri,  wanita  itu  kembali  merusak  suasana  hatiku. Cepat-cepat kupalingkan wajahku ke arah lain.

“Ibra, bagaimana?” Om Zahid bertanya pada putranya yang sejak tadi tak pernah mengalihkan tatapan dariku.

Ibra   menghela   napas   sejenak.   “Bismillah,   Danika Khayrani Wijaya, bersediakah kamu menerima saya, sebagai pendamping hidupmu, laki-laki yang akan menghabiskan sisa umurnya  bersamamu?  Dalam  susah  maupun  senang.  Saling belajar  dan  memahami.  Saling  mendukung  dan  menguatkan sebagai  pasangan.  Hingga  Allah  menuliskan  ketetapan-Nya sampai akhir hidup kita.”

Cengkeraman  jemariku  berubah  menjadi  lebih  dingin. Napasku pun terasa berat. Aku tak pernah mengalami hal ini. Menerima  lamaran  seorang  pria  di  depan  banyak  orang. Lidahku  pun  serasa  kelu  untuk  bersuara.  Hingga kurasakan sebuah   genggaman   hangat   menyentuh   tanganku.   Mataku langsung  beralih  pada  Haninda  yang  menampilkan  senyum hangat layaknya saudari yang menyemangati Kakaknya untuk mengambil keputusan paling penting dalam hidupnya. Kurasa Papa dan Tante Indri akan terkejut karena genggaman tangan kami.

“Bismillah,  saya  terima,”  suaraku  lirih  bergetar.  Tapi setelah  mengucapkan  kalimat  singkat  itu,  semua  beban  dan ketakutan seakan lepas dari hatiku.

“Alhamdulillah... ” Om Zahid dan Tante Amida berucap syukur.

Papa  pun  terlihat  sama  leganya.  Mata  beliau  tampak berkaca-kaca.    Membuatku   menyadari   bahwa   apa   yang dikatakan Haninda mungkin ada benarnya. Tapi saat mataku menangkap    pancaran    tak    senang    dari    Tante    Indri, kemarahanku timbul kembali. Masih ada. Sisa kemarahan dan benci itu masih ada di hatiku untuk mereka.

Prosesi  dilanjutkan  dengan  saling  bertukar  cincin  dan menetukan   tanggal   pernikahan.   Ibra   menginginkan   akad nikah     dilakukan     secepat     mungkin,     tapi     Mamanya menginginkan   agar   diberi   waktu   untuk   mempersiapkan semuanya.

“Mama  dan  yang lainnya  jangan khawatir.  Ibra sudah siapkan semua. Untuk resepsi, Ibra ingin dilakukan di Sushi Me.   Tidak   perlu   banyak   tamu,   yang   penting   semua berlangsung  lancar  dan  terkendali.  Untuk  akadnya,  terserah Danika ingin dilangsungkan di mana. Bagaimana, Danika?”

Aku   tertegun.   Ibra   benar-benar   sudah   menyiapkan semua. Bahkan tanpa mengatakan padaku. Memang, aku tak akan protes untuk acara resepsi yang dilaksanakan di Sushi Me nanti. Sepertinya ia tahu aku tak terlalu ingin pesta mewah dan meriah. Tapi untuk akad, mengapa Ibra justru bertanya padaku?   Apa   karena   ia   tahu,   aku   masih   belum   ingin memperbaiki hubungan dengan Papa?

“Bagaimana,     Danika?     Kamu     mau     akad     nikah dilaksanakan di mana?” tanya Tante Amida kemudian.

Kutatap  Ibra  dan  Papa  bergantian.  Jelas  tertangkap netraku, bahwa Papa mengharapkanku untuk melangsungkan akad nikah di rumah ini. Tapi, aku kembali ingat, Papa dan Tante Indri pun melangsungkan akad nikah di rumah ini, dan hal itu membuatku tak ingin mengalami momen sakralku di tempat yang sama dengan mereka.

“Boleh di masjid dekat tempat tinggal saya?” tanyaku pada Ibra dan kedua orang tuanya.

Wajah  Tante  Amida  dan  Om  Zahid  tampak  terkejut. Mungkin    mereka    tak    menyangka    jika    aku    enggan melaksanakan  prosesi  sakral  itu  di  rumah  ini.  Begitu  pula Papa yang tampak kecewa.

“Apa pun keputusan kamu.” Akhirnya Ibra menjawab. Aku  lega  karena  Ibra  selalu  menuruti  mauku.  Meski 

mungkin agak berlebihan, namun baik Papa dan kedua orang tua Ibra pun akhirnya setuju. Selangkah lagi, hidupku akan berubah.  Pembicaraan  pun  dilanjutkan  mengenai  mahar  dan busana  pernikahan.  Untuk  urusan  itu,  aku  menurut  dan menyerahkan semua pada Tante Amida—karena Tante Indri pun terlihat tak ingin repot-repot mengakrabkan diri dengan calon mertuaku.

Saat pembicaraan sudah berakhir, Ibra dan keluarganya berpamitan untuk pulang. Sebenarnya aku ingin ikut bersama mereka, tapi merasa tak enak hati pada orang tua Ibra. Jadi, sebelum  pria  itu  pergi,  aku  meminta  kesediaan  Ibra  untuk menjemputku  kembali  setelah  mengantarkan  orang  tuanya. Jika  ia  keberatan,  maka  aku  akan  memilih  pulang  dengan taksi.

“Jangan pulang dengan taksi. Tunggu saya di sini!” kata Ibra dengan nada tegas.

Aku   menurut.   Selagi   menunggu   Ibra,   aku   memilih kembali mengurung diri di kamar. Tapi belum lagi mencapai kamar, aku bisa mendengar suara perdebatan dari arah ruang keija  Papa.  Tak  ingin  ikut  campur,  kulangkahkan  kakiku secepatnya ke arah kamar. Namun kembali langkahku terhenti ketika Tante Indri keluar dari ruang kerja Papa. Wanita itu menatapku tak suka.

“Pasti kamu bahagia, ya, bisa kembali lagi ke rumah ini,” cibirnya.  “Atau  karena  Papa  kamu  akhirnya  mengizinkan untuk menikah?”

“Dengan atau tanpa izin Papa, saya tetap akan nikah. Enggak  usah  mencampuri  urusan  saya.  Urus  saja  masalah Tante  sendiri!”  balasku  ketus  dan  segera  berlalu  ke  dalam kamar.

Kurebahkan  tubuhku  ke  kasur.  Mencoba  berpikir  apa yang menjadi perdebatan Papa dan Tante Indri. Tapi semakin aku   berpikir,   semakin   tak   kutemukan   jawabannya.   Atau mungkin perdebatan mereka ada hubungannya denganku?

Tidak, apapun itu, aku tak peduli pada mereka.

Kembali kutegakkan tubuhku. Beringsut menuju kamar mandi. Aku harus mengganti pakaianku. Menunggu Ibra agar segera menyingkir dari kekacauan rumah ini.


Luka Yang Kembali Terbuka

Mitosnya,  ada  saja  kendala  menjelang  hari  pernikahan. Tadinya  aku  tak  percaya  pada  hal  seperti  itu.  Sampai  aku mengalaminya sendiri. Hari-hari menjelang momen sakral itu membuatku dilanda kepanikan. Baik yang beralasan maupun tanpa alasan. Hal kecil seperti persiapan kebaya akad saja bisa membuat  kepalaku  hampir  meledak  karena  ukurannya menjadi lebih kecil. Jika calon pengantin dilanda stres hingga kehilangan  nafsu  makan,berbeda  denganku  yang  justru kelebihan  nafsu  makan  hingga  ukuran  kebaya  menjadi kekecilan.

Kepanikanku   juga   berdampak   pada   orang-orang   di sekitar.  Terutama  Dayu  dan  Ibra.  Keduanya  kerap  menjadi sasaran adukan emosiku. Terlebih lagi Ibra. Pria itu yang lebih banyak mengurus perihal resespsi di Sushi Me tak Input dari amukanku.    Seperti    malam    ini,    ketika    Ibra    datang membawakanku  makan  malam  yang  ia  pesan  khusus  dari rumah makan Padang kesukaanku. Aku kembali berulah.

“Aku nggak suka rasa rendangnya,” protesku pada Ibra. Aku memang mengubah panggilanku pada Ibra. Bukan 

karena  Ibra  yang  meminta,  tapi  memang  atas  inisiatifku sendiri.  Juga  karena  Dayu  yang  merasa  heran  setiap  kali mendengar aku dan Ibra saling bicara. la tak melihat kami sebagai pasangan karena sapaan yang formal. Akhirnya mau tak mau aku mulai mengubah kebiasaan berbicara layaknya karyawan  Sushi  Me.  Walau  memang  aku  masih  terdaftar sebagai karyawan di sana.

Ibra mengernyit karena penolakanku. “Tidak ada yang salah dengan rasa rendangnya, Danika.”

Kusingkirkan bungkusan makananku. “Aku nggak suka.” “Kamu mau makan apa kalau begitu?”

Aku menatap Ibra. Bagaimana pun aku memperlakukan pria itu, tak pernah ada raut terganggu di wajahnya. Apa Ibra memang terlahir dengan kesabaran yang berlebih?

“Kamu, kenapa nggak pernah marah kalau aku berulah?” tanyaku akhirnya.

“Selama itu masih bisa saya tolerir, saya maklumi.”

“Apa yang nggak bisa kamu tolerir?”

“Benar kamu ingin tahu?” Ibra bertanya serius. “Saya paling tidak suka perselingkuhan dan kebohongan. Saya mau pondasi dalam rumah tangga kita nanti diisi dengan kejujuran dan kepercayaan.”

“Cuma itu?” tanyaku tak habis pikir.

Aku tahu, kepercayaan dan kesetiaan adalah hal penting dalam  suatu  hubungan.  Tapi  tetap  saja  aku  tak  menyangka Ibra hanya butuh dua hal itu dalam pernikahan.

“Kadang, dua hal kecil seperti itu saja tak mampu dijaga dalam  suatu  hubungan.  Kamu  pasti  tahu  kan,  ada  berapa banyak perceraian dan perpisahan di luar sana yang dialami tiap     pasangan     hanya     karena     tak     mampu     menjaga komitmennya?”

Aku sekali lagi mengangguk setuju akan pernyataan Ibra. Tapi...

“Gimana dengan cinta?” tanyaku tiba-tiba.

“Kamu masih bertanya perihal cinta saya ke kamu?” Aku mengernyit. “Bukan. Tapi... apa cinta nggak penting 

dalam suatu hubungan?”

Ibra tersenyum simpul. “Bagi saya, cinta itu faktor alami dalam suatu hubungan. Tidak perlu digali lebih dalam. Kamu pasti akan menemukannya. Belajar saja mencintai apa yang sudah   menjadi   milikmu.   Itu   lebih   baik.   Daripada   sibuk mencari cinta yang ternyata bukan untuk kita.”

“Gimana   kalau   ...   aku   nggak   cinta   sama   kamu?” tantangku. Bukankah selama ini pria itu yang terus menerus menunjukkan  perasaannya.  Apa  Ibra  tak  penasaran  dengan perasaanku padanya?

“Dengan kamu menerima saya saja, itu cukup. Saya tidak perlu lagi bertanya seperti apa perasaan kamu. Seperti yang saya  katakan  tadi,  kamu  akan  belajar  mencintai  apa  yang sudah menjadi milikmu.”

“Jadi, kamu mengibaratkan diri dengan benda?” “Kepemilikan   bukan   hanya   sebatas   ukuran   benda, 

Danika.  Tuhan  mencintai  makhluknya,  apa  berarti  setiap makhluknya adalah sebentuk benda bagi Tuhan?”

Aku  menghela  napas  pelan.  Mengapa  pembahasannya berubah haluan menjadi sesuatu yang berat?

“Jangan banyak berpikir dan menerka-nerka. Kamu pasti akan mencintai saya. Mungkin saat ini kadarnya masih sedikit di hati kamu, tapi nanti akan bertambah.”

“Pede\ ” cibirku.

Setelah  makan  malam,  Ibra  berpamitan  padaku.  Aku mengantarkan pria itu hingga ke depan pintu. Seperti biasa setelah pria itu dan mobilnya menghilang dari pandangan, aku kembali    masuk    ke    dalam    rumah.    Namun    baru    saja menginjakkan kaki di depan pintu kamar, ponselku berdering. Nama Haninda terpampang di layar. Tak biasanya gadis itu menghubungiku.

“Halo?”

“Kak Danika, bisa ke rumah sakit? ”

“Kenapa?”

“Papa...”

Lama aku berdiam. Menimbang apakah akan menyetujui permintaan   Haninda   atau   tidak.   Setan   dalam   kepalaku berteriak  bahwa  aku  tak  perlu  menghiraukannya.  Tapi  sisi dalam hatiku meminta agar aku datang menemui Papa.

“Kak? ” suara Haninda kembali bergema.

“A-aku...”

“Kak, Papa pasti ingin lihat Kak Danika di sini. Aku tunggu, ya? ”

Setelah menyebutkan nama rumah sakit dan mengucap salam, Haninda mematikan sambungan. Aku masih terpaku di tempatku  berdiri.  Dua  sisi  dalam  diriku  kembali  bertarung. Membuatku  belum  bisa  mengambil  keputusan.  Tapi,  ada Tante Indri pasti di sana. Satu fakta itu membuatku enggan untuk  datang.  Namun  ketika  kakiku  melangkah  ke  dalam kamar, mataku tertumbuk pada pigura fotoku dan Mama yang sedang tersenyum ke arah kamera.

Mama,  semasa  hidupnya  bisa  jadi  tahu  pengkhianatan Papa di detik terakhir sisa umurnya. Tapi tak pernah sekalipun kulihat  beliau  menunjukkan  kesakitan  dan  kekecewaannya karena    pengkhianatan    tersebut.    Mama    justru    berusaha mengabdikan diri sebagai istri terbaik di sisa hidupnya. Semua itu tak mungkin bisa kuhapus dari ingatanku.

Memaafkan      bukan      berarti      melupakan.      Tapi memendam justru akan menyakiti diri sendiri. Kalimat dari Mama  seketika  terngiang  di  telingaku.  Mama,  perempuan dengan  segala  kebaikan  hatinya  mampu  memaafkan  Papa. Apa aku tak bisa mengambil sedikit saja ketegaran hatinya?

Kakiku   melangkah   menuju   lemari   pakaian.   Setelah memastikan dompet dan ponsel telah masuk ke dalam tas, aku bergegas pergi menuju rumah sakit. Di dalam taksi, berbagai pikiran telah memenuhi kepalaku. Mempertanyakan tepatkah keputusanku  ini.  Bagaimana  jika  aku  tak  bisa  berdamai dengan Tante Indri dan malah membuat ricuh suasana.

Tapi     satu     pikiran     membuatku     yakin     dengan keputusanku,  mungkin  inilah  waktunya  aku  membuka  jalan damai  dengan  Papa.  Tidak  langsung  berdamai,  tapi  pelan- pelan.  Tak  ada  yang  tahu  menit  berikutnya  apa  yang  akan teijadi dalam hidupku. Terlebih, aku masih butuh Papa di hari pernikahanku. Tak ada Mama yang akan mendampingiku di hari  pernikahan  nanti.  Tapi,  aku  ingin  melembutkan  hatiku untuk  menerima  Papa  di  hari  bersejarah  itu.  Tak  ada  guna selamanya aku mengeraskan hati pada pria yang karenanyalah aku bisa terlahir di dunia. Bagaimanapun, aku pernah menjadi putri kesayangannya.

“Kak Danika?” sapa Haninda ketika aku masuk ke ruang rawat Papa.

Tak  ada  Tante  Indri  di  sana.  Wanita  itu  mungkin  tak mau  repot-repot  merawat  Papa yang  terbaring  sakit. Benar- benar perempuan licik.

“Gimana keadaan Papa?”

“Papa baru tidur. Sekitar sepuluh menit yang lain.”

Aku    mengangguk    mendengar    penuturan    Haninda. Kuperhatikan wajah terlelap Papa. Ada gurat letih tergambar di sana.“Tante Indri, mana?” tanyaku kemudian.

Haninda  menunduk.  Seperti  menyembunyikan  sesuatu. “Tadi Mama pulang. Katanya man ambil pakaian Papa.”

Kembali aku hanya mengangguk. Tak ingin mencari tahu tentang  urusan  mereka.  Suasana  kamar  ini  begitu  hening. Hanya  terdengar  detak  jarum  jam  dan  desingan  penyejuk ruangan yang mengisinya.

“Kenapa  Papa  bisa  dirawat?”  Haninda  terlihat  seperti enggan menjawab. “Jujur, Haninda. Kamu mau saya musuhi lagi?”

Haninda menggeleng. “Mama dan Papa bertengkar.” “Hah?”

“Bertengkar karena apa aku nggak tahu. Tapi saat aku coba  cari  tahu,  Mama  sudah  membanting  pintu  kamar  dan tinggalin Papa. Setelah aku susul Papa, beliau sudah jatuh di lantai.”

Dadaku   bergemuruh.   Apa   yang   dikatakan   Haninda memancing emosiku. Tentunya kepada Tante Indri. Setelah ia berhasil menjadikan Papa sebagai suami, begini perlakuan dan balasan wanita itu terhadap Papa?

“Dokter  bilang  apa  tentang  kondisi  Papa?”  cecarku kemudian.

“Dokter   bilang   hipertensi.   Dokter   juga   bilang   itu berpengaruh sama ginjalnya.”

“Mama  kamu  itu  kenapa,  sih?”  bentakku  tiba-tiba. Haninda terkejut. Dan ternyata tak cuma Haninda, Papa pun seketika membuka matanya.

“Danika?” seru Papa dengan suara lirih. Mungkin efek tidurnya yang terganggu.

“Jangan     bangun!”     perintahku     kala     Papa     ingin menegakkan tubuhnya.

“Sejak kapan ada di sini?” tanya Papa kemudian.

“Papa istirahat saja, aku sama Haninda mau ngomong di luar dulu.”

“Danika...”

“Sebentar, Pa.”

Aku   bisa   melihat   senyum   Papa,   sebelum   akhirnya mengangguk   dan   membaringkan   tubuhnya   kembali.   Aku beijalan  mendahului  Haninda.  Menunggu  gadis  itu  di  kursi tunggu yang ada di depan ruangan Papa.

“Sekarang,  jelaskan  apa  yang  terjadi  antara  Papa  dan Tante  Indri,”  tuntutku  begitu  Haninda  berdiri  di  depanku. Gadis itu masih terpaku. “Haninda!”

“Papa mau menceraikan Mama.”

“Hah?”

Haninda mengangkat kepalanya. Mata gadis itu terlihat berkaca-kaca.   “Papa   mau   menceraikan   Mama.   Mungkin karena itu mereka bertengkar. Mama nggak terima.”

Aku tak mampu berkata-kata. Jujur saja dari dulu aku sangat ingin Papa dan Tante Indri berpisah. Bahkan sejak awal aku  tak  ingin  mereka  bersama.  Tapi  saat  ini,  aku  tak  tahu bagaimana perasaanku.

“Lain kamu sedih gitu?”

Haninda menggeleng, kemudian mengangguk. “Apa pun keputusan Papa, aku bisa terima. Tapi...”

“Tapi, apa?”

“Aku takut saat mereka berpisah, aku nggak bisa ketemu Papa   lagi.   Sejak   kecil,   aku   nggak   dekat   dengan   Ayah kandungku  karena  Mama  memang  melarang.  Saat  bertemu Papa, meski sebagai Ayah tiri, aku senang. Papa begitu baik. Sosoknya sebagai Ayah benar-benar mampu bikin aku tahu bagaimana rasanya puny a seorang Ayah.”

Ya,     dan     karena     kehadiranmu,     bahkan     putri kandungnya sendiri terlempar dari sisinyal Ingin sekali aku melontarkan  kalimat  itu  pada  Haninda.  Tapi  aku  memilih menahan lidahku. Saat ini, gadis itu pasti bersedih. Posisiku yang digantikan olehnya, jelas membuat ia dan Papa begitu dekat. Meski tak ada hubungan darah, tapi aku bisa melihat Haninda menyayangi Papa.

“Kamu kan sudah dewasa. Kalaupun mereka bercerai, kamu  masih  bisa  ketemu  Papa  kapan  pun  kamu  mau.” Haninda  menatapku  intens.  “Itu  juga  kalau  mereka  jadi bercerai. Seperti yang kamu bilang, Mamamu menolak.”

Haninda  duduk  di  kursi  tunggu.  “Mereka  sepertinya akan bercerai.”

“Dari mana kamu yakin?”

Haninda mengangkat bahu. “Kak Danika yang jaga Papa malam ini?” tanyanya kemudian.

“Hah? Kenapa?”

“Papa  kelihatan  senang  tadi  saat  lihat  Kakak  datang. Jadi, Kak Danika man kan jaga Papa malam ini?” Haninda kemudian berdiri. “Aku pamit, ya, Kak.”

Tanpa  aku  sempat  bicara,  gadis  itu  sudah  beijalan menjauhiku.    Membuatku    hanya    bisa    terpaku    menatap punggungnya  yang  perlahan  kian  menjauh.  Tak  mungkin meninggalkan Papa sendirian di sini, aku kembali masuk ke ruang rawatnya. Kulihat Papa sudah kembali terlelap. Tapi ada yang berbeda, gurat lelahnya tergantikan wajah damai dalam lelapnya. Membuatku tak mengerti apa yang kurasakan saat ini.

Aku  terbangun  saat  mendengar  suara  berisik.  Mataku mengerjap beberapa kali. Sebelum akhirnya sadar bahwa saat ini aku sedang tak berada di kamarku. Melainkan di kamar rawat  Papa  di  rumah  sakit.  Kuedarkan  pandangan,  melihat Papa  bersama  seorang  dokter  yang  ditemani  perawatnya tengah  mengadakan  visit  untuk  mengecek  kondisi  Papa. Mereka terdengar berbincang ringan. Sampai Papa menyadari aku sudah bangun sepenuhnya ketika mata kami bertatapan.

“Sudah  bangun?”  Papa  menatapku  sambil  tersenyum. Dokter   dan   perawatnya   serempak   menoleh.   Membuatku meringis malu karena dilihat saat bangun dari tidurku.

“Nyenyak tidurnya?” Dokter menimpali. Pria paruh baya yang  usianya  kutaksir  tak  jauh  berbeda  dari  Papa  memiliki senyum ramah khas orang tua.

“Mungkin  nggak  nyaman,  Dok.  Lagi  pula  siapa  yang merasa nyaman tidur di rumah sakit.” Kali ini si perawat yang menyahut, dengan senyum maklum tersungging di bibirnya.

Aku   turun   dari   ranjang,   kemudian   mendekat   pada ketiganya. “Gimana kondisi Papa, Dok?”

“Sudah cukup stabil. Hari ini juga boleh keluar. Tapi, harap  dijaga  tekanan  darahnya,  ya.  Jangan  terlalu  stres  dan berpikir yang berat-berat dulu.”

Aku mengangguk patuh. Meski tak yakin bisa menjaga amanat  yang  disampaikan  dokter  dengan tag  nama  Rizwan tersebut.   Karena   saat   kami   berpisah   nanti,   mana   bisa kupastikan akan seperti apa kondisi Papa.

Setelah  dokter  Rizwan  dan  perawatnya  berpamitan, kembali  hanya  ada  aku  dan  Papa  di  ruangan.  Kami  hanya berdiam   tanpa   berani   sating   menatap.   Situasi   canggung kentara terasa di ruangan ini.

“Aku ke kamar mandi dulu,” ucapku tiba-tiba, memecah kecanggungan.

Tanpa  menunggu  jawaban  dari  Papa,  aku  langsung bergegas  ke  kamar  mandi.  Setelah  membasuh  wajah  dan berkumur  dengan  cairan  pembersih  mulut  yang  tersedia  di sana, aku kembali ke ruangan Papa. Sudah kudapati seorang perawat    membawakan    sarapan    untuk    Papa.    Kemudian berpamitan setelah tugasnya selesai.

“Kamu mau sarapan juga?” tanya Papa saat melihatku hanya berdiri di depan pintu kamar mandi.

“Ehm...”

Belum sempat menjawab, suara pintu dibuka terdengar. Ibra masuk dengan menenteng bungkusan yang kuyakin berisi menu sarapan. Kehadirannya jelas mengejutkanku. Tapi yang aku bingung, dari mana Ibra tahu aku ada di sini?

“Papa  yang  hubungi  Ibra  tadi  pagi.  Saat  kamu  masih tidur.” Papa menjawab kebingunganku.

“Apa kabar, Pa?” sapa Ibra sembari mencium punggung tangan Papa. Wajah Papa tampak berseri pagi ini.

“Baik. Kamu bawa sarapan?” tanya Papa yang diangguki Ibra. “Kalau begitu kalian juga makan. Biar kita sarapan sama­ sama.”

Aku  belum  bereaksi,  tapi  Ibra  bergerak  cepat.  Dia membawaku ke sofa yang ada di sudut ruangan. Membuka bungkusan  yang ia  bawa  dan memberikan satu porsi bubur ayam kepadaku.

“Aku nggak mau bubur ayam.”Belum   apa-apa   aku   sudah   berulah.   Ibra   menatap bingung padaku. Sedang Papa menghentikan sejenak kegiatan makannya.

“Lain kamu mau sarapan apa?” tanya Ibra, seperti biasa, sangat sabar.

“Lontong sayur...?”

“Tunggu di sini.”

Ibra beranjak pergi. Pria itu berpamitan pada Papa yang dibalas dengan anggukan kecil. Tak lama Papa melanjutkan sarapannya.  Sesaat  aku  memilih  untuk  menyibukkan  diri dengan  ponsel.  Sampai  kudengar  Papa  terbatuk.  Mungkin tersedak makanannya. Cepat-cepat aku berdiri dan membantu Papa dengan menepuk-nepuk punggungnya. Seperti yang dulu sering beliau lakukan jika aku tersedak.

“Terima kasih,” ucap Papa.

Jarak kami begitu dekat. Tapi seperti ada jurang dalam yang  memisahkan.  Sampai  akhirnya  Papa  menyeka  sudut matanya.

“Maafkan Papa, Nika,” ucap beliau. Suaranya terdengar serak dan bergetar.

“Untuk apa?”

“Untuk  sikap  Papa  selama  ini  yang  sudah  menyakiti kamu. Terlebih, mengkhianati kamu dan Mamamu.”

Pengakuan Papa seperti palu godam yang menghantam ulu  hatiku.  Jika  selama  ini  aku  bisa  menahannya,  tapi  kini tidak lagi saat Papa sendiri yang membukanya.

“Sejak kapan?” tanyaku akhirnya.

“Setengah tahun ... sebelum kepergian Mama.”

Jika  dulu  aku  sudah  mengeraskan  hatiku  untuk  tak menangis.   Saat   ini   aku   tak   sanggup   lagi.   Pertahananku seketika runtuh. Sudah selama itu mereka berkhianat. Bahkan 

jika pun hanya hitungan satu bulan, tetap saja, yang mereka lakukan jelas pengkhianatan.

“Mama tahu?”

Papa   menunduk.   Seperti   yang   dapat   kusimpulkan, bahwa  Mama  tahu  kecurangan  Papa.  Tangis  tak  lagi  dapat kubendung.  Mama  benar-benar  tahu  pengkhianatan  Papa. Tapi wanita itu begitu pintar menutup lukanya. Aku terduduk lemas di lantai. Menumpahkan kembali tangisku untuk Mama. Sampai kurasakan seseorang merangkulku.

“Maafin Papa, Danika. Maaf...”

Aku menggeleng dalam pelukan Papa. Tak ada gunanya Papa memohon maafku. Karena di sini, Mamalah yang paling terluka.  Aku  bersedih  untuk  Mamaku.  Wanita  lembut  yang begitu malang mendapatkan pria berengsek seperti Papa.

“Danika...”

“Kenapa...” isakku kembali.

“Danika, izinkan Papa menebusnya, ya? Papa mohon...” pinta  beliau  berulang  kali,  tapi  aku  tetap  menggelengkan kepala.

Papa  mendekapku  makin  erat.  Jujur  saja  aku  ingin mendorong Papa menjauh, tapi sepertinya tenagaku terkuras habis  untuk  menangis.  Hingga  yang  bisa  kulakukan  hanya menagis dalam pelukan Papa. Pelukan yang sudah bertahun hilang dari hidupku.

“Danika? Papa?” suara Ibra mengejutkan kami berdua. Papa  melepas  pelukannya.  Saat  itu  juga,  entah  dapat 

kekuatan dari mana, aku langsung berlari ke arah Ibra. Ganti memeluk tubuh pria itu lebih erat.

“Ada apa?” tanyanya. Mungkin pada Papa.

“Bisa    bawa    Danika    dulu?    Mungkin    dia    butuh ditenangkan,” pinta Papa padanya.

Ibra yang baru tiba, meski bingung, tetap menjalankan permintaan  Papa.  Pria  itu  membawaku  keluar.  Saat  akan memintaku  duduk,  aku  menggeleng.  Tetap  memeluk  erat tubuh  Ibra.  Aku  tak  peduli  jika  saat  ini  menjadi  pusat perhatian karena benar-benar butuh pegangan.

“Jangan begini, banyak orang,” bujuknya, tapi aku tetap menggeleng.

Ibra    pasrah,    sepertinya.    la    membawaku    berjalan menjauh   dari   kamar   rawat   Papa.   Sampai   langkah   kami terhenti,  Ibra  menuntunku  untuk  masuk  ke  dalam  mobil. Setelahnya  pria  itu  menyusul  masuk.  Tanpa  banyak  bicara Ibra  melajukan  mobil  keluar  dari  lingkungan  rumah  sakit. Entah ke mana pria itu akan membawaku. Mobil Ibra berhenti pinggir   jalan   yang   tak   jauh   dari   sebuah   taman.   la   tak memaksaku ke luar. Membiarkanku menyelesaikan tangisku.

“Sudah lebih baik?” Ibra mengulurkan selembar tisu saat tangisku mulai mereda.

Kuterima lembaran tersebut sembari menyeka wajahku yang basah. Namun, selembar saja rasanya tak akan mampu menghapus  sisa  air  mata  di  wajahku.  Ibra  mengambil  alih. Pria itu membersihkan wajahku dengan sapu tangan yang ia keluarkan  dari  saku  celananya.  Saat  seperti  ini  aku  merasa seperti anak kecil yang diasuh oleh Ayahnya.

“Mau cerita kenapa kamu menangis?”

“Papa.” Hanya satu kata itu yang mampu kuucapkan saat ini.

“Ada apa dengan Papa?”

Bukannya   bercerita,   aku   malah   kembali   menangis. Membuat  Ibra  tak  bisa  melakukan  apa  pun.  la  kembali membiarkanku menangis. Entah untuk berapa lama. Sampai kemudian Ibra mengenggam tanganku. Membuatku menatap padanya meski terhalang air mata yang masih keluar.

“Saat  ini  saya  nggak  mungkin  peluk  kamu.  Kita  bisa disangka berbuat asusila di dalam sini. Tapi, kapan pun kamu butuh,  saya  selalu  siap  untuk  jadi  tempat  bersandar.  Kalau memang  saat  ini  masih  sulit,  silakan  menangis  lagi.  Tapi cukup hari ini saja. Saya nggak mau lihat wajah calon istri saya bengkak  karena  terlalu  banyak  menangis.”  Ibra  mengusap lembut pipiku yang basah. “Cukup hari ini. Cukupkan untuk saat  ini.  Saya  izinkan  kamu  menangis.  Tapi  nanti,  setelah tanggung  jawab  Papa  sepenuhnya  ada  di  tangan  saya,  saya pastikan, kamu tidak akan menangis lagi.”

Ini gila. Sudah berulang kali aku mendengar janji yang Ibra ucapkan. Tapi saat ia berucap saat ini, aku justru makin menangis  kencang.  Satu  sisi  bersyukur  ia  tak  memaksaku untuk langsung bercerita, memilih bersabar menunggu hingga aku  siap,  tapi  di  sisi  lain,  aku  tahu  tak  selamanya  bisa membuat  pria  itu  hanya  menunggu.  Akan  ada  saatnya  aku memang harus terbuka padanya. Saat ini aku kembali benar- benar  bersyukur  Tuhan  menghadirkan  seorang  Ibra  dalam hidupku.


Hari Baru

Pernikahanku hanya tinggal menghitung hari. Namun di sisa hari  yang  kupunya,  aku  belum  juga  bertemu  muka  dengan Papa.  Masih  membekas  Iuka  yang  kembali  terbuka  lebar karena pengakuan Papa. Bahkan saat Haninda mengabarkan kepulangan Papa dari rumah sakit pun aku tak ingin menemui beliau.

Kegundahanku  hanya  kupendam  sendiri.  Meski  ada Dayu dan Ibra, tapi aku tak ingin membebankan hal ini pada mereka.  Sepertinya  aku  memang  butuh  waktu  sendiri,  dan Ibra dengan senang hati memberikannya. Pria itu mengurus segala  persiapan  pesta  pernikahan  seorang  diri.  Beruntung segala  berkas  dan  kelengkapan  pernikahan  sudah  ditangani lebih dulu. Jadi aku hanya tinggal menunggu waktunya saja.

Waktu sendiri seperti ini kugunakan untuk mengunjungi Mama. Beberapa hari ini aku selalu ke makam. Mencurahkan segala  kesedihanku  pada  Mama.  Juga  berdoa  untuk  Mama agar  mendapatkan  tempat  yang  lapang  dan  ketenangan  di alam sana.

“Aku  pamit,  ya,  Ma?  Besok  aku  pasti  datang  lagi. Assalamualaikum, Ma.”

Saat  berbalik,  tubuhku  langsung  membeku.  Beberapa meter  di  depanku  sudah  berdiri  Papa.  Beliau  pun  bereaksi yang   sama   sepertiku.   Tapi   kemudian,   Papa   melangkah perlahan, menghapus jarak antara kami.

“Apa kabar, Danika? Sudah mau pulang?” tanya Papa yang tak kujawab.

Papa  membawa  sebuket  mawar  merah,  meletakkannya di    sisi    pusara    Mama,kemudian    berdoa.    Selama    Papa melakukan hal tersebut, aku hanya berdiri terpaku.

“Apa  kabar,  Ma?  Kamu  sudah  tahu  pasti  kan  kalau Danika, anak kita, mau menikah. Rasanya begitu cepat berlalu.

Seperti baru kemarin Danika masih kuajari naik sepeda. Masih kuajari  berenang  setiap  akhir  pekan.  Bahkan  masih  seperti baru kemarin saat kita menghabiskan waktu piknik bersama. Sekarang, anak ini sudah man jadi istri saja,” celoteh Papa panjang lebar. Selama itu aku masih tetap diam.

“Ma, Papa minta maaf. Maafkan semua kesalahan Papa yang sudah mengecewakan Mama semasa masih hidup. Dan tolong, maafkan Papa juga karena tidak bisa jadi Ayah yang baik    untuk    Danika.    Mungkin    saat    ini    Papa    sedang mendapatkan  balasan  karena  sudah  menelantarkan  Danika. Sebelum  Papa  benar-benar  melepas  Danika,  bisakah  Mama minta putri kita untuk memaafkan Papanya?”

Tanganku terkepal. Meski terasa Papa benar-benar tulus meminta maaf, tapi tetap saja aku belum bisa menerimanya dengan sepenuh hati.

“Papa tahu, selama ini Mama sudah menjadi istri dan Ibu yang baik bagi kami. Maafkan Papa, semoga Mama tenang di alam sana. Dan nanti tiba saatnya Papa menyusul di sana, semoga Mama bersedia menunggu dan menyambut Papa ...”

Aku   berusaha   untuk   menulikan   pendengaran,   tapi seperti tak bisa karena isakan terdengar jelas di telingaku. Dan saat kupalingkan wajah, terlihat Papa menunduk dengan bahu bergetar.

Papa  adalah  lelaki  kuat  yang  pernah  kukenal  selama hidupku.  Beliau  tak  pernah  menangis.  Bahkan  tidak  saat kepergian Mama. Tapi saat ini, kulihat dengan jelas bahwa Papa   sedang   menangis.   Mungkin   menangisi   sikap   dan dosanya. Entah mengapa saat ini kulihat Papa begitu rapuh. Pernikahan  yang  dibangunny  a  bersama  Tante  Indri  seolah mendapatkan balasan karma dari kecurangan mereka karena tak beqalan dengan baik. Tapi

***

“Kenapa Papa nggak pernah berusaha menemuiku satu kali pun selama empat tahun ini?” tanyaku tiba-tiba.

Papa  berusaha  menghentikan  isaknya.  Menyapu  sudut matanya  yang  berair  dengan  telapak  tangan.  “Papa  takut,” 

jawabnya lirih.

“Takut? Hanya bertemu denganku saja ... Papa merasa takut?”

“Rasa  bersalah  dan  berdosa  bisa  menjadikan  manusia paling kuat pun merasakan ketakuan, Danika.”

“Apa susahnya datang dan minta maaf. Akui kesalahan Papa.”

Papa diam tak menjawab. Aku menggeram dalam hati. Apa gengsi dan harga diri membuat manusia begitu merasa tinggi untuk sekadar meminta maaf? Ketakutan apa yang bisa membuat  seorang  manusia  dewasa  tak  berani  mengucapkan kata maaf kepada orang lain. Urusan maaf diterima atau tidak, biar menjadi ketentuan Tuhan.

“Terlalu banyak Iuka yang Papa torehkan. Aku berpikir untuk  mencoba  memaafkan  Papa.  Tidak,  untuk  Mama,  aku akan memaafkan Papa. Tapi... hubungan kita nggak akan bisa balik lagi seperti dulu, kan. Biar Papa menjalani hidup Papa. Begitu  juga  denganku.  Kita  serahkan  pada  Tuhan,  semoga memberi kita waktu untuk saling memperbaiki diri. Semoga di masa  depan,  kita  bisa  menerima  satu  sama  lain  lagi.  Papa tetap Papaku. Tapi hubungan kita sebagai Ayah dan anak saat ini, hanya sebatas darah. Entah butuh waktu berapa lama lagi sampai    aku    benar-benar    bisa    memaafkan    Papa    dan menyembuhkan Iuka. Aku harap Papa bisa mengerti itu.”

Usai   mengungkapkan   keputusan,   aku   meninggalkan Papa. Tak lega sepenuhnya, tapi aku merasa saat ini, itulah 

jalan  terbaik  untuk  kami.  Biarkan  tangan  Tuhan  bekeija melalui waktu agar kami bisa menyembuhkan Iuka masing- masing.

Dibanding pulang ke rumah, aku memilih untuk ke Sushi Me.  Para  rekan  keija  di  sana  begitu  terkejut  saat  melihat kehadiranku. Karena seperti yang mereka tahu, aku sudah tak perlu bekeija lagi karena akan menikah dengan pemiliknya. Memang belum resmi mengundurkan diri, tapi aku tak peduli. Saat ini aku butuh berkegiatan untuk mengalihkan pikiranku. Dan  seperti  kebanyakan  hubungan  dengan  koneksi  lainnya, tak  ada  yang  protes  saat  aku  meminta  untuk  membantu  di sana.

Ibra  yang  barn  kembali  ke  Sushi  Me  tampak  terkejut melihatku tengah melayani tamu. Tapi pria itu membiarkan dan lebih memilih kembali ke ruang keijanya. Aku bekerja sampai  jam  terakhir  di  Sushi  Me.  Bahkan  ketika  semua pekeija sudah menyelesaikan tugasnya dan kembali ke rumah masing-masing,  aku  masih  berdiam  di  ruang  ganti  dengan seragam Sushi Me. Memainkan kakiku sambil menghela napas berulang kali.

“Kenapa  masih  di  situ?”  suara  Ibra  mengagetkanku. “Jam kerja sudah selesai. Kenapa belum ganti pakaian?”

Aku tak menjawab, hanya memandangi wajah pria itu. Ibra menggeleng pelan kemudian beijalan menghampiriku.

“Ada yang mengganggu pikiran kamu hari ini?”

Selalu tepat sasaran. Aku kadang heran, seberapa kenal pria   itu   terhadap   diriku—yang   kadang   aku   sendiri   tak mengerti  diri  sendiri.  Tapi  Ibra  seolah  bisa  membacaku dengan gamblang. Kapan aku bahagia, atau kapan aku merasa terganggu akan sesuatu.

“Aku ketemu Papa di makam,” ucapku akhirnya.

Seperti   kebiasan   Ibra   biasanya,   ia   tak   menuntutku menjelaskan  lebih  lanjut.  Hanya  diam  menungguku  yang bercerita   dengan   sukarela.   Kemudian   mengalirlah   semua ceritaku   tentang   Papa.   Kejadian   di   rumah   sakit   yang membuatku  menangis.  Kemudian  bagaimana  aku  akhirnya memutuskan  untuk  menjalani  hidup  kami  masing-masing seperti yang kuutarakan di makam Mama tadi.

“Aku  jahat,  ya?  Mana  ada  anak  yang  memutuskan hubungan dengan orang tuanya,” ujarku selesai bercerita.

“Tidak. Kamu tidak benar-benar memutuskan hubungan Ayah  dan  anak.  Bahkan  itu  pilihan  terbaik.  Kamu  hanya memberi     waktu     bagi     kalian     berdua     untuk     saling menyembuhkan.”

“Begitu?”

“Hem.”

Jeda menguasai kami. Aku dan Ibra masih sama-sama diam.  Menikmati  kesunyian  malam  dengan  pikiran  masing- masing.

“Sudah makan malam?” tanya Ibra tiba-tiba.

Aku menolehkan wajah padanya. “Sudah. Kamu?” “Sudah. Saya pikir karena terlalu banyak pikiran, kamu 

jadi lupa makam malam.”

Keheningan kembali melanda kami. Entah sudah berapa lama kami duduk diam di ruang ganti. Sampai tiba-tiba saja Ibra  menggenggam  jemariku.  Membuatku  menatap  heran padanya dan mata kami saling mengunci. Tanpa kuduga, Ibra melayangkan    kecupan    ringan    di    dahiku,    membuatku membeku  seketika.  Ini  kedua  kalinya  pria  itu  menciumku. Meski  lagi-lagi  hanya  sentuhan  ringan  seperti  sebelumnya. Tapi tetap saja, apa yang Ibra lakukan mampu mengobrak- abrik kondisi di jantungku.

“Maaf...”  ucap  Ibra  setelahnya.  “Harusnya  saya  bisa menahan diri sampai kita resmi menikah.”

Wajah Ibra memerah, mungkin malu. Kepala pria itu lalu menunduk meski tanpa melepaskan tautan jemari kami. Aku yang  tadinya  begitu  terkejut,  seketika  ingin  tertawa.  Sopan sekali.  Setelah  menciumku,  justru  meminta  maaf.  Tanpa sadar,   kekehan   kecilku   keluar,   membuat   Ibra   kembali menatapku.

“Kenapa tertawa?” tanyanya bingung.

Aku   menggelengkan   kepala.   Tapi   masih   tak   bisa menahan senyum. Sayang aku tak bisa menahan rasa geliku lebih   lama.   Hingga   tawaku   perlahan   keluar   tanpa   bisa kutahan. Genggaman tangan Ibra kian mengerat.

“Ini pertama kalinya saya lihat kamu tertawa lepas.” Kalimat Ibra menghentikan tawaku. Pikiranku mencoba 

mencerna kembali ucapannya. Aku langsung tersadar. Benar, ini pertama kalinya aku tertawa lepas di depan Ibra. Selama ini tawaku hanya kuperlihatkan di depan Dayu. Itu pun tak pernah selepas ini. Tanpa beban. Sudah selama apa aku tak tertawa lepas seperti ini?

“Terima kasih.”

Ibra mengernyit bingung. “Untuk apa?”

“Karena membuatku tertawa lagi.”

Ibra  menepuk  pelan  puncak  kepalaku  dengan  tangan satunya  lagi.  “Teruslah  tertawa  seperti  ini.  Bahkan  di  saat paling terpuruk, kamu harus bisa tertawa, meski hanya untuk menertawakan diri sendiri.”

Setelah    mengucapkan    kalimat    itu,    Ibra    menarik tanganku.  Mengajakku  kembali  pulang.  Sudah  terlalu  lama kami berada di restoran yang sudah sepi. Selama peijalanan pulang, tak henti Ibra bertanya padaku tentang masa kecil dan masa remajaku. Apa yang kusuka, apa yang paling kubenci. Semua.   la   ingin   tahu   bagaimana   aku   sampai   pribadi terdalamku. Meski aku belum berani memulai hal yang sama seperti      yang     Ibra     lakukan,     tapi     pria     itu     tak mempermasalahkannya.   la   bilang,   semua   bisa   dilakukan pelan-pelan. Saat kami sudah hidup bersama nanti.

Lepas salat magrib, keluarga besar Ibra sudah berkumpul di masjid  yang  sudah  kami  tunjuk  sebagai  tempat berlangsungnya ijab kabul. Tak ada prosesi siraman bagiku. Hanya pengajian yang keluarga Ibra lakukan sehari sebelum hari akad. Kakek dan Nenek Ibra dari pihak Ayah dan Ibunya sudah berpulang ke Yang Maha Kuasa. Karena itu hanya ada orang  tua  Ibra  dan  kerabat  yang  bisa  menghadiri.  Kakak perempuan Ibra yang baru kutemui hari ini pun hadir bersama keluarga kecilnya. Dikarenakan ia yang tinggal di kota yang berbeda  dengan  keluarganya.  Meski  baru  bertemu,  tapi sambutan  wanita  itu  terhadapku  sama  hangatnya  dengan kedua orang tua mereka.

Dari pihak keluargaku sendiri, ada beberapa kerabat dari pihak   Papa   dan   Mama.   Meski   mereka   tak   bisa   hadir seluruhnya, aku tak ambil pusing. Mungkin mereka memang memiliki kesibukan masing-masing. Hanya saja mereka sudah menitipkan  doa restunya untukku. Papa sendiri hadir hanya didampingi Haninda. Tak ada Tante Indri. Mungkin memang hubungan mereka sedang benar-benar memburuk.

Tibalah     saat     yang     paling     mendebarkan     dalam hidupku.Aku  ditemani   Dayu  dan  Kakak   perempuan  Ibra duduk di sudut masjid. Sedang pria itu sudah duduk tegak di depan  penghulu  yang  akan  menikahkan  kami.  Didampingi orang  tuanya  dan  Papa.  Selama  prosesi  ijab  kabul,  entah mengapa aku memilih untuk menunduk dan menutup mataku. Mencari  kekuatan  dengan  memikirkan  dan  membayangkan saat ini, sosok Mamalah yang mendampingiku. Sampai ketika kudengar  seruan  hamdalah  dan  takbir  menggema,  akhirnya berani membuka mata dan menatap sekeliling.

Tubuhku   kaku,   tak   percaya   jika   kini   aku   sudah menyandang status sebagai istri. Rasanya baru kemarin aku menikmati  hari-hari  bahagiaku  sebagai  anak-anak.  Bermain dan   berlarian   dengan   teman-temanku.   Kini,   hidup   baru sebagai  seorang  istri  terasa  membentang  nyata  di  depan mataku.

Yasmin,  kakak  Ibra,  dan  Dayu  mengiringiku  untuk duduk   berdampingan    dengan   Ibra.   Prosesi   sesudahnya kulakukan  dengan  isi  kepala  yang  masih  berantakan.  Tapi beruntung  aku  bisa  menandatangani  berkas  pernikahan  dan penyematan   cincin   dengan   lancar.   Kemudian   dilanjutkan dengan prosesi meminta izin dan restu pada kedua orang tua. Saat prosesi itu berlangsung, tak ada perasaan apa pun yang kurasakan  terhadap  Papa.  Tak  ada  isak  dan  tangis  haru. Kulakukan   semua   seperti   biasa.   Kerasnya   hatiku   belum mampu  diluluhkan  dengan  mata  memerah  dan  getar  suara milik Papa saat melepasku.

“Selamat, Danika...” Dayu memelukku erat, yang kubalas dengan  tak  kalah  erat.  Bahkan  tanpa  bisa  dicegah,  kami berdua menangis bersama. “Baik-baik, ya, jadi istri. Sekarang kamu  nggak  akan  sendiri  lagi.  Ada  Ibra  yang  akan  jadi penopang. Ada Ibra yang akan selalu menghapus tangismu. Kalau sampai dia yang justru bikin kamu nangis, aku yang bakal hajar dia.”

Aku tertawa disela isakanku. “Kamu juga, Yu. Makasih untuk waktu-waktu yang kita habiskan berdua. Makasih untuk selalu jadi sahabat terbaikku. Jadi yang selalu ada di sisiku seberat    apa    pun    hidup    yang    kita    jalani.    Makasih, Handayuku...”

Setelah segala prosesi akad selesai, kami siap berpindah ke  Sushi  Me.  Di  mana  resepsi  sederhana  kami  digelar. Sebelum beranjak ke Sushi Me, aku dan Ibra terlebih dahulu berganti pakaian di rumahku yang sederhana. Dibantu Yasmin dan Dayu. Sementara yang lain lebih dulu bergerak ke lokasi pesta.

Ketika  melangkah  memasuki  Sushi  Me,  aku  dibuat takjub dengan penataannya. Sushi Me disulap menjadi ruang pesta   yang   menakjubkan.   Bahkan   ketika   aku   dan   Ibra melangkah  bersama,  tebaran  confetti  dan  ucapan  selamat memeriahkan  ruangan. Wajah-wajah para pekerja Sushi Me terlihat  bersemangat  menyambut  kami.  Begitu  juga  tamu undangan yang sebagian besarnya adalah kerabat dan kolega orang tua Ibra.

“Selamat  menempuh  hidup  barn  untuk  Pak  Ibra  dan Danika...”

Anwar,  selaku  Manajer  Sushi  Me,  menyerahkan  pisau pada  kami.  Aku  yang  masih  bingung  dibawa  melangkah bersama Ibra dan Anwar ke tengah ruangan. Di mana sebuah kue  pernikahan  yang  ukurannya  cukup  besar  siap  untuk dipotong.

“Aku    nggak    pernah    mimpi    untuk    motong    kue pernikahan,” ucapku sambil menahan tawa.

Memang benar, sejak kecil aku tak terlalu bersemangat dengan  selebrasi  ulang  tahun  dan  potong  kue.  Setiap  kali berulang tahun, Mama dan Papa yang merencanakannya. Aku hanya mengikuti tanpa benar-benar menikmati. Tapi kali ini, aku harus menikmatinya—karena ini hariku.

“Maka biarkan ini jadi yang pertama dan terakhir kali kamu  melakukannya,”  balas  Ibra  yang  sudah  memegang tanganku dan menggerakannya memotong kue tersebut.

Riuh rendah tamu kembali menggema.  Terlebih saat aku dan Ibra saling menyuapkan kue ke mulut masing-masing. Berganti dengan kami yang menyuapkan potongan kue pada orang-orang yang disayangi. Aku, tentu saja menyuapkannya pada   Dayu.   Selain   sebagai   sahabat,   dia   adalah   saudara perempuan bagiku.

Acara dilanjutkan dengan beberapa kata sambutan dan ucapan   dari   rekan   dan   keluarga.   Kemudian   dilanjutkan dengan  prosesi  hiburan  yang  sudah  disiapkan.  Kami  semua berdansa  dan  tertawa.  Larut  dalam  kebahagiaan  malam  ini. Meski begitu ada yang sedikit hilang dalam perayaan kali ini.

Sejak awal aku tiba di Sushi Me, tak ada sosok Papa terlihat. Hanya  Haninda  yang  berbaur  dengan  orang-orang  yang mungkin barn dikenalnya.

“Mencari Papamu?” bisik Ibra saat kami masih larut di lantai dansa. Aku mengangguk. “Mungkin beliau tidak ingin merusak suasana hatimu.”

“Hem...”  gumamku.  Berusaha  mengalihkan  perhatian kembali ke sekeliling.

“Jangan khawatir, seperti yang kamu katakan, akan ada waktu kalian untuk saling menerima kembali.”

“Hah?”

Tanpa   kuduga,   Ibra   mencium   bibirku,   membuatku kembali terpaku. Mataku seakan terpaku hanya pada matanya. Tak peduli jika saat ini seluruh mata memandang pada kami.

“Sekarang sudah boleh, kan?” tanyanya.

Aku tak tahu harus menjawab apa. Hanya anggukan kecil yang kuberikan, membuat pria itu kembali menciumku. Kali ini lebih lama. Terdengar riuh sorakan dari seluruh penjuru ruangan. Tapi aku mencoba untuk tak peduli. Lebih memilih menikmati ciuman kami yang pertama. Biarkan ini menjadi momen bagi kami. Karena hari ini, akulah Ratunya.


Belajar Saling Melengkapi

Bangun  pagi  dengan  seorang  pria  di  sampingku  adalah  hal yang  cukup  asing.  Di  awal  pernikahan,  aku  masih  belum terbiasa. Selalu berusaha menahan pekik kala membuka mata dan  mendapati  Ibra  terlelap  di  sisiku.  Tapi  sebulan  waktu pernikahan  beijalan,  aku  sudah  terbiasa.  Tak  lagi  berusaha memekik di pagi hari saat Ibra memeluk atau mendekatkan wajahnya padaku.

Istri.   Satu   kata   yang   tak   pernah   terpikirkan   akan kusandang di usia yang cukup muda. Predikat yang dulu setiap kupikirkan adalah sebuah pekeijaan yang berat. Di mana aku tak hanya bertanggung jawab pada diri sendiri, tapi juga pada orang  lain  yang  kupanggil  dengan  sebutan  suami.  Tapi, membayangkan sosok Ibra sebagai suami tak sulit. Pria itu begitu  kooperatif  dalam  rumah  tangga.  Mau  berbagi  tugas. Sama-sama belajar bagi kami berdua yang masih baru sebagai pasangan. Ibra setelah dan sebelum menikah tetap sama. Tak ada yang berubah dari pria baik hati itu. Kecuali perhatiannya yang  makin  melimpah.  Ah,  dan  juga  keberaniannya  dalam melakukan  sentuhan,  tentunya.  Namun,  semua  kontak  fisik yang dilakukan Ibra tak seenaknya diumbar di hadapan orang lain.  Di  depan  umum,  Ibra  hanya  akan  menggandeng  atau menggenggam  tanganku.  Kalaupun  rangkulan,  sebatas  yang diperlukan.

Setelah menikah, otomatis aku tak lagi bekerja. Meski begitu Ibra tak melarangku untuk berkegiatan di Sushi Me. Setiap  kali  aku  datang  ke  sana,  maka  aku  tak  ingin  hanya duduk diam dan bersantai. Sesekali aku membantu pekerjaan pramusaji lainnya. Ada rasa segan bagi mereka saat aku ikut serta bekeija karena tahu aku adalah istri pemilik restoran itu. 

Tapi selalu kukatakan, Ibra tak akan mempermasalahkannya karena aku hanya sekadar mengisi waktu jika berkunjung ke Sushi Me.

“Sudah   selesai?”   Ibra   mengejutkanku   yang   sedang berada di dapur Sushi Me.

“Kapan datang?”

Sejak  mengantarkanku  ke  Sushi  Me,  Ibra  memang berpamitan untuk bertemu salah satu rekan bisnisnya. la ingin melebarkan usaha restoran. Jadi sedang gencar mencari rekan bisnis untuk diajak kerja sama.

“Sepuluh menit lalu.”

Aku  mengangguk.  Menyadari  ternyata  suasan  dapur seketika sepi. Mungkin karena kedatangan Ibra membuat para pekerja merasa canggung dan menyingkir dari area dapur.

“Sudah makan siang?” tanyaku, pria itu menggelengkan kepala. “Mau aku buatin?”

Kali ini Ibra tersenyum. “Ayam bakar,” pintanya.

“Oke, Bos! Sekarang Bapak tunggu saja di ruang kerja. Kasihan  pekerja  lain,  nggak  leluasa  kalau  ada  Pak  Ibra,” ejekku.

Ibra  hanya  tertawa  menanggapi  guyonanku.  Pria  itu kemudian   menyingkir   dari  area   dapur.  Beberapa  pekerja akhirnya  berani  kembali  menginjakkan  kaki.  Beberapa  dari mereka    mencuri    pandang    ke    arahku    yang    sedang mempersiapkan beberapa bahan untuk makan siang pesanan Ibra.

“Pak  Ibra  baik  banget,  ya,  Bu,  jadi  suami.  Kayaknya sayang banget sama Bu Danika,” celetuk salah satu personil dapur.

Aku  menghela  napas.  Sudah  berulang  kali  kukatakan untuk tak memanggilku dengan embel-embel ‘Bu’. Aku tak setua itu. Tapi bukan karena usia, hanya saja aku merasa aneh setiap  kali  dipanggil  begitu.  Alasan  mereka  jika  kutegur: karena   kini   aku   adalah   istri   pemilik   tempat   itu.   Bosan menegur, akhirnya kubiarkan saja mereka memanggil begitu padaku. Hanya beberapa rekan yang seumuran dan mungkin sudah    lama    bekeija    bersamaku    yang    menurut    untuk memanggil namaku saja.

“Semua  orang  baik,  kok.  Tergantung  amal  ibadah,” candaku yang dibalas tawa ringan dari mereka.

Kufokuskan  kembali  perhatianku  pada  masakan  yang akan kukeijakan. Tak sampai satu jam, hidangan ay am bakar dan   sayur   tumisan   yang   kubuat   untuk   Ibra   sudah   siap dinikmati.    Tak    lupa    kusediakan    sambal    kecap    untuk melengkapi menu ayam panggangnya.

“Mau diantar ke Pak Ibra?” Anwar bertanya sambil lalu saat melihatku beijalan ke arah ruangan Ibra dengan nampan hidangan.

“lya”

“Sekarang jadi pramusaji pribadi owner, ya, Nika?” ledek Anwar.

Aku  tertawa  sambil  menggelengkan  kepala  pelan.  Tak habis pikir dengan lelucon ala Anwar. Satu hal yang kusadari sejak menikah dengan Ibra, aku lebih gampang mengeluarkan tawa. Meski hanya tawa ringan. Tapi perubahan itu membuat para pegawai Sushi Me yang kukenal sejak awal bekerja di restoran ini ikut senang dengan perubahanku. Mereka bilang Danika yang sekarang jauh lebih hidup. Bukan Danika yang tertutup dan bersembunyi dalam ruang sepi. Kadang apa yang mereka katakan saat ini membuatku kembali memutar ulang bagaimana diriku dulu. Dan harus kuakui, ya, Danika yang dulu   begitu   suram.   Terima   kasih   pada   Tuhan   karena mengirimkan Ibra padaku.

Agak kesulitan mengetuk pintu, tapi ternyata Ibra sudah membukanya.  Pria  itu  berusaha  mengambil  alih  nampan, namun aku menolak. Ini tugasku, jadi tak akan kubiarkan Ibra menggantikannya.  Sudah  cukup  segala  kebaikan  pria  itu padaku selama ini. Sekarang waktunya aku berbakti pada Ibra. Sebagai istrinya.

“Sedang apa?” tanyaku ketika Ibra selesai menutup pintu dan menyusulku ke sofa.

“Menyelesaikan laporan.”

“Gimana hasil pertemuan dengan calon partner-nya? ” Selagi   Ibra   duduk,   aku   membantu   menyiapkan   makan siangnya.

“Alhamdulillah,  lancar.  Tinggal  cari  lokasi  dan  nego harga.”

Ibra makan dengan tenang. Sebelumnya ia menawarkan padaku untuk makan bersama, tapi aku menolak. Mengatakan sudah memakan beberapa sushi dan camilan selagi membantu di dapur tadi. Meski tak merasa lapar, entah mengapa akhir- akhir ini aku suka tiap kali melihat Ibra makan. Kadang Ibra sampai  bingung  mengapa  aku  suka  memperhatikan  dirinya yang sedang makan.

“Benar,  nggak  mau  ikut  makan?”  tawarnya  lagi.  Aku kembali menggeleng.

“Aku suka lihat kamu makan,” jawabku spontan. Lagi- lagi pria itu hanya menggeleng pelan. “Ayam bakarnya harus dihabisin, ya,” pintaku kemudian.

“Porsinya terlalu banyak, Danika.”

Aku memang memasak porsi untuk dua orang. Padahal hanya Ibra yang akan makan. Tapi aku ingin saja. Tak tahu kenapa.

“Habisin dong. Jangan buang-buang makanan.”

“lya.  Tapi  dihabiskan  nanti  saja,  ya.  Mungkin  bisa disimpan untuk makan malam nanti.”

Entah mengapa mendengar Ibra menolak permintaanku, membuatku seketika ingin menangis. Atau bahkan aku sudah terisak  pelan.  Padahal  biasanya  aku  tak  mempermasalahkan makanan yang harus dihabiskan kapan pun oleh Ibra.

“Hei, kenapa menangis?” Ibra berusaha menenangkanku. Pria itu mengusap pipiku yang mulai basah dengan tangan kirinya yang bersih dari noda makanan.

“Kamu nggak mau habisin masakanku...” isakku.

Ibra   terperangah.   la   menatapku   dengan   raut   super bingung.   Jangankan   Ibra,   aku   pun   seakan   tak   mengerti dengan diri sendiri saat ini. Seolah bukan aku. Tak pernah aku 

jadi  perempuan  sedramatis  ini.  Hanya  karena  hal  kecil  aku sampai harus menangis.

“Danika, kamu kenapa?” tanya Ibra lagi.

Aku menggeleng tak mengerti. “Aku cuma mau kamu habisin makanannya.”

Kembali Ibra menatapku dengan bingung. Dahi pria itu sampai   mengerut   dalam.   Sejurus   kemudian   Ibra   seperti hendak berkata, tapi pria itu mengurungkan niatnya.

“Oke,  say  a  habiskan.  Ay  am  bakarnya  saja,  kan?” tanyanya.

Aku  mengangguk  dengan  bersemangat.  Membuat  Ibra kembali  melepas  tawa.  la  kembali  mencoba  menghabiskan ayam   bakar   buatanku.   Meski   agak   terlihat   kepayahan, mungkin karena perutnya sudah merasa cukup, tapi pria itu berusaha untuk menuruti keinginanku. Sampai beberapa saat kemudian Ibra berhasil menghabiskan ayam bakar dua porsi miliknya.   Pria   itu   terlihat   begitu   kekenyangan   sampai menyandarkan tubuhnya di punggung sofa.

“Senang?” tanyanya dengan suara yang agak tersendat. Efek kekenyangan mungkin.

“lya,” jawabku lebih bersemangat.

Aku  puas  sekali  menyaksikan  Ibra  menghabiskan  dan menghargai  jerih  payahku.  Meski  setiap  kali  pria  itu  tak pernah  sekali  pun  mengeluh  perihal  apa  pun  padaku.  Tapi untuk  kali  ini,  aku  begitu  bahagia.  Kepuasan  yang kudapat lebih dari biasanya.

“Aku  antar  ini  ke  dapur  dulu,  ya,”  ucapku  sembari membereskan  sisa  makan  siang  Ibra.  Tetapi,  Ibra  menahan pergelanganku. “Kenapa?”

“Minta yang lain, ya? Kamu di sini saja,” pintanya. “Kenapa?”

“Minta yang lain, ya?”

Aku  tak  mengerti,  tapi  menurut  juga  pada  apa  yang diperintahkan   Ibra.   Memanggil   seorang   pramusaji   dan meminta tolong padanya untuk membawakan nampan berisi bekas  makan  siang  Ibra  ke  dapur.  Setelah  mengucapkan terima  kasih  pada  pramusaji  yang  membawakan  nampan tersebut, aku kembali menyusul Ibra di sofa.

“Sini.” Ibra menepuk sisi sofa sebelahnya. Kembali   aku   menurut   dan   mendudukkan   diri   di 

sampingnya. Tanpa kuduga, Ibra memelukku erat. Saat aku berusaha melepas, Ibra menahannya.

“Biar begini dulu,” gumamnya.

Aku    bisa    merasakan    pria    itu    menghirup    aroma rambutku—karena  wajahnya  yang  berada  di  sisi  samping kepalaku.   Tangan   Ibra   bergerak   mengelus   punggungku. Membuatku bingung, tapi juga menikmati perlakuannya.

“Nanti kita cek, ya?”

Dahiku mengernyit. Aku ingin menjauhkan tubuh kami. Tapi lagi-lagi Ibra menahan gerakanku.

“Cek?  Cek  apa?”  tanyaku  setelah  menyerah  mencoba lepas dari rengkuhan Ibra.

“Cek ke dokter kandungan.”

Kali ini refleks aku mendorong tubuh Ibra. Beruntung ia juga  mengendurkan  rengkuhannya.  Aku  menatap  bingung. 

Cek? Dokter kandungan? Untuk...

Tiba-tiba  mataku  mengeijap.  Mulutku  bahkan  separuh terbuka  saat  satu  pemikiran  berhasil  kucerna.  Ibra  yang melihat ekspresiku seperti itu, tak bisa menahan rasa gelinya. la menarik wajahku dan melayangkan satu kecupan ke pipiku.

“Masa, sih?” tanyaku ragu.

“Enggak  ada  yang  mustahil,  Danika.  Tapi,  ya,  hanya untuk memastikan, kita ke dokter kandungan, ya?”

“Tapi, aku....” Sedikit menjeda. “Gimana kalau hasilnya negatif?”

“Berpikir baik sama Allah. Apa pun hasilnya kita terima. Kalau memang belum, berarti memang belum waktunya. Dan kita masih bisa berusaha.”

“Kamu... nggak masalah?”

“Tidak sama sekali.”

Ibra menarikku kembali ke rengkuhannya. Dengan posisi tubuh Ibra yang bersandar kembali ke punggung sofa dan aku yang   bersandar   pada   tubuhnya.   Pelukan   Ibra   nyaman. Senyaman usapan lembutnya di kepalaku. Aroma tubuh Ibra pun  mampu  membuatku  terbuai.  Mengantarkanku  ke  alam mimpi.

“Terima kasih,” gumamku dengan kesadaran yang sayup menipis.

“Sama-sama.”

Kecupan lembut di puncak kepala adalah yang terakhir kurasakan.    Sebelum    aku    benar-benar    terlelap    dalam kantukku.  Aku  ingin  bertemu  Mama  di  alam  mimpi. Memberitahukan padanya, bahwa aku menikmati kebahagian dalam hidupku. Semua tak lepas dari peran seorang pria yang kini mendekapku erat dalam perlindungannya.

Makan  malam  kali  ini  dilaksanakan  di  kediaman  orang  tua Ibra. Meski ada rasa enggan bagiku, tapi demi agenda yang sudah aku dan Ibra rencanakan, aku harus menurunkan egoku sejenak.  Terutama  saat  berhadapan  dengan  Tante  Mala  dan putri  sulungnya.  Untuk  si  bungsu  sudah  tak  ambil  pusing dengan diterimanya aku atau tidak oleh Ibu dan Kakaknya.

Selain   keluarga   inti   Ibra,   kedatangan   Yasmin   juga mampu     membuatku     perasaanku     sedikit     teijaga     saat menginjakkan kaki di rumah itu. Kakak perempuan Ibra dan keluarga kecilnya sedang berlibur di sini. Karena itu, mereka menginap di rumah keluarga Arrauf.

“Makan  malam  sudah  siap  dinikmati.  Ayo,  ke  ruang makan semua!” Tante Amida, yang sekarang kupanggil Mama, memanggil kami semua.

Aku  dan  Ibra  yang  sedang  bermain  bersama  putra Yasmin, langsung beranjak. Namun saat akan menggendong Zayyan untuk membawanya ke ruang makan, Ibra menahan gerakanku. Pria itu mengambil alih Zayyan dariku. Aku tahu ia khawatir,  karena  itu  aku  tak  membantah.  Di  ruang  makan sudah duduk semua orang. Bahkan Bintang dan Tante Mala yang  tak  pernah  lepas  memasang  wajah  penuh  penolakan padaku.

“Sebelum  makan  malam  dimulai,  ada  yang  ingin  Ibra sampaikaan lebih dulu.”

Ibra mulai bicara, membuat perhatian seisi ruang makan kini teralih padanya. Yasmin yang seperti bisa menebak apa yang ingin Adiknya sampaikan, sudah mengulum senyum.

“Berita apa?” tanya Mama Amida penasaran. “InsyaAllah, sebentar lagi kita punya anggota keluarga 

baru.” Nada bahagia tak dapat disembunyikan Ibra.

Mereka  sudah  dapat  menebak  siap anggota  baru  yang akan  mewarnai  rumah  ini.  Karena  itu,  Mama  dan  Yasmin sudah bergerak untuk memelukku. Mengucapkan selamat dan doa  agar  kandunganku  baik-baik  saja.  Papa  Ibra  pun  turut mengungkapkan  rasa  bahagianya  dengan  pelukan.  Hanya anggota Tante Mala saja yang tak ikut serta dalam kebahagian kecil  kami.  Tapi  itu  memang  tak  masalah.  Aku  juga  tak mengharapkan  mereka  berbahagia  menyambut  kehadiran anggota baru kami. Cukup mereka menjaga jarak dan sikap saja dariku.

“Nah,   kalau   begitu   makan   malam   ini   bisa   kita kategorikan sebagai syukuran kecil untuk menyambut anggota baru kita, ya?” ucap Papa Zahid kemudian.

“Zayyan   bakal   punya   teman   main   nanti.”   Yasmin berucap   pada   putra   kecilnya   yang   masih   berada   dalam gendongan Ibra.

Makan malam berlangsung cukup kondusif. Tanpa ada sindiran  atau  ajakan  perang  mulut  dari  Tante  Mala  dan Bintang. Mungkin karena memang Mama dan Papa Ibra sudah mengingatkan  mereka.  Untuk  malam  ini  pun  aku  dan  Ibra sengaja  menginap  di  kediaman  orang  tuanya.  Semua  itu karena  permintaan  Mamanya  yang  ingin  merasakan  semua orang berkumpul di rumah.

Kami  tak  sering  menginap  di  rumah  keluarga  Ibra. Hanya sesekali. Saat pertama kali aku menginap di rumah ini, aku sempat tak percaya saat melihat kamar Ibra. Tak seperti bayanganku  bahwa  kamar  pria  itu  akan  sangat  sederhana. Nyatanya kamar Ibra cukup ramai dengan dominasi koleksi miniatur miliknya. Sebuah lemari kaca cukup besar digunakan Ibra  untuk  menyimpan  barang-barang  koleksinya.  Pria  itu menyukai hal random berbau makanan. Ada berbagai gelas tumbler  dari  banyak  negara,  mangkuk,  piring  saji  unik, bahkan miniatur berbagai makanan dari berbagai bahan baik itu  akrilik,  resin,  atau  clay.  Memasuki  kamar  Ibra  untuk pertama kali benar-benar membuatku takjub.

“Mau ke mana?” tanyaku kala melihat Ibra akan keluar kamar.

“Bikin susu buat kamu.”

“Ikut.”

Ibra tertawa melihatku yang bergerak riang ke arahnya. Aku  tak  ingin  mendengar  omongan-omongan  tak  menentu dari   Tante   Mala   jika   melihat   Ibra   membuatkan   susu kehamilan untukku. Dengan membawa kantong berisi kotak susu   milikku,   Ibra   menggandengku   menuju   dapur.   Saat melintasi ruang keluarga, masih ada keluarga Tante Mala yang sedang  menyaksikan  tayangan  televisi.  Ibra  hanya  menyapa mereka sekilas—meski tak dibalas sama sekali.

“Kenapa  sih  Tante  Mala  sama  Bintang  harus  begitu? Mereka boleh musuhin aku, tapi kamu kan keponakannya,” gumamku,sambil   menunggu   Ibra   yang   sedang   mengaduk susu.

“Biarkan   saja.   Jangan   dipikirkan.   Mulai   saat   ini cukupfokus sama kesehatan dan kandunganmu, mengerti?”

Huh,  aku  menghela  napas  pelan.  “Tapi  tetap  aja  aku nggak habis pikir.”

Ibra menyerahkan segelas susu hangat padaku. “Jangan dipikirkan. Saya nggak mau kamu dan calon anak kita kenapa- napa.  Selama  kehamilan  ini,  Ibunya  harus  selalu  sehat  dan bahagia. Dan sebagai calon Ayah, saya akan pastikan itu.”

Mataku     terus     menatap     ke     arah     Ibra     selama menghabiskan   susu.   Sedang   pria   itu   terus   berdiri   di sampingku.  Mengelus  puncak  kepalaku  selagi  aku  minum. Persis  seperti  Ayah  yang  memastikan  anak  perempuannya menghabiskan  susunya.  Gelas  yang  sudah  kosong  tadinya akan  kubawa  ke  wastafel  untuk  dicuci,  tapi  lagi-lagi  Ibra mengambil   alih   tugas   itu   dariku.   Tanpa   peduli   dengan gerutuan yang keluar dari bibirku, Ibra sudah berdiri di depan wastafel, mencuci gelasnya.

Aku  hanya  bisa  menatap  takjub  pada  punggung  Ibra yang   terlihat   kokoh.   Tanpa   kusadari,   kakiku   melangkah mendekat    padanya.    Menempelkan    sebelah    wajahku    di punggungnya dengan tangan yang melingkar erat di pinggang. Tubuh  Ibra  sempat  tersentak,  mungkin  terkejut  atas  aksi beraniku,   tapi   kemudian   ia   merileks.   Membiarkan   aku menempel layaknya koala di punggungnya.

“Terima kasih, Ayah,” bisikku.

Tak lama Ibra berbalik. Berganti ia yang memelukku. “Sama-sama. Yang penting kamu bahagia, ya.”

Aku   mengangguk.   Menyembunyikan   wajah   di   dada bidang  Ibra.  Sedang  ia  sendiri  kurasakan  menghirup  aroma dari rambutku. Entah untuk berapa lama kami berada dalam posisi begitu sampai suara dehaman seseorang menyadarkan.

“Kalau  man  mesra-mesraan  jangan  di  dapur,  dong.” Yasmin sudah muncul di dapur dengan wajah menggoda. Aku yang tak tahan kembali menyembunyikan wajah di dada Ibra.

“Jangan digodain, Mbak. Tahu sendiri kan hormon Ibu hamil seperti apa?”

Kucubit  pinggang  Ibra  membuat  ia  sedikit  menjengit. Tapi  Kedua  bersaudara  itu  malah  menertawakan  aku  yang sedang bersembunyi karena main.

“Enggak apa-apa kok, Nika. Suami sendiri, kan,” ucap Yasmin akhirnya.

“Mau ngapain, Mbak?” tanyaku akhirnya, setelah tak lagi berusaha bersembunyi.

“Buat  susu  untuk  Zayyan,”  jawabnya.  “Kalian  sendiri ngapain?”

“Tadi   buat   susu   juga   untuk   Danika.”   Ibra   yang menjawab.

Yasmin mengangguk. Tak lama wanita itu sudah selesai dengan  kegiatannya.  la  bersiap  kembali  ke  kamar.  Tapi sebelum Yasmin keluar dari area dapur, ia mendekat padaku.

“Sehat  terus,  ya,  calon  keponakan  Tante,”  ucapnya sembari  mengelus  perutku  yang  masih  belum  berbentuk. Kemudian Yasmin berpamitan pada kami berdua.

“Aku  senang,”  gumamku  setelahnya.  “Banyak  yang sayang dan menantikan kelahirannya.”

“Itu artinya banyak yang sayang sama Ibunya juga.”

Aku tersenyum mendengar ucapan Ibra. Ikut mengelus perutku seperti yang tadi dilakukan Yasmin. Apa pun kata­ kata Ibra selalu berhasil membuatku tenang. Setiap kali aku merasa terpuruk atau buruk, selalu ada Ibra yang membantu menguatkanku. Seperti yang selalu ia lakukan. Bersama Ibra, aku  menyadari,  pernikahan  tak  semenakutkan  yang  dulu kupikirkan. Hanya karena orang tuaku gagal, tak berarti aku juga akan mengalaminya. Semua akan berjalan baik jika setiap pasangan mau belajar saling memahami. Seperti yang aku dan Ibra lakukan. Selain berusaha memahami, kami juga belajar saling melengkapi satu sama lain.

Selain kehamilan, ada satu kabar bahagia lainnya yang akan melengkapi hidupku. Apa lagi jika bukan pernikahan Dayu. Sahabatku itu akhirnya melabuhkan pilihannya pada Damar. Mantan  atasan  yang  berhasill  memorak-porandakan kehidupan  Dayu.  Pernikahan  itu  tak  hanya  menjadi kebahagian buatku. tapi juga Ginan, sepupu Dayu yang begitu menyayanginya.  Dengan  adanya  Damar,  otomatis  Dayu  tak akan sendiri lagi. Sama sepertiku, Dayu akan punya penopang untuk hidupnya.

Sejak  pagi  aku  dan  Ibra  sudah  berada  di  hoteltempat prosesi akad nikah sekaligus resepsi akan digelar. Hari ini aku akan menemani Dayu melewati hari bahagianya. Seperti yang ia lakukan di hari pernikahanku. Sebelum menemui Dayu di kamarnya,    Ibra    mengingatkanku    untuk    tak    bergerak berlebihan. Mengingat kandunganku yang sangat harus dijaga. Calon  Ayah  itu  memang  begitu  kelewat  perhatian  dalam memberikan perlindungan bagiku dan calon anak kami.

“Cantik banget, Yu.”

Aku   benar-benar   takjub   pada   para   penata   riasnya. Mereka  berhasil  membuat  Dayu  tampak  berbeda.  Sampai- sampai  aku  hampir  tak  percaya  jika  wanita  cantik  tersebut adalah Handayu, sahabatku yang pecicilan itu.

“Aku  gugup,  Ka.  Rasanya nggak sanggup dan pengin kabur saja,” desahnya membuatku tertawa.

“Jangan ngaco, deh. Kemarin itu kamu yang kuatin aku. Bilang   kalau   semua   bakal   baik-baik   saja,   dan   kali   ini giliranku,” ucapku lantang. “Handayu, jangan cemas. Semua akan beijalan lancar. Percaya, deh. Berdoa dan semua akan berjalan baik-baik saja. Enggak ada yang perlu kamu takutkan. Damar  sudah  menjadi  sosok  yang  kamu  butuhkan.  Saling percaya  dan  yakin,  kalian  pasti  bisa  mengarungi  bahtera rumah tangga dengan baik. Sampai ajal memisahkan.” Dayu tersenyum mendengarkan petuahku. “Bismillah, Dayu. Semua pasti lancar, aman, terkendali.”

Aku dan Dayu bergenggaman erat sembari duduk di atas ranjang. Biasanya akan selalu ada ocehan di antara kami. Tapi kali ini, Handayu yang cerewet seolah menghilang. Aku tahu betapa   gugupnya   dia.   Sampai   aku   pun   bisa   merasakan kegugupannya  lewat  genggaman  kami.  Pintu  yang  terbuka tiba-tiba mengejutkan aku dan Dayu. Ginan muncul dengan raut wajah yang sulit dibaca. Tiba-tiba ia merengkuh tubuh Dayu.   Membuat   Dayu   berusaha   memberontak   tapi   tak berhasil. Sepertinya ia membisikkan sesuatu di telinga Dayu yang tak bisa kudengar apa itu.

“Mulai  saat  ini,  kamu  sudah  menjadi  tanggung  jawab Damar.  Apa  pun  permasalahan  dalam  rumah  tangga  kalian nanti,  selesaikan  bersama  Damar.  Bicarakan  semua  dengan suami kamu. Bangun dan jaga komunikasi di antara kalian. Mengerti?” Ginan memberi nasihat yang diangguki gadis itu. la mengusap wajah Dayu yang basah karena air mata. “Jangan nangis  lagi.  Nanti  make  up  kamu  luntur.  Muka  kamu  jadi 

jelek,” ledek Ginan.

“Jangan ngeledekin dong Nan.”

Dayu  merengut  kesal,  membuatku  dan  Ginan tertawa. Setelahnya  aku  dan  Ginan  mengiringinya  menuju  tempat prosesi akad dilaksanakan. Semua mata memandang ke arah sang pengantin wanita. Terlebih Damar yang seakan matanya terpaku  pada  Dayu  yang  terus  menunduk  menyembunyikan rasa gugup.

Akad dan resepsi digelar dalam satu waktu. Sayangnya kondisiku yang tengah hamil muda tak memungkinkan untuk berlama-lama   di   acara   bahagia   Dayu.   Aku   berpamitan padanya meski tak enak hati. Tapi Dayu sangat mengerti. la 

juga  mendoakan  agar  kandunganku  dalam  keadaan  sehat sampai  hari  kelahiran.  Karena,  ia  juga  tak  sabar  untuk bertemu dengan calon keponakannya.

“Langsung mau pulang ke rumah?” tanya Ibra kala kami sedang berkendara.

“Ehm ... Sushi Me?” tanyaku.

“Kamu nggakboleh makan sushi, Danika.” 

Aku cemberut. “Aku bukan mau makan sushi. Cuma mau ke Sushi Me doang.”

Ibra mengalah, pria itu memutar haluan menuju Sushi Me.  Sesampai  di  sana,  kami  disambut  suasana  yang  sudah ramai.   Aku   berdiri   di   tengah   ruangan.   Memperhatikan sekeliling  yang  tiba-tiba  kurindukan.  Aku  rindu  bergerak lincah melayani pelanggan, membawa pesanan. Bahkan saat membantu membersihkan restoran setelah bekerja.

“Kapan,  ya,  aku  bisa  bekeija  lagi?”  gumamku  yang sepertinya didengar Ibra.

“Kamu nggak perlu bekeija lagi. Cukup mengawasi saja.” Tatapan cemberut kuberikan pada Ibr, tapi pria itu tak 

ambil pusing. la hanya menarik pergelangan tanganku menuju ruang  kerjanya.  Bersikap  layaknya  atasan  yang  memerintah bawahan. Tapi memang, Ibra kan atasanku. Sejak dulu. Jika dulu dia adalah Bos di tempatku bekerja. Kali ini dia adalah Bos di dalam hidupku.


Menemukan Jalan Bahagia

Layaknya  ibu  hamil  kebanyakan,  aku  pun  mengalami perubahan hormonal yang tak biasa. Terlebih menjadi lebih manja. Sesuatu yang bukan diriku sekali. Sebentar saja aku tak melihat Ibra, maka bisa dipastikan aku akan bersedih tanpa sebab.  Karena  itu  juga,  Ibra  selalu  membawaku  bekerja. Semua  kegiatan  dan  pertemuan  dengaan  calon  rekan  bisnis Ibra  lakukan  di  Sushi  Me.  Agar  aku  tak  perlu  lelah mengikutinya ke sana kemari.

Selain  manja,  satu  hal  yang  paling  membuatku  selalu ingin memasak untuk Ibra. Padahal dulu sebelum menikah, mengajaknya makan saja aku takberminat. Tapi sekarang, apa pun  yang  Ibra  makan  harus  dari  racikan  tanganku  sendiri. Dunia   memang   terkadang   lucu.   Seperti   bagaimana   ia membolak-balik  kehidupan  kami.  Aku  yang  dulunya  apatis menjurus antipati terhadap Ibra, kini jadi orang yang selalu menempel padanya bagaikan lintah.

Namun dibalik semua cerita bahagia, tetap akan ada satu cerita  sedih yang mewarnai hidup manusia.  Jika aku mulai membangun kebahagiaanku bersama Ibra, lain halnya dengan Papa. Sejak menikah, belum pernah sekali pun Papa datang menemuiku. Mungkin karena aku juga yang seolah menutup aksesku  untuk  bertemu dengannya. Tapi Haninda, gadis itu masih mengambil risiko dengan datang menemuiku. Tentunya selalu  di  tempat  yang  ada  dalam  jangkauan  Ibra.  Mungkin Haninda menghindari ingin meminimalisir konflik denganku. Dengan  adanya  Ibra,  maka  ia  tahu  jika  emosiku  mendadak naik, ada seseorang yang mampu menenangkanku.

“Gimana kabar kandungan Kak Danika?” sapa Haninda saat ia kembali menemuiku di Sushi Me.

“Baik. Bayinya sehat.”

Meski  aku  masih  enggan  berhubungan  terlalu  sering dengan   Haninda,   tapi   nasihat   Ibra  masih   terns   kuingat. Selama masa kehamilan, aku hams tenang dan bahagia. Anak dalam  kandunganku  pun  harus  merasakan  hal  yang  sama dengan  ibunya.  Ibra  juga  memintaku  untuk  lebih  ikhlas. Dalam  arti,  aku  tak  menyimpan  amarah  dan  dendam  pada siapa pun. Menurutnya bayi memiliki ikatan batin yang kuat dengan Ibunya. Kami menginginkan anak kami dilahirkan dan dicintai  semua orang. Itu berarti aku, sebagai Ibunya harus lebih dulu belajar membuka hati dan menerima orang lain. Menyayangi  orang  lain  meski  orang  tersebut  membuatku kecewa.

Dalam  hal  itu,  aku  benar-benar  berterima  kasih  pada kedua orang tua Ibra, la dibesarkan di keluarga yang penuh kasih  sayang.  Mereka  benar-benar  mampu  mendidik  Ibra menjadi pribadi yang penuh kasih dan berakhlak. Seperti yang pernah kubaca, setinggi apa pun ilmu yang dimiliki seseorang, tak akan ada gunanya jika tak dibarengi dengan akhlak yang beradab.  Dan  Ibra  menjadi  contoh  nyata  bagiku  jika  pria berilmu harus diseimbangkan dengan akhlak yang baik.

Tentu  aku  ingin  calon  anakku  mengadopsi  semua  hal yang ada di dalam pribadi Ayahnya. Karena itu, aku selalu berusaha mengingat semua nasihat Ibra. Terutama jika sudah berhubungan dengan orang-orang di masa lalu yang memiliki konflik denganku.

“Kapan due date-nya? ” tanya Haninda lagi.

“Masih bulan depan.”

Lama kami berdiam. Aku melihat Haninda menggerak- gerakkan  jemari  dalam  genggamannya.  Kebiasaannya  yang kutahu  jika  ingin  menyampaikan  sesuatu  tapi  masih  tagu- ragu. Mendadak aku menjadi kasihan pada gadis itu. Pasti ada yang teijadi di rumah Papa.

“Ada  apa?”  tanyaku,  nada  suaraku  kuturunkan  lebih lembut,    membuat    Haninda    terperanjat    dan    menaikkan pandangan padaku. “Bicara kalau kamu mau cerita.”

Mata Haninda berkabut. Mendadak wajahnya mendung. Aku tahu, tak lama lagi gadis itu pasti menangis. Dan benar saja,  dalam  hitungan  detik,  Haninda  terisak  dengan  wajah menunduk.Dalam  jarak  sedekat  ini,  ada  dorongan  bagiku untuk  merangkulnya.  Tapi  ada  sisi  juga  yang  seakan menahanku  untuk  tetap  di  tempatku.  Sampai  mataku mengedar  ke  sekeliling  Sushi  Me  dan  bertemu  pandang dengan Ibra yang mungkin sejak tadi sudah memperhatikan kami. Pria itu berdiri di depan meja kasir. Ibra mengangguk kecil,  seolah  memberi  kekuatan  padaku  untuk  mengambil sikap.

Seperti   mendapat   kekuatan   tak   kasat   mata,   aku berpindah  hingga  duduk  di  samping  Haninda.  Tanganku masih  ragu  untuk  meenyentuhnya,  tapi  segera  kutepis  dan perlahan   kurangkul   pundak   Haninda.   Tubuh   gadis   itu tersentak.  Tapi  setelah  kutepuk  pelan  pundaknya,  Haninda tiba-tiba berbalik dan memelukku erat. Tangisnya makin keras di pelukanku. Memilukan.

“Tumpahkan  semua.  Saat  kamu  merasa  cukup,  kamu boleh  bercerita,”  ucapku.  Suaraku  ikut  bergetar.  Itu  artinya aku masih punya hati, kan?

Entah untuk berapa lama Haninda menumpahkan tangis di pelukanku. Seakan tak peduli dengan tatapan pengunjung lainnya.   Atau   mungkin   semua   pengunjung   terlalu   sering disuguhi drama di Sushi Me, hingga mereka terlalu biasa dan tak  ambil  pusing.  Mungkin  sebagian  dari  mereka  berpikir mereka datang ke Sushi Me untuk makan. Tak peduli dengan apa  yang  terjadi  di  tempat  itu  selama  tak  mengganggu kenyamanan mereka.

“Sudah?”  tanyaku  ketika  perlahan  Haninda  melepas pelukan kami.

Gadis  itu  mengangguk.  Kuberikan  segelas  air  putih padanya. “Terima kasih, Kak.” Suaranya masih bergetar.

“Sudah siap cerita?”

Kembali Haninda mengangguk. Gadis itu menarik napas panjang.  Berusaha  menegarkan  diri.  Matanya  yang  sembab menatap tepat ke netraku. “Huh ... Pa-Papa dan Mama, resmi bercerai.”

Mataku membelalak. Satu fakta yang jelas mengejutkan karena aku memang tak pernah mendengar kabar apa pun lagi dari Papa. Rencana perceraian itu terakhir kali kudengar dari Haninda  juga  sebelum  menikah.  Selebihnya,  gadis  itu  tak pernah  menyinggung  perihal  rumah  tangga  Papa  setiap bertemu  dengaku.  Mungkin  karena  ada  larangan  dari  Papa atau karena kondisi kehamilanku yang membuatnya tak ingin membahas perihal itu. Tapi ... kenapa kali ini Haninda buka suara?

“Kapan?  Dan  kenapa  sekarang  kamu  katakan  itu?” tanyaku menuntut.

“Seminggu yang lalu, mereka resmi bercerai. Awalnya Mama selalu menolak. Berusaha mempersulit percerain. Tapi Papa sudah dengan keputusannya. Papa merasa tidak sanggup lagi mempertahankan pernikahan mereka.”

“Kenapa  nggak  dari  dulu?”  selaku.  “Ah,  baru  sadar mereka kalau pernikahan yang dibangun karena kecurangan nggak akan berlangsung baik,” sinisku lagi.

“Kak, jangan begitu. Kakak lagi hamil.”

Perkataan Haninda membuatku seketika tersadar. Ingin sekali aku merutuki bibirku yang lancar berucap sinis. Pelan, kuusap  perutku  yang  sudah  membesar  sambil  berucap  maaf berulang kali.

Haninda hanya membalas dengan senyuman.“Aku tahu Kakak masih menyimpan marah pada Mama dan Papa. Tapi, terima kasih karena masih mau bertemu denganku.”

“Lalu kenapa mereka akhirnya bisa berpisah?”

“Papa menyetujui syarat dan kompensasi yang diajukan Mama.”

Saat  itu,  aku  ingin  kembali  memaki,  tapi  kuurungkan dan memilih beristighfar dalam hati. Sudah pasti wanita jahat itu tak akan mengabulkan dengan mudah proses perceraian. Ada harga yang harus dibayar Papa demi sebuah perpisahan. Tapi mungkin Papa memang pantas mendapatkannya. Agar ia tahu bahwa selama ini ia keliru menilai seseorang.

“Mama kamu memang nggak berubah, ya?” Haninda mengangguk setuju. “Aku tahu, Mama memang 

keterlaluan.”

“Lalu kenapa kamu datang ke sini dan kasih tahu hal ini?”

“Karena aku nggak mau pisah sama Papa, Kak.” Haninda terisak lagi, yang membuatku mengernyit bingung.

“Kenapa?”

“Mama mau bawa aku pergi. Kalau aku pergi, siapa yang akan temani Papa. Beliau akan makin kesepian.”

Ucapan Haninda menyentil sudut hatiku. Gadis itu, yang bukan   darah   daging   Papa,   begitu   mengkhawatirkannya. Sedang aku yang memang putri kandungnya masih menutup diri. Rasanya ada yang salah di sini. Tapi lidahku masih kelu untuk mengungkapkannya.

“Kamu  kan  sudah  dewasa.  Sudah  bisa  menentukan sendiri apa yang kamu mau. Memangnya kamu nggak bisa membantah Mamamu kali ini? Lagi pula bukannya Mamamu akan senang kalau dia sama sekali nggak punya beban. Dia lebih bebas menikmati hidupnya.”

Awalnya  Haninda  tampak  terganggu  dengan  apa  yang kusampaikan. Tapi beberapa saat gadis itu terlihat berpikir. Sampai   akhirnya   wajahnya   perlahan   berubah   cerah.“Kak Danika  ...  nggak  masalah  kalau  aku  tinggal  sama  Papa?” tanyanya ragu.

Sebelum benar-benar menjawab, aku kembali mencari- cari  Ibra.  Beberapa  detik  lamanya  tatapan  kami  terkunci. Adanya dia saja sudah membuatku yakin akan keputusanku. Sampai   akhirnya   aku   menganggukkan   kepala.   Membuat senyum Haninda kian melebar.

“Tapi kamu yakin bisa menghadapi Mamamu?” tanyaku kemudian.

“Bukan Mama yang paling aku takutkan, tapi kesediaan Kak Danika. Izin Kakaklah yang terpenting. Aku nggak ingin merampas posisi itu dari Kakak. Aku hanya ingin membalas kebaikan Papa dengan menjadi anak yang berbakti padanya selagi aku masih bisa.”

“Kamu boleh jaga Papa.”

Aku    tahu    ini    bukan    keputusan    terbaik.    Tapi bagaimanapun  aku  tetaplah  seorang  anak.  Seburuk  apa  pun hubunganku dengan Papa, hanya Papa pengikat darahku saat ini yang ada di dunia. Sakit hati, rasa kecewa, dan marah yang dulu   kupendam,   perlahan   menyingkir   tergantikan   dengan kebahagiaan  yang  diberikan  Ibra.  Aku  bisa  bahagia,  Papa patut  mendapatkan  karmanya.  Tapi,  aku  tak  mungkin  bisa menutup mata dengan keadaan Papa baik kini dan nanti. Tak akan  setega  itu  seorang  anak  menyaksikan  Ayahnya menghadapi  hari  tua  tanpa  siapa  pun.  Dalam  kesepian  dan kesendirian.

Aku   tahu,   Haninda   pun   tak   akan   selamanya   bisa bersama Papa. Tapi saat gadis itu masih memiliki waktu, tak ada salahnya ia membaktikan diri sebagai putri Papa. Anak perempuan  yang  ia  besarkan  meski  hanya  beberapa  tahun saja. Tapi kebersamaan mereka cukup memberi ikatan yang cukup mendalam dalam diri masing-masing. Dan sebelum aku benar-benar  mengambil  kembali  tempatku,  biarlah  Haninda yang mengisinya.

Setelah menunggu selama sembilan bulan, akhirnya aku dan Ibra bisa bertemu dengan buah hati kami. Anak lelaki sehat dan  menggemaskan  yang  selama  berbulan-bulan  berbagi banyak  hal  denganku.  Bayi  lelaki  yang  akan  menjadi kebanggaan  kami.  Anak  yang  kuharap  akan  memberi kebahagiaan bagi orang-orang di sekitarnya.

Aidan  Arrauff,  bayi  laki-laki  yang  membuatku  untuk pertama   kali   menitikkan   air   mata   kala   mendekapnya. Perasaan menjadi seorang Ibu yang tak pernah terbay angkan membuatku  kembali  menangis  kala  teringat  Mama.  Karena akhirnya tahu bagaimana rasanya menjadi ibu yang berjuang demi  melahirkan  anaknya  ke  dunia.  Membuat  sang  anak akhirnya dapat melihat dunia.

Ibra yang tak bisa menemaniku pasca persalinan, selalu berada di sisiku setelah kelahiran putra kami. Bukan Ibra tak ingin menemaniku saat itu. Hanya saja dokter menyarankan agar ia menunggu di luar ruang persalinan karena aku harus menjalani operasi. Tak seperti keinginanku untuk melahirkan secara  normal.  Dan  sebagai  suami  siaga,  ia  patuh  pada perintah dokter yang menanganiku.

Handayu   yang   diberitahu   Ibra   tentang   persalinanku langsung   bergegas   menuju   rumah   sakit.   Sahabatku   itu menungguiku  sama  seperti  Ibra.  Meski  hanya  ada  mereka berdua saat aku menjalani persalinan, tapi itu sudah lebih dari cukup  bagiku.  Kedua  orang  tua  Ibra  sendiri  akan  datang malam nanti karena saat ini mereka sedang dalam perjalanan kembali dari luar kota. Waktu kelahiran yang lebih cepat dari perkiraan  membuat  Mama  dan  Papa  Ibra  tak  dapat mendampingiku dikarenakan mereka yang memiliki urusan.

“Gimana rasanya jadi Ibu, Ka?” tanya Dayu.

Aku    dan    Dayu    sedang    duduk    bersama    sembari menggendong  Aidan.  Sedangkan  Damar  dan  Ibra  sedang berbincang   entah   apa.   Putra   kecilku   ini   begitu   lincah menggerakkan tubuhnya dalam dekapanku. Membuat aku dan Dayu takjub akan gerakan kecil makhluk mungil di hadapan kami itu.

“Rasanya  ...  entahlah,  Yu.  Enggak  bisa  digambarkan. Luar biasa menyenangkan. Saat makhluk mungil yang selama sembilan bulan ada di rahim kita, tiba-tiba lahir ke dunia. Ada dalam    dekapan    kita.    Rasanya    benar-benar    ehm menakjubkan.” Aku tak bisa menyembunyikan kebahagiaanku.

“Papa kamu sudah tahu?”

Suasana hatiku seketika berubah. Aku sepertinya tak bisa menyembunyikannya   karena   Dayu   seperti   bisa   membaca perubahan hatiku.

“Ka, maaf kalau aku terlalu ikut campur. Tapi nggak ada salahnya Papa kamu tahu cucunya sudah lahir, kan?”

Aku  memandangi  wajah  Aidan.  Aku  tahu  apa  yang dikatakan Dayu sangat benar. Sudah cukup lama. Bukankah aku  juga  sudah  membuka  kesempatan  bagi  Haninda  untuk menjaga  Papa  menggantikan  diriku.  Kadang  aku  bertanya, mau  sampai  kapan  aku  dan  Papa  ada  dalam  fase  saling membatasi. Tapi setiap kali perasaan ingin membuka hati itu muncul,  sekejap  pula  apa  yang  Papa  lakukan  bertabur  di kepalaku.

Wajah Aidan yang begitu damai, membuatku merasakan kedamaian yang sama. Papa memang bukanlah Ayah terbaik. Tapi,   beliau   tetaplah   seorang   pria   yang   menjadi   sosok pahlawan   dalam   masa   kecilku.   Mungkin   aku   tak   bisa mengulang kisah bahagia antara Ayah dan anak. Tapi kurasa, cukup itu menjadi bagianku. Aku harus membiarkan Aidan tumbuh  dalam  lingkungan  yang  penuh  kasih  sayang sebagaimana  Ibra  mendapatkannya  saat  masih  kecil.  Dan memberi  akses  bagi  Papa  mengenal  Aidan,  rasanya  cukup memberi putraku lingkaran kasih sayang keluarga.

“Nanti, Yu. Aku pasti kasih tahu Papa.” Akhirnya aku bersuara, membuat wajah Dayu seketika dilanda kelegaan.

Perbincangan kami terus berlanjut. Yang tak kusangka adalah  kedatangan  Papa dan Mama Ibra. Bukankah mereka akan  tiba  malam  nanti?  Mengapa  siang  seperti  ini  mereka sudah berada di rumah sakit. Meski begitu, aku tetap senang menyambut   kedatangan   mereka.   Kebahagiaan   yang  sama mereka  tunjukkan  untuk  kehadiran  Aidan.  Bahkan  Mama berulang kali memeluk dan mengucapkan terima kasih padaku karena   melahirkan   cucunya   dengan   sehat   dan   selamat. Sayangnya     Dayu     tak     bisa     berlama-lama.     Karena bagaimanapun ia harus kembali ke rumah. Juga Damar yang harus kembali ke kantornya.

“Mama dan Papa kembali ke rumah dulu, ya. Lagi pula Danika juga harus istirahat, kan. Nanti malam kita datang lagi ke sini.”

Papa   dan   Mama   Ibra   berpamitan   padaku   setelah berbincang cukup lama. Terlebih karena mereka tak bisa lagi melihat  Aidan  yang  harus  kembali  ke  ruang  bayi.  Setelah kepergian kedua orang tua Ibra, aku memilih beristirahat.

Sorenya,   perwakilan   dari   Sushi   Me   yang   datang menjengukku.   Mereka   membawakan   hadiah-hadiah   kecil untuk  Aidan.  Suasana  kamarku  seketika  berubah  menjadi cukup  riuh.  Beruntung  dokter  tak  melarang  selama  tidak mengganggu Aidan yang berada di tengah-tengah kami.

“Duh, Aidan duplikatnya Pak Ibra banget,” cecar Kartika, disetujui oleh yang lainnya.

“lya,  nih.  Cetakan  Pak  Ibra  banget.  Bu  Danika  cuma kebagian matanya doang kayaknya,” timpal yang lain.

Aku  tak  menampik,  karena  Aidan  memang  duplikat Ayahnya.    Semoga    tak    hanya    rupa.    Tapi    sikap    dan kepribadiannya nanti kelak dewasa, kuharap menyamai Ibra.

Kedatangan  mereka  membuat  keadaan  kamar  sedikit lebih ceria. Aku juga mendengar berbagai cerita yang terjadi di Sushi Me selama aku tak berkunjung ke sana. Rasanya rindu 

juga  berada  di  tengah-tengah  mereka  seperti  dulu  saat  aku masih  bekerja.  Tapi  aku  tahu,  tak  akan  bisa  kembali merasakan masa-masa itu. Aku sudah menjadi istri. Terlebih menjadi  seorang  Ibu  yang  otomatis  membuat  tanggung 

jawabkku  bertambah.  Juga  perhatian  yang  harus  tercurah untuk tumbuh kembang Aidan nantinya.

Pukul sembilan malam, Kedua orang tua Ibra, juga Om dan Tante Mala berpamitan pada kami. Selain karena aku harus beristirahat, sudah terlalu larut bagi mereka untuk berada di kamar inapku. Meski kulihat masih ada keenganan dari Tante Mala, tapi aku cukup lega ia tak mengatakan apa pun yang memancing  perdebatan.  la  hanya  datang  dan  mengucapkan selamat untuk kelahiran Aidan. Meski tanpa kedua putrinya 

juga. Kurasa kedatangan Tante Mala dan suaminya saja sudah cukup. Itu pun mungkin karena merasa tak enak hati dengan Mama  dan  Papa  Ibra.  Hingga  mau  tak  mau  ia  datang menjengukku.

Haninda belum bisa datang karena disibukkan pekerjaan barunya. Tapi ia beijanji akan segera menjengukku. Katanya ia tak sabar untuk bertemu dengan Aidan, keponakannya. Meski hubungan  kami  tak  bisa  dikatakan  layaknya  saudara,  tapi pelan-pelan   aku   dan   Haninda   sudah   bisa   berkomunikasi dengan   baik.   Terlebih   dengan   keputusan   Haninda   kala meminta  izin  pada  Mamanya.  Setelah  berdebat  cukup  alot dengan    Ibunya,    akhirnya    Tante    Indri    mengalah    dan membiarkan Haninda tinggal bersama Papa.

Kebahagiaanku hari ini terasa lengkap. Meski masih ada satu hal yang mengganjal. Kehadiran Papa. Haninda mungkin sudah  memberi  tahu  pada  Papa  perihal  kelahiran  cucunya, tapi    aku    sendiri    belum    mengambil    keputusan    untuk menghubungi Papa.

“Kenapa  belum  tidur?”  Ibra  bertanya  padaku.  Pria  itu masih berkutat dengan pekeijaannya di sofa.

“Belum ngantuk.”

Ibra      mengangguk      dan      kembali      melanjutkan pekerjaannya.  Aku  memilih  untuk  membaringkan  tubuhku. Berharap  kantuk  akan  segera  menjemputku.  Entah  berapa lama, saat aku hampir terlelap, Ibra menghampiriku.

“Saya   keluar   sebentar,   ya.   Mau   beli   camilan   di supermarket  bawah,”  pamitnya  yang  hanya  kuangguki.  Ibra mencium sekilas dahiku.

Mataku  menjelajah  langit-langit  kamar.  Tapi  hampir setengah jam lamanya, kantukku tak lagi kembali. Bahkan Ibra pun  kurasa  terlalu  lama  pergi.  Sampai  kemudian  terdengar suara dari pintu, membuatku duduk. Bersiap untuk mengomel pada Ibra.

“Kenapa   lama   ba...”   Omelanku   terhenti.   Tubuhku menegang  karena  orang  yang  kupikir  ternyata  Ibra,  justru adalah Papa. Orang terakhir yang kupikir ingin kutemui. Aku bingung, mengapa Papa berada di sini. Tapi mungkin Papa lebih   merasa   canggung,   karena   langkahnya   terhenti   saat mendengar ucapanku tadi.

“Papa   mengganggu   istirahat   kamu?”   tanyanya,   aku menggeleng    pelan.   “Boleh    Papa   mendekat?”   tanyanya kemudian. Lagi-lagi aku hanya bisa menjawab lewat gerakan kepala.  Papa  perlahan  mendekat.  Berdiri  di  sisi  ranjangku. Belum ada yang bersuara di antara kami. Hanya detak jarum 

jam yang mengisi keheningan ruangan. Dadaku berkecamuk, mungkin juga Papa. Sampai akhirnya mungkin karena terlalu lama diam, Papa mulai buka suara.

“Bagaimana keadaan kamu?”

“Baik.”

“Bayinya?”

“Baik juga.”

Hening  kembali  mengisi.  Sampai  tanpa  kusadari  air mata  merembes  membasahi  pipiku.  Tangis  tertahan  yang menjadi isakan yang berhasil didengar Papa. Beliau seketika tersadar dari kebungkamannya.

“Danika? Kenapa nangis? Kamu terganggu Papa di sini? Papa  minta  maaf.  Ibra  yang  menghubungi  Papa.  Karena itulah, Papa berani datang. Tapi kalau kamu terganggu, Papa bisa...”

“Tujuan Papa datang ke sini cuma karena diminta Ibra?” tanyaku dengan isakan tak bisa kutahan.

“Bukan.”

“Lain apa?” tuntutku.

“Papa  man  ketemu  kamu  dan  man  lihat  cucu  Papa.” Suara Papa memelan di akhir kalimat.

“Lain kenapa malah man pergi?”

Di titik ini, tangisku tak bisa lagi kubendung. Aku seakan berubah  menjadi  anak  kecil  yang  mencari  perhatian  orang tuanya. Tapi, bukankah aku memang putri Papa yang masih butuh perhatiannya? Terlepas dari segala permasalahan kami, aku masih butuh Papa. Butuh waktu untuk mengakuinya. Tapi itulah yang terjadi padaku.

Tanpa diduga, Papa memelukku. Beliau ikut menangis bersamaku. Berkali-kali kalimat maaf terlontar dari bibirnya dengan suara tertahan.

“Papa minta maaf.”

Pelukan Papa mengerat. Beliau juga menghujani puncak kepalaku  dengan  ciumannya.  Aku  pun  melakukan  hal  yang sama, melingkarkan erat kedua lengan ke sekeliling tubuhnya.

“Kamu maafin Papa?”

Aku   mengangguk.   Papa   mengurai   pelukan   kami. Matanya  intens  menatapku.  Dengan  kedua  tangannya,  Papa menangkup   wajahku,   kemudian   mendaratkan   ciuman   di dahiku. Air mataku kembali mengalir.

“Terima kasih, Sayang. Maafkan Papa yang selama ini tidak bisa membahagiakan kamu.”

Aku menggeleng. “Danika juga minta maaf,” pintaku. Sekali lagi Papa mendaratkan kecupannya di keningku. 

Detik itu juga hatiku merasakan kelegaan yang luar biasa. Aku kembali seperti menjadi Danika saat kecil dulu. Dengan Papa sebagai  pahlawanku.  Memaafkan  memang  tak  mudah. Melupakan apalagi. Tapi ketika kita bisa melakukan keduanya, seolah semua beban terbebas dari dalam hati.

“Papa  mau  lihat  Aidan?”  tanyaku  setelah  sesi  saling memaafkan.

“Jadi, namanya Aidan?” tanya Papa.

“lya. Cucu Papa namanya Aidan.”

“Memangnya boleh Papa lihat Aidan?” Aku pun tak tahu apakah bisa membawa Aidan bersama kami karena hari sudah cukup larut. Tapi, ternyata ada kejutan menanti, Ibra masuk bersama seorang perawat yang membawa Aidan, membuatku dan Papa terperangah takjub.

“Permintaan  khusus,  Aidan  mau  ketemu  Opanya.  Jadi say a kasih izin deh. Cuma jangan lama-lama, ya,” ucap sang perawat sambil tersenyum ramah.

Aidan  diserahkan  padaku.  Papa  langsung  mendekat. Binar  bahagia  langsung terpancar  di wajahnya  kala melihat Aidan.  Papa  juga  menyentuh  jemari  mungil  Aidan  dengan tangan tuanya. Pemandangan yang mungkin tak akan pernah kulupakan.

“Papa mau gendong?” tanyaku.

“Boleh?”

Aku mengangguk. Menyerahkan Aidan dengan hati-hati ke tangan Papa. Beliau tampak canggung dan hati-hati. Tapi kebahagiaannya tak bisa disembunyikan.

“Papa  jadi  ingat  saat  dulu  gendong  kamu  ketika  baru lahir. Sekecil ini,” gumamnya.

Ibra seperti tahu bahwa aku akan terbawa suasana lagi, dan  mungkin  akan  kembali  menangis.  Cepat-cepat  pria  itu menghampiriku.  Memeluk  erat  pundakku.  Kusembunyikan wajah sembabku di dada Ibra.

Setelah bermain dengan cucunya, meski hanya, sebentar Papa berpamitan. Selain karena perawat sudah datang untuk mengambil  Aidan  kembali.  Sebelum  pergi,  Papa  kembali memelukku    erat.    Beijanji    akan    datang    esok    untuk menemuiku.  Papa  belum  puas  bersama  Aidan,  tentu  saja. Beliau ingin menghabiskan banyak waktu dengan cucu satu- satunya.

“Tidur  yang  nyenyak,”  pesan  Papa  sebelum  akhirnya pergi.

“Hati-hati, Pa.”

Ibra  berpamitan  padaku  untuk  mengantar  Papa  keluar rumah sakit. Papa datang bersama sopir, jadi aku tak perlu terlalu  khawatir  beliau  berkendara  malam-malam  begini. Setelah kepergian mereka, aku membaringkan tubuh di kasur. Hatiku  mengembang  dengan  perasaan  lega.  Kini  aku  bisa tersenyum  dengan  lebih  lepas.  Tak  ada  beban  lagi  yang mengganjal  di  hatiku.  Mama  di  peristirahatannya  pasti bahagia dengan perdamaian antara aku dan Papa. Meski tak bersama kami, aku yakin Mama melihat kami dari sana.

“Sudah lega?”

Aku   terkejut.   Tahu-tahu   saja   Ibra   sudah   berbaring sambil  memelukku  dari  belakang.  Kuputar  tubuhku  hingga berhadapan  dengannya.  “Terima  kasih,”  ucapku  tulus.  Aku tahu semua ini karena Ibra. Tanpa dia, mungkin masih akan ada tembok pembatas antara aku dan Papa.

“Sama-sama. Saya juga lega lihat kamu dan Papa sudah berbaikan. Aidan butuh keluarganya. la harus tumbuh dalam kasih sayang yang utuh dari Ayah, Ibu, dan Kakek-Neneknya.”

Aku  memberanikan  diri  mengecup  bibir  Ibra.  Pria  itu terperanjat.  Mata  Ibra  sampai  terbelalak  tak  percaya  karena aku   berani   menciumnya.   Namun   kemudian,   mata   itu menghangat.    Memancarkan    cinta    yang    selalu    mampu membuatku luluh.

“Janji sama saya, jangan sembunyikan apa pun. Jangan simpan kemarahan  apa pun. Selalu utarakan, agar kita bisa mencari jalan keluarnya.”

“Dan janji sama aku, untuk terus selalu dan selalu ada untukku, Ibrahim Arrauf.” Ibra terkejut kala aku memanggil namanya.  “Please,  Boss?”  pintaku  dengan  nada  semanja mungkin.

Pria  itu  tertawa,  tapi  juga  mengangguk  menyanggupi pintaku.  Malam  itu,  kami  tidur  dalam  keadaan  hati  yang begitu damai sambil saling mendekap. Aku tak tahu apa yang akan terjadi esok saat para perawat masuk ke kamar kami. Tapi saat ini, aku ingin menikmati waktu berdua dengan Ibra. Merasakan    hangat    dalam    dekapan    pria    yang    mampu membuka  hatiku.  Memberiku  begitu  banyak  cinta  dalam hidup.  Yang  mampu  menunjukkanku  jalan  untuk  kembali pulang.  Pria  yang  menjadi  rumah  bagiku.  Yang  kuharap sampai akhir hayatku.


Lakukan Yang Terbaik

Hubunganku  dan  Papa  berjalan  dengan  baik.  Pelan-pelan kami kembali membangun apa yang telah lama hilang. Meski masih  ada  sisa-sisa  kepingan  hati  yang  terpecah,  tapi  aku yakin kami bisa menyatukannya kembali. Ditambah lagi ada orang-orang  tercinta  yang  membantuku  untuk  melewati semua itu.

Perkembangan   Aidan   juga   menggembirakan.   Putra kecilku itu tumbuh menjadi anak yang mudah dicintai. Siapa yang  tak  akan  jatuh  hati  pada  anak  menggemaskan  seperti Aidan. Seluruh keluarga besar kami begitu menyayanginya. Bahkan Tante Mala dan anak-anaknya yang meski aku tahu belum   bisa   menerimaku,   tapi   paling   tidak   memberikan perhatian pada Aidan. Bagiku itu saja cukup.

Ibra sendiri adalah sosok Ayah yang begitu baik. la tak segan turun tangan untuk membantuku mengasuh Aidan. Di masa-masa Aidan begitu rewel setiap malamnya, ia selalu ada di  sampingku.  Membantuku  mengurus  Aidan.  Mulai  dari mengganti   popok   dan   menidurkannya.   Aku   benar-benar bersyukur memiliki suami super siaga seperti dia.

Bahkan disela sibuknya pekerjaan tak jarang Ibra selalu menyempatkan diri menemuiku dan Aidan di rumah. Padahal Ibra     sedang     bekeija     keras     untuk     mengembangkan restorannya.  Tapi,  ia  tak  pernah  lupa  untuk  menyediakan waktu bagiku dan putra kami.

“Hari ini mau ke mana?” tanya Ibra ketika melihatku sudah bersiap-siap akan pergi.

Aidan sudah berumur enam bulan. la tumbuh menjadi anak   yang   aktif.   Bahkan   saking   aktifnya   kadang   aku kewalahan  untuk  menjaganya.  la  sedang  senang-senangnya bergerak.  Tentu  saja  aku  harus  selalu  awas  terhadap  setiap tumbuh kembang anak kami.

“Mau ke rumah Dayu. Kayaknya dia lagi ngidam, deh. Pengin ketemu Aidan.”

Bicara tentang Dayu, sahabatku itu saat ini sedang hamil muda.  Terima  kasih,  Tuhan,  akhirnya  Dayu  akan  segera merasakan nikmatnya menjadi Ibu. Di masa-masa kehamilan Aidan, aku tahu Dayu begitu gembira. la pun tak sabar untuk segera merasakan menjadi ibu hamil sepertiku. Bahkan ketika Aidan lahir, aku bisa melihat wajah penuh harap Dayu. Hingga Tuhan akhirnya mengabulkan keinginan dan doanya. Kini ia sedang  mengalami  masa-masa  menyenangkan  menjadi  ibu hamil seperti yang kurasakan dulu.

Ibra mengantarkanku dan Aidan ke rumah Dayu. Pria itu tak   mengizinkanku   untuk   menyetir.   Entah   untuk   sampai kapan. Padahal aku bisa saja menyetir sendiri mobilku yang dihadiahkan   Ibra   kembali   ke   tanganku.   Tapi   mungkin memang belum saatnya bagiku menjadi setan jalanan seperti dulu. Ada Aidan yang harus kuperhatikan.

“Jangan  pulang  dengan  taksi.  Tunggu  saya  jemput, ngerti,” titah Ibra ketika menurunkan kami di depan rumah Dayu. la tak bisa mampir dan menyapa Dayu karena memiliki 

janji dengan rekan bisnisnya.

“Siap. Hati-hati, Papa,” sahutku sembari menggerakkan tangan mungil Aidan sebagai bentuk salam padanya.

Setelah  memberikan  ciuman  pada  putranya,  tentunya juga padaku, Ibra langsung meluncur pergi. Yang tak kusadari 

adalah  kehadiran  Dayu  sudah  bersandar  di  depan  gerbang rumahnya.

“Heh, romantis banget,” ledeknya.

Aku  tertawa  melihat  ibu  hamil  berdaster  itu.  Dayu tampak berseri meski penampilannya kelihatan lusuh karena pasti  belum  mandi  dan  bersih-bersih  diri.  Satu  kebiasaan Dayu selama masa kehamilannya ini. la sering bercerita, entah mengapa ia begitu malas mandi pagi. Kadang-kadang ia takut Damar   akan   bosan  padanya   karena  ia  yang  tak  terlalu memperhatikan penampilan selama hamil.

“Halo, sayangnya Tante Dayu...” la segera mengambil alih Aidan dari gendonganku. Sikapnya yang tak sabar kadang membuatku ngeri kala menyerahkan Aidan ke tangannya.

“Damar   sudah   berangkat?”   tanyaku   ketika   kami beijalan beriringan ke dalam rumah.

“Sudah. Katanya ada rapat pagi.” Dayu menjawab tanpa mengalihkan   pandangan   dari   Aidan.   “Ribet   banget   dia sebelum pergi. Selalu begitu. Bawel. Ngingetin ini-itu, bikin kepalaku pusing pagi-pagi dengar ocehannya.”

“Namanya juga calon Ayah. Dia khawatir dong kalau kamu  dan  bayi  kalian  kenapa-napa.  Apalagi  dengan  kamu yang suka sembarangan gitu.”

“Halo, Ibu Danika, nggak mungkin dong aku bahayain kandungan.  Tenang  aja.  Selama  hamil,  aku  tuh  hati-hati banget  bersikap.  Enggak  sradak-sruduk  lagi  kayak  dulu.” Dayu  tertawa  lebar.  “Emangnya  aku  banteng  main sradak- sruduk. ”

Agenda  kami  hari  ini  hanya  bermain  bersama  Aidan. Dayu   yang   memang   meminta   kami   datang   tak   pernah melepaskan Aidan sedetik pun. Ada saja yang ia lakukan untuk menggoda putraku itu. Hingga jam makan siang, akhirnya aku yang terpaksa turun tangan untuk memasak karena Dayu tak ingin melepaskan Aidan.

“Mau makan apa, Yu?”

“Terserah kamu. Apa pun yang kamu masak bakal aku makan. Damar bilang aku nggak boleh pilih-pilih makan buat anaknya.”

Aku  tertawa  mendengarnya.  “Kalau  aku  goreng  karet gelang dikecapin bakal kamu makan juga?”

“Boleh. Kalau kamu mau adu mulut sama Damar.” Tawaku makin kencang. Bukan rahasia jika mantan Bos 

Dayu  yang  sekarang  menjadi  suaminya  itu  adalah  pria cerewet. Dibandingkan dengan Ibra, jelas Damar lebih bawel. Jika  Ibra  selalu  meminta  dengan  lembut  namun  tegas, berbeda dengan Damar yang akan mengomel panjang lebar. Lebih  terkesan  memerintah.  Jiwa  superiornya  tak  bisa dihilangkan sepenuhnya.

Selesai   makan   siang,   waktunya   menidurkan   Aidan. Setelah  menyusui,  Aidan  langsung  pulas  dan  terlelap.  Aku memilih  menidurkannya  di  karpet  yang  sengaja  disediakan Dayu di depan ruang tv sebagai tempat bermain. Setelahnya aku dan Dayu pun membaringkan diri di sisi kiri dan kanan Aidan. Sambil berbaring kami bercerita banyak hal. Tentang masa  sekolah  sampai  saat-saat  mengalami  masa  sulit kehilangan  kedua  orang  tua.  Hingga  saat  kami  akhirnya menemukan muara kebahagiaan masing-masing.

“Jadi, sekarang Hanin tinggal sama Papa kamu?” Dayu bertanya ketika aku menceritakan perkembangan hubunganku dan Papa.

“lya. Dia bantu jaga Papa di rumah lama.”

“Kamu nggak takut...” Dayu menghentikan ucapannya. “Takut apa?”

“Papamu dan Hanin ... cinlok? ”

Aku tertawa karena pemilihan kata Dayu. “Enggaklah. Papa sayang sama Hanin tulus. Seperti anaknya. Ya, meski kadang bikin iri, sih. Tapi aku udah ikhlas, kok, Yu. Kalau aku terus berkutat di masa lalu, aku nggak akan maju. Sekarang ada Ibra, ada Aidan. Jadi aku rasa aku nggak akan kekurangan kasih sayang.”

“Hem,  tahu  deh  tahu  yang  sekarang  cinta  mati  sama suaminya.”

Kucubit   lengan   Dayu   hingga   dia   mengaduh   keras. Mataku  melotot,memperingatkannya  untuk  tak  berisik  agar tak mengganggu tidur pulas Aidan.

“Enggak usah ngeledek. Siapa coba yang dulu curhat soal Damar. Padahal nggak ada hubungan apa-apa. Cuma atasan sama bawahan doang,” balasku.

“Heh, sendirinya nggak sadar yang nangis-nangis gara- gara dilamar Ibra.”

Skak  mat.  Aku  menggigit  bibir.  Rasanya  memalukan ketika mengingat kejadian itu. Melihatku bungkam, tawa Dayu keluar.  Meski  tertahan  karena  ia  tak  ingin  membangunkan Aidan.

“Lucu, ya, jalan hidup kita.” Dayu kembali berucap. “lya. Lucu.”

“Siapa  yang  sangka  akhirnya  kita  berakhir  begini. Menikah, punya anak, sama laki-laki yang nggak pernah kita bayangkan.”

“Tapi,  aku  sama  sekali  nggak  menyesal  ketemu  Ibra, mengalami   semua   kerumitan   itu,   karena   pada   akhirnya sesuatu  yang  manis  akan  selalu  menghampiri  hidup  yang sulit.”

Dayu mengangguk setuju. Tanpa terasa kami larut dalam perbincangan   dan   akhirnya   jatuh   terlelap.   Suara   tangis Aidanlah yang menjadi alarm. Ternyata Aidan merasa haus. Setelah menyusuinya, aku kembali berbaring bersama Aidan dan Dayu. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Sepertinya  aku harus segera berpamitan karena saat memeriksa ponselku, ada banyak panggilan tak teijawab yang masuk. Tentu saja semua panggilan tersebut berasal dari Ibra.

Segera saja aku mengirim pesan pada Ibra. Mengabarkan bahwa  ia  sudah  bisa  menjemputku  dan  Aidan.  Terlebih mungkin  sebentar  lagi  Damar  akan  kembali  dari  kantor. Mungkin pria itu ingin menghabiskan waktu berdua bersama istrinya. Dan aku tak ingin menjadi pengganggu kebersamaan mereka.

“Bagaimana play dat e-nya?” Ibra bertanya setelah aku dan Aidan masuk ke mobil. la hanya berpapasan sekadarnya dengan Dayu.

“Senang. Nggak sabar nunggu anak Dayu lahir. Aidan nanti ada temannya. Ya, kan, anak Mama?”

Aku menciumi pipi mulus Aidan karena gemas. Putraku itu   sama   sekali   tak   terganggu.   Memang   ia   benar-benar cerminan  Ibra  yang  begitu  tenang.  Tak  rewel  dan  sangat kooperatif    jika    diajak    berkegiatan.    Ibra    yang    sedang mengemudi  sesekali  mengelus  pipi  Aidan.  Seolah  sangat mengenal  sentuhan  Papanya,  mata  bulat  Aidan  menatap  ke arah   Ibra.   Tawa   anakku   itu   lepas   kala   Ibra   membalas tatapannya. Sungguh hubungan yang indah antara orang tua dan anak. Tentu saja aku akan menjaganya seumur hidupku.

Malam  ini  aku  terpaksa  meninggalkan  Aidan  dalam pengawasan  Papa  dan  Haninda.  Semua  karena  aku  harus menemani Ibra menghadiri acara pernikahan teman kampusnya.  Sebenarnya  berat  buatku  untuk  meninggalkan Aidan  yang  masih  kecil  pada  orang lain,  tapi  aku  juga  tak mungkin melalaikan tugasku sebagai seorang istri. Meski aku tahu kalau Aidan akan baik-baik saja di bawah pengawasan Papa dan Haninda. Tetap saja sebelum pergi aku memberikan banyak  wejangan  pada  Papa  dan  Haninda.  Tak  lupa menyiapkan pasokan ASI selama aku meninggalkan Aidan.

Sepanjang   peijalanan   aku   tak   bisa   menyingkirkan pikiranku tentang Aidan. Apakah putraku itu menangis atau merindukanku.   Sampai   aku   tak   fokus   pada   Ibra   yang mengajakku   berbincang.   Hingga   kurasakan   jemari   Ibra menggenggam sebelah tanganku.

“Kenapa?”  tanya  Ibra,  aku  berpaling  dengan  wajah bingung/Aidan pasti baik-baik saja di bawah asuhan Papa dan Haninda,” ucapnya berusaha menenangkanku.

Kueratkan  genggaman  jemariku  sebelum  melepasnya. Akan   sangat   berbahaya   bagi   Ibra   menyetir   dengan   satu tangan. Aku tak ingin kami mati konyol karena kecelakaan. Aidan masih membutuhkan kedua orang tuanya.

Tak   berapa   lama   kami   tiba   di  hotel  tempat  pesta diselenggarakan.  Memasuki  ruangan  pesta,  para  tamu  yang hadir  hampir  memenuhi  seisi  hall.  Terlebih  dahulu  Ibra mengajakku      menemui      mempelai      pengantin      untuk mengucapkan  selamat.  Setelahnya  berfoto  bersama  sebagai bentuk kenangan. Ibra berbincang sejenak sebelum kemudian undur diri untuk memberikan kesempatan pada tamu lainnya.

“Mau makan sesuatu?” tawar Ibra padaku.

“Boleh. Kamu yang pilih, ya. Aku tunggu di meja saja.” Setelah  mendapatkan  persetujuan  dariku,  Ibra  menuju 

ke  meja  prasmanan.  Sedang  aku  mencari  meja  untuk  kami berdua. Sangat sulit mendapatkan meja yang kosong dengan tamu yang begitu banyak. Namun, sepasang suami istri paruh bay a yang baik hati menawarkanku untuk duduk di meja yang sama dengannya. Beberapa saat kemudian Ibra datang dengan sepiring  makanan  dan  segelas  air.  Sebelum  duduk,  Ibra memohon izin pada pasangan suami-istri tersebut.

“Kok,    cuma    satu?”    tanyaku    ketika    Ibra    hanya menyerahkan sepiring makanan tersebut padaku.

“Belum lapar.”

“Sepiring berdua mau?” tawarku yang langsung dijawab Ibra dengan gelengan.

“Ibu menyusui lebih butuh makan.”

Sepasang suami-istri tersebut tampak menyimak obrolan kami.  Bahkan  sang  istri  ikut  menimpali.  Bertanya  perihal pernikahanku  dan  Ibra.  Juga  sudah  berapa  anak  yang  kami miliki.  Sampai  akhirnya  perbincangan  menjurus  pada  topik mengenai  bisnis.  Ibra  seperti  mendapat  peluang  usaha  dari pertemuan  tak  terduga  kami  dengan  pasangan  suami-istri tersebut. Sang suami tampak tertarik dengan usaha yang kini sedang  Ibra  jalani.  Bahkan  berencana  untuk  mengajak  Ibra berdiskusi di lain waktu. Setelah puas berbincang, suami-istri tersebut berpamitan pada kami.

“Bahkan di pesta begini juga kamu bisa punya prospek untuk  partner  bisnis,  ya,”  ucapku  setelah  pasangan  tersebut tak lagi bersama kami.

“Yang namanya rezeki bisa dari mana saja,” jawab Ibra kalem.

Tadinya aku dan Ibra ingin berada di pesta sedikit lebih lama.   Tapi,   kami   mendapat   telepon   dari   Papa   yang membuatku  langsung  khawatir.  Tanpa  pikir  panjang,  kami segera   berpamitan   pada   pemilik   acara.   Bahkan   pria   itu mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Selama di 

jalan tak henti-hentinya aku berdoa agar tak teijadi apa pun pada putraku.

Begitu mobil tiba di rumah Papa, dengan kecepatan kilat aku langsung berlari menghampiri Aidan yang suara tangisnya terdengar    dari    pintu    masuk.    Kulihat    Papa    berusaha menenangkan putraku itu yang terus saja menangis.

“Sayang, maafm Mama, ya.” Aku mengulurkan tanganku untuk  meminta  Aidan  dari  gendongan  Papa.  Dengan  sigap Papa segera memindahkan Aidan ke tanganku. “Kenapa bisa gini,  Pa?”  tanyaku,  cemas  karena  Aidan  tak  juga  berhenti menangis meski aku sudah menenangkannya.

“Papa juga nggak tahu. Habis minum susu tadi, Aidan masih tenang main sama Haninda. Setelah itu tiba-tiba saja dia nangis nggak karuan.” Papa mencoba menjelaskan.

Tubuh  Aidan  yang  berada  di  gendonganku  memang sedikit panas. Mungkin anakku terserang demam. Tapi yang mengherankan, mengapa begitu tiba-tiba.

“Perlu  kita  periksa  ke  dokter?”  Ibra  sudah  berdiri  di sampingku.

Tanpa   menolak,   aku   langsung   mengangguk.   Kami berpamitan  pada  Papa  dan  Haninda  yang  sama  cemasnya. Sebelum pergi, Papa memintaku untuk mengabarkan kondisi Aidan secepatnya setelah ditangani.

Perjalanan ke rumah sakit terasa lambat, dengan putraku yang   terns   menangis   di   dalam   pelukan.   Aku   tahu   Ibra memiliki kecemasan yang sama, tapi pria itu selalu mampu mendinginkan    kepalanya    tiap    kali    berhadapan    dengan masalah.

Begitu tiba, Aidan langsung ditangani oleh dokter jaga yang  kebetulan  ada  di  sana.  Dokter  menjelaskan  bahwa demam yang dialami Aidan disebabkan oleh virus. Tak ada yang  perlu  dikhawatirkan  dengan  kondisinya.  Dokter  juga memberikan   beberapa   obat   bagi   demamnya.   Juga   cara menangani sikap rewel Aidan selama demam masih bersarang di  tubuhnya.  Setelah  mendapat  penangan  dari  dokter,  kami pun kembali ke rumah. Di perjalanan, Ibra menghubungi Papa untuk mengabarkan kondisi Aidan. Sementara aku menyusui Aidan untuk membuatnya lebih tenang.

Sepanjang malam aku berusaha menjaga Aidan. Walau ia telah tertidur lelap, tapi justru aku yang tak bisa memejamkan mata barang sejenak. Ternyata begini rasanya menjadi seorang Ibu yang khawatir akan keadaan anaknya. Hal kecil apa pun yang teijadi pada anak akan menjadi hal yang mencemaskan seorang Ibu.

“Minum ini.”

Ibra  tahu-tahu  saja  sudah  mengulurkan  segelas  susu padaku. Asap yang mengepul dari dalam gelas menandakan bahwa ia baru saja membuatnya. Entah kapan ia menyelinap keluar  kamar.  Aku  seperti  melupakan  keberadaannya  saat fokusku sepenuhnya terpaku pada Aidan.

“Aku nggak haus.”

“Minum.”

Suara  Ibra  tak  tegas,  tetap  lembut,  tapi  aku  tahu  ada perintah  dalam  nada  suaranya  yang  tak  boleh  kubantah. Dengan enggan aku mengambil gelas tersebut dari tangan Ibra dan  meneguk  isinya  perlahan.  Hanya  seteguk,  kemudian mengembalikan gelasnya pada Ibra.

“Kamu  boleh  cemas  sama  Aidan,  tapi  bukan  berarti kamu mengabaikan kondisi kamu. Kamu tetap butuh istirahat. Kalau kamu besok sakit, siapa yang akanjaga Aidan?”

“Kamu,” jawabku tanpa pikir panjang.

Ibra tertawa pelan. la duduk di sampingku yang masih duduk  di  sisi  ranjang  sembari  mengamati  Aidan.  “Saya mungkin suami dan Ayah yang kuat. Tapi ketika seorang istri sakit,  justru  disitulah  pondasi  keluarga  akan  berantakan. Dalam  rumah  tangga,  sering  kali  orang  mengatakan  bahwa suami adalah pilar utama kokohnya pondasi, tapi bagi saya 

justru seorang istrilah pilar utamanya. Suami memang kepala keluarga, tapi ada kalanya seorang suami tidak akan sanggup mengerjakan  apa  yang  istri  bisa  lakukan.  Saya  cuma  hebat dalam mencari nafkah, tapi kamu adalah yang paling hebat mengurus segala hal dalam rumah tangga kita. Kamu selalu memastikan  kalau  saya  dan  Aidan  baik-baik  saja.  Tidak merasa kekurangan apa pun. Karena itu, jangan sakit, Danika. Kalau kamu sakit, saya nggak bisa berbuat apa-apa. Saya dan Aidan butuh kamu.”

Baiklah.    Sekali    lagi,    Ibra    berhasil    melelehkan pertahananku. Apa pun yang Ibra lakukan dan ucapkan selalu mampu menyentuh hati terdalamku. Pria ini seperti menjadi obat bagi segala ketakutan dan kekhawatiranku. Dan seperti kata Ibra tadi, harusnya aku juga bisa menjadi obat bagi segala ketidakmampuannya tanpa diriku.

“Aku nggak akan pernah bisa berhenti ngucapin ini...” Aku   memberanikan   diri   menarik   wajah   Ibra,   kemudian mendaratkan kecupan di bibirnya, ”... terima kasih.”

Ibra  tak  berkata  apa  pun  lagi.  la  hanya  mengajakku untuk berbaring di sebelah Aidan. Merapikan selimut untuk menutupi tubuhku, kemudian memberikan kecupan di dahiku. Setelahnya  ia  berjalan  memutar  ke  sisi  kiri  ranjang.  la mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur. Sunyi kini  melingkupi  seisi  ruangan.  Aku  tahu  itu  artinya  harus segera  mengakhiri  kekhawatiranku  pada  Aidan  malam  ini. Seharusnya  memang  aku  tak  perlu  khawatir.  Aidan  ada bersama  kami.  Aku  dan  Ibra  akan  selalu  melindunginya dengan segenap usaha kami.


Cemburu Itu Kadang Perlu

Pernikahan yang awet tak melulu tentang hubungan yang baik antara  suami  dan  istri.  Kadang  dalam  suatu  hubungan diperlukan adanya pemantik agar ikatan dalam rumah tangga menjadi semakin kuat. Rasa cemburu, misalnya.

Jika  kupikir  dulu  akan  sulit  bagi  Ibra  untuk  cemburu padaku, tapi ternyata tidak juga. Karena seperti yang pria itu tunjukkan saat ini, seolah tak ingin melepaskanku dalam acara reuni   yang   diadakan   SMA-ku   dulu.   Terutama   jika   aku beramah tamah dengan teman beijenis kelamin pria.

Mungkin tak hanya Ibra, karena sepertinya Damar pun melakukan  hal  yang  sama  pada  Dayu.  Pria  itu  juga  tak melepaskan     Dayu     dari    genggamannya     sedetik    pun. Membuatku dan Dayu tak bisa berbaur dengan teman-teman lama kami.

“Kalian  duduk  dulu  di  pojokan  sambal  nyemil  apa gitu...,” kata Dayu pada Ibra dan Damar.

Sepanjang acara, kedua pria itu terus mengekor ke mana aku   dan   Dayu   melangkah.   Hingga   kami   menjadi   pusat perhatian   di   acara   reuni   akbar   yang  dilaksanakan   pihak panitia di hotel.

“Memangnya kenapa?” Damar menjawab istrinya yang sedang hamil tersebut.

Bagi Damar mungkin tak masalah terus menempel pada Dayu,  mengingat  istrinya  sedang  hamil,  pastinya  ia  ingin menjaga Dayu dari kemungkinan kecil apa pun. Tapi berbeda dengan Ibra, la tak seharusnya menempel terus padaku bagai lintah. Tapi apa mau dikata, kedua pria itu seolah tak merasa bersalah sudah mengganggu kesenangan kedua istrinya yang ingin mengenang kebersamaan dengan teman-teman sekolah.

“Aku  sama  Danika  itu  mau  main  dulu.  Mau  ngobrol banyak  sama  teman-teman.  Kalau  kamu  sama  Ibra  terus nempel, teman-teman kita pasti nggak nyaman.”

“Kamu  keberatan?”  tanya Damar pada istrinya. “Tapi aku nggak keberatan sama sekali. Aku cuma mau jaga kamu sama anak kita.”

Dayu  mengerang  kesal.  la  merasa  kalah.  Tak  ingin istrinya   itu   emosi,   Damar   segera   menarik   Dayu   dan mengajaknya duduk di kursi yang telah disediakan. Tinggallah aku dan Ibra yang masih berdiri di tengah ruangan.

“Kamu keberatan juga kalau saya nempel terus?” giliran Ibra yang bertanya.

“lya,  dong.  Aku  juga  butuh  waktu  buat  ngumpul- ngumpul sama teman.”

“Hem?    Jadi,    sudah    nggak    khawatir    lagi    kalau meninggalkan Aidan? Oke...”

Saat    Ibra    membawa-bawa    nama    Aidan    dalam pembicaraan kami, aku langsung menyelanya, “Bukan gitu. Ya, aku  juga  nggak  mau  ninggalin  Aidan  kalau  bukan  karena terpaksa.  Tapi kan ini acara reuni yang nggak setiap  tahun diadakan.  Dan  nggak  setiap  tahun  juga  aku  bisa  ketemu teman-teman lama.”

“lya,   saya   ngerti.   Tapi   bukan   berarti   kamu   bebas beramah tamah sama teman laki-laki.”

Aku   mengernyitkan   dahi,   kemudian   menahan   bibir untuk tak tersenyum. “Kamu cemburu?”

“Kalau saya nggak cemburu lihat istri saya ramah tamah dan  dekat-dekat  sama  laki-laki  lain,  itu  artinya  saya  nggak normal.”

“Em, memang sih kata orang cemburu tanda ci—” “Enggak  harus  begitu.  Tanpa  rasa  cemburu  pun  saya 

tetap  cinta  sama  kamu.  Tapi  ada  batasan  yang harus  kamu patuhi  dalam  berhubungan  dengan  teman,  terutama  lawan 

jenis. Apalagi kamu sudah bukan lagi perempuan single. ” “lya,  maaf,”  keluhku,  merasa  tersentil  dengan  ucapan 

Ibra.

Seakan  tahu  bahwa  perasaanku  menjadi  tak  karuan setelah mendengar ucapannya, Ibra menarikku untuk duduk.

Kami  memilih  meja  agak  jauh  dari  Dayu  yang  sedang menikmati hidangan.

“Maaf kalau cara menegur say a salah. Tapi say a nggak akan menyangkal kalau saya memang cemburu lihat istri saya bersikap manis pada pria lain. Saya posesif, kamu pasti tahu itu. Tapi kalau memang kamu mau menjalin hubungan baik dengan teman lama meskipun itu laki-laki...”

“Enggak!” potongku cepat. “Maaf. Aku ngerti kok apa maksud  kamu.  Aku  juga  pasti  bersikap  sama  kayak  kamu kalau  lihat  ada  perempuan  yang  dekat-dekat.  Bahkan  dulu juga saat Haninda tahu kamu, aku juga cemburu, kan?”

Ibra  akhirnya  tersenyum.  “Saya  senang  kamu  makin ekspresif. Tidak takut lagi menunjukkan perasaan.”

“Ini semua juga karena kamu.”

Kemudian  pembicaraanku  dan  Ibra  terinterupsi  oleh suara  berisik  dari  depan  panggung.  Acara  sepertinya  mulai dilanjutkan  ke  hiburan  yang  tersedia.  Ada  penampilan  dari pemain  musik  yang  mengiringi  siapa  pun  ingin  menghibur dengan nyanyian.

Aku dan Ibra memilih untuk bergabung di meja Dayu dan Damar. Sepanjang acara, Dayu tampak asyik mengikuti nyanyian  yang  ditampilkannya.  Mungkin  jika  tidak  sedang dalam   kondisi   hamil,   ia   akan   turut   serta   naik   ke   atas panggung. Suara Dayu memang bukan seperti para biduan, tapi  rasa  percaya  dirinya  yang  kadang  kelewatan  mampu memeriahkan suasana.

Setelah hampir tiga jam berada di acara reuni, aku dan Dayu  memutuskan  untuk  pulang.  Kami  berpamitan  pada teman-teman yang lain. Walau banyak yang meminta untuk tetap  tinggal,  tapi  aku  tak  mungkin  meninggalkan  Aidan terlalu lama. Meski aku yakin Aidan baik-baik saja bersama Papa—karena  hingga  saat ini aku tak mendapatkan laporan apa pun dari beliau. Pengalaman saat Aidan demam yang lalu tak    membuatku    enggan    menyerahkan    putraku    untuk menghabiskan waktu bersama kakek dan tantenya, karena aku yakin mereka akan sangat baik dalam menjaga Aidan.

“Sampai ketemu!”

Aku  dan  Dayu  saling  berpelukan  saat  berpamitan  di parkiran. Kami pun saling berpisah ke mobil masing-masing. Waktu  sudah  menunjukkan  pukul  empat  sore  saat  kami berkendara menuju kediaman Papa. Jalanan tak terlalu macet karena saat ini memang akhir pekan.

Bicara  masalah  akhir  pekan,  entah  sudah  berapa  lama aku dan Ibra tak menikmati waktu kencan berdua. Sejak ada Aidan,  memang  waktu  kami  berdua  dihabiskan  bersama  si kecil  itu.  Tapi  kadang  aku  merasa  membutuhkan  waktu berdua dengan Ibra. Hany a saja, jika saat ini aku meminta Ibra untuk menyisihkan waktu bagi kami berdua, bagaimana dengan  Aidan?  Pasokan  ASI  yang  kutinggalkan  untuknya mungkin    tak    akan    cukup.    Meski    Aidan    sudah    bisa mengkonsumsi   susu   formula,   tapi   aku   bertekad   untuk memberikan ASI ekslusif hingga Aidan berusia dua tahun.

“Ada yang mengganggu pikiran kamu?”

“Kamu  kenapa  bisa  mudah  banget  sih  baca  suasana hatiku?”

“Wajah  kamu  kelihatan  auranya  lagi  banyak  pikiran.” Ibra menjawab tenang.

“Kelihatan banget, ya?”

Ibra mengangguk. “Karena itu, coba kasih tahu apa yang mengganggu pikiran kamu?”

“Berapa lama sih kita nggak habisin waktu berdua?” “Hm?   Bukannya   kita   sering   menghabiskan   waktu 

berdua?” Nada suara Ibra terdengar bingung.

“Maksudnya  benar-benar  berdua  loh.  Kayak  kencan begitu.”

Tanpa   kuduga   Ibra   justru   tertawa.   Aku   langsung cemberut.   Mungkin   dia   berpikir   aku   terlalu   kekanakan. Menginginkan sesuatu seperti kencan yang biasanya dilakukan oleh remaja. Tapi bukankah kadang hal seperti itu perlu juga pada pasangan yang sudah menikah. Buktinya kecemburuan yang tadi Ibra tunjukkan. Bukankah itu juga salah satu hal yang kekanakan jika ditilik dari logika orang dewasa seperti kami?

“Jadi, kamu mau kencan?” tanya Ibra akhirnya.

“Ya, bukan begitu juga. Cuma jadi kepikiran aja. Kapan terakhir kali kita menghabiskan waktu berdua tanpa Aidan?”

Tanpa kusangka, Ibra mengelus pelan puncak kepalaku. “Sabar, ya. Aidan masih terlalu kecil untuk kita tinggalkan terlalu lama. Nanti, saat Aidan sudah bisa lepas dari ASI-nya, saya janji akan bawa kamu ke mana pun kamu man.”

Aku menatap samping wajah Ibra dengan dahi berkerut. “Bukan begitu juga yang aku mau. Aku kan cuma...”

“lya, saya tahu. Kadang memang jadi ibu rumah tangga itu menjemukan. Ada saat kamu juga butuh lepas dari segala kegiatan yang monoton sebagai ibu rumah tangga dan istri.”

“Kenapa jadi gitu? Aku benar-benar nggak maksud untuk ninggalin Aidan, kok. Itu benaran cuma selintas pikiran. Aku nggak pernah bosan jadi ibu rumah tangga.”

Kenapa  kurasakan  suaraku  bergetar?  Apa  yang  salah? Ibra yang salah paham, atau perasaanku yang memang sedang sensitif?

“Gimana kalau waktu kencan berduanya diganti dengan waktu kencan keluarga? Kita bawa Aidan ke mana yang kamu mau.  Tapi  kita  juga  butuh  konsultasi  sama  dokter.  Sudah amankah kalau Aidan dibawa bepergian dengan pesawat?”

“Hah?”

“Jangan cuma jawab  hah’, kalau kamu memang mau, 

a

nanti kita rencanakan.”

Ibra kembali fokus pada kegiatan menyetirnya. Sedang aku yang tak mengerti ke mana arah pembicaraan kami tadi hanya  bisa  terperangah  sepanjang  jalan.  Kepalaku  masih berputar memikirkan apa yang baru kami bicarakan.

Peduli  apa  dengan  pikiranku  yang  berputar.  Nyatanya tawaran  Ibra  begitu  menggiurkan.  Kapan  lagi  kami  bisa berlibur menghabiskan waktu bersama. Di tengah kesibukan Ibra  mengembangkan  bisnisnya,  mungkin  memang  saatnya mengeratkan ikatan yang ada di antara kami.

Berkumpul bersama keluarga Ibra bukan merupakan agenda rutin. Tapi tetap saja tiap kali Mama dan Papa Ibra meminta kami untuk berkunjung, aku tak bisa menolak. Meski Tante Mala  sudah  jarang  bersinggungan  denganku,  tapi  rasa  tak nyaman berada di tempat yang sama dengannya selalu ada.

Terlebih dengan Bintang yang entah mengapa hari ini bersikap menyebalkan.

Aku tak tahu apa lagi masalah wanita itu padaku. Tapi sejak kedatanganku dan Ibra, dia kembali menunjukkan rasa tak   sukanya   padaku.   Yang   paling   menyebalkan   adalah sikapnya  yang  berbanding  terbalik  jika  ada  Ibra  di  antara kami. la bersikap manis pada Ibra dan Aidan. Tapi tatapan tak sukanya akan berkobar padaku kala tak melihat Ibra atau lelaki itu ada di dekatku. Jelas saja tingkahnya membuatku 

jengah.

Satu   hal   yang   membuat   emosiku   memuncak   saat ternyata   dalam   acara   kumpul   keluarga  kali  ini,  Bintang mengundang sahabatnya, gadis bernama Amanda yang dulu ingin ia jodohkan dengan Ibra. Tentu saja kehadiran gadis itu membuat perasaanku kacau seharian. Entah memang Bintang sengaja mendatangkan sahabatnya untuk membuatku jengkel. Atau   memang   karena   Amanda   memang   sudah   dianggap seperti keluarga bagi mereka. Apa pun alasannya, tapi aku tak bisa  menerima  kehadiran  perempuan  itu  di  tengah-tengah kami.

“Makan    siangnya    sudah    siap?”    Suara    Yasmin menyadarkanku dari lamunan.

Tanpa  kusadari  ay  am  goreng  yang  kupegang  sudah berubah  warna  menjadi  lebih  hitam.  Aku  meringis  ketika mendapati  ay  am  goreng  tersebut  sudah  berubah  menjadi ayam   gosong.   Yasmin   hanya   menggeleng   kecil   sambil tersenyum.  Tapi  suara  sahutan  seseorang  merusak  gendang telingaku.

“Sudah jadi istri juga bahkan kamu nggak bisa masak.” Tentu  saja  Bintang  tak  akan  bersikap  sopan  padaku 

meskipun aku adalah istri dari kakak sepupunya. Usianya yang lebih  tua  membuat  wanita  itu  merasa  memiliki  superioritas terhadapku.

“Maaf, Mbak.” Bukan pada Bintang, tapi kuucapkan itu pada Yasmin.

“Nggak masalah, Nika. Ayamnya masih banyak, kok.” 

“Tapi jadi mubazir, Mbak Yas.” Bintang seperti tak ingin melepaskanku.

“Namanya juga nggak sengaja, Bin. Udah kamu goreng lagi ayamnya, ya. Tapi kali ini jangan pakai acara melamun. Mbak man lihat anak-anak dulu.”

Sepeninggal Yasmin, hanya aku dan Bintang yang tersisa di dapur. Tak ada yang perlu kami sembunyikan satu sama lain.  Jika  Bintang  bisa  terang-terangan  menunjukkan  aura permusuhannya padaku, mengapa aku tak bisa melakukan hal yang   sama.   Kutatap   Bintang   tanpa   berniat   menunjukkan wajah  kesalku.  Wanita  itu  balas  memberikan  tatapan  yang sama padaku.

“Boleh saya tahu kenapa kamu seolah memusuhi saya?” tanyaku tanpa basa-basi.

“Karena saya nggak suka sama kamu. Sejak awal kamu pasti tahu itu. Saya nggak menerima kamu jadi bagian dari keluarga ini. Tapi saya nggak bisa berbuat apa pun karena itu keputusan Mas Ibra.”

“Lain,  karena  kamu  nggak bisa menerima, kamu mau bikin pernikahan saya hancur sama Ibra. Begitu?”

Raut wajah Bintang mengeras. “Saya nggak sepicik itu, ya. Jangan pernah memfitnah.”

“Oh.  Lalu  kehadiran  sahabat  kamu  itu,  dalam  rangka apa?”

“Kedatangan     Amanda     sama     sekali     nggak     ada hubungannya dengan Mas Ibra dan kamu. Amanda memang sering datang ke sini.”

Aku memandang skepstis pada perempuan di hadapanku ini. “Hoh? Kebetulan sekali berarti, ya,” sindirku.

Wajah  Bintang  memerah.  Entah  mungkin  malu  atau marah karena sindiranku, tapi aku harus melakukannya. Aku harus menunjukkan pada Bintang bahwa ia tak bisa bermain- main  dengan  pernikahanku.  Dengan  rumah  tanggaku  dan Ibra.

Aku  memiliki  trauma  dan  pengalaman  akan  hadirnya orang ketiga dalam sebuah rumah tangga. Bukan aku ingin mengingat  apa  yang  terjadi  pada  Papa,  tapi  aku  hanya berusaha  mencegah  hal  itu  teijadi  padaku.  Aku  tak  ingin memberi celah pada apa pun dan siapa pun yang berpotensi merusak kebahagian keluargaku. Terutama untuk Aidan. Aku tak  ingin  putraku  merasakan  apa  yang  kualami.  Bahkan diusianya yang masih begitu kecil.

“Kamu  pasti  tahu  kalau  saya  pernah  mengalami  masa sulit  dalam  keluarga.  Kamu  sadar  apa  pun  yang  kamu rencanakan akan berdampak pada hidup saya? Terutama pada Aidan. Saya nggak peduli sebenci apa kamu terhadap saya, tapi saya nggak akan tinggal diam jika ada orang yang ingin menghancurkan  kebahagiaan  keluarga  saya.  Meskipun  itu kerabat terdekat sekalipun.”

Kuharap  Bintang  sedikit  saja  merasa  gentar  dengan ucapanku.    Dan    sepertinya    harapanku    terkabul    dengan wajahnya yang mengetat. Aku pun memasang wajah tak kalah kerasnya   agar   Bintang   tahu   aku   tak   main-main   dengan ucapanku.

“Saya sama sekali nggak merencanakan apa yang kamu tuduhkan!” Bintang masih mengelak keras.

“Kamu boleh menyangkal sekuat hati kamu, tapi saya cuma berusaha memperingatkan kamu. Jangan pernah coba- coba ganggu keluarga saya!”

Setelah  memberi  Bintang  peringatan,  fokusku  kembali pada ay am yang harusnya sudah matang. Tapi karena harus berdebat   dengan   wanita   itu,   aku   jadi   menunda   untuk memasak ayam goreng tersebut. Mungkin merasa tak mampu lagi berdebat denganku, Bintang segera meninggalkan dapur. Entah  dia  kembali  marah  atau  bahkan  mengutukku  dalam hati, aku tak peduli. Siapa pun yang ingin mencoba mengusik ketenangan  rumah  tanggaku  pasti  akan  kuhadapi.  Sekalipun itu Tante Mala sebagai Ibunya Bintang.

“Sudah selesai masaknya?” Ibra tiba-tiba mengejutkanku dengan masuk ke dapur.

“Aidan mana?”

“Sama Mama. Sudah selesai masaknya?” Kembali pria itu bertanya

“Belum.”

“Karena tadi berdebat dengan Bintang?” Mataku melebar. “Kok kamu tahu? Kamu nguping?”

Ibra mengedik. “Enggak sengaja. Tadi niatnya memang man bantuin kamu masak. Tapi ternyata say a dengar kamu dan Bintang berdebat. Jadi saya tunggu sampai selesai.”

Aku    menghela    napas    pelan.    “Kamu    terganggu? Maksudnya,    hubunganku    dengan    sepupu    kamu    nggak membaik sama sekali. Apa itu mengganggu?”

Ibra     mengambil     alih     spatula     dari     tanganku. Menggantikan  tugasku  untuk  mengaduk  ayam  goreng  di wajan.  “Tentu  saja  saya  tenganggu.  Terutama  karena  sikap Bintang  pada  kamu.  Sebagai  sebuah  keluarga,  tentu  saya menginginkan  kita  bisa  hidup  rukun  seperti  keluarga  pada umumnya.   Tapi   sebagai   suami   kamu,   saya   jelas   akan terganggu  kalau  Bintang  masih  bersikap  memusuhi  kamu. Tugas saya nggak cuma bikin kamu bahagia secara lahiriah, tapi   juga   batiniah.   Karena   itu,   apa   pun   masalah   yang mengganjal di pikiran kamu, jangan pernah ragu untuk bicara sama saya, Danika.”

Aku  mengangguk  patuh.  Berbicara  dengan  Ibra  selalu berhasil  membuatku  tenang.  Apa  pun  sikap  pria  itu  selalu mampu mengusir jauh segala kekhawatiranku.

“Tapi  saya juga senang  dicemburui  sama kamu.” Ibra tiba-tiba berceletuk.

“Hah? Cemburu?”

“Kamu nggak suka kan kalau Amanda dekat-dekat sama saya?”

Aku  langsung  mendengkus  kesal.  “Jelaslah.  Mana  ada istri yang mau suaminya dekat-dekat dengan perempuan lain.”

Ibra tertawa ringan. “Kalau gitu saya akan jaga diri mulai sekarang  dari  perempuan  lain.  Tapi  itu  juga  berlaku  buat kamu, ya.”

“Siap, Bos!”

Kami  kembali  melanjutkan  tugas  menggoreng  ayam karena  Yasmin  sudah  menghampiri.  Mengabarkan  bahwa yang lain sudah tak sabar untuk bersantap siang. Segera aku menyajikan ayam goreng yang telah matang di meja makan. Sedang Ibra melanjutkan kegiatannya menggoreng yang masih tersisa.

Sisa hari itu kulewati dengan perasaan yang lebih tenang. Tak   lagi   kupedulikan   bagaimana   tingkah   Amanda   dan Bintang,  karena  Ibra  benar-benar  membuktikan  ucapannya untuk tak berada dekat dengan wanita lain. Sepanjang waktu, ia selalu ada bersamaku dan Aidan.

Satu  hal  yang  kembali  kupelajari  dari  masalah  rumah tanggaku.  Karena  sejatinya  pernikahan  tak  akan  berhasil sepenuhnya jika tak ada kerja sama dari semua pihak. Dalam hal ini, kerja samaku dan Ibra adalah agar keluarga kami tetap utuh tanpa adanya celah bagi pihak lain.


Impian Kita

Merayakan  tahun  keempat  pernikahan  kami,  Ibra memberikan hadiah makan malam romantis bagiku. Harusnya tak perlu karena kami bisa melakukannya di rumah. Tapi, Ibra ingin sesuatu yang istimewa. Karena itu, jam keija di Sushi Me dibuat  selesai  lebih  awal.  Semua  karena  ia  ingin  membuat tempat  itu  sebagai  tempat  kami  merayakan  ulang  tahun pernikahan.

Tak  ada  siapa  pun  di  sana  ketika  aku  tiba.  Hany  a ruangan yang disulap tak seperti biasa. Sebuah meja di tengah ruangan  dengan  lebih  banyak  space  tersisa.  Hingga  meja tersebut  menjadi  yang  paling  menonjol.  Meja  yang  sudah dihias   dengan   begitu   cantik.   Rasanya   memberi   kejutan romantis, bukan Ibra sekali. Entah dapat ide dari siapa pria itu sampai melakukan hal seperti itu untukku.

Tiga  tahun  menjalani  pernikahan  bersama  Ibra,  aku merasa  ia  selalu  mampu  menghadirkan  kejutan-kejutan  tak terduga. Banyak hal yang sudah kami lalui bersama. Suka dan duka juga berbagai perdebatan. Meski selalu saja dalam setiap pertengkaran kecil, Ibralah pihak yang akan selalu mengalah, padahal aku juga ingin bersikap dewasa sepertinya. Tapi Ibra bilang,   jika   aku   bersikap   dewasa,   bagaimana   ia   bisa menunjukkan rasa cintanya padaku. Sungguh aneh.

“Ada   permintaan   khusus?”   tanyanya   ketika   sudah menuntunku untuk duduk.

“Ehm? Berhenti membahasakan diri dengan kata ‘saya’?” Dahi Ibra mengernyit. “Memangnya kenapa?”

Selama     ini      memang     Ibra     berbicara     dengan membahasakan dirinya dengan kata ‘saya’. Meski kadang kala ia juga berucap dengan membahasakan diri sebagai aku, tapi itu  hanya  bisa  sangat  amat  jarang.  Sepertinya  lidah  Ibra terbiasa  berbicara  seperti  yang  biasanya.  Anehnya  dengan kedua  orang  tua,  Kakak,  dan  kerabat  dekat  lain,  Ibra membiasakan  diri  menyebut  nama  tiap  kali  berinteraksi dengan mereka. Hal yang benar-benar tak aku pahami hingga saat ini.

“Faktor    kebiasaan,    Danika.    Rasanya    sulit    untuk mengubah. Sejak kecil say a selalu bicara dengan menyebutkan nama   pada   keluarga   terdekat.   Juga   berbahasa   sesopan mungkin   dengan   orang   lain.   Rasanya   agak   sulit   untuk mengubah kebiasaan itu,” jelas Ibra lagi dan lagi.

“Coba  sama  aku  ngomong  dengan  menyebut  nama kamu?” tantangku.

Bukannya   menjawab,   Ibra   malah   tertawa.   “Susah,” ucapnya dengan nada geli.

“Sesusah itu?”

Ibra mengangguk. “lya. Saya juga nggak tahu kenapa. Lagi  pula  kenapa  harus  diubah.  Rasanya  komunikasi  kita selama ini sudah nyaman.”

Aku   mengangguk.   Meski   terasa   aneh   bagi   yang mendengar  tiap  kali  Ibra  berbicara  pada  istrinya  dengan membahasakan saya, tapi bagiku yang sudah menghabiskan waktu dengannya tak terasa aneh lagi.

“Permintaan lain,” tawar Ibra lagi.

“Anak kedua?” ucapku, ragu.

Lagi-lagi Ibra tertawa. “Aneh, ya, kamu. Harusnya yang minta itu saya sebagai suami yang menghamili. Kenapa dalam situasi kita justru kamu yang minta?”

“Habis ... apa, ya? Rasanya aku nggak perlu minta apa- apa lagi. Tuhan sudah sayang banget sama aku. Ada kamu, Aidan,  Papa, Haninda,  Mama,  Papa  kamu  juga Dayu. Mau minta apa lagi, ya?”

Ibra menghela napas. la berdiri dari kursinya. Berjalan ke  arahku  kemudian  berlutut.  Matanya  menatap  tepat  ke dalam   mataku.   “Minta   sama   Tuhan   supaya   kita   selalu sehat,  bersama  sampai  akhir  hayat.  Dianugerahi  anak-anak yang berbakti. Seperti hal-hal itu?”

“Itu doaku tiap saat.”

Ibra gemas padaku. la mencubit hidungku cukup keras. Rasanya menyakitkan hingga aku memekik.

“Sakit tahu!” kesalku sambil memukul lengannya.

“Baru kali ini ada orang yang merayakan pernikahan tapi justru bertengkar seperti kita.”

“Kamu yang mulai.”

Dahi Ibra mengernyit mendengarku mengomel. “Kamu lagi masa periode?” tanyanya kemudian.

“Kalau iya, kenapa?”

Wajah  Ibra  tampak  lesu.  Membuatku  tak  tahan  untuk tak   tertawa.   Tentu   saja   aku   tahu   mengapa   tiba-tiba   ia berwajah lesu. Hari peringatan seperti ini adalah sesuatu yang spesial.  Di  mana  kami  menghabiskan  waktu  hanya  berdua. Tanpa Aidan. Dan biasanya ditutup dengan kegiatan spesial dengan Ibra yang memesan kamar istimewa di hotel mewah.

“Jangan ngambek gitu dong, Pak Ibra?” bujukku.

“Acara utamanya berarti gagal?”

Aku  tertawa  makin  lepas.  Ini  pertama  kalinya  kulihat wajah Ibra benar-benar nelangsa karena tak bisa menjalankan misinya.  Sungguh,  hari  ini  Ibra  benar-benar  bukan  seperti Ibra yang kukenal.

“Kita ganti lain waktu, oke? Sekarang kita nikmatin dulu makan malam spesial yang sudah kamu siapin.”

Ibra   menyerah.   la   berdiri   dari   posisi   berlututnya. Kemudian mulai menyiapkan makanan yang spesial ia siapkan untukku.   Bukan   karena   makanan   tersebut   adalah   jenis makanan mahal yang bisa didapatkan di hotel atau restoran mewah. Tapi karena semua masakan tersebut dibuat sendiri olehnya. Untuk urusan masak, kadang aku merasa tersaingi dengan  kemampuan  Ibra.  Hidup  mandiri  membuatnya  juga mampu menangani dapur dengan sangat baik. Satu yang aku heran,   jika   Ibra   memiliki   kemampuan   mengolah   bahan masakan, mengapa ia tak mengambil sekolah memasak saja. Namun,  jawaban  Ibra  saat  cukup  membuatku  paham.  la mengatakan    untuk    bisa    memasak    tak    harus    melalui pendidikan formal di sekolah khusus. Siapa pun bisa asal mau berusaha.  Seperti  Ibra  yang  banting  setir  dari  pekerjaan sebelumnya  dengan  mendirikan  Sushi  Me.  Restoran  yang memang menjadi impiannya.

“Bagaimana rasanya?” tanyanya.

“Kamu nggak perlu tanya. Ini istimewa.”

Jawabanku  membuat  Ibra  cukup  puas.  Makan  malam dengan  sedikit  dibumbui  perbincangan  biasa  kami  lakukan. Hany a saja kali ini suasananya yang tak biasa. Kesan magis dan penuh cinta terasa jelas dalam ruangan ini. Selesai makan, aku menenangkan perutku yang terisi penuh. Rasa lezat dari masakan   Ibra   masih   menari-nari   di   lidah   dan   perutku. Sekarang  mungkin  organ-organ  di  dalam  tubuhku  sedang mencerna nutrisi yang baru saja masuk. Ibra sendiri memilih merapikan    meja    dari    piring-piring    kotor.    Tapi    aku memintanya  untuk  tak  perlu  mencuci  peralatan  bekas  kami makan. Biar tugas tersebut menjadi bagianku ketika perutku sudah bisa diajak bekerja sama.

“Oke, waktunya aku cuci piring,” ucapku ketika merasa sudah bebas bergerak lagi.

Selagi aku mengerjakan tugas, Ibra menunggu di tempat. Demi     membunuh     kesendirian     aku     bekeija     sambil bersenandung.   Tak   butuh   waktu   lama   menyelesaikannya karena memang jumlah peralatan yang tak seberapa.

Namun, ada yang berbeda saat aku kembali ke ruangan tadi. Lampu-lampu berubah menjadi lebih redup. Ibra tak lagi menunggu di meja spesial. Saat ini ia sedang duduk di sebuah karpet  yang  dibentangkan  di  lantai.  Ada  dua  bantal  yang tersedia. Yang membuatku tak kalah terkejut sudah tersedia layar   proyektor.   Mungkin   Ibra   menyiapkannya   saat   aku sedang mencuci piring di dapur tadi.

“Maksudnya  ini  apa?  Kita  nonton  layar  tancap  gitu?” Nada geli tak bisa kusembunyikan.

“Anggap saja begitu. Ini perayaan spesial kita, kan?” Ibra menepuk sisi sebelahnya. Tanpa menunggu lama, 

aku   langsung   duduk   di   sampingnya.   Tangan   Ibra   yang memegang remote mulai menekan tombol untuk menyalakan proyektor.  Seketika  suasana  langsung  berubah.  Gambar­ gambar  yang  diiringi  musik  instrumental  mulai  bergerak  di layar. Mataku menatap takjub semua yang tersaji. Terutama beberapa    gambar    yang    aku    tak    tahu    kapan    Ibra mengambilnya.   Kami   seperti   menyaksikan   kilasan   demi kilasan kehidupan. Momen pernikahan, pertama kali menjadi suami-istri,  melakukan  kegiatan  berdua,  hingga  masa-masa menanti kehadiran Aidan. Semua tersaji dengan begitu apik di dalam layar.

Tanpa sadar air mataku menetes. Mungkin belum lama waktu  yang  kami  miliki  bersama,  tapi  semua  terasa  begitu membekas.  Terlebih  sejak  kehadiran  Ibra  dalam  hidupku, semua  duka  perlahan  memudar.  Dia  yang  seperti  matahari mampu  menghangatkan  hidupku  yang  biasanya  dingin  dan sepi.

“Saya  buat  kejutan  begini  bukan  untuk  bikin  kamu nangis  loh.”  Ibra  berbisik  lirih  tepat  di  telingaku.  Aku  tak sadar  bahwa  pria  itu  kini  telah  memelukku  dari  belakang dengan posisi kami yang sedang duduk.

“Gimana nggak mau nangis. Kejutannya begini,” balasku. Aku   mencoba   menghapus   air   mata   dengan   punggung tanganku. “Bahkan banyak dari foto-foto itu yang aku nggak tahu kapan kamu ambilnya.”

Ibra mengecup puncak kepalaku sekilas. “Karena itulah namanya kejutan.”

“Kejutan  dari  kamu  selalu  sukses  bikin  aku  nangis. Padahal kamu janji nggak akan bikin aku nangis kan.”

“Selama tangisan yang keluar bukan bentuk kesedihan.” Aku   mendengkus.   Kumiringkan   kepala   agar   dapat 

melihat  wajahnya.  Tadinya  bermaksud  untuk  menyemprot Ibra dengan omelanku, tapi yang ada aku malah terpaku pada tatapannya  yang  tepat  menusuk  netraku.  Meski  dengan penerangan  yang  temaram,tapi  aku  masih  bisa  melihat kejernihan dalam matanya.

Sudah cukup sering rasanya aku mengalami kedekatan dengan Ibra, tapi tetap saja dalam jarak dan suasana seintens saat ini, aku tak bisa mengendalikan diri. Napasku menderu agak   cepat.   Dengan   jantung   yang   rasanya   seperti   akan meledak keluar, terlebih saat Ibra mulai mendaratkan ciuman di wajahku. Mulai dari mata, hidung, hingga bibir. Tak ada ciuman    penuh    hasrat.    Hanya    sebuah    sentuhan    yang menunjukkan rasa sayang terhadapku.

“Selamat hari jadi pernikahan kita, Danika. Saya nggak akan minta banyak-banyak sama Tuhan. Cukup kamu terus ada. Bersedia mencintai dan menemani saya seumur hidup. Kamu tahu kan, saya sudah jatuh cinta sama kamu sejak awal kita ketemu. Walau kamu bilang ini picisan, tapi setiap hari saya terns dan akan terns jatuh cinta sama kamu.”

Tanganku langsung tergerak untuk memeluk erat tubuh Ibra.  Beijuta  syukur  rasanya  tak  akan  cukup  kuungkapkan atas semua kebahagiaan yang diberikan padaku.

“Selamat hari jadi juga, Pak Ibra. Aku juga akan terus dan   terus   jatuh   cinta   sama   kamu.   Jatuh   cinta   dengan perhatian dan kebaikan hati kamu.”

Waktu yang tersisa kami habiskan hanya dengan duduk berdua.    Menikmati    kesunyian    suasana    namun    begitu mendamaikan jiwa. Rasanya ingin terus seperti ini, tapi tak mungkin karena ada satu harta paling berharga yang masih menanti kami di rumah. Aidan.

Sejak pagi aku sudah disibukkan dengan urusan dapur. Aidan dan Ibra masih saling bergelung di kasur. Tapi sejak subuh aku  sudah  harus  bersiap.  Hari  ini  kami  memiliki  agenda istimewa.  Berpiknik  bersama  Dayu  dan  keluarga  kecilnya. Setelah  memastikan  beberapa  makanan  masuk  ke  dalam keranjang, aku bersiap untuk membangunkan dua jagoanku. Untung Aidan menduplikasi hampir semua sifat Ibra. Jadi tak sulit bagiku untuk mengaturnya. Sejak umur dua tahun, Aidan benar-benar menjadi sosok anak manis, tak pernah rewel dan selalu mau jika kuajak belajar memahami sesuatu.

“Ayo, bangun, mandi. Kita mau piknik, kan!”

Kusibak selimut yang sedang menutupi tubuh keduanya. Senyumku tak bisa ditahan kala melihat ayah dan anak itu saling  berpelukan.  Pemandangan  hangat  itu  selalu  mampu membuatku bahagia tiap harinya.

“Aidan, Papa Ibra, bangun!”

Mereka  hanya  menjawab  dengan  gumaman.  Aku  tahu baik Ibra dan Aidan sudah bangun, tapi mereka masih terus bergelung nyaman satu sama lain.

“Kalau nggak mau Mama tinggal, ya, Aidan. Biar Mama main sama Lila saja.”

Aku sengaja menyebutkan nama Lila sebagai pancingan. Benar saja. Begitu nama putri sahabatku itu disebutkan, Aidan langsung melompat bangun.

“Mau main sama Lila!” teriak Aidan bersemangat.

Aku    tertawa.    Kedekatan    mereka    memang    sudah terbangun sejak kecil. Mungkin sejak Lila masih berada dalam perut Dayu. Sahabatku yang saat hamil Lila memang begitu sering    menghabiskan    waktu    bersamaku    dan    Aidan. Persahabatan  yang  aku  dan  Dayu  miliki  sepertinya  akan diteruskan oleh kedua buah hati kami.

“Kalau gitu Aidan mandi dulu yuk.”

Aidan    langsung    mengulurkan    tangannya    padaku. Kebiasaannya   tiap   kali   akan   mandi   pagi.   Ibra   sudah melarangku  untuk tidak terlalu sering menggendong Aidan. Anak itu sudah berusia tiga tahun lebih. Dan bagi Ibra, usia itu sudah cukup matang untuk Aidan diajarkan lebih mandiri.

Tapi kadang, aku sebagai ibu sering sekali membantah peringatan   Ibra.   Meski   Aidan   sudah   bisa   berjalan   dan bergerak dengan baik, tapi aku masih ingin memanjakannya. Karena  nanti,  saat  usianya  makin  bertambah,  juga  ketika Aidan akan memasuki masa sekolah, maka aku sudah tak akan bisa lagi memanjakannya dalam gendonganku.

Memandikan Aidan itu seperti bermain. Ada saja yang akan kami lakukan selama pria kecil itu menjalani kegiatan bersih dirinya. Kadang Aidan akan bermain bajak laut dengan mainan yang ia masukkan ke dalam bathtub-nya. Kadang aku mengajaknya bernyanyi lagu anak-anak untuk menghibur.

“Jangan   lama-lama   mandinya.   Nanti   masuk  angin.” Suara Ibra terdengar dari luar kamar mandi.

Aku dan Aidan tertawa bersama. Ibra memang kadang paling   cerewet   jika   itu   menyangkut   aku   atau   Aidan. Maksudnya memang baik, menjaga kami berdua dari segala kemungkinan  bahaya  dan  penyakit,  tapi  mandi  bagi  anak seusia Aidan tak akan seru jika tak diselingi dengan bermain.

“Ayo,  sudahan  mandinya.  Nanti  Papa  bawel,”  ucapku sembari  mengangkat  Aidan  dari  dalam  bathtub.  Waktunya membersihkan tubuh Aidan dengan shower.

Pukul sepuluh lebih, kami berangkat. Tempat yang kami tuju   adalah   sebuah   taman   yang   memang   dibuka   untuk kegiatan  keluarga.  Dayu  yang  memilih  tempat  itu.  Selain taman,   tempat   itu   juga   menyediakan   beberapa   wahana permainan untuk anak. Pengelola tempat itu memang sengaja menyediakannya agar keluarga yang berkunjung tak merasa bosan.

“Dayu sudah di sana?” tanya Ibra yang sedang menyetir. “Sudah. Katanya sih setengah jam lain.”

Kegiatan  seperti  ini  memang  sering  aku  dan  Dayu lakukan.   Selain   menyenangkan,   ajang   berpiknik   bersama menjadi perekat kedekatan kami. Aku dan Dayu ingin melihat keluarga    kami    tumbuh    bersama    dengan    cinta    dan kebersamaan.  Juga  menyaksikan  bagaimana  Aidan  dan  Lila tumbuh  menjadi  sahabat  yang  saling  menyayangi.  Meski kadang  kala  ada  celetukan  yang  keluar  justru  mengatakan bahwa kami Aidan dan Lila akan tumbuh tak hanya menjadi sahabat,  tapi  juga  sepasang  kekasih.  Ya,  itu  yang  selalu diutarakan Ginan, sepupu Dayu tiap kali melihat Aidan dan Lila bermain bersama.

“Para Ayah silakanjagain anak-anak main. Para Ibu akan menyiapkan      camilan      selagi      kalian      main.”      Dayu memerintahkan  Damar  dan  Ibra  untuk  membawa  Lila  dan Aidan bermain.

Kedua pria itu menurut saja. Kadang Ibra dan Damar kulihat  sering  bertukar  peran.  Mereka  bergantian  menjaga anak-anak   kami.   Mungkin   sebagai   ayah   mereka   ingin merasakan menjaga anak yang tak dimiliki. Karena itu, kadang keduanya sering bertukar peran. Seperti yang saat ini terlihat. Ibra menemani Lila bermain ayunan. Sedang Damar bermain bola kaki bersama Aidan.

“Mereka tukar peran lagi,” ucap Dayu sambil tertawa. “Enggak  pengin  ngasih  anak  laki-laki  buat  Damar?” 

tanyaku.

Bibir   Dayu   mencebik.   “Enggak   pengin   kasih   anak perempuan untuk Ibra?” balasnya dengan sengit.

Aku  tertawa.  Tak  tahan melihat  ekspresi  nyinyir  yang disengaja di wajah Dayu. “Masih berusaha,” jawabku.

“Seriusan, Nika? Kamu mau kasih anak lagi?” Dahiku mengernyit. “Kok malah ditanyain? Ya, iyalah. 

Kasihan  kalau  Aidan  jadi  anak  tunggal.  Jadi,  ya,  aku  mau punya anak lebih dari satu. Kamu kan juga tahu rasanya jadi anak tunggal. Enggak enak. Suka kesepian.”

“lya, sih. Tapi nggak secepat itu juga. Lila belum juga genap tiga tahun,” jawab Dayu. “Rencana mau punya anak berapa, Bu?”

“Em, tiga kali, ya. Itu juga kalau dikasih rezeki sama Yang di Atas.”

“lya. Mau usaha kayak apa juga kalau Allah belum kasih, ya, kita bisa apa.”

Lelah  bermain,  Aidan  dan  Lila  bersama  kedua  ayah tersebut   kembali.   Aku   dan   Dayu   mulai   menyuguhkan minuman dingin dan camilan untuk mereka. Aidan dan Lila tampak  sangat  senang  bisa  bermain  bersama.  Bahkan  dua anak kecil itu tak henti-hentinya bercerita apa yang mereka lakukan.  Sedang  kedua  ayah  hanya  mendengarkan  ocehan anak-anaknya dengan saksama.

Setelah  makan  siang,  giliran  kami  bermain  bersama Aidan  dan  Lila.  Kedua  ayah  ditugaskan  menjaga  barang- barang.    Kami    mencoba    beberapa    wahana    anak    yang tersedia,seperti kereta api dan bianglala mini. Melihat anak- anak kami begitu gembira juga memberi kegembiraan yang sama    bagiku    dan    Dayu.    Lelah    mencoba    permainan, Aidan  dan  Lila  memutuskan  untuk  bermain  di  bak  pasir. Kedua    bocah    itu    mencoba    membangun    istana    pasir. Kemampuan komunikasi mereka memang belum terlalu baik, tapi  yang  namanya  anak-anak  selalu  menemukan  caranya untuk berteman. Begitu juga Lila dan Aidan yang kini sedang bermain dengan dua anak seusia mereka.

“Senang, ya, lihat mereka tumbuh bahagia begitu.” Dayu tiba-tiba berucap. Saat ini kami hanya memperhatikan kedua anak kami dari bangku taman yang tak jauh dari bak pasir tersebut.

“Sangat, Yu. Rasanya seperti melihat kembali memori masa kecil.”

“lya, tapi aku doang. Kamunya enggak karena Aidan kan anak laki-laki.”

Aku berdecak kesal seraya menampilkan wajah masam. Sahabatku itu hanya terkekeh geli melihatnya.

“Ayah, Ibuku, juga Mama kamu pasti lagi bahagia juga lihatin cucu-cucunya main.”

Aku merangkul Dayu seketika. “Tentunya. Impian orang tua  adalah  melihat  anak-anak  bahagia.  Impian  Kakek  dan Nenek  adalah  menyaksikan  cucu-cucunya  tumbuh.  Walau Mamaku, Ayah, dan Ibu kamu nggak melihat mereka secara langsung. Tapi aku yakin, mereka sama bahagianya dengan kita.”

“Jadi kangen, kan.” Suara Dayu agak bergetar.

“Hahaha, siapa duluan yang mulai coba?”

Tanpa diduga, kedua anak kecil kesayangan  itu sudah berada di hadapan kami. Aidan mengulurkan setangkai bunga kecil pada Dayu. Mungkin dia melihat Dayu yang berwajah sendu.  Jadi  jagoanku itu  mencoba menghibur Dayu dengan memberikan  bunga yang ia petik di sekitar taman. Semoga saja pengelola taman tak memarahi kami karena ulah Aidan yang mencabut tanaman sembarangan.

“Untuk Tante Dayu?” tanya Dayu meyakinkan.

“lya!” jawab Aidan lantang.

“Terima  kasih,  Sayang.”  Dayu  mencium  pipi  kanan Aidan, membuat putraku itu tersenyum malu-malu.

“Ayo,  balik.  Sebelum  para  Bapak  itu  bawel,”  ajakku kemudian.

“Lah, Ibra bisa bawel juga?” Dayu bertanya heran. “Sedikit.”

Puas  bermain  dan  berkumpul  bersama,  kami  segera merapikan  barang-barang.  Waktunya  untuk  pulang  karena Aidan  dan  Lila  sudah  terlihat  lelah  dan  mengantuk.  Kami berpamitan  satu  sama  lain.  Sebelum  pergi,  kembali  Dayu memberitahukan rencananya yang lain, la ingin kami berlibur bersama.  Untuk  itu,  ia  mengancam  Damar  dan  Ibra  untuk meluangkan waktu. Kedua pria itu tampak pasrah. Tak bisa menentang keinginan Dayu. Membuat sahabatku itu bersorak girang    karena    lagi-lagi    rencananya    terwujud.   Sungguh perempuan  itu  memang  tak  pernah  berubah.  Sang  pemaksa ulung. Tapi begitu, aku juga turut senang. Itu artinya semakin banyak waktu yang kami habiskan bersama untuk bersenang- senang.


Hadiah Terindah

Hari ini sangat istimewa bagiku. Pria yang kucintai sedang berulang  tahun.  Sejak  sore  aku  dan  Aidan  sudah  sibuk mempersiapkan kejutan untuk Ibra. Pria itu mengatakan akan pulang  sedikit  terlambat.  Ada  beberapa  hal  yang  harus diselesaikan sehubungan dengan pembukaan cabang Sushi Me yang barn. Aku dan Aidan bisa lebih leluasa mempersiapkan kejutan makan malam baginya.

Aku juga sudah menghubungi keluarga Ibra juga Papa dan Haninda untuk datang. Mereka semua akan datang saat waktu makan malam. Meski Mama Ibra, Yasmin, dan Haninda berniat untuk membant, namun aku melarang mereka untuk datang. Aku ingin makan malam kali ini menjadi hasil keija kerasku dan si kecil Aidan. Meski tak banyak membantu, tapi kehadiran     Aidan     di     dapur     membuatku     bersemangat mempersiapkan semuanya.

Pukul  setengah  delapan  malam,  orang  tua  Ibra  dan keluarga  kecil   Yasmin  tiba,disusul  kedatangan  Papa  dan Haninda.  Tak  ada  keluarga  Tante  Mala  dalam  rombongan. Meski begitu aku cukup bernapas lega. Artinya tak perlu ada perdebatan antara kami nantinya.

“Ibra sudah datang?” tanya Mama Amida padaku. “Katanya lagi di jalan, Ma.”

Menyaksikan  kebersamaan  keluarga  membuat  hatiku menghangat. Papa juga orang tua Ibra yang tampak bahagia bermain  bersama  Aidan  di  karpet  yang  tersedia.  Semua  itu kurekam   dalam   kepalaku.   Meski   tak   ada   Mama,   tapi kehangatan yang kumiliki saat ini cukuplah menjadi pengobat rinduku pada beliau. Mama pun pasti tak ingin aku terus larut dalam kesedihan.

Tak  lama  terdengar  deru  mobil  memasuki  pekarangan rumah. Aku tahu itu pasti Ibra. Aku segera memberi aba-aba bagi  semua  untuk  bersiap.  Begitu  Ibra  masuk  nanti,  kami semua akan meneriakkan ucapan selamat ulang tahun seraya menyalakan confetti.

Bel berbunyi, menjadi pertanda bahwa Ibra kini sudah berada    semakin    dekat.    Tapi    aku    sengaja    tak    ingin membukanya. Aku tahu jika sampai tiga kali Ibra menekan bel tapi aku takjuga datang, pria itu akan membuka sendiri pintu.

Benar saja, suara pintu yang berderit menandakan Ibra sudah membuka sendiri pintunya. Pria itu pasti heran ketika masuk ke rumah, namun suasana sepi yang menyambutnya. Ketika langkah kaki semakin dekat ke arah ruang makan, saat itu kami berteriak dan menyalakan confetti hingga membuat Ibra cukup terkejut.

“Selamat ulang tahun!” teriak kami bersamaan.

Rasanya memberi kejutan pada Ibra tak terlalu berguna. Karena nyatanya, walau cukup terkejut dengan suasana yang tiba-tiba   meriah,   ekspresi   wajah   Ibra   hanya   tersenyum maklum. Ingin sekali rasanya mencakar wajahnya agar sedikit lebih  ekspresif.  Sepertinya  nanti  aku  akan  protes  padanya karena    rencana    kejutanku    ternyata    tak    seheboh    yang kubayangkan.

Aidan  langsung  menghambur  ke  dalam  pelukan  Ibra. Sigap,  sang  ayah  langsung  menangkapnya.“Selamat  ulang tahun, Papa!” Aidan menghadiahi ciuman di pipi Ibra. Senyum lembut langsung Ibra pamerkan pada anak semata wayangnya itu.

“Selamat ulang tahun, Ibra. Semoga semakin dewasa dan semakin baik sebagai kepala rumah tangga.” Ucapan tersebut datang dari Papa Ibra.

“Selamat  ulang  tahun,  Ibra.  Semoga  sehat  selalu  bisa menjaga Danika dan Aidan.” Papa juga memberi ucapan dan doanya.

Satu   persatu   anggota   keluarga   lainnya   memberikan ucapan  dan  doa  pada  Ibra.  Hanya  aku  yang  tak  ikut  serta karena puny a kejutan lain untuknya saat kami hanya berdua saja  nanti.  Makan  malam  berlangsung  hangat.  Ada  banyak canda dan tawa menghiasi meja makan kami. Namun yang paling  memberikanku  kehangatan  adalah  kala  jemari  Ibra menggenggam  erat  jemariku  di  bawah  meja.  Tawa  kami bersama  memenuhi  atmosfer  ruang  makan.  Genggaman tangaku dan Ibra seolah menjadi pertanda bahwa kami akan terns membangun suasana seperti ini. Menjadi lebih erat.

Hampir tengah malam semua tamu berpamitan. Selain karena masih ada anak kecil yang harus segera beristirahat, para  orang  tua  juga  butuh  waktu  untuk  istirahat.  Setelah mereka  berpamitan,  aku  dan  Ibra  menemani  Aidan  untuk tidur.    Sejak    dua    bulan    lalu,    Ibra    memang    mencoba membiasakan Aidan untuk tidur di kamarnya sendiri. Meski kadang-kadang jika terbangun tengah malam, anak itu akan menyelinap  ke  kamar  kami.  Tapi  perlahan  Aidan  mulai terbiasa.  la  juga  bukan  anak  yang  takut  akan  gelap  dan kesendirian.   Benar-benar   sosok   anak   yang   akan   tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. Persis seperti ayahnya.

“Sepertinya  dia  sudah  tidur.”  Ibra  berbicara  dengan sangat pelan. Takut membangunkan Aidan yang telah terlelap.

Saatnya bagi kami untuk meninggalkan kamar si kecil. Sebelumnya baik aku dan Ibra memberikan ciuman selamat tidur  untuk  Aidan.  Tak  lupa  membisikkan  doa  agar  Aidan diberikan mimpi indah. Sambil berpergangan tangan, aku dan Ibra keluar dari kamar Aidan menuju kamar kami yang berada di sebelahnya.

“Saya mandi dulu, ya. Kamu tidur duluan.”

Selagi  Ibra  masih  berada  di  kamar  mandi,  aku  mulai mempersiapkan kejutan yang akan kuberikan untuknya. Kotak kayu     berisi     hadiah     kuletakkkan     di     bawah     bantal tidurku,kemudian segera naik ke kasur untuk menunggunya. Berbekal sebuah buku yang memang selalu ada di nakas, aku mulai membaca demi membunuh waktu.

Tak lama Ibra keluar dari kamar mandi. la tampak lebih segar dengan piyama polos. Sejujurnya Ibra tak terlalu suka tidur menggunakan piyama. la lebih senang tidur dengan kaus dan celana panjang berbahan katun. Walaupun banyak piyama yang memang memiliki bahan sama seperti yang biasa Ibra kenakan, tapi tetap pria itu tak terlalu suka menggunakannya. Hany  a  karena  aku  sudah  membelikannya  saja,  Ibra  tak mungkin menyia-nyiakan apa yang sudah kusiapkan.

“Kenapa belum tidur?”

Ibra  sudah  berada  di  sampingku.  Tangannya  segera terulur  untuk  mengambil  buku  yang  sedang  kupegang.  la memang  cukup  strict  jika  menyangkut  jam  istirahat.  Ibra selalu  ingin  aku  memiliki  waktu  istirahat  yang  cukup  dan berkualitas.  Padahal  aku tak  bekeija  sekeras  dirinya. Hanya mengurus  rumah  dan  Aidan.  Rasanya  itu  bukan  pekerjaan yang   terlalu   menguras   tenaga   dan   pikiran   karena   aku melakukan  semuanya  dengan  senang  hati.  Tak  seperti  Ibra yang  kadang  harus  bepergian  dari  satu  tempat  ke  tempat lainnya demi mengurus usaha. Aku tak bisa bayangkan betapa gilanya jam keqa Ibra. Saat masih menjadi pegawai Sushi Me saja  aku  tahu  ia  tak  banyak  menghabiskan  waktu  di  sana. Entah berapa banyak urusan yang dimiliki Ibra di luar.

“Tidur,    Danika,”    pintanya    ketika    aku    tak    juga membaringkan   diri.   Bahkan   ia   menarikku   untuk   segera berbaring.

Kami saling berhadapan dengan posisi tidur yang miring. Ibra  sudah  memejamkan  mata,  meski  aku  tahu  ia  belum terlelap.  Gurat  lelah  tampak  jelas  di  wajahnya.  Telunjukku mengusap lembut mulai dari alis hingga bibir Ibra. Membuat pria itu refleks membuka mata.

“Kenapa?” tanyanya.

Aku hanya mengumbar senyum. Jemariku masih meraba wajah Ibra. Pria itu langsung menangkapnya dan menyatukan 

jemari kami.

“Kamu aneh hari ini.”

“Enggak  aneh,  kok.  Masa  aku  mau  elus-elus  suami sendiri dibilang aneh.”

“Aneh.”

Kata  yang  diucapkan  Ibra  justru  membuatku  tertawa. Entah  sudah  berapa  banyak  tawa  yang  berhasil  pria  itu ciptakan dalam hidupku. Aku tak akan pernah bisa berhenti bersyukur karena Tuhan menghadirkan dia dalam hidupku.

“Selamat ulang tahun.”

“Bukannya tadi sudah?” ucapnya dengan nada bingung. “Aku belum.”

Ibra  hanya  menggumamkan  kata  ‘oh’,  la  bukan  pria minim   ekspresi   sebenarnya.   Hanya   saja   memang   jarang mengumbarnya. Aku pernah melihat Ibra tersenyum, tertawa, bingung. Hanya saja ekspresinya ketika marah saja yang aku tak  pernah  tahu.  Pria  itu  sangat  ahli  dalam  mengendalikan emosi, terutama kemarahan.

“Sekarang sudah, kan. Ayo, tidur!”

Ibra  kembali  memejamkan  mata.  Ingin  membangun suasana romantis dengan pria ini kenapa susah sekali. Padahal aku  belum  menyerahkan  hadiahku.  Aku  tahu  Ibra  mungkin lelah setelah berkegiatan seharian di luar, tapi ini adalah hari istimewanya.  Apa  ia  tak  ingin  menghabiskan  waktu  sedikit berbeda denganku?

Kukeluarkan  kotak  hadiah  yang  sudah  kusiapkan  dari bawah   bantal.   Kupegang   erat   dengan   sebelah   tangan. Sedangkan  tangan  satunya  lagi  kembali  kugunakan  untuk menjaili  Ibra.  Kupencet  hidungnya  hingga  Ibra  kesulitan bernapas.   Tapi   seperti   biasa,   ia   tak   akan   menunjukkan kemarahan atau rasa kesal padaku. Matanya hanya menyipit curiga saat terbuka.

“Ada apa lagi, Danika?”

“Aku belum kasih hadiah loh,” ucapku dengan senyum cerah mengembang.

“Besok juga bisa. Kita harus istirahat. Ini sudah cukup larut.”

Aku  menggeleng.  “Em,  kalau  hadiahnya  besok  nggak kejutan lagi dong.”

“Ya,   sudah.   Mana  hadiahnya?”   tanya  Ibra  sembari mengulurkan tangan.

“Jangan kaget, ya, sama hadiahnya.”

Ibra  mengangguk.  Aku  langsung  menyerahkan  hadiah yang  kusiapkan  padanya.  Meski  bingung,  tapi  Ibra  tetap menerimanya.  Saat  kulihat  ia  akan  menyimpan  hadiahnya, buru-buru aku menghentikan.

“Dibuka sekarang!” perintahku.

“Kamu jadi lebih galak, ya,” cibir Ibra.

Tapi  seperti  biasa,  ia  akan  menuruti  permintaanku. Meski  dengan  wajah  yang  menahan  kantuk,  tapi  Ibra  tetap berusaha  menunjukkan  antusiasnya  kala  membuka  hadiah dariku. Sementara aku sudah tak sabar untuk melihat ekspresi apa yang akan Ibra pasang di wajahnya melihat hadiah itu.

Tak seperti dugaanku. Wajah Ibra tampak bingung kala memegang  hadiah  yang  sangat  spesial  kusiapkan.  Alisnya hampir menyatu sembari memandangi alat tes kehamilan di tangan.    Entah    mengapa    rasanya    aku    ingin    menangis mendapati  semua  tak  sesuai  dengan  bayanganku.  Harusnya wajah Ibra berbinar kala mendapati hadianya.

“Ini benar?” tanyanya masih tak percaya.

Aku  kesal.  Tak  ada  rasa  bahagia  yang  terdengar  dari ucapannya. Kubalikkan tubuhku memunggungi Ibra. Rasanya menyedihkan  saat  mengetahui  berita  kehamilanku  ternyata tak  memberi  kejutan  bagi  Ibra.  Aku  ingin  menangis.  Atau malah sudah menangis saat kuraskan mataku memanas.Tiba- tiba   kurasakan   pelukan   hangat   melingkupiku.   Kecupan- kecupan kecil pun menghujani kepalaku. Tapi isakan kecilku belum juga reda. Sampai kurasakan bibir Ibra berada tepat di telingaku.

“Maaf,  ya,  saya  cuma  terkejut.  Tapi  saya  benar-benar suka dengan hadiahnya. Terima kasih.”

Sebelah tangan Ibra mengelus lembut perutku. la juga kembali menyarangkan ciuman di sisi kepalaku. Kekesalanku perlahan  mereda.  Aku  pun  langsung  membalikkan  tubuh. Menyembunyikan wajah basahku di dada Ibra.

“Akhirnya Aidan punya adik juga. Kapan kamu tahu? Kenapa nggak kasih tahu saya?” Ibra kembali bertanya.

“Dua minggu lain.” Dahi Ibra mengerut. “Sengaja nggak kasih tahu kamu buat jadi kejutan ulang tahun.”

“Terima kasih.” Sekali lagi Ibra berucap. “Kalau begitu mulai sekarang harus lebih hati-hati, ya. Jangan terlalu lelah. Kalau perlu kita pakai jasa asisten rumah tangga.” Aku mengangguk. “Tapi jangan dulu. Nanti kalau perutku sudah makin besar.”

Ibra menghela napas. Tampak tak setuju. “Saya nggak mau kamu kelelahan selama hamil. Mengurus rumah, saya, 

juga Aidan. Kita pakai ART, ya?” bujuknya kembali.

Gurat khawatir tergambar jelas di wajah Ibra. Baiklah, aku  tak  boleh  membebani  pikiran  pria  ini.  la  hanya  ingin menjagaku  dan  calon  bayi  kami.  Mungkin  sekali-kali  aku harus menjadi istri yang penurut. Akhirnya aku mengangguk setuju dengan permintaan Ibra.

“Baiklah, sekarang kita tidur, ya. Ibu hamil harus banyak beristirahat.”

Malam  ini  aku  kembali  tertidur  lelap  dalam  pelukan hangat Ibra bersama calon anak kedua kami. Hari ini benar- benar membahagiakan. Kejutan yang dititipkan Tuhan padaku sebagai  hadiah  untuk  Ibra  sukses  besar.  Aku,  Ibra,  dan keluarga lainnya sudah tak sabar untuk bertemu dengan calon anggota baru kami. Semoga sampai hari itu tiba, anak dalam kandunganku berkembang dengan sehat dan baik.

Menyaksikan  kedua  buah  hati  tumbuh  dengan  baik  rasanya sangat  menggembirakan.  Ada  prestasi  tersendiri  sebagai seorang Ibu kala anak-anaknya tumbuh dengan sehat. Begitu pula yang kualami. Semua rasa lelah karena harus mengurus buah hati seorang diri rasanya sebanding kala melihat tawa keluar dari bibir mungil Aidan dan Aila. Walau sebenarnya aku tak benar-benar sendiri dalam mengurus kedua anakku. Ada Ibra yang selalu siap turun tangan membantuku.

Aidan  yang  kini  sudah  berusia  enam  tahun  menjadi contoh  baik  bagi  adiknya,  Aila,  yang  masih  berusia  dua tahunan.  Putra  sulungku  itu  tumbuh  menjadi  sosok  kakak lelaki  yang  bisa  diandalkan,  penyayang,  sabar,  dan  sangat mengayomi adiknya. Sejak Aila kecil, Aidan memang sudah menunjukkan  keterikatan  besar  pada  adik  perempuannya. Bahkan  ketika  Aila  masih  berada  dalam  kandungan,  Aidan yang kala itu tahu bahwa ia akan menyandang status sebagai seorang kakak lelaki, begitu bersemangat. Mengajak adiknya berbincang meski tak sepenuhnya dimengerti oleh Aila.

Untuk Ibra, jangan ditanya. la begitu gembira kala tahu bahwa  kami  akan  memiliki  anak  perempuan.  Itu  artinya keinginannya  terpenuhi.  Ibra  mengatakan  bahwa  ia  merasa lengkap sebagai seorang Ayah dari sepasang anak yang kami miliki.  Meski  begitu  tak  menutup  kemungkinan  ia  masih menginginkan anak ketiga dan seterusnya. Meski agak terkejut dengan keinginannya, tapi aku mengiakan saja. Karena aku tahu,  meski  aku  yang  mengandung,  tapi  Ibra  tak  pernah sedikitpun  melalaikan  tugasnya  sebagai  seorang  suami  dan Ayah dalam menjaga kami.

“Sudah      selesai      sarapannya?”      tanyaku      ketika menghampiri meja makan. Tugas membuatkan bekal makan siang untuk Ibra dan Aidan barn saja kuselesaikan.

“Sudah,  Mama.  Hari  ini  bekalnya  apa?”  tanya  Aidan ingin tahu.

“ Ay am karage. Suka, kan? Tapi ada sayur juga harus dihabiskan, ya, Abang.”

Meski  begitu  mirip  dengan  Ibra,  tapi  saat  semakin bertambah usia, ada satu hal yang tak diadopsi Aidan dari sifat Ibra.   Aidan   termasuk   tipe   anak   pemilih   dalam   urusan makanan.    Terutama    dalam    hal    sayur-mayur.    la    akan menyingkirkan sayuran yang sekiranya tak disukai.

“Siap berangkat ke sekolah?” tanya Ibra pada Aidan. “Aila  mau  ikut  antar Abang Aidan sekolah?”  tanyaku 

pada si kecil Aila yang masih sibuk memakan sarapan paginya. “lya!” jawabnya bersemangat.

Bersama  kami  beriringan  masuk  ke  mobil  yang  akan mengantar  Aidan  ke  sekolah.  Ibra  tak  merasa  lelah  meski harus  bolak-balik  mengantar  jemput  anak-anak  dan  aku. Padahal sudah kukatakan aku bisa menjadi sopir bagi anak- anak  kami  agar  tak  merepotkannya,  tapi  tetap  saja  ia  tak mengizinkan. Lalu apa gunanya mobilku terparkir manis di garasi jika aku tak diizinkan untuk mengendarainya. Padahal aku sudah sangat ingin kembali bisa menyetir mobil sendiri.

Suasana pagi  selalu sama.  Penuh dengan keceriaan  di dalam mobil. Dua anak kecil yang berceloteh dan menyanyi mewarnai  pagi  kami  setiap  harinya.  Jarak  dari  rumah  ke sekolah  Aidan  tak  terlalu  jauh.  Hany  a  memakan  waktu berkendara sekitar dua puluh menit. Tapi jika jalanan macet, tentunya memakan waktu lebih untuk sampai.

“Kami  antar  Abang  Aidan  ke  kelas  dulu,  ya,  Papa,” ucapku pada Ibra yang lebih memilih menunggu di mobil.

Aidan  berpamitan  pada  Papanya.  Mencium  punggung tangan  Ibra.  Begitu  juga  Aila  melakukan  hal  yang  sama. Padahal nanti ia akan kembali ke mobil. Hanya saja ia senang melakukannya. Mengikuti apa yang kakak lelakinya lakukan. Saat mengantar Aidan, aku melihat Dayu juga menemani Lila. Putri sahabatku itu masih duduk di bangku TK di sekolah yang sama dengan Aidan. Bukan tanpa alasan.  Lila sendiri yang ingin berada satu sekolah dengan Aidan. Padahal jarak dari rumah  mereka  ke  sekolah  ini  cukup  jauh.  Damar  awalnya menolak,   tapi   dengan   bujukan   Dayu,   pria   itu   akhirnya mengizinkan.

“Belajar yang baik, ya, Abang. Jadi anak penurut sama gurunya. Oke?” ucapku sebelum melepaskan Aidan di depan ruang kelasnya.

“Aidan sayang Mama.”

Aidan mengucapkan kalimat saktinya setelah mencium tangan  dan  pipiku.  la  pun  melakukan  hal  yang  sama  pada adiknya.  Mengungkapkan  rasa  sayangnya.  Kebiasaan  yang kutanamkan   pada   Aidan   dan   Aila   agar   mereka   selalu menumbuhkan rasa sayang terhadap saudara dan keluarga.

“Dadah,  Abang...”  Si  kecil  Aila  melambaikan  tangan mengiringi kakak lelakinya masuk ke dalam kelas.

“Kita pulang, ya. Papa sudah menunggu. Nanti Papa telat ke kantor.”

Aila     mengangguk.     Bergandengan     tangan     kami meninggalkan ruang kelas di mana Aidan berada. Di tengah peijalanan kami berpapasan kembali dengan Dayu yang juga akan  kembali  ke  rumah.  Meski  masih  TK,  tapi  Dayu  pun mengajarkan kemandirian pada Lila. Lila tak harus ditemani selama prosesnya belajar. Untungnya Lila adalah anak yang sama  mandirinya  dengan  Aidan.  Mungkin  campuran  sifat keras   kepala   kedua   orang   tuanyamenjadikan   Lila   anak perempuan yang tak takut dan kuat.

“Langsung mau balik?” tanya Dayu. Sebelah tangannya menggandeng tangan kiri Aila.

“lya. Ibra kan harus ke restoran lagi. Ke sini naik apa?” aku balik bertanya.

“Damar.”

Aku   tertawa   melihat   ekspresi   datar   Dayu.   Sama sepertiku,  ia  pun  tak  diizinkan  berkendara.  Padahal  Dayu sudah susah payah mengikuti kursus mengemudi untuk bisa mengantar jemput Lila. Tapi pada akhirnya, Damar tetap tak mengizinkannya    menyetir    sendiri.    Mengapa   kami   bisa memiliki   suami-suami   yang   kelewat   paranoia.   Padahal dulunya  aku  dan  Dayu  adalah  contoh  perempuan  mandiri yang tak ingin bergantung pada pria.

“Kenapa kita dapat suami kelewat protektif, ya?” ujarku. “Sudah nasib. Terima saja. Untung cinta,” balas Dayu 

seenaknya, membuatku makin tertawa.

Ya,  meski  kedua  pria  itu  kelewat  protektif,  tapi  kami mensyukuri   kehadiran   mereka   dalam   hidup.   Siapa   yang sangka  kami  akan  berakhir  dalam  kehidupan  rumah  tangga seperti ini.

“Tante Dayu pamit, ya. Nanti kita main lagi, oke,” ucap Dayu pada Aila.

Sebelum  berpisah,  Dayu  mencium  gemas  pipi  Aila hingga  anakku  itu  berontak  bahkan  hampir  menangis.  Aila mengadukan perbuatan Dayu padaku dengan wajah memerah. Bukannya  merasa  bersalah, Dayu malah  tertawa. Kemudian kami pun saling berpamitan setelah berpelukan.

“Kenapa  Aila?”  tanya  Ibra,  bingung  kala  melihatku masuk mobil sambil menggendong Aila.

“Dayu.”

“Tante Dayu nakal,” adu Aila dengan mata basah.

“Sini Papa peluk. Nanti kita marahin Tante Dayu, ya.” Ibra  mengulurkan  tangan  untuk  memeluk  Aila  yang  segera dibalas oleh putri kami.

“Nakai...,” isaknya di pelukan Ibra.

Sang   Ayah   berusaha   menenangkan   putrinya.   Ibra bahkan  tak  terlalu  peduli  lagi  dengan  waktu  yang mungkin saja terbuang karena harus membujuk anak perempuannnya. Bagi  Ibra  keluarga  adalah  yang  utama.  la  tak  pernah  takut kehilangan harta. Tapi tidak dengan waktu dan kasih sayang dengan keluarganya.

“Sudah, peluk Mama, ya. Kita harus pulang. Papa kan harus kerja. Nanti di rumah kita masak kue kesukaan Aila. Mau?” bujukku.

Tak   sulit   membujuk   anak   perempuanku   itu.   Entah memang semua ini hadiah untuk Ibra karena kedua anak kami begitu  mengimitasi  hampir  semua  sifat  dan  karakternya. Setelah  Aila  berpindah  ke  pelukanku,  Ibra  pun  kembali melajukan   kendaraan   ke  rumah.   Tak   lama   mobil   sudah berhenti di depan gerbang rumah. Aku meminta Ibra tak perlu masuk karena tak ingin dia terlambat.

“Ayo, pamit sama Papa. Kasih Papa ciuman biar Papa semangat kerjanya.” Aku memberikan instruksi pada Aila.

Aila   menurut.   la   langsung   mengulurkan   tangannya. Meminta   wajah   Ibra   mendekat   untuk   bisa   memberikan ciuman penyemangat di pipi Ibra. “Aila sayang Papa.”

Ibra pun membalas dengan memberikan ciuman di pipi kanan dan kiri Aila. “Papa juga sayang Aila. Jadi anak baik selama di rumah sama Mama, ya.”

Aila    mngangguk    patuh.    Setelahnya    giliran    Ibra melayangkan ciuman di pipi dan dahiku. Aila hanya menatap apa  yang  Papapnya  lakukan  padaku.  Tapi  karena  sudah terbiasa melihat, Aila dan Aidan tak pernah bertanya-tanya. Bagi mereka itu cara kami menunjukkan kasih sayang—seperti yang kami lakukan pada mereka. Mungkin nanti setelah umur mereka   bertambah,   aku   dan  Ibra  akan  mengajarkan   hal lainnya.  Apa  yang  boleh  dan  tidak  boleh  mereka  lakukan. Semua harus dilakukan secara bertahap.

“Hati-hati  nyetirnya,  ya,  Papa.  Sampai  ketemu  nanti sore.”

Setelah  acara  berpamitan  usai,  aku  dan  Aila  segera keluar dari mobil. Sekali lagi kami melambaikan tangan pada Ibra  yang  membuka  kaca  jendela  mobilnya.  Hingga  Ibra kembali   melajukan   kendaraan   sampai   menghilang   dari pandangan.

“Sekarang tinggal Aila dan Mama. Mau apa kita hari ini “Kue!” ucapnya dengan semangat.

“Oke! Hari ini Aila dan Mama akan bikin kue!” 


Aila   tertawa.   la   meminta   untuk   diturunkan   dari gendongan, kemudian menggenggam jemariku. Bergandengan tangan  kami  masuk  ke  dalam  rumah.  Seperti  biasa,  hanya akan ada aku dan Aila seharian di rumah. Hingga Aidan dan Ibra kembali dari kegiatan masing-masing untuk berkumpul bersama kami lagi. Tak ada asisten rumah tangga yang kami gunakan. Aku membutuhkan jasa asisten hanya selama masa kehamilan  Aila.  Setelahnya  aku  kembai  menjalani  peran sebagai Ibu dan istri dalam istana kecil kami.

Bagiku, hidup yang kujalani saat ini cukup sempurna. Memiliki keluarga dengan suami dan anak-anak yang selalu mampu menghangatkan hatiku. Andai diberikan kesempatan untuk  menjalani  kehidupan  kedua,  aku  tetap  akan  memilih 

jalan  yang  sama.  Merasakan  perpisahan  dengan  Mama, bertengkar dengan Papa, kehilangan kasih sayang dan rumah, 

juga  bertemu  dengan  Ibra.  Pria  yang  menunjukkanku  jalan untuk  kembali  menemukan  kebahagiaan.  Memberikanku sebuah  keluarga.  Mengembalikan  kepercayaanku  dan menghadirkan sebuah tempat bagiku untuk pulang.

Ibra  adalah  malaikat  yang  Tuhan  kirimkan  padaku. Hadiah terindah yang tak akan pernah tergantikan. Karena itu, aku pun ingin menjadi hadiah yang sama indahnya bagi Ibra. Dengan  selalu  bersamanya,  mendukunya,  memberikan  cinta yang    akan    sama    besarnya.    Selalu    bertumbuh    seiring beijalannya waktu yang akan kami habiskan bersama.

Mungkin dulu aku pesimis, tapi Ibra hadir dan membuka mataku. Membuatku percaya bahwa di balik setiap kesedihan yang  kurasakan,  tersimpan  kebahagiaan  yang  sudah  Tuhan siapkan. Sejatinya kesedihan dan kesulitan adalah cara Tuhan untuk    menunjukkan    kasih    sayangNya    pada    manusia. Bagaimana  bisa  bertahan  melalui  itu  semua  membuktikan bahwa manusia adalah makhluk yang kuat. Tuhan akan selalu menghadirkan  berbagai  cara  untuk  selalu  memberikan  kita kekuatan. Mungkin dengan menghadirkan orang-orang di sisi kita sebagai hadiah terindah. Seperti Ibra di sisiku. Selamanya kami  akan  berjalan  beriringan  untuk  mewujudkan  semua impian yang akan kami bangun bersama.


Ibra Gadis Di Bawah Hujan

Waktu  sudah  menunjukkan  pukul  delapan  malam  saat  Ibra melirik jam di pergelangan tangan. Tak terasa sudah hampir lima  jam  ia  dan  teman-teman  berkumpul.  Banyak perbincangan  yang  mereka  lakukan.  Mulai  dari  mengenang masa-masa  kuliah  sampai  kegiatan  yang  masing-masing mereka  lakukan  saat  ini.  Meski  jarang  berkumpul  dengan sesama  teman  sekolahnya  dulu,  bukan  berarti  Ibra  adalah sosok yang menutup diri dari pergaulan. la memang dikenal sebagai pribadi yang pendiam, tapi bukan juga seorang yang antisosial.  Siapa  pun  yang  mengenal  Ibra  pasti  akan  tahu betapa pria itu adalah pribadi yang ramah dan hangat di balik sikap pendiamnya.

Setelah berpamitan, Ibra bersiap kembali ke rumahnya. Bukan rumah keluarga besar Arrauf karena sejak tiga tahun lain,  ia  berhasil  membeli  hunian  pribadi  dari  hasil  keija kerasnya.    Meski    masih    berstatus    sebagai    Manajer    di perusahaan keluarga, tapi Ibra yang pintar membaca peluang bisnis  berhasil  mengumpulkan  pundi-pundi  Rupiah  melalui usaha di mana ia menjadi penanam modal di beberapa bursa saham dan properti. Ibra tak ingin terus bergantung dengan perusahaan  milik  keluarga.  Meski  tak  dimungkiri  bahwa  ia 

jelas  akan  menjadi  satu  kandidat  pemimpin  di  sana.  Tapi sedini mungkin, pria itu ingin membuktikan diri bahwa ia bisa berdikari.

Hujan  tengah  menyapa  kala  Ibra  berkendara  menuju rumahnya.   Sepertinya   Tuhan   selalu   memberikan   kejutan dalam hidup. Kali ini pun Ibra mendapat kejutan tak terduga. Seseorang berlari di tengah hujan dan hampir saja menjadi korban tabrakan mobilnya. Jika Ibra tak memiliki refleks yang cepat untuk menghentikan laju mobil, mungkin orang tersebut sudah  celaka  karena  bertumbukan  dengan  mobilnya.  Sosok yang hampir ditabrak Ibra tampak meluruh di jalan. Cepat- cepat pria itu mengambil payung yang untungnya selalu ada di kantong belakang jok mobil. Segera Ibra keluar dari mobilnya untuk melihat kondisi orang tersebut.

Betapa  terkejutnya  Ibra  saat  menyadari  bahwa  sosok yang hampir ditabraknya adalah seorang gadis. Terlebih Ibra bisa  melihat  betapa  putus  asanya  sosok  gadis  itu  dengan membiarkan hujan membasahi tubuhnya. Mungkin gadis itu sedang  mengalami  masalah.  Perlahan  Ibra  mendekat  dan memayungi tubuh gadis itu yang sudah basah.

“Kamu baik-baik saja?” tanyanya khawatir.

Gadis  itu  tak  menjawab.  Masih  diam  dan  tertunduk. Mungkin sedang mencoba menenangkan dirinya yang hampir menjadi korban tabrakan.

“Hei,  kamu  baik-baik  saja?”  Ibra  kembali  bertanya. Bahkan kini ia sudah ikut beijongkok di hadapan gadis itu.

Sesaaat  mata  mereka  bertemu.  Ada  debar  asing  yang merasuk ke dada Ibra. Seketika ia dilanda kebingungan akan apa  yang  tiba-tiba  dirasakannya.  Lebih  dari  itu,  Ibra  jelas khawatir  saat  melihat  mata  jernih  gadis  itu  yang  seolah memancarkan kesedihan.

“Kamu butuh bantuan?”

Dengan cepat gadis itu menggeleng. “Tidak!”

Gadis itu refleks berdiri, membuat Ibra terkejut. Tanpa diduga berlari meninggalkan Ibra yang masih bingung. Ingin rasanya  Ibra  mengejar  dan  menghentikannya  karena  merasa gadis   itu   sedang   memiliki   masalah.   Namun,   sosok   itu menghilang begitu cepat dari pandangannya. Beruntung saat ini  jalanan  tengah  sepi.  Jika  tidak,  mungkin  mereka  sudah mendapat   teguran   dari   pengguna   jalan   lainnya   karena menghambat lalu lintas.

Tak  ada  yang  dapat  Ibra  lakukan  selain  kembali  ke mobil.  Namun  entah  mengapa  ia  tak  bisa  mengenyahkan wajah sendu gadis itu dari kepalanya. la bukan tipe orang yang gampang jatuh cinta. Ibra mudah bersimpati terhadap orang lain. Tapi untuk jatuh cinta, bisa dihitung dengan jemari berapa  kali  ia  merasakannya  hingga  usianya  yang  cukup dewasa ini.

Bertemu  dengan  gadis  itu  membangkitkan  rasa  barn dalam   diri   Ibra.   Jatuh   cinta   pada   pandangan   pertama? Mungkin saja. Tapi, Ibra tak ingin cepat-cepat menyimpulkan. Jika  memang  ia  dan  gadis  itu  memiliki  benang  takdir,  ia percaya Tuhan akan mempertemukan mereka kembali.

Ibra baru kembali dari pertemuannya dengan salah satu klien perusahaan.  Kontrak  kerja  sama  yang  ia  ajukan  mendapat persetujuan. Karena itu, ia merasa cukup puas hari ini. Tapi sepertinya  suasana  hati  Ibra  yang  sedang  baik,  berbanding terbalik  dengan  nasibnya  hari  ini.  Mobilnya  lagi-lagi  harus menjadi sasaran tabrakan. Terkejut, tentu saja.Tapi pria yang selalu  mampu  mengatur  emosinya  itu  berusaha  untuk  tetap berkepala dingin tiap kali menghadapi masalah.

Ibra  segera  keluar  dari  mobil.  Memperhatikan  bagian belakang   mobilnya   yang   kini   menjadi   sasaran   benturan. Setelah  mengamati  bagian  yang  cukup  parah  tersebut,  Ibra hanya bisa menghela napas pelan.

“Maaf, Pak. Saya nggak sengaja.”

Sebuah suara penuh kecemasan terdengar dari seseorang yang menghampiri. Ada rasa tak asing yang dirasakan Ibra. Seperti  pernah  mendengar  suara  merdu  tersebut.  “Cukup parah.”  Hanya  itu  yang  bisa  Ibra  katakan  pada  orang  di belakangnya yang mungkin adalah si penabrak.

Perlahan  Ibra  berdiri  untuk  berhadapan  dengan  sang tersangka. Namun, alangkah terkejutnya ia kala melihat siapa gadis  yang  berdiri  di  depannya  saat  ini.  Gadis  yang  pada kesempatan  lalu  juga  hampir  tertabrak  olehnya.  Tak  hanya Ibra, gadis itu pun terlihat begitu terkejut. Seperti seseorang yang tiba-tiba terkena serangan jantung. Pasi. Sekali lagi Ibra memperhatikan  dari  atas  ke  bawah  penampilan  gadis  itu. Menelitinya.  Membuat  raut  tak  nyaman  tergambar  jelas  di wajah gadis cantik itu.

“Kamu.. ”

“Saya minta maaf!” potong gadis itu cepat.

Ibra memiringkan kepala. Ada keinginan untuk bicara, namun tak ada kata yang mampu pria itu keluarkan. Seperti ia kehilangan kemampuan bicaranya karena kehadiran gadis itu.

“Berapa biaya perbaikan yang hams saya ganti rugi?” Gadis itu bertanya tanpa basa-basi.

Sungguh, bukan perihal biaya yang menjadi konsentrasi Ibra  saat  ini,  melainkan  pertemuan  tak  terduganya  dengan gadis  itu  masih  sulit  dicerna  akalnya.  Benarkah  ini  takdir Tuhan yang memang menjadikan pertemuan mereka sebagai ikatan jodoh? Ibra sangat ingin percaya itu. Tapi melihat gadis itu  yang  tak  nyaman  berada  bersamanya,  ia  tahu  tak  akan mudah baginya.

“Kamu  tahu  kan  biaya  perbaikan  mobil  ini  cukup mahal?” pancing Ibra untuk melihat reaksi gadis itu.

Dan   benar   saja   apa   yang   ia   perkirakan.  Gadis  di depannya ini mencoba mengintip dari balik tubuh Ibra jenis mobilnya. Juga seberapa parah kerusakan yang ditimbulkan. Ibra  bisa  melihat  gadis  itu  susah  payah  mereguk  saliva,  la sebenarnya  tak  ingin  bersikap  mengancam.  Tapi,  jika  jalan satu-satunya  untuk  bisa  mendekati  gadis  itu  adalah  dengan ancaman seperti ini, maka Ibra akan memanfaatkannya.

“Saya   nggak   tahu.   Tapi   saya   pasti   akan   berusaha bertanggung   jawab.”   Suara   gadis   itu   memelan   di   akhir ucapannya.

Ibra mencoba menahan sudut bibirnya untuk tak tertarik ke atas. Tapi sepertinya hal itu tak bisa dicegah. Bahkan ia yakin senyuman kecilnya mampu dilihat gadis itu.

“Berikan   nomor  handphone  kamu.  Nanti  dihubungi kalau mobil saya sudah diperbaiki.”

Apa  yang  dikatakan  Ibra  sepertinya  berdampak  buruk bagi  gadis  itu.  Langkahnya  tampak  gontai  saat  kembali  ke mobil.   Setelahnya   gadis   itu   menyebutkan   nomor   ponsel dengan wajah sangat terpaksa. Ibra tak ingin menyia-nyiakan kesempatan   yang   ada.   la   langsung   menyimpan   nomor diberikan   gadis   itu.   Bahkan   untuk   memastikannya,   Ibra sengaja  melakukan  panggilan.  Wajah  gadis  itu  bertambah 

jengkel melihatnya.

“Siapa nama kamu?” Ibra memberanikan diri bertanya. la berharap gadis itu mau menjawab.

“Hah?”

“Nama  kamu.  Tidak  mungkin  saya  tidak  memberikan nama panggilan saat nanti menghubungi kamu.” Ibra kembali beralasan.

“Danika.”

“Baiklah, Danika. Nanti saya hubungi lagi.”

Setelahnya Ibra tersenyum. la tampak senang akhirnya mengetahui nama gadis yang berhasil menarik perhatiannya. Setelah berpamitan, Ibra lantas meluncur pergi. Meninggalkan gadis itu yang mungkin akhirnya bisa bernapas lega setelah tak lagi berhadapan dengan Ibra.

Mobil yang ditabrak oleh gadis bernama Danika itu akhirnya selesai  diperbaiki.  Namun,  Ibra  belum  ingin  menghubungi gadis  itu  untuk  meminta  biaya  pertanggung  jawaban.  Lagi pula  sejak  awal  ia  memang  tak  berniat  memintanya  pada Danika. Melainkan lebih ingin mengenal gadis itu saja karena hatinya sudah terpaut sejak awal pertemuan mereka.

Beberapa    pekerjaan    yang   harus    diselesaikan    pun membuat Ibra sejenak lupa perihal gadis itu. Sampai ketika memeriksa  ponsel,  matanya  terpaku  pada  nomor  gadis  itu. Hatinya tanpa bisa dicegah justru ingin menghubungi gadis itu. Sambutan yang didapatkan Ibra saat tiba-tiba menelepon Danika tentu saja tak ramah. Bahkan gadis itu seperti lupa padanya  dan  permasalahan  mereka.  Jawaban  bernada  ketus pun mewarnai perbincangan singkat melalui telepon. Suasana hati  Danika  yang  tak  bersahabat  itu  menjadi  makin  tak bersahabat    kala    menjawab    panggilan    darinya.    Hingga membuat Ibra menyerah.

Lupakan soal biaya perbaikan karena ia benar-benar tak mempermasalahkannya.   Bukan   karena   ia   memiliki   uang berlebih,   tapi   karena   melihat   sesuatu   yang   mengganggu Danika  ketika  mereka  bertemu.  Seperti  gadis  itu  memiliki beban hidup yang begitu berat. Dan mendapati Danika yang bahkan   tak   ingin   berbasa-basi   dengannya   membuat   Ibra akhirnya  menyerah.  la  menutup  panggilan  secara  sepihak. Mungkin  memang  ia  mengharapkan  sesuatu  yang  mustahil antara  dirinya  dan  Danika.  Karena  itu,  ia  berpikir  untuk berhenti.

Ketika   satu   keinginan   tak   terpenuhi,   bukan   berarti manusia  hams  berhenti  berharap.  Seperti  itulah  yang  Ibra lakukan.   Meski   harapannya   untuk   mengenal   Danika   tak beijalan  baik,  ia  tetap  melanjutkan  kesehariannya.  Tak  ada waktu untuk meratap karena ia seorang lelaki. Ada banyak hal yang bisa ia lakukan. Terutama tentang pekerjaannnya.

Ibra yang berencana membuka sebuah restoran Jepang terus  berusaha  mencari  rekan  kerja  yang  ingin  membangun usaha  bersamanya.  Tapi  tentu  saja  itu  tak  mudah.  Terlebih dengan pengalaman Ibra yang masih minim akan wirausaha. la  bam  ingin  merintis  bisnisnya.  Tentunya  sulit  bagi  orang lain memercayakan sejumlah dana padanya. Jikalau usaha itu sukses    tentu    saja    memberi    keuntungan,    namun    bila sebaliknya,  bukankah  mereka  akan  menanggung  kerugian besar. Karena itu, masih sulit bagi Ibra mendapatkan rekanan dalam usahanya.

“Jadi, kamu masih belum ketemu rekan?” tanya Papanya ketika Ibra berkunjung ke rumah utama.

Rumah utama yang dimaksud adalah rumah peninggalan kakek yang kini dihuni oleh dua keluarga. Orang tua Ibra dan keluarga  Tante  Mala,  adik  ayahnya.  Kedua  orang  tua  Ibra hanya tinggal berdua di satu kamar. Sementara Tante Mala tinggal  bersama  kedua  putrinya,  Bintang  dan  Bulan.  Ibra sendiri  memilih  tinggal  di  rumah  pribadi  yang  ia  dapatkan dari  kerja  kerasnya  sendiri.  Sementara  kakaknya,  Yasmin, sudah menikah dan tinggal bersama suami.

“Belum,  Pa,”  jawab  Ibra  tak  bersemangat.  “Tapi  Ibra akan terus usaha. Ini yang Ibra inginkan. Mendirikan usaha sendiri. Lepas dari mtinitas kantor.”

Papa   dan   Mamanya   tampak   mengangguk   setuju. Memang sejak kuliah, putra bungsu mereka begitu mandiri. Bahkan Ibra berusaha membiayai sendiri pendidikannya. Tapi tentu saja orang tua Ibra tak setuju. Biaya pendidikan adalah satu dari tanggung jawab mereka sebagai orang tua.

Karenanya,  mereka  tetap  ingin  memenuhi  tanggung  jawab tersebut. Sedang penghasilan yang Ibra dapatkan dengan kerja kerasnya mereka minta untuk ditabung saja.

“Gimana kalau Papa jadi penanam modal di usaha kamu itu? Saat sudah ada hasilnya, kamu bisa balikin modal yang Papa pinjamkan?” Papa Ibra menawarkan.

Tentu saja itu tawaran yang menggiurkan. Tapi itu bukan yang Ibra inginkan. Hingga detik ini ia masih bekerja di bawah naungan perusahaan keluarga. Meski ada beberapa pekerjaan sampingan  yang  ia  lakukan.  Alasan  Ibra  ingin  membuka restoran selain karena ia memang suka dengan bisnis tersebut, 

juga  agar  ia  tak  lagi  bergantung  pada  penghasilan  yang  ia dapatkan dari bekerja di perusahaan milik keluarganya. Jika papanya memberikan pinjaman modal, bukankah itu artinya Ibra tak beranjak ke mana-mana.

“Nanti  dulu,  Pa.  Untuk  saat  ini,  biar  Ibra  berusaha sendiri dulu.”

Zahid dan Amida pun akhirnya menyerah. Mereka tahu putranya  bukanlah  tipe  anak  yang  menggampangkan  segala hal. Ibra adalah pekerja keras, mereka tahu itu. Karenanya, saat Ibra mengutarakan keinginan untuk tak lagi bergantung pada     usaha     keluarga,     mereka     berusaha     mendukung keputusannya.  Padahal  Ibra  adalah  satu  dari  penerus  usaha karena memang ia adalah cucu laki-laki satu-satunya di dalam keluarga—yang      diharapkan      akan      mengambil      alih kepemimpinan di perusahaan. Tapi, keinginan Ibra yang besar pun  tak  mungkin  mereka  tentang.  Sejak  remaja,  Zahid  dan Amida membebaskan pilihan apa pun putra-putrinya.

“Kalau gitu, selamat berusaha!”

Papanya  menutup  perbincangan  seputar  bisnis  yang ingin  dirintis  Ibra.  Selanjutnya  mereka  membahas  perihal perusahaan.  Sampai  pembicaraan  menjurus  pada  pertanyaan seputar jodoh Ibra. Pria itu menyerah. la segera memohon diri pada  orang  tuanya  untuk  kembali  ke  rumah  sebelum  hari semakin larut. Selalu seperti itu tiap kali membahas masalah pernikahan.  Ibra  akan  selalu  melarikan  diri.  Bukan  karena dirinya   tak   ingin,   tapi   karena   Ibra   belum   menemukan pendamping yang tepat. Mungkin sudah ketika ia memikirkan Danika, tapi sepertinya akan sangat sulit jika ia memikirkan tentang gadis itu. Gadis yang ditemukannya pertama kali di bawah hujan.


Ibra - Jodoh Itu Nyata

Ibra  masih  tak  menyerah  dengan  keinginannya  membangun bisnis  restoran  Jepang.  Meski  hingga  saat  ini  ia  belum mendapatkan rekan untuk kerja sama, tapi pria itu tak pernah menyerah  dengan  impiannnya.  Langkah  awal  sudah  Ibra ambil  dengan  mulaai  mencari-cari  lokasi  untuk  mendirikan restoran.  la  sudah  berkeliling  berbagai  tempat  demi menemukan  lokasi  yang  strategis.  la  juga  meminta  bantuan teman-temannya  yang  mungkin  bisa  memberikan  informasi seputar lahan.

Langkah    selanjutnya,    Ibra   mulai    berburu   konsep restoran yang akan dibangun. Mungkin tak akan jauh berbeda dari restoran Jepang pada umumnya, tapi Ibra menginginkan sesuatu  yang  baru.  Karena  itu,  ia  berniat  mencari  berbagai referensi.

Seperti yang sudah-sudah, kembali takdir membawa Ibra bertemu  dengan  Danika.  Gadis  yang  ditemuinya  di  bawah hujan. Mungkin memang sebuah kebetulan ketika mereka tak sengaja  bertemu  di  toko  buku.  la  yang  memang  berencana mencari  beberapa  buku  referensi  untuk  bisnis  barunya  dan berpapasan dengan Danika yang juga sedang berada di toko buku  yang  sama.  Ibra  yang  sedang  berjalan  di  jejeran  rak buku,  hampir  saja  terjungkal  karena  kaki  seseorang  yang berselonjor di lantai.

“Maaf,” ucap Ibra sembari menunduk pada orang yang kakinya tak sengaja ia tabrak. Tak disangka ternyata adalah Danika. “Kamu baik-baik saja?” tanya Ibra kembali berusaha memastikan.

Gadis  itu  langsung  berdiri.  la  tampak  terkejut  namun juga cemas. Mungkin takut jika Ibra kembali bertanya tentang 

utang piutang yang ada di antara mereka.

“Danika?” Gadis di depan Ibra terlonjak kaget. “Kamu baik-baik saja?”

Entah  memang  bertemu  dengan  Ibra  adalah  sebuah bencana  baginya.  Tiba-tiba  saja  Danika  melemparkan  buku yang ia pegang ke arah Ibra. Seolah pria itu adalah penjahat yang   sedang   berusaha   menculiknya.   Sempat   kaget,   Ibra kemudian kembali memanggil nama gadis itu. Namun Danika terns  berari  menjauh.  Tak  peduli  apakah  Ibra  terluka  atas tindakannya tadi.

Setelah  gadis  yang  selalu  ketakutan  tiap  kali  bertemu dengannya  itu  tak  lagi  terlihat,  Ibra  menghela  napas.  la sungguh tak habis pikir mengapa gadis itu begitu ketakutan tiap mereka bertemu. Bahkan melalui sambungan telepon pun Danika tampak panik saat berhadapan dengannya. Di mana salahnya, Ibra sendiri tak tahu.

Tapi sikap gadis itu yang terus menjauh membuat Ibra makin   penasaran.   la   makin   tertantang   untuk   mengenal Danika. la merasa memiliki keterikatan pada gadis muda itu. Dan  Ibra  bertekad  kali  ini  ia  tak  akan  menyerah.  la  akan berusaha mencari tahu semua tentang Danika.

“Sampai   kapan   dia   mau   berlari   menghindari   saya begitu?” desah Ibra, lelah.

la tak berniat mengejar Danika karena ia tahu hasilnya akan percuma. Karena itu, ia membiarkan saja gadis itu berlari menjauh. Jika memang berjodoh, maka ia yakin Tuhan akan kembali  mempertemukan  mereka.  Yang  saat  ini  perlu  Ibra lakukan hanya kembali melanjutkan kegiatannya.

Di   tengah   kegiatannya   mencari   buku,   ponsel   Ibra bordering.   Setelah   melihat   nama   pemanggil   di   layar,   ia langsung menjawab. Sang teman yang menghubungi ternyata mengabarkan info sebuah ruko bagi Ibra yang mungkin bisa pria   itu   gunakan   sebagai   tempat   usahanya.   Tanpa   pikir panjang  Ibra  langsung  meminta  alamat  dan  kontak  pemilik ruko tersebut. Setelah mendapatkan dan mengucapkan terima kasih   atas   info   tersebut,   Ibra  menutup   sambungan.   Ibra membawa sejumlah buku yang ia pilih ke meja kasir. Setelah melakukan pembayaran, pria itu segera pergi dari toko buku.

Tujuan Ibra selanjutnya adalah mendatangi pemilik ruko yang ditawarkan temannya.

Lokasi   yang   strategis   membuat   Ibra   ingin   sekali membangun    usahanya    di    tempat    tersebut.    Sayangnya negosiasi tak beijalan semudah yang ia inginkan karena sang pemilik ruko tak ingin melepaskan rukonya dengan harga yang Ibra tawarkan.

“Apa tidak bisa harganya diturunkan sedikit lagi, Pak?” pinta Ibra pada sang pemilik.

“Saya rasa itu sudah harga paling pantas, Nak Ibra.” “Boleh saya minta waktu untuk memikirkannya?” “Silakan.”

Pada  akhirnya  Ibra  kembali  ke  kantor  dengan  tangan kosong. Melihat ia yang baru kembali ke kantor tampak lesu sempat   membuat   papanya   bingung.   Tapi   ia   tak   ingin membicarakan  masalah  pribadi  di  kantor.  Mungkin  nanti ketika jam keija usai, Zahid bisa bertanya pada Ibra.

Ibra sendiri kembali memikirkan tawaran yang diberikan sang pemilik ruko. Sambil dirinya mengalkulasi berbagai dana yang dimiliki. Ruko tersebut memang strategis. Tak jauh juga dari sebuah pusat perbelanjaan dan perkantoran. Akan sangat mudah  bagi  Ibra  mendapatkan  pelanggan  jika  ia  berhasil membuka restorannya di lokasi tersebut. api jika ia menerima penawaran harga tersebut, maka biaya untuk hal lainnya jelas akan menyusut. Selain itu Ibra juga butuh dana besar untuk melakukan  perombakan  ruang  agar  restoran  tersebut  sesuai dengan yang diinginkannya.

Setelah    lama    berpikir,    Ibra    akhirnya    menyerah. Kepalanya   tak   lagi   sanggup   diajak   berpikir.   Mungkin keinginannya    membangun    usaha    harus    ditunda    untuk beberapa saat. Sampai ia berhasil mengumpulkan dana yang lebih. Menunggu tak akan menjadi masalah karena ia bukan berhenti   untuk   impiannya.   Hanya   melakukan   penguluran waktu untuk yang lebih tepat.

Butuh  waktu  hampir  dua  tahun  akhirya  Ibra  berhasil membangun mimpinya. Akhirnya hari itu tiba. Hari di mana ia berhasil  membangun  sendiri  usaha  restorannya.  Restoran Jepang yang diberi nama Sushi Me tersebut akhirnya terwujud dalam bentuk nyata.

Hari  ini  Ibra  akan  meresmikan  pembukaan  perdana restorannya. Semua hal sudah ia bereskan dengan baik. Mulai dari  tempat,  stok  bahan-bahan  hingga  pegawai.  la  sudah mendapatkan  orang-orang  terbaik  yang  akan  membantunya menjalankan Sushi Me. Tapi dari semua itu, ada satu hal yang membuat   Ibra   begitu   bersemangat   menyambut   hari   ini. Semua tak lain karena seseorang yang sempat menghilang dari hidupnya. Akhirnya kini Ibra akan kembali bertemu dengan orang tersebut.

Gadis   keras   kepala   bernama   Danika   yang   selalu bermasalah  dengannya. Bukan dengan Ibra sebenarnya, tapi dengan  mobilnya.  Entah  mengapa  tiap  kali  ia  dan  Danika bertemu dulu selalu karena sebuah kecelakaan. Bahkan mobil milik gadis itu yang diserahkan secara terpaksa, masih Ibra simpan   dengan   baik.   la   tak   berniat   melakukan   sesuatu terhadap benda yang ia tebak berharga bagi Danika.

Saat menyeleksi para pegawai Sushi Me, tak sengaja Ibra melihat berkas lamaran milik Danika. Tanpa pikir panjang, ia memerintahkan   Anwar,   sang   Manajer   Sushi   Me,   untuk merekrut  Danika  sebagai  salah  satu  dari  pegawai  mereka. Semua itu karena misinya yang ingin mendapatkan gadis itu.

Ibra  sudah  tak  bisa  lagi  berpaling.  Kali  ini  ia  akan mengambil kesempatan tersebut. Meski tahu tak akan mudah, tapi  ia  percaya  jodoh  itu  sesuatu  yang  nyata,  yang  Tuhan hadirkan walau kita sering kali menolaknya.

“Terima  kasih  untuk  sambutan  para  pengunjung  yang luar biasa. Saya berharap Sushi Me bisa terus berkembang dan bisa memberikan pelayanan terbaik untuk semua customer. ”

Sambutan  singkat  yang  Ibra  berikan  disambut  dengan meriah  tepuk  tangan.  Tapi  satu  hal  yang  tak  lepas  dari pandangan  pria  itu.  Wajah  terperangah  Danika.  Rasanya menyenangkan  menatap  wajah  tak  percaya  gadis  itu  saat mereka    kembali    dipertemukan.    Pria    itu    pun    berjalan mendekati Danika yang masih berdiri terpaku di tempatnya.

“Apa kabar, Danika?Saya harap kamu betah bekeija di sini.”

Tak  ada  jawaban  dari  Danika,  tapi  sepertinya  melihat Ibra berdiri di hadapannya seperti menyaksikan sosok hantu. Ibra  berusaha  menyembunyikan  senyumnya.  Kemudian  ia berlalu dari hadapan gadis yang masih terpaku tersebut untuk menyapa para pengunjung lainnya.

Tentu saja itu hanya awal dari hubungan mereka. Karena hari-hari selanjutnya, Danika kembali menjaga jarak. Bahkan gadis itu membangun dinding yang sangat tinggi hingga Ibra tak bisa mencapainya. Tapi bukan berarti Ibra akan menyerah. la  sudah  bertekad.  la  sudah  menentukan  pilihannya  pada Danika.

Ditambah   lagi   orang   tuanya   kembali   mengeluarkan wacana perihal pernikahan. Tak jarang berusaha mengenalkan Ibra  pada  anak  dari  rekan  keija  atau  teman-teman  mereka. Tapi seperti biasa Ibra selalu menolak. la hanya menginginkan Danika   yang   akan   menjadi   pendampingnya.   Tapi  belum saatnya bagi Ibra bercerita pada kedua orang tuanya. Yang utama baginya adalah meluluhkan gadis itu terlebih dahulu.

Semua  tak  semudah  yang  dibayangkan  Ibra.  Karenanya nyatanya meski sudah berada dalam satu teritori yang sama, Danika  tetap  tak  tersentuh.  Gadis  itu  seperti  membangun batas setipis udara tapi begitu kuat dan tak tertembus. Sekeras apa  pun  Ibra  mencoba,  Danika  tak  ingin  mengendurkan pertahanannya.

Alasan atasan dan pegawai yang bisa Ibra gunakan demi bisa  mendekati  gadis  itu  pun  nyatanya  tak  berlaku.  Entah harus  memecat  gadis  itu  agar  datang  padanya,  atau  tetap bertahan  dengan  permainan  kejar-menghindar  ala  mereka. Yang pasti Ibra gemas setengah mati dibuat satu gadis itu.

“Anwar, bagaimana perkembangan restoran kita?” Ibra memang berbicara pada Anwar, tapi matanya tak pernah lepas melirik ke arah Danika.

Anwar  bukan  tak  tahu  jika  atasannya  itu  menaruh perhatian  lebih  pada  Danika.  Sering  kali  ia  melihat  Ibra menatap penuh takjub pada sosok Danika. Tapi seperti biasa, gadis itu tak akan peduli pada atasan mereka. Atau Danika sengaja  tak  peduli  meski  ia  tahu  betapa  Ibra  selalu memperhatikannya. Apa pun itu, yang pasti Anwar tak ingin ikut campur akan hubungan kedua insan tersebut.

“Sejauh ini perkembangan restoran bagus banget, Pak. Pengunjung  kita  makin  meningkat.  Ada  beberapa  masukan dari  para  pengunjung  untuk  menambah  jumlah  menu  agar lebih   bervariasi.   Juga   promo   menarik   untuk   pengunjung dengan  kantong  terbatas  seperti  mahasiswa  dan  pelajar.” Anwar menjelaskan sambil tertawa di akhir kalimat.

Ibra   hanya   tersenyum   menerima   laporan   tersebut. Mungkin   ia   akan   mempertimbangkan   saran   dari   para pengunjung. Karena memang sejak awal ingin merintis usaha restoran ini, Ibra tak pernah menjadikan laba besar sebagai prioritas.     la     hanya     ingin     mewujudkan     impiannya menghadirkan  satu  tempat  makan  yang  bisa  memberikan kebahagiaan   bagi   para   pengunjung   dengan   harga   yang teijangkau.

Setelah memberikan laporan, Anwar kembali bertugas, begitu  juga  Ibra  yang  memilih  untuk  kembali  ke  ruang kerjanya.  Namun  sebelum  kembali,  terlebih  dahulu  pria  itu menghampiri  Danika.  Meminta  Danika  untuk  menemuinya setelah selesai bekeija.

Namun  lagi-lagi  seperti  biasa,  Danika  pasti  melarikan diri ketika Ibra sendiri akhirnya turun tangan untuk menyeret gadis  itu  ke  ruangannya,  Danika  sudah  tak  lagi  berada  di restoran.  Yang  bisa  Ibra  lakukan  hanya  membesarkan  hati akan penolakan gadis itu yang tak ada habisnya.

“Gagal   lagi?”   Anwar   tahu-tahu   sudah   berada   di ruangannya.

“Kapan kamu masuk?” tanya Ibra bingung.

“Beberapa  kali  saya  ketuk  pintu,  tapi  Pak  Ibra  nggak nyahut.  Cuma  Danika  yang  bisa  bikin  Pak  Ibra  melamun begitu.”

“Kamu tahu sekali, ya.”

“Jangan   nyerah,   Pak.   Usaha   nggak   akan   pernah mengkhianati hasil. Sekeras apa pun Danika menolak, suatu saat dia pasti bisa lihat ketulusan Bapak.”

Ibra menatap Anwar dengan pandangan takjub. Namun kemudian,  ia  hanya  bisa  tersenyum  simpul.  Mendapatkan suntikan  semangat  dari  orang  lain  kadang  memang  mampu membuat suasana hati berubah.

“Mana laporan yang hams saya lihat?”

Anwar    menyerahkan    laporan    yang    dipegangnya. Beberapa  saat  Ibra  membolak-balik  kertas-kertas  tersebut. Setelah  menandatangani,  ia  menyerahkan  kembali  laporan tersebut   pada   sang   Manajer.   Tak   ingin   berlama-lama mengganggu atasannya, Anwar pun undur diri.

Tepat setelah kepergian Anwar, ponsel Ibra berdering. la melihat  nomor  rumah  keluarganya  tertera  di  lay  ar.  Tanpa menunggu lama, Ibra langsung menjawab panggilan tersebut.

“Halo, Assalamualaikum?”

“Waalaikumsalam, ” suara mamanya langsung menyapa. “Hari ini makan malam di rumah, ya,” pinta mamanya lagi.

“InsyaAllah.”

“Oke,   Mama   tunggu,   ya.   Jangan   telat.   Kayaknya Yasmin juga mau ke rumah. ”

“InsyaAllah, Mama.”

Setelahnya Mama Ibra mulai bertanya tentang kegiatan putra  satu-satunya  tersebut.  Juga  perkembangan  yang  Ibra rintis. Saat merasa puas, akhimya panggilan tersebut diakhiri.

Sesuai janjinya, Ibra pulang ke rumah keluarga Arrauff. Namun ada seseorang yang tak dikenali Ibra yang berada satu meja  bersama  mereka.  Seorang  gadis  yang  mungkin  seusia dengan Bintang, sepupunya. Dari penuturan mamanya, gadis bernama Amanda tersebut ternyata memang sahabat Bintang.

Tanpa  perlu  otak  yang  jenius  pun  Ibra  bisa  menduga maksud  terselubung  dari  kehadiran  gadis  itu.  Apalagi  jika bukan  usaha  keluarganya  untuk  menjodohkan  Ibra.  Padahal bemlang kali Ibra menjelaskan bahwa ia tak ingin dijodohkan. la akan bemsaha sendiri mencari pasangan hidupanya.

“Memangnya mau cari yang bagaimana lagi sih, Ibra? Begitu  banyak  yang  Tante  kenalin  masa  nggak  ada  yang nyantol  di  kamu?  Sekarang  Amanda.  Itu  anak  cantik.  Dari keluarga terpandang. Kurang apa lagi coba?” Seperti biasa, Tante Mala mulai mencecar Ibra dengan berbagai pertanyaan.

Bukan sekali dua kali sang tante berusaha mengenalkan Ibra  pada  anak  kerabat  atau  koleganya,  tapi  Ibra  selalu menolak. Pun begitu Tante Mala takjugajera. Berusaha untuk ikut  campur  dalam  urusan  jodoh  Ibra.  Sedangkan  orang tuanya tak pernah terang-terangan mendesak Ibra. Meski pria itu tahu jika mama dan papanya sangat ingin melihat ia segera menikah.

“Tidak  ada  yang  kurang  dalam  diri  Amanda,  Tante. Hanya Ibra yang merasa belum ingin. Ibra belum menemukan yang tepat.”

“Kalau  kamu  kebanyakan  mikir  nggak  akan  mungkin ketemu yang tepat. Jodoh itu bukan cuma perkara tepat atau enggak,  tapi  juga  perkara  mengusahakan.  Kalau  kamunya selalu nolak, ya, kapan kamu bakal nikah.”

Ibra benar-benar jengah dengan perdebatan tanpa akhir seperti  itu.  Tapi  ia  tak  mungkin  menentang  Tante  Mala dengan  terang-terangan.  la  masih  menghormati  Tante  Mala sebagai adik papanya. Karena itu, Ibra berusaha mengontrol dirinya jika mereka sudah berhadapan.

“Tante nggak perlu khawatir. Mama dan Papa juga. Saat ini Ibra sedang mengusahakannya.”

Mendengar penuturan Ibra, kedua orang tuanya tampak berbinar.  Akhirnya  apa  yang  mereka  inginkan  akan  segera terwujud.  Putranya  yang  selalu  pasif  dalam  hal  mencari pasangan, sekarang terlihat begitu aktif.

“Benar?  Siapa  dia?  Kapan  kamu  kenalin  ke  keluarga kita?” tanya mamanya bersemangat.

“InsyaAllah segera, Ma. Hanya saja gadis ini cukup unik. Keras kepalanya luar biasa. Ibra harus usaha lebih keras lagi untuk dia.”

“Ya,   begitu   harusnya   laki-laki.   Berusaha.   Jangan menyerah hanya karena ditolak. Kalau memang kamu yakin dia jodohmu, ya, kejar terus.”

Ucapan papanya membuat Ibra merasa mendapat angin segar.   Walau   ia   tahu   kedua   orang   tuanya   akan   sangat mendukung apa pun keputusan Ibra selama hal itu baik, tapi untuk kali ini merasa jalannya begitu terbuka. Hal terpenting dalam usahanya adalah doa kedua orang tuanya. Selama Ibra mengantongi hal tersebut. la yakin akan mampu menghadapi apa pun. Termasuk menaklukkan Danika dalam usahanya.


Ibra - Takluk

Mungkin  benar  apa  kata  pepatah,  usaha  tak  akan  pernah mengkhianati  hasil.  Itu  pula  yang  Ibra  rasakan  sekarang. Perlahan  tapi  pasti,  Danika  mulai  menerimanya.  Meski  ada sekat tipis yang memisahkan, tapi Ibra yakin ia akan mampu menembusnya  suatu  saat  nanti.  Bukan  dengan  paksaan, melainkan kelembutan yang tak akan pernah menyakitkan.

Tepat      setelah      Ibra      menyatakan      kesungguhan perasaannya  pada  Danika,  gadis  itu  mulai  berani  membuka diri. Danika tak lagi takut menunjukkan kerapuhannya pada Ibra. Terlebih akan hubungannya dengan sang ayah yang tak baik-baik saja. Sebagai pria yang mencintai gadis itu, tentu saja Ibra berusaha mengerti segala ketakutan Danika. la juga tak  ingin  memaksa  gadis  itu  untuk  langsung  mencurahkan apa  pun  padanya.  Mereka  akan  beijalan  dengan  perlahan. Sampai rasa nyaman dan aman yang diberikan Ibra mampu membuat Danika mempercayakan diri sepenuhnya pada Ibra.

Perihal  perkembangan  hubungannya  dengan  Danika, Ibra pun tak menutupi hal tersebut dari keluarga. Terutama mama   dan   papanya.   Kedua   orang   tuanya   berhak   tahu bagaimana  hubungan  Danika  dan  keluarganya.  Beruntung  kedua orang tua Ibra mengerti. Mereka tak mempermasalahkan hal itu. Hany a saja keduanya menasihati Ibra  untuk  membantu  Danika  menyelesaikan  segala permasalahan yang ada antara gadis itu dan papanya. Karena bagaimanapun juga, nantinya Ibra akan menikahi Danika. Dan gadis itu tetap butuh walinya dalam pernikahan.

Ibra   pun   sudah   memberitahukan   rencananya   untuk menemui Papa Danika. Papa dan mamanya tentu mendukung penuh. Hany a saja Tante Mala yang sejak awal menentang hubungan  Ibra  dan  Danika  masih  berusaha  mempersuasi keponakannya untuk memikirkan kembali keputusannya.

“Tante, sekali lagi Ibra tekankan, pilihan Ibra insyaAllah yang terbaik. Apa pun nanti yang akan kami hadapi, Ibra yakin bisa  menyelesaikannya.  Kekhawatiran  Tante  rasanya  terlalu tidak beralasan. Maaf kalau Ibra tidak sopan, tapi keputusan Ibra tidak akan berubah. Seperti apa pun Danika, Ibra akan menerimanya. Seperti Danika juga yang siap menerima segala kelebihan dan kekurangan Ibra.”

Tante  Mala  tampak  tersinggung  dengan  ucapan  Ibra. “Kamu tahu, pernikahan yang langgeng itu kalau ada restu dari keluarga. Kamu itu sebagai yang muda harus lebih banyak belajar   dari   kami   yang   tua   ini.   Mungkin   kamu   bisa menyepelekan peringatan Tante, tapi saat nanti semua nggak beijalan lancar, barn kamu akan menyesal, dan membenarkan nasihat yang tua ini.”

Ibra   mencoba   untuk   menanggapi   sinisme   tantenya dengan senyum simpul. “Terima kasih untuk segala nasihat Tante. Tapi Ibra akan memercayakan semua pada Tuhan saja. Kita manusia cukup menjalani sebaik-baik hidup saja. Sisanya adalah ketentuan Yang Maha Kuasa. Jadi, Ibra sama sekali tidak akan pernah khawatir.”

“Terserah kamu. Nanti kamu akan lihat kalau apa yang Tante omongin itu benar!”

Tante   Mala   meninggalkan   ruang   keluarga   dengan membawa segala kekesalannya. Ibra sendiri tak ingin ambil pusing.  Yang  ia  butuhkan  adalah  dukungan  kedua  orang tuanya.  Baginya  itu  saja  sudah  cukup  untuk  membuatnya yakin untuk terus melangkah.

Hany   a   satu   yang   kini   menjadi   konsentrasi   Ibra. Pertemuan  dengan  ayah  dari  perempuan  yang  ia  cintai. Sampai  saat  ini  Danika  tak  menunjukkan  keinginan  untuk berbaikan  dengan  papanya.  Meski  gadis  itu  tak  mampu menolak niat Ibra yang ingin menemui papanya sehubungan dengan  rencanana  pernikahan  mereka,  tapi  Ibra  tahu  ada keengganan dalam diri Danika.

“Mengenai rencana kamu menemui orang tua Danika, apa  butuh  Papa  dan  Mama  dampingi?”  Papa  Ibra  kembali bertanya.

“Untuk  pertemuan  besok,  biar  Ibra  saja.  Paling  tidak Ibra   harus   memperkenalkan   diri   dulu   dengan   keluarga Danika.  Sebelum  nanti  Ibra  butuh  Papa  dan  Mama  untuk melamar secara resmi.”

“Sampai   sekarang,   Danika   belum   ada   niat   untuk berbaikan dengan Papanya?” timpal Mama.

Ibra  menggeleng.  “Mungkin  Danika  belum  sanggup, Ma.”

Mama Ibra pun mengangguk paham. “Pastinya. Andai Mama  jadi  Danika,  Mama  nggak  tahu  apa  akan  sanggup bertahan hidup tanpa sokongan dari orang tua.”

“Itu tugas kamu nanti, Ibra. Sebagai suami, kamu harus bisa   menjadi   jembatan   untuk   hubungan   istri   kamu   dan keluarganya. Tidak baik kalau kamu hanya menunggu waktu sampai   Danika   bisa   meredam   marahnya   tanpa   berusaha membantu.”

“Ibra akan ingat itu, Pa.”

Tak hanya mendapat restu dari kedua orang tuanya, Ibra juga  mendapat  nasihat-nasihat  yang  akan  membantu  dalam 

menjajaki  jenjang pernikahan. Keterbukaan Ibra pada orang tuanya  memang  begitu  dalam.  Apa  pun  permasalahan  yang tengah ia hadapi selalu Ibra katakan jika memang pria itu tak mampu  mencari  solusinya.  Orang  tua  bagi  Ibra  tak  hanya sebatas peran, tapi kadang mampu berperan sebagai sahabat bagi dirinya dan Yasmin.

Dari kedua orang tuanya, Ibra belajar banyak hal. la pun berharap nanti bisa menjadi orang tua yang seperti itu. Yang tak  hanya  mampu  mendidik  tapi  juga  mampu  memberikan peran  sebagai  sahabat  hingga  anak  merasa  nyaman  berbagi dengannya.   Ibra   ingin   menjadi   orang   tua   yang   mampu menghadirkan kasih sayang dan memberi kebebasan pikiran bagi anaknya nanti. Tepat seperti yang orang tuanya berikan.

Sejak dalam perjalanan tadi Danika tak bisa tenang. Hari ini mereka akan menemui papanya. Setelah sekian lama, akhirnya anak  yang  hilang  itu  akan  kembali  pulang  ke  rumahnya. Namun  Ibra  tahu,  Danika  tak  merasakan  perasaan  yang bernama  pulang.  Bagi   Danika,  rumah  papanya  bukanlah rumah baginya untuk pulang.

Karena  itu,  sebagai  lelaki  yang  akan  mendampingi Danika, Ibra berusaha memberikan rasa aman bagi gadis itu. Mereka  memang  tak  tahu  apa  yang  nanti  akan  dihadapi setibanya di sana. Namun, satu hal yang akan Ibra pastikan adalah  ketenangan  hati  Danika.  la  tak  akan  membiarkan perempuan itu merasakan sakit seperti terakhir kali berada di rumah papanya.

Kedatangan  mereka  yang  tiba-tiba  begitu  mengejutkan Papa Danika. Bahkan ketika ia dengan lantang mengatakan niatnya   untuk   menikahi   Danika,   Ibra   tahu   tak   mudah mendapatkan  kepercayaan  ketika  ada  pria  lain  yang  ingin mengambil  tanggung  jawab  tersebut  dari  pundak  seorang ayah.  Tapi,  meski  Papa  Danika  menyatakan  keberatannya, Ibra tak akan mundur.

Tak hanya restu yang belum dikantongi, kehadiran Ibu tiri Danika pun seketika memperkeruh suasana. Ibra tak tahu sosok seperti apa wanita bernama Tante Indri tersebut. Tapi sejak pertama kali bertemu dengannya di Sushi Me, Ibra tahu wanita itu tak menyukai Danika. Dan sebagai pria yang akan mengemban tanggung jawab terhadap hidup Danika nantinya, Ibra sebisa mungkin akan melindungi wanitanya.

Suasana panas yang menguar antara Danika dan Tante Indri diinterupsi oleh Papa Danika. Beliau mengajak semua untuk   makan   siang   bersama.   Danika   jelas   menunjukkan keenganan. la bahkan terlihat ingin segera kabur dari rumah itu.  Beruntung  Ibra  berhasil  menenangkan  hingga  Danika akhirnya luluh dan setuju untuk makan siang bersama.

“Sebelumnya,  boleh  Papa  bicara  berdua  saja  dengan Ibra?”

Permintaan tersebut diajukan Papa Danika tepat setelah mereka menyelesaikan makan siang. Wajah Danika semakin tak karuan. la jelas-jelas menolak. Tapi, lagi-lagi Ibra berhasil meyakinkan gadis itu.

“Jangan khawatir. Saya pasti bisa mengatasinya,” ucap Ibra    menenangkan    saat    Danika    mencekal    pergelangan tangannya.

Ibra  begitu  tenang  ketika  melangkah  memasuki  ruang kerja  ayah  dari  kekasihnya.  Matanya  menjelajah  sejenak. Sampai  akhirnya  sang  pemilik  ruangan  mempersilakannya untuk duduk di kursi di depan meja kerjanya.

“Apa yang ingin Om bicarakan dengan saya?” tanya Ibra tanpa basa-basi.

la tahu pasti hal yang sama juga dirasakan pria paruh baya  di  hadapannya  ini.  Banyak  hal  yang  mungkin  ingin disampaikan Papa Danika padanya. Namun, hingga beberapa menit  berlalu,  tak  ada  sepatah  kata  pun  yang  keluar  dari bibirnya.

“Kalau   begitu   biar   saya   yang   bicara,”   ucap   Ibra kemudian.  “Saya  tahu  kehadiran  saya  pasti  membuat  Om begitu   terkejut.   Tapi   kedatangan   saya   tidak   main-main sedikitpun. Saya mencintai Danika. Saya ingin menikah dan hidup  bersamanya.  Membahagiakan  Danika.  Menggantikan tanggung jawab Om padanya.”

Seketika  raut  wajah  Papa  Danika  berubah.  Kesedihan tergambar jelas di wajah tua tersebut. Ada rasa bersalah dan rasa  tak  rela.  Tentu  saja  Ibra  paham  kesedihan  apa  yang dirasakan seorang ayah ketika anaknya akan menikah. Tak lagi menjadi tanggung jawabnya. Terlebih bagi Papa Danika yang mungkin  belum  merasa  menjadi  ayah  yang  baik.  Rasanya mungkin berat bagi beliau menyerahkan Danika. Bahkan di saat dirinya mengabaikan Danika. Belum mampu memberikan kebahagiaan yang utuh sebagai seorang ayah.

“Saya  juga  sedikit  mengerti  dengan  apa  yang  Om rasakan. Sampai saat ini Om juga pasti tahu Danika masih belum   bisa  menghapus   kemarahannya.   Gadis   itu   banyak menderita.  Bahkan  setelah  kehilangan  Mamanya,  dijauhkan dari  satu-satunya  orang  tua  yang  dimiliki.  Sampai  saat  ini Danika masih merasa ketakutan. Saya juga tahu Danika masih merasa   insecure,   la   begitu   takut   saya   mengkhianatinya. Seperti yang mungkin Om lakukan padanya.”

Wajah  Papa  Danika  makin  tertunduk.  la  benar-benar tersayat    mendengar    penuturan    Ibra.    Putri    satu-satunya merasakan kesakitan yang begitu dalam karena keegoisannya sebagai orang tua. Menebusnya sekarang pun bukan perkara mudah.  Danika  begitu  rapuh.  la  merasakan  begitu  banyak kehilangan.  Akan  sulit  menembus  kembali  pertahanan putrinya. Maaf saja rasanya tak akan cukup untuk menebus semua kesalahannya.

“Maaf  kalau  ucapan  saya  terlalu  lancang.  Saya  hanya ingin Om tahu, Danika kehilangan arah ketika meninggalkan rumah ini. Tapi ia mencoba untuk tetap berdiri tegak. Bukan saya ingin menghakimi Om saat ini. Saya nggak punya hak untuk melakukan itu. Apa yang teqadi antara Om dan Danika, kalianlah  yang  harus  menyelesaikannya.  Tapi  sebagai  pria yang ingin membahagiakannya, saya beijanji akan membantu sebisa mungkin. Semua itu tentu saja harus dari usaha Om dan Danika sendiri.”

“Kamu benar,” desah Papa Danika dengan nada kalah. “Saat ini hanya satu yang Om bisa lakukan untuk Danika. 

Memberikan kami restu. Saat ini Danika mungkin hanya bisa percaya pada dua orang saja, saya dan sahabatnya, Dayu. Tapi, pelan-pelan kita akan kembali membangun hubungan antara Om dan Danika yang renggang. Om pasti tahu seberapa rapuh Danika ketika beijuang seorang diri di luar sana. Izinkan saya mengambil  separuh  tugas  Om  di  dunia  ini  untuk membahagiakannya.”

Papa Danika menatap tepat ke mata Ibra tanpa putus. Ada  kejujuran  dan  kesungguhan  di  sana.  Pria  muda  di depannya     bersungguh-sungguh     untuk     membahagiakan putrinya. Sebagai seorang ayah yang gagal menjalankan tugas, tak   patut   rasanya   menghentikan   masa   depan   Danika. Keputusan  yang  akan  ia ambil  akan berdampak besar pada hidup  Danika  nantinya.  Tapi  ketika  ia  sendiri  tak  mampu menjaga,  mengapa  ia  tak  memberi  kesempatan  pada  Ibra untuk menuntaskan apa yang tak bisa ia berikan pada Danika.

“Saya izinkan kamu untuk menikah dengan Danika. Tapi sekali-kali jangan pernah membuatnya bersedih. Saya, sebagai Papanya sudah gagal menjadi orang tua. Tolong bahagiakan Danika. Berikan dia kenyamanan dan cinta sebagai tempatnya pulang.”

Ada   air   mata   yang   menetes   kala   Papa   Danika memberikan   restunya   pada   Ibra.   Penyesalan   terbesarnya adalah  tak  mampu  berdiri  sebagai  dinding  kokoh  di  sisi anaknya.  Ibra  turut  bersimpati  pada  pria  di  depannya tersebut. la segera berdiri dari duduknya demi menghampiri Papa Danika. Tanpa takut akan penolakan, Ibra menggenggam tangan  Papa  Danika  erat.  Membuat  pria  itu  mendongakkan kepalanya.

“Terima  kasih,  Om.  Semua  akan  baik-baik  saja.  Om harus percaya itu. Danika perempuan berhati lembut. Meski ia terlihat  keras  membentengi  diri,  tapi  saya  yakin,  Om  yang paling tahu seperti apa putri Om itu.”

“Jaga  Danika  dengan  baik,  Ibra.  Itu  permintaan  Om untuk kamu.”

“Pasti!” jawab Ibra tanpa ragu.

Satu masalah terselesaikan. Ibra percaya selalu ada jalan bagi  setiap  masalah.  Semua  tergantung  dari  bagaimana  kita berusaha  untuk  mencari  jalan  keluarnya.  Mungkin  saat  ini Danika  masih  menutup  rapat  hati  dan  pintu  maafnya.  Tapi Ibra yakin, selama ada cinta, hubungan ayah dan anak yang sempat terputus ini akan tersambung kembali. Tak pernah ada ikatan  darah  yang  dapat  diputuskan  di  dunia.  Meski  oleh kematian sekalipun.


Ibra - Menghapus Jarak

Pernikahan bukanlah hal yang mudah. Ibra tahu itu. Banyak hal  yang  hams ia  dan Danika  pelajari  dalam  rumah  tangga mereka. Menyatukan dua pemikiran dan keinginan dalam satu wadah bukan perkara gampang. Terlebih dengan sifat Danika yang kadang masih labil. Tapi, di situlah peran Ibra sebagai pemimpin rumah tangga harus bekerja.

Awal  pernikahan  mereka,  butuh  banyak  penyesuaian dari  masing-masing  pribadi.  Banyak  kebiasaan  yang  harus mulai dihilangkan. Temtama dari Danika. Gadis yang terbiasa melakukan    segala    hal    seorang    diri    itu,    harus    mulai membiasakan  adanya  peran  Ibra  dalam  kehidupannya.  Tak mudah memang memulai semua, tapi Ibra bukan pria yang akan mundur dari niatnya.

Tak  ada hal yang berat jika dijalani  dengan sungguh- sungguh.  Pesan  dari  sang  ayah  benar-benar  Ibra  tanamkan dalam  dirinya.  Karena  itu,  ia  mampu  menghadapi  semua kesulitan dengan kepala dingin. Seperti menghadapi kelabilan perempuan  kedua  yang  paling  Ibra  cintai  setelah  ibu  dan kakak   perempuannya.   Termasuk   kesabaran   ekstra   dalam menghadapi Danika di masa kehamilan keduanya.

“Masih belum mau makan?” tanya Ibra ketika melihat Danika yang hanya duduk di ruang tv. Matanya masih terfokus pada acara yang disiarkan.

“Masih eneg. ” Danika menjawab sambil menggelengkan kepala. “Aidan sudah tidur?”

Putra  pertama  mereka  memang  sudah  tertidur  lelap sejak setengah jam yang lain. Semua berkat Ibra yang berhasil membujuk anaknya. Hari ini entah mengapa Aidan ingin tidur ditemani Danika. Mungkin keberadaan calon adik membuat Aidan  ingin  menghabiskan  banyak  waktu  dengan  ibunya. Sebelum nanti semua waktu tersita untuk mengurus si kecil.

“Sudah.”  Ibra duduk  berdampingan  dengan istrinya di sofa.

“Mbak Isti di mana?” tanya Danika lagi, mengacu pada ART yang mulai dipekeijakan Ibra—meski untuk sementara waktu karena Danika menginginkan setelah kelahiran si kecil nantinya,  ia  yang  kembali  mengambil  tanggung  jawab  di rumah.

“Mungkin sudah istirahat.”

Melihat  Ibra  yang  sudah  duduk  bersamanya,  Danika mencari posisi nyaman untuk bersandar. Usia kehamilannya masih menginjak bulan keempat. Tapi kehamilan kali ini agak berbeda dengan saat ia mengandung Aidan dulu. Calon anak mereka kali ini begitu manja pada sang ayah. Beberapa hari terakhir  bahkan  Danika  seperti  ratu  drama  yang  tak  ingin berjauhan    dengan    Ibra.    Insting    keduanya    mengatakan mungkin    karena    calon    anak    mereka    kali    ini    adalah perempuan. Ibra dan Danika memang belum ingin tahu jenis kelamin sang anak melalui bantuan USG. Biarkan kehadiran anak keduanya menjadi kejutan.

Tangan   Ibra   mengambil   satu   tangan   Danika   untuk digenggam.  Hari  ini  ia  mendapat  laporan  dari  Isti  bahwa Danika lagi-lagi memuntahkan makanannya. Kehamilan kali ini  memang  lebih  rewel  daripada  Aidan  dulu.  Meski  agak cemas dengan kondisi kesehatan Danika dan bayi mereka, tapi Ibra  tak  bisa  berbuat  apa  pun.  Memaksa  Danika  menelan makananya pun tak akan berpengaruh banyak. Pasti istrinya itu akan memuntahkan kembali.

“Mau dibuatkan sesuatu?” tanya Ibra akhirnya. Danika lagi-lagi menggeleng. “Aidan gimana tadi saat 

mau  tidur?  Dia  pasti  sedih,  ya,  nggak  bisa  tidur  sama Mamanya?”

Ibra mengelus pelan pipinya. “Enggak. Aidan baik. Dia calon Kakak yang baik. Cukup dikasih pengertian kalau saat ini Mamanya nggak bisa terlalu seeing main karena harus jaga adiknya, dia mengerti.”

“Hah,  beruntung  banget  Aidan  mirip  Papanya.  Kalau mirip  aku,  pasti  sudah  keluar  tanduknya  kalau  dicuekin begitu.”

“Kamu nggak seburuk itu.”

“Cuma kamu yang bilang begitu. Papa dan Dayu bilang aku keras kepala. Banget.”

“Enggak masalah. Selama keras kepalanya kamu cuma berlaku ke saya dan orang dewasa lainnya. Bukan ke anak- anak kita. Karena itu, sekarang coba buat makan, ya? Saya yang masak.”

“Boleh,  deh.  Kasihan  juga  anakku  nggak  ada  nutrisi kalau   Mamanya   nggak   berusaha   untuk   makan.”   Danika mengelus perutnya yang sudah terllihat membesar.

“Anak kita,” timpal Ibra membuat Danika tertawa.

Ibra lantas beranjak ke dapur. la bergegas memasakkan sesuatu yang sekiranya bisa dimakan Danika. Pilihannya jatuh pada menu salmon teriyaki dan sup sayuran. Tak sulit bagi Ibra yang terbiasa dengan dapur. la mulai menyiapkan bahan- bahan  yang  akan  digunakannya  untuk  memasak.  Di  tengah persiapan memasak, seseorang masuk ke area dapur. Isti, sang ART, cukup terkejut melihat Ibra sedang berkutat di dapur. Terlebih  saat  melihat  Ibra  yang  mulai  bekerja  memotong sayuran.

“Pak Ibra mau masak?” tanya Isti, heran.

“lya.  Kamu  tadi  bilang  Danika  susah  sekali  makan. Karena  itu,  saya  mau  coba  masak.  Siapa  tahu  Danika  bisa makan.”

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Isti lagi. “Enggak usah. Kamu istirahat saja. Besok pasti repot lagi 

mengurus Danika dan Aidan yang rewel.”

Isti     tertawa     mendengar     jawaban     Ibra.     Setelah menuntaskan   keinginannya   mengambil   air   minum,   Isti kemudian berpamitan. Sejak awal bekerja di sana, ia sudah merasa nyaman dengan semua penghuni rumah tersebut. Baik Ibra dan Danika, tak pernah benar-benar memperlakukannya seperti     ART     pada     umumnya.     Mereka     benar-benar menganggap    Isti    sebagai    penyelamat    yang    membantu meringankan tugas. Karena itu, Isti merasa betah bekerja di sana.  Walau  ia  tahu  hanya  akan  bekerja  untuk  sementara waktu.

Hampir   satu   jam   Ibra   berkutat   di   dapur,   akhirnya masakan yang ia buat selesai. Sebuah nampan berisi salmon teriyaki, sup sayuran, nasi hangat juga segelas air putih hangat siap untuk diantarkan. Danika tampak takjub dengan apa yang Ibra   bawakan   padanya.   Selera   makannya   tiba-tiba   saja meningkat. Begitu nampan diberikan ke pangkuannya, segera saja ia menyantap hidangan tersebut.

“Anak kamu ternyata kangen masakan Papanya,” neap Danika di sela-sela kegiatan makannya.

“Makan yang banyak.”

Tentu saja Danika tak ingin menyia-nyiakan apa yang sudah Ibra masakkan. Sepertinya memang benar, sang bayi ingin  selalu  dekat  dengan  ayahnya.  Buktinya  saja  Danika begitu   lahap   menghabiskan   makanan.   Setelah   menunggu beberapa   saat,   ia   bahkan   tak   memiliki   keinginan   untuk memuntahkan makanan tersebut.

“Kalau  ditambah  susu,  masih  sanggup?”  tanya  Ibra kemudian.

“Jangan.  Perutku  udah  nggak  muat  kayaknya,”  tolak Danika.

“Kalau begitu saya bawa dulu piring kotornya ke dapur.” “Aku bantuin cuci, ya?” pinta Danika.

Ibra   ingin   melarang,   tapi   melihat   wajah   berbinar istrinya, akhirnya ia mengizinkan. Walau hamil, tapi Danika tak ingin diperlakukan seperti seorang pesakitan. Jika hanya sekadar  mencuci  piring  dan  memasak,  ia  masih  mampu mengeijakannya dengan baik. Lagi pula ini bukan kehamilan pertama   bagi   Danika.   Jadi   ia   tahu   sampai   mana   batas kemampuannya dalam berakti vitas.

Melakukan  berbagai  aktivitas  rumah  berdua  memiliki arti  tersendiri  bagi  Ibra  dan  Danika.  Di  awal  pernikahan mereka, Ibra dan Danika membagi tugas satu sama lain. Pun ketika Aidan lahir. Ibra tak sekalipun meninggalkan Danika seorang diri untuk mengurus putra mereka. la selalu ada. Hal itulah yang membuat Danika jatuh cinta terus menerus pada pria yang sudah memilih dan ia pilih untuk hidupnya.

“Siap   untuk   tidur?”   tanya   Ibra   saat   mereka   sudah menyelesaikan urusan dapur.

“Sambil dipeluk, ya, tidurnya.”

“Bukannya  malah  susah?  Nanti  kamu  nggak  nyaman tidurnya.”

“Anaknya  mau  tidur  sambil  dipeluk  Papa.”  Danika melingkarkan lengannya tiba-tiba ke tubuh Ibra.

Mereka  saling  berhadapan  dengan  wajah  Danika  yang menengadah  agar  bisa  melihat  Ibra.  Pria  itu  sendiri  juga menundukkan   pandangannya.   Kebersamaan   dan   saat-saat seperti  ini  kadang  mereka  rindukan.  Di  tengah  kesibukan masing-masing, Ibra dan Danika merasa tetap membutuhkan waktu berdua. Meski mereka tak keberatan menikmati waktu bersama    Aidan.   Tapi   ada   kalanya   memang   pasangan membutuhkan  waktunya  untuk  makin  menguatkan  ikatan yang ada dalam hubungan mereka. Seperti yang saat ini Ibra dan Danika lakukan. Hanya hal kecil dan sederhana. Saling berpelukan.  Namun  mampu  menguatkan  hubungan  mereka semakin dalam.

“Begini   saja   dulu,”   ucap   Ibra   ketika   Danika   akan melepaskan rangkulannya.

“Tapi ini dapur. Nanti Mbak Isti lihat, nggak enak.” “Mbak Isti nggak akan datang lagi. Tadi dia sudah keluar 

untuk ambil air minumnya.”

Danika tertawa kecil. “Boleh. Anak kita juga kayaknya suka dipeluk-peluk begini.”

Malam   itu,   selama   beberapa   saat   mereka   habiskan dengan  saling  berpelukan  di  dapur.  Hanya  berdua,  atau mungkin bertiga dengan bayi di dalam rahim Danika. Dalam keheningan malam, diselimuti kehangatan pelukan dan cinta. Semua itu akan selalu terekam dalam jejak memori Ibra dan Danika. Hal sederhana yang akan selalu dijaga dalam rumah tangga mereka.

Bertemu wanita impian, menikah, menjadi seorang suami dan ayah,  Ibra  sudah  melalui  semua  fase  itu.  Peijalanan  rumah tangga yang ia dan Danika miliki pun sudah menginjak usia enam tahun. Banyak hal teijadi. Tak hanya hal baik, tapi juga buruk mampu mereka lewati bersama.

Janji yang Ibra ucapkan kala meminta tanggung jawab dari  tangan  Papa  Danika  sudah  ia  buktikan.  Meski  dirinya bukan  sosok  lelaki  sempurna,  tapi  Ibra  tak  pernah  berhenti berusaha.  la  ingin  menjadi  suami  dan  ayah  yang  baik  bagi kedua buah hatinya. Baginya Danika dan kedua anak mereka adalah harta paling berharga miliknya yang hams ia jaga.

Keluarga  mereka  pun  tak  sempurna.  Masih  banyak kekurangan yang dimiliki. Tapi, baik Ibra dan Danika sama­ sama belajar untuk memperbaiki diri; menjadi suami dan istri yang  saling  melengkapi,  menjadi  orang  tua  yang  mampu memberikan rasa hangat bagi kedua anak mereka.

Meluangkan  waktu  sebanyak  mungkin  dengan  anak- anak  di  tengah  kesibukannya  membangun  usaha.  Ibra  tak pernah lupa untuk selalu ada di sisi anak-anaknya. la tak ingin melewatkan  sedikit  pun  tumbuh  kembang  kedua  anaknya. Meski  lelah,  tapi  ada  kebahagiaan  tersendiri  baginya  kala menjadi  sosok  ayah  yang  selalu  ada  bagi  Aidan  dan  Aila. Bahkan kata pertama yang diucapkan kedua buah hatinya saat mulai   berbicara   adalah   ‘papa’.   Hingga   membuat   Danika sebagai ibu merasa tersaingin. Bagaimana tidak, ketika ia dua puluh empat jam merawat anak-anaknya, tapi justru Ibralah yang mendapat kehormatan sebagai kata pertama kedua buah hatinya.  Namun,  bukan  berarti  Danika  berlarut-larut  dalam kekesalannya. la pun tahu sebesar apa usaha Ibra untuk tetap selalu ada bagi mereka.

“Anak-anak sudah tidur?”

Ibra   yang   bam   kembali   dari   restoran   menghampiri Danika yang sedang berada di dapur. Danika yang saat itu sedang   menyiapkan   mie   instan   tampak   terkejut   begitu menyadari kehadiran suaminya. la bahkan meringis saat Ibra menatapnya dengan intens.

“Berapa kali saya katakan, Danika, mie instan itu nggak baik buat kesehatan,” tegur pria itu pada istrinya.

“Kali ini saja. Ya?” Danika memasang wajah memelas terbaiknya.

Ibra menghela napas. Ingin melarang, tapi ketika melihat wajah Danika, ia tetap merasa luluh. Entah sudah berapa kali wanita itu berhasil menaklukkannya.

“Kali ini,” ucapnya akhirnya.

Danika tersenyum lebar. “Kamu man? Bagi dua, ya?” Ibra  mengangaguk,  kemudian  mengelus  lembut  kepala 

istrinya. “Saya lihat anak-anak dulu.”

Danika  mengangguk  patuh.  la  kembali  mengalihkan perhatian  pada  mie  instan  yang  tadi  sedang  dimasak.  Ibra segera  berlalu  dari  arah  dapur.  Tujuannya  adalah  kamar Aidan, la ingin memberikan ciuman selamat tidur bagi putra sulungnya. Wajah Ibra tersenyum kala melihat Aidan tertidur lelap.   Putranya   tampak   damai.   Perlahan   Ibra   mendekati ranjang Aidan. Mengelus pelan kepala putranya. Memberikan ciuman di dahi sembari membisikkan doa baik bagi anaknya. Kebiasaan yang selalu ia dan Danika lakukan bagi kedua anak mereka. Dari kamar Aidan, Ibra berlanjut ke kamar mereka. Aila, putri bungsunya masih tidur bersama mereka. Usia Aila yang   belum   genap   tiga   tahun   membuat   mereka   masih mengizinkan Aila untuk tidur bersama. Meski sesekali mereka membiasakan Aila untuk tidur di kamarnya sendiri.

Si   kecil   Aila   punya   kebiasaan   tidur   yang   agak berantakan. Tak tenang seperti kakak lelakinya. Padahal baik Ibra  dan  Danika  tak  pernah  beratraksi  dalam  tidur.  Pelan- pelan  Ibra  memperbaiki  posisi  tidur  Aila.  Melakukan  ritual yang  sama  seperti  Aidan  pada  Aila.  Kemudian  mengatur bantal dan guling sebagai pelindung jikalau putrinya kembali beratraksi dalam tidurnya.

Usai   memberikan   ciuman   untuk  anak-anaknya,  Ibra kembali  menyusul  Danika.  Saat  ini  istrinya  sudah  duduk nyaman di sofa ruang tv. Memegang semangkuk mie instan di tangannya.   Ibra   pun   menjatuhkan   tubuhnya   di   samping Danika.

“Mau aku suapin atau makan sendiri?” tanya Danika. la memainkan alisnya untuk menggoda Ibra.

“Makan sendiri.”

Ibra langsung mengambil alih garpu dari tangan Danika dan engambil satu suapan penuh mie, membuat Danika protes karena porsi mie yang diambil Ibra begitu banyak. Tentunya pria  itu  melakukannya  dengan  sengaja.  Agar  porsi  untuk Danika berkurang.

“Kalau kamu makannya begitu, nanti aku masak lagi mie instannya!” ancam Danika.

“Jangan. Saya cuma nggak man kamu sakit.”

“Aku   juga   nggak   mau   kamu   sakit.   Makanya   kita makannya bagi dua.”

“Memang  penyakitnya  bisa  dibagi  dua?”  tanya  Ibra dengan dahi berkerut.

Danika  cemberut,  namun  detik  berikutnya  ia  tertawa. Kadang  kala  Ibra  memang  sering  bertindak  tak  terduga. Namun   begitu,   ia   selalu   suka   dengan   apa   pun   yang ditunjukkan  Ibra  padanya.  Keduanya  kembali  melanjutkan menikmati  mie  instan.  Ditemani  tontonan  film  aksi  yang tersaji di layar tv. Sesekali Danika mengomentari film tersebut dengan   mulut   terisi   penuh.   Membuat   Ibra   berkali-kali menegurnya.  Untung  saat  ini  hanya  ada  mereka.  Di  depan kedua  anaknya,  Danika  dan  Ibra  harus  berhati-hati  dalam bersikap.  Tak  ingin  memberikan  contoh  buruk  pada  anak- anaknya.

“Kapan aku dikasih izin nyetir lagi?” tanya Danika tiba- tiba.  la  begitu  antusias  melihat  pemeran  wanita  dalam  film yang ia saksikan beradu cepat di jalanan.

“Kalau Aidan dan Aila sudah remaja.”

“Hah? Lama banget dong. Lama-lama nanti aku nggak bisa lagi nyetir. Kelamaan nganggur.”

“Enggak apa-apa. Masih ada say a yang bisa jadi sopir kamu dan anak-anak.”

Bukan tanpa sebab hingga saat ini Ibra tak mengizinkan Danika kembali menyetir. la masih ingat pengalaman mereka saat bertabrakan. Dan semua itu karena kecerobohan Danika. Meski  mungkin  saat  itu  Danika  masihlah  gadis  labil  yang sedang  dilanda  masalah,  tapi  tetap  saja  Ibra  merasa  ngeri membayangkan  Danika  kembali  bergulat  di  jalanan  dengan mobilnya.

“Apa gunanya mobilku di garasi?” gumam Danika pelan. Ibra  memperhatikan  wajah  istrinya  itu.  Mata  Danika 

memang  terpaku  ke  layar tv  di  depan  mereka,  tapi  ia tahu pikiran Danika tengah berkelana. Pria itu lantas mengambil alih mangkok di tangan Danika, meletakkannya di meja kopi.

“Ada  perasaan  was-was  kalau  saya  kasih  kamu  izin menyetir.    Apalagi    saat    akan    bawa    anak-anak.”    Ibra mengungkapkan perasaannya.

“Tapi aku bukan lagi perempuan labil awal dua puluh tahunan.   Aku   sudah   jadi   Ibu.   Aku   juga   nggak   akan sembarangan  membahayakan  keselamatan  Aidan  dan  Aila. Jadi  kamu  harusnya  nggak  usah  khawatir  sama  anak-anak kamu.”

Ibra    memutar    tubuh    Danika    hingga    berhadapan dengannya. la bisa melihat ada gejolak di kedua mata wanita itu.  Tangan  Ibra  menangkup  wajah  Danika  hingga  hanya terfokus padanya.

“Bukan    cuma    keselamatan    anak-anak    yang    jadi konsetrasi saya, tapi kamu juga. Kalian. Saya nggak akan bisa bayangkan  bagaimana  rasanya  kalau  sesuatu  teijadi  sama kamu dan anak-anak.”

Danika bisa melihat kesungguhan di mata Ibra, la tahu Ibra   hanya   memikirkan   mereka.   Sesaat   rasa   bersalah menghampiri.  Mengapa  harus  selalu  Ibra  yang  mengalah padanya. Ibra selalu berusaha membahagiakan Danika dengan caranya.  Mengapa  Danika  tak  berusaha  mencoba  hal  yang sama baginya.

Di sisi Ibra, ia bisa melihat ada pergolakan dalam pikiran istrinya. la tak ingin terlalu mengekang Danika. Tapi untuk hal satu  itu,  Ibra  benar-benar  berharap  Danika  menurut  pada keinginannya. la hanya tak ingin hal buruk menimpa mereka. Sekelebat  ingatan  langsung  menyerbu  kepalanya.  Sampai ketika Ibra mengingat saat pertama kali setelah sekian lama Danika  akhirnya  kembali  melihat  mobil  miliknya  yang  ada pada  Ibra.  Gadis  itu  menangis.  Ada  kerinduan  yang  ia tumpahkan   kala   mengelus   mobil   miliknya.   Mobil   yang menjadi hadiah peninggalan mamanya.

“Oke,” ucap Ibra tiba-tiba.

“Hah?” gumam Danika.

“Kamu boleh mulai menyetir lagi. Dengan syarat harus hati-hati  sekali.  Selain  itu  saya  juga  mau  menguji  kembali kemampuan menyetir kamu. Kita juga harus memperbaharui surat izin mengemudi kamu...”

“Kenapa tiba-tiba?” Danika memotong ucapan Ibra. “Karena saya nggak man lihat istri saya murung setiap 

kali  melihat  mobil  peninggalan  Mama  hanya  terpajang  di garasi.”

Mata  Danika  berkaca-kaca.  “Kamu  nggak perlu  selalu turutin apa mauku, Ibra...”

“Tapi saya cuma ingin lihat kamu bahagia. Lihat kamu tertawa  dan  tersenyum.  Janji  saya  untuk  nggak bikin  kamu sedih. Harus saya tepati.”

Danika menundukkan kepalanya. Kedua telapak tangan ia gunakan untuk menutup wajahnya yang mulai membasah. Entah  harus  bersyukur seperti  apa lagi mendapatkan  semua kebahagiaan seperti itu dalam hidupnya.

Ibra    kemudian    membawa    tubuh    Danika    dalam dekapannya. “Maaf kalau saya sudah egois untuk yang satu ini. Harusnya saya percaya dengan kemampuan kamu. Seperti kamu  yang  juga  memercayakan  diri  kamu  dalam  tanggung jawab  saya.  Mulai  saat  ini  saya  janji,  apa  pun  akan  kita 

putuskan berdua karena rumah tangga bukan hanya tentang keputusan saya, tanggung jawab saya, tapi juga ada kamu dan anak-anak kita di dalamnya.”

Danika mengangguk. “Hem. Kita putuskan sama-sama. Terima kasih juga.”

Ibra balas memeluk erat Danika. Kenyamanan langsung menyerbu     hatinya.     Inilah     yang     ia     dapatkan     dari peijuangannya  selama  ini.  Rasanya  cukup  setimpal  dengan pengorbanan yang ia lakukan.

Banyak hal berubah dalam kehidupan Ibra, la tahu itu ketika memantapkan diri untuk mengejar Danika. Keputusan dan tanggung jawabnya tak hanya sekadar bagi dirinya sendiri, namun juga ada Danika dan anak-anak di dalamnya. Meski ada hal-hal yang akan membebani, tapi Ibra sama sekali tak akan melemah. la akan beijuang demi keluarganya.

Banyak perbedaan yang ia dan Danika miliki. Tapi, itu tak  akan  menjadi  penghalang  bagi  mereka.  Berdua,  mereka akan  menghapus  jarak  perbedaan  itu.  Menyatukan  dalam sebuah keluarga yang akan selalu ada dan saling menguatkan.

Memberikan Danika apa yang sempat hilang dalam hidupnya; hangatnya keluarga.




Beri dukungan buat penulis

Post a Comment

Post a Comment